TINJAUAN PUSTAKA Suksesi Fungi dan Dekomposisi Serasah Daun Acacia mangium Willd. dalam Kaitan dengan Keberadaan Ganoderma dan Trichoderma di Lantai Hutan Akasia

II. TINJAUAN PUSTAKA

Biologi dan Potensi Acacia mangium Acacia mangium merupakan spesies tanaman berkayu yang cepat tumbuh, banyak digunakan untuk program penanaman hutan di wilayah Asia dan Asia Pasifik. Tanaman ini dapat tumbuh pada daerah yang sangat kering sampai daerah hutan basah. Acacia mangium dapat tumbuh pada kisaran 0 - 800 meter dpl, dengan rata-rata curah hujan tahunan 1000-4000 mm, rata-rata temperatur tahunan 18-28 o C dengan rata-rata pada musim panas 30-40 o C dan pada musim dingin 10- 24 o C USDA 2005. Acacia mangium mempunyai nama lain Racosperma mangium Willd. Pedley. Sedangkan nama dagangnya adalah brown salwood. Klasifikasi tanaman ini adalah sebagai berikut: kingdom : Plantae subkingdom : Tracheobionta superdivisi : Spermatophita divisi : Magnoliophita klas : Magnoliopsida subklas : Rosidae ordo : Fabales famili : Fabaceae genus : Acacia species : Acacia mangium Willd. USDA 2005 Pohon A. mangium dapat mencapai tinggi 30 meter, batang lurus tidak bercabang sampai setengah tinggi seluruh batang. Ranting, phillodia dan tangkai bersifat glabrous atau agak terkelupas. Phillodia lebarnya 5-10 cm, panjang 2-4 kali lebar, berwarna hijau gelap kaku seperti kulit waktu kering. Phillodia memiliki 3-4 pertulangan daun utama yang memanjang yang bertemu pada tepi punggung dari pangkal phillodia, pertulangan sekunder halus dan tidak begitu terlihat. Bunga berupa bulir yang longgar mencapai panjang 10 cm, soliter atau berpasangan pada ketiak bagian atas. Bunga pentamer, kelopak mempunyai panjang 0.6-0.8 mm dengan cuping tumpul pendek, mahkota dua kali panjang kelopak. Polong lurus, gundul, lebar 3-5 mm, dengan panjang kira-kira 7.5 cm pada waktu hijau, berkayu, memelintir seperti koil dan kecoklatan pada waktu masak, memipih antar biji-bijinya. Biji berambut halus, hitam, elipsoid, bulat telur atau memanjang, 3,5 x 2,5 mm, tali pusar berwarna agak oranye, membentuk arilus berdaging di bagian bawah biji Starr et al. 2003. Menurut Duke 1983, akasia menghasilkan eksudat gum pada batangnya. Gum pada A. mangium mengandung 5.4 abu, 0.98 N, 1,49 metoksil, 32.2 asam uronat, 9.0 asam 4-0-metilglukouronat, 23.2 asam glukouronat, 56 galaktosa, 10 arabinosa, dan 2 ramnosa. Sedangkan gum pada A. auriculiformis mengandung 5.3 abu, 0.92 N, 1.68 metoksil, 27.7 asam uronat, 10.1 asam 4-0-metilglukouronat, 17.6 asam glukouronat, 59 galaktosa, 8 arabinosa, dan 5 ramnosa. Acacia mangium dan A. auriculiformis juga menghasilkan senyawa yang mempunyai aktivitas anti fungi yaitu 3,4’,7,8- tetrahydroxyflavanone dan teracacidin Mihara et al. 2005. Produksi kayu A. mangium di Indonesia untuk pulp dan MDF medium- density fiberboard dari hutan tanaman industri adalah: Riau dan Jambi dengan produksi 5.860.000 m 3 tahun, Sumatra Selatan dan Lampung 2.500.000 m 3 tahun, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 750.000 m 3 tahun, dan Kalimantan Barat 200.000 m 3 tahun. Sedangkan produksi untuk solid wood diperkirakan mencapai 165.000 m 3 tahun. Kegunaan kayu ini utamanya untuk pembuatan pulp dan paper. Kegunaan lain diantaranya untuk MDF, furniture, fuelwood dan bahan konstruksi bangunan Arisman Hardiyanto 2006. Selain itu serasahnya dapat digunakan sebagai mulsa tanah, dan juga dapat digunakan sebagai tambahan makanan ternak sapi. Bunganya dapat sebagai makanan lebah, sehingga dapat meningkatkan produksi madu Bui et al. 1992. Serasah Acacia mangium Serasah pada lantai hutan umumnya terdiri dari bermacam-macam bagian tumbuhan yang jatuh ke tanah, yaitu berupa daun, bunga, buah, ranting, dan cabang. Produktivitas serasah pada suatu ekosistem hutan tergantung pada kondisi lingkungan, jenis pohon dan umur tegakan. Di hutan tanaman Ubrug, Jatiluhur, tegakan A. auriculiformis yang berumur lima tahun menghasilkan serasah 10.9 tonha. Sedangkan pada umur enam tahun pada tegakan yang sama menghasilkan serasah 13.0 tonha Team Vegetation and Erosion Padjadjaran University 1979. Bagian tanaman yang jatuh terlebih dahulu akan berada di bagian paling bawah atau berada paling dekat dengan permukaan tanah, sedang yang jatuh kemudian akan berada di atasnya, sehingga terjadi tumpukan serasah dengan ketebalan tertentu. Ketebalan serasah ini sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan hutan misalnya kerapatan vegetasi, luas kanopi dan kerimbunan tegakan penyusun hutan tersebut. Seiring dengan perjalanan waktu, pada tumpukan serasah tersebut terbentuk lapisan-lapisan yang terjadi karena adanya proses dekomposisi Gambar 2. Lapisan-lapisan tersebut adalah lapisan L yaitu lapisan serasah bagian atas yang masih utuh, lapisan F yaitu lapisan serasah bagian tengah yang sebagian sudah terdekomposisi, dan lapisan H yaitu lapisan bagian bawah yang sudah terdekomposisi atau lapisan yang berada pada lapisan permukaan tanah Danoff-Burg 2006. Hasil pengukuran tebal lapisan serasah Acacia mangium di lapangan menunjukkan bahwa pada tegakan umur dua dan lima tahun ketebalan lapisannya tidak berbeda nyata. Pada tegakan sehat rata-rata lapisan serasah L, F, dan H masing-masing 3.17 cm, 3.0 cm, dan 2.2 cm, sedangkan pada tegakan terserang Ganoderma masing-masing 2.5 cm, 2.83 cm, dan 2 cm. Gambar 2 Diagram lapisan serasah Serasah adalah bahan organik yang belum terurai, tetapi yang telah berupa benda mati, dan terdapat di permukaan tanah Joetono 1995. Serasah terdiri dari semua bagian tumbuhan yang mati dan terakumulasi di atas permukaan tanah dan akan mengalami dekomposisi dengan kecepatan yang berbeda, tergantung dari Lapisan L Lapisan F Lapisan H Tanah jenis bagian tumbuhan yang terakumulasi tersebut. Serasah terdekomposisi oleh aktivitas mikrob dan fauna tanah, sehingga senyawa-senyawa yang kompleks akan diubah menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana Dickinson Pugh 1974. Dekomposisi serasah secara biologi akan menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat larut seperti karbohidrat, tanin, peptida, dan asam amino yang dihasilkan melalui proses hidrolisis pada protein protoplasmik. Selain itu dihasilkan gas seperti NH 3 , CO 2 , juga senyawa lain seperti nitrat, sulfat, pospat dan air. Sedangkan senyawa-senyawa yang tidak larut yang tersusun dari lignin, selulosa, hemiselulosa akan berangsur-angsur mengalami dekomposisi menjadi bentuk-bentuk senyawa baru yang dapat larut. Pada dasarnya semua sisa tanaman menghasilkan bahan organik yang sama, tetapi berbeda pada kandungan senyawa yang mudah dan yang sukar terdekomposisi Allen Unwin 1982. Mudah atau sukarnya dekomposisi suatu serasah, tergantung dari zat-zat yang terkandung di dalam jaringannya. Gula, zat pati, dan protein sederhana akan lebih mudah terdekomposisi dibandingkan dengan protein kompleks, peptin, dan hemiselulosa. Sedang selulosa lebih mudah dibanding lignin, resin, tannin, dan lilin. Organ bagian atas tanaman akan lebih mudah terdekomposisi dibandingkan dengan bagian akar, dan tanaman yang muda akan lebih mudah terdekomposisi dari pada tanaman yang lebih tua. Demikian juga serasah hutan campuran akan lebih mudah terdekomposisi dari pada hutan monokultur Dickinson Pugh 1974. Kecepatan dekomposisi dan aktivitas biologi dari suatu bahan organik juga ditentukan oleh rasio C:Nnya. Jaringan tumbuhan dengan rasio C:N yang rendah akan terdekomposisi secara cepat, sedangkan yang memiliki rasio C:N yang tinggi dekomposisinya lebih lambat. Jika rasio C:N bahan organik lebih besar dari 30, akan terjadi immobilisasi lebih besar dari pada mineralisasi. Jika rasio C:N bahan organik 15 - 30, immobilisasi sama dengan mineralisasi dan jika rasio C:N bahan organik lebih kecil dari 15, maka mineralisasi lebih besar dari pada immobilisasi Joetono 1995 Dekomposisi serasah oleh Fungi Keberadaan senyawa penyusun dinding sel tumbuhan seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin tidaklah terpisah secara sendiri-sendiri, namun satu sama lain saling terikat membentuk suatu kesatuan yang disebut lignoselulosa Beguin Aubert 1992. Keberadaan senyawa kompleks tersebut di dalam serasah lantai hutan dapat didegradasi oleh mikrob tanah yang dapat menghasilkan enzim lignoselulolitik, sehingga dihasilkan senyawa yang lebih sederhana. Di dalam ekosistem lantai hutan fungi mempunyai peran penting sebagai dekomposer Dreisbach 2002. Selama proses dekomposisi serasah di lantai hutan terjadi pergantian struktur komunitas suksesi fungi dekomposer. Pada tahap awal substrat ditumbuhi oleh fungi pengkoloni awal pioneer colonizers yang umumnya merupakan fungi ruderal yang mampu beradaptasi dan berkompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya baru terhadap kompetitor lain Atlas dan Bartha 1993. Pada saat serasah daun jatuh ke tanah, fungi pengkoloni awal merupakan fungi yang mampu memanfaatkan gula sederhana saja misalnya Cladosporium herbarum dan Aureobasidium pullulans, bahkan fungi tersebut sering ditemukan pada daun yang masih segar. Setelah itu akan terjadi kolonisasi secara cepat oleh fungi tanah yang tergolong genus Penicillium, Humicola, Trichoderma, Fusarium, Gliocladium, Doratomyces dan dari genus lainnya. Fungi tanah yang mengkoloni serasah tersebut disebut autochton species. Kebanyakan fungi autochton tersebut mampu menghidrolisis polisakarida, bahkan spesies tertentu seperti Penicillium mampu menggunakan tanin sebagai sumber karbon, tetapi fungi lain yang tidak menghasilkan enzim penghidolisis substrat yang lebih kompleks akan tereduksi. Selanjutnya kolonisasi akan dilakukan oleh pengkoloni akhir survivor yaitu fungi yang mampu menghidrolisis senyawa kompleks seperti selulosa bahkan lignin dari substrat serasah sebagai sumber energi utamanya, yaitu Basidiomycetes dan Ascomycetes Dix Webster 1995. Aktivitas dari berbagai macam fungi terhadap serasah yang ada di lantai hutan akan menghasilkan senyawa-senyawa yang lebih sederhana dan akhirnya terjadi mineralisasi yang menghasilkan nutrisi untuk tumbuhan dan mikrob lainnya. Setiawan 1993 telah berhasil mengukur penurunan berat kering serasah A. mangium sebesar 56 setelah didekomposisikan selama 18 minggu. Biodegradasi Selulosa Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan glikosidik β-1,4 yang bersifat tidak larut dalam air Gambar 3. Molekul selulosa membentuk rantai panjang yang lurus yang diperkuat oleh ikatan hidrogen yang berikatan silang. Secara alami selulosa tersusun dari bentuk fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa paralel dan dihubungkan oleh ikatan hidrogen Beguin Aubert 1994. Mikrofibril selulosa terdiri dari dua tipe yaitu kristalin dan amorf. Bagian kristalin selulosa merupakan mikrofibril yang banyak memiliki jembatan hidrogen antar molekul dengan orientasi antar mikrofibril yang sangat teratur. Mikrofibril yang sedikit memiliki jembatan hidrogen dengan orientasi antar mikrofibril yang tidak teratur merupakan bagian amorf selulosa Marsden Gray 1986. Gambar 3 Struktur umum selulosa Zabel Morrell 1992 Analisis difraksi sinar-X menunjukkan bahwa selulosa alami umumnya berstruktur kristalin, sedang analisis dengan spektroskopi inframerah menunjukkan bahwa beberapa gugus hidroksil bebas yang saling berikatan dengan lignin melalui ikatan kovalen membentuk lignoselulosa yang kuat sehingga sulit dihidrolisis oleh enzim Fengel Wegener 1995. Enzim yang mendegradasi selulosa adalah selulase, merupakan enzim kompleks yang terdiri dari tiga komponen yaitu: 1 ekso β 1-4-glukanase, dikenal sebagai enzim C1 berperan dalam hidrolisis selulosa kristalin menjadi selulosa amorf; 2 endo β 1-4-glukanase, dikenal sebagai enzim Cx berperan dalam hidrolisis ikatan β-1-4-glikosida selulosa amorf menjadi selobiosa; dan 3 β 1-4-glukosidase, berperan dalam hidrolisis selobiosa menjadi glukosa Wirahadikusumah et al. 1995; Smith et al. 1983. Urutan reaksinya adalah sebagai berikut: C1 Cx β 1-4-glukosidase selulosa kristalin selulosa amorf selobiosa terlarut glukosa Fungi Phanerochaete chrysosporium mampu menghasilkan lima β 1-4 glukanase yang memiliki berat molekul berbeda dan masing-masing bekerja aktif pada suhu optimumnya. Penicillium pinophilum mampu menghasilkan endoglukanase jika diinkubasikan dalam media yang mengandung selulosa. Trichoderma viride paling sedikit dapat menghasilkan empat β 1-4 selobiohidrolase. Sedangkan T. reesei menghasilkan lima endoglukanase, satu eksoglukanase dan dua β 1-4 glukosidase Dix Webster 1995; Evans Hedger 2001. Biodegradasi Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan polimer yang sangat heterogen, yaitu polimer- polimer heksosa, pentosa dan asam-asam uronat. Silosa dan manosa merupakan unit yang sering ditemukan. Molekul hemiselulosa umumnya mempunyai rantai yang relatif lebih pendek dari selulosa, berbentuk non kristalin dan dapat dihidrolisis menjadi silosa dan pentosa lainnya. Selain itu hemiselulosa mudah larut dalam larutan alkali dan pada air mendidih. Senyawa ini juga larut dalam asam yang panas, dihidrolisis menjadi pentosa dan heksosa. Hemiselulosa berikatan dengan selulosa dan lignin melalui jembatan hidrogen dan gaya van der Waals Marsden Gray 1986. Enzim yang mendegradasi hemiselulosa analog dengan enzim yang mendegradasi selulosa tetapi enzim eksonya tidak ada. Silan didegradasi oleh enzim silanase, sedang mannan didegradasi oleh enzim mannase Zabel Morrell 1992. Silanase merupakan enzim kompleks yang terdiri dari: 1 endo- 1,4- β-silanase yang memisahkan polimer menjadi silosa dan oligomer; 2 1,4-β silosidase yang menghidrolisis silo-oligoskarida atau fragmen silan menjadi silosa; 3 α-glukuronidase, memisahkan rantai samping 4-O-metilglukuron dari kerangka silan dan melepaskan unit asam glukoronat; 4 α-arabinosidase, memindahkan rantai samping L-arabinosa; dan 5 asetil esterase, memindahkan kelompok substituen asetil dari silosa. Sedangkan enzim mannase terdiri dari: endo-1,4- β-mannanase, β-mannosidase, β-glukosidase, α-galaktosidase, dan asetil esterase. Namun demikian aksi enzim tersebut sama dengan enzim silanase Zabel Morrell 1992. Fungi yang telah diidentifikasi mempunyai aktivitas silanase diantaranya Mucor, Mortierella dan Rhizopus Dix Webster 1995. Fungi lain yang menghasilkan silanase adalah Phytophthora, Glomerella cingulata, sedangkan Aspergillus oryzae selain menghasilakan silanase juga menghasilkan arabanase. Chaetomium globosum menghasilkan mannase Bilgrami Verma 1978. Biodegradasi Lignin Lignin merupakan polimer yang amorf dengan berat molekul tinggi. Lignin terbuat dari unit-unit fenilpropan yaitu: ρ-koumaril alkohol, koniferil alkohol, dan sinafil alkohol Gambar 4. Keberadaan masing-masing unit fenilpropan tergantung dari sifat dan jenis tanaman Stevensen 1982. Umumnya monomer-monomer lignin tersebut memiliki substituen-substituen hidroksi dan metoksi yang tidak diikat dengan cara yang sama, baik inter maupun intra monomer Knapp 1985. C H C H C H 2 O H O H C H C H C H 2 O H O H O C H 3 C H C H C H 2 O H O H O C H 3 C H 3 O ρ-koumaril alkohol koniferil alkohol sinafil alkohol Gambar 4 Unit-unit fenilpropan, tiga monomer utama yang merupakan prekusor lignin Crawford 1981 Lignin terbentuk secara polikondensasi. Pembentukannya tidak melibatkan enzim-enzim khusus, tetapi merupakan reaksi-reaksi kimia yang melibatkan fenol dan radikal bebas, sehingga bahan yang terbentuk tidak menunjukkan adanya pengaturan tertentu mengenai konstituen-konstituen pembentuknya, yang menyebabkan lignin lebih sukar terdegradasi dibandingkan dengan selulosa dan hemiselulosa Joetono 1995. Enzim yang mendegradasi lignin juga merupakan enzim kompleks, yang terdiri dari lignin peroxidase LiP, manganese peroxidase MnP, dan lakase. Enzim-enzim tersebut diproduksi aktif pada keadaan oksigen yang cukup Rothschild et al. 1995; Fukushima Kirk 1995. Lignin peroxidase LiP merupakan enzim kunci dalam mendegradasi lignin pada Phanerochaete chrysosporium. Enzim ini memecah atau memutuskan ikatan kimia C α -C β antar karbon pada unit fenilpropan. Manganese peroxidase MnP merupakan enzim utama yang terlibat dalam degradasi lignin oleh Polyporus anceps. Enzim ini diduga mengoksidasi Mn 2+ menjadi Mn 3+ yang kemudian mengoksidasi beberapa struktur fenolik pada lignin. Sedangkan lakase merupakan enzim yang menyebabkan terjadinya oksidasi C α , dimetilisasi, pemecahan kelompok fenil, dan pemecahan ikatan C α -C β pada struktur siringil Zabel Morrell 1992. Hasil pemecahan lignin tersebut berupa senyawa aromatik yang memiliki berat molekul rendah seperti: vanilin, siringaldehid, koniferil aldehid, asam vanilat, asam siringat, dan asam aromatik atau fenol lainnya. Senyawa-senyawa tersebut akan diubah menjadi senyawa aromatik lain berupa katekol, asam protokatekoat dan asam gentisat, merupakan senyawa dengan struktur aromatik yang mudah diputus menjadi senyawa alifatik. Selanjutnya senyawa-senyawa alifatik yang dihasilkan tersebut diubah menjadi senyawa-senyawa antara yang mudah dimetabolismekan seperti asam piruvat, asam fumarat, asam suksinat, asam asetat, dan asetildehid Zabel Morrell 1992, Crawford 1981; Joetono 1995. Di dalam tanah, hasil perombakan lignin tersebut dapat mengalami kondensasi yang akan menghasilkan humat humic di dalam tanah Stevenson 1982. Pada umumnya fungi yang mampu mendegradasi lignin berasal dari fungi pelapuk putih white rot fungi. Phanerochaete chrysosporium adalah fungi yang paling banyak dipelajari sebagai penghasil enzim lignin peroksidase dan lakase. Trametes versicolor dan fungi pembusuk putih lainnya juga dideteksi menghasilkan lignin peroksidase. Sedangkan Dichomitus squalens Polyporus anceps dideteksi menghasilkan mangan peroksidase Evans Hedger 2001. Fungi pelapuk coklat brown rot fungi yang mampu tumbuh pada media yang mengandung lignin antara lain Gloeophyllum trabeum, Neolentinus Lentinus lepideus , dan Pholiota adiposa Zabel Morrell 1992. Pleurotus ostreatus dapat tumbuh baik pada jerami, selain itu Fusarium dan Aspergillus ternyata dapat tumbuh dengan baik dalam medium sintetik yang mengandung lignin Dix Webster 1995. Ganoderma Ganoderma termasuk Basidiomycetes kosmopolit yang menyebabkan busuk akar pada tumbuhan kayu keras dengan mendekomposisi lignin, selulosa dan polisakarida lain. Fungi ini akan berkembang dengan cepat pada tanaman monokultur yang ditanam berturut-turut, karena pada tunggul kayu, akar, dan material berkayu lainnya dari periode sebelumnya tersimpan inokulum yang sangat banyak Old et al. 2000. Selain itu Ganoderma juga mempunyai bentuk pertahanan seperti klamidospora Susanto 2002, sehingga menjadi masalah besar karena serangannya semakin luas pada periode tanam kedua dan ketiga Widyastuti 2006. Penanganan terpadu untuk memberantas penyakit tersebut dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan penting untuk dilakukan. Kerugian akibat serangan penyakit busuk akar dapat mecapai 3-28 pada pohon yang berumur 3-5 tahun di Sumatera dan Kalimantan Irianto et al. 2006. Spesies Ganoderma yang menyebabkan busuk akar merah pada tanaman akasia adalah G. philippii = G. pseudoferreum Lee 2000. Spesies lain dari Ganoderma yang menyebabkan busuk pangkal batang tanaman kelapa sawit adalah G. boninense Abadi et al. 1989. Ganoderma termasuk dalam kelompok fungi pelapuk putih white rot fungi yang mampu mendegradasi lignin dengan sistem enzim pengoksidasi fenol seperti polifenoloksidase, lakase, dan tirosinase. Peneliti lain menyebutkan enzim yang berperan dalam perombakan lignin adalah lignin peroxidase LiP, manganese peroxidase MnP dan lakase Harvey et al. 1993. Beberapa spesies Ganoderma , selain menghasilkan enzim-enzim di atas juga menghasilkan enzim amilase, ektraseluler oksidase, invertase, koagulase, protease, renetase, pektinase, dan selulase Das et al. 1979. Oleh karena Ganoderma mampu mendegradasi lignin dan selulosa, maka fungi ini diduga mampu tumbuh dan berkembang pada serasah A. mangium yang mempunyai kandungan lignin dan selulosa tinggi. Penelitian tentang keberadaan Ganoderma pada serasah sangat sedikit dilakukan, sebagian besar peneliti lebih menekankan pada aspek patologisnya. Menurut Pegler 1973; Seo dan Kirk 2000 Ganoderma termasuk dalam famili Ganodermataceae dengan ciri-ciri sebagai berikut: merupakan kelompok fungi tahunan yang mempunyai basidiokarp bertangkai atau tidak bertangkai, dan mempunyai kulit luar yang keras. Himenofor selalu berbentuk tabung dan pada umumnya tersusun dalam beberapa lapisan. Konteks berwarna coklat muda sampai coklat tua, atau coklat keungu-unguan dengan tekstur bergabus sampai berkayu. Sistem hifa dimitik atau trimitik dengan hifa skeletal yang sering bercabang di bagian ujungnya, serta dengan hifa generatif yang mempunyai sambungan apit Gambar 5. Basidium memproduksi empat basidiospora dan tidak ada seta ataupun sistidium. Basidiospora berbentuk bola sampai elips, berwarna coklat atau coklat muda. Struktur dinding basidiospora sangat kompleks dengan eksoepisporium berpigmen dan bergerigi serta dilapisi oleh perisporium hialin Gambar 6. Gambar 5 Ganoderma sp Hood 2006 a, b dan c. permukaan bagian atas basidiocarp G. australe, G. steartanum dan G. cupreum , d. potongan basidiocarp Ganoderma sp, e. sayatan permukaan atas basidiokarp, f. basidiospora dan g. hifa skeletal a b c d e g f Gambar 6 Basidiospora dan basidium Ganoderma lucidum Seo Kirk 2000 a dan b. basidiospora tanda panah, c dan d. basidium tanda panah Gejala penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Ganoderma Fungi yang termasuk dalam Basidiomycetes biasanya hidup sebagai saprob endemik yang secara alami menyebabkan sedikit masalah. Pada waktu lahan dibuka untuk perkebunan, fungi ini dapat hidup pada sisa-sisa akar, tunggul pohon, dan sampah-sampah berkayu lainnya pada tanah. Fungi ini tergantung pada sumber makanan yang banyak untuk aktivitas patogeniknya dan bertahan pada kayu yang mati. Selanjutnya dapat menjadi aktif dan berupa parasit virulen dengan menginfeksi pohon hidup melalui akarnya. Kemampuan patogen akar ini untuk menembus dan berkoloni pada sistem akar sangat tergantung pada kesehatan dari pohon yang diserang Old et al. 2000. Ganoderma sp. biasanya menyerang pohon yang kesehatannya kurang baik, sementara Rigidoporus lignosus menyebar melalui tanah dengan rizomorfnya. Sedangkan Phellinus noxius tergantung pada kontak antara akar inang yang sehat dengan substrat tempat fungi itu tumbuh Nandris et al. 1987. a b c d Pada areal tegakan akasia yang terserang penyakit busuk akar ditandai dengan adanya pohon mati dan pohon yang sedang mengalami kematian yang terlihat dari udara seperti lingkaran. Daun pohon yang terinfeksi biasanya hijau pucat, ukurannya mengecil karena kekurangan air dan mineral. Kecepatan tumbuhnya juga menurun. Pucuk muda menjadi layu dan beberapa pohon yang mengalami cekaman ini dapat menghasilkan buah dan biji di luar musim. Pada fase selanjutnya dari penyakit busuk akar, pohon akan sangat peka terhadap hembusan angin. Berdasarkan warna akar yang terinfeksi, penyakit busuk akar yang menyerang akasia dibedakan menjadi empat macam yaitu busuk akar merah dan busuk akar coklat, dan yang kurang umum busuk akar putih dan busuk akar hitam Old et al. 2000. Pada penyakit akar merah, akar ditutupi oleh suatu miselium menyerupai kulit rizomorf coklat kemerahan yang berkerut, yang tampak pada saat akarnya tercuci dari tanah yang menempel Gambar 7 a. Suatu pola bintik-bintik putih terjadi pada bagian bawah kulit batang yang terinfeksi. Pada fase awal infeksi kayunya tetap keras dan tidak ada perubahan warna yang nyata, tetapi pada fase selanjutnya kayu menjadi pucat dan berkerak atau kering, tergantung kondisi pada tanah. Keadaan ini merupakan tipe yang umum dari penyakit akar yang diamati pada perkebunan A. auriculiformis, A. crassicarpa, dan A. mangium yang berasosiasi dengan Ganoderma spp., terutama G. philippii Lee Noraini Sikin 1998. Berdasarkan observasi di PT RAPP Riau, serangan oleh Ganoderma pada A. mangium akan lebih mudah diamati apabila tubuh buahnya telah tumbuh pada batang. Indikasinya adalah di balik kulit batang yang mati warna kayunya putih atau krem polos Gambar 7 b. Hal ini penting diketahui untuk membedakan akibat serangan oleh fungi lain misalnya Phellinus. Indikasi yang khas dari Phellinus ialah dibalik kulit batang yang mati tampak bentuk pola garis hitam yang teratur Gambar 7 c. a b c Gambar 7 Indikasi serangan Ganoderma dan Phellinus pada A. mangium Keterangan : a. Indikasi serangan Ganoderma pada akar, menunjukkan adanya warna merah pada akar Old et al. 2000. b. Indikasi serangan Ganoderma pada batang, tidak adanya pola berwarna coklat polos sebagai akibat aktivitas fungi c. Indikasi serangan Phellinus pada batang, adanya pola berwarna coklat sebagai akibat aktivitas fungi Gambar b dan c hasil observasi di PT RAPP Riau 2006 Trichoderma sebagai agen biokontrol penyakit busuk akar Trichoderma merupakan salah satu fungi tanah yang dominan dan mempunyai variasi habitat yang luas. Sebagai organisme saprob yang memilki pertumbuhan cepat, Trichoderma dapat berkompetisi secara ekologis dalam waktu yang lama dan mampu mengkolonisasi berbagai substrat yang ada di lantai hutan. Interaksi antagonis antara Trichoderma dengan fungi lain, secara tradisional diklasifikasikan sebagai antibiosis, mikoparasitisme dan kompetisi Widyastuti 2006. Antibiosis terjadi ketika antagonisme antara dua fungi, fungi yang satu menguasai yang lainnya dengan cara menghasilkan antibiotik. Mikoparasitisme ialah parasitisme satu fungi terhadap fungi lainnya dan kompetisi terjadi ketika dua atau lebih mikroorganisme membutuhkan lebih banyak sumberdaya dari pada yang tersedia. Dalam interaksi antagonis tersebut antibiosis maupun mikoparasitisme mungkin juga melibatkan kompetisi dalam hal nutrisi Ghisalberti Sivasithamparan 1991. Kemampuan antagonistik Trichoderma telah diujikan terhadap beberapa patogen tanaman seperti Ganoderma spp., Rigidoporus microporus, Rhizoctonia spp., Fusarium sp., dan Sclerotium rolfsii. Hasilnya menunjukkan bahwa Trichoderma secara efektif dapat menekan pertumbuhan fungi patogen secara in vitro dan di rumah kaca Widyastuti 2006. Mekanisme pengendaliannya terjadi dengan cara membelit atau tumbuh di sepanjang hifa inang dan membentuk struktur semacam kait yang membantu penetrasi ke dalam dinding sel inang Chet et al. 2004. Penetrasi dinding sel inang oleh Trichoderma dilakukan dengan enzim pendegradasi dinding sel fungi yang dimilikinya seperti kitinase, glukanase, dan protease, selanjutnya menggunakan isi hifa inang sebagai sumber makanan Kredics et al. 2003; Harjono Widyastuti 2001 . Tiga spesies Trichoderma juga telah diuji efektivitasnya terhadap penekanan pertumbuhan Ganoderma pilippii yang diisolasi dari berbagai macam pohon. Hasilnya menunjukkan Trichoderma reesei paling efektif sebagai mikoparasit diikuti oleh T. koningii dan T. harzianum Widyastuti 2006. Dalam hal kemampuan Trichoderma mendekomposisikan serasah A. mangium , pengujian telah dilakukan di lapangan oleh Rohiani 1996, hasilnya menunjukkan bahwa Trichoderma viride dapat menurunkan rasio C:N antara 20 sampai 30 dalam waktu 8 minggu. Konsentrasi inokulum yang efektif dalam mendekomposisikan serasah A. mangium adalah 40 dari berat serasah untuk umur tegakan 2 dan 3 tahun, sedangkan untuk umur 6 tahun cukup dengan 10 inokulum.

III. SUKSESI FUNGI DAN DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Acacia mangium