T1 712009038 Full text

(1)

Kekejaman Herodes Agung

(Studi Sosio-politik terhadap Rivalitas Herodes Agung dengan Mesias dalam Matius 2:1-18)

Oleh

Albert Josua Putra Maliogha 71 2009 038

Tugas Akhir

Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi

Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi

Program Studi Teologi

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga,


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Kata Pengantar

Manakala kekuasaan dipegang oleh orang-orang bangsat selama periode itu sinisme cenderung tumbuh dengan cepat. - Bertrand Russell Perkataan Russell yang penulis kutip pada titik tertentu mencapai kebenaran. Teks Matius yang penulis teliti melalui proses penafisran ternyata menunjukan kebenaran itu. Akan tetapi sinisme pada teks Matius tak hanya diam sebagai sebuah -isme namun bergerak menjadi sebuah seruan yang mendorong hadirnya praxis dalam menentang kekuasaan yang

dipegang oleh orang-orang yang disebut Russell sebagai “para bangsat.” Redaktur Matius

yang hidup dalam konteks tertentu dan dalam pergumulan yang khas mencoba mengatakan sesuatu hal yang penting dari apa-apa yang ia dan komunitasnya alami.

Gaya berpikir sinis yang muncul dalam teks Matius bukan suatu tindakan seseorang atau kelompok orang kurang kerja. Sinisme yang muncul tersebut tak datang begitu saja dari ruang kosong. Ada dorongan yang khas dari konteks yang membuat redaktur Matius memilih sinisme sebagai caranya menanggapi kenyataan. Dalam tulisan ini penulis mencoba merekonstruksikan bagaimana sinisme itu coba diketengahkan oleh redaktur Matius dalam teks Matius 2:1-18.

Tulisan ini penulis ajukan bukan pertama-tama demi mencapai gelar sarjana teologi –

suatu upaya melanggengkan pragmatisme- seperti yang dituliskan dalam format administrasi

Universitas (nampak pada halaman cover tugas akhir ini). Akan tetapi tulisan ini penulis

ajukan sebagai realisasi kecintaan terhadap studi hermeneutik dan latihan diri. Maka tentu tulisan ini memuat banyak kelemahan sebab ia adalah langkah awal dari proses belajar.

Atas rampungnya tugas akhir ini maka puji syukur tak terbilang penulis haturkan bagi Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab penulis sadar bila tanpa ijin-Nya tentu tulisan ini tak akan pernah terselesaikan dan bahkan ada sekalipun. Akan tetapi penulis juga sadar bahwa pencapaian ini dapat terwujud juga berkat bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih dan hormat kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung sehingga tugas akhir ini boleh terselesaikan. Kepada Orang tua dan keluarga yang rela menderita demi kebahagiaan yang sekarang penulis rasakan, kepada merekalah rasa terima kasih dan hormat terbesar penulis berikan. Kemudian, tak kurang juga ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pdt. Yusak Setyawan, Ph.D yang ialah pembimbing utama penulis dalam menyusun tugas akhir ini. Penulis mengucapkan terima kasih atas


(6)

vi

dorongan Bapak yang membuat penulis bekerja keras dan sekaligus melakukan dua proses tafsir, yaitu menafsir keinginan Bapak sebagai pembimbing serta menafsir teks Matius 2:1-18 sebagai bahan penelitian penulis. Ketiga, penulis memberikan penghargaan kepada Ibu Ira D.

Mangililo, Ph.D dan Bapak Pdt. Dr. Eben Nuban Timo selaku reviewer tugas akhir ini.

Terkhusus Ibu Ira Mangililo, Ph.D penulis haturkan terima kasih yang sangat besar atas dua

poin kritik yang sangat substansial terhadap tugas akhir ini. Kritik ibu tentang adanya gap

antara locus sosio-politik Komunitas Yahudi dan Komunitas Matius dengan tafsir terhadap

resistensi Komunitas Matius terhadap Kubu Status Quo Sinanoge dan Imperium Romanum,

serta kencederungan penulis yang anakronistik melakukan simplifikasi terhadap konteks Komunitas Matius dengan kondisi Indonesia dewasa ini sangat membantu penulis membenahi tulisan ini. Meski begitu dua kritik tersebut baru akan penulis akomodir lebih jauh dalam pengembangan tulisan ini sebab secara jujur harus penulis kemukakan bahwa waktu yang sempit dan energi yang tak lagi memadai membuat penulis tak dapat mengubah tulisan ini secara signifikan. Kepada kolega yang banyak membantu membentuk saya dalam mengarahkan diri pada hasrat episteme, ucapan terima kasih juga penulis berikan. Kepada

kelompok diskusi Bona Fide, Ladies Club, mahasiswa kelas-kelas Filsafat kepada kalian

semua penulis ucapkan terima kasih atas ruang diskusi dan kesempatan untuk mengenal berbagai pemikir-pemikir besar yang membantu penulis mengubah cara memandang kehidupan ini. Kepada mentor Filsafat penulis, Bapak Gusti Menoh, M.Hum penulis mengucapkan terima kasih atas diskusi dan keterbukaan untuk mengajak penulis keluar dari Goa sehingga penulis kembali memercayai Tuhan dan sekaligus sadar bahwa Filsafat Hermeneutik a la Schleiermacher dan Dilthey termasuk positivisme Comte tak lagi pantas

untuk di- idola- kan oleh karena kelemahan epistemologi mereka juga karena kenyataan

jaman terus berkembang tak pernah stagnan serta lebih-lebih kesadaran untuk tak memperlakukan ilmu apapun sebagai ideologi.

Semoga tulisan ini dapat berguna bagi mereka yang membacanya. Kritik dan saran dari siapapun yang membaca tulisan ini sangat penulis harapkan guna perbaikan kualitas penulisan. Tuhan kiranya memberkati kita.

Salatiga, 18 Februari 2015


(7)

vii

Daftar Isi Cover

Lembar Pengesahan Pernyataan Tidak Plagiat Persetujuan Akses Kata Pengantar Daftar Isi Abstrak

1 Pendahuluan

1.1Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah & Tujuan Penelitian

1.3 Metode & Teknik Pengumpulan Data

1.4 Manfaat Penelitian

1.5 Sistematika Penulisan

2 Injil Matius dalam Konteks Sosi-politiknya

2.1 Anthiokhia

2.2 Komunitas Sinagoge di Anthiokhia

3 Memahami Kembali Matius 2:1-18

3.1 Mesias yang selamat dari pembantaian adalah tanda penolakan Tuhan

terhadap dominasi status quo

3.2 Revolusi yang berdarah-darah bukanlah pilihan ideal dari perjuangan

melawan dominasi status quo

3.3 Penolakan Tuhan melalui diri Mesias terhadap kekuasaan politik a la Status

Quo menubuh dalam sebuah pranata sosio-politik

4 Relevansi Narasi Rivalitas Herodes Agung dan Yesus Sang Mesias bagi proses

Demokratisasi pasca Reformasi

4.1 Indonesia dalam 16 tahun Reformasi

4.2 Visi Sosial Mesianik sebagai dasar melawan Oligarki bertopeng Demokrasi di

Indonesia

4.3 Landasan Biblis dalam hubungan sosio-politik dengan Sang Liyan

5 Penutup 5.1 Kesimpulan Daftar Pustaka i ii iii iv vi vii 1 1 3 3 4 4 4 5 7 10 10 16 21 24 24 26 28 29 29 31


(8)

viii

Abstrak

Injil Matius merupakan bentuk counter narrative terhadap kekuasaan Imperium

Romanum dan Aristokrasi Sinagoge yang mempraktekan dominasi dalam pranata

sosio-politik sebagai tujuan kekuasaan. Pax Romana yang universal ialah yang terbaik menurut

Imperium Romanum. Teologi Sosial Millitary Messiah menjadi penuntun pemberontakan orang Yahudi melawan si kafir Romawi. Namun keduanya dituduh secara sinis oleh redaktur Matius sebagai model kekuasaan politik yang haus dominasi, manipulatif, menindas dan tak mencerminkan kehendak Allah, itulah mengapa Herodes Agung

digambarkan ingin membunuh Mesias. Untuk itu pranata sosio-politik Mesias Yang

Terselamatkan sebagai model yang visioner dan melawan arus utama diajukan sebagai

ganti dua model pertama yang sama-sama palsu dan rentan pelanggengan status quo.

Prinsip normatif sebagaimana yang diajukan redaktur Matius dalam menyikapi carut marut pranata sosio-politik dari awal abad pertama ternyata menembus jauh hingga masa Indonesia pasca reformasi. Sebagai negara yang baru lepas dari otokrasi dan bergerak lambat dalam demokrasi, Indonesia tengah terengah-engah mengatasi cengkraman oligarki (dekadensi aristokrasi) yang bertopeng demokrasi. Melalui

pengalaman komunitas Matius yang mengajukan pranata sosial Mesias Yang

Terselamatkan, rupanya demokrasi di Indonesia yang hampir kehilangan daya dapat diperkuat kembali sehingga mampu melawan oligark yang menguasai dua preferensi politik utama di Indonesia: fundamentalisme pasar dan fundamantalisme agama. Pranata Mesianik ini dapat menjadi basis moral religius bagi pembaca Matius di Indonesia sebab prinsip mesianik inheren dalam prinsip demokrasi. Pembaca Matius di Indonesia dapat

menengok dasar biblis untuk mewujudkan gerakan Demokrasi yaitu dari uncivil society

menjadi civil society yang dididam-idamkan.


(9)

1

1 Pendahuluan 1.1Latar Belakang

Kitab-kitab injil dalam tradisi kekristenan umumnya diterima sebagai sumber primer serta terpercaya oleh orang Kristen guna memahami dan mengetahui ragam hal tentang Yesus Kristus. Meski demikian secara faktual injil-injil tersebut kerap kali menunjukan beberapa jejak yang justru menghadirkan persoalan dalam upaya memahami dan mengetahui perihal Sang Mesias. Secara khusus sebagai contoh: kisah seputar kelahiran Yesus dalam kaitan dengan upaya pembunuhan diri-Nya oleh Herodes Agung hanya ada pada injil Matius 2:1-18.

Mengenai ketiadaan kisah pembunuhan bayi-bayi pada injil lain sebenarnya telah mengundang berbagai tanggapan para ahli. Misalnya saja pendapat Drewes yang menyatakan bahwa merujuk teori 4 sumber maka kisah ini merupakan cerita yang berasal

dari Sumber M, sehingga memang secara eksklusif hanya ada di Matius saja.1 Stefan

Leeks pada satu bagian dalam bukunya menyatakan bahwa penulis injil Matius ingin menyampaikan suatu pesan tertentu melalui kisah yang menghubungkan Raja Herodes

Agung dengan Yesus.2 Sedangkan, R.T. France secara meyakinkan menulis bahwa kisah

pembunuhan anak-anak ditambahkan oleh redaktur Matius sebagai bentuk folklore yang

umum dalam berbagai tradisi bahwa kelahiran seseorang yang hebat sudah selalu diikuti

oleh ancaman karena kecemburuan para penguasa.3

Namun pendapat John Drane terhadap narasi Matius 2:1-18 ialah yang paling signifikan tetapi sekaligus melahirkan problem serius. Terkait historisitas Matius 2:16, Drane justru berpendapat bahwa tidak ada catatan sejarah dalam dokumen-dokumen lain

tentang cerita ini, meskipun cerita ini bersesuaian dengan tabiat kejam Herodes Agung.4

Artinya, John Drane meyakini bahwa kisah ini tak faktual secara historis.

Surip Stanislaus menegaskan bahwa kisah itu tak perlu dilihat dalam kerangka historisnya sekalipun informasi-informasi dalam narasi tersebut telah coba diuji secara

1 Stefan Leeks, Tafsir Injil Matius (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 38 2

B. F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar (Jakarta: Gunung Mulia,2000), 32.

3France membandingkan Matius 2:13-18 dengan cerita masa kanak-kanak Sargon, Gilgamesh, dan bahkan kisah

dua bersaudara pendiri Roma yaitu Romulus dan Remus, sebagai bentuk folklore yang umum muncul dalam masyarakat kala itu. Lih. R. T. France, “Herod and The Children of Bethlehem,” ζovum Testamentum Vηδ. XXI No. 2 (1979), 98.

4 John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), 39.

Perihal tabiat Herodes Agung, ia adalah seorang raja sekaligus politisi yang licik, hebat dalam pembangunan, dan kejam. Herodes Agung ialah seorang paranoid yang selalu curiga terhadap siapapun yang dianggapnya mengancam kedudukanya sebagai raja. Hirkanus (mertuanya), Mariame (istrinya) dan Aleksander, Aristobulus dan Antipater (ketiga anaknya) dibunuh oleh Herodes Agung karena dicurigai ingin mengkudeta kedudukanya. Bnd. Jona Lendering, King Herod the Great: Acient Warfare Magazine.


(10)

2

saintifik.5 Rekonstruksi yang melibatkan astronomi dalam menyelidiki Matius 2 hanya

berhasil sampai pada kesimpulan yang tak determinan berkaitan dengan historisitas Matius 2:1-18. Pandangan semacam ini didukung kuat oleh ahli lainya. Misalnya

menyebut bahwa penjelasan yang menyebut supernova Kepler, komet Heley dan

hipotesis Konjugasi Planet-planet yang secara historis terjadi berdekatan dengan masa kelahiran Yesus dan kematian Herodes Agung, tetap saja kesemuanya itu tak memiliki relasi logis langsung dengan kisah pembunuhan anak-anak di bawah usia dua tahun oleh

Herodes Agung.6

Keraguan tentang aspek historis dari Matius 2 membuat pernyataan Leeks menjadi

kuat. Anjuran Leeks untuk memperlakukan kisah ini sebagai “yang mewakili suatu

keadaan sebenarnya” jauh lebih masuk akal daripada menerima narasi ini sebagai sebuah

laporan pandangan mata. Sebab perbedaan mencolok kisah kelahiran Yesus dalam Matius

dan Lukas7 membuat logika internal dari ide bahwa kisah ini ialah laporan pandangan

mata menjadi tak konsisten sehingga secara epistemologis runtuh dengan sendirinya. Antonhy Saldarini menulis satu esai menarik tentang ciri khas Matius sebagai sebuah kitab yang memperlihatkan banyak jejak konflik antara kelompok Kristen dengan Yahudi. Untuk itulah alasan mengapa Yesus berulang kali digambarkan berada dalam

posisi tegang yang vis-a-vis dengan para penguasa termasuk sejak kelahiran-Nya dalam

Matius 2:1-18. Bila saya mencoba menafsirkan kisah ini dalam kerangka konflik antar kelompok maka persoalan historisitas seperti apakah benar secara faktual Herodes Agung pernah menggerakan pasukanya untuk memburu bayi Yesus dan membantai anak-anak tak berdosa tak lagi bermasalah. Akan tetapi sebagai sebuah narasi tentang konflik antar kelompok maka pola konflik itu menjadi menarik untuk dibahas. Fenomena ini merupakan gesekan antara Komunitas Matius dengan Penguasa Sinagoge yang oleh Saldarini disebut sebagai upaya melawan Yudaisme demi sebuah “Yudaisme Baru”

melalui perjuangan dalam nama Yesus.8

Selain teks ini bicara pada konteksnya tentu ia juga dapat berbicara lintas waktu bagi pembaca di masa kini. Dengan memperhatikan nuansa sosio-politik yang kuat pada teks Matius 2:13-18, baik berkaitan dengan konteks dalam teks maupun konteks dari teks,

5 Surip Stanislaus, Rahasia di Balik Kisah Natal 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 72-74.

6 Howard W. Clarke, The Gospel of Matthew and Its Rea der: a Historical Introduction to the First Gospel

(Indiana: Indiana University Press, 2008), 18.

7 Kesimpulan bahwa Kisah Kelahiran Yesus berdasarkan Injil Sinoptik ialah faktual secara induktif bermasalah.

Kedua Injil itu membuat kisah kelahiran yang bertolak belakang (Matius 1:18-2:23 & Lukas 2:1-7) yang mana tentu tak dapat diterima prinsip logika. Bnd. Stanislaus, Rahasia, 29-30.

8τnthony Saldarini, “

The Gospel of Matthew and Jewish-Christian Conflict,” dalam David Balch (eds.), Social History of the Matthean Community: Cross Disciplinary Approaches (Minneapolis: Fortress Press, 1995), 42-43.


(11)

3

saya menduga bahwa gerakan pembaharuan dalam narasi Matius dapat menjadi sangat aktual bagi pembacanya di Indonesia. Konteks Indonesia yang tengah dalam transisi negara otoritarian a la orde baru kepada negara demokratis pasca reformasi ternyata

masih diselubungi skandal oligarki9 sehingga sebuah gerakan pembahuruan seperti

dengungan Revolusi Mental Jokowian sebagai model normatif yang dikampanyekan untuk mengubah mental bangsa muncul kuat. Menurut hemat saya fenomena ini mungkin dapat diteropong dari model perlawanan komunitas Matius pada sistem lama yang tak berjalan semestinya seperti apa yang coba ditulis dalam Matius 2:1-18.

1.2Rumusan Masalah & Tujuan Penelitian

Dua rumusan masalah coba diketengahkan, yaitu: Pertama, bagaimana kisah pembantaian anak di bawah usia dua tahun yang dilakukan oleh Herodes Agung dalam Matius 2:1-18 ditinjau dari konteks sosio-politiknya? Kedua, bagaimana benang merah kisah pembantaian anak dibawah usia dua tahun yang dilakukan oleh Herodes Agung dalam Matius 2:1-18 dengan kehidupan pembacanya di Indonesia pasca reformasi?

Tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah: Pertama, menjelaskan bagaimana

kisah pembantaian anak dibawah usia dua tahun yang dilakukan oleh Herodes Agung

dalam Matius 2:1-18 ditinjau dari konteks sosio-politiknya. Kemudian kedua,

menjelaskan bagaimana benang merah kisah pembantaian anak dibawah usia dua tahun yang dilakukan oleh Herodes Agung dalam Matius 2:1-18 dengan kehidupan pembacanya di Indonesia pasca reformasi.

1.3Metode & Teknik Pengumpulan Data Penelitian

Dalam penelitian ini saya akan menggunakan metode hermeneutik yang berfungsi

untuk menguak makna dari suatu teks.10 Metode ini digunakan dengan memperhatikan

nuansa sosio-politik dari teks. Melalui upaya ini penafsir diandaikan dapat merekonstruksi teks Matius 2:1-18 sehingga paling tidak tenunan sosio-politiknya dapat terurai kembali. Sementara itu, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan menafsirkan teks Matius 2:1-18. Baik hasil tafsir teks Matius 2:1-18 dan sumber-sumber pustaka relevan inilah yang menjadi data-data yang kemudian saya kelolah dan analisa. Hasil pengelolahan dan analisa terhadap data tersebut diharapkan mampu menjawab masalah yang diteliti.

9 Lih. Budi Hardiman, Di Dalam Moncong Oligark: Skandal Demokrasi di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius,

2014), 53.

10

Yusak B. Setyawan, Critical Approaches in New Testament Hermeneutics: A Draft (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2010), 4.


(12)

4

1.4Manfaat Penelitian

Saya berharap tulisan pada akhirnya dapat digunakan guna pengembangan ilmu teologi yang mencakup terhadap studi Hermeneutik Perjanjian Baru serta studi Agama dan Politik bagi Fakultas Teologi UKSW secara khusus dan dunia teologi di Indonesia pada umumnya. Selain itu juga melalui studi terhadap Matius 2:1-18, saya berharap agar penelitian ini dapat memberikan sumbangsih gagasan bagi paham tentang kondisi normatif kehidupan sosio-politik orang Kristen di Indonesia dewasa ini.

1.5Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam kajian ini akan saya tulis dalam lima bagian. Pada bagian pertama berisikan pendahuluan. Bagian kedua dari tulisan ini akan memuat informasi terkait konteks sosio-politik Injil Matius. Selanjutnya pada bagian ketiga saya akan memberikan pemaparan tentang pemahaman ulang terhadap teks Matius 2:1-18. Bagian keempat berisi mengenai refleksi terhadap teks Matius 2:1-18 yaitu aktualisasinya bagi kehidupan pembaca Matius di Indonesia. Terakhir, bagian kelima akan memuat penutup daripada tulisan ini.

2 Injil Matius dalam Konteks Sosio-Politiknya

Banyak ahli menduga kuat bahwa injil Matius ditulis di Anthiokhia di wilayah Siria. Injil Matius menunjukan nuansa-nuansa yang mendukung pemahaman tersebut, seperti: disebutkanya mata uang dirham (mata uang Siria); diperlunaknya hukum tahir dan najis (bagi non Yahudi), serta ada nuasa ketegangan antara pimpinan Yahudi dengan

jemaat.11 Dugaan ini diperkuat melalui fakta bahwa naskah injil Matius ditulis dalam

bahasa Yunani dengan menyertakan nuansa semitis pada berbagai ungkapan yang kualitas bahasanya bukan terjemaham dari bahasa Ibrani ataupun bahasa Aram. Dengan memperhatikan penggunaan bahasa semacam itu patut diduga bahwa tujuan tulisan ini untuk mereka yang menggunakan bahasa Yunani. Lagipula penggunaan bahasa Yunani berlaku luas terutama di kota-kota Romawi.

Penulis dan waktu penulisan injil Matius dipercayai dilakukan oleh seseorang dalam kurun waktu tahun 70-90 ZB. Perkiraan waktu tersebut memberikan gambaran penulisan Injil terjadi pasca penghancuran Bait Allah di Yerusalem pada tahun 70 ZB. Gambaran itu dipercayai oleh para ahli dinarasikan implisit dalam bagian teks Matius 22:7. Meski begitu dugaan yang didasarkan menurut teks Matius 22:7 itu sendiri belum menyelesaikan variasi pendapat para ahli tentang kapan persisnya penulisan dilakukan.


(13)

5

Hal yang sama juga terjadi pada upaya untuk melacak identitas asli dari penulis injil ini. Siapa persisnya yang menulis tak dapat diketahui secara pasti. Ada yang menyebutnya sebagai seorang pembina jemaat, seorang Yahudi yang menjadi Kristen yang berani mengecam orang Yahudi yang tak mau mengikut Yesus, seorang pelarian dari Yerusalem, ataupun seorang dari generasi Kristen kedua yang misioner yang berbahasa

Yunani.12 Tidak ada satupun dari pendapat tadi yang menegaskan secara pasti siapa yang

menjadi penulis injil Matius. Akan tetapi pada saat yang sama bermacam pendapat itu juga tidak meneguhkan pandangan Papias bahwa penulis injil ini ialah Matius salah satu

Rasul Yesus.13

Melalui upaya rekonstruksi yang cermat para ahli juga mencoba merumuskan tujuan penulisan injil Matius. Sama seperti analisis sebelumnya, tujuan penulisan didapat melalui telaah terhadap karakteristik dari teks itu sendiri. Salah satu hasil telaah itu dikemukakan oleh De Heer. Menurut De Heer, injil ini ada demi tiga tujuan utama yaitu:

(1) Maksud Apologetis: menyatakan bahwa nubuatan di dalam Perjanjian Lama telah

terpenuhi dan sekaligus membela status Yesus sebagai Mesias. (2) Maksud Katekesis:

merujuk pada Grundmman bahwa injil ini bertujuan untuk menyampaian pokok-pokok ajaran Kristen agar dimengerti dan demi mengajarkanya kepada orang lain. Hal itu nampak dari begitu banyak teladan Yesus yang dimuat oleh penulis injil. (3) Maksud Parenetis: untuk menegur jemaat Matius di Siria yang yang hidup tidak harmonis (kasih

diantara mereka telah dingin).14

2.1Anthiokhia

Para ahli menduga cukup kuat bahwa teks Matius ditulis di Anthiokhia. Kota ini ialah ketiga terbesar di kekaisaran Romawi yang berpopulasi lebih dari 500.000 jiwa terdiri dari orang Siria, Yunani-Romawi, juga minoritas Yahudi yang. Pada tahun 300 SZB Anthiokhia didirikan oleh Seleukus I di dekat sungai Orontes (berada jauh dari laut dan terlindungi benteng alami yaitu Gunung Silpius) untuk menghormati ayahnya sekaligus menampung para veteran perang Makedonia serta berfungsi guna menguasai

12

Para ahli umumnya bersepakat bahwa sangat sulit mempercayai Rasul Matius yang menulis injil ini. Alasan-alasan yang dikemukakan seperti: Jika benar Matius yang menulis maka ia tentu saksi mata lalu mengapa seorang saksi mata perlu merujuk kepada teks Markus yang penulisnya bukan saksi mata? Juga bahasa yang Matius gunakan ialah Bahasa Aram bukan Bahasa Yunani padahal injil ini ditulis dalam bahasa Yunani. Lih. Drewes, Satu Injil, 176; Bnd. Drane, Memahami, 219; Rudolf Schnackenburg, The Gospel of Matthew, (Wm. B. Eerdmans Publishing Co: Michigan, 2007), 6-7.

13Pandangan bahwa Matius sang Rasul sebagai penulis Injil Matius baru muncul belakangan pada abad II

setelah injil Matius ditulis. Ialah Papias, seorang penulis dari Hireapolis yang menyatakan hal ini. Lih. Jakob van Bruggen, Kristus di Bumi: Penuturan kehidupan-Nya oleh murid-murid dan oleh penulis-penulis sezaman, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 63-65.


(14)

6

jalur-jalur darat yang menghubungkan Asia Kecil, Mesir, tak ketinggalan Eufrat.15 Dewi

Tikhe (Fortuna: Keberuntungan) dipercaya menguasai nasib semua kerajaan Helenis, menguasai kesuburan tanah, dan menguasai keamanan kota atas banjir serta gempa, dijadikan dewi kota oleh penduduk di sana. Anthiokhia ialah pusat intelektual yang besar serta menjadi pusat perjalanan dan perdagangan yang sangat makmur serta merupakan ibu kota Provinsi Romawi gabungan Suriah dan Kilikia sehingga pada jaman Romawi

mendapat perlindungan langsung dari Kaisar.16

Seorang Gubernur Romawi menjadi perwakilan Kaisar memerintah atas Anthiokhia. Ia bertugas menegakan hukum dan memelihara ketertiban umum masyarakat. Namun ketertiban umum yang diupayakan berlangsung di Antiokhia berada dalam

bayang-bayang: (1) tatanan masyarakat hirarkis17 dan (2) demografi penduduk yang

beragam budaya.18 Dua hal ini sebenarnya membawa ancaman persoalan sosial bagi

Gubernur Romawi di Antokhia. Pertama, potensi ancaman terletak pada pola piramida kekuasaan politik terpusat pada golongan elit yang jumlahnya lebih sedikit dibanding masyarakat kebanyakan yang berada di luar golongan itu. Golongan elit itu menguasai sendi-sendi ekonomi, hukum, dan mengatur kesejaterahaan yang akibatnya sendi-sendi

itu (terutama politik) diatur menurut kepentingan mereka.19 Dalam hal ini tercipta suatu

tatanan sosial dalam bentuk kelas sosial yang tidak adil: golongan elit dan golongan nonelit. Persoalanya ialah kondisi sosial ini melahirkan rasa saling benci antara kedua kelas sosial itu. Kedua, sebagai kota yang mempertemukan beragam identitas dan etnis, Anthiokhia menyimpan potensi gesekan sosial manakala terjadi pertemuan dua atau lebih entitas yang saling bertolak belakang. Ner Dah mengutip Streeter menyebut kondisi itu sebagai “τntagonisme Etnis” yang mana kota itu diliputi ancaman kejahatan dan konflik

akibat percampuran orang-orang dari latar belakang etnis berbeda.20

Akan tetapi meski menyimpan potensi konflik rupaya gubernur romawi mampu mengatasi gesekan sosial tersebut. Piramid kekuasaan itu menempatkan ia berada pada puncak kelas sosial sedangkan dasar terendah ada pada golongan kecil termasuk budak.

15 Peter Walker, In Steps of Saint Paul, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 43; Bnd. John Staumbaugh dan David

Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula -mula, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 179.

16 Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial,180. Bnd. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah teologi

misi yang mengubah dan berubah, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 67.; Robert Coote dan Mary Coote, Kuasa, Politik & Proses pembuatan Alkitab: Suatu Pengantar, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 164.

17

Warren Carter, Matthew & The Margnis: A Sociopolitical and Religious Reading, (New York: Orbis Book, 2000), 20.

18 Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial,183. 19 Carter, Matthew & The Margins, 18.

20 Streeter, The Four Gospel, dalam Ner Dah, "Reading the Kingdom Teaching of Matthew from the Context of

Myanmar," PhD diss., 2009. Menurut hemat saya, apa yang dikemukakan Streeter tidak berlebihan sebab masalah sosial itu kemudian termanifestasi dalam gerakan pembasmian orang Yahudi di Diaspora.


(15)

7

Kekuasaan itu membuka peluang baginya untuk mendapatkan “dukungan” dari golongan di bawahnya demi tujuan yang ingin ia capai. Cara gubernur romawi mengatasi kerusuhan yang terjadi dikemudian hari khususnya berkaitan dengan isu sektarian di τnthiokhia menunjukan betapa “tangan besi” romawi efektif meminimalisir konflik

terbuka.21

Bersama para pejabat romawi dan anggota senat, gubernur selain memimpin

legiun juga mendapat dukungan dari para imam di kuil, para pegawai kekaisaraan,

pengumpul pajak dll. dalam relasi patron-klien.22 Kenyataan itu menunjukan hubungan

transaksional yang sarat kepentingan politik sudah merupakan hal lumrah terjadi di golongan masyarakat atas di Antiokhia. Pola relasi yang sangat rapuh karena didasarkan pada loyalitas semu yang dapat dibeli oleh kekuasaan.

2.2Komunitas Sinagoge di Anthiokhia

Orang Yahudi yang telah tinggal di Anthiokhia sama tuanya dengan kota tersebut hidup dalam situasi sosial masyarakat hirarkis. Menurut Warren Carter argumen para ahli menunjukan dimensi-dimensi penting yang menunjukan kelas sosial orang Yahudi di kota ini, seperti: (1) pendapat Kingsbury bahwa bahasa Yunani yang digunakan penulis Matius mengindikasikan masyarakat ini ialah komunitas urban, (2) penggunaan kata Kota dilakukan 26 kali dibandingkan Desa, (3) jemaat Matius diasumsikan tidak asing dengan kekayaan, hal itu ditunjukan oleh misalnya letak perbandingan identitas Yusuf orang Arimatea yang pada Markus dan Lukas ia dikenal sebagai anggota dewan tinggi namun pada Matius ia disebut sebagai Si Orang Kaya, (4) penggunaan sebutan emas, perak dan talenta dilakukan sebanyak 26 kali, lebih banyak jika dibandingkan dengan Markus yang

hanya sekali menyebut perak dan Lukas hanya empat kali lebih banyak dari Markus.23

Argumen-argumen itu menguatkan dugaan bahwa komunitas Matius terdiri dari mereka yang hidup kaya, artinya ada jejak dari mereka berada pada golongan elit. Akan tetapi sebagai ganti keengganan Carter untuk secara deterministik menentukan kedudukan orang Yahudi itu, ia memberi anjuran yang secara probabilistik menempatkan orang

Yahudi ada di kedua kelas sosial (Cross section) sebab selain karakteristik teks

menunjukan nuansa orang terdidik (golongan elit), teks ini juga bernafaskan tindakan

untuk menjangkau orang-orang yang dimarjinalkan.24

21 Upaya untuk merayakan Perbedaan Kultur dan Toleransi pernah dilakukan di Anthiokhia. Lih. Trudy Ring &

Robert Salkin (ed.), International Dictionary of Historic Places, (London: WIPIDE, 1995), 40.

22 Carter, Matthew & The Margins, 19. 23

Carter, Matthew & The Margins, 25.


(16)

8

Dugaan Carter tentang Cross section itu dapat diperkuat melalui laporan Josephus

bahwa orang Yahudi yang tinggal di Anthiokhia hidup tentram dan secara ekonomi cukup

kaya.25 Menurut Staumbaugh dan Balch, kunjungan Herodes Agung beberapa kali ke

Anthiokhia diduga kuat yang memicu naiknya gengsi, pengaruh dan kedudukan orang

Yahudi di sana.26 Laporan betapa kayanya orang Yahudi di Anthiokhia nampaknya bukan

hisapan jempol belaka. Sebab, berdasarkan catatan Josephus, orang Yahudi di Anthiokhia

mampu mengirimkan persembahan yang mahal ke Yerusalem.27 Tidak hanya itu, pada

masa pemerintahan Klaudius tatkala Yudea dilanda kelaparan, bantuan dari Anthiokhia

datang untuk menanggulangi bencana tersebut.28

Lalu bagaimana dapat diandaikan bahwa selain jejak keberadaan orang Yahudi dalam lingkaran elit, terdapat pula informasi yang menunjukan bahwa ada orang Yahudi hidup dalam kelas non elit? Hal itu dapat dijelaskan melalui identifikasi pekerjaan mereka. Orang Yaudi nonelit di Antiokhia ada yang hidup bekerja sebagai tukang dan budak yang mana secara kasat mata sudah cukup menunjukan bahwa mereka ialah

golongan kecil yang dimarjinalkan.29 Mereka ialah kelompok yang hidup bekerja demi

memenuhi kesejaterahaan hidup para elit.

Kondisi kehidupan yang baik dalam aspek sosial, ekonomi, religius, bahkan akses politik terhadap kekuasaan memang dinikmati oleh sebagian orang Yahudi di Anthiokhia untuk kurun waktu yang cukup lama. Sisanya meski dipinggirkan namun cukup untuk melanjutkan kehidupan dengan bekerja bagi para elit. Kehidupan yang tentram dan mapan di Anthiokhia bahkan telah dinikmati orang Yahudi sejak jaman Hasmonean yang dipicu oleh banyaknya orang baru yang hidup menyatu dengan penduduk tertarik masuk

ke dalam komunitas sinagoge.30 Selain bahwa pengaruh Hasmonean yang mendahului

kunjungan Herodes Agung yang berdampak signifikan itu, perilaku sosio-politik orang

Yahudi yang menunjukan loyalitas membuat mereka mendapatkan perlindungan.31

Akan tetapi keadaan berbalik dan semakin memburuk bagi mereka sejak tahun 40 ZB. Mulai saat itu hubungan sosio-politik antara orang Yahudi dengan orang Antiokhia

25 Josephus, Jewish War, 7.13. Bnd. Walker, In Steps, 44.

26 Nama besar Herodes Agung yang dikenal sebagai sekutu dekat Kaisar Agustus dan juga sebagai The Great

Builder lewat pembangunan luar biasa misalnya: Bait Allah, berbagai benteng hebat termasuk Masada, kota-kota Helenis seperti Sebaste dan Kaisera yang terkenal dengan pelabuhannya, tersiar ke luar Yudea bahkan sampai Anthiokhia. Hal itu menempatkan Herodes Agung sebagai orang yang cukup penting sehingga tidak heran apabila kunjungan tersebut membawa keuntungan bagi kedudukan sosio-politik orang Yahudi di Anthiokhia. Lih. Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial, Bnd. F. F. Bruce, New Testament History, (London: Thomas Nelson & Sons Ltd, 1969).

27 Josephus, Jewish War, 7.45. 28 Walker, In Steps, 47.

29 Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial, 181. 30

Justin Taylor, Asal Usul Agama Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 156.


(17)

9

berada dibawah ketegangan hebat. Permusuhan yang timbul bahkan tidak bisa menahan mereka untuk berhadapan dalam konflik terbuka yang berdarah-darah. Sejak terjadi pogrom32 dan dekrit Kaisar Kaligula yang memuat perintah penempatan patung dirinya di

Bait Allah di Yerusalem, bentrok pecah di Antiokhia.33 Pembunuhan terhadap orang

Yahudi di Anthiokhia terjadi dan sinagoge-sinagoge mereka dibakar. Mulai saat itu sentimen anti semit kian meninggi dan tak berhenti hingga kira-kira tahun 48 ZB. Puncak konflik terjadi tatkala pemberontakan Yudea melawan Romawi terjadi hingga tahun 70 ZB.

Konflik di Yudea turut menyeret keterlibatan Anthiokhia karena kota itu menjadi basis dukungan pasukan militer yang dikirim untuk menumpas pemberontakan di

Yudea.34 Ketegangan perang itu merembes sampai ke Anthiokhia terutama bagi orang

Yahudi di sana. Ikut terseretnya Antiokhia dalam tensi perang Yudea membuat beberapa orang Yahudi di sana tidak mampu menahan diri. Beberapa anggota dari penguasa Yahudi merencanakan perlawanan. Komunitas Yahudi di Anthiokhia dituduh merencanakan membakar kota. Akibatnya, Gubernur Romawi menyerang mereka dan mencabut hak-hak istimewa orang Yahudi.

Penaklukan Yudea membawa dampak tidak saja pada memburuknya hubungan sosial antara orang Yahudi dengan orang Anthiokhia dan sekaligus melemahkan pengaruh

32 Sebab terjadinya Pogrom diduga karena muncul kecemburuan sosial terhadap orang Yahudi yang melalui lobi

politik mendapat hak istimewa yang mana telah berlangsung sejak jaman Koresh lalu terus menguat ketika Romawi menjadi sekutu keluarga Hasmonean. Orang yahudi dibenci oleh orang Yunani-Romawi sebab mereka dapat mengakses fasilitas dan hidup layak sama seperti orang Yunani-Romawi tanpa perlu melakukan kewajiban yang sama. Ditambah dengan kecenderungan Kaisar-kaisar Romawi yang meski berganti-ganti tetap saja membela orang yahudi membuat kebencian orang yunani semakin menjadi-jadi. Hak istimewa itu meliputi diperbolehkan melaksanakan hukum Sabat, tidak melakukan kegiataan keagamaan kekaisaraan, boleh membayar pajak kepada Bait Allah di Yerusalem dan bahkan mendapatkan otonomi terbatas untuk menegakan hukum (politeuma) Yudaisme di Sinagoge. Lih. Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial, 50-51.

33 Bentrokan ini terjadi jelas dalam dua aspek yang berkaitan yaitu: Sosio-politik dan Sosio-religius.

Kecemburuan sosial nyata dalam pogrom dan resistensi keagamaan nampak dalam perlawanan dekrit Kaligula yang sangat “menyakiti” hati orang Yahudi. εenurut saya, motivasi perlawanan terhadap pogrom yang jelas muncul sebagai reaksi mempertahankan “pemberian Romawi” sebagai keberhasilan lobi politik tentu berbeda dengan perlawanan terhadap dekrit Kaligula. Identitas keagamaan Yudaisme bukan “pemberian Romawi.” Namun resistensi itu juga bukan hanya soal ortodoksi. Ia merupakan peneguhan kemerdekaan politik secara religius yang saya kategorikan sebagai Hak Milik. Mengapa hak milik kemerdekaan politik secara religius sangat penting? Sebab, orang Yahudi begitu percaya bahwa YHWH tidak mengijinkan mereka dipimpin oleh orang Kafir. Penjajahan atas mereka hanyalah teguran YHWH karena mereka lalai menjalankan hukum Tuhan. Dalam pada itu kemerdekaan religius berkaitan erat dengan dinantikanya “Hari YHWH” atau datangnya εesias untuk membebaskan mereka dari teguran. Ortodoksi bukan tujuan pada dirinya sebab jika mereka tidak mampu menjaga kemerdekaan religius maka sama saja melepaskan peluang hidup bebas untuk kembali mendirikan kedigdayaan kerajaan Daud. Gagasan untuk menjaga ortodoksi sebagai implikasi teguran YHWH itu sangat ditekankan oleh golongan Parisi yang ternyata ialah pemimpin sinagoge Anthiokhia Bnd. Jeffrey J. Butz, The Secret Legacy of Jesus: the Judaic teachings that passed from James the Just to the founding fathers,(Inner Tradition/Bear & Co., 2009), 281; F. F. Bruce, History; Alan Richardson, Political Christ, (Philadelpia: Westminster Press, 1973).


(18)

10

mereka secara politik, tetapi juga memberikan pengaruh kepada tatanan beragama dalam komunitas mereka sendiri. Melalui kejatuhan dengan demikian berakhir juga otoritas Bait Allah di Yerusalem. Pasca penghancuran yang dilakukan oleh Titus pada 70 ZB membuat kekuasaan dalam urusan keagamaan komunitas Yahudi di diaspora menjadi wewenang sektoral di masing-masing Sinagoge.

Perlu dicatat bahwa pergeseran otoritas keagamaan ke sinagoge sesungguhnya secara terbatas membuat mereka tetap memiliki kekuasaanya sendiri, meskipun pada masyarakat kota Anthiokhia mereka tidak lagi menikmati keleluasaan. Atas otoritas itu perselisihan dengan orang Yunani-Romawi di Anthiokhia terus berlanjut namun lebih banyak terjadi di dalam sinagoge. Perselisihan tersebut nampak ketika orang-orang Yunani mulai masuk ke dalam komunitas. Terjadi perdebatan apakah mereka harus menjalankan hukum Yahudi terutama sunat dan makanan halal atau tidak. Akan tetapi hal terpenting dari pergeseran itu bukan terletak pada bagaimana orang Yahudi mulai menerapkan standar tegas terhadap hukum mereka, namun terletak pada: apa motif dari kekuasaan itu mereka pergunakan? Merujuk pada Groenen, ia menegaskan bahwa akibat dari bergesernya otoritas keagamaan tersebut membawa dampak yang tidak menyenangkan bagi orang Kristen di Antiokhia, yaitu penindasan oleh Sinagoge terhadap

mereka.35

3 Memahami Kembali Matius 2:1-18

Melalui bantuan pendekatan hermeneutik yang secara khusus menyoroti teks dalam kerangka sosio-politiknya, maka narasi Matius 2:1-18 memberikan sekurang-kurangnya tiga pemahaman teologis yang memperluas horizon berpikir pembacanya. 3.1Mesias yang selamat dari pembantaian adalah tanda penolakan Tuhan terhadap

dominasi status quo.

Gelar Mesias yang redaktur Matius tempelkan pada mulut Herodes di ayat ke-4 menjadi kata kunci yang menunjukan posisi komunitas Matius yang berbeda dengan

kelompok status quo Yahudi. Teks secara eksplisit menunjukan bahwa Para Majus

sebagai tokoh yang muncul pertama menyinggung perihal kelahiran Yesus (ayat 1-3) justeru tak sekalipun menyebut gelar Sang Bayi sebagai Mesias (ayat 2). Sebutan dalam

ayat 2 yang para εajus berikan ialah “Raja ηrang Yahudi itu: ὁ α ὺ ῶ

Ἰ ο αί ω ” ( α ὺ menjadi penanda identitas khusus bayi Yesus).36 Istilah Mesias

35 Groenen, Pengantar, 90. 36

Kalimat dalam ayat ini lengkapnya έ ο · ποῦ ἐ ὁ ὶ α ὺ ῶ Ἰο αί ω ν ἴ ο ὰ αὐ οῦ ὸ ἀ έ α ἐ ῇ ἀ α ο ῇ αὶ ἤ ο π ο ῆ α αὐ ῷ. LAI nampaknya keliru


(19)

11

sendiri baru kemudian muncul manakala Herodes menanyakan perihal kelahiran Yesus kepada pemuka agama Yahudi (ayat 4).

Pemilihan gelar ὁ α ὺ yang ditempelkan ke mulut Para Majus oleh

redaktur Matius ialah jelas berbeda dengan ὁ ὸ yang ditempelkan ke mulut

Herodes Agung meskipun merujuk pada subjek yang sama, yaitu Yesus. Terma ὁ

α ὺ ialah istilah Yunani bagi Raja tetapi tak memiliki nuansa berarti dalam

kosmologi Yudaisme. Berkebalikan dari itu ὁ ὸ 37 justru memiliki makna spesifik

dan sarat nuansa dalam Yudaisme. Ada hal penting yang coba disampaikan oleh redaktur Matius dari distingsi ini.

Yosephus memberikan catatan yang sangat berharga perihal gelar “raja orang

Yahudi (ὁ α ὺ ῶ Ἰ ο αί ω ).” εenurutnya gelar raja orang Yahudi ialah tanda

yang diberikan oleh Senat Romawi kepada Herodes Agung ketika mereka

mengangkatnya sebagai raja pada tahun 40 SZB.38 Craig Evans menafsirkan bahwa

tindakan para majus menyebut Yesus sebagai raja orang yahudi (ayat 2) ialah tindakan

sewajarnya sebab mereka hanya ingin menanyakan perihal suksesi Herodes Agung.39

Akan tetapi persoalan yang serius ialah narasi ini sulit dipercayai sungguh-sungguh

faktual secara historis.40 Dengan memperhatikan distingsi antara gelar raja orang yahudi

dengan gelar mesias yang muncul dalam tokoh-tokoh pada teks maka saya justeru melihat kencederungan lain. Redaktur Matius secara sengaja ingin menunjukan bahwa Herodes Agung bersama para Pemuka Agama Yahudi yang berhasil merumuskan perihal

identitas Yesus secara tepat sebagai Mesias merupakan personifikasi status quo Yahudi.

Tidak hanya menjadikan Herodes Agung dan Pemuka Agama Yahudi sebagai

personifikasi kelompok status quo, melalui narasi ini penulis Matius sekaligus

menyerang mereka.

Gelar raja orang Yahudi seharusnya milik Herodes Agung tetapi dengan munculnya gelar itu disebut oleh para majus maka hal ini menurut saya jelas merupakan sebuah sinisme. Hal tersebut saya argumentasikan sebab penulis Matius menempatkan Herodes Agung dalam posisi yang sangat ironis. Berdasarkan tafsir Evans maka Herodes lah yang jelas-jelas bergelar raja orang Yahudi sehingga seharusnya ia dapat langsung memberikan klarifikasi kepada para majus perihal suksesinya. Tetapi yang nampak ialah menerjemahkan έ ο ·dengan “bertanya-tanya.” Kata yang sesuai dengan bahasa Yunani έ ο · ialah “berkata (to speak). εaka sebenarnya para majus lebih cenderung mendeklarasikan kelahiran Raja Yahudi.

37 Dalam terjemahan Ibraninya yaitu Mesias (Massiah dari bentuk Massah) keduanya berarti Yang Diurapi. 38 Yosephus, Jewish War, 1.282.

39 Craig Evans, Matthew, (New York: Cambridge University Press, 2012), 53.

40 R. T. France menegaskan bahwa tak ada laporan sekunder di luar injil yang dapat mengkonfirmasikan

historisitas kunjungan itu. Lih. R. T. France, The Gospel of Matthew (Michigan, Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2012) Kindle Version.


(20)

12

justru Herodes Agung seperti seorang bodoh yang tak menyadari bahwa dia sendiri yang adalah raja orang Yahudi itu. Herodes Agung digambarkan seperti tak punya petunjuk apakah benar ada pengganti dirinya yang baru saja lahir.

Warren Carter mengajukan pendapat bahwa respon Herodes Agung yang begitu saja rela mencarikan informasi lebih jauh bagi para majus (ayat 1-6) perlu dilihat dalam kerangka pikir bahwa para majus ialah astrolog yang biasa diminta menjelaskan arti

kemunculan tanda alam (seperti bintang) dan relasinya dengan kekuasaan.41 Pandangan

Carter itu bersesuaian dengan Craig Keneer yang secara eksplisit berani mengatakan bahwa para majus ialah astrolog kerajaan Persia yang memiliki peran politik sangat

penting.42 Ada tafsiran yang menyebut para majus ialah raja-raja yang bangsa kafir

sehingga dimengerti sebagai jalan soteriologi untuk menjangkau bangsa-bangsa di luar Yahudi. Namun tanda bahwa mereka melihat bintang ialah petunjuk lebih jelas mengenai tujuan disebutkannya tokoh ini oleh redaktur Matius.

Persoalanya apakah bintang raja orang Yahudi itu (ayat 2) ialah bintang per se?

Anggapan tersebut dipersoalkan oleh Howard Clarke dengan mengatakan bahwa jika benar bintang tersebut muncul lalu tidak masuk akal jika Herodes Agung tak

melihatnya.43 Umumnya para pakar memandang bahwa bintang ( ὸ ἀ έ α, ayat 2)

dikutip redaktur Matius dari Bilangan 24:17 dan menautkan kisah penglihatan Bileam tentang bintang Daud pada kisah kelahiran Yesus. Hal ini menunjukan indikasi bahwa terjadi pemenuhan dari apa yang dikisahkan dalam perjanjian lama.

Namun hal yang saya catat ialah redaktur Matius sedang dalam perjuangan mendapatkan pengaruh melawan pihak yang merasa secara yuridis berwenang atas penetapan ajaran Yudaisme. Pemenuhan kisah perjanjian lama dalam rentang waktu ketika komunitas Matius hidup baru dapat dikonfirmasikan bukan oleh sekte ini tetapi

oleh otoritas Yahudi di Sinagoge yang notabene lawan mereka.44 Maka dari itu saya

mengira bahwa redaktur Matius ingin menelanjangi posisi penguasa Sinagoge yang tak benar-benar paham tradisi Yudaisme melalui upaya menegaskan status Yesus sebagai

Mesias.45

41

Warren Carter, Matthew and the Margins,74.

42 Craig S. Keener, A Commentary on the Gospel of Matthew (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.,

2013). 100.

43 Clarke, The Gospel of Matthew, 18. 44

Pasca penghancuran Bait Allah ketika terjadi penumpasan pemberontakan Yerusalem otoritas Yudaisme berpindah ke masing-masing Sinagoge. Akan tetapi Saldarini menunjukan bahwa Komunitas Matius tidak menerima otoritas itu bahkan menganggap bahwa model di masing-masing Sinagoge perlu diatur ulang. Lih. Saldarini, The Gospel, 52.

45 Masa pasca Bait Allah (Post Temple) ialah masa dimana para Rabi Yahudi di Sinagoge-sinagoge mulai

menafsir ulang Yudaisme agar sesuai dengan kondisi kehidupan mereka. Dalam paham itu saya menduga bahwa Redaktur Matius sedang berupaya sekuat tenaga melawan tafsir baru para Rabi (mungkin sekali dari Golonga


(21)

13

Dengan menautkan tradisi Yudaisme tentang kisah bintang Daud seperti yang para ahli katakan dan dengan menempelkan gelar raja orang yahudi pada mulut para majus maka apa yang saya sebut sebagai sinisme menjadi lebih jelas. Redaktur Matius menempatkan para majus yang ialah personifikasi komunitas Matius sebagai pihak di

luar status quo Sinagoge yang justru lebih ketat dan peka terhadap tradisi Yudaisme

dalam hal melihat pentingnya kehadiran Yesus yang sudah terjadi di dunia.46

Perihal kelahiran Mesias ke bumi apabila merujuk pada teks rupanya bukanlah

suatu kabar gembira bagi kelompok status quo. Pemilihan kata ἐ α ά 47 yang

muncul di ayat ke-3 oleh redaktur memberikan kesan kuat bahwa Yesus yang sudah lahir

ialah sebuah masalah bagi kelompok status quo. Anggapan bahwa Yesus menimbulkan

masalah oleh kelompok status quo dipertegas melalui keengganan mereka untuk

mengakui bahwa Mesias telah lahir. Redaktur Matius menggunakan kata ᾶ α48

yang menunjukan kelompok status quo tak setuju dengan klaim kelompok Matius

tentang ke-mesias-an Yesus.

Ketidaksetujuan itu juga nampak dari disebutkannya Bethlehem (ayat 1) sebagai tempat kelahiran Yesus dan Yerusalem (ayat 3) sebagai tempat yang menolak kelahiran Yesus. Seisi Yerusalem menanggapi kabar bahwa Yesus Sang Mesias sudah hadir di dunia sebagai masalah. Yerusalem ialah pusat kekuasan atau dalam hal ini menjadi

lambang sistem kekuasaan status quo yang mana enggan mengakui bahwa Yesus benar

Mesias. Melalui pengecekan tradisi Yudaisme dalam diri Herodes Agung dan para pemuka agama Yahudi (4-6), redaktur Matius sekaligus menyerang mereka sebagai pemegang otoritas keagamaan yang tidak paham mengenai tradisi Yudaisme itu sendiri.

Pharisi) untuk menjadi pegangan bersama Komunitas Yahudi di Anthiokhia. Tradisi tentang Midrash membantu membentuk pemahaman ini. Lih. Brian M. Nolan, The Roayal Son of God: the Christology of Matthew 1-2 in the Setting of the Gospel (Gottingen: Universtaries Fribourg, 1979), 52-58. Bnd. Robert M. Prince, New

Testament Narative as Old Testament Midrash dalam

http://www.robertmprice.mindvendor.com/art_midrash1.htm, diakses 8 November 2014.

46

έ ο ialah kata kerja aoris geniitif pasif yang tak hanya menunjukan penegasan tetapi juga sekaligus menujukan tindakan yang sudah pernah terjadi. Artinya penegasan bahwa Raja orang Yahudi sudah pernah dilahirkan. Kata ini juga menjadi penegasan tentang status kemesiasan Yesus.

47

Kata ἐ α ά dari bentuk kata α ά ω kurang tepat jika diterjemahkan dengan “terkejut.” Kata itu berarti: meresahkan, mengacaukan, menganggu, atau menakutkan. Terjemahan King James Version (KJV) “troubled (menyusahkan)” menurut saya jauh lebih memadai dibandingkan terjemahan dalam TB-LAI. Untuk keperluan tulisan ini maka saya menggunakan kata “mengganggu” sebagai ganti kata “terkejut.”

48

Kata ᾶ α (kata kerja present indikatif pasif untuk orang ketiga tunggal dari bentuk άω) berarti “sedang dilahirkan.” Dalam narasi εatius pasal β kata ini berbeda kasusnya dengan kata yang sama di ayat 1. Kata ini menunjukan pemahaman bahwa kegiatan Mesianik masa terus berlangsung. Berbeda dengan kelompok Matius yang percaya nubuatan mesianik sudah terjadi dalam diri Yesus, kelompok Yahudi status quo menunjukan bahwa mesias bukan seperti yang dipikirkan kelompok matius. Saya menduga ini adalah jejak tentang model kubu status quo mendukung teologi Millitary Mesiah, sebab disekitar tahun 70-132 ZB model Millitary Mesiah muncul kuat sebagai gerakan pemberontakan.


(22)

14

Dengan menempatkan berturut-turut gelar mesias di mulut Herodes Agung, kontras antara Bethlehem dengan Yerusalem, penyelidikan dan afirmasi perihal kelahiran Mesias dari tradisi Yudaisme di mulut para pemuka agama Yahudi maka hal ini jelas menunjukan apa yang saya sebut di atas sebagai ironi. Upaya ini menunjukan bahwa

redaktur Matius menganggap kelompok status quo di Sinagoge tak lagi memiliki

legitimasi. Hal tersebut didasarkan pada ironi kelompok status quo yang tidak

benar-benar memahami isi ajaran Yudaisme manakala mereka tak mengakui Yesus sebagai Mesias padahal mereka ialah pemimpin agama.

Perseteruan antara kelompok Matius dengan kelompok status quo tentang

pengakuan Yesus sebagai Mesias sebenarnya merupakan masalah yang sentral. Bagi

kelompok status quo mengakui Yesus sebagai Mesias ialah sama dengan memberi

pengakuan akan kehadiran kelompok Yahudi yang menyimpang (Deviant Jews).49

Sedangkan pengkuan akan kelompok yang menyimpang ialah sama dengan membuka celah bagi perubahan yang radikal dalam diri komunitas Yahudi. Artinya memberikan ruang secara sosio-politik bagi komunitas Matius untuk hidup ialah pilihan yang

membunuh kelompok status quo. Maka tentu konsekuensi logisnya ialah dominasi atas

Yudaisme harus terus dilakukan.

Persoalan semakin rumit sebab komunitas Matius tidak merasa dirinya ialah bagian luar dari kelompok Yahudi. Mereka tetap yakin jika dirinya merupakan bagian dari kelompok itu. Dalam kesadaran semacam ini mereka berpretensi melakukan perubahan atas praktek lama yang tak benar. Anthony Saldarini menegaskan apabila komunitas Matius tidak sedang mencoba menciptakan sebuah masyarakat Agama Baru

tetapi tengah berupaya medelegitimasi kelompok status quo dengan membongkar

praktek Yudaisme mereka yang keliru.50

Kekeliruan kelompok status quo sebenarnya bukan semata berkaitan dengan

persoalan perbedaan pandangan antara mereka dengan komunitas Matius mengenai status Yesus sebagai Mesias. Akan tetapi juga terletak pada persengkongkolan kelompok status quo untuk menghancurkan komunitas Matius. Sebab secara sosio-politik kehadiran komunitas Matius ibarat duri dalam daging. Maka daripada duri itu terus melukai diri sendiri lebih baik segera disingkirkan. Jejak ini muncul kuat disepanjang ayat 4 dan 7 pada narasi. Tindakan Herodes Agung melakukan pertemuan terpisah dengan pemuka

49 Perihal telaah tentang Deviant Jews lihat Kai Ericson, Wayward Puritans: A Study in the Sociology of

Deviance (New York: Wiley, 1966) 3-5.


(23)

15

yahudi dan lalu melaksanakan pertemuan rahasia51 dengan para majus ialah bentuk

persengkongkolan demi dominasi status quo. Poin yang redaktur Matius angkat ialah

pendekatan kelompok status quo identik dengan sikap penguasa yang manipulatif dan

menindas.

Para majus setelah ayat 7 digambarkan sebagai pihak yang awalnya mengikuti

gerak manipulasi kekuasaan ala kelompok status quo dalam diri Herodes Agung. Sang

raja yang seolah memberikan ruang pada para majus dan mendengarkan pendapat mereka sebenarnya hanya tindakan manipulasi untuk menggali informasi guna menghancurkan Yesus dan para majus sendiri. Richard T. France menyebut peran para

majus dalam ayat 7-9 sebagai alat spionase sang raja.52 Artinya tujuan Herodes Agung

bertemu dengan para majus bukan pertama-tama demi mendengarkan apa yang para majus itu inginkan tetapi justru untuk memperalat mereka.

Ujaran Saldarini dan penjelasan France menurut saya sangat penting dalam memahami posisi komunitas Matius dalam konteks tidak ingin mengganti Yudaisme dengan suatu agama baru. Melalui kisah kelahiran Yesus, komunitas Matius menegaskan bahwa bentuk dominasi dalam kehidupan bersama tidak dapat diterima. Mereka tidak sedang bicara ortodoksi Agama Yahudi. Agama Yahudi yang dalam hal ini hanya

menjadi locus bagi suatu kehidupan bersama atau menjadi arena perebutan pengaruh.

Dengan ketiadaan tendensi membentuk locus baru maka komunitas Matius sebenarnya

tengah mencoba mempertahankan diri sebagai bagian dari kesatuan komunitas Yahudi umunya. Akan tetapi dengan suatu harapan bahwa hidup bersama itu dilakukan tidak dalam penindasan.

Penolakan paham tentang dominasi ini menurut saya muncul dalam suatu pernyataan teologis di sepanjang ayat 10-12. Hal yang sangat menarik ialah upaya persekongkolan untuk memperalat para majus agar dominasi dapat dilanggengkan justru digagalkan oleh Tuhan melalui mimpi para majus dan penyataan malaikat kepada Yusuf. Dalam kepolosanya para majus terjebak pada permainan kekuasaan Herodes Agung tetapi permainan itu tidak sampai selesai sebab Tuhan menggagalkannya di tengah jalan. Pada titik ini saya menduga redaktur Matius menegaskan bahwa Tuhan justru tidak

menghendaki model dominasi status quo yang menghalalkan praktek kekuasaan

manipulatif seperti yang dipraktekan kelompok status quo dalam diri Herodes Agung.

51τda dua kata kunci dalam pertemuan rahasia ini, yaitu “Secara rahasia ( ά ᾳ)” dan “memastikan secara

tepat (ἠ ί ω ).” Pertemuan ini terpisah dan tertutup bersifat rahasia antara Herodes τgung dengan para majus. apa tujuan pertemuan ini? Untuk memastikan dengan tepat apakah Yesus Mesias. Dalam hal ini untuk memastikan dampak dari status Yesus sebagai Mesias.


(24)

16

Tidak kembalinya para majus ke istana Herodes Agung lalu disambung pelarian Yusuf yang membawa serta keluarganya ke Mesir (ayat 12-15) menjadi indikasi redaktur

Matius ingin menyampaikan bahwa apa yang telah diupayakan oleh kelompok status quo

mengalami kegagalan sebab tak dikehendaki oleh Tuhan. Sambil memposisikan diri

sebagai komunitas yang mengupayakan tidak munculnya suatu locus hidup bersama

yang baru, redaktur Matius mengetengahkan gagasan bahwa Tuhan menghendaki suatu penyelenggaraan kekuasaan yang tak di dominasi oleh kubu yang tak lagi memahami benar perintah Tuhan dan yang melakukan praktek memperalat kekuasaanya untuk mendominasi sekaligus membungkam pihak yang berbeda. Dengan luputnya Yesus sang Mesias dari cengkraman sang penguasa Herodes Agung maka hal ini jelas ialah sindiran

redaktur Matius bahwa tidak ada basis moral religius lagi bagi dominasi kelompok status

quo sebab rencana brilian mereka untuk menegaskan kekuasaan telah digagalkan oleh

Tuhan sendiri.

Pada cerita pembantaian anak-anak oleh Herodes Agung (ayat 16-18) redaktur

Matius menunjukan bahwa praktek dominasi status quo tak kunjung berakhir.

Pembunuhan anak-anak dibawah dua tahun seperti yang Herodes Agung lakukan merupakan tanda betapa sang raja tak siap memiliki rival dan bertindak untuk

menyingkirkanya.53 Redaktur Matius dengan tepat meminjam tokoh Herodes Agung

yang memiliki karakter yang begitu cocok tentang ketidaksiapan penguasa menerima

adanya rival yang mengganggu dominasi mereka.54 Tabiat Herodes Agung tersebut

benar-benar mewakili cibiran redaktur Matius terhadap sikap bebal kelompok status quo

dengan tetap ingin dominan meski secara moral religius mereka dinilai telah benar-benar salah oleh redaktur Matius.

3.2Revolusi yang berdarah-darah bukanlah pilihan ideal dari perjuangan melawan dominasi status quo.

Sentralnya topik tentang Mesias pada narasi ini juga menunjukan bagaimana gagasan tersebut digunakan dalam perjuangan kelompok Matius. Ayat 15 dan 18 dalam narasi merupakan kutipan dari Hosea 11:1 dan Yeremia 31:15. Kutipan ini menurut saya digunakan redaktur untuk mendramatisir teks yang sebenarnya merupakan puncak dari

pengantar mengenai pertentangan kelompok Matius dengan kelompok Status quo. Cara

pengutipan semacam ini begitu populer oleh komunitas Yahudi pada masa pasca Bait

53 France, Herod, 105.

54 Jika saya membuat semacam tipologi maka ada dua Kelompok dalam narasi ini: (1) Para Majus, Yesus dan

keluarga-Nya ialah personifikasi langsung dari komunitas Matius. (2) Herodes Agung, para pemuka agama yahudi dan pasukan yang membantai anak-anak ialah kelompok status.


(25)

17

Allah untuk tujuan menggambarkan situasi hidup mereka yang kerap kali dalam

kelompok Yahudi dikenal sebagai bentuk Midrash.55

Richard T. France yang secara spesifik meneliti narasi pembantaian anak-anak

menyebut bahwa kisah itu tak lebih dari sebuah folklore.56 Cerita ini dikembangkan

terutama berada pada peran teks Yeremia 31:15 yang dikutip oleh redaktur Matius. Beberapa penafsir menjelaskan bahwa pengutipan teks Yeremia 31:15 ialah cara menautkan Yesus dengan Musa. Akan tetapi France membantah argumen tersebut. Ia berpendapat jika memang upaya Kristologi semacam itu dapat diterima maka ia

seharusnya juga muncul di injil lainya.57 Richard T. France sependapat dengan Jean

Dean Kingsbury, bahwa ada dua kemungkinan besar yang melahirkan teks pembantaian

ini, yaitu: (1) alasan apologetis; dan (2) alasan polemik.58

Dengan memberi ruang kepada pendapat Saldarini tentang konflik antara

kelompok Matius dengan kelompok status quo maka saya memandang jika teks tentang

pembantaian anak-anak sebagai klimaks cerita antara rivalitas Yesus Kristus dengan Herodes Agung terutama ditempatkan dalam tipologi Polemik seperti dalam teori France. Kedudukan teks yang lahir dari situasi problematis dan penuh polemik semacam itu membuat peran sentral Mesias dalam narasi menjadi jelas. Sebab jika tak begitu, saya melihat implikasi dari sentralnya Mesias dalam tulisan redaktur Matius sulit untuk dipahami.

Sebagai cerita yang lahir dari polemik, alasan Herodes Agung membunuh anak-anak setelah intensinya tak tercapai menjadi penting untuk ditelaah. Apabila diperhatikan dari teks maka penyebab dibantainya anak-anak seolah-olah oleh kemarahan Herodes

Agung karena diperdaya (ἐ νεπαί χ ) para majus (ayat 16). Menurut saya melampaui

kemarahan seperti disebutkan teks sebenarnya tindakan brutal Herodes Agung dipicu bukan oleh “keterperdayaan” an sich melainkan tak tercapainya kalkulasi politik tentang Mesias. Meski Herodes Agung nampak begitu tertarik bahkan disebutkan ingin menyembah Mesias (ayat 8) namun intensinya terhadap bayi Yesus sebenarnya ialah jelas berkaitan dengan status Sang Bayi sebagai Mesias.

F. F. Bruce menjelaskan dengan baik perihal makna Mesias dalam alam berpikir orang Yahudi. Mesias bukan hanya persoalan gelar semata namun melampui itu ia

adalah sebuah tanda pengharapan (the Messianic Hope) di mana terpenuhinya Hari

55 Pendapat bahwa narasi Matius ialah Midrash datang dari McNeile seperti dikutip Frederick D. Bruner,

Matthew A Commentary (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co. 2004), Kindle Version.

56 R. T. France menjelaskan kemungkinan narasi pembantaian diambil dari model tradisi yang berkembang

umum dalam Komunitas Yahudi, yaitu: kisah hidup Musa, Abraham dan Yakub. Lih. France, Herod, 105-108.

57

France, The Gospel, Kindle Version.


(26)

18

YHWH dan sekaligus kebangkitan kembali kedaulatan kerajaan wangsa Daud.59 Ada

beberapa jenis Pengharapan Mesias namun yang paling banyak berpengaruh di masa

penjajahan Romawi manakalah komunitas Matius diduga hidup ialah Millitary

Messiah.60 Model Millitary Messiah banyak menginspirasi pemberontakan kelompok Yahudi terhadap kekuasaan Romawi dengan melalukan perlawanan fisik (kerusuhan,

perampokan bahkan perang) yang oleh Imperium Romanum sering dikategorikan sebagai

aksi teror. Dibawah panji Pax Romana maka aksi teror semacam ini tidak akan

ditoleransi dan bahkan akan ditumpas habis melaui pedang Legiun.61

Jika saya menganalisis narasi maka redaktur Matius cenderung menolak model Millitary Messiah. Saya menduga sebab penolakan itu karena pemberontakan a la Millitary Messiah nyata-nyata menemui kegagalan besar manakala Yerusalem dihancurkan oleh Jenderal Titus tahun 70 ZB. Harga yang harus dibayar oleh bangsa

Yahudi atas pilihan untuk mendahulukan model Millitary Messiah sangat mahal. Pasca

penghancuran Yerusalem beserta Bait Allah bangsa Yahudi diusir dari tanah mereka sendiri dan dampaknya bagi mereka yang berada di diaspora ialah dicabutnya oleh otoritas Romawi atas berbagai hak istimewa yang telah lama dinikmati.

Munculnya Herodes Agung yang merasa Mesias ialah rivalnya (sepanjang ayat 1-18) dapat memberikan jejak bagi pemahaman di atas. Stefan Leeks menafisrkan bahwa gelar orang Yahudi yang disebut para majus ialah untuk mengantipasi bahwa Yesus

Kritus tidak diterima penguasa.62 Mengenai nyawa Yesus yang diincar Herodes Agung

(ayat 13-15) Leeks memberikan komentar yang sangat baik. Ia menilai bahwa introduksi pada genealogi Yesus sebagai keturunan Daud memberikan legitimasi kuat bahwa Ia

pewaris sah kerajaan Daud sehingga membuat Herodes Agung panik.63 Artinya

mengikuti pola Messianic Hope maka Yesus ialah yang dapat dipercaya sebagai Mesias

yang akan menegakan kembali supremasi kerajaan Daud dari tangan Herodes Agung. Secara sosio-politik ini adalah tanda akan terjadinya Revolusi Mesias yang mana membuat orang-orang Yahudi bangkit melawan Romawi melalui kelahiran Yesus.

59

F. F. Bruce, New Testament, 116.

60 (1) Davidic Messiah (muncul pasca pendudukan Babilonia yang mana berpusat pada janji bahwa kerajaan

Daud yang jatuh akan dibangun lagi dengan lebih hebat), (2) High-priesthood Messiah (muncul pada jaman Hasmonean), (3) Priestly-Royal Messiah (diajukan oleh Komunitas Qumran), (4) Millitary Messiah (muncul dan mendominasi sebagai ekstrim baru dari Davidic Messiah yang begitu mengharapkan keturunan Daud memimpin “pelepasan” umat Tuhan dari cengkraman Herodian atau Gubernur Romawi) dan (η) Spiritual Messiah (model yang menurut Bruce sebenarnya dipilih oleh Yesus namun baru disadari pada abad pertama Kekristenan). Lih. F. F. Bruce, New Testament, 116-127.

61 Benjamin Isaac, The Near East Under Roman Rules (Leiden:Brill, 1998), 377-379. 62

Leeks, Tafsir, 40.


(27)

19

Akan tetapi fakta sejarah berkata berkebalikan: sampai Yesus mati karena

disalibkan, Ia tak melakukan Revolusi dalam paham Millitary Messiah. Saya sepakat

bahwa sosok Yesus Kristus dalam narasi tak diterima oleh penguasa seperti yang Leeks kemukakan. Akan tetapi konsekuensi lebih jauh dari dampak garis keturunan Yesus Putra Daud yang membuat penguasa Yahudi panik agaknya ahistoris. Lagipula orang-orang Yahudi ternyata tidak semua bersepakat atau satu suara perihal memaknai keterjajahan mereka oleh bangsa-bangsa kafir dan termasuk memaknai perlawanan

terhadap penjajah.64 Agaknya Leeks tidak melihat kecenderungan redaktur Matius

sengaja membedakan sebutan untuk Yesus ini dalam diri Herodes Agung dan para majus. Maka mengenai rivalitas itu saya lebih memilih untuk melihat peran terma Mesias yang memiliki konsekuensi politik berkaitan dengan konteksnya pada polemik komunitas Matius.

Guna mengatasi celah historis terma Mesias dari rivalitas antara Herodes Agung dengan Yesus maka saya mengusulkan untuk mencoba memahami posisi redaktur Matius dalam perspektif penggunaan dua tokoh ini. Menurut saya redaktur Matius ingin

mengecam tradisi dalam komunitas yahudi yang begitu fantatik terhadap model Millitary

Messiah namun disisi lain menerima berbagai keistimewaan dari penjajah. Padahal keistimewaan itu malah menjamin komunitas Yahudi untuk tidak menista Tuhan dengan melanggar hukum mereka sendiri melalui kewajiban melakukan praktek-praktek kafir

yang ditetapkan Imperium Romanum bagi setiap wilayah kekaisaraan. Akan tetapi karena

fanatisme terhadap Millitary Messiah mereka justru kehilangan dispensasi sosio-politik

itu.

Komunitas Yahudi di Anthiokhia ikut terhisap dalam situasi perang di Yerusalem yang akhirnya ditumpas tahun 70 ZB. Komunitas Yahudi di Anthiokhia mengambil sikap melakukan pembentorakan dan mengakibatkan kerusuhan. Akibatnya Gubernur Anthiokhia mengerahkan pasukan untuk membasmi kerusuhan itu. Kecemburuan sosial yang diterima orang Yahudi atas hak eksklusif mereka membuat komunitas ini bukan

meredam konflik malah makin kukuh dalam resistensi Millitary Messiah sehingga makin

menambah ketegangan dengan orang-orang kafir di Anthiokhia.

Padahal menurut redaktur Matius terbebasnya Yesus Sang Mesias dari upaya

pembunuhan Herodes Agung yang takut kepada dampak Millitary Mesiah (mengikuti

tafsir Leeks pada konteks dalam teks) ialah tanda bahwa model itu bukan yang

64 Perihal perbedaan pandangan antar kelompok agama Yudaisme ini telah dijelaskan dengan sangat baik oleh

Gerd Theissen dalam karyanya “τku disuruh Pilatus.” Lih. Gerd Theissen, Aku disuruh Pilatus: Kisah penelusuran jejak Yesus dan masa -Nya (Jakarta:Gunung Mulia,1990).


(28)

20

diharapkan. Herodes Agung secara faktual ialah kaki tangan Romawi dan orang dekat Kaisar. Dengan menempatkan seolah Yesus Sang Mesias ialah pemberontak yang mencoba melawan otoritas Herodes Agung yang didukung Kaisar, redaktur Matius

kembali lagi menggunakan model sinisme untuk mengecam baik Imperium Romanum

maupun kelompok Status quo Yahudi yang mendukung pemberontakan. Dalam satu

pukulan redaktur Matius ingin menunjukan bahwa sosok Herodes Agung yang ialah mewakili dua kelompok penguasa itu telah salah kaprah mengenai kehadiran Yesus sebagai Mesias.

Sikap Romawi yang tak lagi ramah pada orang Yahudi merupakan tindakan salah kaprah bahwa seluruh kelompok Yahudi mendukung pemberontakan. Redaktur Matius ingin mengatakan bahwa Romawi salah memahami arti Mesias yaitu terbatas pada dan

identik dengan Millitary Mesiah. Padahal model itu hanya ekstrim dari salah satu bentuk

penafsiran tradisi Yudaisme. Dampak sosio-politik Millitary Mesiah tentu merupakan

dua hal yang berbeda dari keyakinan kepada Mesianic Hope. Di bagian lain dari narasi

mengikuti Lukas dan Markus redaktur Matius menunjukan bahwa sikap umum kelompok yahudi khususnya yang mengikuti ajaran Yesus ialah tak mendukung pemberontakan (bnd. Matius 22:21).

Sedangkan kelompok status quo di Antiokhia yang masih mendukung paham

Mesias Sang Liberator disentil oleh redaktur sebagai penganut paham ekstrim yang salah kaprah. Yesus Kristus yang lolos dari pembantaian menunjukan bahwa model perlawanan dengan kekerasan ialah tak realistis. Bahkan Tuhan sendiri tak menghendaki model pemberontakan berdarah-darah itulah sebabnya Yesus luput dari pembantaian. Maka posisi pemimpin Sinagoge Antiokhia yang cenderung mendukung agenda pemberontakan di Yerusalem tengah dipersoalkan oleh redaktur Matius.

Melalui teks pembantaian anak-anak (ayat 16-18) redaktur Matius menegaskan bahwa kekerasan hati untuk mendukung pemberontakan hanya melahirkan pembunuhan bagi orang Yahudi yang tak berdosa dan yang tak tahu menahu perihal pilihan politik para pemimpin Yahudi. Anak-anak yang dibantai oleh Herodes Agung ialah gambaran

karena kecerobohan pemimpin Yahudi65 membuat Imperium Romanum yang juga adalah

patron pemuka Yahudi sendiri membunuh orang-orang Yahudi yang tak bersalah dan

membawa kerugian bagi komunitas Sinagoge di Anthiokhia.

Pengutipan Yeremia 31:15 pada narasi pembantaian sebagai apa yang disebut R.

T. France floklore bukan untuk mengatakan bahwa kisah Yesus sama seperti Musa.

65

Anak Imam Sinagoge, yaitu M. Anthiokhus di Anthiokhia ialah pemimpin kerusuhan yang akhirnya ditumpas oleh Pasukan Gubernur Romawi. Lih. Staumbaugh & Balch, Dunia Sosia, 181.


(29)

21

Namun lebih kepada teknik mirip Midrash yang mengungkapkan penyelasan redaktur

Matius atas kehidupan komunitas Yahudi yang mana ia bagian dari dalamnya yang tengah menderita pasca Perang Yerusalem.

Penderitaan itu secara sosial jelas berat sebab dengan pilihan politik melawan Imperium Romanum maka apa yang Yosephus sebut sebagai kondisi komunitas Yahudi di Anthokhia hidup bahagia, mapan dan cukup kaya raya karena mereka sebagian merupakan anggota strata sosial tinggi tak lagi mereka nikmati seperti saat sebelum perang. Orang yahudi umumnya pasca perang Yerusalem dan kerusuhan dimusuhi oleh warga kota Antiokhia bahkan pernah muncul petisi untuk mengusir mereka keluar dari kota itu kepada Jenderal Titus manakala ia berkunjung ke sana pasca perang Yerusalem. Pada giliranya orang-orang Yahudi berada dalam pengawasan Gubernur Romawi yang mana kedudukan politik mereka yang semula cukup baik kini tak ada nilai tawar lagi. 3.3Penolakan Tuhan melalui diri Mesias terhadap kekuasaan politik a la Status Quo

menubuh dalam sebuah pranata sosio-politik.

Penyingkiran ke Mesir seperti yang muncul pada ayat 13-15 dalam narasi dapat

ditafsirkan sebagai sebuah alternatif atau jalan keluar.66 Setelah muncul nuanasa tegang

dan upaya dominasi kelompok status quo terhadap komunitas Matius (ayat 1-12) lalu

kemudian adanya nada protes dan penyelasan atas sikap mendukung pikiran ekstrimis, maka redaktur Matius mencoba memberikan sebuah gagasan bagi kelompok Yahudi di Anthiokhia secara umum. Gagasan itu ialah sebuah pemahaman tentang Mesias Baru

yang menggantikan cara pandang Millitary Mesiah yang telah cukup membawa petaka

bagi seluruh orang Yahudi di Anthiokhia.

Upaya redaktur Matius ini ialah sebuah kewajaran sebab P. J. Tierney mengungkapkan bahwa pasca kejatuhan Yerusalem muncul upaya dalam komunitas Yahudi untuk mengubah paradigma tentang Mesias sang liberator dengan menggesernya

dari model Mesias individual menjadi Mesias sebagai pranata sosial.67 Menurut Tierney

jika sebelumnya sejak jaman Hasmonean hingga Yesus hidup penekanan pada model seorang pejuang akan memimpin perang menjadi primadona di antara sebagian orang Yahudi maka pasca Bait Allah para rabi menegaskan bahwa Mesias ialah seluruh bangsa

Israel itu sendiri.68 Persoalanya apakah ide tentang mengembalikan kedigdayaan wangsa

66 Mesir ialah lambang yang sangat tepat sebab dalam tradisi Yahudi ia ialah tempat pelarian., Lih. Clarke, The

Gospel, 23-24.

67 P. J. Tierney, Theocracy: Can Democracy Survive Fundamentalism?: Resolving the Conflict Between

Fundamentalism and Pluralism, (iUniverse, 2012), 111.


(30)

22

Daud menghilang dalam kesadaran yang baru itu? Sejarah menunjukan hasrat untuk

kembali menjadi kerajaan tak kunjung hilang.69

Hal yang menjadi titik masalah umumnya orang-orang Yahudi masih tak berterima dengan kondisi kekalahan perang. Bahkan sejak perang tahun 70 ZB hingga Bar Kobha ditumpas tahun 132 ZB muncul terus-menerus mesias-mesias yang mengandalkan pemberontakan kepada Romawi. John Staumbaugh dan David Balch menulis bahwa pasca penghancuran Yerusalem, Romawi mengadakan pengawasan ketat terhadap potensi pemberontakan karena munculnya mesias-mesias dan bahkan seluruh

keturunan Daud diperiksa dan dianiaya olehlegiun.70

Penolakan model pemberontakan terhadap pemerintah romawi oleh redaktur Matius tak berarti ia sepakat pada penjajahan Romawi. Ialah Warren Carter seorang pakar yang secara baik meneliti perihal pergulatan sosio-politik redaktur Matius dan responya terhadap imperialisme Romawi mengatakan bahwa ada kaitan erat antara model narasi dengan respon Matius terhadap kekuasaan imperialis. Carter menunjukan

inkonsistensi mendasar dalam propaganda visi sosial Imperium Romanum yang dilawan

oleh komunitas Matius.71 Namun poin yang paling penting ialah catatan Carter bahwa

komunitas Matius tak dapat mengandalkan pemuka agama di Sinagoge sebab mereka merupakan bagian dari struktur kekuasaan imperialis karena mereka mempraktekan

cara-cara the Rulling Class72yang kontradiktif dengan agenda visi sosial Imperium Romanum.

Dalam hal ini Carter menunjukan bahwa tak ada beda antara penjajah besar Romawi dengan sikap para pemimpin agama Yahudi sebagai penjajah kecil yaitu hidup dalam

karakter the Rulling Class.

Sebagai gantinya mengutip Michael Mann, Luke Johson serta Rodney Stark,

Carter mengemukakan pola gerakan komunitas Matius yang melawan arus.73 Warren

Carter menegaskan bahwa redaktur Matius pada titik tertentu melalui ide utama

69

Hasrat untuk menegakan kembali kerajaan seperti masa Daud bahkan bertahan hingga tahun 132 saat pemberontakan Simon bar-Koshiba (Bar Kobha-Sang Putra Bintang) ditumpas habis Legion. Lih. Staumbaugh & Balch, Dunia Sosial, 22.

70

Staumbaugh & Balch, Dunia Sosial, 21.

71 Kekaisaran Romawi mengklaim universalisme dan kesederajatan dibawah Romawi di satu sisi namun di sisi

lain struktur sosialnya hirarkis, eksklusif, dan menolak orang dapat menjadi warga Romawi begitu saja. Warren Carter, Matthew & Empire (London, T&T Clark, 2008) 50.

72

The Rulling Class di Antiokhia ialah kelompok Aristokrat yang jumlahnya tak lebih dari 2% dari total populasi. Kelas ini menguasai hukum, sumber produksi, hidup hedonis namun tidak bekerja, sebab berkuasa secara sosial, ekonomi, keagamaan, dan politik. Lih. Carter, Matthew & Empire, 9-10, Bnd. Carter, Matthew & the Margins, 19-23.

73 Kelompok Matius mengusung praktek hidup bersama yang egaliter, univeral, mengalami desentralisasi,

perduli pada mereka yang teralienasi, kelaparan, tak memiliki harta, dan menjadi komunitas inklusif. Lih. Carter, Matthew & Empire, 50-51.


(1)

28

karena ide mesianik ialah lebih kepada suatu visi sosial.91 Maka dari itu praxis pembaca Matius untuk mendukung perjuangan yang berorientasi pada komitmen menegakan demokrasi di Indonesia ialah sama dengan menghadirkan spektrum-spektrum dari dalam diri Mesias. Sebab visi sosial mesianik telah inheren dalam ideal-ideal demokrasi. Lagipula visi sosial pada model mesianik dalam Matius 2:1-18 ialah nilai-nilai prinsip yang sifatnya universal melampaui batas-batas primordialismenya sendiri. Nilai itu adalah cocok untuk diterapkan bagi manusia manapun melampaui budaya, agama, suku, ras, golongan atau pun bangsa apapun sebab ia sesuai dengan prinsip martabat manusia. 4.3Landasan Biblis dalam hubungan sosio-politik dengan Sang Liyan.

Gerrit Singgih ditahun 1998 pernah menuliskan sebuah essai yang menunjukan salah satu batu sandungan bagi kehidupan di periode pasca reformasi khususnya yang dihadapi orang kristen Indonesia. Singgih menyebutnya sebagai sebuah cara pandang orang kristen Indonesia terhadap the others (Sang Liyan) khususnya Islam ada dalam bayang-bayang ketakutan Indonesia menjadi negara Islam.92 Bagi Singgih pengalaman panjang sejarah Kristen-Islam menyumbang baik bagi pembentukan paham yang keliru tentang sang liyan tersebut. Maka sudah sepantasnya penggalian kreatif sumber biblis dan kontekstual untuk menggantikan cara berpikir lama yang keliru itu diketengahkan. Singgih menegaskan bahwa paradigma yang menempatkan sesama sudah selalu antagonistik perlu ditinggalkan.93

Narasi rivalitas antara Herodes Agung dengan Mesias ialah model yang cukup baik untuk memberikan pemahaman tentang hubungan dalam modus vivendi antara dua kelompok. Sebagian orang kristen seperti kata Singgih hidup dalam islamophobia sedangkan dalam gerakan Islam Politik sejak awal kemerdekaan memang ada upaya mendirikan Indonesia dengan basis syariah. Pasca kerusuhan atas nama agama beberapa tahun yang lalu kini Indonesia memang belajar lebih baik dalam meningkatkan kesadaran tentang keberlainan antar manusia. Akan tetapi itu tak berarti sentimen saling benci dan menolak keberlainan sudah benar-benar hilang. Justru dengan masih adanya FPI misalnya maka sesungguhnya bagi sebagian orang beragama di Indonesia hidup dalam modus vivendi.

Artinya apabila warga negara Indonesia dalam ruang keterbukaan berekspresi seperti dijamin oleh sistem Demokrasi tidak diberikan landasan berpikir yang benar tentang dirinya, orang lain dan antar kelompok, maka keterbukaan itu ibarat menyimpan

91 S. P. L. Tjahjadi (ed.), Agama dan Demokratitasi, 134.

92 Gerrit Singgih, Iman & Politik dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 2004),17-20,

23-25.


(2)

29

baik-baik bom waktu konflik. Bom itu bisa saja tiba-tiba meledak sebab tak ada yang tahu bagaimana polarisasi hari demi hari meningkat dalam masyarakat majemuk di Indonesia.

Budi Hadirman menegaskan bahwa orang kristen memiliki kecenderungan fanatisme buruk yaitu heteropobhia. Sikap ini lahir persis dari kekerasan hati dan keenggangan melihat yang lain sebagai sesama manusia yang perlu diperlakukan penuh cinta kasih dan setara. Orang Kristen Indonesia dalam kehidupan demokratis ini perlu memandang sang liyan dalam perspektif visi sosial mesianik. Sebab jika tidak maka sesama dari agama yang berbeda hanya akan ditempatkan sebagai musuh sebagaimana yang sudah terjadi selama ini.

5 Penutup 5.1Kesimpulan

Tiga pokok teologis dari Matius 2:1-18 menjadi sumber inspirasi yang menegaskan betapa pentingnya pranata Mesianik hadir bagi umat manusia. Bertalian dengan hal tersebut maka sesungguhnya segala bentuk kekuasaan dominan dalam segala bentuk yang despotik, absolut, totalitarian, bahkan diktator juga manipulasi dengan memperalat pihak yang lemah sebagai kendaraan politik ialah tidak sesuai dengan iman kristen yang memercayai kehadiran mesias disepanjang abad dan tempat. Pranata yang dilaksanakan dalam kebengisan dan manipulasi semacam itu hanya akan mendatangkan campur tangan Tuhan untuk memberikan perlindungan bagi mereka yang dalam bahaya.

Redaktur Matius dengan jernih berani memahami kembali tradisi dan hukum agamanya. Ia juga mentranformasikan sumber-sumber Yudaisme sehingga tradisi lama itu bicara untuk tatanan hidup kekinian yang lebih manusiawi. Maka langkah yang ia lakukan tidak hanya saja semata-mata berimplikasi politis dalam upayanya menentang status quo namun melampaui itu juga telah hadir demi perbaikan kemanusiaan. Perlu disadari pula bahwa pranata mesianik yang mereka ajukan sama sekali bukan pranata sosial yang populer kala itu.

Dalam konteks NKRI maka pembaca Matius dan orang kristen Indonesia yang hari ini hidup pada era pasca modern sesungguhnya belajar dari pengalaman komunitas Matius yang menunjukan suatu model tanggungjawab iman yang perlu dinyatakan dalam praxis. Kristen Indonesia perlu untuk bergerak aktif dan tidak lagi memandang Mesias semata-mata sebagai fenomena eskatologis belaka, namun menyadari benar bahwa spektrum-spektrum Mesias perlu secara sadar dalam upaya kreatif dihadirkan pada aktivitas sosio-politik Indonesia. Dengan kata lain kristen Indonesia harus berani tampil


(3)

30

untuk mendialektikakan tanggungjawab iman mereka dalam pranata mesianik dengan kondisi riil dinamika sosio-politik Demokrasi di NKRI.

Dengan modal Demokrasi Pasca Reformasi sebenarnya secara khusus orang kristen Indonesia telah berada pada fase yang jauh lebih maju dan lebih beruntung jika dibandingkan dengan era komunitas Matius. Untuk itu partisipasi yang sistematis, masif dan terstruktur perlu dilakukan oleh orang kristen Indonesia dalam proses demokratisasi NKRI. Kecenderungan kristen Indonesia yang apolitik sudah seharusnya ditinggalkan dan digantikan dengan terjunnya orang kristen Indonesia dalam dunia sosio-politik Indonesia. Keterlibatan itu sebagai bentuk pelaksanaan visi sosial Mesias dan sekaligus mengambil tanggungjawab untuk bersama dengan sang liyan menciptakan kehidupan bersama tanpa dominasi apapun.


(4)

31

Daftar Pustaka

Balch, David (eds.). Social History of the Matthean Community: Cross Disciplinary Approaches (Minneapolis: Fortress Press, 1995).

Bosch, David J. Transformasi Misi Kristen: Sejarah teologi misi yang mengubah dan berubah, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006).

Bunte, Marco (eds.), Democratization Post-Suharto Indonesia (Oxon, 2009).

Butz, Jeffrey J. The Secret Legacy of Jesus: the Judaic teachings that passed from James the Just to the founding fathers,(Inner Tradition/Bear & Co., 2009).

Bruce, F. F. New Testament History, (London: Thomas Nelson & Sons Ltd, 1969).

Bruner, Frederick D. Matthew A Commentary (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co. 2004), Kindle Version.

Carter, Warren. Matthew & Empire (London, T&T Clark, 2008).

________. Matthew & The Margnis: A Sociopolitical and Religious Reading, (New York: Orbis Book, 2000).

Clarke, Howard W. The Gospel of Matthew and Its Reader: a Historical Introduction to the First Gospel (Indiana: Indiana University Press, 2008).

Coote, Robert dan Mary Coote, Kuasa, Politik & Proses pembuatan Alkitab: Suatu Pengantar, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004).

De Gruchy, John W. Agama Kristen dan Demokrasi: Suatu Teologi bagi Tata Dunia yang Adil (Jakarta:Gunung Mulia, 2003).

De Heer, J. Tafsir Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta: Gunung Mulia).

Drane, John. Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis (Jakarta: Gunung Mulia, 2005).

Drewes, B. F. Satu Injil Tiga Pekabar (Jakarta: Gunung Mulia,2000).

Ericson, Kai. Wayward Puritans: A Study in the Sociology of Deviance (New York: Wiley, 1966).

Evans, Craig. Matthew, (New York: Cambridge University Press, 2012).

France, R. T. The Gospel of Matthew (Michigan, Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2012) Kindle Version.

Groenen, C. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2006).

Hardiman, Budi. Di Dalam Moncong Oligark: Skandal Demokrasi di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2014).

Isaac, Benjamin. The Near East Under Roman Rules (Leiden:Brill, 1998).


(5)

32 Publishing Co., 2013).

Leeks, Stefan Tafsir Injil Matius (Yogyakarta: Kanisius, 2007).

Lefort, Claude. Democracy and Political Theory, (Cambrigde Polity Press, 1988). Lendering, Jona. King Herod the Great: Acient Warfare Magazine

Nolan, Brian M. The Roayal Son of God: the Christology of Matthew 1-2 in the Setting of the Gospel (Gottingen: Universtaries Fribourg, 1979).

Peter Walker, In Steps of Saint Paul, (Yogyakarta: Kanisius, 2013).

Richardson, Alan. Political Christ, (Philadelpia: Westminster Press, 1973).

Ring, Trudy & Robert Salkin (ed.), International Dictionary of Historic Places, (London: WIPIDE, 1995).

Schnackenburg, Rudolf. The Gospel of Matthew, (Wm. B. Eerdmans Publishing Co: Michigan, 2007).

Setyawan, Yusak B. Critical Approaches in New Testament Hermeneutics: A Draft (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2010).

Singgih, Gerrit. Iman & Politik dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 2004.

Stanislaus, Surip. Rahasia di Balik Kisah Natal 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2012).

Staumbaugh, John dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008.

Taylor, Justin. Asal Usul Agama Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2012).

Theissen, Gerd. Aku disuruh Pilatus: Kisah penelusuran jejak Yesus dan masa-Nya (Jakarta:Gunung Mulia,1990).

Tierney, P. J. Theocracy: Can Democracy Survive Fundamentalism?: Resolving the Conflict Between Fundamentalism and Pluralism, (iUniverse, 2012).

Tjahjadi, S. P. L. (eds.). Agama dan Demokratitasi: Kasus Indonesia (Yogyakarta:Kanisius, 2014).

Van Bruggen, Jakob. Kristus di Bumi: Penuturan kehidupan-Nya oleh murid-murid dan oleh penulis-penulis sezaman, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004).

Winnters, Jeffrey. Oligarki (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011). Yosephus, Jewish War

Disertasi

Dah, Ner. "Reading the Kingdom Teaching of Matthew from the Context of Myanmar," PhD diss., 2009.


(6)

33 Jurnal

France, R. T. “Herod and The Children of Bethlehem,” ζovum Testamentum Vηδ. XXI ζo. 2 (1979).

Website

Robert M. Prince, New Testament Narative as Old Testament Midrash dalam http://www.robertmprice.mindvendor.com/art_midrash1.htm.