Pengaruh Metilprednisolon Oral terhadap ekspresi Interleukin-5 pada Polip Hidung
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Polip Hidung
2.1.1 Definisi
Polip hidung ialah penyakit inflamasi kronik dari mukosa hidung dan
sinus paranasal yang ditandai dengan adanya massa edematus
bertangkai dari mukosa yang mengalami inflamasi. Kebanyakan polip
berasal dari celah kompleks ostiomeatal yang meluas keseluruh rongga
hidung (Kirtsreesakul, 2005). Polip merupakan lesi massa paling sering
dijumpai di hidung (Hosemann, Gode & Wagner, 1994).
2.1.2 Epidemiologi polip hidung
Prevalensi polip hidung sekitar 2-4% dari populasi umum dengan
prevalensi yang cenderung meningkat seiring bertambahnya usia
(Bachert, 2011). Insiden paling tinggi pada rentang usia 40-60 tahun. Polip
hidung sangat jarang dijumpai pada anak-anak. Jika ada massa di hidung
anak-anak yang menyerupai polip, kemungkinan besar merupakan suatu
kistik fibrosis (Pearlman, et al., 2010). Prevalensi polip hidung pada orang
dewasa di Swedia sekitar 2,7% (Akerlund, 2003). Polip hidung sering
bersamaan dengan gangguan pada saluran nafas bawah seperti asma
dan hiperaktifitas bronkial yang tidak spesifik (Kramer & Rasp, 1999).
Hamadi (2004) melakukan penelitian di Divisi Rinologi Departemen
THT-KL FK UI-RSCM dengan mendapatkan prevalensi polip hidung yang
berhubungan dengan angka infeksi bakterial yang tinggi. Munir (2008)
melaporkan selama Maret 2004 sampai Februari 2005 kasus baru polip
hidung sebanyak 26 orang dengan kecenderungan peningkatan insiden
pada dekade 4 dan 5. Dewi (2011) melaporkan selama 2010 didapatkan
kasus baru polip hidung sebanyak 43 orang dimana insiden tertinggi pada
dekade 4 dan 5. Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan penderita
polip hidung sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL
RS.Dr. Soetomo Surabaya. Indrawati (2011) di RS DR. Sardjito
Universitas Sumatera Utara
7
Yogyakarta, melaporkan terdapat 24 penderita polip baru. Sembiring
(2014) melaporkan 30 kasus baru polip hidung selama 1,5 tahun dengan
insiden yang tinggi pada usia ≥ 40 tahun.
2.1.3 Makroskopis polip hidung
Secara makroskopik polip hidung tampak sebagai lesi non-neoplastik
yang merupakan edema mukosa sinonasal yang prolaps ke dalam rongga
hidung (Choi, et al., 2006). Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari
celah kompleks osteomeatal di meatus medius dan sinus etmoid.
Merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin, berbentuk bulat
atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat
tunggal atau multipel dan tidak sensitif. Warna polip yang pucat
disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran
darah ke polip (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
2.1.4 Mikroskopis polip hidung
Secara mikroskopik didapatkan perubahan struktur epitel yaitu
hiperplasia sel goblet, metaplasia skuamosa serta infIltrasi sel-sel radang
seperti eosinofIl, limfosit dan sel plasma. Selain itu terdapat pula edema
hebat lamina propria disertai dengan akumulasi matriks protein dan
penebalan membran basal. Pada tingkat seluler, proses inflamasi
melibatkan epitel, sel dendritik, sel endotelial dan sel inflamasi seperti
limfosit, eosinofIl, neutrofil dan sel mast. Pada tingkat molekular banyak
sekali gen-gen pro-inflamasi yang dapat diidentifikasi (Liu, et al., 2004).
Eosinofil memegang peranan penting dalam patofisiologi polip hidung.
Satu-satunya polip yang tidak memIliki eosinofil dan meningkatnya IL-5
adalah polip antro-koanal (Ferguson & Orlandi, 2006).
Universitas Sumatera Utara
8
2.1.5 Patogenesis polip hidung
Terdapat beberapa teori patogenesis terbentuknya polip hidung, yaitu :
1. Alergi
Alergi dididuga sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung
karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil (Lund, 1995).
Suatu metaanalisis menemukan 19% dari polip hidung mempunyai Ig
E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa hidung
(Kirtsreesakul, 2005).
2. Ketidakseimbangan vasomotor
Hal ini merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya polip
hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak menderita alergi
dan pada pemeriksaan tidak
ditemukan alergen
mencetuskan
vaskular
alergi.
Regulasi
yang
yang dapat
tidak
baik
dan
meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip hidung (Kirtsreesakul, 2005).
3. Fenomena Bernouli
Hal ini terjadi karena menurunnya tekanan akibat konstriksi. Tekanan
negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung yang kemudian
memicu terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul, 2005).
4. Infeksi
Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan
polip hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan
rusaknya epitel dengan jaringan granulasi yang berproliferasi akibat
infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus
atau Bacteroides fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan
pada rinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa yang sering
ditemukan pada kistik fibrosis (Kirtsreesakul, 2005).
2.1.6 Stadium polip hidung
Pemeriksaan dengan rinoskopi anterior saja tidak cukup untuk
menegakkan diagnosa atau menyingkirkan keberadaan polip hidung.
Selain pencitraan dengan tomografi komputer, dibutuhkan pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
9
hidung dengan nasoendoskopi untuk menentukan perluasan polip dalam
rongga sinus (Lund & Kennedy, 1995).
Tabel 2.1 Stadium Polip menurut Mackay and Lund
Polip
Stadium
Tidak ada polip
0
Polip terbatas pada meatus media
1
Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum
2
memenuhi rongga hidung
Polip yang massif (memenuhi rongga hidung)
3
Sumber: Assanasen & Naclerio (2001)
Untuk kepentingan praktik, polip hidung diklasifikasikan oleh Stammberger
menjadi (Kirtsreesakul, 2005) :
1. Polip antrokoanal, kebanyakan timbul dari sinus maksilaris dan
prolaps ke koana.
2. Polip idiopatik, unilateral maupun bilateral, kebanyakan adalah polip
eosinofilik.
3. Polip eosinofilik dengan asma dengan atau tanpa sensitifitas aspirin.
4. Polip dengan penyakit sistemik penyerta seperti cystic fibrosis, primary
ciliary dyskinesia, Churg-Strauss-syndrome, Kartagener syndrome, dll.
2.1.7 Penatalaksanaan polip hidung
Mygind
dan
Lildholdt
(1996)
menjelaskan
bahwa
tujuan
penatalaksanaan polip hidung, antara lain:
1. Eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar mungkin.
2. Membuka kembali jalan nafas melalui hidung.
3. Meredakan gejala.
4. Penciuman kembali normal.
5. Mencegah komplikasi.
Universitas Sumatera Utara
10
EPOS (2012) merekomendasikan penggunaan kortikosteroid sistemik
pada tatalaksana polip hidung dengan Grade of Recommendation A dan
Level of Evidence 1b. Penggunaan steroid oral hanya dalam jangka
pendek (2-3 minggu) oleh karena resiko efek samping sistemik (Bachert,
2011). Guideline tatalaksana rinosinusitis kronik dengan polip hidung
PERHATI-KL (2007) menjelaskan bahwa polip hidung stadium 1
ditatalaksana medikamentosa, stadium 2 ditatalaksana medikamentosa
dilanjutkan operasi dan untuk stadium 3 ditatalaksana dengan tindakan
pembedahan. Adapun kortikosteroid oral yang digunakan pada terapi polip
hidung antara lain: Metilprednisolon 64 mg tappering off hingga 8 mg
selama 10 hari, Dexametason 12 mg tappering off hingga 4 mg selama 9
hari dan Prednison 1 mg / kgbb selama 10 hari (PERHATI-KL 2007).
Universitas Sumatera Utara
11
Keluhan
Sumbatan hidung dengan 1/>gejala:
Rinore purulen, anosmia/hiposmia, post nasal drips, sakit kepala frontal
Tampak massa dgn rinoskopi / naso-endoskopi
Massa polip hidung
Tentukan stadium
Jika mungkin: biopsi untuk tentukan tipe polip
(eosinofilik/netrofilik) dan/lakukan polipektomi
reduksi pada polip stadium 2 dan 3 untuk
memperbaiki airway.
Stadium 2 dan
3: terapi bedah
Stadium 1 dan
2: terapi medik
Persiapan
prabedah: HDST
dan CT Scan
Terapi medik:
Semua stadium
tipe netrofilik:
terapi bedah
Curiga keganasan
Biopsi
Semua stadium
tipe eosinofilik:
terapi medik
1. Steroid topikal dan/atau
2. Polipektomi medikamentosa (HDST)
Terapi bedah
Tidak ada perbaikan:
Tetap/membesar/me
ngecil sedikit
Tindak lanjut dengan steroid topikal
Pemeriksaan berkala dengan naso-endoskopi
Perbaikan:
Mengecil cukup
banyak
Perbaikan:
hilang
Sembuh
Poliprekuren:
- Cari faktor alergi
- Kaustik /ekstraksi polip kecil
Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan polip hidung.
- Steroid topikal
- Operasi ulang
Steroid oral
(HDST) Nasi
2.3 - Anatomi
Kavum
Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung (PERHATI-KL,
2007)
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.8 IL-5 pada polip hidung
Sitokin proinflamasi merupakan molekul yang terlibat dalam proses
seperti kemotaksis, kontrol proliferasi sel, aktivasi sel, diferensiasi dan
fungsi banyak sel yang berpartisipasi dalam proses inflamasi. IL-5 adalah
sitokin yang merangsang pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil di
sumsum tulang, memediasi aktivasi dan migrasi selektif eosinofil dari
sirkulasi perifer ke dalam jaringan, meningkatkan vitalitas eosinofil dengan
menghambat apoptosis. IL-5 diproduksi oleh subset sel Th2 (CD4+) dan
sel mast yang diaktifkan. Sel CD4+ yang berdiferensiasi menjadi Th2
melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang sel B untuk memproduksi Ig E
yang diikat sel mast. IL-4 juga bersifat autokrin dan merupakan sitokin
yang berperan dalam diferensiasi sel Th2 (Bratawijaya, 2006). Interleukin3 (IL-3), IL-5 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor
(GM-CSF) berbagi fungsi yang sama ketika mereka bekerja pada sel yang
sama. Dalam studi in vitro telah dinilai kemampuan IL-3, IL-5 dan GM-CSF
untuk meningkatkan kelangsungan hidup eosinofil. Salah satu yang paling
penting efek adalah untuk memperpanjang masa hidup eosinofil dengan
menunda timbulnya apoptosis. Dari hal tersebut, IL-5 telah diakui sebagai
sitokin yang paling spesifik untuk eosinofil dan merupakan regulator
pendorong utama eosinopoiesis (Duda, 2015).
Peran IL-5 dalam patogenesis polip hidung didukung oleh beberapa
bukti eksperimental. Tingginya tingkat IL-5 yang ditemukan pada polip
hidung menunjukkan pentingnya sitokin ini dalam patogenesis penyakit.
Fan et al dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa sekresi IL-5 yang
disebabkan oleh sel Th2 dan autosecretion dari IL-5 dari eosinofil
teraktivasi
mungkin
menjadi
penyebab
alasan
untuk
timbulnya
peradangan kronis. Studi lain yang dipimpin oleh Hirschberg et al
mengungkapkan bahwa IL-5 merupakan faktor penting yang terlibat dalam
perekrutan dan aktivasi eosinofil.
Eosinofil dibentuk dari mieloid di sumsum tulang, diaktivasi oleh sitokin
dan dilepaskan ke dalam sirkulasi jika ada stimulus yang tepat. Setelah
dalam sirkulasi eosinofil ini menumpuk dengan cepat dalam jaringan,
Universitas Sumatera Utara
13
dimana
dapat
eosinofil ini mensintesis dan melepaskan mediator lipid yang
menyebabkan
edema,
bronkokonstriksi,
kemotaksis,
serta
mensekresikan enzim dan protein yang dapat merusak jaringan.
(Greenfeder, et al., 2001)
Inflamasi merupakan gambaran histopatologi yang sangat jelas pada
polip hidung ditandai dengan infiltrasi sel-sel seperti eosinofil, limfosit dan
sel plasma. Eosinofil melepaskan produk-produk inflamasi dari granulgranul yang ada pada eosinofil seperti Major Basic Protein (MBP),
Eosinophilic Cationic Protein (ECP) dan Eosinophil Peroxidase (EPO)
seperti leukotrien, platelet activating factor dan transforming growth factor
(TGF). Saat dilepaskan produk-produk ini akan mengakibatkan perubahan
patologis yang tampak pada polip seperti kerusakan epitel, penipisan
membran basal, fibrosis stroma, angiogenesis serta hiperplasia epitel dan
kelenjar. Tertundanya apoptosis merupakan mekanisme penting dalam
akumulasi eosinofil. Telah diketahui banhwa sitokin-sitokin Th2 seperti IL3 dan 5 serta GM-CSF meningkatkan usia hidup eosinofil dengan
menghambat apoptosis eosinofil (Watanabe, et al., 2004). IL-5 berperan
dalam pengikatan, aktivasi dan inhibisi apoptosis eosinofil. IL-5 memiliki
hubungan paling baik dengan eosinophil cationic protein, membuktikan
bahwa IL-5 memiliki peran besar dalam peradangan eosinofil. Produksi IL5 yang tinggi menjadi penyebab utama lamanya usia eosinofil dan
menyebabkan degradasi jaringan matriks. Hal tersebut merupakan
karakteristik struktur polip (Bachert, et al., 2005). Penumpukan protein
plasma juga diatur oleh eosinofil. Albumin dan protein plasma yang lain
menumpuk didalam pseudokista bersama infiltrasi eosinofil sehingga
terbentuklah polip (Bachert, et al., 2000). Pada polip hidung apoptosis
eosinofil di mukosa hidung lebih lambat dibandingkan di darah. Sitokin IL3, IL-5 dan GM-CSF menghambat apoptosis eosinofil sekurang kurangnya
12 sampai 14 hari pada jaringan sebaliknya hanya bertahan 48 jam pada
keadaan tidak adanya sitokin. Eosinofil di jaringan juga dapat meregulasi
masa hidupnya sendiri melalui jalur autokrin (Rudack, Bachert & Stoll,
1999).
Universitas Sumatera Utara
14
Gambar 2.2 Model Rekruitmen EosinofIl pada polip hidung (Gevaert,
Cauwenberge & Bachert, 2004).
TGF-β1, suatu sitokin dengan kerja menginhibisi sintesis IL-5. Produksi
IL-5 yang tinggi dan tidak adanya TGF-β1 diduga menjadi penyebab
utama lamanya usia eosinofil dan menfasilitasi degradasi jaringan matriks,
kedua hal tersebut merupakan karakteristik struktur polip (Bachert, et al.,
2005).
2.2 Kortikosteroid
Sejak ditemukan tahun 1935, steroid telah digunakan secara luas. Saat
ini banyak peran klinis steroid terkait dengan kemampuannya sebagai
antiinflamasi (Ericson-Neilsen & Kaye, 2014). Ada dua jenis steroid yang
dihasilkan lapisan luar kelenjar adrenal (kortek) yaitu androgen adrenal
(fungsi seksual) dan kortikosteroid. Kortikosteroid memiliki fungsi dan efek
yang luas. Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein,
dan lemak; keseimbangan elektrolit dan air; fungsi jantung dan sistem
saraf; ginjal, otot lurik dan organ lain. Steroid dapat juga menyebabkan
retensi sodium dan sedikit efek antiinflamasi (Beck, 2004).
Universitas Sumatera Utara
15
Tabel 2.2 Perbedaan Potensi Kortikosteroid berdasarkan Na+/retensi H20
dan Waktu Paruh (Becker, 2013)
Obat
Kortisol
Prednison
Metilprednisolon
Triamsinolon
Deksametason
Betametason
Kortikosteroid
Dosis, mg
Na+/retensi H20
20
5
4
4
0,75
0,75
1
0,8
0,5
0
0
0
memiliki
efek
samping
yang
Biologic Half
Life/h
8-12
12-36
12-36
12-36
36-72
36-72
luas
sehingga
mempengaruhi berbagai sistem di tubuh, antara lain: regulasi umpan balik
negatif pada hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis, penyakit addison,
meningkatkan resistensi insulin di jaringan, meningkatkan glukosa darah
puasa, bekerja langsung pada osteoklas untuk mempengaruhi resorbsi
tulang dan menurunkan absorbsi kalsium disaluran cerna sehingga
menyebabkan osteopenia dan osteoporosis. Karena banyaknya efek
samping yang ditimbulkan kortikosteroid pada tubuh, klinisi harus hati-hati
ketika memberikan kortikosteroid. Jika kortikosteroid diberikan kurang dari
satu minggu maka dapat dihentikan tanpa tappering. Untuk penggunaan
selama 1-3 minggu, tappering dilakukan berdasarkan keadaan klinis dan
penyakit yang menjadi alasan diberikannnya terapi tersebut ( EricsonNeilsen & Kaye, 2014).
Polip
hidung
adalah
manifestasi
proses
inflamasi
sehingga
kortikosteroid merupakan terapi yang efektif. Kortikosteroid bekerja
dengan mengurangi konsentrasi mediator inflamasi dan sel-sel inflamasi
dengan cara menginhibisi proliferasi sel dan menginduksi apoptosis
(Ferguson & Orlandi, 2006). Efek anti inflamasi ini tidak hanya berdampak
pada sel-sel inflamasi seperti limfosit dan eosinofil tetapi juga sel-sel epitel
dan fibroblas. Kortikosteroid merupakan terapi konservatif pilihan untuk
polip baik sebagai terapi utama maupun untuk mencegah kekambuhan.
Kortikosteroid memIliki efek anti-inflamasi yang luas (Newton & Ah-See,
2008).
Universitas Sumatera Utara
16
Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif sehingga
mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator.
Kortikosteroid
mengurangi
peningkatan
reaksi
inflamasi
dengan
mengurangi rekruitmen sel-sel inflamasi dan juga menghambat proliferasi
fibroblast dan sintesa matriks protein ekstraselular. Hal ini akan
mengakibatkan berkurangnya sitokin dan sel-sel inflamasi. Sel T sangat
sensitif terhadap kortikosteroid. Jumlah sel T yang berkurang sangat
tergantung pada dosis kortikosteroid. Rekruitmen sel-sel inflamasi
dihambat dengan dihambatnya ekspresi ikatan molekul seperti ICAM-1
dan VCAM-1, yang berperan dalam proses influx basofil dan sel mast di
lapisan epitel mukosa hidung. Kortikosteroid mengurangi pelepasan
mediator
seperti
menyebabkan
histamin,
berkurangnya
prostanoids
jumlah
dan
sel-sel
leukotrien.
inflamasi
di
Hal
ini
mukosa.
Kortikosteroid menormalkan jumlah sel yang mengalami influx (Bachert, et
al., 2005).
Gambar 2.3 Pengaruh kortikosteroid oral terhadap polip hidung (Gevaert,
Cauwenberge & Bachert, 2004).
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar 2.4 Efek kortikosteroid pada kelangsungan hidup dan apoptosis
eosinofil manusia (Druilhe, et al., 2003).
Keterangan:
Nasib eosinofil di jaringan yang meradang tergantung pada keseimbangan
antara faktor pro dan anti-apoptosis. Faktor-faktor ini diproduksi oleh
eosinofil sendiri atau oleh sel yang ada dalam lingkungan tersebut,
termasuk limfosit T. Apoptosis eosinofil dibersihkan dari jaringan oleh sel
fagosit. Kortikosteroid mempercepat bersihan eosinofil oleh beberapa
mekanisme, termasuk (i) penghambatan produksi dan efek faktor
kelangsungan hidup, seperti IL-3, IL-5 atau GM-CSF, (ii) dengan
mempromosikan pelepasan faktor apoptogenic dan / atau dengan
meningkatkan efeknya, seperti yang ditunjukkan untuk aktivasi Fas, (iii)
dengan langsung merangsang mesin apoptosis intraseluler, dan (iv)
peningkatan kapasitas monosit, makrofag dan sel-sel epitel. (+) Dan (-)
mengacu pada dampak positif dan negatif dari kortikosteroid.
Universitas Sumatera Utara
18
Penggunaan steroid oral hanya dalam jangka pendek (2-3 minggu)
oleh karena resiko efek samping sistemik (Bachert, 2011). Steroid oral
kontraindikasi pada penderita infeksi akut, ulkus peptikum, psikosis dan
osteoporosis. Penggunaan steroid oral direkomendasikan untuk penderita
rinosinusitis kronik dengan polip hidung dan untuk penatalaksanaan
eksaserbasi gejala yang berat pada penderita tersebut. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya perbaikan gejala yang cepat dan
perubahan ukuran polip hidung dengan penggunaan steroid oral. Adapun
steroid oral yang sering digunakan pada terapi polip hidung antara lain:
Metilprednisolon, Dexametason dan Prednison (Kowalski, 2011). Lildholdt
mendapatkan
polipektomi
dengan
steroid
oral
jangka
pendek
menunjukkan hasil yang sama dengan polipektomi dengan menggunakan
snare. Komplikasi yang dapat timbul berupa imunosupresi, gangguan
penyembuhan luka, ulkus peptikum, mudah memar, meningkatnya kadar
gula darah, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya tekanan intra
ocular, supresi adrenal, katarak, perubahan distribusi lemak tubuh, retensi
cairan, kehilangan potassium dan kalsium, menurunnya kepadatan tulang,
kelemahan otot, hirsutism, emosi yang labil hingga psychosis (Jankowski,
et al., 2002).
Alobid et al (2006) melaporkan pemberian prednison selama 2 minggu
efektif memperbaiki kualitas hidup penderita polip hidung. Ukuran polip
berkurang secara bermakna, gejala hidung tersumbat dan gangguan
penghidu terkoreksi secara bermakna. Cochrane Database of Systematic
Reviews (2010) melaporkan penggunaan prednison oral terhadap 166
pasien menunjukkan pengurangan ukuran polip disertai perbaikan gejala
hidung dan kualitas hidup penderita yang bermakna. Kowalski (2011)
melaporkan, penggunaan prednisolon selama 2 minggu menunjukkan
pengurangan ukuran polip yang bermakna. Moberly (2011) melaporkan,
pemakaian 25 mg prednisolon selama 2 minggu dapat mengurangi ukuran
polip hidung secara bermakna. Pada penelitian ini peneliti menggunakan
Metilprednisolon 64 mg tappering off selama 20 hari sebagai terapi. Dosis
diturunkan setengahnya setiap 5 hari sekali.
Universitas Sumatera Utara
19
2.3 Kerangka Teori
Th2
Sel Mast
Basofil
CD 4+
Pelepasan mediator inflamasi
Ekspresi IL-5
IL-5
Metilprednisolon
Eosinofil
Polip
Hidung
Keterangan :
Penghasil IL-5 antara lain Th2, sel Mast, basofil, CD4+. IL-5 perperan
dalam
meningkatkan
adhesi
eosinofil
ke
endotelium
sehingga
meningkatkan akumulasi eosinofil. IL-5 juga menginhibisi apoptosis
eosinofil. 1. Kortikosteroid mempengaruhi Th2 sehingga menyebabkan
pelepasan mediator inflamasi berkurang, salah satunya adalah IL-5.
Berkurangnya jumlah IL-5 yang dilepaskan mengakibatkan ekspresi IL-5
menurun pada pemeriksaan imunohistoimia. 2. Kortikosteroid bekerja
mengurangi jumlah IL-5 yang telah dilepaskan oleh Th2, sehingga
ekspresi IL-5 menurun. 3. Kortikosteroid bekerja meningkatkan terjadinya
apoptosis eosinofil, sehingga jumlah eosinofil berkurang. Hal ini
menyebabkan polip hidung mengecil dan ekspresi IL-5 menurun pada
pemeriksaan immunohistokimia.
Universitas Sumatera Utara
20
2.4 Kerangka Konsep
Metilprednisolon oral
Polip hidung
Sel-sel inflamasi
Apoptosis
Jumlah sel radang polip hidung
Ukuran polip
Ekspresi IL-5
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Polip Hidung
2.1.1 Definisi
Polip hidung ialah penyakit inflamasi kronik dari mukosa hidung dan
sinus paranasal yang ditandai dengan adanya massa edematus
bertangkai dari mukosa yang mengalami inflamasi. Kebanyakan polip
berasal dari celah kompleks ostiomeatal yang meluas keseluruh rongga
hidung (Kirtsreesakul, 2005). Polip merupakan lesi massa paling sering
dijumpai di hidung (Hosemann, Gode & Wagner, 1994).
2.1.2 Epidemiologi polip hidung
Prevalensi polip hidung sekitar 2-4% dari populasi umum dengan
prevalensi yang cenderung meningkat seiring bertambahnya usia
(Bachert, 2011). Insiden paling tinggi pada rentang usia 40-60 tahun. Polip
hidung sangat jarang dijumpai pada anak-anak. Jika ada massa di hidung
anak-anak yang menyerupai polip, kemungkinan besar merupakan suatu
kistik fibrosis (Pearlman, et al., 2010). Prevalensi polip hidung pada orang
dewasa di Swedia sekitar 2,7% (Akerlund, 2003). Polip hidung sering
bersamaan dengan gangguan pada saluran nafas bawah seperti asma
dan hiperaktifitas bronkial yang tidak spesifik (Kramer & Rasp, 1999).
Hamadi (2004) melakukan penelitian di Divisi Rinologi Departemen
THT-KL FK UI-RSCM dengan mendapatkan prevalensi polip hidung yang
berhubungan dengan angka infeksi bakterial yang tinggi. Munir (2008)
melaporkan selama Maret 2004 sampai Februari 2005 kasus baru polip
hidung sebanyak 26 orang dengan kecenderungan peningkatan insiden
pada dekade 4 dan 5. Dewi (2011) melaporkan selama 2010 didapatkan
kasus baru polip hidung sebanyak 43 orang dimana insiden tertinggi pada
dekade 4 dan 5. Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan penderita
polip hidung sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL
RS.Dr. Soetomo Surabaya. Indrawati (2011) di RS DR. Sardjito
Universitas Sumatera Utara
7
Yogyakarta, melaporkan terdapat 24 penderita polip baru. Sembiring
(2014) melaporkan 30 kasus baru polip hidung selama 1,5 tahun dengan
insiden yang tinggi pada usia ≥ 40 tahun.
2.1.3 Makroskopis polip hidung
Secara makroskopik polip hidung tampak sebagai lesi non-neoplastik
yang merupakan edema mukosa sinonasal yang prolaps ke dalam rongga
hidung (Choi, et al., 2006). Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari
celah kompleks osteomeatal di meatus medius dan sinus etmoid.
Merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin, berbentuk bulat
atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat
tunggal atau multipel dan tidak sensitif. Warna polip yang pucat
disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran
darah ke polip (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
2.1.4 Mikroskopis polip hidung
Secara mikroskopik didapatkan perubahan struktur epitel yaitu
hiperplasia sel goblet, metaplasia skuamosa serta infIltrasi sel-sel radang
seperti eosinofIl, limfosit dan sel plasma. Selain itu terdapat pula edema
hebat lamina propria disertai dengan akumulasi matriks protein dan
penebalan membran basal. Pada tingkat seluler, proses inflamasi
melibatkan epitel, sel dendritik, sel endotelial dan sel inflamasi seperti
limfosit, eosinofIl, neutrofil dan sel mast. Pada tingkat molekular banyak
sekali gen-gen pro-inflamasi yang dapat diidentifikasi (Liu, et al., 2004).
Eosinofil memegang peranan penting dalam patofisiologi polip hidung.
Satu-satunya polip yang tidak memIliki eosinofil dan meningkatnya IL-5
adalah polip antro-koanal (Ferguson & Orlandi, 2006).
Universitas Sumatera Utara
8
2.1.5 Patogenesis polip hidung
Terdapat beberapa teori patogenesis terbentuknya polip hidung, yaitu :
1. Alergi
Alergi dididuga sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung
karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil (Lund, 1995).
Suatu metaanalisis menemukan 19% dari polip hidung mempunyai Ig
E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa hidung
(Kirtsreesakul, 2005).
2. Ketidakseimbangan vasomotor
Hal ini merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya polip
hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak menderita alergi
dan pada pemeriksaan tidak
ditemukan alergen
mencetuskan
vaskular
alergi.
Regulasi
yang
yang dapat
tidak
baik
dan
meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip hidung (Kirtsreesakul, 2005).
3. Fenomena Bernouli
Hal ini terjadi karena menurunnya tekanan akibat konstriksi. Tekanan
negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung yang kemudian
memicu terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul, 2005).
4. Infeksi
Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan
polip hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan
rusaknya epitel dengan jaringan granulasi yang berproliferasi akibat
infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus
atau Bacteroides fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan
pada rinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa yang sering
ditemukan pada kistik fibrosis (Kirtsreesakul, 2005).
2.1.6 Stadium polip hidung
Pemeriksaan dengan rinoskopi anterior saja tidak cukup untuk
menegakkan diagnosa atau menyingkirkan keberadaan polip hidung.
Selain pencitraan dengan tomografi komputer, dibutuhkan pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
9
hidung dengan nasoendoskopi untuk menentukan perluasan polip dalam
rongga sinus (Lund & Kennedy, 1995).
Tabel 2.1 Stadium Polip menurut Mackay and Lund
Polip
Stadium
Tidak ada polip
0
Polip terbatas pada meatus media
1
Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum
2
memenuhi rongga hidung
Polip yang massif (memenuhi rongga hidung)
3
Sumber: Assanasen & Naclerio (2001)
Untuk kepentingan praktik, polip hidung diklasifikasikan oleh Stammberger
menjadi (Kirtsreesakul, 2005) :
1. Polip antrokoanal, kebanyakan timbul dari sinus maksilaris dan
prolaps ke koana.
2. Polip idiopatik, unilateral maupun bilateral, kebanyakan adalah polip
eosinofilik.
3. Polip eosinofilik dengan asma dengan atau tanpa sensitifitas aspirin.
4. Polip dengan penyakit sistemik penyerta seperti cystic fibrosis, primary
ciliary dyskinesia, Churg-Strauss-syndrome, Kartagener syndrome, dll.
2.1.7 Penatalaksanaan polip hidung
Mygind
dan
Lildholdt
(1996)
menjelaskan
bahwa
tujuan
penatalaksanaan polip hidung, antara lain:
1. Eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar mungkin.
2. Membuka kembali jalan nafas melalui hidung.
3. Meredakan gejala.
4. Penciuman kembali normal.
5. Mencegah komplikasi.
Universitas Sumatera Utara
10
EPOS (2012) merekomendasikan penggunaan kortikosteroid sistemik
pada tatalaksana polip hidung dengan Grade of Recommendation A dan
Level of Evidence 1b. Penggunaan steroid oral hanya dalam jangka
pendek (2-3 minggu) oleh karena resiko efek samping sistemik (Bachert,
2011). Guideline tatalaksana rinosinusitis kronik dengan polip hidung
PERHATI-KL (2007) menjelaskan bahwa polip hidung stadium 1
ditatalaksana medikamentosa, stadium 2 ditatalaksana medikamentosa
dilanjutkan operasi dan untuk stadium 3 ditatalaksana dengan tindakan
pembedahan. Adapun kortikosteroid oral yang digunakan pada terapi polip
hidung antara lain: Metilprednisolon 64 mg tappering off hingga 8 mg
selama 10 hari, Dexametason 12 mg tappering off hingga 4 mg selama 9
hari dan Prednison 1 mg / kgbb selama 10 hari (PERHATI-KL 2007).
Universitas Sumatera Utara
11
Keluhan
Sumbatan hidung dengan 1/>gejala:
Rinore purulen, anosmia/hiposmia, post nasal drips, sakit kepala frontal
Tampak massa dgn rinoskopi / naso-endoskopi
Massa polip hidung
Tentukan stadium
Jika mungkin: biopsi untuk tentukan tipe polip
(eosinofilik/netrofilik) dan/lakukan polipektomi
reduksi pada polip stadium 2 dan 3 untuk
memperbaiki airway.
Stadium 2 dan
3: terapi bedah
Stadium 1 dan
2: terapi medik
Persiapan
prabedah: HDST
dan CT Scan
Terapi medik:
Semua stadium
tipe netrofilik:
terapi bedah
Curiga keganasan
Biopsi
Semua stadium
tipe eosinofilik:
terapi medik
1. Steroid topikal dan/atau
2. Polipektomi medikamentosa (HDST)
Terapi bedah
Tidak ada perbaikan:
Tetap/membesar/me
ngecil sedikit
Tindak lanjut dengan steroid topikal
Pemeriksaan berkala dengan naso-endoskopi
Perbaikan:
Mengecil cukup
banyak
Perbaikan:
hilang
Sembuh
Poliprekuren:
- Cari faktor alergi
- Kaustik /ekstraksi polip kecil
Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan polip hidung.
- Steroid topikal
- Operasi ulang
Steroid oral
(HDST) Nasi
2.3 - Anatomi
Kavum
Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung (PERHATI-KL,
2007)
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.8 IL-5 pada polip hidung
Sitokin proinflamasi merupakan molekul yang terlibat dalam proses
seperti kemotaksis, kontrol proliferasi sel, aktivasi sel, diferensiasi dan
fungsi banyak sel yang berpartisipasi dalam proses inflamasi. IL-5 adalah
sitokin yang merangsang pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil di
sumsum tulang, memediasi aktivasi dan migrasi selektif eosinofil dari
sirkulasi perifer ke dalam jaringan, meningkatkan vitalitas eosinofil dengan
menghambat apoptosis. IL-5 diproduksi oleh subset sel Th2 (CD4+) dan
sel mast yang diaktifkan. Sel CD4+ yang berdiferensiasi menjadi Th2
melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang sel B untuk memproduksi Ig E
yang diikat sel mast. IL-4 juga bersifat autokrin dan merupakan sitokin
yang berperan dalam diferensiasi sel Th2 (Bratawijaya, 2006). Interleukin3 (IL-3), IL-5 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor
(GM-CSF) berbagi fungsi yang sama ketika mereka bekerja pada sel yang
sama. Dalam studi in vitro telah dinilai kemampuan IL-3, IL-5 dan GM-CSF
untuk meningkatkan kelangsungan hidup eosinofil. Salah satu yang paling
penting efek adalah untuk memperpanjang masa hidup eosinofil dengan
menunda timbulnya apoptosis. Dari hal tersebut, IL-5 telah diakui sebagai
sitokin yang paling spesifik untuk eosinofil dan merupakan regulator
pendorong utama eosinopoiesis (Duda, 2015).
Peran IL-5 dalam patogenesis polip hidung didukung oleh beberapa
bukti eksperimental. Tingginya tingkat IL-5 yang ditemukan pada polip
hidung menunjukkan pentingnya sitokin ini dalam patogenesis penyakit.
Fan et al dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa sekresi IL-5 yang
disebabkan oleh sel Th2 dan autosecretion dari IL-5 dari eosinofil
teraktivasi
mungkin
menjadi
penyebab
alasan
untuk
timbulnya
peradangan kronis. Studi lain yang dipimpin oleh Hirschberg et al
mengungkapkan bahwa IL-5 merupakan faktor penting yang terlibat dalam
perekrutan dan aktivasi eosinofil.
Eosinofil dibentuk dari mieloid di sumsum tulang, diaktivasi oleh sitokin
dan dilepaskan ke dalam sirkulasi jika ada stimulus yang tepat. Setelah
dalam sirkulasi eosinofil ini menumpuk dengan cepat dalam jaringan,
Universitas Sumatera Utara
13
dimana
dapat
eosinofil ini mensintesis dan melepaskan mediator lipid yang
menyebabkan
edema,
bronkokonstriksi,
kemotaksis,
serta
mensekresikan enzim dan protein yang dapat merusak jaringan.
(Greenfeder, et al., 2001)
Inflamasi merupakan gambaran histopatologi yang sangat jelas pada
polip hidung ditandai dengan infiltrasi sel-sel seperti eosinofil, limfosit dan
sel plasma. Eosinofil melepaskan produk-produk inflamasi dari granulgranul yang ada pada eosinofil seperti Major Basic Protein (MBP),
Eosinophilic Cationic Protein (ECP) dan Eosinophil Peroxidase (EPO)
seperti leukotrien, platelet activating factor dan transforming growth factor
(TGF). Saat dilepaskan produk-produk ini akan mengakibatkan perubahan
patologis yang tampak pada polip seperti kerusakan epitel, penipisan
membran basal, fibrosis stroma, angiogenesis serta hiperplasia epitel dan
kelenjar. Tertundanya apoptosis merupakan mekanisme penting dalam
akumulasi eosinofil. Telah diketahui banhwa sitokin-sitokin Th2 seperti IL3 dan 5 serta GM-CSF meningkatkan usia hidup eosinofil dengan
menghambat apoptosis eosinofil (Watanabe, et al., 2004). IL-5 berperan
dalam pengikatan, aktivasi dan inhibisi apoptosis eosinofil. IL-5 memiliki
hubungan paling baik dengan eosinophil cationic protein, membuktikan
bahwa IL-5 memiliki peran besar dalam peradangan eosinofil. Produksi IL5 yang tinggi menjadi penyebab utama lamanya usia eosinofil dan
menyebabkan degradasi jaringan matriks. Hal tersebut merupakan
karakteristik struktur polip (Bachert, et al., 2005). Penumpukan protein
plasma juga diatur oleh eosinofil. Albumin dan protein plasma yang lain
menumpuk didalam pseudokista bersama infiltrasi eosinofil sehingga
terbentuklah polip (Bachert, et al., 2000). Pada polip hidung apoptosis
eosinofil di mukosa hidung lebih lambat dibandingkan di darah. Sitokin IL3, IL-5 dan GM-CSF menghambat apoptosis eosinofil sekurang kurangnya
12 sampai 14 hari pada jaringan sebaliknya hanya bertahan 48 jam pada
keadaan tidak adanya sitokin. Eosinofil di jaringan juga dapat meregulasi
masa hidupnya sendiri melalui jalur autokrin (Rudack, Bachert & Stoll,
1999).
Universitas Sumatera Utara
14
Gambar 2.2 Model Rekruitmen EosinofIl pada polip hidung (Gevaert,
Cauwenberge & Bachert, 2004).
TGF-β1, suatu sitokin dengan kerja menginhibisi sintesis IL-5. Produksi
IL-5 yang tinggi dan tidak adanya TGF-β1 diduga menjadi penyebab
utama lamanya usia eosinofil dan menfasilitasi degradasi jaringan matriks,
kedua hal tersebut merupakan karakteristik struktur polip (Bachert, et al.,
2005).
2.2 Kortikosteroid
Sejak ditemukan tahun 1935, steroid telah digunakan secara luas. Saat
ini banyak peran klinis steroid terkait dengan kemampuannya sebagai
antiinflamasi (Ericson-Neilsen & Kaye, 2014). Ada dua jenis steroid yang
dihasilkan lapisan luar kelenjar adrenal (kortek) yaitu androgen adrenal
(fungsi seksual) dan kortikosteroid. Kortikosteroid memiliki fungsi dan efek
yang luas. Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein,
dan lemak; keseimbangan elektrolit dan air; fungsi jantung dan sistem
saraf; ginjal, otot lurik dan organ lain. Steroid dapat juga menyebabkan
retensi sodium dan sedikit efek antiinflamasi (Beck, 2004).
Universitas Sumatera Utara
15
Tabel 2.2 Perbedaan Potensi Kortikosteroid berdasarkan Na+/retensi H20
dan Waktu Paruh (Becker, 2013)
Obat
Kortisol
Prednison
Metilprednisolon
Triamsinolon
Deksametason
Betametason
Kortikosteroid
Dosis, mg
Na+/retensi H20
20
5
4
4
0,75
0,75
1
0,8
0,5
0
0
0
memiliki
efek
samping
yang
Biologic Half
Life/h
8-12
12-36
12-36
12-36
36-72
36-72
luas
sehingga
mempengaruhi berbagai sistem di tubuh, antara lain: regulasi umpan balik
negatif pada hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis, penyakit addison,
meningkatkan resistensi insulin di jaringan, meningkatkan glukosa darah
puasa, bekerja langsung pada osteoklas untuk mempengaruhi resorbsi
tulang dan menurunkan absorbsi kalsium disaluran cerna sehingga
menyebabkan osteopenia dan osteoporosis. Karena banyaknya efek
samping yang ditimbulkan kortikosteroid pada tubuh, klinisi harus hati-hati
ketika memberikan kortikosteroid. Jika kortikosteroid diberikan kurang dari
satu minggu maka dapat dihentikan tanpa tappering. Untuk penggunaan
selama 1-3 minggu, tappering dilakukan berdasarkan keadaan klinis dan
penyakit yang menjadi alasan diberikannnya terapi tersebut ( EricsonNeilsen & Kaye, 2014).
Polip
hidung
adalah
manifestasi
proses
inflamasi
sehingga
kortikosteroid merupakan terapi yang efektif. Kortikosteroid bekerja
dengan mengurangi konsentrasi mediator inflamasi dan sel-sel inflamasi
dengan cara menginhibisi proliferasi sel dan menginduksi apoptosis
(Ferguson & Orlandi, 2006). Efek anti inflamasi ini tidak hanya berdampak
pada sel-sel inflamasi seperti limfosit dan eosinofil tetapi juga sel-sel epitel
dan fibroblas. Kortikosteroid merupakan terapi konservatif pilihan untuk
polip baik sebagai terapi utama maupun untuk mencegah kekambuhan.
Kortikosteroid memIliki efek anti-inflamasi yang luas (Newton & Ah-See,
2008).
Universitas Sumatera Utara
16
Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif sehingga
mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator.
Kortikosteroid
mengurangi
peningkatan
reaksi
inflamasi
dengan
mengurangi rekruitmen sel-sel inflamasi dan juga menghambat proliferasi
fibroblast dan sintesa matriks protein ekstraselular. Hal ini akan
mengakibatkan berkurangnya sitokin dan sel-sel inflamasi. Sel T sangat
sensitif terhadap kortikosteroid. Jumlah sel T yang berkurang sangat
tergantung pada dosis kortikosteroid. Rekruitmen sel-sel inflamasi
dihambat dengan dihambatnya ekspresi ikatan molekul seperti ICAM-1
dan VCAM-1, yang berperan dalam proses influx basofil dan sel mast di
lapisan epitel mukosa hidung. Kortikosteroid mengurangi pelepasan
mediator
seperti
menyebabkan
histamin,
berkurangnya
prostanoids
jumlah
dan
sel-sel
leukotrien.
inflamasi
di
Hal
ini
mukosa.
Kortikosteroid menormalkan jumlah sel yang mengalami influx (Bachert, et
al., 2005).
Gambar 2.3 Pengaruh kortikosteroid oral terhadap polip hidung (Gevaert,
Cauwenberge & Bachert, 2004).
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar 2.4 Efek kortikosteroid pada kelangsungan hidup dan apoptosis
eosinofil manusia (Druilhe, et al., 2003).
Keterangan:
Nasib eosinofil di jaringan yang meradang tergantung pada keseimbangan
antara faktor pro dan anti-apoptosis. Faktor-faktor ini diproduksi oleh
eosinofil sendiri atau oleh sel yang ada dalam lingkungan tersebut,
termasuk limfosit T. Apoptosis eosinofil dibersihkan dari jaringan oleh sel
fagosit. Kortikosteroid mempercepat bersihan eosinofil oleh beberapa
mekanisme, termasuk (i) penghambatan produksi dan efek faktor
kelangsungan hidup, seperti IL-3, IL-5 atau GM-CSF, (ii) dengan
mempromosikan pelepasan faktor apoptogenic dan / atau dengan
meningkatkan efeknya, seperti yang ditunjukkan untuk aktivasi Fas, (iii)
dengan langsung merangsang mesin apoptosis intraseluler, dan (iv)
peningkatan kapasitas monosit, makrofag dan sel-sel epitel. (+) Dan (-)
mengacu pada dampak positif dan negatif dari kortikosteroid.
Universitas Sumatera Utara
18
Penggunaan steroid oral hanya dalam jangka pendek (2-3 minggu)
oleh karena resiko efek samping sistemik (Bachert, 2011). Steroid oral
kontraindikasi pada penderita infeksi akut, ulkus peptikum, psikosis dan
osteoporosis. Penggunaan steroid oral direkomendasikan untuk penderita
rinosinusitis kronik dengan polip hidung dan untuk penatalaksanaan
eksaserbasi gejala yang berat pada penderita tersebut. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya perbaikan gejala yang cepat dan
perubahan ukuran polip hidung dengan penggunaan steroid oral. Adapun
steroid oral yang sering digunakan pada terapi polip hidung antara lain:
Metilprednisolon, Dexametason dan Prednison (Kowalski, 2011). Lildholdt
mendapatkan
polipektomi
dengan
steroid
oral
jangka
pendek
menunjukkan hasil yang sama dengan polipektomi dengan menggunakan
snare. Komplikasi yang dapat timbul berupa imunosupresi, gangguan
penyembuhan luka, ulkus peptikum, mudah memar, meningkatnya kadar
gula darah, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya tekanan intra
ocular, supresi adrenal, katarak, perubahan distribusi lemak tubuh, retensi
cairan, kehilangan potassium dan kalsium, menurunnya kepadatan tulang,
kelemahan otot, hirsutism, emosi yang labil hingga psychosis (Jankowski,
et al., 2002).
Alobid et al (2006) melaporkan pemberian prednison selama 2 minggu
efektif memperbaiki kualitas hidup penderita polip hidung. Ukuran polip
berkurang secara bermakna, gejala hidung tersumbat dan gangguan
penghidu terkoreksi secara bermakna. Cochrane Database of Systematic
Reviews (2010) melaporkan penggunaan prednison oral terhadap 166
pasien menunjukkan pengurangan ukuran polip disertai perbaikan gejala
hidung dan kualitas hidup penderita yang bermakna. Kowalski (2011)
melaporkan, penggunaan prednisolon selama 2 minggu menunjukkan
pengurangan ukuran polip yang bermakna. Moberly (2011) melaporkan,
pemakaian 25 mg prednisolon selama 2 minggu dapat mengurangi ukuran
polip hidung secara bermakna. Pada penelitian ini peneliti menggunakan
Metilprednisolon 64 mg tappering off selama 20 hari sebagai terapi. Dosis
diturunkan setengahnya setiap 5 hari sekali.
Universitas Sumatera Utara
19
2.3 Kerangka Teori
Th2
Sel Mast
Basofil
CD 4+
Pelepasan mediator inflamasi
Ekspresi IL-5
IL-5
Metilprednisolon
Eosinofil
Polip
Hidung
Keterangan :
Penghasil IL-5 antara lain Th2, sel Mast, basofil, CD4+. IL-5 perperan
dalam
meningkatkan
adhesi
eosinofil
ke
endotelium
sehingga
meningkatkan akumulasi eosinofil. IL-5 juga menginhibisi apoptosis
eosinofil. 1. Kortikosteroid mempengaruhi Th2 sehingga menyebabkan
pelepasan mediator inflamasi berkurang, salah satunya adalah IL-5.
Berkurangnya jumlah IL-5 yang dilepaskan mengakibatkan ekspresi IL-5
menurun pada pemeriksaan imunohistoimia. 2. Kortikosteroid bekerja
mengurangi jumlah IL-5 yang telah dilepaskan oleh Th2, sehingga
ekspresi IL-5 menurun. 3. Kortikosteroid bekerja meningkatkan terjadinya
apoptosis eosinofil, sehingga jumlah eosinofil berkurang. Hal ini
menyebabkan polip hidung mengecil dan ekspresi IL-5 menurun pada
pemeriksaan immunohistokimia.
Universitas Sumatera Utara
20
2.4 Kerangka Konsep
Metilprednisolon oral
Polip hidung
Sel-sel inflamasi
Apoptosis
Jumlah sel radang polip hidung
Ukuran polip
Ekspresi IL-5
Universitas Sumatera Utara