ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PI

ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INDONESIA
DAN KAJIAN PERBANDINGAN HUKUM
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of
legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”.
Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain
dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is
strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F.
Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada
suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut
undang-undang yang telah diadakan lebih dulu” Andi Hamzah menterjemahkan dengan
terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Moeljatno
menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan
aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan
dilakukan”. Oemar Seno Adji menentukan prinsip “legality” merupakan karakteristik
yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” – konsep, maupun oleh faham
“Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya
larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan
analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu
merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality”.Nyoman Serikat Putra Jaya,

menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung
makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undangundang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya
ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga
berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan
pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of
criminal laws and criminal sanctions).
Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana
tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada
pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana
tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau
nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang
tegas).
Konsepsi asas ini dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833),
seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht
pada tahun 1801 yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische
Zwang Theorie). Paul Johan Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu
ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana dan jikalau orang


telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak
pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut.
Akan tetapi, menurut J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel von Pufendorflah
yang mendahului von Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap bahwa “Talmudic
Jurisprudence” lah yang mendahului teori von Feurbach.Bambang Poernomo
menyebutkan bahwa, apa yang dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang
sangat mendalam, yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: “nulla poena sine lege; nulla
poena
sine
crimine;
nullum
crimen
sine
poena
legali”.
Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin, ada
menimbulkan kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum Romawi kuno.
Aturan ini, dalam formulasi bahasa Latin, berasal dari juris Jerman, von Feuerbach – ini
berarti bahwa asas ini lahir pada awal abad 19 dan harus dipandang sebagai produk

ajaran klasik.J.E. Sahetapy menyebutkan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam
bahasa Latin semata-mata karena bahasa Latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang
digunakan pada waktu itu.Moeljatno menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun
asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi Kuno.Pada saat itu dikenal kejahatan
yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti “kejahatan-kejahatan yang tidak
disebut dalam undang-undang”. Diantara criminal extra ordinaria ini yang terkenal
adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra
ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat
lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul
pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih
dahulu
perbuatan-perbuatan
apa
saja
yang
dapat
dipidana.
Selain konteks di atas, ada juga yang berasumsi bahwa asas legalitas berasal dari
ajaran Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois. Menurut van der Donk dan
Hazewinkel Suringa baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau mempersiapkan

penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam ajaran kedua tokoh
tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas. Maksud dari pelajaran kedua tokoh
tersebut adalah melindungi individu terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang,
yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap tuntutan tindakan yang
sewenang-wenang.Hans Kelsen menyebutkan dimensi asas nulla poena sine lege,
nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum pidana.
Dikaji dari perspektif sejarah terbentuknya asas legalitas dalam KUHP Indonesia
berasal dari Wetboek van Strafrecht Nederland (WvS. Ned), sebagaimana berasal dari
ketentuan Pasal 8 Declaration des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789 yang
berbunyi, “tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang
yang sudah ada sebelumnya”, dan merupakan pandangan Lafayette dari Amerika ke
Perancis
dan
bersumber
dari
Bill
of
Rights
Virgina
tahun

1776.
Apabila dianalisis lebih intens, detail dan terperinci terminologi “ketentuan perundangundangan (wettelijk strafbepaling)” dan “undang-undang” maka ruang lingkup asas
legalitas dalam hukum pidana materiil lebih luas dengan terminologi “perundangundangan” dari kata “undang-undang” pada ketentuan hukum acara pidana. Tegasnya,
asas legalitas di samping dikenal dalam ketentuan hukum pidana materiel juga dikenal

dalam ketentuan hukum acara pidana (hukum pidana formal). Andi Hamzah kemudian
lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian, asas legalitas dalam hukum acara
pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel, karena istilah dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda) “ketentuan perundang-undangan” (wettelijk
strafbepaling) sedangkan dalam hukum acara pidana disebut undang-undang pidana.
Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tetapi tidak boleh membuat
aturan
acara
pidana.
Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang
pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti).
Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana
maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan
dilakukan. Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Inggris merumuskan dalam

adagium moneat lex, priusquam feriat (undang-undang harus memberikan peringatan
terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya), ini
kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni mencakup juga pembenaran atas pidana
yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman pidana yang muncul terlebih dahulu telah
difungsikan sebagai upaya pencegahan, menghukum dapat dibenarkan.
Dalam perspektif tradisi Civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan
secara ketat, yaitu terhadap peraturan perundangan-undangan (law), retroaktivitas
(retroactivity), lex certa dan analogi.[15] Roelof H. Haveman menyebutkan keempat
dimensi konteks di atas sebagai, though it might be said that not every aspect is that
strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to
principle of legality.Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga
pengertian,
yaitu:
(1)Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu
belum
dinyatakan
dalam
suatu
aturan

undang-undang.
(2)Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
(3)Aturan-aturan

hukum

pidana

tidak

berlaku

surut.

Komariah Emong Sapardjaja dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen
menyebutkan ada empat makna yang terkandung asal legalitas dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu
ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus
dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan
bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis

atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang
diterapkan analogi. Polarisasi pemikiran Komariah Emong Sapardjaja dengan bertitik
tolak pandangan Groenhuijsen hakikatnya identik dengan pendapat dari Machteld Boot
dengan titik tolak pandangan Jeschek dan Weigend yang menyebutkan empat syarat
asas legalitas. Pertama, tidak ada perbuatan pidana dan pidana tanpa undang-undang

sebelumnya (asas nullum crimen, noela poena sine lege pravia). Kedua, tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis (asas nullum crimen,
nulla poena sine lege scripta). Ketiga, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana
tanpa aturan undang-undang yang jelas (asas nullum crimen, nulla poena sine lege
certa). Keempat, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang
yang ketat (asas nullum crimen, noela poena sine lege stricta). Lebih detail Machteld
Boot
menyebutkan
bahwa:
“The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip in Article 1 StGB is generally considered
to include four separate requirements. Fist, conduct can only be punished if the
punishability as well as the acconpanying penalty had been determined before the
offence was committed (nullum crimen, noela poena sine lege praevia). Furthermore,
these determinations have to be be included in statutes (Gesetze): nullum crimen, noela

poena sine lege scripta. These statutes have to be difinite (bestimmt): nullum crimen,
noela poena sine lege certa. Lastly, these statutes may not be applied by analogy which
is reflected in the axion nullum crimen, noela poena sine lege stricta.”
JH. J. Enschede, menyebutkan hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas
legalitas, yaitu: Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam
perundang-undangan pidana (...wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder
een wettelijke strafbepaling...). Kedua, kekuatan ketentuan pidana pidana tidak boleh
diberlakukan surut (...zo’n strafbepaling mag geen terugwerkende kracht
hebben...).Kemudian Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna asas
legalitas. Pertama, Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan Pasal 1.
Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, bdgk. Pasal 3 KUHP
Indonesia 1981) menetapkan bahwa hanya perundang-undangan dalam arti formal
yang dapat memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan
(wettelijk) dalam ketentuan Pasal 1 menunjuk pada semua produk legislatif yang
mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate. Sebelumnya
telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundang-undangan tercakup di dalamnya,
termasuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah (tingkat provinsi maupun
kabupaten/kotamadya) dan seterusnya. Kedua, Lex Certa (undang-undang yang
dirumuskan terperinci dan cermat/nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex Certa atau
bestimmtheitsgebot merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau

terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi
keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri
bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku.
Ketiga, dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan
ketentuan pidana secara analogis (nullum crimen sine lege stricta: tiada ketentuan
pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan perundangundangan).
Lebih lanjut Von Feurbach menyebutkan makna asas legalitas menimbulkan tiga
peraturan lain. Pertama, setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan
hukum pidana (nulla poena sine lege). Kedua, penggunaan pidana hanya mungkin
dilakukan, jika terjadi perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang

(nulla poena sine crimine). Ketiga, perbuatan yang diancam dengan pidana yang
menurut undang-undang, membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan
oleh undang-undang dijatuhkan (nullum crimen sine poena legali).Berikutnya Richard
G. Singer dan Martin R. Gardner menyebutkan asas legalitas berkorelasi dengan 3
(tiga) dimensi, yaitu: Pertama, pemidanaan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif.
Kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum yang berlaku surut.
Ketiga, perbuatan pidana harus didefinisikan oleh lembaga atau institusi yang
berwenang.
Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakui dalam KUHP

Indonesia baik asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) maupun asas legalitas
materiil (Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2008).[24] Akan tetapi, Utrecht keberatan
dengan dianutnya asas legalitas di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan
yang sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut
serta asas legalitas menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan
akan hidup. Lebih terperinci maka Utrecht mengatakan bahwa:
“Terhadap azas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertamatama dapat dikemukakan bahwa azas nullum delictum itu kurang melindungi
kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen). Akibat azas nullum delictum itu
hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum
(=peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban
umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada
hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu
pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak terhukum. Azas nullum delictum itu menjadi
suatu halangan bagi hakim pidana menghukum seorang yang melakukan suatu
perbuatan yang biarpun tidak “strafbaar”’ masih juga “strafwaardig”. Ada lagi satu
alasan untuk menghapuskan pasal 1 ayat 1 KUHPidana, yaitu suatu alasan yang
dikemukakan oleh terutama hakim pidana di daerah bahwa pasal 1 ayat 1 KUH Pidana
menghindarkan
dijalankannya
hukum
pidana
adat.”
Akan tetapi, walaupun demikian pada umumnya asas legalitas tersebut menurut Andi
Hamzah diterima dalam KUHP Indonesia meskipun merupakan dilema. Lebih jauh
dikatakan, bahwa:
“Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia
merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan
oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi
Hamzah tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat
pelbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari sudut yang lain, yaitu kepastian hukum dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil
dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai
negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering
dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan.”

Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1)
KUHP mengandung di dalamnya asas “legalitas formal”, asas “lex certa”, dan asas
“Lex Temporis Delicti” atau asas “nonretroaktif”. Asas legalitas formal (lex scripta)
dalam tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan
Undang-Undang atau hukum tertulis. Undang-Undang (statutory, law) harus mengatur
terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex Certa atau
bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan undangundang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta).
Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian
hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu
akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai
pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif menentukan peraturan perundangundangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut (retroaktif) akan tetapi
harus bersifat prospectif. Oleh karena itu maka makna asas legalitas tersebut
hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 (empat) larangan (prohibitions) yang dapat
dikembangkan
asas
tersebut,
yaitu:
(a) “nullum crimen, nulla poena sine lege scripta” (larangan untuk memidana atas
dasar
hukum
tidak
tertulis—unwritten
law--)
;
(b) “Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta” (larangan untuk melakukan
analogy)
;
(c) “Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia” (larangan terhadap pemberlakuan
hukum
pidana
secara
surut)
;
(d) “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa” (larangan terhadap perumusan hukum
pidana yang tidak jelas –unclear terms-).
Ketentuan asas legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Tahun
2008 perumusannya identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan Pasal 1 ayat (1)
RUU KUHP Tahun 2008 menyebutkan asas legalitas dengan redaksional sebagai,
“Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang
dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”. Kemudian ketentuan asas legalitas ini
lebih lanjut menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 disebutkan,
bahwa:
“Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan
hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada
Undang-undang. Dipergunakan asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan
asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan
pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak
pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi
mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili

seseorang

yang

dituduh

melakukan

suatu

tindak

pidana.”

Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar
adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka
ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid
menyebutkan pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum transistoir (peralihan)
yang mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang menurut waktu
(sphere of time, tijdgebied) yang terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUH Pidana yang
berbunyi, “bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan
pidana, maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan
baginya.
Barda Nawawi Arief mempergunakan terminologi melemahnya/bergesernya asas
legalitas
antara
lain
dikarenakan
sebagai
berikut:
1.Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu
dengan
adanya
Pasal
1
ayat
(2)
KUHP
;
2.Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat
melawan
hukum
yang
materiel
;
3.Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-undang
Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt 1951; Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas
legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai “nullum delictum sine lege”, tetapi juga
sebagai “nullum delictum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas
formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum
yang
hidup
atau
hukum
tidak
tertulis
sebagai
sumber
hukum
;
4.Dalam dokumen internasional dalam KUHP negara lain juga terlihat
perkembangan/pengakuan ke arah asas legalitas materiel (lihat Pasal 15 ayat (2)
International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP Kanada di
atas)
;
5.Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal) ada
ketentuan mengenai “pemaafan/pengampunan hakim” (dikenal dengan berbagai istilah,
antara lain “rechterlijk pardon”, “Judicial pardon”, “Dispensa de pena” atau
“Nonimposing of penalty”) yang merupakan bentuk “Judicial corrective to the legality
principle”
;
6.Ada perubahan fundamental di KUHAP Perancis pada tahun 1975 (dengan Undangundang Nomor 75-624 tanggal 11 Juli 1975) yang menambahkan ketentuan mengenai
“pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana” (“the declaration of guilt without
imposing
a
penalty”)
;
7.Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari “cyber-crime”
merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas “lex certa”, karena dunia maya

(cyber-space)

bukan

dunia

riel/realita/nyata/pasti.

Khusus terhadap pengecualian asas legalitas ditentukan asas “lex temporis delicti”
sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Konklusi dasar asas ini menentukan
apabila terjadi perubahan perundang-undangan maka diterapkan ketentuan yang
menguntungkan terdakwa. Jan Remmelink menyebutkan ketentuan Pasal 1 ayat (2)
memberikan jawaban dalam artian bahwa bila undang-undang yang berlaku setelah
tindak pidana ternyata lebih menguntungkan, maka pemberlakuannya secara surut
diperkenankan. Pandangan demikian diakui dan diterima di Belgia dan Jerman. A.
Zainal Abidin Farid menyebutkan yang dimaksud dengan perubahan undang-undang
dalam pasal 1 ayat (2) KUHP apakah termasuk undang-undang pidana saja atau
semua aturan hukum maka aspek ini dapat dijawab dengan tiga teori yaitu teori formil
yang dianut oleh Simons, kemudian teori materiil terbatas yang dikemukakan oleh van
Geuns dan teori materiil tak terbatas. Menurut teori formil maka perubahan undangundang baru dapat terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana yang diubah.
Perubahan undang-undang lain selain dari undang-undang pidana, walaupun
berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan undang-undang
menurut pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Kemudian menurut teori materiil terbatas bahwa
perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan
hukum pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman atau keadaan tidak dapat
dianggap sebagai perubahan undang-undang ex pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Teori
materiil tak terbatas dimana H.R. dalam keputusannya tanggal 5 Desember 1921 (N.J.
1922 h. 239) yang disebut Huurcommicciewet-arrest, berpendapat bahwa ”perundangundangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undangundang meliputi semua macam perubahan, baik perubahan perasaan hukum pembuat
undang-undang menurut teori materiil terbatas, maupun perubahan keadaan karena
waktu”.
Konklusi dasar asas legalitas sebagaimana diuraikan konteks di atas, dikaji dari
prespektif karakteristiknya terdapat dimensi-dimensi sebagai berikut:


Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undangundang.



Tidak dapat diterapkan undang-undang pidana berdasarkan analogi.



Tidak dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.



Tidak boleh ada rumusan delik yang kurang jelas (asas lex certa).



Tidak ada ketentuan pidana diberlakukan secara surut (asas nonretroaktif).



Tidak ada pidana, kecuali ditentukan dalam undang-undang.



Penuntutan pidana hanya berdasarkan ketentuan undang-undang.

Dikaji dari perspektif perbandingan hukum (comparative law) maka asas legalitas
tersebut juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Pada International Criminal
Court (ICC) asas legalitas diatur khususnya pada article 22, article 23 dan article 24.
Ketentuan article 22 Nullum crimen sine lege ayat (1) menyebutkan, “A person shall not
be criminally responsible under this Statute unless the conduct in question constitutes,
at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the court”, dan ayat (2)
menyebutkan, “The definition of a crime shall not be extended by analogy. In case of
ambiguity. The definition shall be intepreted in favour of the person being investigated,
prosecuted, or convicted”, dan ayat (3), “This article shll not affect the characterization
of any conduct as criminal under international law independently of the Statute”.
Kemudian article 23 berbunyi, “A person convicted by the court may be punished only in
accordance with the Statute”, dan article 24 ayat (1) selengkapnya berbunyi bahwa, “No
person shall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry
into force of the Statute”, dan ayat (2) berbunyi bahwa, “In the event of change in the
applicable to a given case prior to a final judgment, the law more favorable to the
person being investigated or convicted shall apply”.
Kemudian dalam Pasal 9 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia yang
ditandatangani di San Jose, Costa Rica tanggal 22 November 1968 dan mulai berlaku
pada tanggal 18 Juli 1978 asas legalitas diformulasikan dengan redaksional bahwa, “No
one shall be convicted of any act or omission that did notconstitute a criminal offence,
under applicable law, at the time when it was committed. A heavier penalty shall not be
imposed than the one that was applicable at the time the criminal offence. If subsequent
to the commission of the offense that law provides for the imposition of a lighter
punishment, the guilty person shall benefit thereform”. Berikutnya, asas legalitas juga
terdapat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diumumkan oleh Resolusi Majelis
Umum PBB 217A (III) tanggal 10 Desember 1948 dimana pada Pasal 11 ayat (2)
disebutkan asas legalitas dengan redaksional bahwa, “No one shall be had guilty of any
penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal
offence, under national or international law, at the time when it was commited. Not shall
a heavier by imposed than the one that was applicable at the time the penal offence
was committed”. Selain itu, asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 7 ayat (2) African
Charter on Human and People Rights yang ditandatangani di Nairobi, Kenya, dan
berlaku pada tangal 21 Oktober 1986 yang menyebutkan bahwa, “No one may be
condemmed for an act or omission which did not constitute a legally punishable offence
for which no provision was made at the time it was committed. Punishment is personal
and
can
be
imposed
only
on
the
offender”.
Kemudian pada KUHP Jerman yang diumumkan tanggal 13 November 1998 (Federal
Law Gazette I, p. 945, p. 322) disebut Strafgesetzbuch (StGB) pada Section 1 No
Punishment Without a Law disebutkan bahwa, “Sebuah perbuatan hanya dapat
dipidana apabila telah ditetapkan oleh undang-undang sebelum perbuatan itu
dilakukan”, (An act may only be punished if its punishability was determined by law
before the act was committed). Pada asasnya, asas legalitas ini di Jerman juga
berorientasi kepada dimensi penuntutan, sehingga menurut George P. Fletcher di

Jerman

menganut

“positive

legality

principle”.

Kemudian asas legalitas ini juga dikenal di Negara Polandia. Pada ketentuan Pasal 42
Konstitusi Republik Polandia maka asas legalitas dirumuskan dengan redaksional,
“Only a person who has commited an act prohibited by a statute in force at the moment
of commission there of, and which is subject to a penalty, shall be geld criminally
responsible. This principle shaal not prevent punishment of any act which, at the
moment of its commission, constituted an offence within the meaning of international
law”. Berikutnya asas legalitas ini dirumuskan dalam Pasal 7 Konstitusi Perancis
dengan menyebutkan bahwa, “A person may be accused, arrested, or detained only in
the cases specified by law and in accordance with the procedures which the law
provides. Those who solicit, forward, carry out or have arbitrary orders carried out shall
be punished; however, any citizen summoned or apprehended pursuant to law obey
forhwith; by resisting, he admits his guilt”. Kemudian dalam Pasal 25 Konstitusi Spanjol
ditegaskan asas legalitas adalah, “No one may be convicted or sentenced for actions or
omissions which when committed did not constitute a criminal offence, misdemeanour
or administrative offence under the law then in force” dan dalam Pasal 25 Konstitusi
Italia asas legalitas dirumuskan sebagai, “No one shall be punished on the basic of a
law which has entered into force before the offence has been
committed”.
Selain negara-negara di atas maka asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 14
Konstitusi Negara Belgia sebagai, “No punishment can be made or given except in
pursuance of the law”. Kemudian Pasal 29 Konstitusi Republik Portugal menentukan
bahwa, ”No one shall be convicted under the criminal law except for an act or omission
made punishable under exiisting law; and no one shall be subjected to a security
measure, except for reasons authorised under existing law. No sentences or security
measures shall be ordered that are not expressly provided for in existing lawas. No one
shall bee subjected to a sentence or security measure that is more severe than hose
applicable at the time the act was committed or the preparations for its commission
were made. Criminal laws that are favourable to the affender shall aply retroactively”.
Selanjutnya pada Pasal 57 Konstitusi Hongaria disebut asas legalitas dengan
redaksional sebagai, “No one shall be declared guilty and subjected to punishment for
an offense that was not a criminal offense under Hungarian law at the time such offense
was committed”.