Dampak Psikososial Penderita Penyakit Kronis

Universitas Sumatera Utara e. Fase akut, yaitu pada fase ini ditandai dengan adanya gejala -gejala yang berat dan tidak dapat pulih atau penyakit sudah mencapai komplikasi sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit. f. Fase krisis, yaitu fase yang ditandai dengan situasi kritis atau mengancam jiwa penderitanya yang membutuhkan pengobatan atau perawatan kedaruratan. g. Fase pulih yaitu pulih kembali namun gaya hidup yang diterima berada dalam keterbatasan karena dibebani oleh penyakit kronis. h. Fase penurunan, yaitu terjadi ketika perjalanan penyakit berkembang disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan dalam mengatasi gejala – gejala yang datang kembali. i. Fase kematian, yaitu hari-hari terakhir atau 1 minggu sebelum kematian. Pada fase ini ditandai dengan penurunan bertahap atau cepat fungsi tubuh dan berakhirnya hubungan individual.

2.1.5 Dampak Psikososial Penderita Penyakit Kronis

Menurut George 2005 mengatakan bahwa psikososial merupakan keadaan pikiran serta perilaku individu atau kelompok. Karabulutlu, Bilici, Cayir, Tekin dan Kantarci 2010 sebelumnya menjelaskan bahwa penderita penyakit kronis bukan hanya memberikan gangguan fisik pada penderitanya namun juga memberikan efek psikososial yang negatif. Hurlock 1996 membagi kelompok umur masa dewasa kedalam 3 periode sesuai dengan perkembangan psikologisnya sehingga diketahui akan respon individu terhadap suatu penyakit, yaitu dewasa awal 20 - 40 tahun, usia pertengahan 40 - 60 tahun, dan usia lanjut 60 – Universitas Sumatera Utara meninggal. Pada masa dewasa awal, individu mengalami perubahan fisik dan psikologis namun masih dalam kondisi stabil, bersamaan dengan masalah- masalah penyesuaian diri dan harapan-harapan terhadap perubahan tersebut. Dewasa madya usia pertengahan 40-60 tahun terjadi penurunan fungsi fisik dan psikologis sehingga pada fase ini mulai muncul gejala-gejala penurunan fungsi tubuh, sedangkan pada usia lanjut 60- meninggal kemampuan fisik dan psikologis cepat menurun. Dampak psikososial akan penyakit kronis dipandang dari kelompok umur akan selalu bervariasi, hal tersebut diakibatkan adanya penurunan fungsi dan psikologis sehingga mempengaruhi penerimaan individu terhadap suatu penyakit yang dideritanya. Berbagai kondisi psikososial pada penderita penyakit kronis dari berbagai penelitian adalah sebagai berikut: a. Pasien Kanker Kanker menyerang siapa saja dan membahayakan kesehatan seseorang dimana sel-sel membelah secara abnormal tanpa terkontrol dan menyerang jaringan disekitarnya dan menyebabkan kematian. Salah satu penanganan kanker adalah dengan menjalani pengobatan kemoterapi dimana pasien tersebut akan mengalami masalah psikologis sebagai efek dari perjalanan kanker atau efek dari kemoterapi yang dapat memperkecil peluang kesembuhan sehingga memunculkan keinginan penderitanya untuk menghentikan kemoterapi Bintang, Ibrahim, Emaliyawati, 2012 Penelitian Oetami, F., Thaha I. L., dan Wahiduddin 2014 pada 25 pasien penderita kanker payudara menjelaskan bahwa pasien kanker Universitas Sumatera Utara payudara mengalami dampak psikologis berupa ketidakberdayaan 68 dan kecemasan 84. b. Pasien Diabetes Mellitus Perubahan yang besar terjadi pada seseorang yang mengidap penyakit diabetes mellitus. Seseorang yang mengalami diabetes mellitus harus melakukan banyak sekali penyesuaian diri dalam kehidupannya, seperti tidak boleh mengkonsumsi makanan dengan sembarangan, cek gula darah yang rutin, serta treatmen dan pemakaian obat secara rutin Sholihah, 2009. Saat seseorang didiagnosis menderita diabetes melitus maka respon emosional yang biasanya muncul yaitu penolakan, kecemasan dan depresi, tidak jauh berbeda dengan penyakit kronis lain. Penderita diabetes melitus memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi, yang berkaitan dengan treatmen yang harus dijalani dan terjadinya komplikasi serius. Depresi yang dialami penderita berkaitan dengan treatmen yang harus dijalani seperti diet atau pengaturan makan, pemeriksaan kadar gula darah, konsumsi obat dan juga olahraga. Selain itu, risiko komplikasi penyakit yang dapat dialami penderita juga menyebabkan terjadinya depresi Taylor, 1995. c. Pasien Penyakit Ginjal Kronis Penyakit ginjal kronik memiliki dampak yang signifikan pada aspek psikologis. Beberapa penyebab kondisi tersebut adalah akibat efek samping pengobatan, yaitu imobilitas dan kelelahan terkait Universitas Sumatera Utara ketidakmampuan untuk bekerja, disfungsi seksual, takut mati dan ketergantungan pada mesin untuk hidup. Hal tersebut sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis sehingga berujung terjadinya depresi. Depresi merupakan permasalahan psikiatri terbanyak pada pasien yang menjalani hemodialisis. Gejala depresi terdapat pada 30 pada pasien yang menjalani hemodialisis. Gejala depresi ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan penurunan kualitas hidup dari pasien yang menjalani hemodialisis Amalia, Nadzmir, Azmi, 2015. d. Pasien Penyakit Jantung Pada kebanyakan pasien dengan penyakit jantung, depresi merupakan keadaan yang umum terjadi, persisten dan kurang disadari. Gangguan nafsu makan, konsentrasi, tidur, dan energi, depresi yang nyata dengan mood depresi yang persisten atau anhedonia merupakan konsekuensi yang tidak normal dari penyakit jantung. Cemas juga umum terjadi pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler akut. Peningkatan level cemas yang dilaporkan sendiri mencapai 20- 50 pada pasien dengan infark miokard akut, dengan seperempatnya mengalami gejala cemas yang sama dengan yang dialami pasien di unit psikiatri Widiyanti, 2010 Universitas Sumatera Utara 2.2 Resiliensi 2.2.1 Definisi Resiliensi Secara harfiah resiliensi berasal dari kata resile yang berarti bangkit atau bangkit kembali. Definisi mengenai resiliensi kian berkembang dan bervariasi. Pada awalnya, resiliensi dianggap sebagai sifat kepribadian yang bekerja setelah mereka mengalami peristiwa traumatis dalam hidup Klohnen, 1996 dalam Herrmann et al., 2011. Salah satu ahli yang melihat resiliensi sebagai sifat adalah Newman 2005, yang menyatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk beradaptasi saat menghadapi tragedi, trauma, kesulitan, serta stressor dalam hidup yang bersifat signifikan. Resiliensi merupakan konsep yang bersifat multidimensional dimana tidak ada sifat kepribadian atau karakteristik yang disebut sebagai resiliensi. Resiliensi lebih diasosiasikan dengan kemampuan menjaga hubungan dengan orang lain, menjaga pandangan yang optimis terhadap kehidupan, memiliki tujuan, dan mengambil langkah untuk mencapainya hingga mencapai individu yang percaya diri Luthar Cichetti, 2000 dalam Newman, 2005. Henderson Milstein 2003 dalam Nasution, 2011 juga mendefinisikan resiliensi sebagai suatu kemampuan individu untuk bangkit dari pengalaman negatif, bahkan menjadi lebih kuat selama menjalani proses penanggulangannya. Menurut penilitian Masten 2001 dalam Newman, 2005, tingkah laku yang banyak dikaitkan dengan resiliensi bukanlah tingkah laku yang luar biasa melainkan yang dapat dilakukan oleh semua orang. Universitas Sumatera Utara Bahkan menurutnya, anak-anak yang mengalami kesulitan hidup selama tahap perkembangannya pun masih mampu untuk mengatasi hal tersebut seperti layaknya orang dewasa. Maka pada dasarnya resiliensi dimiliki semua orang bahkan anak-anak. Kemudian sejalan dengan pandangan diatas, Herrmann et al. 2011, mengatakan bahwa meskipun definisi resiliensi berkembang seiring waktu, namun secara fundamental resiliensi dapat dipahami sebagai adaptasi positif, atau kemampuan untuk menjaga atau mengembalikan kesehatan mental setelah menghadapi hambatan. Menurutnya resiliensi bukanlah suatu hal yang menetap, melainkan suatu hal yang dinamis dan berkembang sepanjang kehidupan manusia, serta dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Wagnild dan Young 1993 sebelumnya juga menemukan bahwa resiliensi merupakan suatu hal yang dinamis, tepat suatu kekuatan dalam diri individu sehingga mampu beradaptasi dalam menghadapi kondisi sulit dan kemalangan yang menimpanya. Hampir semua manusia mengalami kesulitan dan jatuh dalam perjalanan hidup, namun mereka memiliki ketahanan untuk bangkit dan melanjutkan hidupnya. Kemampuan untuk bangkit dan terus melanjutkan hidup ini disebut resiliensi. Penelitian Wagnild dan Young 1993 menemukan bahwa resiliensi dapat menjadi faktor protektif dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan, perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya sehingga memiliki potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin muncul. Selanjutnya, individu yang resilien disebut sebagai individu yang berorientasi Universitas Sumatera Utara pada tujuan dimana hal tersebut akan mendorongnya untuk selalu bangkit dan terus maju ketika menghadapi kesulitan. Ia juga mengetahui kekuatan yang dimiliki dirinya, serta bahwa ia dapat bergantung pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, meskipun harus menyelesaikannya sendiri. Untuk itu, Wagnild dan Young menekankan bahwa semua individu sangat membutuhkan kemampuan yang dapat dikembangkan melalui lima komponen resiliensi yaitu kebermaknaan, ketenangan hati, ketekunan, kemandirian dan eksistensi kesendirian. Definisi yang dikemukakan oleh Wagnild dan Young 1993 seperti yang dipaparkan diatas tidak hanya melihat resiliensi sebagai suatu hal yang dinamis dan dapat dikembangkan sepanjang kehidupan manusia, melainkan juga memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai lima komponen yang mendasari resiliensi itu sendiri.

2.2.2 Bangunan resiliensi