PERSPEKTIF ASAS LEGALITAS TERHADAP KASUS SALAH TANGKAP DALAM KERANGKA HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

(1)

PERSPEKTIF ASASLEGALITASTERHADAP KASUS SALAH TANGKAP DALAM KERANGKA HUKUM ACARA PIDANA

INDONESIA Ade Suprima

Kesalahan yang terjadi dalam penangkapan (error in persona) menjadi hal yang sangat perlu menjadi perhatian karena berkaitan dengan hak seseorang untuk hidup bebas atau merdeka tanpa adanya pengekangan. Terjadinya kasus salah tangkap membuktikan bahwa asas legalitas masih belum dipahami oleh aparat penegak hukum, apabila seseorang yang ditangkap diduga melakukan pelanggaran hukum pidana namun faktanya tidak demikian maka hal ini terjadi memberikan penilaian yang kontradiktif terhadap asas legalitas. Institusi kepolisian memiliki kewenangan melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dalam wilayah hukumnya, namun dalam praktiknya masih sering terjadi kasus salah tangkap (error in persona). Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah perspektif asas legalitas terhadap kasus salah tangkap (error in persona) dalam hukum acara pidana Indonesia dan apakah upaya yang dapat diajukan bagi tersangka dalam hal terjadinya salah tangkap (error in persona) oleh penyidik Polri berdasarkan proses hukum acara pidana Indonesia.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap penyidik Polresta Bandar Lampung, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang dan Dosen bagian pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan mengkoreksi data, setelah data diolah yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.

Berdasarkan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Perspektif asas legalitas terhadap kasus salah tangkap (error in persona) dalam


(2)

merupakan suatu tindakan illegal (tidak sah), oleh karena itu dapat dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan-penyimpangan asas dalam hukum pidana. Penangkapan yang dilakukan penyidik dengan ketentuan adanya cukup bukti (bukti permulaan yang cukup) yang mengarah kepada seorang yang diduga melakukan tindak pidana. Apabila seseorang yang ditangkap diduga melakukan pelanggaran hukum pidana materiil sedangkan pada faktanya tidak demikian maka hal ini terjadi penyimpangan asas legalitas dalam hukum pidana metriil. Hal ini juga menjadikan lemahnya asas legalitas dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia. Upaya yang dapat diajukan bagi tersangka dalam hal terjadinya salah tangkap (error in persona) oleh penyidik Polri berdasarkan proses hukum acara pidana Indonesia antara lain Upaya pra peradilan, Upaya hukum banding dan kasasi, Upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, Permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi.

Adapun saran yang diberikan penulis yaitu agar penyidik dapat lebih teliti sehingga hasil dalam penyelidikan lebih matang jadi dapat meminimalisir terjadinya error in persona, selain itu Penyidik harus lebih berhati-hati dalam penyelidikan dan mencari data dalam kerangka menjaga prinsip kepastian hukum terkait dengan cermin asas legalitas terhadap kasus salah tangkap (error in persona), penyidik dalam menerapkan tugas penyelidikan dan penyidikan wajib memperhatikan asas legalitas, asas nesesitas dan asas proporsionalitas. Diharapakan agar penegak hukum tidak mempersulit tersangka dalam mengajukan upaya hukum pra peradilan, upaya hukum banding dan kasasi, upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi terhadap kasus salah tangkap (error in persona) sehingga dapat terwujud keadilan hukum.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana materiil, artinya apabila terjadi pelanggaran hukum pidanamateriil, maka penegakannya menggunakan hukum pidanaformil. Dengan kata lain, bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang bagaimana para penegak hukum serta masyarakat dalam beracara dalam proses peradilan pidana.

Rangkaian dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang disebut sebagai penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Apabila hasil dari penyelidikan tersebut penyelidik menyimpulkan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana (delict) maka statusnya akan ditingkatkan pada tahap penyidikan yang ditujukan untuk mencari bukti dan menemukan tersangkanya. Selanjutnya penyidik apabila telah menemukan bukti permulaan yang cukup dan mengarah kepada seseorang sebagai tersangkanya dapat melakukan penangkapan terhadap tersangka tersebut (Oemar Seno Adji, 1984: 23).


(4)

Penangkapan yang dilakukan penyidik adalah suatu bentuk wewenang istimewa yang diberikan oleh undang-undang namun tidak berarti dapat dilakukan dengan sewenang-wenang. Penangkapan merupakan suatu proses hukum yang sangat penting sebab akan berpengaruh terhadap tahap-tahap proses hukum selanjutnya. Oleh karena itu penangkapan harus dilakukan secara teliti, hati-hati dan cermat oleh penyidik. Berdasarkan Pasal 1 butir 20 KUHAP disebutkan bahwa:

“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara

waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Berdasarkan penjelasan tentang penangkapan dalam Pasal 1 butir 20 KUHAP di atas, pada hakikatnya penangkapan sama halnya dengan pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa guna kepentingan penyidikan atau penuntutan, namun hal yang harus diingat adalah bahwa penangkapan tersebut harus sesuai dengan cara-cara yang sudah ditentukan dalam KUHAP yakni pada Bab V bagian kesatu Pasal 16 sampai dengan Pasal 19. Penangkapan bisa dianggap sebagai bentuk pengurangan dari hak asasi seseorang, oleh karena itu tindakan penangkapan harus benar-benar diletakkan pada proporsinya yaitu hanya demi kepentingan hukum dan benar-benar sangat diperlukan (M. Yahya Harahap, 2002 : 157).

Proses penangkapan yang dilakukan penyidik Polri terhadap tersangka yang diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana bisa jadi mengalami suatu kekeliruan atau kesalahan-kesalahan yang bersumber pada human error yaitu


(5)

kesalahan penyidiknya dalam praktek di lapangan. Kesalahan dalam proses penangkapan mempunyai konsekuensi yang cukup besar karena kekeliruan tersebut bila tidak segera diperbaiki akan terus berlanjut pada tahap-tahap selanjutnya. Apabila terjadi kesalahan dalam proses ini sebelum perkaranya diputus oleh pengadilan maka tersangka atau keluarganya dapat mengajukan upaya praperadilan tentang ketidaksahan dari proses penangkapan tersebut sekaligus dapat menuntut ganti kerugian.

Bertolak dari uraian di atas, peran aparat penegak hukum menjadi sangat penting. Hal ini dikarenakan hukum acara pidana melegalkan setiap tindakan-tindakan dari aparat penegak hukum terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dengan merampas kemerdekaannya salah satunya adalah kesalahan dalam menangkap orang (error in persona) akibatnya akan menyebabkan terjadinya salah menuntut orang yang pada akhirnya berujung pada salah menghukum orangnya. Pada hakekatnya, setiap pengekangan seseorang adalah bentuk perampasan kemerdekaan, oleh karena itu pengekangan dalam penangkapan tersebut adalah perampasan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, tindakan pengekangan tersebut telah dilegalkan dengan syarat dan tatacara sebagaimana diatur dan tunduk pada peraturan yang melegalkan tindakan tersebut (M. Yahya Harahap, 2002 : 163).

Syarat untuk dapat dilakukan penangkapan tersebut di antaranya adalah dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berwenang yaitu penyidik, penyidik pembantu serta penyelidik atas perintah penyidik, dengan ketentuan adanya cukup bukti, dan dengan tata cara yang diatur oleh undang-undang. Dengan demikian penyidiklah


(6)

yang memegang peranan penting dalam penangkapan. Hal ini berarti, apabila tindakan penyidik yang melakukan penangkapan di luar syarat dan tata cara aturan yang berlaku, maka dapat dikatakan bahwa tindakan penangkapan yang dilakukan oleh penyidik tersebut tidak terpenuhi (tidak sah).

Konsekuensi atas tindakan salah tangkap (error in persona) tersebut adalahillegal (tidak sah), oleh karena itu dapat dikatakan sebagai bentuk penyimpangan-penyimpangan asas dalam hukum pidana. Penangkapan yang dilakukan penyidik dengan ketentuan adanya cukup bukti yang mengarah kepada seorang yang diduga melakukan tindak pidana. Apabila seseorang yang ditangkap diduga melakukan pelanggaran hukum pidana materiil sedangkan pada faktanya tidak demikian maka hal ini terjadi penyimpangan asas legalitas dalam hukum pidana metriil. Hal ini juga menjadikan lemahnyaasas legalitasdalam penegakan hukum pidana materiil. Adapun makna dari asas legalitas tersebut adalah “tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi (Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali)”. Apabila seseorang melakukan pelanggaran hukum pidana materiilsebagimana diatur dalam undang-undang, maka penegakannya menggunakan hukum pidanaformil. Seseorang yang ditangkap karena diduga melakukan perbuatan pidana namun pada faktanya tidak terbukti merupakan bentuk kesalahan serius oleh penyidik, karena hal ini menyangkut hak-hak seseorang dan penegakan asas-asas hukum pidana (Tri Andrisman, 2006: 54).


(7)

Beberapa kasus salah tangkap yang terjadi di Indonesia menjadi perhatian masyarakat dan telah menimbulkan dilematika tersendiri bagi aparat penegak hukum. Banyak sekali di media massa diberitakan mengenai kasus-kasus salah tangkap yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Seperti pada kasus salah tangkap Kemat dan Devid yang terjadi di Jawa Timur, itu merupakan pelajaran berharga bagi penegak hukum yang mana mereka dituduh sebagai pembunuh Asrori. Selain itu, kasus serupa juga terjadi di Kota Bumi, Lampung Utara yakni Roli bin Usman dan Wandi bin Sunari warga Kota Bumi yang dituduh melakukan pembegalan dan pembunuhan terhadap korban yang bernama Sariyun. Dalam kasus tersebut terjadi salah tangkap oleh aparat Polri, tersangka Roli dan Wandi sempat dianiaya oleh petugas kepolisian yang terjadi sejak proses penangkapan, yaitu pada tanggal 10 Juli 2010 di Baturaja Sumatera Selatan. Pada tanggal 2 dan 3 Mei 2011, Roli dan Wandi dibebaskan dari vonis 9 tahun. Karena tidak terbukti keduanya membunuh Sariyun, maka pengadilan Tinggi Tanjung Karang menganulir putusan Pengadilan Negeri Kotabumi yang sebelumnya memvonis mereka 9 tahun (www.kontras.org, akses 14 November 2011, 17.00 WIB).

Berdasarkan beberapa kasus di atas, kesalahan yang terjadi dalam penangkapan tersebut tentu menjadi hal yang sangat perlu menjadi perhatian, karena hal tersebut berkaitan dengan hak seseorang untuk hidup bebas atau merdeka tanpa adanya pengekangan. Status sosial dan stigma masyarakat juga kerap kali melekat pada orang yang pernah ditangkap meskipun orang tersebut belum tentu bersalah. Hal ini membuktikan bahwa asas legalitas masih belum dipahami oleh aparat penegak hukum, apabila seseorang yang ditangkap diduga melakukan pelanggaran hukum pidana materiil sedangkan pada faktanya tidak demikian


(8)

maka hal ini terjadi penyimpangan asas legalitas dalam hukum pidana metriil. Selain itu asas presumption of innocencent (praduga tak bersalah) juga masih belum dipahami dan disadari oleh penegak hukum dengan baik. Begitu pula asas akusatur yang menempatkan tersangka atau terdakwa bukan sekedar menjadi obyek pemeriksaaan namun sebagai subyek dengan hak-hak yang melekat padanya, oleh karena itu pengakuan tersangka atau terdakwa bukan lagi menjadi bukti terpenting seperti masa HIR dulu yang memaksa tersangka atau terdakwa untuk mengaku bahkan dengan cara memaksa menggunakan kekerasan (asas inkuisitor). Institusi kepolisian dimana penyidiknya memiliki kewenangan dapat melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dalam wilayah hukumnya mununjukkan bahwa praktik penangkapan langsung dilakukan oleh penyidik Polri, atau penyidik pembantu atas perintah penyidik yang berada dalam lingkup kepolisian (M. Yahya Harahap, 2002: 166).

Konsekuensi hukum dalam kasus salah tangkap yang terjadi di Inonesia seharusnya tidak hanya bagi pihak korban yang menjadi korban salah tangkap saja namum seharusnya demi memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat yang semestinya juga menjadi tanggung jawab dari penyidik. Tanggung jawab hukum dari penegak hukum dalam hal ini yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia mengacu kepada ketentuan dalam peraturan tentang Kepolisian yaitu dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. Isi dari undang-undang ini mengatur tentang fungsi, tugas dan wewenang dari anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai penegak hukum.


(9)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis hendak melakukan penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judul

“Perspektif Asas Legalitas terhadap Kasus Salah Tangkap dalam Kerangka Hukum Acara Pidana Indonesia”.

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah perspektif asaslegalitasterhadap kasus salah tangkap (error in persona)dalam hukum acara pidana Indonesia?

b. Apakah upaya yang dapat diajukan bagi tersangka dalam hal terjadinya salah tangkap (error in persona) oleh penyidik Polri berdasarkan proses hukum acara pidana Indonesia?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana khususnya hanya terbatas pada masalah perspektif asas legalitas terhadap kasus salah tangkap (error in persona)dalam hukum acara pidana Indonesia dan upaya yang dapat diajukan bagi tersangka dalam hal terjadinya salah tangkap (error in persona) oleh penyidik Polri berdasarkan proses hukum acara pidana Indonesia. Ruang lingkup penelitian skripsi ini adalah pada wilayah hukum Provinsi


(10)

Lampung khususnya pada Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung, Kejaksaan Negeri bandar Lampung, dan Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui perspektif asas legalitas terhadap kasus salah tangkap (error in persona)dalam hukum acara pidana Indonesia.

b. Untuk mengetahui upaya yang dapat diajukan bagi tersangka dalam hal terjadinya salah tangkap (error in persona) oleh penyidik Polri berdasarkan proses hukum acara pidana Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan perspektif asaslegalitas terhadap kasus salah tangkap dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia.


(11)

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka penegakan hukum pidana Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto,1986: 125). Adapun teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini adalah mencakup teori penegakan hukum pidana, teori asas-asas hukum pidana materiil dan formil, dan teori pedoman pelaksanaan hukum acara pidana.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia dan agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai tetapi dapat terjadi juga pelanggaran hukum. Hukum yang dilanggar harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi suatu kenyataan. Menurut Satjipto Raharjo (1980: 15)


(12)

dalam usaha menegakkan hukum terdapat tiga hal utama yang harus diperhatikan dan menjadi asas dasar hukum yaitu:

1. Kepastian Hukum(Rechtssicherheit) 2. Kemanfaatan(Zweckmassigkeit) 3. Keadilan(Gerechtigkeit)

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial yang menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakekat dari penegakan hukum.

Sehubungan dengan hakekat penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto (1986: 5) berpendapat bahwa:

“penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun pada kenyataannya di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu popular. Bahkan ada kecenderungan untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan perundangan-undangan atau keputusan-keputusan pengadilan, bisa terjadi bahkan justru mengganggu kedamaian dalam pergaulan hidup”.

Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti morilyang sempit maupun dalam artimateriil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan, maupun oleh aparatur penegak hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


(13)

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah alat negara sebagai penegak hukum, pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat dan institusi wakil masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas kepolisian. Berkaitan dengan hal itu, menurut Reksodiputro (2003 : 21) fungsi Polri adalah untuk menegakkan hukum, memelihara keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, mendeteksi dan mencegah terjadinya kejahatan serta memeranginya. Berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI menjelaskan bahwa fungsi polisi sebagai berikut:

a. Polisi menegakkan hukum dan bersamaan dengan itu menegakkan hukum yang berlaku, yaitu menegakkan keadilan dalam konflik kepentingan yang dihasilkan dari hubungan antara individu, masyarakat dan negara (yang diwakili oleh eakdilan sesuai daengn pemerintah), dan antar individu serta antar masyarakat;

b. Memerangi kejahatan yang mengganggu dan merugikan masyarakat dan negara;

c. Mengayomi warga masyarakat, masyarakat, dan negara dari ancaman dan tindak kejahatan yang mengganggu dan merugikan masyarakat dan negara, masing-masing merupakan sebuah sistem dan secara keseluruhan adalah sebuah sistem yang memproses masukan program-program pembangunan untuk menghasilkan keluaran berupa kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan. Dalam proses-proses yang berlangsung tersebut, fungsi polisi adalah untuk menjaga agar keluaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan menjaga agar individu, masyarakat, dan negara yang merupakan unsur-unsur utama dan sakral dalam proses-proses tersebut tidak terganggu atau dirugikan.

Fungsi penegakan hukum pada huruf a di atas dipertegas kembali dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 bahwa Polisi berwenang melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Pasal ini memberikan penegasan bahwa kedudukan Polri sebagai penyidik dalam tindak pidana memberikan wewenang dalam mewujudkan kepastian hukum.


(14)

Berkaitan dengan wewenang Polri dalam melakukan penyidikan maka KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik (opsporing/interrogation) dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan bahwa penyidikan itu adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Adapun mengenai Penyelidik berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP adalah orang yang melakukan penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Berdasarkan batasan tersebut dapat ditelaah bahwa tampak jelas hubungan erat tugas dan fungsi penyidik dan penyelidik. Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.


(15)

Selama penyidik melakukan penahanan terhadap tersangka, tersangka memiliki berbagai hak sebagai jaminan ditegakkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocencent) dalam KUHAP, maka KUHAP telah memberikan jaminan yang tegas mengatur tentang hak-hak tersangka. Namun dalam praktek yang sekarang terjadi yaitu penyidik Polri sering terjadi kasus salah tangkap (error in persona) saat mereka menjalankan tugasnya, hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak tersangka selama tahap penyidikan. Perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka menjadi lemah akibat error in persona oleh penyidik polri saat mereka menjalankan tugasnya. Lemahnya perlindungan terhadap hak tersangka tersebut tanpa disadari juga membuat lemahnya penerapan asas-asas hukum pidana materiil maupun formil dalam proses peradilan pidana (Andi Hamzah, 2009: 167).

Kesalahan yang terjadi dalam penangkapan (error in persona) tersebut tentu menjadi hal yang sangat perlu menjadi perhatian. Hal ini membuktikan bahwa asas legalitas masih belum dipahami oleh aparat penegak hukum, apabila seseorang yang ditangkap diduga melakukan pelanggaran hukum pidana materiil sedangkan pada faktanya tidak memenuhi unsur-unsur materiil sedangkan secara hukum pidana formil penyidik telah menetapkan seseorang tersebut sebagai tersangka sehingga dilakukan penangkapan maka hal ini terjadi penyimpangan asas legalitasdalam hukum pidanametriil.

Selain itu, dalam pelaksanaan hukum acara pidana setiap seseorang yang dihadapkan dalam proses peradilan pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan yang menyatakan bersalah dan memperoleh kekuatan hukum


(16)

tetap. Hal tersebut merupakan penjelasan asas presumption of innocencent (praduga tak bersalah) dalam hukum pidana formil. Namun dalam kasus salah tangkap (error in persona) yang terjadi menunjukkan bahwa masih belum dipahaminya dan disadari pentingnya asas tersebut oleh penyidik. Begitu pula asasakusaturyang menempatkan tersangka atau terdakwa bukan sekedar menjadi obyek pemeriksaaan namun sebagai subyek dengan hak-hak yang melekat padanya, oleh karena itu pengakuan tersangka atau terdakwa bukan lagi menjadi bukti terpenting seperti masa HIR dulu yang memaksa tersangka atau terdakwa untuk mengaku bahkan dengan cara memaksa menggunakan kekerasan (asas inkuisitor).

Secara teoritis dalam pedoman pelaksanaan hukum acara pidana Indonesia bertujuan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan berkehendak untuk menegakkan keadilan kepada semua warga negaranya tanpa kecuali. Namun demikian dalam pelaksanaan penegakan hukum khususnya hukum pidana kadang dijumpai kesalahan-kesalahan, seperti lembaga kepolisisan sebagai pintu gerbang untuk memperoleh keadilan namun dalam penangkapan seseorang terjadi kasus salah tangkap (error in persona).

Berdasarkan penjelasan pedoman pelaksanaan hukum acara pidana tersebut dapat ditelaah bahwa kesalahan dalam proses penangkapan mempunyai konsekuensi yang cukup besar karena kekeliruan tersebut bila tidak segera diperbaiki akan terus berlanjut pada tahap-tahap selanjutnya. Dalam pedoman pelaksanaan hukum acara pidana dijelaskan apabila terjadi kesalahan error in persona dalam proses ini sebelum perkaranya diputus oleh pengadilan maka tersangka atau keluarganya


(17)

dapat mengajukan upaya praperadilan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP. Upaya pra peradilan tersebut sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP yaitu pada Pasal 1 angka 10 merupakan hak bagi tersangka atau keluarganya dalam hal terjadi kesalahan error in persona. Adapun hak-hak taersangka tersebut dalam pelaksanaan hukum acara pidana sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP yakni pada Pasal 1 angka 10 diantaranya:

a. Hak untuk mengajukan praperadilan mengenai sah atau tidaknya suatu penangkapan (error in persona) dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tesangka;

b. Hak untuk mengajukan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Hak untuk mengajukan praperadilan mengenai permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti (Soerjono Soekanto,1986 : 132).

Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:


(18)

a. Perspektif

Perspektif adalah sudut pandangan terhadap suatu hal atau objek yang diamati dan ditelaah dalam suatu bidang kajian ilmu (M. Marwan, 2009: 67).

b. Asas legalitas

Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi (Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali) (Pasal 1 Ayat (1) KUHP).

c. Kasus (Strafzaken)

Kasus (Strafzaken) adalah suatu perkara atau perselisihan atau peristiwa yang menimbulkan/mengakibatkan sengketa atau konflik hukum (M. Marwan, 2009: 38).

d. Salah Tangkap (Error In Persona)

Salah Tangkap (Error In Persona) memiliki arti apabila terjadi kekeliruan mengenai kekeliruan terhadap orang yang ditangkap atau ditahan sedangkan orang yang bersangkutan telah menjelaskan bahwa orang yang hendak dimaksud penyidik bukanlah dia (M. Yahya Harahap, 2002 : 45).

e. Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana caranya negara dengan perantaraan alat-alat kekuasaannya menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman (P.A.F. Lamintang, 1997: 11).


(19)

Definisi lain menjelaskan bahwa hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana materiil, artinya apabila terjadi pelanggaran hukum pidana materiil, maka penegakannya menggunakan hukum pidana formil. Dengan kata lain, bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang bagaimana para penegak hukum serta masyarakat dalam beracara dalam proses peradilan pidana (Andi Hamzah, 2009: 9).

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan tentang asas legalitas terhadap kasus salah tangkap dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku


(20)

dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar dalam bab ini adalah menjelaskan tentang asas-asas dalam hukum pidana Indonesia, penangkapan dan penahanan, pengertian salah tangkap (error in persona), Pra-peradilan dalam hukum acara pidana Indonesia.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui perspektif asas legalitas terhadap kasus salah tangkap (error in persona) dalam hukum acara pidana Indonesia dan upaya yang dapat diajukan bagi tersangka dalam hal terjadinya salah tangkap (error in persona) oleh penyidik Polri berdasarkan proses hukum acara pidana Indonesia.

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah dibahas.


(21)

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno.1984. Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi. Erlangga. Jakarta.

Andrisman, Tri. 2006. Hukum Pidana, Asas-Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hamzah, Andi. 2009.Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. Harahap, M.Yahaya. 2002.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Jilid 2 (Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta.

Marwan, M. 2009. Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality Publisher. Surabaya.

P.A.F. Lamintang, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Reksodiputro. 2003.Hukum Kepolisian. Citra Aditya. Bakti. Bandung. Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Satjipto Raharjo. 1980.Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.

Keputusan Kapolri No.Pol: Kep/32/VII/2003 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Asas-Asas Umum dalam Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia

1. Asas-Asas Umum dalam Hukum Pidana Indonesia

Secara teoritis, menurut Simons (P.A.F. Lamintang, 1997: 11) menjelaskan bahwa:

“Hukum pidana adalah ketentuan yang memuat peraturan-peraturan dan rumusan-rumusan dari tindak pidana, peraturan mengenai syarat-syarat tentang bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri. Jadi, hukum pidana menentukan tentang bilamana seseorang itu dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan

bilamana hukuman tersebut dapat dijatuhkan”.

Berkaitan dengan teori di atas, dalam upaya penegakan hukum pidana di Indonesia maka dasar hukum pidana di Indonesia yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang merupakan dasar hukum umum dari seluruh peraturan perundang-undangan khusus. Undang-Undang ini dijadikan landasan dalam menjerat setiap pelaku tindak pidana.

KUHP berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukun Acara Pidana (KUHAP). KUHP mengatur mengenai tindakan-tindakan yang dilarang oleh hukum pidana dan hukumannya. Sedangkan KUHAP berisikan pedoman yang mengatur mengenai cara aparat penegak hukum dalam mengungkapkan suatu tindak pidana.


(23)

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, maka asas-asas penegakan hukum yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang pokok kekuasaan kehakiman, ditegaskan lagi dalam KUHP guna menjiwai setiap pasal atau ayat agar senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan penegakan hukum pidana di Indonesia. Secara ringkas asas-asas tersebut sebagai berikut:

1. Asas legalitas

Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi (Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali).

2. Asas Lex Certa atau Asas Bestimmtheitsgebot

Dimaksudkan sebagai kebijakan legislasi dalam merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (Nullum Crimen Sine Lege Stricta) agar terwujud kepastian hukum.

3. Asas Non Retroaktif atau Asas Lex Temporis Delicti

Menentukan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut(retroaktif)akan tetapi harus bersifatprospectif.

4. Asas Nullum Crimen, Nulla Poena Sine Lege Stricta

Tidak boleh menggunakan analogi di dalam menerapkan Undang-undang pidana.


(24)

5. Asas Nullum Crimen, Nulla Poena Sine Lege Scripta

Bahwa untuk memidana seseorang atau badan hukum harus berdasar atas hukum tertulis (written law), Suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam Undang-undang pidana.

6. Asas Territorial

Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia. Asas ini diperluas lagi bahwa aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap oarang yang di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam perahu Indonesia.

7. Asas Personalitas(Nasional Aktif)

Peraturan hukum Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia, yang melakukan tindak pidana baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

8. Asas Perlindungan(Azas Nasional Pasif)

Aturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan umum negara Indonesia, baik itu dilakukan warga negara Indonesia atau bukan, yang dilakukan di luar Indonesia.

9. Asas Universal

Peraturan-peraturan Hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana baik itu dilakukan di dalam negeri atau di luar negeri dan juga dilakukan oleh warga negara sendiri ataupun warga negara asing.


(25)

2. Asas-Asas Umum dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Secara teoritis, menurut Simons (P.A.F. Lamintang, 1997: 11) menjelaskan bahwa

“hukum acara pidana adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana caranya negara dengan perantaraan alat-alat kekuasaannya menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman. Jadi, hukum acara memuat ketentuan beracara pidana (hukum acara pidana)”.

Berkaitan dengan teri tersebut, Andi Hamzah (2009: 9) memberikan definisi bahwa:

“Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana materiil, artinya apabila terjadi pelanggaran hukum pidana materiil, maka penegakannya menggunakan hukum pidanaformil. Dengan kata lain, bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang bagaimana para penegak hukum serta masyarakat dalam beracara dalam proses peradilan pidana”.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hukum acara pidana di Indonesia maka dasar hukum acara pidana di Indonesia yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). KUHAP berisikan pedoman yang mengatur mengenai cara aparat penegak hukum dalam mengungkapkan suatu tindak pidana, maka dalam KUHAP guna menjiwai setiap Pasal atau Ayat agar senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia memiliki asas-asas antara lain:


(26)

1. Asas equality before the law

Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak membedakan latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan, dan sebagainya.

2. Asas legalitas dalam upaya paksa

Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus dengan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang dan dengan cara sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.

3. Asas presumption of innocence

Setiap orang yang disangka, ditangkap ditahan dan/atau dituntut dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

4. Asas remedy and rehabilitation

Ganti kerugian dan rahabilitasi bagi seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang sah, atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, dan konsekuensi sanksi bagi pejabat penegak hukum yang dengan sengaja melakukan kelalaian tersebut.

5. Asas fair, impartial, impersonal and objective

Peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, serta bebas, jujur dan tidak memihak.

6. Asas legal assistance


(27)

7. Asas miranda rule

Pemberitahuan yang jelas mengenai dakwaan terhadap terdakwa dan hak-hak yang dimiliki tersangka/terdakwa.

8. Asas presentasi

Pelaksanaan pengadilan dengan hadirnya terdakwa. 9. Asas keterbukaan

Sidang terbuka untuk umum. 10.Asas pengawasan

Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana. 11.Asas akusatur

Menempatkan tersangka atau terdakwa bukan sekedar menjadi obyek pemeriksaaan namun sebagai subyek dengan hak-hak yang melekat padanya. (Luhut M.P. Pangaribuan, 2008: 11).

B. Penyelidikan dan Penyidikan

1. Penyelidikan

Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 5 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.


(28)

Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima proposal, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

Penggunaan istilah penyelidikan di dalam praktek lebih sering digunakan istilah reserse. Dimana tugas utamanya adalah menerima proposal dan mengatur serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi berarti penyelidikan ini merupakan tindakan pendahuluan sebelum penyidikan. Jika dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen, maka penyelidikan ini dimaksudkan sebagai tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berati mencari kebenaran (Andi Hamzah, 2009 : 118).

Berkaitan dengan penyelidikan tersebut, maka ketentuan dalam Pasal 5 KUHAP menjelaskan terdapat beberapa kewenangan penyelidik, antara lain:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari sesorang tentang adanya tindak pidana b. Mencari keterangan dab barang bukti

c. Memeriksa seseorang yang dicurigai


(29)

Penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan. Tindakan penyelidikan lebih dapat dikategorikan sebagai tindakan pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Sedangkan yang melakukan tugas penyelidikan adalah penyelidik yang di atur dalam Pasal 1 angka

4 KUHAP, yaitu: “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia

yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 Ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Pengertian penyelidikan menurut KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam proses penyelidikan ini tujuannya adalah untuk mencari tahu dan memastikan apakah dalam suatu peristiwa hukum tertentu telah terjadi suatu tindak pidana atau tidak. Sebab tidak semua peristiwa hukum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah suatu tindak pidana. Suatu peristiwa hukum baru dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana hanya apabila telah terpenuhi unsur-unsur pidananya. Apabila unsur-unsur-unsur-unsur pidanya tidak terpenuhi maka peristiwa tersebut dianggap sebagai peristiwa biasa dan tak mempunyai implikasi apa-apa.


(30)

2. Penyidikan

Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan

penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan

pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang

ditemukan dan juga menentukan pelakunya.

Pengertian penyidikan sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 butir 2 KUHAP menjelaskan bahwa: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal

dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 2 KUHAP di atas, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:

a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan-tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan;

b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;


(31)

d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya.

Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya (Andi Hamzah, 2009: 135).

Ketentuan Pasal 7 KUHAP menjelaskan bahwa penyidik karena kewajibannya memiliki kewenangan sebagai berikut:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g. Memanggil orang untuk didengarkan dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lainmenurut hukum yang bertanggungjawab C. Penangkapan dan Penahanan

1. Penangkapan

Penangkapan merupakan bagian dan perhatian yang serius, karena penangkapan, penahanan, penggeledahan merupakan hak dasar atau hak asasi manusia dampaknya sangat luas bagi kehidupan yang bersangkutan maupun keluarganya.


(32)

penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.

Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari (24 jam). Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.

Perintah penangkapan menurut ketentuan Pasal 17 KUHAP dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan

yang cukup. Berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP, definsi dari “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak

pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir .Pasal ini menunjukan bahwa perintah penagkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

2. Penahanan

Penahanan sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 butir 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara


(33)

yang diatur menurut Undang-undang ini. Pada prinsipnya penahanan adalah pembatasan kebebasan bergerak seseorang yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang harusnya dihormati dan dilindungi oleh negara.

Penahanan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa oleh pejabat yang berwenang dibatasi oleh hak-hak tersangka/terdakwa dan peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan secara limitatif sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP. Adapun pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dalam berbagai tingkat pemeriksaan sebagaimana ketentuan Pasal 20 KUHAP antara lain:

1. Untuk kepentingan penyidikan, yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik;

2. Untuk kepentingan penuntutan, yang berwenang adalah penuntut umum; 3. Untuk kepentingan pemeriksaan disidang Pengadilan, yang berwenang untuk

menahan adalah Hakim.

4. Syarat-syarat untuk dapat dilakukan penahanan dibagi dalam 2 syarat, yaitu:

a. Syarat Subyektif

Dinamakan syarat subyektif karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau tidak. Syarat subyektif ini terdapat dalam Pasal 21 Ayat (1), yaitu:

1) Tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana; 2) Berdasarkan bukti yang cukup;

3) Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa:


(34)

a) Akan melarikan diri

b) Merusak atau menghilangkan barang bukti c) Mengulangi tindak pidana.

b. SyaratObyektif.

Dinamakan syarat obyektif karena syarat tersebut dapat diuji ada atau tidak oleh orang lain. Syarat obyektif ini diatur dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP yaitu:

1) Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; 2) Tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari lima tahun, tetapi

ditentukan dalam:

a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu: Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) , Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1). Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, Pasal 506;

b) Pelanggaran terhadap Ordonantie Bea dan Cukai;

c) Pasal 1, 2 dan 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 (Tindak Pidana Imigrasi) antara lain: tidak punya dokumen imigrasi yang sah, atau orang yang memberikan pemondokan atau bantuan kepada orang asing yang tidak mempunyai dokumen imigrasi yang sah;

d) Tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Berdasarkan uraian kedua syarat tersebut yang terpenting adalah syarat obyektif sebab penahanan hanya dapat dilakukan apabila syarat-syarat yang ditentukan


(35)

dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP itu dipenuhi. Sedangkan syarat yang terkandung dalam Pasal 21 Ayat (1) KUAHP biasanya dipergunakan untuk memperkuat syarat yang terkandung dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP dan dalam hal-hal sebagai alasan mengapa tersangka dikenakan perpanjangan penahanan atau tetap ditahan sampai penahanan itu habis. Dalam melaksanakan penahanan terhadap tersangka/ terdakwa, maka pejabat yang berwenang menahan harus dilengkapi dengan Surat perintah penahanan dari Penyidik, Surat perintah penahanan dari Jaksa Penuntut Umum atau Surat penetapan dari Hakim yang memerintahkan penahanan itu.

Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan Surat Perintah penahanan atau penahanan lanjutan yang berisikan Identitas Tersangka/Terdakwa, Alasan Penahanan, Uraian Singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan, dan Tempat dimana Tersangka/Terdakwa ditahan. Tembusan Surat Perintah Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau Penetapan Hakim itu, harus diberikan kepada keluarga Tersangka/Terdakwa.

Jenis-jenis Penahanan yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) KUHAP adalah Penahanan Rumah Tahanan Negara, Penahanan Rumah serta Penahanan Kota. Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman


(36)

tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diripada waktu yang ditentukan.

D. Pengertian Salah Tangkap (Error In Persona)

Pengertian mengenai istilah salah tangkap (error in persona) tidak terdapat dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan yang lain. Namun secara teoritis pengertian salah tangkap (error in persona) ini bisa ditemukan dalam doktrin pendapat ahli-ahli hukum. Secara harfiah arti dari salah tangkap (error in persona) adalah keliru mengenai orang yang dimaksud atau kekeliruan mengenai orangnya (M. Marwan, 2009: 18).

Kekeliruan itu bisa terjadi pada saat dilakukan penangkapan, atau penahanan, atau penuntutan, atau pada saat pemeriksaan oleh hakim di pengadilan sampai perkaranya diputus. Pengertian ini tersirat dalam Pasal 95 KUHAP yang membahas tentang ganti rugi terhadap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya.

Menurut M.Yahya Harahap (2002: 47) menjelaskan bahwa kekeliruan dalam penangkapan mengenai orangnya diistilahkan dengan disqualification in person yang berarti orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditangkap atau ditahan. Sedangkan menurut yurisprudensi dari Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor. 89 KP/PID/2008 terdapat istilah


(37)

lain tentang menangkap orang dan salah mendakwa orang yang disebut sebagai error in subjectif.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditelaah bahwa terdapat berbagai macam istilah atau penyebutan terhadap kondisi atau keadaan dimana penegak hukum melakukan kesalahan atau kekeliruan pada saat melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Suatu gugatan dianggap error in persona, apabila:

1.Diskualifikasi In Person

Penggugat bukanlahpersona standi in judicio, jika karena belum dewasa, bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan dan atau dibawahkaratele. Atau bisa juga karena tidak mendapat kuasa, baik lisan atau surat kuasa khusus dan atau surat kuasa khusus tidak sah.

2.Gemis Aanhodanig Heid

Orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat. Misalnya, sebagaimana dimaksud dalam putusan Mahkamah Agung No. 601 K/sip/1975 tanggal 20 April 1977 yang pada pokoknya menyatakan seorang pengurus yayasan digugat secara pribadi. 3.Plurium Litis Consortium

Orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap. Sebagai contoh dapat dikemukakan salah satu putusan Mahkamah Agung No. 621 K/ Sip/1975 tanggal 25 Mei 1977 Jo. No 621 K/Sip/1975 yang menyatakan :"ternyata sebagian harta terperkara tidak lagi dikuasai tergugat, tetapi telah menjadi milik pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut harus ikut digugat.


(38)

E. Pra-Peradilan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Salah satu manifestasi perlindungan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam KUHAP adalah adanya lembaga pra peradilan untuk setiap warga negara yang ditangkap, ditahan dan dituntut tanpa alasan yang sah (cukup) berdasarkan ketentuan undang-undang. Lembaga Pra Peradilan merupakan wewenang pengadilan negeri, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP, yang memiliki ketentuan sebagai berikut:

Pra peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 adalah diantaranya:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tesangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 1 angka 10 KUHAP di atas berarti bahwa lembaga pra peradilan dalam dunia penegakan hukum di negara kita selain untuk melindungi hak-hak asasi manusia khususnya dalam bidang peradilan juga mengadakan pengawasan terhadap praktek pemeriksaan perkara pidana khususnya pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan penuntutan, yang berarti dapat dilakukan sebelum perkara pokoknya disidangkan oleh pengadilan negeri.


(39)

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 KUHAP dapat diketahui salah satu tujuan dibuatnya KUHAP tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan kepada tersangka, sehingga dapat terhindar dari tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum khususnya pada tingkat penyidikan maupun penuntutan, perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia sejauh mungkin dapat dihindari seperti salah tangkap, salah tahan, dan lain sebagainya, disamping itu juga menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 yang menyatakan bahwa “Setiap orang

yang disangka, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Berkaitan dengan hal itu, ketentuan Pasal 9 Ayat (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa“ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang”. Sebagai wujud nyata dari pasal ini di

dalam KUHAP BAB X Bagian Kesatu telah diatur mengenai Pra Peradilan yang salah satu kewenangannya menangani masalah ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 9 Ayat (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Pra Peradilan merupakan inovasi (lembaga baru) dalam KUHAP bersamaan dengan inovasi-inovasi yang lain seperti limitasi atas proses penangkapan atau


(40)

penahanan, membuat KUHAP disebut juga sebagai karya agung (master-piece) (Al. Wisnubroto dan G. Widiartna, 2005: 7).

Hal di atas dipertegas oleh Luhut M.P. Pangaribuan (2006: 21), dalam penerapan upaya-upaya paksa (dwang midelen), sebagaimana dimungkinkan dalam proses peradilan pidana seperti penangkapan dan penahanan, tidak merendahkan harkat dan martabat manusia, maka diperkenankanlah lembaga baru untuk melakukan pengawasan, yaitu lembaga pra peradilan. Jadi jelas sekali lembaga pra peradilan dimaksudkan untuk pengawasan penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat penegak hukum fungsional dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan. Lembaga pra peradilan ini dimaksudkan sebagai wewenang dari pengadilan sebelum memeriksa pokok perkara.

Berkaitan dengan hal di atas, implementasi hukum acara pidana Indonesia pada hakekatnya menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan berkehendak untuk menegakkan keadilan kepada semua warga negaranya tanpa kecuali. Namun demikian dalam pelaksanaan penegakan hukum khususnya hukum pidana kadang dijumpai kesalahan-kesalahan, seperti lembaga kepolisisan sebagai pintu gerbang untuk memperoleh keadilan namun dalam penangkapan seseorang terjadi kasus salah tangkap. Dalam hukum acara pidana telah dijelaskan apabila terjadi kesalahan mengenai sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan (error in persona) dalam proses ini sebelum perkaranya diputus oleh pengadilan maka tersangka atau keluarganya dapat mengajukan upaya pra-peradilan tentang ketidaksahan dari proses penangkapan tersebut sekaligus dapat menuntut ganti kerugian sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP.


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2009.Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. Harahap, M.Yahaya. 2002.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Jilid 2 (Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta.

Marwan, M. 2009. Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality Publisher. Surabaya.

Pangaribuan, Luhut M.P. 2008.Pembaharuan Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat. Djambatan. Jakarta.

P.A.F. Lamintang, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung

Wisnubroto, Al dan G. Widiartana. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya. Bandung.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.

Keputusan Kapolri No.Pol: Kep/32/VII/2003 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI


(42)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya (Soerjono Soekanto, 1986: 43).

Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat dan menelaah perspektif asas legalitas terhadap kasus salah tangkap dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia. Selain itu juga pendekatan ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, peraturan-peraturan hukum serta hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.

Pendekatan yuridis empiris adalah suatu pendekatan melalui penelitian lapangan yang dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian,


(43)

perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan perspektif asaslegalitasterhadap kasus salah tangkap dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat di lihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1986: 11).

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu: 1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap beberapa penegak hukum dari Kepolisian, Kehakiman, dan juga Dosen yang terkait dengan permasalahan tentang perspektif asas legalitas terhadap kasus salah tangkap dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia. 2. Data Sekunder

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari :


(44)

1. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. 3. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Pokok Kekuasaan

Kehakiman.

4. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang di bahas dalam skripsi ini. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.

2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.

3. Keputusan Kapolri No.Pol: Kep/32/VII/2003 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI.

4. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tahun 2011.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia,


(45)

media massa, artikel, makalah, naskah, paper, jurnal, internet yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Menurut Soerjono Soekanto (1986: 172) yang dimaksud dengan populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama. Populasi dalam penulisan skripsi ini adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan perspektif asas legalitas terhadap kasus salah tangkap dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia. Penentuan populasi dalam penelitian ini adalah Akademisi atau Dosen, Polisi, Jaksa dan Hakim.

Adanya populasi dalam penelitian ini secara otomatis akan menimbulkan adanya sampel. Adapun sampel dari penelitian ini adalah Anggota Kepolisian Polresta Bandar Lampung, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang, dan Dosen bagian hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1987: 172) memberikan pengertian mengenai sampel yaitu sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi. Dan Burhan Ashshofa (1996: 91) memberikan pengertian mengenai prosedur sampling dalam penelitian adalah Purposive Sampling, yaitu suatu metode pengambilan sampling yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.


(46)

Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 7 (Tujuh) orang, yaitu: 1. Polisi Polresta Bandar Lampung = 2 orang 2. Hakim Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang = 2 orang 3. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 2 orang 4. Dosen bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah = 7 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skipsi ini, dilakukan dengan menggunakan dua cara sebagai berikut, yaitu:

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, per-undang-undangan, buku-buku, media massa dan bahas tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.


(47)

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Setelah mengolahan data selesai maka dilakukan analisis data. Data yang diperoleh secara deskriptif kualitatif yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan mengenai perspektif asas legalitas terhadap kasus salah tangkap dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya. Bandung.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989.Metode Penelitian Survey. Jakarta Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung.


(49)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Perspektif asas legalitas terhadap kasus salah tangkap (error in persona) dalam hukum acara pidana Indonesia yakni tindakan salah tangkap (error in persona) merupakan suatu tindakan illegal (tidak sah), oleh karena itu dapat dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan-penyimpangan asas dalam hukum pidana. Penangkapan yang dilakukan penyidik dengan ketentuan adanya cukup bukti (bukti permulaan yang cukup) yang mengarah kepada seorang yang diduga melakukan tindak pidana. Apabila seseorang yang ditangkap diduga melakukan pelanggaran hukum pidana materiil sedangkan pada faktanya tidak demikian maka hal ini terjadi penyimpangan asas legalitasdalam hukum pidanametriil. Hal ini juga menjadikan lemahnya asas legalitasdalam kerangka hukum acara pidana Indonesia.

2. Upaya yang dapat diajukan bagi tersangka dalam hal terjadinya salah tangkap (error in persona) oleh penyidik Polri berdasarkan proses hukum acara pidana Indonesia antara lain Upaya pra peradilan, Upaya hukum banding dan kasasi,


(50)

Upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, Permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan perspektif asas legalitas terhadap kasus salah tangkap dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia sebagai berikut:

1. Agar penyidik dapat lebih teliti sehingga hasil dalam penyelidikan lebih matang jadi dapat meminimalisir terjadinya error in persona, selain itu Penyidik harus lebih berhati-hati dalam penyelidikan dan mencari data dalam kerangka menjaga prinsip kepastian hukum terkait dengan cermin asas legalitas terhadap kasus salah tangkap (error in persona), penyidik dalam menerapkan tugas penyelidikan dan penyidikan wajib memperhatikan asas legalitas, asasnesesitasdan asasproporsionalitas.

2. Diharapakan agar penegak hukum tidak mempersulit tersangka dalam mengajukan upaya hukum pra peradilan, upaya hukum banding dan kasasi, upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi terhadap kasus salah tangkap (error in persona) sehingga dapat terwujud keadilan hukum.


(51)

(Skripsi)

Ade Suprima

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(52)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 9

E. Sistematika Penulisan ... 17

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Asas-Asas Umum dalam Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia ... 20

B. Penyelidikan dan Penyidikan ... 25

C. Penangkapan dan Penahanan... 29

D. Pengertian Salah Tangkap (Error In Persona) ... 34

E. Pra-Peradilan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia... 36

DAFTAR PUSTAKA III.METODE PENELITAN A. Pendekatan Masalah ... 40

B. Sumber dan Jenis Data ... 41

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 43

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 44

E. Analisis Data ... 45 DAFTAR PUSTAKA


(53)

B. Perspektif Asas Legalitas terhadap Kasus Salah Tangkap (Error In Persona)dalam Hukum Acara Pidana Indonesia ... 49 C. Upaya yang dapat Diajukan Bagi Tersangka dalam Hal Terjadinya Salah

Tangkap (Error In Persona) Oleh Penyidik Polri Berdasarkan Proses Hukum Acara Pidana Indonesia... 65 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 81 B. Saran ... 82


(1)

46

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya. Bandung.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989.Metode Penelitian Survey. Jakarta Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung.


(2)

81

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Perspektif asas legalitas terhadap kasus salah tangkap (error in persona) dalam hukum acara pidana Indonesia yakni tindakan salah tangkap (error in persona) merupakan suatu tindakan illegal (tidak sah), oleh karena itu dapat dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan-penyimpangan asas dalam hukum pidana. Penangkapan yang dilakukan penyidik dengan ketentuan adanya cukup bukti (bukti permulaan yang cukup) yang mengarah kepada seorang yang diduga melakukan tindak pidana. Apabila seseorang yang ditangkap diduga melakukan pelanggaran hukum pidana materiil sedangkan pada faktanya tidak demikian maka hal ini terjadi penyimpangan asas legalitasdalam hukum pidanametriil. Hal ini juga menjadikan lemahnya asas legalitasdalam kerangka hukum acara pidana Indonesia.

2. Upaya yang dapat diajukan bagi tersangka dalam hal terjadinya salah tangkap (error in persona) oleh penyidik Polri berdasarkan proses hukum acara pidana Indonesia antara lain Upaya pra peradilan, Upaya hukum banding dan kasasi,


(3)

82

Upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, Permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan perspektif asas legalitas terhadap kasus salah tangkap dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia sebagai berikut:

1. Agar penyidik dapat lebih teliti sehingga hasil dalam penyelidikan lebih matang jadi dapat meminimalisir terjadinya error in persona, selain itu Penyidik harus lebih berhati-hati dalam penyelidikan dan mencari data dalam kerangka menjaga prinsip kepastian hukum terkait dengan cermin asas legalitas terhadap kasus salah tangkap (error in persona), penyidik dalam menerapkan tugas penyelidikan dan penyidikan wajib memperhatikan asas legalitas, asasnesesitasdan asasproporsionalitas.

2. Diharapakan agar penegak hukum tidak mempersulit tersangka dalam mengajukan upaya hukum pra peradilan, upaya hukum banding dan kasasi, upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi terhadap kasus salah tangkap (error in persona) sehingga dapat terwujud keadilan hukum.


(4)

PERSPEKTIF ASAS LEGALITAS TERHADAP KASUS SALAH TANGKAP DALAM KERANGKA HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

(Skripsi)

Ade Suprima

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(5)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 9

E. Sistematika Penulisan ... 17

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Asas-Asas Umum dalam Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia ... 20

B. Penyelidikan dan Penyidikan ... 25

C. Penangkapan dan Penahanan... 29

D. Pengertian Salah Tangkap (Error In Persona) ... 34

E. Pra-Peradilan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia... 36

DAFTAR PUSTAKA III.METODE PENELITAN A. Pendekatan Masalah ... 40

B. Sumber dan Jenis Data ... 41

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 43

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 44

E. Analisis Data ... 45 DAFTAR PUSTAKA


(6)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 47 B. Perspektif Asas Legalitas terhadap Kasus Salah Tangkap (Error In

Persona)dalam Hukum Acara Pidana Indonesia ... 49 C. Upaya yang dapat Diajukan Bagi Tersangka dalam Hal Terjadinya Salah

Tangkap (Error In Persona) Oleh Penyidik Polri Berdasarkan Proses Hukum Acara Pidana Indonesia... 65 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 81 B. Saran ... 82