TINJAUAN PUSTAKA Aplikasi sig dan penginderaan jauh dalam penentuan kecukupan dan prediksi luasan ruang terbuka hijau sebagai rosot CO2 di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lingkungan Hidup

Berdasarkan UU RI No. 32 Tahun 2009, tentang lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahkluk hidup dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahkluk hidup lain. Lingkungan hidup merupakan jumlah semua komponen biotik maupun abiotik serta kondisi yang ada dalam ruangan yang ditempati. Antara manusia dan lingkungan hidupnya terdapat hubungan yang dinamis. Manusia akan menyesuaikan kegiatannya dengan kondisi lingkungan sesuai dengan perubahan lingkungan hidup yang tidak statis. Perubahan perilaku manusia ini akan mengakibatkan perubahan nilai sumberdaya dalam lingkungan hidup. Wibisono 1995 menjelaskan bahwa lingkungan memiliki defenisi agregat kumpulan dari seluruh kondisi eksternal dan pengaruh-pengaruhnya. Sastrawijaya 1991 menyimpulkan bahwa dengan semakin meningkatnya perkembangan industri, baik industri migas, pertanian, maupun industri non-migas lainnya, maka semakin meningkatnya tingkat pencemaran pada perairan, udara dan tanah yang disebabkan oleh buangan industri-industri tersebut.

2.2 Ruang Terbuka Hijau

Ruang Terbuka Hijau RTH memegang peran penting dalam pembangunan perkotaan, terutama terkait dengan merancang masa depan perkotaan. RTH memiliki fungsi beragam, baik dari segi ekologi, ekonomi, dan sosial, seperti menjaga iklim atau temperatur, wahana rekreasi, dan menghasilkan tanaman produktif. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengartikan RTH merupakan area memanjang atau jalur dan atau mengelompok yang penggunannya bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh alami ataupun secara sengaja ditanam. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 ayat 2 menetapkan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota dan ayat 3 menetapkan proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota. Menurut Simonds 1983 diacu dalam Wijayanti 2003, RTH di perkotaan memiliki fungsi yaitu: penjaga kualitas lingkungan, penyumbang ruang bernafas yang segar dan keindahan visual, sebagai paru-paru kota, penyangga sumber air dalam kota, mencegah erosi dan sarana pendidikan. Berdasarkan PERMENDAGRI No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan RTHKP, adapun maanfaat RTHKP yaitu : a. Sarana untuk mencerminkan identitas daerah, b. Sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan, c. Sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial, d. Meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan, e. Menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah, f. Sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula, g. Sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat, h. Memperbaiki iklim mikro dan i. Meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.

2.3 Hutan Kota

Menurut Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002, hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam perkotaan baik pada tanah negara maupun pada tanah hak yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat berwenang. Hutan kota adalah pepohonan yang berdiri sendiri atau berkelompok atau vegetasi berkayu di kawasan perkotaan yang memberikan dua manfaat pokok bagi masyarakat dan lingkungannya yaitu manfaat konservasi dan manfaat estetika. Hutan kota merupakan tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya dalam kegunaan-kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan kegunaan-kegunaaan khusus lainnya Fakuara 1987, diacu dalam Dahlan 1992. Menurut Rumusan Rapat Teknis di Jakarta pada bulan Februari 1991, diacu dalam Dahlan 1992 hutan kota merupakan suatu lahan yang bertumbuhan pohon-pohon di dalam wilayah perkotaan di dalam tanah negara maupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora, dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan luas yang solid yang merupakan RTH pohon-pohonan, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai hutan kota. Hutan kota dapat berupa jalur hijau pohon peneduh jalan, jalur hijau di bawah kawat listrik tegangan tinggi, jalur hijau di tepi rel kereta api, jalur hijau di tepi sungai maupun di luar kota; tanaman kota yaitu tanaman yang ditata sedemikian rupa, baik sebagian maupun rekayasa manusia untuk mendapatkan komposisi tertentu yang indah; kebun dan halaman; kebun raya, hutan raya dan kebun binatang; hutan lindung; pekuburan dan tanaman pemakaman pahlawan Dahlan 1992.

2.4 Ruang Terbuka Hijau sebagai Penyerap gas CO

2 Menurut Dahlan 2004 berbagai kegiatan di perkotaan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak seperti kendaraan bermotor, rumah tangga, hotel, industri dan kegiatan lainnya membutuhkan energi penggerak dan pemanas yang sebagian diperoleh dari pembakaran bahan bakar fosil seperti solar, minyak, tanah dan batu bara. Proses pembakaran akan menghasilkan CO 2. Keberadaan gas CO 2 di perkotaan akhir-akhir ini mengalami peningkatan konsentrasi di udara ambien yang sangat berarti. Bahaya paling utama adalah peningkatan suhu udara bumi secara global melalui efek rumah kaca. Ogawa 1991 dalam Gusmalina 1995 melaporkan bahwa konsentrasi CO 2 selama 250 tahun terakhir sejak 1974 naik dari 280 ppm sampai 350 ppm. Perkiraan dalam 100 tahun mendatang atau sekitar tahun 2090 terjadi kenaikan konsentrasi CO 2 dua kali lipat. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan suhu permukaan bumi. Ruang terbuka hijau merupakan penyerap CO 2 yang cukup penting namun tumbuhan seperti fitoplankton, ganggang dan rumput laut di samudra juga sangat berperan mnyerap CO 2 . Tanaman di RTH baik di dalam maupun di luar kawasan perkotaan akan menyerap gas CO 2 melalui proses fotosintesis Fakuara 1987, diacu dalam Dahlan 1992. Lebih dari 13 karbon di atmosfir digunakan dalam fotosintesis tiap tahunnya Salisbury Ross 1995. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam telah meneliti kemampuan penyerapan CO 2 yang hasilnya berbeda-beda menurut lokasi, jenis pohon hutan dan umur tegakan Departemen Kehutanan 2005. Menurut Heriansyah dan Mindawati 2005 bahwa hutan dapat mencegah pemanasan global dengan menyerap CO 2 dari atmosfir dan menyimpannya sebagai karbon dalam bentuk materi organik tanaman. Sifat dan kemampuan tanaman dalam menyerap CO 2 dapat dikelompokkan ke dalam 3 golongan yaitu tanaman C-3, C-4 dan CAM Lakitan 1993. Tanaman C-3 memfiksasi CO 2 melalui daur Calvin, tanaman C-4 memfiksasi CO 2 melalui daur C4 asam dikarboksilat, sedangkan tanaman CAM merupakan tanaman yang memfiksasi CO 2 menjadi asam malat Dahlan 2004. Tanaman C-4 umumnya memiliki laju fotosintesis tertinggi, tanaman CAM paling lambat laju fotosintesis, sedangkan C-3 berada di antara kedua ektrim tersebut Lakitan 1993. Penyerapan karbon dioksida oleh hutan kota dengan jumlah 10.000 pohon berumur 16-20 tahun mampu mengurangi karbon dioksida sebanyak 800 ton per tahun Simpson dan McPherson 1999. Biomassa vegetasi bertambah karena menyerap karbon dioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Umumnya karbon menyusun 45-50 bahan kering dari tanaman Kusmana et al.1992. Biomassa atau bahan oganik adalah produk fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, butir-butir hijau daun berfungsi sebagai sel surya yang menyerap energi matahari guna mengkonversi karbon dioksia dengan air menjadi senyawa karbon, hidrogen dan oksigen CHO.

2.5 Karbon Dioksida

Karbon dioksida adalah gas yang tidak berwarna dengan rumus kimia CO 2 dimana molekulnya terdiri dari suatu atom karbon dan dua atom oksigen, yang merupakan bahan pembentuk udara paling banyak keempat Neiburger 1995. Prawirowardoyo 1996 menyatakan bahwa karbon dioksida yang masuk ke atmosfir dapat berasal dari dua sumber yaitu : a. Sumber alami Sumber alami yang paling penting adalah proses pernapasan mahluk hidup, baik di darat maupun di lautan dan perubahan bahan organik. b. Sumber buatan Sumber buatan adalah CO 2 hasil pembakaran bahan bakar fosil, industri semen, pembakaran hutan dan perubahan tata guna lahan. Dahlan 2004 menyatakan bahwa kegiatan di perkotaan baik bergerak maupun tidak bergerak seperti: kendaraan bermotor, rumah tangga, hotel, industri, dan kegiatan lainnya membutuhkan energi penggerak dan pemanas yang sebagian besar diperoleh dari pembakaran bahan bakar fosil seperti: bensin, solar, minyak tanah, dan batu bara, proses pembakaran ini akan menghasilkan gas CO 2 . Karbon dioksida CO 2 dihasilkan dari oksidasi karbon yang terdapat di dalam bahan bakar selama proses pembakaran terjadi. Menurut DEFRA 2005 jumlah emisi gas karbodioksida yang dihasilkan oleh beberapa macam bahan bakar antara lain : a. Bensin menghasilkan 2,31 kgl emisi karbon dioksida b. Solar menghasilkan 2,63 kgl emisi karbon dioksida c. Minyak tanah menghasilkan 2,52 kgl emisi karbon dioksida d. LPG menghasilkan 1,50 kgl emisi karbon dioksida e. LNG menghasilkan 1,78 kgl emisis karbon dioksida Emisi metana CH 4 oleh hewan ruminansia dihasilkan melalui proses metanogenesis di dalam sistem pencernaan rumen. Metana termasuk salah satu gas atmosfir yang memberikan efek rumah kaca, walaupun komposisi metana di atmosfir jauh lebih rendah dibandingkan dengan gas karbon dioksida CO 2 , yaitu hanya 0,5 dari jumlah CO 2 , koefisisen daya tangkap panas metana jauh lebih tinggi, yaitu sekitar 15 pemanasan global disumbang oleh metana. Jumlah metana dalam waktu 250 tahun terakhir,meningkat lima kali lipat dari jumlah CO 2 . Sekitar 50 emisi metana hasil aktivitas manusia berasal dari kegiatan pertanian. Sebesar 20-60 dari jumlah emisi metana berasal dari peternakan, terutama ternak ruminansia. Seekor sapi dewasa dapat mengemisi 80-110 kg metana per tahun. Estimasi emisi metana secara global oleh ternak ruminansia berkisar antara 65-85 juta ton per tahun, sementara emisi total metana global 400- 600 per tahun Departemen Pertanian 2008. Jumlah CH 4 yang dihasilkan tergantung dari jenis ternak umur ternak, berat badan ternak, kualitas dan kuantitas pakan, serta energi yang dikeluarkan oleh ternak. CH 4 diproduksi selama sistem pencernaan ternak tersebut normal IPCC 1996. Proses fermentasi yang merupakan akhir dari sistem pencernaan pakan dalam rumen ternak menghasilkan CH 4 , gas ini juga dihasilkan dari proses dekomposisi pupuk pada saat kondisi anaerob. Bahan organik membusuk di dalam lingkungan anaerob, bakteri metagonik berperan menghasilkan CH 4 . Keadaan ini sering terjadi ketika jumlah ternak terlalu banyak. Faktor yang mempengaruhi emisi gas CH 4 dari pupuk ternak adalah jumlah pupuk yang dihasilkan dan jumlah pupuk yang dikomposkan secara anaerob. Jumlah pupuk yang dihasilkan tergantung jumlah yang diproduksi per ternak dan jumlah ternak. Jumlah pupuk yang dikomposkan secara anaerob tergantung dari bagaimana pengelolaannya. Gas CH 4 yang teroksidasi dengan O 2 akan menghasilkan CO 2 dan H 2 O IPCC 1996, diacu dalam Qodriyanti 2010. Tanah yang bersifat anaerob kuat, senyawa karbon mengalami reduksi secara mikrobiologi menjadi CH 4 metana. CH 4 terutama terbentuk dari reduksi asam asetat dan sebagian terbentuk dari reduksi senyawa CO 2 . Pengelolaan lahan sawah dan keadaan tanah sawah yang cenderung memacu metanogenesis adalah pemupukan organik dengan jerami dan kompos, tanah berkadar bahan organik tinggi, dan tanah bertekstur berat dengan kandungan lempung montmorilonit tinggi tanah vertisol.

2.6 Kebutuhan Luasan RTH

Penetapan besarnya luasan RTH sangatlah diperlukan karena fungsinya akan terasa jika luasannya cukup untuk mengoptimalkan dari fungsi RTH tersebut. Menurut Dahlan 2004 penentuan luasan hutan kota dapat dilakukan melalui pendekatan parsial dan pendekatan global.

2.6.1 Pendekatan parsial

Pendekatan parsial merupakan pendekatan yang menyisihkan sebagian dari wilayah kota untuk dijadikan kawasan RTH. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk menetapkan luasannya yakni berdasarkan perhitungan 1 persentase, 2 luasan per kapita dan 3 issu penting yang muncul di perkotaan tersebut. 1. Berdasarkan persen luas Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 ayat 2 proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 dari luas wilayah kota dan ayat 3 menetapkan proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota. Luasan lahan untuk hutan kota selama ini merupakan sisa dari berbagai peruntukan. Misalnya Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1989 diacu dalam Dahlan 2004 tentang Kawasan Industri menetapkan 70 lahan untuk industri, 10 untuk jaringan lahan, 5 untuk jaringan utilitas, 5 untuk jaringan umum dan 10 untuk RTH. Pendekatan di kawasan permukiman digunakan Koefisien Dasar Bangunan KDB. Bangunan sebesar 60– 70, prasarana antara 15–20, sarana berkisar antara 20–25, yang terdiri dari: sarana lingkungan seperti sarana peribadatan, pendidikan, olahraga dan perbelanjaan. Sisanya sebesar 8–10 untuk penghijauan. Haris 2006 menentukan distribusi dan kecukupan RTH studi kasus di Kota Bogor berdasarkan INMENDAGRI No.14 Tahun 1988 tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan menyatakan bahwa 40-60 dari total suatu wilayah harus dihijaukan, sehingga dari peraturan tersebut, wilayah kota yang harus dijadikan RTH sebesar 6.345,53 ha atau 56,63 dari luasan keseluruhan wilayah Kota Bogor. Qodriyanti 2010 menentukan distribusi dan kecukupan RTH studi kasus di Kota Pematangsiantar berdasarkan PP No. 63 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa luasan hutan kota paling sedikit 10 dari luas wilayah kota. Wilayah kota Pematangsiantar berdasarkan data interpretasi citra diperoleh luas wilayah sebesar 8.016,3 ha dan berdasarkan peraturan tersebut 10 dari luasan wilayah kota yang harus dijadikan hutan kota adalah sebesar 801,63 ha. 2. Berdasarkan luasan perkapita Pendekatan yang kedua yaitu pendekatan luasan hutan kota dihitung berdasarkan jumlah penduduk. Dewan kota Lancashire Inggris menentukan 11,5 m 2 penduduk dan Amerika telah menetapkan 60 m 2 penduduk sedangkan di Dearah Khusus Ibukota Jakarta taman bermain dan olahraga 1,5 m 2 penduduk Rifai 1989, diacu dalam Dahlan 2004, sedangkan Soeseno 1993, diacu dalam Dahlan 2004 menetapkan 40 m 2 penduduk kota. 3. Berdasarkan issu penting Suatu kota yang memiliki jumlah penduduk yang padat dan jumlah kendaraan bermotor serta industri yang tinggi, maka luasan hutan kota yang dibangun harus bedasarkan kemampuan hutan kota dalam menyerap dan menjerap polutan. Kota yang kurang dipengaruhi oleh angin darat dan laut sementara jumlah kendaraan dan industri besar, menengah dan kecilnya sangat banyak yang kesemuanya menghasilkan karbon dioksida. Sehubungan dengan itu semua, maka penetapan luasan hutan kota harus berdasarkan analisis penyerapan karbon dioksida. Rosa 2005 menentukan luasan optimal hutan kota studi kasus di Kota Palembang berdasarkan kemampuan menyerap gas CO 2 yang dihasilkan oleh penduduk dan pembakaran BBM bensin, solar dan minyak tanah dan LPG didapatkan luasan hutan kota yang dibutuhkan Kota Palembang pada tahun 2005 adalah sebesar 2.465,88 ha.

2.6.2 Pendekatan global

Pendekatan ini menganggap bahwa semua wilayah administrasi kota dan kabupaten sebagai areal wilayah hutan kota dan penggunaan lahan seperti : pemukiman, industri, perdagangan, pendidikan, pemerintahan, olahraga, dan kesenian serta keperluan lainnya dianggap sebagai enclave yang harus dihijaukan agar fungsi hutan kota dapat terwujud secara nyata.

2.7 Perencanaan RTH dengan Penginderaan Jauh Remote Sensing dan Sistem Informasi Geografis SIG

Remote Sensing atau penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji Lillsesand dan Kiefer 1990. Tujuan utama dari penginderaan jauh adalah mengumpulkan data dan informasi tentang sumberdaya alam dan lingkungan Lo 1995. Menurut Lillesand dan Kiefer 1990 terdapat dua proses utama dalam penginderaan jauh, yaitu pengumpulan data dan analisis data. Analisis data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik, dan data lapangan. Sistem Informasi Geografis SIG merupakan sekumpulan perangkat keras komputer hardware, perangkat lunak software, data geografis dan sumberdaya manusia yang terorganisir, yang secara efisien mengumpulkan, menyimpan, meng-updatde, memanipulasi, menganalisa dan menampilkan semua bentuk data yang bereferensi geografis Rind 1992 dalam Prabowo et al. 2005. Menurut Aronoff 1989 sistem informasi geografis adalah suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi georeference dalam hal pemasukan data, memanipulasi dan menganalisis serta pengembangan produk dan percetakan. Gistut 1994 dalam Prahasta 2005 menjelaskan bahwa SIG merupakan sistem yang kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen yaitu 1 perangkat keras, 2 perangkat lunak, 3 data dan informasi geografi dan 4 manajemen. Penggunaan penginderaan jauh dan SIG dapat juga diintegrasikan dengan berbagai metode untuk mengambil keputusan terhadap penggunaan lahan. Penelitian Pauleit dan Duhme 2004 menjelaskan bahwa SIG dapat dikembangkan dan diaplikasikan untuk menilai pola spasial dan fungsi lingkungan dari kota Munich.

BAB III METODOLOGI

Dokumen yang terkait

Penentuan Luasan Optimal Hutan Kota Sebagai Rosot Gas Karbondioksida

0 6 56

Analisis korelasi ruang terbuka hijau dan temperatur permukaan dengan aplikasi sig dan penginderaan jauh: studi kasus di DKI Jakarta

1 7 188

Penggunaan Penginderaan Jauh dan SIG untuk Mengetahui Perubahan Penutupan Lahan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau sebagai Rosot Karbondioksida (Studi Kasus; Kota Bogor Tahun 1991, 2000, dan 2012)

0 3 40

Perubahan Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Bogor dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.

0 1 31

Analisis korelasi ruang terbuka hijau dan temperatur permukaan dengan aplikasi sig dan penginderaan jauh studi kasus di DKI Jakarta

0 3 100

KEBUTUHAN LUASAN AREAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT (SINK) GAS CO2 UNTUK MENGANTISIPASI PENURUNAN LUASAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BOGOR

0 3 14

IDENTIFIKASI KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN IDENTIFIKASI KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI WILAYAH PERKOTAAN BOYOLALI TAHUN 2015.

0 4 17

IDENTIFIKASI KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN IDENTIFIKASI KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI WILAYAH PERKOTAAN BOYOLALI TAHUN 2015.

0 2 12

Pemanfaatan Inderaja dan SIG

0 0 13

Inventarisasi Dan Penentuan Kemampuan Serapan Emisi CO2 Oleh Ruang Terbuka Hijau Di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur - ITS Repository

0 0 285