Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

14 Gambar 11. A Analisis PCR DNA sampel resipien yang disuntik pada umur 3-4 hari setelah menetas 2 bulan setelah penyuntikan menggunakan marka molekular spesifik GH-Gurame. M, marker; 1-4, DNA sampel resipien yang berumur 2 bulan setelah penyuntikan; G, DNA ikan gurame; N, DNA ikan nila; -, kontrol negatif bahan PCR. B PCR menggunakan primer Ti β-aktin sebagai kontrol internal.

3.2 Pembahasan

Sel donor khususnya sel spermatogonia dalam bentuk tunggal terpisah dari jaringan gonad dan sel germinal lainnya yang viable hidup dan berpotensi untuk berkembang ataupun berdiferensiasi di dalam gonad resipien dapat diperoleh dengan cara disosiasi sel pemisahan sel dari jaringan. Menurut Kobayashi et al. 2004 selain tingkat kemurnian PGC atau sel donor dalam hal ini adalah hasil isolasi yang melibatkan proses disosiasi sel, viabilitas PGC atau sel donor juga dapat mempengaruhi kemampuan diferensiasi menjadi sel germinal pada resipien. Pada penelitian ini telah berhasil diperoleh sel testikular hasil disosiasi gonad ikan donor menggunakan tripsin 0,5 di dalam larutan PBS. Alimuddin et al. 2009 menyatakan bahwa disosiasi sel menggunakan tripsin-phosphate buffer saline Trip-PBS 0,5 dengan lama inkubasi kurang dari atau selama 2 jam diperoleh suspensi sel testikular ikan gurame dengan viabilitas 96,77-100. Dalam penelitian ini, viabilitas sel hasil disosiasi tidak diamati, namun demikian viabilitasnya diduga sama dengan yang dilaporkan oleh Alimuddin et al. 2009. 15 Hasil disosiasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah sel testikular maupun sel spermatogonia pada donor yang digunakan Tabel 1. Perbedaan jumlah spermatogonia hasil disosiasi gonad ikan donor tersebut diduga terkait oleh berbedanya bobot tubuh maupun bobot gonad pada setiap donor. Data tersebut Tabel 1 memperlihatkan bahwa bobot tubuh yang lebih besar donor 1 memiliki persentase spermatogonia yang lebih kecil jika dibandingkan dengan donor 2. Semakin tinggi bobot tubuh ikan gurame, maka semakin rendah persentase spermatogonia yang terkandung dalam gonadnya Alimuddin, 2009. Kemampuan deteksi sel donor dalam tubuh resipien menggunakan teknik PCR dengan primer spesifik GH-Gurame menunjukkan bahwa semua sampel resipien 1 sampai 5 Gambar 8 telah membawa sel donor hasil penyuntikan. Melalui konfirmasi tersebut dapat dikatakan bahwa hasil penyuntikan sel donor ke dalam rongga perut resipien telah berhasil dilakukan. Teknik PCR menggunakan primer spesifik tersebut telah diuji tingkat sensitivitas dan spesifisitasnya oleh Achmad 2009. Teknik PCR ini mampu mendeteksi DNA ikan gurame dengan konsentrasi 1 ngμl di dalam 700 ngμl DNA ikan nila atau jika konsentrasi DNA tersebut dikonversi ke dalam jumlah sel melalui analisis ekstraksi DNA maka dapat dikatakan bahwa teknik PCR tersebut mampu mendeteksi 1 sel ikan gurame yang terdapat di dalam 10.000 sel ikan nila Achmad, 2009. Dengan demikian nilai rasio jumlah sel donor yang disuntikkan ke resipien larva dapat dikatakan lebih dari sama dengan 1 berbanding 10.000 sel larva. Terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup larva Survival Rate paling tinggi adalah kontrol, kemudian diikuti dengan perlakuan penyuntikan pada larva umur 3-4 hari 98,96 dan paling rendah adalah perlakuan penyuntikan pada larva umur 1-2 hari 89,34 Gambar 9. Diduga umur larva yang masih muda memiliki daya tahan tubuh lemah dan rentan terhadap gangguan fisik dari luar yang dalam hal ini adalah teknis penyuntikan. Karena teknis penyuntikan ini beresiko mengenai organ lain yang dapat menyebabkan kerusakan organ sehingga larva mudah mati ketika selesai disuntik. Hal ini sesuai dengan Takeuchi et al. 2009 yang menyatakan bahwa resipien yang lebih kecil memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih kecil juga, hal ini diperlihatkan dengan menurunnya SR larva dari 63,3 pada resipien ikan nibe larva ukuran 6 mm 16 menjadi 2,9 pada resipien 3 mm. Kemampuan teknis dalam metode mikroinjeksi transplantasi sendiri memiliki peran penting terhadap keberhasilan masuknya sel donor ke dalam rongga perut resipien, selain itu penguasaan teknis penyuntikan secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup resipien pada saat penyuntikan dilakukan. Menurut Ath-thar 2008 dengan menggunakan teknik mikroinjeksi pada embrio memungkinkan adanya teknis injeksi yang membuat rusaknya jaringan tertentu sehingga menyebabkan telur tidak dapat menetas setelah dilakukan penyuntikan. Proses kolonisasi penggabungan sel donor ke gonad resipien diawali dengan proses migrasi sel donor ke jaringan bakal gonad genital ridge dari ikan resipien. Menurut Yoshizaki 2010 proses migrasi primordial germ cell PGC pada ikan rainbow trout diawali dengan disekresikannya chemokine stromal derived factor-1 SDF-1 oleh sel somatik bakal gonad resipien, kemudian PGC sel donor yang terletak di luar bakal gonad tersebut mengekspresikan reseptor yaitu CXC-chemokine receptor 4 CXCR-4, PGC akan mengarah ke SDF-1 dan bermigrasi ke bakal gonad menggunakan pseudopodia Raz Reichman-Fried 2006 dalam Yoshizaki 2010. Setelah mencapai daerah bakal gonad, PGC mengalami penggabungan terkolonisasi dengan gonad resipien. Konfirmasi kolonisasi sel donor pada gonad resipien umur 2 bulan setelah trans plantasi dilakukan karena gonad ikan nila yang berumur ± 2 bulan telah berkembang dan jika dilakukan pembedahan maka gonad sudah terlihat secara jelas dan mudah diambil serta dipisahkan dari organ lainnya untuk diekstraksi DNA nya. Kemudian waktu ± 2 bulan diduga merupakan waktu yang dapat untuk menentukan apakah sel donor dapat berkembang atau tidak di dalam gonad ikan resipien. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa tingkat kolonisasi atau perkembangan sel donor pada resipien ikan rainbow trout sudah dapat ditentukan dan dideteksi pada waktu 10 hari setelah dilakukan penyuntikan proses transplantasi Takeuchi et al., 2003. Dengan mengacu Takeuchi et al. 2003 maka pemeriksaan gonad resipien ikan nila dalam rangka untuk mengetahui perkembangan sel donor pada penelitian ini masih layak dilakukan pada resipien yang berumur 2 bulan setelah transplantasi. 17 Berdasarkan deteksi sel gonad resipien dengan menggunakan teknik PCR tersebut dapat dikatakan bahwa keberhasilan kolonisasi dengan melakukan penyuntikan terhadap resipien yang berumur 1-2 hari setelah menetas dalam TST ini adalah 100 Gambar 10. Keberhasilan ini diduga oleh karena rejection immune system resipien belum berkembang dengan sempurna sehingga resipien masih mampu menerima sel donor dari luar yang dimasukkan ke dalam rongga peritonialnya. Takeuchi et al. 2003 menyatakan bahwa sel donor tidak terkolonisasi di dalam tubuh resipien ketika resipien rainbow trout yang digunakan telah berumur 45 hari setelah fertilisasi. Hal ini diduga oleh adanya kemampuan ikan dalam menolak adanya bentuk sel dari luar. Pada beberapa spesies ikan yang baru menetas sistem imun masih relatif belum berkembang baik Manning et al., 1996 sehingga sel donor masih dapat berkembang di dalam tubuh resipien. Selain itu Nakanishi 1985 menyatakan bahwa beberapa ikan dapat melakukan allograft rejection penolakan transplantasi jaringan atau organ dari individu lain yang sama spesies oleh sistem imun setelah umur tertentu, misalnya pada ikan mas umur 16 hari setelah menetas pada suhu 20-22 C, Xiphophorus maculates 23 hari setelah fertilisasi pada suhu 20 C, dan pada rainbow trout 14 hari setelah menetas pada suhu 14 C. Berbeda dengan hasil PCR terhadap resipien yang disuntik pada umur 1-2 hari setelah menetas, hasil deteksi terhadap larva resipien yang disuntik pada umur 3-4 hari Gambar 11 menunjukkan adanya resipien yang tidak membawa sel donor sampel ke-4 dalam gonadnya yang berarti sel donor gagal berkembang dan terkolonisasi di dalam gonad resipien. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberhasilan kolonisasi hanya mencapai 75 dari 4 sampel yang diperiksa gonadnya. Kasus yang sama juga terjadi terhadap hasil penelitian dari Takeuchi et al. 2003 yang menggunakan PGC atau Primordial Germ Cells ikan donor rainbow trout. Pada penelitian tersebut yaitu dengan menggunakan PGC dari umur embrio donor yang sama, kemudian ditransplantasikan ke resipien dengan umur berbeda 35, 40, dan 45 days post fertilization dpf menunjukkan adanya penurunan tingkat kolonisasi yang signifikan terhadap sel donor pada resipien umur 45-dpf yang dicek pada waktu 30 hari setelah transplantasi dilakukan. Hal ini diduga bahwa umur resipien memiliki pengaruh penting dalam memberikan 18 lingkungan di dalam peritoneal micro-environment yang mampu mengarahkan migrasi sel donor ke genital ridge-nya sehingga sel donor dapat terkolonisasi. Hilangnya kondisi lingkungan di dalam peritoneal cavity resipien ikan rainbow trout yang mampu mengarahkan PGC donor hasil transplantasi bermigrasi ke genital ridge-nya ketika resipien berumur antara 40 dan 45 dpf Takeuchi et al. 2003. Kemudian hal ini juga sesuai dengan Takeuchi et al. 2009 bahwa tingkat kolonisasi sel donor pada resipien ikan nibe croaker Nibea mitsukurii 3 minggu setelah penyuntikan mengalami kenaikan seiring dengan menurunnya ukuran resipien yang digunakan, resipien ukuran 6 mm tidak ada kolonisasi, 5 mm 7,3 ± 3,6, 4 mm 36,3 ± 12,1 dan 3 mm 50.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Transplantasi sel testikular ikan gurame pada larva ikan nila umur 1-4 hari telah berhasil dilakukan. Hasil transplantasi pada larva yang disuntik umur 1-2 hari lebih baik dibandingkan larva umur 3-4 hari.

4.2 Saran

Disarankan untuk melakukan proses transplantasi penyuntikan pada larva ikan nila Oreochromis niloticus umur 1-2 setelah menetas. Analisis proliferasi dan diferensiasi sel donor dalam gonad ikan nila resipien perlu dilakukan.