5
Hal yang sama juga terjadi pada upaya untuk melacak identitas asli dari penulis injil ini. Siapa persisnya yang menulis tak dapat diketahui secara pasti. Ada yang menyebutnya
sebagai seorang pembina jemaat, seorang Yahudi yang menjadi Kristen yang berani mengecam orang Yahudi yang tak mau mengikut Yesus, seorang pelarian dari
Yerusalem, ataupun seorang dari generasi Kristen kedua yang misioner yang berbahasa Yunani.
12
Tidak ada satupun dari pendapat tadi yang menegaskan secara pasti siapa yang menjadi penulis injil Matius. Akan tetapi pada saat yang sama bermacam pendapat itu
juga tidak meneguhkan pandangan Papias bahwa penulis injil ini ialah Matius salah satu Rasul Yesus.
13
Melalui upaya rekonstruksi yang cermat para ahli juga mencoba merumuskan tujuan penulisan injil Matius. Sama seperti analisis sebelumnya, tujuan penulisan didapat
melalui telaah terhadap karakteristik dari teks itu sendiri. Salah satu hasil telaah itu dikemukakan oleh De Heer. Menurut De Heer, injil ini ada demi tiga tujuan utama yaitu:
1 Maksud
Apologetis
: menyatakan bahwa nubuatan di dalam Perjanjian Lama telah terpenuhi dan sekaligus membela status Yesus sebagai Mesias. 2 Maksud
Katekesis
: merujuk pada Grundmman bahwa injil ini bertujuan untuk menyampaian pokok-pokok
ajaran Kristen agar dimengerti dan demi mengajarkanya kepada orang lain. Hal itu nampak dari begitu banyak teladan Yesus yang dimuat oleh penulis injil. 3 Maksud
Parenetis
: untuk menegur jemaat Matius di Siria yang yang hidup tidak harmonis kasih diantara mereka telah dingin.
14
2.1 Anthiokhia
Para ahli menduga cukup kuat bahwa teks Matius ditulis di Anthiokhia. Kota ini ialah ketiga terbesar di kekaisaran Romawi yang berpopulasi lebih dari 500.000 jiwa
terdiri dari orang Siria, Yunani-Romawi, juga minoritas Yahudi yang. Pada tahun 300 SZB Anthiokhia didirikan oleh Seleukus I di dekat sungai Orontes berada jauh dari laut
dan terlindungi benteng alami yaitu Gunung Silpius untuk menghormati ayahnya sekaligus menampung para veteran perang Makedonia serta berfungsi guna menguasai
12
Para ahli umumnya bersepakat bahwa sangat sulit mempercayai Rasul Matius yang menulis injil ini. Alasan- alasan yang dikemukakan seperti: Jika benar Matius yang menulis maka ia tentu saksi mata lalu mengapa
seorang saksi mata perlu merujuk kepada teks Markus yang penulisnya bukan saksi mata? Juga bahasa yang Matius gunakan ialah Bahasa Aram bukan Bahasa Yunani padahal injil ini ditulis dalam bahasa Yunani. Lih.
Drewes, Satu Injil, 176; Bnd. Drane, Memahami, 219; Rudolf Schnackenburg, The Gospel of Matthew, Wm. B. Eerdmans Publishing Co: Michigan, 2007, 6-7.
13
Pandangan bahwa Matius sang Rasul sebagai penulis Injil Matius baru muncul belakangan pada abad II setelah injil Matius ditulis. Ialah Papias, seorang penulis dari Hireapolis yang menyatakan hal ini. Lih. Jakob
van Bruggen, Kristus di Bumi: Penuturan kehidupan-Nya oleh murid-murid dan oleh penulis-penulis sezaman, Jakarta: Gunung Mulia, 2004, 63-65.
14
J. De Heer, Tafsir Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, Jakarta: Gunung Mulia, 6-7.
6
jalur-jalur darat yang menghubungkan Asia Kecil, Mesir, tak ketinggalan Eufrat.
15
Dewi Tikhe Fortuna: Keberuntungan dipercaya menguasai nasib semua kerajaan Helenis,
menguasai kesuburan tanah, dan menguasai keamanan kota atas banjir serta gempa, dijadikan dewi kota oleh penduduk di sana. Anthiokhia ialah pusat intelektual yang besar
serta menjadi pusat perjalanan dan perdagangan yang sangat makmur serta merupakan ibu kota Provinsi Romawi gabungan Suriah dan Kilikia sehingga pada jaman Romawi
mendapat perlindungan langsung dari Kaisar.
16
Seorang Gubernur Romawi menjadi perwakilan Kaisar memerintah atas Anthiokhia. Ia bertugas menegakan hukum dan memelihara ketertiban umum masyarakat.
Namun ketertiban umum yang diupayakan berlangsung di Antiokhia berada dalam bayang-bayang: 1 tatanan masyarakat hirarkis
17
dan 2 demografi penduduk yang beragam budaya.
18
Dua hal ini sebenarnya membawa ancaman persoalan sosial bagi Gubernur Romawi di Antokhia. Pertama, potensi ancaman terletak pada pola piramida
kekuasaan politik terpusat pada golongan elit yang jumlahnya lebih sedikit dibanding masyarakat kebanyakan yang berada di luar golongan itu. Golongan elit itu menguasai
sendi-sendi ekonomi, hukum, dan mengatur kesejaterahaan yang akibatnya sendi-sendi itu terutama politik diatur menurut kepentingan mereka.
19
Dalam hal ini tercipta suatu tatanan sosial dalam bentuk kelas sosial yang tidak adil: golongan elit dan golongan
nonelit. Persoalanya ialah kondisi sosial ini melahirkan rasa saling benci antara kedua kelas sosial itu. Kedua, sebagai kota yang mempertemukan beragam identitas dan etnis,
Anthiokhia menyimpan potensi gesekan sosial manakala terjadi pertemuan dua atau lebih entitas yang saling bertolak belakang. Ner Dah mengutip Streeter menyebut kondisi itu
sebagai “τntagonisme Etnis” yang mana kota itu diliputi ancaman kejahatan dan konflik akibat percampuran orang-orang dari latar belakang etnis berbeda.
20
Akan tetapi meski menyimpan potensi konflik rupaya gubernur romawi mampu mengatasi gesekan sosial tersebut. Piramid kekuasaan itu menempatkan ia berada pada
puncak kelas sosial sedangkan dasar terendah ada pada golongan kecil termasuk budak.
15
Peter Walker, In Steps of Saint Paul, Yogyakarta: Kanisius, 2013, 43; Bnd. John Staumbaugh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula -mula, Jakarta: Gunung Mulia, 2008, 179.
16
Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial,180. Bnd. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah teologi misi yang mengubah dan berubah
, Jakarta: Gunung Mulia, 2006, 67.; Robert Coote dan Mary Coote, Kuasa, Politik Proses pembuatan Alkitab: Suatu Pengantar,
Jakarta: Gunung Mulia, 2004, 164.
17
Warren Carter, Matthew The Margnis: A Sociopolitical and Religious Reading, New York: Orbis Book, 2000, 20.
18
Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial,183.
19
Carter, Matthew The Margins, 18.
20
Streeter, The Four Gospel, dalam Ner Dah, Reading the Kingdom Teaching of Matthew from the Context of Myanmar, PhD diss., 2009. Menurut hemat saya, apa yang dikemukakan Streeter tidak berlebihan sebab
masalah sosial itu kemudian termanifestasi dalam gerakan pembasmian orang Yahudi di Diaspora.
7
Kekuasaan itu membuka peluang baginya untuk mendapatkan “dukungan” dari golongan di bawahnya demi tujuan yang ingin ia capai. Cara gubernur romawi mengatasi
kerusuhan yang terjadi dikemudian hari khususnya berkaitan dengan isu sektarian di τnthiokhia menunjukan betapa “tangan besi” romawi efektif meminimalisir konflik
terbuka.
21
Bersama para pejabat romawi dan anggota senat, gubernur selain memimpin legiun
juga mendapat dukungan dari para imam di kuil, para pegawai kekaisaraan, pengumpul pajak dll. dalam relasi patron-klien.
22
Kenyataan itu menunjukan hubungan transaksional yang sarat kepentingan politik sudah merupakan hal lumrah terjadi di
golongan masyarakat atas di Antiokhia. Pola relasi yang sangat rapuh karena didasarkan pada loyalitas semu yang dapat dibeli oleh kekuasaan.
2.2 Komunitas Sinagoge di Anthiokhia