Perbandingan Efek Terapi Fluticasone furoate Semprot Hidung dan Metilprednisolon Oral pada Polip Hidung Dinilai dari Perubahan Jumlah Sel-sel Radang dan Stadium Polip Hidung
PERBANDINGAN EFEK TERAPI FLUTICASONE FUROATE SEMPROT HIDUNG DAN METILPREDNISOLON ORAL PADA POLIP HIDUNG DINILAI DARI PERUBAHAN JUMLAH SEL RADANG DAN STADIUM POLIP HIDUNG
Tesis
Oleh: EDWARD SURYANTA SEMBIRING
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA
LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
Universitas Sumatera Utara
PERBANDINGAN EFEK TERAPI FLUTICASONE FUROATE SEMPROT HIDUNG DAN METILPREDNISOLON ORAL PADA POLIP HIDUNG DINILAI DARI PERUBAHAN JUMLAH SEL RADANG DAN STADIUM POLIP HIDUNG
Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Oleh: EDWARD SURYANTA SEMBIRING
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
Universitas Sumatera Utara
Medan, 6 Oktober 2014
Tesis dengan judul
PERBANDINGAN EFEK TERAPI FLUTICASONE FUROATE SEMPROT HIDUNG DAN METILPREDNISOLON ORAL PADA POLIP HIDUNG DINILAI DARI PERUBAHAN JUMLAH SEL RADANG DAN STADIUM POLIP HIDUNG
Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing
Ketua
dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL NIP. 140202219
Anggota
Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL NIP. 19790620 200212 2 003
Diketahui oleh
Ketua Departemen
Ketua Program Studi
dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL(K) NIP: 19471130 198003 1 002
dr. Farhat, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K) NIP: 19790620 200212 2 003
Dekan Fakultas Kedokteran USU
Ketua TKP-PPDS
Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD, KGEH NIP: 19540220 198011 1 001
dr. H. Zainuddin Amir, Sp.P(K) NIP: 19540620 198011 1 001
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Salam sejahtera, saya sampaikan rasa sukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena dengan rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasannya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian tentang Perbandingan Efek Terapi Fluticasone furoate Semprot Hidung dan Metilprednisolon Oral pada Polip Hidung Dinilai dari Perubahan Jumlah Sel-sel Radang dan Stadium Polip Hidung.
Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
Dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL(K) dan dr. Farhat, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K) sebagai anggota pembimbing serta dr. Stephen Udjung, Sp.PA dan Prof. Dr. Albiner Siagian, MSi sebagai pembimbing ahli. Di tengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.
Universitas Sumatera Utara
Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis THT-KL di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di rumah sakit yang beliau pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.
Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU sebelumnya Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp. THT-KL(K) yang telah memberikan izin, kesempatan
Universitas Sumatera Utara
dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis THTKL sampai selesai.
Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THTKL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THTKL(K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, almh dr. Hafni, Sp.THT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati Harahap, SpTHT-KL, dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL(K), dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Farhat, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K), Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Asri Yudhistira, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked (ORLHNS), Sp.THT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL, dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, SpTHT-KL dan dr. Ramlan Sitompul, Sp.THT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.
Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.
Yang mulia dan tercinta Ayahanda Drs. Dolin Sembiring dan Ibunda Lompoh Pinem, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suri
Universitas Sumatera Utara
tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kepada Bapa di Surga agar dengan umur panjang, kesehatan dan kesejahteraan, Engkau memberkati kedua orang tua kami.
Kepada Abang dan Adik, Antonius Wilson Sembiring dan Hesty Meitaria Sembiring dan kakak ipar penulis mengucapkan terima kasih atas dorongan serta doa kepada penulis.
Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Akhirnya ijinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Bapa di Surga, Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amen.
Medan, Juni 2014
Penulis
Edward Suryanta Sembiring
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Pendahuluan : Polip hidung adalah penyakit inflamasi berat saluran nafas atas dengan berbagai faktor predisposisi dan patogenesis yang berkaitan sehingga kortikosteroid merupakan pilihan terapi. Kortikosteroid menginduksi apoptosis dalam mengurangi jumlah sel-sel radang. Proses ini akan berdampak pada berkurangnya ukuran polip. Kortikosteroid semprot hidung bersifat lipofilik sehingga mudah memasuki sitoplasma sel target dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid yang banyak di saluran nafas. Efektfitas terapi dapat dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium polip. Tujuan : Mengetahui perbandingan efektifitas terapi kortikosteroid semprot hidung dan kortikosteroid oral pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang (neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma) dan stadium. Metode : Populasi adalah penderita polip hidung yang dibiopsi dan diobati di RSUP. H. Adam Malik periode Januari 2013 s.d. Juni 2014. Perubahan jumlah sel-sel radang dinilai dengan tehnik pewarnaan Haemathoxylin eosin. Gambaran histopatologi berdasarkan klasifikasi Hellquist, 1996. Penentuan stadium berdasarkan Lund and Mackay, 1995. Semua data yang diperoleh dianalisis dan diuji statistik menggunakan t-test dengan tingkat kemaknaan 5%. Hasil penelitian : Dari 30 sampel penelitian, laki-laki 63,33%, terbanyak kelompok usia ≥ 40 tahun (66,67%). Stadium terbanyak adalah stadium dua. Dominan polip neutrofilik (60%) sedangkan polip eosinofilik 40%. Sebanyak 16 sampel diterapi dengan Fluticason furoate semprot hidung. Neutrofil, limfosit dan sel plasma menunjukkan penurunan jumlah yang bermakna namun tidak pada eosinofil. Stadium menurun bermakna setelah terapi. Sementara pada kelompok yang diterapi Metilprednisolon oral, seluruh sel radang menunjukkan penurunan jumlah yang bermakna. Stadium menurun bermakna setelah terapi. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada penurunan jumlah sel-sel radang dan stadium pada kedua kelompok sampel. Kesimpulan : Tidak ada perbedaan efek terapi yang bermakna antara Fluticason furoate semprot hidung dan Metilprednisolon oral pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium. Kata kunci : Polip nasi, polipektomi medikamentosa, fluticason furoate, metilprednisolon, neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma, stadium.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Background: Nasal polyps (NP) is the ultimate inflammation of the nose and paranasal sinuses predisposed by multiple risk factors of various overlapping pathogenesis so corticosteroid form the mainstay of conservative therapy. Corticosteroids promote apoptosis in reducing inflammatory cells to shrinkage of NP. Lipophilicity also correlates with easier to enter cytoplasmic target cells and bounded with glucocorticoids receptors that found in respiratory tract. Therapeutic effectivity can be observed from the decrease of inflammatory cells dan NP stadium.
Purpose: To compare the therapeutic effectivity of Fluticasone furoate (FF) nasal spray with oral metilprednisolon that abserve from decreasing of inflammatory cells and shrinkage of NP.
Material and Methods: Population is patients with NP that biopsied and treated in Adam Malik general hospital since January 2013 until June 2014. Inflammatory cells counted below microscope with Haematoxylin eosin staining. Histopathologic classified based on Hellquist 1996 classification. Stagiung of NP based on Mackay and Lund 1995. Results: from 30 patients, male 63,33%, mostly ≥ 40 years old (6 6,67%) and 2nd stage. Neuthropylic polyp 60% and eosinophilic polyp 40%. Patients classified into group in 16 subjects treated with FF nasal spray and 14 subjects treated with oral methylprednisolon. Neutrophil, lymphocite and plasma cell were decreased significantly after treated FF nasal spray, but not for eosinophil. Staging of NP decreased significantly. All of inflammatory cells were decreased significantly after treated with oral methylprednisolone. Staging of NP decreased significantly. There is no differencies significantly in decreasing inflammatory cells and staging of NP between patients treated with FF nasal spray or oral methylprednisolone.
Conclusion: There is no differencies significantly between FF nasal spray and metilprednisolon in decreasing inflammatory cells and down staging of NP. Keywords: nasal polyps, medicament for NP, fluticasone furoate, methylprednisolone, neutrophil, eosinophil, lymphosite, plasma cell, staging of NP.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....…………................................................................ i
ABSTRAK ………......................................................................................... v
ABSTRACT ………………………………..……………….……………..
vi
DAFTAR ISI ……........................................................................................ vii
DAFTAR TABEL …………….………………………….…....................
x
DAFTAR GAMBAR ………..…………………………………………………….xii
DAFTAR SINGKATAN …….………………………………………………….... xiii
BAB 1 : PENDAHULUAN ………………………………….…………........... 1
1.1. Latar Belakang .......….…………………………………. 1 1.2. Permasalahan .......……………….……………………... 4 1.3. Tujuan Penelitian ........………….………………………. 4
1.3.1. Tujuan umum ................................................... 4 1.3.2. Tujuan kusus .........…………………………… 4 1.4. Manfaat Penelitian .........……………………………….. 5 BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ……..………………………………. 6 2.1. Polip Hidung .....………………………………………..... 6 2.1.1. Definisi ...………….………………………........... 6 2.1.2. Epidemiologi ........……………………………….. 6 2.1.3. Patogenesis ......….……………………………… 7 2.1.4. Makroskopis ..........………………………………. 9 2.1.5. Mikroskopis .......…………………………………. 9 2.1.6. Klasifikasi histopatologi polip hidung .......……. 9 2.1.7. Histomorfologi dan patomekanisme polip ........ 12 2.1.8. Diagnosis ……………………………………..... 15
2.1.8.1. Anamnesis …………………............ 15 2.1.8.2. Pemeriksaan fisik ………………........ 15 2.1.8.3. Pemeriksaan radiologi ………............ 15 2.1.9. Stadium polip......………………………………… 15 2.1.10.Penatalaksanaan polip ……………….............. 16 2.2. Fisiologi Kortikosteroid ………….………………............19 2.3. Kortikosteroid ..........…………………………………….. 19 2.3.1. Kortikosteroid semprot hidung ..…………......... 22 2.3.2. Kortikosteroid oral .......…………………………. 27 2.4. Kerangka Teori Penelitian ……........................................ 28 2.5. Kerangka Konsep Penelitian …….………………............. 29 2.6. Anatomi Hidung .……………………………………........ 29 2.7. Fisiologi Hidung .………………………………………....... 31 BAB 3 : METODOLOGI PENELITIAN ……………………………….. 32 3.1. Jenis Penelitian ………………………………….......…….. 31 3.2. Waktu dan Tempat penelitian ..………………….............. 31
Universitas Sumatera Utara
3.3. Populasi, Subjek penelitian dan Tehnik pengambilan subjek ...31 3.3.1. Populasi ……….……..………………….....…… 31 3.3.2. Subjek penelitian …….…………………..........…31 3.3.3. Tehnik pengambilan subjek ..............………….. 33
3.4. Variabel Penelitian …...........……………………………… 33 3.5. Definisi Operasional ……............…………………………. 33 3.6. Alat dan Bahan Penelitian ……............………………….. 38
3.6.1. Alat penelitian …….........………………………... 38 3.6.2. Bahan penelitian …........…..……………………. 38 3.7. Kerangka Kerja …..........…………………………………… 39 3.8. Cara Pengumpulan Data …......………………………….. 40 3.9. Cara Analisis Data …........…………………………….... 40
BAB 4 : HASIL PENELITIAN ……….…………………………...... 41 4.1. Hasil Analisis Univariat .............……………………... 41 4.1.1. Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan jenis kelamin .......................……...................... 41 4.1.2. Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan usia ……………………………….42 4.1.3. Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan stadium ........................................ 42 4.1.4. Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan tipe histopatologi ........….…... 43 4.1.5. Gambaran rerata jumlah neutrofil sebelum dan sesudah terapi ….................………………….. 43 4.1.6. Gambaran rerata jumlah eosinofil sebelum dan sesudah terapi …………….................………. 43 4.1.7. Gambaran rerata jumlah limfosit sebelum dan sesudah terapi .........…………………………….. 44 4.1.8. Gambaran jumlah rerata sel plasma sebelum dan sesudah terapi …………………………………. 44 4.2. Hasil Analisis Bivariat …………………………………….. 44 4.2.1. Gambaran rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah terapi FF....……………………….. 44 4.2.2. Gambaran rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah terapi metilprednisolon ..………………45 4.2.3. Perbandingan rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah terapi ..................……………………… 45 4.2.4. Gambaran penurunan stadium polip setelah terapi FF ......................................................................45 4.2.5. Gambaran penurunan stadium polip setelah terapi Metilprednisolon oral .............…………………. 46
Universitas Sumatera Utara
4.2.6. Perbandingan penurunan stadium polip setelah terapi……........................................................ 46
BAB 5 : PEMBAHASAN ….………………………………………......... 47 BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN ………….……………………... 56
6.1. Kesimpulan ……………………………………………........ 56 6.2. Saran ……………………………………………………...… 57 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 58 PERSONALIA PENELITIAN ………………………………………... 64 LAMPIRAN : 1. Status Penelitian ………………..........……………… 66
2. Lembar Penjelasan Agar Ikut Serta dalam Penelitian …..71 3. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ….....................73 4. Ethical Clearence ………………………………………….. 74 5. Rekapitulasi hasil penelitian ……………………………... 75 6. Out put statistic …………………………………………….. 77 7. SK Pembimbing ………………………………………..…… 102 8. Curiculum Vitae Peneliti ………………………………........ 103
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 4.1.1
Tabel 4.1.2 Tabel 4.1.3.
Tabel 4.1.4
Tabel 4.1.5
Tabel 4.1.6 Tabel 4.1.7 Tabel 4.1.8 Tabel 4.1.9
Tabel 4.2.1
Tabel 4.2.2
Komponen polip hidung ….........…………………………………… 13
Teori pembentukan polip hidung …......................……………….. 14
Stadium polip menurut Mackay and Lund 1995 ………………… 15
Stadium polip menurut Yamada et al 2000 ………………………. 15
Mediator Proinflamasi yang ditekan Kortikosteroid Intranasal ..... 21
Kortikosteroid Intranasal……………………………………………. 22
Perkiraan Bioafibilitas Kortikosteroid Semprot Hidung ….......... 23
Cara pemakaian kortikosteroid semprot hidung yang disarankan 25
Perbandingan Kortikosteroid Semprot Hidung ............................ 26
Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan
jenis kelamin ……………………………………………………… 41
Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan usia . 42
Distribusi frekuensi penderita polip hidung rongga hidung
berdasarkan stadium
42
Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan
terapi yang diberikan ………………………………………….
42
Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan
tipe histopatologi ………………………………………………
43
Gambaran rerata jumlah neutrofil sebelum dan sesudah terapi. 43
Gambaran rerata jumlah eosinofil sebelum dan sesudah terapi 43
Gambaran rerata jumlah limfosit sebelum dan sesudah terapi … 43
Gambaran rerata jumlah sel plasma sebelum dan sesudah
Terapi………………………………………………………………… 43
Gambaran rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah
terapi FF ….…….………………………………………………….. 44
Gambaran rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah terapi
Metilprednisolon …………………………………………………… 44
Tabel 4.2.3 Tabel 4.2.4 Tabel 4.2.5
Tabel 4.2.6
Perbandingan rerata jumlah sel radang sesudah terapi ……… Gambaran penurunan stadium polip setelah terapi FF …. Gambaran penurunan stadium polip setelah terapi Metilprednisolon ……………………………………………. Perbandingan penurunan stadium polip setelah terapi ….
44 45
46 46
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1A Edematous, Eosinophilic polyp ………………………………. 7
Gambar 1B Edematous polyp dengan hyperplasia sel goblet ………...... 7
Gambar 2A Jumlah sel goblet di epitel saluran nafas yang hyperplasia.. 7
Gambar 2B Polip dimana sebagian epitel saluran nafas menggantikan
sel goblet …………………………………………………… ….. 7
Gambar 3 Polip edematous dengan infiltrasi sel-sel inflamasi yang
padat …………………………………………………………. 7
Gambar 4 Polip tipe inflamasi …………………………………………… 8
Gambar 5 Polip hidung dengan hiperplasia kelenjar seromusin …… 8
Gambar 6A Polip dengan stroma atipik …………………………………… 9
Gambar 6B Tipe lain dari polip dengan stroma atipik …………………… 9
Gambar 7 Algoritma penatalaksanaan polip hidung dan sinus
paranasal …..
15
Gambar 8 Metabolisme 200 μg MF, FP, Bud dan TAA ………………...20
Gambar 9 Kerangka teori penelitian …………………………………….. 24
Gambar 10 Kerangka konsep penelitian ………………………………… 24
Gambar 11 Dinding lateral hidung …………………………………………25
Gambar 12 Kerangka kerja penelitian ……………………………………34
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SINGKATAN
BD bFGF BUD CIC CYP3A4 EP3OS FDA FF FLU FP ICAM Ig IL MF TAA TGF-β1 VCAM
: Beclomethasone dipropionate : Basic fibroblast growth factor : Budesonide : Ciclesonide aqueous : Cytokhrom P3A4 : European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps : Food and Drug Administration : Fluticasone furoate : Flunisolide : Fluticasone propionate : Intercelluler adhesion molecule : Immunoglobulin : Interleukin : Mometasone furoate : Triamcinolone acetonide : Transforming Growth Factor- β1 : Vascular cell adhesion molecule
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Pendahuluan : Polip hidung adalah penyakit inflamasi berat saluran nafas atas dengan berbagai faktor predisposisi dan patogenesis yang berkaitan sehingga kortikosteroid merupakan pilihan terapi. Kortikosteroid menginduksi apoptosis dalam mengurangi jumlah sel-sel radang. Proses ini akan berdampak pada berkurangnya ukuran polip. Kortikosteroid semprot hidung bersifat lipofilik sehingga mudah memasuki sitoplasma sel target dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid yang banyak di saluran nafas. Efektfitas terapi dapat dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium polip. Tujuan : Mengetahui perbandingan efektifitas terapi kortikosteroid semprot hidung dan kortikosteroid oral pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang (neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma) dan stadium. Metode : Populasi adalah penderita polip hidung yang dibiopsi dan diobati di RSUP. H. Adam Malik periode Januari 2013 s.d. Juni 2014. Perubahan jumlah sel-sel radang dinilai dengan tehnik pewarnaan Haemathoxylin eosin. Gambaran histopatologi berdasarkan klasifikasi Hellquist, 1996. Penentuan stadium berdasarkan Lund and Mackay, 1995. Semua data yang diperoleh dianalisis dan diuji statistik menggunakan t-test dengan tingkat kemaknaan 5%. Hasil penelitian : Dari 30 sampel penelitian, laki-laki 63,33%, terbanyak kelompok usia ≥ 40 tahun (66,67%). Stadium terbanyak adalah stadium dua. Dominan polip neutrofilik (60%) sedangkan polip eosinofilik 40%. Sebanyak 16 sampel diterapi dengan Fluticason furoate semprot hidung. Neutrofil, limfosit dan sel plasma menunjukkan penurunan jumlah yang bermakna namun tidak pada eosinofil. Stadium menurun bermakna setelah terapi. Sementara pada kelompok yang diterapi Metilprednisolon oral, seluruh sel radang menunjukkan penurunan jumlah yang bermakna. Stadium menurun bermakna setelah terapi. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada penurunan jumlah sel-sel radang dan stadium pada kedua kelompok sampel. Kesimpulan : Tidak ada perbedaan efek terapi yang bermakna antara Fluticason furoate semprot hidung dan Metilprednisolon oral pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium. Kata kunci : Polip nasi, polipektomi medikamentosa, fluticason furoate, metilprednisolon, neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma, stadium.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Background: Nasal polyps (NP) is the ultimate inflammation of the nose and paranasal sinuses predisposed by multiple risk factors of various overlapping pathogenesis so corticosteroid form the mainstay of conservative therapy. Corticosteroids promote apoptosis in reducing inflammatory cells to shrinkage of NP. Lipophilicity also correlates with easier to enter cytoplasmic target cells and bounded with glucocorticoids receptors that found in respiratory tract. Therapeutic effectivity can be observed from the decrease of inflammatory cells dan NP stadium.
Purpose: To compare the therapeutic effectivity of Fluticasone furoate (FF) nasal spray with oral metilprednisolon that abserve from decreasing of inflammatory cells and shrinkage of NP.
Material and Methods: Population is patients with NP that biopsied and treated in Adam Malik general hospital since January 2013 until June 2014. Inflammatory cells counted below microscope with Haematoxylin eosin staining. Histopathologic classified based on Hellquist 1996 classification. Stagiung of NP based on Mackay and Lund 1995. Results: from 30 patients, male 63,33%, mostly ≥ 40 years old (6 6,67%) and 2nd stage. Neuthropylic polyp 60% and eosinophilic polyp 40%. Patients classified into group in 16 subjects treated with FF nasal spray and 14 subjects treated with oral methylprednisolon. Neutrophil, lymphocite and plasma cell were decreased significantly after treated FF nasal spray, but not for eosinophil. Staging of NP decreased significantly. All of inflammatory cells were decreased significantly after treated with oral methylprednisolone. Staging of NP decreased significantly. There is no differencies significantly in decreasing inflammatory cells and staging of NP between patients treated with FF nasal spray or oral methylprednisolone.
Conclusion: There is no differencies significantly between FF nasal spray and metilprednisolon in decreasing inflammatory cells and down staging of NP. Keywords: nasal polyps, medicament for NP, fluticasone furoate, methylprednisolone, neutrophil, eosinophil, lymphosite, plasma cell, staging of NP.
Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Polip hidung adalah penyakit inflamasi yang berat pada saluran
nafas atas dengan berbagai faktor predisposisi dan jalur patogenesis yang saling berkaitan (Wardani 2011).
Prevalensi polip hidung sekitar 0,2-4,3%. Prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi polip hidung dari seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%. Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih dominan 2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip hidung sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan Eropa, prevalensi polip 2,1-4,3%. Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Maret 2004 sampai Februari 2005 kasus polip hidung sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita (35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan kasus polip hidung sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan (48,8%) (Bachert 2011; Dewi 2011; Munir 2008; Fokkens, Lund and Mullol 2007; Storms, Yawn & Fromer 2007; Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge 2005; Akerlund, Melen, Holmberg, Bende 2003).
Lund (1995) melaporkan bahwa histopatologi polip khas dengan stroma yang oedem, hiperplasia sel goblet dan infiltrasi sel-sel inflamasi. Fibroblas, sel-sel epitel, dan sel-sel endotelial adalah sel-sel lain yang ikut membentuk polip. Ferguson & Orlandi (2006) mengatakan bahwa Eosinofil memegang peranan penting dalam patofisiologi polip hidung. Berdasarkan histopatologi, sekitar 85-90% adalah polip eosinofilik, ditandai dengan hiperplasia sel goblet dan penipisan membran basal dengan infiltrasi eosinofil yang dominan. Menurut Hellquist, ada empat tipe histopatologi polip hidung, antara lain : Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp) dan Polyp with Stromal
Universitas Sumatera Utara
Atypia. Berbeda dengan Ferguson & Orlandi, Pearlman dkk (2010) melaporkan bahwa di Asia, gambaran histopatologi polip hidung dominan neutrofilik.
Polip hidung merupakan manifestasi proses inflamasi. Pengobatan polip hidung dengan kortikosteroid semprot hidung dan kortikosteroid oral jangka pendek. Sejak Januari 2005, FDA hanya menerima kortikosteroid semprot hidung sebagai terapi polip hidung Kortikosteroid semprot hidung atau sistemik bekerja dengan mengurangi konsentrasi mediator inflamasi dan sel-sel inflamasi dengan cara meng-inhibisi proliferasi sel dan menginduksi apoptosis. Efek anti inflamasi ini tidak hanya berdampak pada selsel inflamasi seperti limfosit dan eosinofil tetapi juga sel-sel epitel dan fibroblas. Efikasi klinis kortikosteroid sebagai anti inflamasi dapat dilihat dari kemampuannya mengurangi infiltrasi eosinofil di saluran nafas dengan cara mencegah peningkatan kemampuan hidup dan mencegah aktifasi eosinofil. Kortikosteroid merupakan terapi konservatif pilihan untuk polip baik sebagai terapi utama maupun untuk mencegah kekambuhan. Tujuan penggunaan kortikosteroid adalah untuk mengurangi ukuran dan jumlah polip, membuka jalan nafas melalui hidung, memperbaiki kemampuan menghidu, mengurangi inflamasi, untuk mengurangi intensitas operasi, menunda operasi atau bahkan menghilangkan polip sehingga tidak perlu dioperasi lagi. Fokkens et al mendapati angka kekambuhan sekitar 5%-10% setelah operasi. Dalziel et al mendapati angka kekambuhan sekitar 28% setelah bedah sinus endoskopi fungsional dan sekitar 35% setelah polipektomi semprot hidung ((Bachert 2011; VLckova et al 2009; Newton & Ah-See 2008; Ferguson & Orlandi 2006; Watanabe, Kanaizumi, Shirasaki, Himi 2004).
Kortikosteroid menginduksi proses apoptosis yang merupakan proses yang penting dalam mengurangi jumlah sel-sel radang. Kortikosteroid semprot hidung atau kortikosteroid sistemik bekerja dengan mengurangi konsentrasi mediator radang dan sel-sel radang dengan cara menginhibisi proliferasi sel dan menginduksi apoptosis. Efek anti inflamasi
Universitas Sumatera Utara
tidak hanya berdampak pada sel-sel radang seperti limfosit, eosinofil, neutrofil dan sel plasma tetapi juga sel-sel epitel dan fibroblas. Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif sehingga mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator. Kortikosteroid mengurangi penguatan reaksi peradangan dengan mengurangi pengikatan sel-sel radang dan juga menghambat proliferasi fibroblas dan sintesa matrix protein ekstraseluler. Hal ini mengakibatkan berkurangnya sitokin dan sel-sel radang. Kortikosteroid mengurangi pelepasan mediator seperti histamine, prostanoid dan leukotrien sehingga jumlah sel-sel radang berkurang di mukosa (Bachert,Watelet,Gevaert,Cauwenberge 2005; Yariktas et al 2005).
Kortikosteroid semprot hidung bersifat lipofilik sehingga dapat dengan mudah memasuki sitoplasma sel target dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid yang banyak terdapat di mukosa saluran nafas. Sifat lipofilik berhubungan dengan besarnya deposit kortikosteroid di jaringan jalan nafas, besarnya afinitas ikatan, lamanya masa kerja dan rendahnya kadar obat bebas yang berpotensi berikatan dengan reseptor kortikosteroid sistemik yang dapat menimbulkan efek samping serta lambatnya pelepasan kortikosteroid dari jaringan jalan nafas. Berkurangnya ukuran polip karena sekresi protein dan ekspresi gen inflamasi pada fibroblast berkurang. Fluticasone furoate secara bermakna menghambat translokasi NF-ĸB di fibroblas dan menekan aktifitas sitokin proinflamasi TNF-α. Berbeda dengan metilprenisolon yang mengurangi inflamasi eosinofil dan retensi albumin sehingga ukuran polip berkurang. (Sastre & Mosges 2012; Valera et al 2011; Bachert et al 2000).
Dalam praktik sehari-hari peneliti masih merasa kurang jelas akan perbedaan efek terapi fluticason furoate semprot hidung dan metilprednisone oral terhadap polip hidung. Hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Perbandingan Efek Terapi Fluticasone Furoate Semprot Hidung dan Metilprednisolon Oral pada Polip
Universitas Sumatera Utara
Hidung Dinilai dari Perubahan Jumlah Sel-sel Radang dan Stadium Polip”. Pada penelitian ini peneliti tidak mengikutsertakan polip stadium 3 karena menurut kelompok studi Rinologi bahwa polip hidung stadium 3 di tatalaksana dengan operasi dengan pemberian kortikosteroid oral dosis tinggi (dosis maksimum 60 mg perhari) jangka pendek (9 hari) sebelum operasi.
1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas,
rumusan masalah penelitian adalah bagaimana perbandingan efek terapi kortikosteroid semprot hidung (FF) dan kortikosteroid oral (metilprednisolon) pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium polip.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui perbandingan efek terapi FF semprot hidung dan metilprednisolon oral pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang (neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma) dan stadium polip. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Mengetahui perubahan jumlah sel-sel radang (neutrofil,
eosinofil, limfosit dan sel plasma) setelah terapi dengan FF semprot hidung. 2. Mengetahui perubahan jumlah sel-sel radang (neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma) setelah terapi dengan metilprednisolon oral. 3. Mengetahui perubahan stadium polip hidung setelah terapi FF semprot hidung.
Universitas Sumatera Utara
4. Mengetahui perubahan stadium polip hidung setelah terapi metilprednisolon oral.
5. Mengetahui tipe histopatologi polip hidung di RSUP.H.Adam Malik Medan.
1.4 Manfaat Penelitian Memberikan masukan dalam tatalaksana polip hidung.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Polip Hidung
2.1.1 Definisi Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di
dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Bentuk menyerupai buah anggur, lunak dan dapat digerakkan. Polip timbul dari dinding lateral hidung. Polip yang diakibatkan proses inflamasi biasanya bilateral (Schlosser & Woodworth 2009; Mangunkusumo & Wardani 2007). 2.1.2 Epidemiologi
Polip hidung biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60 tahun. Laki-laki lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1. Prevalensi polip hidung dari seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%. Prevalensi pada anak-anak jauh lebih rendah. Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih dominan 2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip hidung sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan Eropa, prevalensi polip 2,1-4,3% (Storms, Yawn, Fromer 2007; Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge 2005; Kirtsreesakul 2005; Akerlund, Melen, Holmberg, Bende 2003).
Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan penderita polip hidung sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL RS.Dr. Soetomo Surabaya. Rasio pria dan wanita 2-4:1. Di RSUP H.Adam Malik Medan selama Maret 2004 sampai Februari 2005, kasus polip hidung sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita (35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan kasus polip hidung sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan (48,8%). Indrawati (2011) melakukan penelitian di RS DR. Sardjito
Universitas Sumatera Utara
Yogyakarta, melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe 1 sekitar 20,8%, tipe 2 sekitar 58,3%, tipe 3 sekitar 16,7% dan tipe 4 sekitar 4,2%. (Dewi 2011; Munir 2008).
Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip hidung. Sekitar 14% penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip hidung. Etnis dan geografis memiliki peranan dalam patofisiologi polip. Pada populasi Caucasian dominan polip eosinofilik sementara di Asia dominan neutrofilik (Aaron, Chandra, Conley & Kern 2010).
2.1.3 Patogenesis polip hidung
Alergi ditengarai sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil, ada hubungan polip hidung dengan asthma dan pemeriksaan hidung menunjukkan tanda dan gejala alergi. Suatu meta-analisis menemukan 19% dari polip hidung mempunyai Ig E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa hidung (Kirtsreesakul 2005).
Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak menderita alergi dan pada pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang dapat mencetuskan alergi. Polip hidung biasanya mengandung sangat sedikit pembuluh darah. Regulasi vaskular yang tidak baik dan meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan pembentukan polip hidung (Kirtsreesakul 2005).
Fenomena Bernouilli terjadi karena menurunnya tekanan akibat konstriksi. Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung yang kemudian memicu terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul 2005).
Ruptur epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat mengakibatkan prolaps lamina propria dari mukosa. Hal ini akan memicu terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul 2005).
Universitas Sumatera Utara
Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan polip hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan rusaknya epitel dengan jaringan granulasi yang berproliferasi akibat infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus atau Bacteroides fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada rhinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa yang sering ditemukan pada cystic fibrosis (Lund 1995).
2.1.4 Makroskopis
Secara makroskopik polip hidung tampak sebagai lesi nonneoplastik yang merupakan edema mukosa sinonasal, yang prolaps ke dalam rongga hidung (Choi et al 2006).
2.1.5 Mikroskopis
Secara mikroskopik didapatkan perubahan struktur epitel yaitu hiperplasia sel goblet, metaplasia skuamosa serta infiltrasi sel-sel radang seperti eosinofil, limfosit dan sel plasma. Selain itu terdapat pula edema hebat lamina propria disertai dengan akumulasi matriks protein dan penebalan membran basal. Pada tingkat seluler, proses inflamasi akan melibatkan epitel, sel dendritik, sel endothelial dan sel inflamasi seperti limfosit, eosinofil, neutrofil dan sel mast. Pada tingkat molekular banyak sekali gen-gen pro-inflamasi yang sudah dapat diidentifikasi (Liu et al 2004).
2.1.6 Klasifikasi histopatologi polip hidung (Hellquist 1996)
1. Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp) Gambaran histopatologi berupa edematous stroma, hyperplasia goblet cells di epitel respiratori, didapatinya sejumlah besar eosinofil dan sel mast di stroma polip dan penipisan bahkan adanya hialinisasi minimal pada membran basalis yang terlihat jelas membatasi stroma yang edema dengan epitel. Pada stroma terlihat sejumlah fibroblast yang jarang
Universitas Sumatera Utara
dimana terdapat juga sejumlah sel inflamasi. Stroma yang edema sebagian terisi cairan yang membentuk rongga seperti pseudokista. Infiltrasi sel inflamasi dapat sangat tegas. Polip edematous biasanya bilateral.
AB
Gambar 1. A. Edematous, Eosinophilic Polyp. Terdapat banyak sel-sel inflamasi, paling banyak adalah eosinofil dan sel mast. Terlihat adanya penipisan membran basal (tanda panah). B. Edematous polyp dengan hiperplasia sel goblet, penipisan membran basal (tanda panah) dan stroma longgar yang mengandung pseudocystic berisi cairan.
AB
Gambar 2. A. Adanya sejumlah sel goblet di epitel saluran nafas yang mengalami hiperplasia. Kebanyakan sel-sel inflamasi tidak jelas, stroma yang edema didominasi eosinofil. B. Sebuah polip dimana sebagian epitel saluran nafas menggantikan sel goblet.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Polip edematous dengan infiltrasi sel-sel inflamasi yang padat.
2. Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp) Tidak adanya edema stroma dan hiperplasia sel goblet adalah tanda khas tipe histopatologi polip ini. Dijumpai sel goblet tetapi epitel devoid hiperplasia sel goblet. Sering terlihat adanya epitel squamous dan metaplasia epitel cuboidal. Terdapat penipisan membran basal walaupun tidak sejelas penipisan membran basal pada tipe eosinofilik. Sering terlihat adanya infiltrasi sel inflamasi dengan dominasi limfosit yang sering bercampur dengan eosinofil. Stroma mengandung sejumlah fibroblast dan tidak jarang terdapat fibrosis. Pada tipe ini sering kali terlihat adanya hiperplasia minimal kelenjar seromusin dan dilatasi pembuluh darah sering terlihat.
Gambar 4. Polip tipe inflamasi. Terdapat sebagian daeran epitel permukaan saluran nafas yang mengalami metaplasia kuboidal tetapi tidak terdapat hiperplasia sel goblet. Membran basal menunjukkan tidak adanya hialinisasi. Stroma mengandung jaringan ikat dengan beberapa pembuluh darah yang mengalami dilatasi dan sejumlah besar dengan infiltrasi limfosit. Terdapat banyak kelenjar seromusin, lebih banyak daripada polip edematous.
3. Polyp with Hyperplasia of Seromucinous Glands Tipe polip ini ditandai dengan didapatinya banyak kelenjar seromusin dan stroma yang edema. Tipe ini mempunyai banyak kesamaan dengan tipe edematous. Terdapat kelenjar yang sangat banyak dengan kelenjarnya merupakan gambaran histopatologi yang khas tipe ini. Hiperplasia kelenjar menyebabkan gambaran histopatologi tipe ini mirip neoplasma glandular jinak dan sering disebut pada banyak literature
Universitas Sumatera Utara
sebagai tubulocytic adenoma. Polip disusun oleh banyak kelenjar dengan sel silindris dengan inti sel ganjil terletak didepan bagian basal sel. Kelenjar biasanya berhubungan dengan overlying epitel dan menunjukkan ketiadaan atypia. Perbedaan dengan tumor kelenjar, pada tipe ini kelenjar terletak terpisah satu sama lain, berbeda dengan tumor dimana kelenjar sering kali saling bersentuhan bahkan lengket pada bagian leher satu sama lain. Tipe polip ini sangat jarang, hanya sekitar 5% dari seluruh polip.
Gambar 5. Polip hidung dengan hiperplasia kelenjar seromusin. Namun tidak terdapat atipik.
4. Polyp with Stromal Atypia Tipe ini adalah tipe yang paling jarang. Dapat dengan mudah dianggap sebagai suatu neoplasma jika ahli patologi anatomi tidak familiar dengan gambaran histopatologi ini. Secara makroskopis sama dengan polip hidung yang lain tetapi gambaran histopatologi ditandai dengan stroma yang atypik.
A
Gambar 6. A. Polip dengan stroma atipik. Stroma lebih gembur dengan sel-sel inflamasi tetapi terdapat sejumlah sel bizarre dan sebagian berbentuk seperti bintang berselubung. Inti sel-sel tersebut atipik dan cenderung hiperkromatik. Tidak adanya mitosis. B. Tipe
Universitas Sumatera Utara
lain dari polip dengan stroma atipik. Sel-sel atipik terlihat berada di tengah gambar. Terlihat inflamasi tegas di gambar A dan edema di gambar B.
2.1.7 Histomorfologi dan patomekanisme polip
Peradangan merupakan prinsip utama dalam patogenesis pembentukan dan pertumbuhan polip. Karakteristik polip hidung yang matang ditandai dengan proses peradangan yang tampak seperti pembentukan pseudokista yang kosong dan penumpukan sel-sel radang di subepitel, dimana eosinofil adalah sel yang dominan. Banyak penelitian yang fokus terhadap rekruitmen dan usia eosinofil di polip hidung. Sitokin dan kemokin bertindak sebagai mediator dalam proses ini. Pada polip yang kecil yang tumbuh dari mukosa meatus media yang normal pada penderita polip hidung bilateral, dijumpai sejumlah eosinofil pada masa awal pertumbuhan polip. Dari sini diduga ada penumpukan protein plasma yang diatur oleh eosinofil. Albumin dan protein plasma yang lain menumpuk didalam pseudokista bersama infiltrasi eosinofil. Histomorfologi polip didominasi oleh epitel yang rusak, membran basal yang menipis dan meradang dan terdapat sedikit jaringan stroma yang mengalami fibrosis, dengan minimal pembuluh darah dan kelenjar serta tidak adanya struktur saraf.
Peradangan eosinofil pada polip diatur oleh sel T yang teraktivasi. IL-5 memegang peranan penting dalam proses rekruitmen, aktivasi dan inhibisi apoptosis eosinofil.
TGF-β1, suatu sitokin dengan kerja menginhibisi sintesis IL-5. Produksi IL-5 yang tinggi dan tidak adanya TGF-β1 diduga menjadi penyebab utama lamanya usia eosinofil dan menfasilitasi degradasi jaringan matrix, kedua hal tersebut merupakan karakteristik struktur polip.
ICAM-1, E-selectin dan P-selectin juga terlihat pada epitel polip yang berperan dalam rekruitmen eosinofil. VCAM-1 juga meningkat secara bermakna pada polip. Pengobatan dengan steroid topikal menurunkan
Universitas Sumatera Utara
densitas eosinofil serta ekspresi VCAM-1 pada polip (Bachert, Watelet, Gevaert & Cauwenberge 2005).
Tabel 1. Komponen Polip Hidung.
Albumin dan protein plasma yang lain
IL-1β, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8 Faktor stimulasi koloni Granulosit-makrofag
Faktor pertumbuhan fibroblas dasar
Faktor pertumbuhan endotel vaskular
Faktor stimulasi koloni Granulosit-makrofag
Faktor pertumbuhan pentransfer α-1 and β1 Faktor pertumbuhan turunan Keratinosit
Adhesi intersel molekul-1
Adhesi sel vaskular molekul-1
Faktor nekrosis tumor α
Histamin Interferon-γ
RANTES EOTAXIN Selectin-P Selectin-E MMP-7, MMP-9 CD 4+, CD 8+ Makrofag Sel Mast
Sumber: Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge 2005; Shun et al 2005; Bateman, Fahy, Woolford 2002.
Tabel 2. Teori pembentukan polip hidung
Penelitian Ramanathan et al1
Ramanathan et al2 Lane et al
Mekanisme pembentukan ↓ Respon imun lokal berbasis Th-1 ↑ Aktivitas berbasis Th-2 ↑ Eosinofil ↓ Reseptor mirip Toll-9 ↑ Reseptor mirip Toll-2
Universitas Sumatera Utara
Qiu et al Kowalski et al Meyer et al Olze et al
↑ Ekspresi surviving
↓ Apoptosis eosinofil
↑ Ekspresi eotaxin
↑ RANTES ↑ Eosinofil
Rudack et al
↑ Eosinofil yang berhubungan dengan sitokin IL-5
Ohori et al
↑ VCAM-1 yang diperkuat oleh TNF-α
Kim et al
Ketiadaan limfangiogenesis pada inflamasi mukosa hidung ↑ Edem stroma dan pembentukan polip
Lechapat-Zalcman
Meningkatnya regulasi MMP-9 di kelenjar dan pembuluh darah
Bernstein et al
↑ Produksi super antigen stapilokokus aureus
Van Zele et al
Aktivasi sitokin Th-1 dan Th-2
Cannady et al
Abnormalitas metabolisme NO
Sumber: Aouad & Chiu 2011.
2.1.8 Diagnosis
2.1.8.1 Anamnesis
Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung tersumbat. Rinore mulai yang jernih sampai purulen atau post nasal drips, gangguan penghidu, suara sengau serta rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala (Lund 1995).
2.1.8.2 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat massa yang berwarna pucat dan mudah digerakkan. Adanya fasilitas naso-endoskopi akan
Universitas Sumatera Utara
sangat membantu diagnosis kasus polip stadium dini (Mangunkusumo dan Wardani 2007).
2.1.8.3 Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas penegakan diagnosa polip hidung. Menurut Hellquist (1996), ada empat tipe histopatologi polip hidung, antara lain : Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp) dan Polyp with Stromal Atypia.
2.1.8.4 Pemeriksaan radiologi
CT scan diindikasikan pada kasus polip yang gagal terapi medikamentosa, ada komplikasi sinusitis dan rencana tindakan bedah terutama bedah sinus endoskopi fungsional (Mangunkusumo dan Wardani 2007).
2.1.9 Stadium polip
Tabel 3. Stadium Polip Menurut Mackay and Lund 1995. Kondisi Polip Tidak ada polip Polip terbatas pada meatus media Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi rongga hidung Polip yang massif (memenuhi rongga hidung)
Sumber: Assanasen & Naclerio 2001.
Stadium 0 1 2
3
Tabel 4. Stadium Polip Menurut Yamada et al 2000. Kondisi Polip
Stadium
Universitas Sumatera Utara
Tidak ada polip
Polip di meatus media dan belum mencapai batas bawah konka media
Polip belum mencapai titik tengah antara batas bawah konka media dan batas atas konka inferior Polip belum melewati batas bawah konka inferior
Polip melewati batas bawah konka inferior
Sumber: Yamada et al 2000.
0 1
2 3 4
Pada penelitian ini peneliti menggunakan naso-endoskopi untuk menilai polip hidung dan menentukan stadium berdasark
Tesis
Oleh: EDWARD SURYANTA SEMBIRING
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA
LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
Universitas Sumatera Utara
PERBANDINGAN EFEK TERAPI FLUTICASONE FUROATE SEMPROT HIDUNG DAN METILPREDNISOLON ORAL PADA POLIP HIDUNG DINILAI DARI PERUBAHAN JUMLAH SEL RADANG DAN STADIUM POLIP HIDUNG
Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Oleh: EDWARD SURYANTA SEMBIRING
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
Universitas Sumatera Utara
Medan, 6 Oktober 2014
Tesis dengan judul
PERBANDINGAN EFEK TERAPI FLUTICASONE FUROATE SEMPROT HIDUNG DAN METILPREDNISOLON ORAL PADA POLIP HIDUNG DINILAI DARI PERUBAHAN JUMLAH SEL RADANG DAN STADIUM POLIP HIDUNG
Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing
Ketua
dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL NIP. 140202219
Anggota
Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL NIP. 19790620 200212 2 003
Diketahui oleh
Ketua Departemen
Ketua Program Studi
dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL(K) NIP: 19471130 198003 1 002
dr. Farhat, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K) NIP: 19790620 200212 2 003
Dekan Fakultas Kedokteran USU
Ketua TKP-PPDS
Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD, KGEH NIP: 19540220 198011 1 001
dr. H. Zainuddin Amir, Sp.P(K) NIP: 19540620 198011 1 001
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Salam sejahtera, saya sampaikan rasa sukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena dengan rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasannya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian tentang Perbandingan Efek Terapi Fluticasone furoate Semprot Hidung dan Metilprednisolon Oral pada Polip Hidung Dinilai dari Perubahan Jumlah Sel-sel Radang dan Stadium Polip Hidung.
Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
Dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL(K) dan dr. Farhat, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K) sebagai anggota pembimbing serta dr. Stephen Udjung, Sp.PA dan Prof. Dr. Albiner Siagian, MSi sebagai pembimbing ahli. Di tengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.
Universitas Sumatera Utara
Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis THT-KL di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di rumah sakit yang beliau pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.
Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU sebelumnya Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp. THT-KL(K) yang telah memberikan izin, kesempatan
Universitas Sumatera Utara
dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis THTKL sampai selesai.
Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THTKL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THTKL(K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, almh dr. Hafni, Sp.THT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati Harahap, SpTHT-KL, dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL(K), dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Farhat, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K), Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Asri Yudhistira, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked (ORLHNS), Sp.THT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL, dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, SpTHT-KL dan dr. Ramlan Sitompul, Sp.THT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.
Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.
Yang mulia dan tercinta Ayahanda Drs. Dolin Sembiring dan Ibunda Lompoh Pinem, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suri
Universitas Sumatera Utara
tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kepada Bapa di Surga agar dengan umur panjang, kesehatan dan kesejahteraan, Engkau memberkati kedua orang tua kami.
Kepada Abang dan Adik, Antonius Wilson Sembiring dan Hesty Meitaria Sembiring dan kakak ipar penulis mengucapkan terima kasih atas dorongan serta doa kepada penulis.
Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Akhirnya ijinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Bapa di Surga, Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amen.
Medan, Juni 2014
Penulis
Edward Suryanta Sembiring
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Pendahuluan : Polip hidung adalah penyakit inflamasi berat saluran nafas atas dengan berbagai faktor predisposisi dan patogenesis yang berkaitan sehingga kortikosteroid merupakan pilihan terapi. Kortikosteroid menginduksi apoptosis dalam mengurangi jumlah sel-sel radang. Proses ini akan berdampak pada berkurangnya ukuran polip. Kortikosteroid semprot hidung bersifat lipofilik sehingga mudah memasuki sitoplasma sel target dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid yang banyak di saluran nafas. Efektfitas terapi dapat dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium polip. Tujuan : Mengetahui perbandingan efektifitas terapi kortikosteroid semprot hidung dan kortikosteroid oral pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang (neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma) dan stadium. Metode : Populasi adalah penderita polip hidung yang dibiopsi dan diobati di RSUP. H. Adam Malik periode Januari 2013 s.d. Juni 2014. Perubahan jumlah sel-sel radang dinilai dengan tehnik pewarnaan Haemathoxylin eosin. Gambaran histopatologi berdasarkan klasifikasi Hellquist, 1996. Penentuan stadium berdasarkan Lund and Mackay, 1995. Semua data yang diperoleh dianalisis dan diuji statistik menggunakan t-test dengan tingkat kemaknaan 5%. Hasil penelitian : Dari 30 sampel penelitian, laki-laki 63,33%, terbanyak kelompok usia ≥ 40 tahun (66,67%). Stadium terbanyak adalah stadium dua. Dominan polip neutrofilik (60%) sedangkan polip eosinofilik 40%. Sebanyak 16 sampel diterapi dengan Fluticason furoate semprot hidung. Neutrofil, limfosit dan sel plasma menunjukkan penurunan jumlah yang bermakna namun tidak pada eosinofil. Stadium menurun bermakna setelah terapi. Sementara pada kelompok yang diterapi Metilprednisolon oral, seluruh sel radang menunjukkan penurunan jumlah yang bermakna. Stadium menurun bermakna setelah terapi. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada penurunan jumlah sel-sel radang dan stadium pada kedua kelompok sampel. Kesimpulan : Tidak ada perbedaan efek terapi yang bermakna antara Fluticason furoate semprot hidung dan Metilprednisolon oral pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium. Kata kunci : Polip nasi, polipektomi medikamentosa, fluticason furoate, metilprednisolon, neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma, stadium.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Background: Nasal polyps (NP) is the ultimate inflammation of the nose and paranasal sinuses predisposed by multiple risk factors of various overlapping pathogenesis so corticosteroid form the mainstay of conservative therapy. Corticosteroids promote apoptosis in reducing inflammatory cells to shrinkage of NP. Lipophilicity also correlates with easier to enter cytoplasmic target cells and bounded with glucocorticoids receptors that found in respiratory tract. Therapeutic effectivity can be observed from the decrease of inflammatory cells dan NP stadium.
Purpose: To compare the therapeutic effectivity of Fluticasone furoate (FF) nasal spray with oral metilprednisolon that abserve from decreasing of inflammatory cells and shrinkage of NP.
Material and Methods: Population is patients with NP that biopsied and treated in Adam Malik general hospital since January 2013 until June 2014. Inflammatory cells counted below microscope with Haematoxylin eosin staining. Histopathologic classified based on Hellquist 1996 classification. Stagiung of NP based on Mackay and Lund 1995. Results: from 30 patients, male 63,33%, mostly ≥ 40 years old (6 6,67%) and 2nd stage. Neuthropylic polyp 60% and eosinophilic polyp 40%. Patients classified into group in 16 subjects treated with FF nasal spray and 14 subjects treated with oral methylprednisolon. Neutrophil, lymphocite and plasma cell were decreased significantly after treated FF nasal spray, but not for eosinophil. Staging of NP decreased significantly. All of inflammatory cells were decreased significantly after treated with oral methylprednisolone. Staging of NP decreased significantly. There is no differencies significantly in decreasing inflammatory cells and staging of NP between patients treated with FF nasal spray or oral methylprednisolone.
Conclusion: There is no differencies significantly between FF nasal spray and metilprednisolon in decreasing inflammatory cells and down staging of NP. Keywords: nasal polyps, medicament for NP, fluticasone furoate, methylprednisolone, neutrophil, eosinophil, lymphosite, plasma cell, staging of NP.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....…………................................................................ i
ABSTRAK ………......................................................................................... v
ABSTRACT ………………………………..……………….……………..
vi
DAFTAR ISI ……........................................................................................ vii
DAFTAR TABEL …………….………………………….…....................
x
DAFTAR GAMBAR ………..…………………………………………………….xii
DAFTAR SINGKATAN …….………………………………………………….... xiii
BAB 1 : PENDAHULUAN ………………………………….…………........... 1
1.1. Latar Belakang .......….…………………………………. 1 1.2. Permasalahan .......……………….……………………... 4 1.3. Tujuan Penelitian ........………….………………………. 4
1.3.1. Tujuan umum ................................................... 4 1.3.2. Tujuan kusus .........…………………………… 4 1.4. Manfaat Penelitian .........……………………………….. 5 BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ……..………………………………. 6 2.1. Polip Hidung .....………………………………………..... 6 2.1.1. Definisi ...………….………………………........... 6 2.1.2. Epidemiologi ........……………………………….. 6 2.1.3. Patogenesis ......….……………………………… 7 2.1.4. Makroskopis ..........………………………………. 9 2.1.5. Mikroskopis .......…………………………………. 9 2.1.6. Klasifikasi histopatologi polip hidung .......……. 9 2.1.7. Histomorfologi dan patomekanisme polip ........ 12 2.1.8. Diagnosis ……………………………………..... 15
2.1.8.1. Anamnesis …………………............ 15 2.1.8.2. Pemeriksaan fisik ………………........ 15 2.1.8.3. Pemeriksaan radiologi ………............ 15 2.1.9. Stadium polip......………………………………… 15 2.1.10.Penatalaksanaan polip ……………….............. 16 2.2. Fisiologi Kortikosteroid ………….………………............19 2.3. Kortikosteroid ..........…………………………………….. 19 2.3.1. Kortikosteroid semprot hidung ..…………......... 22 2.3.2. Kortikosteroid oral .......…………………………. 27 2.4. Kerangka Teori Penelitian ……........................................ 28 2.5. Kerangka Konsep Penelitian …….………………............. 29 2.6. Anatomi Hidung .……………………………………........ 29 2.7. Fisiologi Hidung .………………………………………....... 31 BAB 3 : METODOLOGI PENELITIAN ……………………………….. 32 3.1. Jenis Penelitian ………………………………….......…….. 31 3.2. Waktu dan Tempat penelitian ..………………….............. 31
Universitas Sumatera Utara
3.3. Populasi, Subjek penelitian dan Tehnik pengambilan subjek ...31 3.3.1. Populasi ……….……..………………….....…… 31 3.3.2. Subjek penelitian …….…………………..........…31 3.3.3. Tehnik pengambilan subjek ..............………….. 33
3.4. Variabel Penelitian …...........……………………………… 33 3.5. Definisi Operasional ……............…………………………. 33 3.6. Alat dan Bahan Penelitian ……............………………….. 38
3.6.1. Alat penelitian …….........………………………... 38 3.6.2. Bahan penelitian …........…..……………………. 38 3.7. Kerangka Kerja …..........…………………………………… 39 3.8. Cara Pengumpulan Data …......………………………….. 40 3.9. Cara Analisis Data …........…………………………….... 40
BAB 4 : HASIL PENELITIAN ……….…………………………...... 41 4.1. Hasil Analisis Univariat .............……………………... 41 4.1.1. Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan jenis kelamin .......................……...................... 41 4.1.2. Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan usia ……………………………….42 4.1.3. Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan stadium ........................................ 42 4.1.4. Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan tipe histopatologi ........….…... 43 4.1.5. Gambaran rerata jumlah neutrofil sebelum dan sesudah terapi ….................………………….. 43 4.1.6. Gambaran rerata jumlah eosinofil sebelum dan sesudah terapi …………….................………. 43 4.1.7. Gambaran rerata jumlah limfosit sebelum dan sesudah terapi .........…………………………….. 44 4.1.8. Gambaran jumlah rerata sel plasma sebelum dan sesudah terapi …………………………………. 44 4.2. Hasil Analisis Bivariat …………………………………….. 44 4.2.1. Gambaran rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah terapi FF....……………………….. 44 4.2.2. Gambaran rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah terapi metilprednisolon ..………………45 4.2.3. Perbandingan rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah terapi ..................……………………… 45 4.2.4. Gambaran penurunan stadium polip setelah terapi FF ......................................................................45 4.2.5. Gambaran penurunan stadium polip setelah terapi Metilprednisolon oral .............…………………. 46
Universitas Sumatera Utara
4.2.6. Perbandingan penurunan stadium polip setelah terapi……........................................................ 46
BAB 5 : PEMBAHASAN ….………………………………………......... 47 BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN ………….……………………... 56
6.1. Kesimpulan ……………………………………………........ 56 6.2. Saran ……………………………………………………...… 57 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 58 PERSONALIA PENELITIAN ………………………………………... 64 LAMPIRAN : 1. Status Penelitian ………………..........……………… 66
2. Lembar Penjelasan Agar Ikut Serta dalam Penelitian …..71 3. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ….....................73 4. Ethical Clearence ………………………………………….. 74 5. Rekapitulasi hasil penelitian ……………………………... 75 6. Out put statistic …………………………………………….. 77 7. SK Pembimbing ………………………………………..…… 102 8. Curiculum Vitae Peneliti ………………………………........ 103
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 4.1.1
Tabel 4.1.2 Tabel 4.1.3.
Tabel 4.1.4
Tabel 4.1.5
Tabel 4.1.6 Tabel 4.1.7 Tabel 4.1.8 Tabel 4.1.9
Tabel 4.2.1
Tabel 4.2.2
Komponen polip hidung ….........…………………………………… 13
Teori pembentukan polip hidung …......................……………….. 14
Stadium polip menurut Mackay and Lund 1995 ………………… 15
Stadium polip menurut Yamada et al 2000 ………………………. 15
Mediator Proinflamasi yang ditekan Kortikosteroid Intranasal ..... 21
Kortikosteroid Intranasal……………………………………………. 22
Perkiraan Bioafibilitas Kortikosteroid Semprot Hidung ….......... 23
Cara pemakaian kortikosteroid semprot hidung yang disarankan 25
Perbandingan Kortikosteroid Semprot Hidung ............................ 26
Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan
jenis kelamin ……………………………………………………… 41
Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan usia . 42
Distribusi frekuensi penderita polip hidung rongga hidung
berdasarkan stadium
42
Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan
terapi yang diberikan ………………………………………….
42
Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan
tipe histopatologi ………………………………………………
43
Gambaran rerata jumlah neutrofil sebelum dan sesudah terapi. 43
Gambaran rerata jumlah eosinofil sebelum dan sesudah terapi 43
Gambaran rerata jumlah limfosit sebelum dan sesudah terapi … 43
Gambaran rerata jumlah sel plasma sebelum dan sesudah
Terapi………………………………………………………………… 43
Gambaran rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah
terapi FF ….…….………………………………………………….. 44
Gambaran rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah terapi
Metilprednisolon …………………………………………………… 44
Tabel 4.2.3 Tabel 4.2.4 Tabel 4.2.5
Tabel 4.2.6
Perbandingan rerata jumlah sel radang sesudah terapi ……… Gambaran penurunan stadium polip setelah terapi FF …. Gambaran penurunan stadium polip setelah terapi Metilprednisolon ……………………………………………. Perbandingan penurunan stadium polip setelah terapi ….
44 45
46 46
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1A Edematous, Eosinophilic polyp ………………………………. 7
Gambar 1B Edematous polyp dengan hyperplasia sel goblet ………...... 7
Gambar 2A Jumlah sel goblet di epitel saluran nafas yang hyperplasia.. 7
Gambar 2B Polip dimana sebagian epitel saluran nafas menggantikan
sel goblet …………………………………………………… ….. 7
Gambar 3 Polip edematous dengan infiltrasi sel-sel inflamasi yang
padat …………………………………………………………. 7
Gambar 4 Polip tipe inflamasi …………………………………………… 8
Gambar 5 Polip hidung dengan hiperplasia kelenjar seromusin …… 8
Gambar 6A Polip dengan stroma atipik …………………………………… 9
Gambar 6B Tipe lain dari polip dengan stroma atipik …………………… 9
Gambar 7 Algoritma penatalaksanaan polip hidung dan sinus
paranasal …..
15
Gambar 8 Metabolisme 200 μg MF, FP, Bud dan TAA ………………...20
Gambar 9 Kerangka teori penelitian …………………………………….. 24
Gambar 10 Kerangka konsep penelitian ………………………………… 24
Gambar 11 Dinding lateral hidung …………………………………………25
Gambar 12 Kerangka kerja penelitian ……………………………………34
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SINGKATAN
BD bFGF BUD CIC CYP3A4 EP3OS FDA FF FLU FP ICAM Ig IL MF TAA TGF-β1 VCAM
: Beclomethasone dipropionate : Basic fibroblast growth factor : Budesonide : Ciclesonide aqueous : Cytokhrom P3A4 : European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps : Food and Drug Administration : Fluticasone furoate : Flunisolide : Fluticasone propionate : Intercelluler adhesion molecule : Immunoglobulin : Interleukin : Mometasone furoate : Triamcinolone acetonide : Transforming Growth Factor- β1 : Vascular cell adhesion molecule
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Pendahuluan : Polip hidung adalah penyakit inflamasi berat saluran nafas atas dengan berbagai faktor predisposisi dan patogenesis yang berkaitan sehingga kortikosteroid merupakan pilihan terapi. Kortikosteroid menginduksi apoptosis dalam mengurangi jumlah sel-sel radang. Proses ini akan berdampak pada berkurangnya ukuran polip. Kortikosteroid semprot hidung bersifat lipofilik sehingga mudah memasuki sitoplasma sel target dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid yang banyak di saluran nafas. Efektfitas terapi dapat dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium polip. Tujuan : Mengetahui perbandingan efektifitas terapi kortikosteroid semprot hidung dan kortikosteroid oral pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang (neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma) dan stadium. Metode : Populasi adalah penderita polip hidung yang dibiopsi dan diobati di RSUP. H. Adam Malik periode Januari 2013 s.d. Juni 2014. Perubahan jumlah sel-sel radang dinilai dengan tehnik pewarnaan Haemathoxylin eosin. Gambaran histopatologi berdasarkan klasifikasi Hellquist, 1996. Penentuan stadium berdasarkan Lund and Mackay, 1995. Semua data yang diperoleh dianalisis dan diuji statistik menggunakan t-test dengan tingkat kemaknaan 5%. Hasil penelitian : Dari 30 sampel penelitian, laki-laki 63,33%, terbanyak kelompok usia ≥ 40 tahun (66,67%). Stadium terbanyak adalah stadium dua. Dominan polip neutrofilik (60%) sedangkan polip eosinofilik 40%. Sebanyak 16 sampel diterapi dengan Fluticason furoate semprot hidung. Neutrofil, limfosit dan sel plasma menunjukkan penurunan jumlah yang bermakna namun tidak pada eosinofil. Stadium menurun bermakna setelah terapi. Sementara pada kelompok yang diterapi Metilprednisolon oral, seluruh sel radang menunjukkan penurunan jumlah yang bermakna. Stadium menurun bermakna setelah terapi. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada penurunan jumlah sel-sel radang dan stadium pada kedua kelompok sampel. Kesimpulan : Tidak ada perbedaan efek terapi yang bermakna antara Fluticason furoate semprot hidung dan Metilprednisolon oral pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium. Kata kunci : Polip nasi, polipektomi medikamentosa, fluticason furoate, metilprednisolon, neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma, stadium.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Background: Nasal polyps (NP) is the ultimate inflammation of the nose and paranasal sinuses predisposed by multiple risk factors of various overlapping pathogenesis so corticosteroid form the mainstay of conservative therapy. Corticosteroids promote apoptosis in reducing inflammatory cells to shrinkage of NP. Lipophilicity also correlates with easier to enter cytoplasmic target cells and bounded with glucocorticoids receptors that found in respiratory tract. Therapeutic effectivity can be observed from the decrease of inflammatory cells dan NP stadium.
Purpose: To compare the therapeutic effectivity of Fluticasone furoate (FF) nasal spray with oral metilprednisolon that abserve from decreasing of inflammatory cells and shrinkage of NP.
Material and Methods: Population is patients with NP that biopsied and treated in Adam Malik general hospital since January 2013 until June 2014. Inflammatory cells counted below microscope with Haematoxylin eosin staining. Histopathologic classified based on Hellquist 1996 classification. Stagiung of NP based on Mackay and Lund 1995. Results: from 30 patients, male 63,33%, mostly ≥ 40 years old (6 6,67%) and 2nd stage. Neuthropylic polyp 60% and eosinophilic polyp 40%. Patients classified into group in 16 subjects treated with FF nasal spray and 14 subjects treated with oral methylprednisolon. Neutrophil, lymphocite and plasma cell were decreased significantly after treated FF nasal spray, but not for eosinophil. Staging of NP decreased significantly. All of inflammatory cells were decreased significantly after treated with oral methylprednisolone. Staging of NP decreased significantly. There is no differencies significantly in decreasing inflammatory cells and staging of NP between patients treated with FF nasal spray or oral methylprednisolone.
Conclusion: There is no differencies significantly between FF nasal spray and metilprednisolon in decreasing inflammatory cells and down staging of NP. Keywords: nasal polyps, medicament for NP, fluticasone furoate, methylprednisolone, neutrophil, eosinophil, lymphosite, plasma cell, staging of NP.
Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Polip hidung adalah penyakit inflamasi yang berat pada saluran
nafas atas dengan berbagai faktor predisposisi dan jalur patogenesis yang saling berkaitan (Wardani 2011).
Prevalensi polip hidung sekitar 0,2-4,3%. Prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi polip hidung dari seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%. Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih dominan 2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip hidung sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan Eropa, prevalensi polip 2,1-4,3%. Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Maret 2004 sampai Februari 2005 kasus polip hidung sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita (35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan kasus polip hidung sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan (48,8%) (Bachert 2011; Dewi 2011; Munir 2008; Fokkens, Lund and Mullol 2007; Storms, Yawn & Fromer 2007; Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge 2005; Akerlund, Melen, Holmberg, Bende 2003).
Lund (1995) melaporkan bahwa histopatologi polip khas dengan stroma yang oedem, hiperplasia sel goblet dan infiltrasi sel-sel inflamasi. Fibroblas, sel-sel epitel, dan sel-sel endotelial adalah sel-sel lain yang ikut membentuk polip. Ferguson & Orlandi (2006) mengatakan bahwa Eosinofil memegang peranan penting dalam patofisiologi polip hidung. Berdasarkan histopatologi, sekitar 85-90% adalah polip eosinofilik, ditandai dengan hiperplasia sel goblet dan penipisan membran basal dengan infiltrasi eosinofil yang dominan. Menurut Hellquist, ada empat tipe histopatologi polip hidung, antara lain : Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp) dan Polyp with Stromal
Universitas Sumatera Utara
Atypia. Berbeda dengan Ferguson & Orlandi, Pearlman dkk (2010) melaporkan bahwa di Asia, gambaran histopatologi polip hidung dominan neutrofilik.
Polip hidung merupakan manifestasi proses inflamasi. Pengobatan polip hidung dengan kortikosteroid semprot hidung dan kortikosteroid oral jangka pendek. Sejak Januari 2005, FDA hanya menerima kortikosteroid semprot hidung sebagai terapi polip hidung Kortikosteroid semprot hidung atau sistemik bekerja dengan mengurangi konsentrasi mediator inflamasi dan sel-sel inflamasi dengan cara meng-inhibisi proliferasi sel dan menginduksi apoptosis. Efek anti inflamasi ini tidak hanya berdampak pada selsel inflamasi seperti limfosit dan eosinofil tetapi juga sel-sel epitel dan fibroblas. Efikasi klinis kortikosteroid sebagai anti inflamasi dapat dilihat dari kemampuannya mengurangi infiltrasi eosinofil di saluran nafas dengan cara mencegah peningkatan kemampuan hidup dan mencegah aktifasi eosinofil. Kortikosteroid merupakan terapi konservatif pilihan untuk polip baik sebagai terapi utama maupun untuk mencegah kekambuhan. Tujuan penggunaan kortikosteroid adalah untuk mengurangi ukuran dan jumlah polip, membuka jalan nafas melalui hidung, memperbaiki kemampuan menghidu, mengurangi inflamasi, untuk mengurangi intensitas operasi, menunda operasi atau bahkan menghilangkan polip sehingga tidak perlu dioperasi lagi. Fokkens et al mendapati angka kekambuhan sekitar 5%-10% setelah operasi. Dalziel et al mendapati angka kekambuhan sekitar 28% setelah bedah sinus endoskopi fungsional dan sekitar 35% setelah polipektomi semprot hidung ((Bachert 2011; VLckova et al 2009; Newton & Ah-See 2008; Ferguson & Orlandi 2006; Watanabe, Kanaizumi, Shirasaki, Himi 2004).
Kortikosteroid menginduksi proses apoptosis yang merupakan proses yang penting dalam mengurangi jumlah sel-sel radang. Kortikosteroid semprot hidung atau kortikosteroid sistemik bekerja dengan mengurangi konsentrasi mediator radang dan sel-sel radang dengan cara menginhibisi proliferasi sel dan menginduksi apoptosis. Efek anti inflamasi
Universitas Sumatera Utara
tidak hanya berdampak pada sel-sel radang seperti limfosit, eosinofil, neutrofil dan sel plasma tetapi juga sel-sel epitel dan fibroblas. Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif sehingga mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator. Kortikosteroid mengurangi penguatan reaksi peradangan dengan mengurangi pengikatan sel-sel radang dan juga menghambat proliferasi fibroblas dan sintesa matrix protein ekstraseluler. Hal ini mengakibatkan berkurangnya sitokin dan sel-sel radang. Kortikosteroid mengurangi pelepasan mediator seperti histamine, prostanoid dan leukotrien sehingga jumlah sel-sel radang berkurang di mukosa (Bachert,Watelet,Gevaert,Cauwenberge 2005; Yariktas et al 2005).
Kortikosteroid semprot hidung bersifat lipofilik sehingga dapat dengan mudah memasuki sitoplasma sel target dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid yang banyak terdapat di mukosa saluran nafas. Sifat lipofilik berhubungan dengan besarnya deposit kortikosteroid di jaringan jalan nafas, besarnya afinitas ikatan, lamanya masa kerja dan rendahnya kadar obat bebas yang berpotensi berikatan dengan reseptor kortikosteroid sistemik yang dapat menimbulkan efek samping serta lambatnya pelepasan kortikosteroid dari jaringan jalan nafas. Berkurangnya ukuran polip karena sekresi protein dan ekspresi gen inflamasi pada fibroblast berkurang. Fluticasone furoate secara bermakna menghambat translokasi NF-ĸB di fibroblas dan menekan aktifitas sitokin proinflamasi TNF-α. Berbeda dengan metilprenisolon yang mengurangi inflamasi eosinofil dan retensi albumin sehingga ukuran polip berkurang. (Sastre & Mosges 2012; Valera et al 2011; Bachert et al 2000).
Dalam praktik sehari-hari peneliti masih merasa kurang jelas akan perbedaan efek terapi fluticason furoate semprot hidung dan metilprednisone oral terhadap polip hidung. Hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Perbandingan Efek Terapi Fluticasone Furoate Semprot Hidung dan Metilprednisolon Oral pada Polip
Universitas Sumatera Utara
Hidung Dinilai dari Perubahan Jumlah Sel-sel Radang dan Stadium Polip”. Pada penelitian ini peneliti tidak mengikutsertakan polip stadium 3 karena menurut kelompok studi Rinologi bahwa polip hidung stadium 3 di tatalaksana dengan operasi dengan pemberian kortikosteroid oral dosis tinggi (dosis maksimum 60 mg perhari) jangka pendek (9 hari) sebelum operasi.
1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas,
rumusan masalah penelitian adalah bagaimana perbandingan efek terapi kortikosteroid semprot hidung (FF) dan kortikosteroid oral (metilprednisolon) pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium polip.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui perbandingan efek terapi FF semprot hidung dan metilprednisolon oral pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang (neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma) dan stadium polip. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Mengetahui perubahan jumlah sel-sel radang (neutrofil,
eosinofil, limfosit dan sel plasma) setelah terapi dengan FF semprot hidung. 2. Mengetahui perubahan jumlah sel-sel radang (neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma) setelah terapi dengan metilprednisolon oral. 3. Mengetahui perubahan stadium polip hidung setelah terapi FF semprot hidung.
Universitas Sumatera Utara
4. Mengetahui perubahan stadium polip hidung setelah terapi metilprednisolon oral.
5. Mengetahui tipe histopatologi polip hidung di RSUP.H.Adam Malik Medan.
1.4 Manfaat Penelitian Memberikan masukan dalam tatalaksana polip hidung.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Polip Hidung
2.1.1 Definisi Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di
dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Bentuk menyerupai buah anggur, lunak dan dapat digerakkan. Polip timbul dari dinding lateral hidung. Polip yang diakibatkan proses inflamasi biasanya bilateral (Schlosser & Woodworth 2009; Mangunkusumo & Wardani 2007). 2.1.2 Epidemiologi
Polip hidung biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60 tahun. Laki-laki lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1. Prevalensi polip hidung dari seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%. Prevalensi pada anak-anak jauh lebih rendah. Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih dominan 2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip hidung sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan Eropa, prevalensi polip 2,1-4,3% (Storms, Yawn, Fromer 2007; Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge 2005; Kirtsreesakul 2005; Akerlund, Melen, Holmberg, Bende 2003).
Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan penderita polip hidung sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL RS.Dr. Soetomo Surabaya. Rasio pria dan wanita 2-4:1. Di RSUP H.Adam Malik Medan selama Maret 2004 sampai Februari 2005, kasus polip hidung sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita (35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan kasus polip hidung sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan (48,8%). Indrawati (2011) melakukan penelitian di RS DR. Sardjito
Universitas Sumatera Utara
Yogyakarta, melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe 1 sekitar 20,8%, tipe 2 sekitar 58,3%, tipe 3 sekitar 16,7% dan tipe 4 sekitar 4,2%. (Dewi 2011; Munir 2008).
Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip hidung. Sekitar 14% penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip hidung. Etnis dan geografis memiliki peranan dalam patofisiologi polip. Pada populasi Caucasian dominan polip eosinofilik sementara di Asia dominan neutrofilik (Aaron, Chandra, Conley & Kern 2010).
2.1.3 Patogenesis polip hidung
Alergi ditengarai sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil, ada hubungan polip hidung dengan asthma dan pemeriksaan hidung menunjukkan tanda dan gejala alergi. Suatu meta-analisis menemukan 19% dari polip hidung mempunyai Ig E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa hidung (Kirtsreesakul 2005).
Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak menderita alergi dan pada pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang dapat mencetuskan alergi. Polip hidung biasanya mengandung sangat sedikit pembuluh darah. Regulasi vaskular yang tidak baik dan meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan pembentukan polip hidung (Kirtsreesakul 2005).
Fenomena Bernouilli terjadi karena menurunnya tekanan akibat konstriksi. Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung yang kemudian memicu terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul 2005).
Ruptur epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat mengakibatkan prolaps lamina propria dari mukosa. Hal ini akan memicu terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul 2005).
Universitas Sumatera Utara
Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan polip hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan rusaknya epitel dengan jaringan granulasi yang berproliferasi akibat infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus atau Bacteroides fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada rhinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa yang sering ditemukan pada cystic fibrosis (Lund 1995).
2.1.4 Makroskopis
Secara makroskopik polip hidung tampak sebagai lesi nonneoplastik yang merupakan edema mukosa sinonasal, yang prolaps ke dalam rongga hidung (Choi et al 2006).
2.1.5 Mikroskopis
Secara mikroskopik didapatkan perubahan struktur epitel yaitu hiperplasia sel goblet, metaplasia skuamosa serta infiltrasi sel-sel radang seperti eosinofil, limfosit dan sel plasma. Selain itu terdapat pula edema hebat lamina propria disertai dengan akumulasi matriks protein dan penebalan membran basal. Pada tingkat seluler, proses inflamasi akan melibatkan epitel, sel dendritik, sel endothelial dan sel inflamasi seperti limfosit, eosinofil, neutrofil dan sel mast. Pada tingkat molekular banyak sekali gen-gen pro-inflamasi yang sudah dapat diidentifikasi (Liu et al 2004).
2.1.6 Klasifikasi histopatologi polip hidung (Hellquist 1996)
1. Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp) Gambaran histopatologi berupa edematous stroma, hyperplasia goblet cells di epitel respiratori, didapatinya sejumlah besar eosinofil dan sel mast di stroma polip dan penipisan bahkan adanya hialinisasi minimal pada membran basalis yang terlihat jelas membatasi stroma yang edema dengan epitel. Pada stroma terlihat sejumlah fibroblast yang jarang
Universitas Sumatera Utara
dimana terdapat juga sejumlah sel inflamasi. Stroma yang edema sebagian terisi cairan yang membentuk rongga seperti pseudokista. Infiltrasi sel inflamasi dapat sangat tegas. Polip edematous biasanya bilateral.
AB
Gambar 1. A. Edematous, Eosinophilic Polyp. Terdapat banyak sel-sel inflamasi, paling banyak adalah eosinofil dan sel mast. Terlihat adanya penipisan membran basal (tanda panah). B. Edematous polyp dengan hiperplasia sel goblet, penipisan membran basal (tanda panah) dan stroma longgar yang mengandung pseudocystic berisi cairan.
AB
Gambar 2. A. Adanya sejumlah sel goblet di epitel saluran nafas yang mengalami hiperplasia. Kebanyakan sel-sel inflamasi tidak jelas, stroma yang edema didominasi eosinofil. B. Sebuah polip dimana sebagian epitel saluran nafas menggantikan sel goblet.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Polip edematous dengan infiltrasi sel-sel inflamasi yang padat.
2. Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp) Tidak adanya edema stroma dan hiperplasia sel goblet adalah tanda khas tipe histopatologi polip ini. Dijumpai sel goblet tetapi epitel devoid hiperplasia sel goblet. Sering terlihat adanya epitel squamous dan metaplasia epitel cuboidal. Terdapat penipisan membran basal walaupun tidak sejelas penipisan membran basal pada tipe eosinofilik. Sering terlihat adanya infiltrasi sel inflamasi dengan dominasi limfosit yang sering bercampur dengan eosinofil. Stroma mengandung sejumlah fibroblast dan tidak jarang terdapat fibrosis. Pada tipe ini sering kali terlihat adanya hiperplasia minimal kelenjar seromusin dan dilatasi pembuluh darah sering terlihat.
Gambar 4. Polip tipe inflamasi. Terdapat sebagian daeran epitel permukaan saluran nafas yang mengalami metaplasia kuboidal tetapi tidak terdapat hiperplasia sel goblet. Membran basal menunjukkan tidak adanya hialinisasi. Stroma mengandung jaringan ikat dengan beberapa pembuluh darah yang mengalami dilatasi dan sejumlah besar dengan infiltrasi limfosit. Terdapat banyak kelenjar seromusin, lebih banyak daripada polip edematous.
3. Polyp with Hyperplasia of Seromucinous Glands Tipe polip ini ditandai dengan didapatinya banyak kelenjar seromusin dan stroma yang edema. Tipe ini mempunyai banyak kesamaan dengan tipe edematous. Terdapat kelenjar yang sangat banyak dengan kelenjarnya merupakan gambaran histopatologi yang khas tipe ini. Hiperplasia kelenjar menyebabkan gambaran histopatologi tipe ini mirip neoplasma glandular jinak dan sering disebut pada banyak literature
Universitas Sumatera Utara
sebagai tubulocytic adenoma. Polip disusun oleh banyak kelenjar dengan sel silindris dengan inti sel ganjil terletak didepan bagian basal sel. Kelenjar biasanya berhubungan dengan overlying epitel dan menunjukkan ketiadaan atypia. Perbedaan dengan tumor kelenjar, pada tipe ini kelenjar terletak terpisah satu sama lain, berbeda dengan tumor dimana kelenjar sering kali saling bersentuhan bahkan lengket pada bagian leher satu sama lain. Tipe polip ini sangat jarang, hanya sekitar 5% dari seluruh polip.
Gambar 5. Polip hidung dengan hiperplasia kelenjar seromusin. Namun tidak terdapat atipik.
4. Polyp with Stromal Atypia Tipe ini adalah tipe yang paling jarang. Dapat dengan mudah dianggap sebagai suatu neoplasma jika ahli patologi anatomi tidak familiar dengan gambaran histopatologi ini. Secara makroskopis sama dengan polip hidung yang lain tetapi gambaran histopatologi ditandai dengan stroma yang atypik.
A
Gambar 6. A. Polip dengan stroma atipik. Stroma lebih gembur dengan sel-sel inflamasi tetapi terdapat sejumlah sel bizarre dan sebagian berbentuk seperti bintang berselubung. Inti sel-sel tersebut atipik dan cenderung hiperkromatik. Tidak adanya mitosis. B. Tipe
Universitas Sumatera Utara
lain dari polip dengan stroma atipik. Sel-sel atipik terlihat berada di tengah gambar. Terlihat inflamasi tegas di gambar A dan edema di gambar B.
2.1.7 Histomorfologi dan patomekanisme polip
Peradangan merupakan prinsip utama dalam patogenesis pembentukan dan pertumbuhan polip. Karakteristik polip hidung yang matang ditandai dengan proses peradangan yang tampak seperti pembentukan pseudokista yang kosong dan penumpukan sel-sel radang di subepitel, dimana eosinofil adalah sel yang dominan. Banyak penelitian yang fokus terhadap rekruitmen dan usia eosinofil di polip hidung. Sitokin dan kemokin bertindak sebagai mediator dalam proses ini. Pada polip yang kecil yang tumbuh dari mukosa meatus media yang normal pada penderita polip hidung bilateral, dijumpai sejumlah eosinofil pada masa awal pertumbuhan polip. Dari sini diduga ada penumpukan protein plasma yang diatur oleh eosinofil. Albumin dan protein plasma yang lain menumpuk didalam pseudokista bersama infiltrasi eosinofil. Histomorfologi polip didominasi oleh epitel yang rusak, membran basal yang menipis dan meradang dan terdapat sedikit jaringan stroma yang mengalami fibrosis, dengan minimal pembuluh darah dan kelenjar serta tidak adanya struktur saraf.
Peradangan eosinofil pada polip diatur oleh sel T yang teraktivasi. IL-5 memegang peranan penting dalam proses rekruitmen, aktivasi dan inhibisi apoptosis eosinofil.
TGF-β1, suatu sitokin dengan kerja menginhibisi sintesis IL-5. Produksi IL-5 yang tinggi dan tidak adanya TGF-β1 diduga menjadi penyebab utama lamanya usia eosinofil dan menfasilitasi degradasi jaringan matrix, kedua hal tersebut merupakan karakteristik struktur polip.
ICAM-1, E-selectin dan P-selectin juga terlihat pada epitel polip yang berperan dalam rekruitmen eosinofil. VCAM-1 juga meningkat secara bermakna pada polip. Pengobatan dengan steroid topikal menurunkan
Universitas Sumatera Utara
densitas eosinofil serta ekspresi VCAM-1 pada polip (Bachert, Watelet, Gevaert & Cauwenberge 2005).
Tabel 1. Komponen Polip Hidung.
Albumin dan protein plasma yang lain
IL-1β, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8 Faktor stimulasi koloni Granulosit-makrofag
Faktor pertumbuhan fibroblas dasar
Faktor pertumbuhan endotel vaskular
Faktor stimulasi koloni Granulosit-makrofag
Faktor pertumbuhan pentransfer α-1 and β1 Faktor pertumbuhan turunan Keratinosit
Adhesi intersel molekul-1
Adhesi sel vaskular molekul-1
Faktor nekrosis tumor α
Histamin Interferon-γ
RANTES EOTAXIN Selectin-P Selectin-E MMP-7, MMP-9 CD 4+, CD 8+ Makrofag Sel Mast
Sumber: Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge 2005; Shun et al 2005; Bateman, Fahy, Woolford 2002.
Tabel 2. Teori pembentukan polip hidung
Penelitian Ramanathan et al1
Ramanathan et al2 Lane et al
Mekanisme pembentukan ↓ Respon imun lokal berbasis Th-1 ↑ Aktivitas berbasis Th-2 ↑ Eosinofil ↓ Reseptor mirip Toll-9 ↑ Reseptor mirip Toll-2
Universitas Sumatera Utara
Qiu et al Kowalski et al Meyer et al Olze et al
↑ Ekspresi surviving
↓ Apoptosis eosinofil
↑ Ekspresi eotaxin
↑ RANTES ↑ Eosinofil
Rudack et al
↑ Eosinofil yang berhubungan dengan sitokin IL-5
Ohori et al
↑ VCAM-1 yang diperkuat oleh TNF-α
Kim et al
Ketiadaan limfangiogenesis pada inflamasi mukosa hidung ↑ Edem stroma dan pembentukan polip
Lechapat-Zalcman
Meningkatnya regulasi MMP-9 di kelenjar dan pembuluh darah
Bernstein et al
↑ Produksi super antigen stapilokokus aureus
Van Zele et al
Aktivasi sitokin Th-1 dan Th-2
Cannady et al
Abnormalitas metabolisme NO
Sumber: Aouad & Chiu 2011.
2.1.8 Diagnosis
2.1.8.1 Anamnesis
Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung tersumbat. Rinore mulai yang jernih sampai purulen atau post nasal drips, gangguan penghidu, suara sengau serta rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala (Lund 1995).
2.1.8.2 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat massa yang berwarna pucat dan mudah digerakkan. Adanya fasilitas naso-endoskopi akan
Universitas Sumatera Utara
sangat membantu diagnosis kasus polip stadium dini (Mangunkusumo dan Wardani 2007).
2.1.8.3 Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas penegakan diagnosa polip hidung. Menurut Hellquist (1996), ada empat tipe histopatologi polip hidung, antara lain : Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp) dan Polyp with Stromal Atypia.
2.1.8.4 Pemeriksaan radiologi
CT scan diindikasikan pada kasus polip yang gagal terapi medikamentosa, ada komplikasi sinusitis dan rencana tindakan bedah terutama bedah sinus endoskopi fungsional (Mangunkusumo dan Wardani 2007).
2.1.9 Stadium polip
Tabel 3. Stadium Polip Menurut Mackay and Lund 1995. Kondisi Polip Tidak ada polip Polip terbatas pada meatus media Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi rongga hidung Polip yang massif (memenuhi rongga hidung)
Sumber: Assanasen & Naclerio 2001.
Stadium 0 1 2
3
Tabel 4. Stadium Polip Menurut Yamada et al 2000. Kondisi Polip
Stadium
Universitas Sumatera Utara
Tidak ada polip
Polip di meatus media dan belum mencapai batas bawah konka media
Polip belum mencapai titik tengah antara batas bawah konka media dan batas atas konka inferior Polip belum melewati batas bawah konka inferior
Polip melewati batas bawah konka inferior
Sumber: Yamada et al 2000.
0 1
2 3 4
Pada penelitian ini peneliti menggunakan naso-endoskopi untuk menilai polip hidung dan menentukan stadium berdasark