Visi Sosial Mesianik sebagai dasar melawan Oligarki bertopeng Demokrasi di

26 termasuk para oligark itu. Budi Hardiman menyebut kondisi paradoks itu sebagai inklusif untuk yang eksklusif. 86 Menurut Budi Hardiman jalan keluar atas persoalan itu dapat di atas melalui memahami kondisi tersebut sebagai upaya proses uncivil society menjadi civil society . 87 Para oligark dan seluruh pihak yang sebenarnya merusak demokrasi ialah mereka yang berada pada kondisi uncivil society tersebut. Melalui dua cara yaitu penguatan masyarakat sipil dan penguatan sistem pemerintahan maka lambat laun uncivil society itu akan dimoderasi melalui dua cara tersebut untuk berubah menjadi civil society . Gagasan normatif di atas hanya dimungkinkan jika pemerintah dan masyarakat memiliki suatu kesadaran mendasar tentang apa arti hubungan antar sesama dan antar komunitas. Pembaca injil Matius yang hidup di Indonesia ialah termasuk demos seperti yang disebut Budi Hardiman. Sehingga pada titik ini tiga pokok teologis dari narasi Matius 2:1-18 dapat memberikan nilai dasar yang dapat dipegang pembacanya untuk mencapai terwujudnya masyarakat demokratis yang mengatasi paradoks dalam demokrasi itu, yaitu: melihat manusia lain tak boleh didominasi demi alasan apapun apalagi demi membentuk suatu kelompok status quo melalui suatu sistem politik.

4.2 Visi Sosial Mesianik sebagai dasar melawan Oligarki bertopeng Demokrasi di

Indonesia Kondisi demokrasi Indonesia yang tersandera Oligarki secara normatif sama sekali tidak bersesuaian dengan prinsip teologis yang dikemukakan oleh narasi Matius 2:1-18. Pokok teologis yang pertama sudah tidak membenarkan implikasi dari skandal fundamentalise beragama di Indonesia. Dalam perspektif Mesianik pada Matius 2:1-18, dominasi sosio-politik dalam bentuk apapun tak dapat diterima. Apalagi sikap fundamentalis agama yang begitu fanatik dan menjadi ekstrimis ialah sikap yang meniru tindakan para pemuka agama di Sinagoge yang memperalat Yudaisme untuk membentuk teologi sosial Millitary Mesiah, sikap yang dicibir oleh redaktur Matius . Lebih dari itu melalui pokok teologis tentang visi sosial Mesianik yang mengedepankan kesetaraan, keadilan, bermurah hati, saling menghasihi, dan terbuka inklusif antar sesama serta komunitas apapun tentu pembaca narasi Matius 2:1-18 tak dapat menerima kondisi Oligarki bertopeng demokrasi itu, sebab: 1 skandal fundamentalisme pasar di mana para segelintir pemilik modal mengendalikan seluruh sistem kebijakan publik seturut hasrat privatnya res privata ialah sama persis dengan 86 Hardiman, Dalam Moncong, 38. 87 Hardiman, Dalam Moncong, 39. Bnd, Bob Hadiwinata, “From Hero to Troublemakerς Civil Society and Democracy in Indonesia” dalam εarco Bunte eds., Democratization Post-Suharto Indonesia Oxon, 2009, 279. 27 kondisi the Rulling Class yang ditolak secara teologis oleh kelompok Matius. Sebab hal itu tidak sama sekali mengandaikan adanya keadilan dan keterbukaan malah justru melanggengkan penindasan sesama melalui mekanisme ekonomi. 2 fundamentalise agama yang muncul dari gerakan Islam Politik dan Kristen-Heterophobia juga bertolak belakang dengan visi sosial Mesianik bahwa sesama manusia dan komunitas apapun perlu mendasarkan hubungan bersama secara sosio-politik dalam semangat dasar kesetaraan satu sama lain, saling mengasihi, saling bermurah hati, adil dan saling terbuka. Sikap para fundamentalis agama hanya akan melahirkan kesetaraan partikular, keadilan parsial, kasih yang sempit, kemurahaan hati yang tak universal, serta eksklusivitas yang radikal. Jika demikian maka apabila secara kuantitatif suatu kelompok agama jumlahnya melebihi agama lain maka terjadi dominasi sebab sebagai yang terbanyak ia akan mengeklusi yang lainya maka terwujudlah dominasi dalam berbagai sendi kehidupan, hal yang secara teologis ditolak dalam Matius 2:1-18. Untuk itu secara teologis pembaca Matius 2:1-18 semestinya mendapat semacam insight bahwa perjuangan menegaskan tiga pokok teologis itu rupanya menembus jaman hingga dewasa ini. Artinya sama seperti sikap tanggap situasi redaktur Matius yang mencoba mengajukan keprihatinanya tentang kepalsuan Pax Romana dan dominasi Status Quo di Sinagoge, teks Matius 2:1-18 juga berimplikasi pada tuntutan praxis pembacanya untuk memperkuat sistem demokrasi dalam konteks Indonesia. Sebab hanya dengan demokrasi dan bukan Theokrasi 88 tiga prinsip teologis dalam visi sosial Mesianik berdasarkan Matius 2:1-18 dapat diwujudkan. Yonky Karman menuliskan bahwa dalam konteks Israel khususnya ketika masih menjadi keraajan, Theokrasi memang model pemerintahan ideal sebab mereka ialah negara-umat bukan negara-bangsa. 89 Model berpikir itu juga masih terlacak hingga kepada redaktur matius manakala mengajukan ide besar tentang Kedautalan Allah. Ide Kedaulatan Allah ialah sendi dasar bagi visi sosial mesianik dalam Matius 2:1-18. Meski begitu tak berarti bahwa Visi Sosial Mesianik ialah identik dan kaku dalam Theokrasi. John W. de Grucy menjelaskan bahwa bentuk suatu tatanan masyarakat yang mana keadilan, kesetaran, dan damai sejatera menjadi sendi utama masyarakat itu ialah persis nafas dari harapan mesianik yang pada masa modern hadir dalam demokrasi. 90 Karman juga mengingatkan bahwa ide mesianik ialah dasar teologis yang tepat bagi demokrasi 88 Untuk konteks Indonesia maka tak mungkin diberlakukan Theokrasi sebab cara itu hanya akan menimbulkan dominasi satu kelompok agama tertentu atas kelompok agama lain. 89 Yonky Karman, Kristen-Protestan, Kasus Kristen Protestan di Indonesia, dalam S. P. L. Tjahjadi eds., Agama dan Demokratitasi: Kasus Indonesia, Yogyakarta:Kanisius, 2014, 133. 90 John W. De Gruchy, Agama Kristen dan Demokrasi: Suatu Teologi bagi Tata Dunia yang Adil, Jakarta:Gunung Mulia, 2003, 8-10, 45-61. 28 karena ide mesianik ialah lebih kepada suatu visi sosial. 91 Maka dari itu praxis pembaca Matius untuk mendukung perjuangan yang berorientasi pada komitmen menegakan demokrasi di Indonesia ialah sama dengan menghadirkan spektrum-spektrum dari dalam diri Mesias. Sebab visi sosial mesianik telah inheren dalam ideal-ideal demokrasi. Lagipula visi sosial pada model mesianik dalam Matius 2:1-18 ialah nilai-nilai prinsip yang sifatnya universal melampaui batas-batas primordialismenya sendiri. Nilai itu adalah cocok untuk diterapkan bagi manusia manapun melampaui budaya, agama, suku, ras, golongan atau pun bangsa apapun sebab ia sesuai dengan prinsip martabat manusia.

4.3 Landasan Biblis dalam hubungan sosio-politik dengan