1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Penelitian tentang etnik Tionghoa di Indonesia sangatlah menarik untuk mengkajinya secara lebih dalam. Paulus Hariyono menyatakan bahwa
kepercayaan yang biasa dikenal oleh masyarakat Tionghoa adalah agama Buddha, Tao, dan Kong Hu Cu
1
. Penelitian ini akan berusaha mengungkap tentang komunitas Tionghoa Tao. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, agama Tao
kurang dikenal eksistensinya, padahal menurut penjelasan dari Tjeng Santoso Tirtamas
2
bahwa sejarah perkembangan agama Tao di Tiongkok telah mencapai 5000 tahun.
Indonesia merupakan
suatu Negara
yang terkenal
dengan keberagamannya. Keberagaman yang ada di Wilayah Indonesia tidak hanya
terlihat dari budaya dan adat istiadat saja, namun hal ini juga dibuktikan dengan keberagaman dari Agama. Hal ini dibuktikan dengan Indonesia sebagainegara
yang mengakui enam “Agama Resmi” yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen
Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu. Selain enam agamakepercayaan diatas, yang sudah diakui oleh negara Republik Indonesia, ternyata ada beberapa
1
Hariyono, Paulus. 2006. Menggali Latar Belakang Stereotip Dan Persoalan Etnik Cina di Jawa dari Jaman Keemasan, Konflik Antar Etnik Hingga Kini. Semarang:
Penerbit Mutiara Wacana. Hlm. 174.
2
Tirtamas, Tjeng Santoso.2009. Hari Raya Taois 2009. Semarang: Taoist Mission Singapore dan Tek hay Bio Semarang. Hlm. 13.
2 kepercayaankeyakinan yang dari zaman Belanda sudah berada di Indonesia,
salah-satunya adalah Tao. Perkembangan agama yang dianut masyarakat Tionghoa di Indonesia
dimulai sejak tahun 1930-an. Saat itu, ada usaha dari orang-orang Tionghoa untuk mendirikan Masyarakat Tiga Agama Sam Kauw Hwee yang mempersatukan
Budhisme, Konfusianisme, dan Taoisme
3
dan akhirnya pada tahun 1951 Sam Kauw Hwee ini muncul dengan mempunyai tujuan mempraktekkan tiga ajaran
tersebut dan saat ini dikenal dengan nama Tri Dharma yang bernaung di Perwalian Umat Buddha Indonesia
4
. Adanya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat mengekspresikan kehidupan
beragamanya termasuk mengamalkan ajaran Khonghucu. Pengakuan agama Khonghucu oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu agama resmi
yang diakui di Indonesia mendapat respon yang sangat positif dari kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Di Indonesia, persoalan yang masih dianggap rawan adalah masalah SARA Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan. Dari keempat masalah tersebut
yang sangat menonjol adalah rasialisme antar golongan etnik Tionghoa dengan mayoritas pribumi, persoalan yang menyangkut agama serta kehidupan beragama
etnik Tionghoa. Tidak ubahnya seperti suku bangsa lain di Indonesia, etnik
3
Coppel, Charles A. 1994. Cina Indonesia Dalam Krisis terj.. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 305.
4
Tanggok, M.Ikhsan. 2005. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Pelita Kebajikan. Hlm. 102.
3 Tionghoa juga menganut agama yang berbeda-beda, baik yang yang secara resmi
diakui oleh pemerintah ataupun yang tidak. Pada tahun 1965, Presiden Ir. Soekarno mengeluarkan ketetapan
No.1Pn.ps1965, tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, yang di dalamnya menjelaskan bahwa agama-agama yang dipeluk penduduk
Indonesia berdasarkan sejarahnya ada enam, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965, yang kemudian diangkat menjadi undang-undang dengan UU No. 5 Tahun 1969, dinyatakan dalam
Penjelasan Pasal 1 UU itu, bahwa terdapat 6 agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan
Khonghucu. Tetapi tidaklah berarti bahwa hanya 6 agama itu yang boleh hidup di Indonesia, karena pada paragraf berikutnya dari Penjelasan Pasal 1 itu dinyatakan
bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa agama-agama lainnya, seperti Yahudi, Zoroaster, Shinto, dan Tao dilarang di Indonesia. Agama-agama itu juga boleh
hidup di Indonesia dan mendapatkan jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUD 1945. Dengan kata lain, UU No. 1PNPS1965 ternyata sangat terbuka di
dalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Perlu juga dicatat bahwa UU No. 1PNPS1965 itu lahir sebelum Kovenan Internasional PBB tentang Hak-hak
Sipil dan Politik PBB tahun 1966. Pemilihan keenam agama di atas berdasarkan pada definisi agama seperti
yang diusulkan Menteri Agama pada masa itu. Menurut M. Ikhsan Tanggok
5
5
Ibid. Hlm.104.
4 bahwa syarat agama seperti yang diusulkan Menteri Agama pada masa itu adalah
minimal memiliki: 1.
Kitab Suci; 2.
Nabi; 3.
Kepercayaan akan satu Tuhan; 4.
Tata Agama dan tata ibadah bagi pengikutnya. Kelahiran Orde Baru erat kaitannya dengan penumpasan gerakan
komunisme pada tanggal 30 September 1965 atau lebih dikenal dengan G 30 S PKI. Peristiwa itu pulalah yang membawa “petaka” bagi etnik Tionghoa, karena
diduga keras bahwa gerakan G 30 S PKI memiliki afiliasi dengan organisasi yang didirikan pada tahun 1954 yang bernama BAPERKI. Sejak terungkap
keterlibatan pemerintah Cina dalam kudeta G 30 S PKI, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa tindakan drastis di hampir segala bidang kehidupan
masyarakat Cina di Indonesia. Pemerintah Orde Baru berupaya memblokir hubungan antara keturunan etnik Tionghoa di Indonesia dengan RRC. Upaya ini
dilakukan untuk mencegah penyusupan paham komunisme Cina ke Indonesia. Hubungan diplomatik dan perdagangan dengan RRC dibekukan. Di bidang
pendidikan, tahun 1966 sekolah-sekolah yang bernuansa Cina ditutup. Setahun kemudian pemerintah menggalakkan kampanye penggunaan nama Indonesia bagi
warga negara keturunan asing. Di bidang agama, ibadah dan perayaan agama yang bernafaskan Cina hanya diperbolehkan dilangsungkan di rumah. Di bidang
administrasi muncul persoalan birokrasi yang dihadapi etnik Tionghoa dalam
5 mendapatkan surat-surat tertentu seperti KTP dan paspor serta adanya Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia
6
. Adanya UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia,
masyarakat etnik Tionghoa patut berterima kasih kepada pemerintah karena dengan UU No.12 Tahun 2006 tersebut kini tidak ada lagi istilah WNI keturunan,
WNI asli, atau pribumi dan nonpribumi. Yang ada hanya Warga Negara Indonesia WNI dan Warga Negara Asing WNA. Gus Dur juga mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan pelarangan mengekspresikan kebudayaan Cina. Keputusan Presiden tersebut merupakan pengganti dari
Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 yang dicabut pada bulan Februari 2000, sehingga orang etnik Tionghoa dapat merayakan tahun baru Imlek secara terbuka
dan tidak lagi terbatas dalam lingkungan sendiri
7
. Gus Dur juga mencabut Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
No.47774054BA.01.2468395 tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
dan Buddha yang dicabut pada tangggal 31 November 2000
8
. Mantan Presiden Megawati juga menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari besar nasional dan
hari libur nasional. Megawati telah menyatakan bahwa etnik Tionghoa yang lahir secara turun temurun ini termasuk salah satu suku yang ada di Indonesia, sehingga
mereka bukan keturunan asing
9
.
6
Hariyono. Op.cit. Hlm. 82-85.
7
Ibid. Hlm. 87.
8
Tanggok. Op.cit. Hlm.108.
9
Hariyono. Op.cit. Hlm.166.
6 Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1-2 telah menegaskan bahwa
setiap Warga Negara Indonesia diberi kebebasan memeluk dan menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Masyarakat etnik
Tionghoa tidak lagi disebut sebagai Warga Negara Indonesia Keturunan Cina, tetapi harus disebut sebagai Warga Negara Indonesia tanpa tambahan kata dan
kalimat lain di belakangnya. Bahkan sekarang mereka diakui sebagai salah satu etniksuku, diberi hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam menjalankan
ibadahnya sesuai ajaran yang mereka anut. Agama Tao adalah sebagai salah satu agama yang dianut oleh etnik
Tionghoa di Indonesia, yang tentu saja mereka menginginkan adanya kebebasan beragama dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama Tao. Buddha dan Khonghucu
sudah mendapatkan perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia dan pelayanan dari Kementerian Agama Republik Indonesia. Bagaimana pelayanan pembinaan
kehidupan keagamaan oleh Pemerintah kepada masyarakat etnik Tionghoa yang beragama Tao dilaksanakan selama ini ? Apakah umat Tao sudah dapat beribadah
menurut agama dan keyakinan mereka tanpa adanya intimidasi maupun hambatan-hambatan yang bisa menghalangi ritual ibadahnya ?.
Peneliti ingin memberikan argumentasi bahwa komunitas etnik Tionghoa Tao diasumsikan sedang berada dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Pemerintah Republik Indonesia hingga saat ini hanya memberikan pengakuan kepada agama Buddha dan agama Konghucu sebagai “agama resmi” yang diakui
oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, padahal sejak tahun 1930-an, orang- orang Cina mendirikan Masyarakat Tiga Agama Sam Kauw Hwee yang
7 mempersatukan Budhisme, Konfusianisme, dan Taoisme. Sam Kauw Hwee ini
muncul dengan mempunyai tujuan mempraktekkan tiga ajaran tersebut pada tahun 1951 dan saat ini dikenal dengan nama Tridharma yang bernaung di Perwalian
Umat Buddha Indonesia. Pertanyaan utama yang dapat diutarakan saat ini adalah mengapa hanya agama Buddha dan agama Konghucu saja yang diakui oleh
Pemerintah Republik Indonesia sebagai “agama resmi” ? Mengapa agama Tao tidak memperoleh pengakuan yang sama dari Pemerintah Republik Indonesia
sebagai “agama resmi” ?. Mengutip pernyataan Tjeng Santoso Tirtamas, salah seorang pengurus
Klenteng Tempat Ibadah Tri Dharma Sinar Samudera Semarang, bahwa selama ini sebagai pengurus Klenteng, mereka mengalami kesulitan ketika ada
pertanyaan-pertanyaan dari umat di Klenteng tentang sejarah agama Tao, tata cara ritual, makna dan arti simbol-simbol yang ada di Klenteng. Tjeng Santoso
Tirtamas juga menyatakan bahwa hampir semua literatur tentang Klenteng dan agama Tao adanya dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris dengan jumlah
buku yang tidak banyak dan pengurus tidak menguasai bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Tjeng Santoso Tirtamas juga menjelaskan bahwa kalaupun ada
buku-buku tentang Taoisme dan Klenteng yang ditulis dalam bahasa Indonesia kebanyakan dalam bentuk cerita-cerita mitos atau legenda atau versi yang kurang
dapat dipertanggungjawabkan data sejarah maupun akurasinya, karena banyak buku yang ditulis hanya untuk memenuhi permintaan pasar bukan berdasarkan
fakta yang ada
10
.
10
Tirtamas, Loc.cit. Hlm.13
.
8 Berbagai kajian tentang masyarakat etnik Tionghoa sebenarnya telah
banyak dilakukan oleh para pengamat sosial keagamaan. Para pengkaji masalah masyarakat etnik Tionghoa di Indonesia cukup banyak dan kajian-kajian tersebut
diantaranya telah mengungkap permasalahan-permasalahan yang terjadi di kalangan masyarakat etnik Tionghoa dan telah berusaha mengangkat tema-tema
tersebut dalam suatu bahasan yang muara pembahasan tersebut menginginkan adanya pengakuan terhadap etnik Tionghoa sebagai “anak bangsa” yang memiliki
hak dan kewajiban yang sama di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan tanah kelahiran generasi etnik Tionghoa secara turun temurun.
Beberapa hasil pustaka yang cukup penting yang memberi kontribusi besar dalam memahami masyarakat etnik Tionghoa dapat ditunjukkan di sini antara lain
beberapa buku-buku kajian pustaka yaitu diantaranya: La Ode dengan karyanya “Tiga Muka Etnik Cina-Indonesia menceritakan
tentang masyarakat Cina pada masa Orde Baru dan ulasan mengenai budaya, falsafah Cina dan Confusianisme memberi informasi dan pemahaman terhadap
kultural etnik Cina serta pandangan Confusianisme. Khong Yuanzhi dengan karyanya “Silang Budaya Tiongkok Indonesia”
menjelaskan pengaruh budaya Cina terhadap budaya Indonesia, seperti kata tahu, taoge, kue, capcai, angpo, klenteng, kecap, dan bakiak dan sebaliknya adanya
berbagai pengaruh budaya Indonesia terhadap budaya Cina, seperti kata pinang, sarung, sagu, dan durian. Selain itu menjelaskan tentang proses Islamisasi di
Tiongkok dan proses persebaran etnik Cina ke Indonesia, terutama di Jawa dan Kalimantan Barat.
9 Leo Suryadinata dengan karyanya “The Culture of the Chinese Minority in
Indonesia ” dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dede Oetomo dan
diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1988 menjadi “Kebudayaan Minoritas Cina di Indonesia
”, secara menarik membahas perkembangan kebudayaan minoritas Cina di Indonesia dari pelbagai segi pendidikan, keagamaan, pers, dan
kesusastraan. Buku ini menceritakan tentang kebudayaan minoritas Cina di Indonesia yang berkembang sejalan dengan berubahnya masyarakat Indonesia dan
dunia luar. Dan nampak tengah dan terus membentuk identitasnya sendiri yang utuh, sebagai bagian integral dari pluralitas budaya Indonesia.
Charles A. Coppel dengan karyanya “Indonesian Chinese in Crisis” dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Tim Penerjemah PSH dan diterbitkan
oleh Pustaka Sinar Harapan pada tahun 1994 menjadi “Cina Indonesia Dalam Krisis
”. Karya fenomenal yang menceritakan orang Cina sebagai minoritas etnik yang krisis identitas. Coppel mengkaji latar belakang historis etnik Cina di
Indonesia, kebijakan yang komprehensif dari Pemerintah untuk pemecahan masalah Cina, dan mendiskusikan keadaan yang telah dicapai di bawah rezim
Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Bagus Takwin, karya bukunya yang berjudul Filsafat Timur Sebuah
Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur diterbitkan oleh Jalasutra pada tahun 2003, membahas tentang penggalian dan pengembangan pemikiran Timur,
termasuk pemikiran filosofis Cina yang memiliki ajaran Tao. Buku yang berjudul Gerakan Keagamaan Dan Pemikiran Akar Ideologis
dan Penyebarannya yang diterjemahkan oleh A.Najiyulloh dan diterbitkan oleh
10 Al-
I’tishom Cahaya Umat pada tahun 2006, memberikan gambaran sangat menarik dan cerdas sekitar gerakan keagamaan dan pemikiran yang ada di dunia,
salah satu pembahasannya adalah tentang Tao. Frtijof Capra, karya bukunya yang berjudul The Tao of Physics:
Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mistisisme Timur diterbitkan oleh Jalasutra pada tahun 2003, karya bukunya tentang Tao sangat fenomental karena
berupaya mencari integrasi antara pandangan dunia matematis fisika-modern dengan visi mistis.
Dari beberapa pustaka tersebut yang disampaikan diatas, kajian tentang agama Tao yang dianut oleh komunitas Cina Tao di Jawa belum pernah dilakukan
melalui suatu penelitian. Maka dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kajian-kajian yang telah ada.
Oleh karena itu, penelitian terhadap komunitas umat Tao perlu dan penting untuk dilakukan karena belum ada yang pernah meneliti dan melacak bagaimana
fenomena Tao di Indonesia. Persoalan ini menarik untuk diteliti karena pemahaman tentang kehidupan keberagamaan di kalangan etnik Tionghoa Tao
masih sangat terbatas dan masih sangat jarang ditemukan kajian-kajian tentang agama Tao dalam perspektif ke-INDONESIA-an.
1.2. Rumusan Masalah