Asas Asas dalam Hukum Acara Pidana

Asas-Asas dalam Hukum Acara Pidana.
Adapun asas hukum acara pidana tersebut antara lain :
1.

Asas Legalitas.
Penuntut umum wajib menuntut setiap orang yang melakukan tindak pidana tanpa kecuali.
Bahwa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dapat dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang oleh Undang-Undang dan hanya
untuk hal yang diatur dalam Undang-Undang. Asas Legalitas dalam Hukum Acara Pidana adalah
hal yang berbeda dengan Asas Legalitas dalam KUHP.
Dalam KUHP asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan
pun yang dapat dihukum tanpa adanya aturan yang mengatur sebelumnya. Namun dalam Hukum
Acara Pidana asas legalitas dimaknai sebagai asas yang menyatakan bahwa setiap Penuntut
Umum wajib menuntut setiap perkara. Artinya, legalitas yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
bahwa setiap perkara hanya dapat diproses di pengadilan setelah ada tuntutan dan gugatan
terhadapnya. Asas ini diatur dalam pasal 137 KUHAP.
Sedangkan Asas Oportunitas adalah asas yang menyatakan bahwa Penuntut Umum memiliki
hak untuk menuntut atau tidak menuntut sebuah perkara. Kedua asas ini pada dasarnya bukanlah
hal yang kontradiksi, karena Asas Legalitas berkenaan dengan Perkara yang akan diproses di
pengadilan (legalitas terhadap perkaranya) sedangkan asas oportunitas berkenaan dengan hak
penuntut umum. Apabila Penuntut Umum menggunakan haknya untuk menuntut di pengadilan

maka perkara tersebut mendapatkan legalitasnya untuk diproses di pengadilan.

2.

Asas Oportunitas.
Asas Oportunitas adalah asas yang menyatakan bahwa Penuntut Umum memiliki hak untuk
menuntut atau tidak menuntut sebuah perkara. Penuntut umum berwenang menutup perkara demi
Kepentingan Umum bukan hukum. Menurut asas ini Penuntut Umum tidak wajib menuntut
seseorang yang melakukan tindak pidana, jika menurut pertimbangan akan merugikan
kepentingan umum.
Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan Tindak Pidana tidak akan dituntut
ke muka pengadilan. Dengan kata lain Penuntut Umum (PU) dapat Mempeti Es kan suatu
perkara. Asas ini diatur dalam pasal 14 huruf h KUHAP.

Menurut Pasal 14 KUHAP, merupakan wewenang Jaksa Agung dengan pertimbangan dari
Pemerintah dan DPR untuk menyampaikan perkara demi kepentingan umum. Yaitu hak seorang
Jaksa untuk menuntut atau tidak demi kepentingan umum.
3.

Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence).

Seseorang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang
menyatakan kesalahannya, dan putusan itu sudah In Kracht (telah berkekuatan hukum tetap).
Jadi seseorang hanya dapat dikatakan bersalah, sepanjang hal tersebut telah dinyatakan dalam
putusan hakim dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Setiap orang yang ditangkap, dituntut, ditahan dan atau dihadapkan di muka sidang wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan bersalah dan memperoleh kekuatan hukum
tetap. Adanya penahanan semata-mata untuk mempermudah proses pemeriksaan bukan untuk
penghukuman (penahanan tidak sama dengan penghukuman). Asas ini diatur dalam pasal 8
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 jo. Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No.48 Tahun 2009.

4.

Asas Peradilan Bebas.
Hakim dalam memberikan putusan, bebas dari adanya campur tangan dan pengaruh dari
pihak atau kekuasaan manapun. Contoh pada masa Orde Baru, Hakim berbaju ataupun bermuka
dua dimana di satu pihak secara administrasi (karir, gaji, mutasi, dan sebagainya) di bawah
Departemen Kehakiman (Lembaga Eksekutif), di lain pihak secara operasional (perkara) di
bawah Mahkamah Agung atau MA (Lembaga Yudikatif). Saat ini dalam Undang-Undang No. 5
Tahun 1999, Hakim baik secara administrasi maupun operasional di bawah Mahkamah Agung.


5.

Asas Perlakuan yang Sama di Muka Hukum (Equal Justice Under The Law).
Setiap orang (tersangka maupun terdakwa) baik miskin maupun kaya, pejabat maupun orang
biasa di dalam pemeriksaan baik di hadapan penyidik, penuntutan dan pemeriksaan di
pengadilan harus diperlakukan sama. Asas ini merupakan asas yang fundamental. Dalam
pelaksanaan KUHAP tidak boleh membedakan perbedaan status, dan sebagainya. Dalam setiap
beracara pidana di Indonesia kita harus mempunyai kedudukan yang sama.

6.

Asas Terbuka untuk Umum.

Asas terbuka untuk umum pada pemeriksaan pengadilan maupun pembacaan putusan. Untuk
tindak pidana tertentu, (misalnya tindak pidana pemerkosaan) pemeriksaan acara pembuktian
dilakukan tertutup untuk umum, begitu pula dalam pengadilan anak. Asas bahwa pengadilan
terbuka

untuk


umum

(kecuali

diatur

dalam

UU),

serta

dihadiri

oleh

terdakwa.

Hal ini supaya pengadilan transparan, bahwa pengadilan itu benar, dan tidak hanya menindas

terdakwa.
Terdakwa harus hadir di pengadilan karena yang memberikan jawaban atas tindak pidana
yang didakwakan padanya adalah terdakwa, sehingga terdakwa harus hadir. Pada prinsipnya
setiap persidangan harus dilakukan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara anak dan
kesusilaan. Hal ini sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 153 ayat (3) KUHAP. Apabila
sidang pengadilan tidak terbuka untuk umum maka putusan hakim akan dianggap batal demi
hukum sesuai dengan ketentuan dalam pasal 153 ayat (4) KUHAP.
7.

Pemeriksaan dalam Perkara Pidana dilakukan secara Langsung dan Lisan.
Berbeda dengan perkara perdata dapat dikuasakan dan hanya perang surat menyurat.
Sedangkan perkara pidana (langsung) Terdakwa tidak dapat dikuasakan hanya dapat didampingi,
pemeriksaan secara lisan (menggunakan bahasa Indonesia).

8.

Peradilan dilakukan secara Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan.
Prakteknya sulit dilakukan apalagi terdakwa tidak ditahan. Bahwa setiap pemeriksaan harus
dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Adanya asas cepat ini karena pemeriksaan dalam
Hukum Acara Pidana sangat berhubungan pada nasib tersangka. Pada tahun 1977 terdapat kasus

“Sekon dan Karta” yang selama 12 tahun di pemeriksaan sebelum akhirnya dinyatakan tidak
terbukti bersalah.
Asas ini adalah asas yang mendasari setiap proses peradilan di Indonesia. Pada dasarnya
asas ini tidak dikhususkan hanya pada peradilan pidana saja, akan tetapi pada semua tingkatan
peradilan asas ini diberlakukan sebagai prinsip dasar penyelenggaraan proses peradilan. Cepat
artinya Pengadilan dapat dijadikan sebagai institusi yang dapat mewujudkan keadilan secara
cepat oleh para pencari keadilan. Sederhana artinya semua proses penanganan perkara
dilaksanakan secara efisien dan se-efektif mungkin dan Biaya Ringan artinya bahwa biaya yang
dikeluarkan selama proses penyelesaian perkara di pengadilan adalah biaya yang dapat dijangkau
oleh masyarakat. Asas ini diatur dalam pasal 50 KUHAP.

9.

Asas Perlindungan Hak Asasi Manusia.
Dalam pemeriksaan, baik tahap penyidikan, penuntutan maupun di pengadilan, Tersangka
maupun Terdakwa harus mendapat perlakuan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
manusia yang diberi hak untuk membela diri (akuisator), tidak dianggap sebagai barang atau
objek yang diperiksa wujudnya (Inkuisator).
Asas Akuisator dan Inkuisator adalah asas yang berkenaan dengan proses pemeriksaan
terdakwa di Pengadilan. Asas Akuisator adalah asas dimana pemeriksaan dilakukan dengan

memposisikan terdakwa sebagai subjek pemeriksaan. Sedangkan Asas Inkuisator adalah asas
dimana pemeriksaan dilakukan dengan memposisikan terdakwa sebagai objek pemeriksaan.

10.

Asas Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan.
Pengadilan hanya dapat menghukum Tersangka atau Terdakwa yang nyata-nyata memiliki
kesalahan atas perbuatannya, ada peraturan yang dilanggarnya sebelum perbuatan itu dilakukan.
Asas Pranata Baru dalam Hukum Acara Pidana.

1.

Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi.
Asas yang fundamental ini, juga ada dalam asas dalam deklarasi HAM. Dalam setiap
pelaksanaan Hukum Acara Pidana sejak dari tingkat penyidikan sampai dengan pemeriksaan di
persidangan apabila terjadi kesalahan wajib diberikan ganti rugi dan rehabilitasi.
Hal ini menunjukkan bahwa, tidak boleh terjadi kesewenang-wenangan dalam pemeriksaan
aparat penegak hukum. Asas tentang perlunya memberikan ganti rugi dan rehabilitasi kepada
masyarakat yang dirugikan akibat putusan peradilan yang salah. Misalnya dalam kasus error in
persona.


2.

Asas Memperoleh Bantuan Hukum.
Bahwa sejak dari mulai menjadi tersangka sampai dengan pengadilan, pelaku tindak pidana
wajib memperoleh bantuan hukum. Konsekuensinya aparat hukum pertama kali harus
menawarkan perlu atau tidak memperoleh bantuan hukum. Dan jika tidak mampu negara harus
menyediakan. Jika tidak ditawarkan maka seluruh pemeriksaan batal demi hukum. Fungsi dari
pengacara atau bantuan hukum ini adalah untuk menjaga hak-hak tersangka di dalam setiap
pemeriksaan.

3.

Asas Informasi.

Bahwa setiap pemeriksaan di Hukum Acara Pidana para pihak (tersangka dan pengacara)
wajib diberitahukan dasar hukumnya, serta wajib diberitahukan hak-haknya.
4.

Asas Pemeriksaan Secara Langsung

Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan dalam
Peradilan Pidana adalah proses pemeriksaan secara langsung dengan kehadiran terdakwa
(in presentia) dan juga kepada para saksi.

5.

Asas Keseimbangan
Asas ini adalah asas bahwa Hukum Acara Pidana dalam penerapannya harus memperhatikan
keseimbangan antara perlindungan harkat dan martabat manusia di satu sisi dan perlindungan
terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat disisi yang lainnya. Oleh karena itu, setiap
hukuman yang diputuskan harus mengandung dua unsur ini agar asas keseimbangan dapat
diwujudkan dalam setiap proses Peradilan Pidana.

6.

Asas Pemeriksaan Tersangka/Terdakwa didampingi oleh Penasehat Hukum
Asas ini selain diatur dalam KUHAP juga merupakan asas utama yang tercantum dalam
ICCPR (International Convention of Civil and Political Rights) bahwa setiap terdakwa berhak
untuk didampingi oleh penasehat hukum di semua tingkatan peradilan, berhak untuk memilih
sendiri penasehat hukumnya, dan wajib untuk diberikan bantuan secara cuma-cuma untuk

terdakwa dengan ancaman pidana mati atau pidana penjara 15 tahun atau bagi yang tidak mampu
dengan ancaman penjara 5 tahun atau lebih.

2. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan
bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.

Asas Perlakuan Yang Sama Di Muka Hukum ( Equality Before The Law )
Asas ini sesuai dengan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi:
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Terdapat juga
dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 a yang berbunyi: perlakuaan yang sama atas diri setiap
orang
3.

di
Asas

muka

hukum


Praduga

dengan

Tak

tidak

Bersalah

mengadakan
(

pembedaan

Presumption

Of

perlakuan.

Innocent

)

Asas ini dapat di jumpai dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 huruf c. juga dirumuskan
dalam UU Pokok kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 8 yang berbunyi: “ setiap
orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya

dan

memperoleh

kekuatan

hukum

tetap”.

Menurut M. Yahya Harahap, asas praduga tak bersalah di tinjau dari segi teknis penyidikan
dinamakan



Prinsip

Akusator

“.

Prinsip Akusator menempatkan kedudukan tersangka / terdakwa dalam setiap tingkat
pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. Oleh karena itu tersangka
/ terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai
harkat dan martabat harga diri. Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah
kesalahan ( tindak Pidana ) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa, maka kea rah itulah
pemeriksaan ditujukan.

4.

Asas Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Dan Penyitaan Dilakukan

Berdasarkan

Perintah

Tertulis

Pejabat

Yang

Berwenang.

Asas ini terdapat dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 b. Penangkapan diatur secara rinci
dalam pasal 15 sampai pasal 19 KUHAP. Dalam peradilan Militer diatur dalam pasal 75 sampai
77

UU

No.

31

Tahun

1997.

Penahanan diatur dalam pasal 20 sampai 31 KUHAP. Dalam peradilan Militer diatur dalam pasal
78 sampai 80, dan pasal 137 dan pasal 138 UU No. 31 Tahun 1997. Dalam KUHAP dan
Peradilan

Militer

juga

mengatur

mengenai

Pembatasan

penahanan.

Penggeledahan diatur dalam pasal 32 sampai pasal 37 KUHAP. Dalam peradilan Militer diatur
dlam

pasal

82

samapi

pasal

86

UU

No.

31

Tahun

1997.

Tentang Penyitaan diatur dalam pasal 38 sampai pasal 46 KUHAP. Dalam peradilan Militer
diatur dalam pasal 87 sampai pasal 95 UU No. 31 Tahun 1997.
5.

Asas Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi

Asas ini juga terdapat dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 d. Pasal 9 UU Pokok Kekuasaan
Kehakiman No. 14 Tahun 1970 yang juga mengatur ganti rugi. Secara rinci mengenai ganti rugi
dan

rehabilitasi

diatur

dalam

pasal

95

sampai

pasal

101

KUHAP.

Kepada siapa ganti rugi ditujukan, memang hal ini tidak diatur secara tegas dalam pasal-pasal
KUHAP. Namun pada tanggal 1 Agustus 1983 dikeluarkan peraturan pelaksananya pada bab IV
PP No. 27 / 1983. Dengan peraturan ini ditegaskan bahwa ganti kerugian dibebankan kepada
negara ( depertemen keuangan ). Dengan tata cara pembayarannya Menteri keuangan juga
mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 983 / KMK. 01 / 1983 pada tanggal 31
Desember

1983.

Selain itu juga terdapat penggabungan pidana dengan ganti rugi yang terdapat dalam pasal 98
sampai pasal 101 KUHAP.
6.

Asas Peradilan Cepat, Sederhana Dan Biaya Ringan.

Tidak bertele-tele dan berbelit-belit. Mengenai asas ini terdapat beberapa ketentuan dalam
KUHAP diantaranya pada pasal 50 yang berbunyi: Tersangka atau terdakwa berhak segera
mendapat pemeriksaan penyidik, segera diajukan ke penuntut umum oleh penyidik, segera
diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, segera diadili oleh pengadilan. Juga pasal-pasal
lain yaitu pasal 102 ayat 1, pasal 106, pasal 107 ayat 3 dan pasal 140 ayat 1.
Tentang asas ini juga dijabarkan oleh KUHAP dalam pasal 98.
7.

Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum.

KUHAP pasal 69 sampai pasal 74 mengatur Bantuan Hukum yang mana tersangka atau terdakwa
mendapat

kebebasan

yang

sangat

luas.

Asas bantuan hukum ini telah menjadi ketentuan universal di negara-negara demokrasi dan
beradab.

8.

Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Hadirnya Terdakwa.

Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam pasal 154, 155 dan seterusnya dalam KUHAP. Yang
menjadi pengecualiannya ialah kemungkinan dijatuhkan putusan tanpa hadirnya terdakwa yaitu
putusan Verstek atau in Absentia tapi ini hanya dalam pengecualian dalam acara pemeriksaan
perkara pelanggaran lalu lintas. Pasal 214 mengatur mengenai acara pemeriksaan verstek. Dalam
hukum acara pidana khusus seperti UU No. 31 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi dan
lainnya dikenal pemeriksaan pengadilan secara in absentia atau tanpa hadirnya terdakwa.
9.

Asas Peradilan Terbuka Untuk Umum.

Pasal yang mengatur asas ini adalah pasal 153 ayat 3 dan 4 KUHAP yang berbunyi: Untuk
keperluan pemeriksaan hakim ketua membuka siding dan menyatakan terbuka untuk umum,
kecuali dalam perkara mengadili kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
Asas Teritorial
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal 2
KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan
bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan
pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia
melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat
terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk
wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan
pidana.
Asas Personal (Nasionaliteit aktif)
yakni apabila warganegara Indonesia melakukan ke-jahatan meskipun terjadi di luar Indonesia,
pelakunya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia, apabila pelaku kejahatan yang hanya dapat
dikenakan hukum pidana Indonesia—-sedangkan perbuatan pidana yang dilakukan warganegara

Indonesia di negara asing yang telah menghapus hukuman mati, maka hukuman mati tidak dapat
dikenakan pada pelaku kejahatan itu, hal ini diatur dalam pasal 6 KUHP.
Asas Perlindungan (Nasional Pasif)
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara yang berdaulat
wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya. Ciri utamanya adalah
Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada warga negara saja, selain itu tidak tergantung
pada tempat, ia merupakan tindakan-tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan
nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi. Kepentingan nasional tersebut ialah:
1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta pemerintah
yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada waktu perang,
keamanan Martabat kepala negara RI;
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara yang berdaulat
wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya. Ciri utamanya adalah
Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada warga negara saja, selain itu tidak tergantung
pada tempat, ia merupakan tindakan-tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan
nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi. Kepentingan nasional tersebut ialah:
1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta pemerintah
yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada waktu perang,
keamanan Martabat kepala negara RI;
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;

3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan;
Asas Universal
Asas universal adalah asas yang menyatakan setiap orang yang melakukan perbuatan pidanan
dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah Negara untuk
kepentingan hukum bagi seluruh dunia. Asa ini melihat hukum pidanan berlaku umum,
melampaui batas ruang wilayah dan orang, yang dilindungi disini ialah kepentingan dunia. Jenis
kejahatan yang dicantumkan pidanan menurut asas ini sangat berbahaya tidak hanya dilihat dari
kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. Secara universal kejahatan ini perlu
dicegah dan diberantas.
Asas-asas Hukum Pidana Menurut Tempat
Asas Legalitas
Secara Hukum Asas legaliatas terdapat di pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat
di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan”
Dalam bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat
diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen
sine lege stricta, yang dapat diartikan dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.
Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).

3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
4.
Asas transitoir
Adalah asas yang menentukan berlakunya suatu aturan hukum pidana dalam hal terjadi atau ada
perubahan undang-undang
Asas retroaktif
Asas retroaktif ialah suatu asas hukum dapat diberlakukan surut. Artinya hukum yang aru dibuat
dapat diberlakukan untuk perbuatan pidana yang terjadi pada masa lalu sepanjang hukum
tersebut mengatur perbuatan tersebut, misalnya pada pelanggaran HAM berat.
7. Asas Kesalahan dan Asas-Asas Penghapusan Pidana
Pendapat para ahli pada umumnya mengakui berlakunya asas tidak tertulis dalam hukum pidana,
yaitu asas “geen straf zonder schuld”, atau tiada pidana tanpa kesalahan. Di samping itu juga
dikenal beberapa asas yang berlaku dalam ilmu pengetahuan pidana, tetapi dalam beberapa hal
telah

ada

yang

dirumuskan

terbatas

dalam

undang-undang:

a. Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden), yaitu menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan,

sehingga

menjadi

perbuatan

yang

benar;

b. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden), yaitu menghapuskan sifat kesalahan dari terdakwa
meskipun

perbuatannya

bersifat

melawan

hukum

tetapi

tidak

pidana;

c. Alasan penghapusan penuntutan (onvervolgbaarheid), yaitu pernyataan tidak menuntut karena
tidak dapat diterima oleh badan penuntut umum yang disebabkan konflik kepentingan dengan
lebih

mengutamakan

kemanfaatannya

untuk

tidak

menuntut.

Dalam asas kesalahan dan asas-asas penghapusan pidana yang sebagian besar masih berkembang
di dalam doktrin ilmu pengetahuan itu, apabila banyak para sarjana yang menganjurkan untuk
dirumuskan secara tertulis di dalam undang-undang hukum pidana, akan mengalami kesulitan
untuk membuat batasan berhubung dengan sifatnya asas-asas itu terus menyesuaikan (fleksibel)
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Kedua asas hukum pidana tentang kesalahan dan
penghapusan pidana itu mempunyai arti penting untuk menentukan dipidana atau tidak

dipidananya seseorang meskipun telah terbukti perbuatannya akan tetapi tidak terpenuhi unsur
dari asas-asas tersebut di atas.