Uji dengan pilihan INTRODUKSI NEOCHETINA EICHHORNIAE

140 hidup imago N. eichhorniae, aktivitas makan dan peletakkan telur. Sebagai pembanding, imago kumbang tersebut juga dipelihara pada wadah yang terisolasi tanpa diberikan makanan. Tabel 6.1 Spesies tumbuhan yang digunakan pada uji tanpa pilihan No. Famili Spesies Nama daerah 1. Pontederiaceae Eichornia crassipes Mart. Solm Eceng gondok 2. Lemnaceae Spirodela sp. Schleiden Mata lele 3. Marsileaceae Marsilea crenata Presl Semanggi 4. Onagraceae Ludwigia adscendens L. Hara Tapak doro 5. Onagraceae Ludwigia octovalvis Jacq. Raven Lakum air 6. Portulacaceae Portulaca oleracea L. Krokot 7. Salviniaceae Salvinia molesta D.S. Mitchell Kiambang 8. Amaranthaceae Alternanthera sessilis L. DC Kremah

b. Uji dengan pilihan

Uji preferensi menggunakan metode dengan pilihan dimaksudkan untuk membandingkan tingkat kesukaan serangga uji terhadap suatu jenis tumbuhan tertentu. Spesies tumbuhan yang digunakan dalam pengujian ini adalah tumbuhan yang menunjukkan gejala kerusakan atau bekas gigitan N. eichhorniae pada perlakuan no-choice test sebelumnya, yaitu Marsilea crenata, Ludwigia adscendens, L. octovalvis, Eichornia crassipes, Portulaca oleracea, dan Salvinia molesta Lampiran 6. Setiap jenis tumbuhan yang masih berukuran kecil ± 20 cm ditanam dalam pot plastik diameter 15 cm, tinggi 10,5 cm. Selanjutnya pot-pot tersebut ditempatkan dengan posisi melingkar di dalam sangkar kasa 80 cm x 80 cm x 60 cm. Posisi melingkar dimaksudkan sebagai suatu posisi yang memberi jarak yang sama untuk dikunjungi serangga uji yang dilepaskan di daerah pusat lingkaran Tjitrosoedirdjo et al. 1995. Sembilan ekor betina N. eichhorniae dilepaskan di daerah pusat lingkaran pada masing-masing kurungan, selanjutnya dibiarkan secara bebas mencari jenis tumbuhan uji yang disukai. Pelepasan dilakukan pada pukul 04.00 WIB. Pada hari pertama lakukan pengamatan setiap jam selama 12 jam dan dicatat jumlah 141 serangga pada masing-masing tumbuhan uji. Pengamatan ini dimaksudkan untuk melihat perkembangan persentase preferensi kumbang tersebut. Selanjutnya perlakuan dibiarkan selama 48 jam, kemudian semua serangga dikeluarkan dari kurungan dan diamati jumlah serangga pada masing-masing tumbuhan uji dan jumlah telur yang diletakkan. Pengujian dilakukan mengikuti pola rancangan acak kelompok RAK dengan 4 ulangankelompok. ƒ Studi keberadaan N. eichhorniae pada tumbuhan akuatik dan terestrial Untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya ekspansi kisaran inang oleh agens hayati N. eichhorniae dilakukan pengamatan insitu pada tumbuhan akuatik dan terestrial di sekitar hamparan eceng gondok. Menurut Schaffner 2001, istilah ekspansi kisaran inang umumnya digunakan ketika terjadi penambahan satu jenis inang baru sebagai makanan di lapangan. Dengan demikian, metode yang cukup akurat dan mudah dilakukan untuk mengevaluasi ekspansi tanaman inang oleh suatu spesies serangga herbivor, dalam hal ini N. eichhorniae , di lapangan adalah dengan melakukan pengamatan insitu keberadaan kumbang tersebut pada spesies-spesies tumbuhan di sekitar inang utamanya, baik berupa gejala aktivitas makan maupun individu imagonya. Pengamatan keberadaan kumbang tersebut pada tumbuhan akuatik dan terestrial dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan analisis vegetasi. Metode yang digunakan adalah metode kuadrat. Untuk setiap lokasi, pengamatan dilakukan pada vegetasi akuatik dan terestrial, masing-masing 5 petak sampel berunkuran 1 m 2 , dengan jarak antar petak ± 10 m. Untuk tumbuhan terestrial, petak sampel diletakkan pada transek yang jaraknya 1 m dari pinggiran ecosistem perairan. Setiap individu tumbuhan diamati secara teliti apakah ditemukan N. eichhorniae atau tidak. Masing-masing jenis tumbuhan diambil sampelnya untuk diidentifikasi di laboratorium. Identifikasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Identifikasi tersebut mengacu pada kunci identifikasi yang ada, di antaranya yang disusun oleh Kostermans et al. 1987 dan Laumonier et al. 1987. 142 ƒ Pengambilan sampel serangga umum Pengambilan sampel serangga dilakukan dengan menggunakan jaring ayun serangga dan perangkap nampan kuning. Pengambilan sampel serangga dilakukan pada habitat eceng gondok pada lokasi tanpa N. eichhorniae TNE dan lokasi dengan N. eichhorniae DNE. Metode pengambilan sampel serangga sebagaimana diuraikan pada BAB III. Sortasi dan identifikasi serangga sampel yang dikoleksi dari lapangan dilakukan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Identifikasi serangga mengacu pada kunci identifikasi yang tersedia. Serangga-serangga yang sudah disortir dan diidentifikasi pada tingkat famili dan morfospesies hanya diberi kode dikoleksi dalam botol koleksi atau tabung mikro yang berisi larutan alkohol 70, masing-masing satu individu. Selanjutnya, setiap morfospesies serangga diidentifikasi fungsi ekologinya. Analisis data Signifikansi perbedaan ketahanan hidup imago Neochetina spp. pada masing-masing spesies tumbuhan yang diuji uji tanpa pilihan dianalisis menggunakan ANOVA satu arah dan uji jarak berganda Duncan DMRT pada selang kepercayaan 95. Analisis dilakukan dengan program Statistica for Windows 6.0. Untuk melihat implikasi keberadaan N. eichhorniae terhadap komunitas serangga pada eceng gondok dilakukan analisis korelasi antara kelimpahan individu agens hayati tersebut dengan kelimpahan individu masing-masing ordo serangga yang ditemukan pada habitat eceng gondok. Analisis korelasi Pearson dilakukan menggunakan program SPSS 13 for Windows Trihendradi 2005. Sementara itu, untuk melihat perbedaan komposisi spesies serangga yang ditemukan pada habitat eceng gondok, antara lokasi TNE dan lokasi DNE, dianalisis menggunakan Indeks Kemiripan Sorensen. Analisis ini dilakukan menggunakan program Biodiv 97 yang diintegrasikan dengan Microsoft Exel . 143 Hasil Potensi dampak non-target oleh Neochetina eichhorniae Hasil uji preferensi dengan metode tanpa pilihan menunjukkan bahwa imago N. eichhorniae pada umumnya dapat bertahan hidup pada setiap jenis tanaman yang dicobakan. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa kumbang tersebut dapat bertahan hidup antara 10 sampai 37 hari pada beberapa spesies tumbuhan yang yang bukan merupakan inangnya. Bahkan lama hidup kumbang tersebut pada L. adscendens dan M. Crenata tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kumbang yang dipelihara pada eceng gondok E. crassipes Gambar 6.1. Imago N. eichhorniae juga menunjukkan aktivitas makan pada semua spesies tumbuhan uji. Hal ini ditunjukkan oleh bekas ketaman yang cenderung terus meningkat dalam 12 hari pengamatan Gambar 6.2. Selain pada inang utamanya, E. crassipes, gejala kerusakan oleh imago N. eichorniae juga terjadi pada sebagian besar tumbuhan uji, kecuali Alternanthera sessilis . Gejala kerusakan yang cukup nyata terlihat pada Spirodela sp., M. crenata , L. adscendens, dan L. octovalvis Lampiran 7. Hal ini menunjukkan bahwa imago kumbang tersebut mau memakan beberapa spesies tumbuhan, yang tujuan utamanya untuk bertahan hidup. Dari hasil pengamatan pada perlakuan tanpa makanan terlihat bahwa imago N. eichhorniae hanya mampu hidup selama 2 hari dalam kondisi tidak ada makanan. 5 10 15 20 25 30 35 40 Eichornia crassipes Alternanhtera sessilis Ludwigia adscendens Ludwigia octovalvis Marsilea crenata Portulacca oleraceae Salvinia molesta Spirodela sp. Tanpa makanan S p esi es t u m b u h an u ji Lama hidup imago N. eichhorniae hari a a ab b c c c c d Gambar 6.1 Lama hidup imago Neochetina eichhorniae pada beberapa spesies tumbuhan uji 144 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Pengamatan hari ke- A k um ul a s i j um la h k e ta m a n pot E. crassipes L. adscendens L. octovalvis S. molesta Spirodela sp. M. crenata P. oleraceae Gambar 6.2 Perkembangan aktivitas makan imago Neochetina eichhorniae pada beberapa spesies tumbuhan uji Imago N . eichhorniae pada tumbuhan Spirodela mampu bertahan hidup sampai 26 hari, tetapi tidak ditemukan adanya telur pada tanaman tersebut. Selain itu, imago kumbang memakan semua bagian tumbuhan tersebut dan dapat mengakibatkan kerusakan hingga 100 dalam 12 hari sehingga harus dilakukan penambahan jumlah Spirodela sebagai makanan kumbang. Pada tumbuhan M. crenata , imago N. eichhorniae mampu bertahan hidup hingga 31 hari. Bagian tumbuhan yang dimakan adalah tangkai dan helaian daun. Kerusakan yang terjadi cukup parah karena kumbang memakan tangkai daun bagian bawah dekat permukaan tanah yang menyebabkan tangkai daun patah. Kerusakan pada tangkai daun ini mengakibatkan tanaman menjadi layu dan kemudian mati. Kematian tumbuhan ini akibat aktivitas makan imago N. eichhorniae dapat mencapai 100. Imago N . eichhorniae dapat bertahan hidup selama 37 hari pada tanaman L. Adscendens , sama dengan kemampuan kumbang tersebut untuk hidup pada inang utamanya, eceng gondok. Di sini imago kumbang memakan batang dan daun dengan serangan yang cukup parah sehingga semua individu tumbuhan uji mati. Pada M. crenata dan L. adscendens juga tidak ditemukan adanya telur yang diletakkan oleh imago N. eichhorniae. Sementara itu, pada L. octovalvis dan S. Molesta, selain melakukan aktivitas makan imago N. eichhorniae juga meletakkan beberapa butir telur. Namun demikian, tidak ditemukan adanya telur 145 yang menetas menjadi larva atau luka bekas gerekan larva pada kedua spesies tumbuhan tersebut. Hasil uji preferensi dengan metode pilihan menunjukkan bahwa imago N. eichhorniae yang telah menemukan eceng gondok tidak lagi berpindah ke tumbuhan uji lainnya Gambar 6.3. Hasil pengamatan pada 3 jam setelah perlakuan menunjukkan bahwa sebagian besar 97 imago N. eichorniae telah berada pada tanaman eceng gondok, sedangkan sebagian lainnya masih berada di luar pot atau pada lantai kurungan. 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 7 48 Pengamatan pada jam ke - P r op or si N e och e ti n a e ic h o rn iae p e r sp e si e s t u m b u h a n Kurungan S. molesta P. oleracea E. crassipes L. octovalvis L. adscendens M. crenata Gambar 6.3 Perkembangan preferensi Neochetina eichhorniae pada beberapa spesies tumbuhan uji Imago N. eichorniae yang sudah berada pada tanaman eceng gondok langsung melakukan aktivitas makan yang ditunjukkan dengan adanya luka atau bekas ketaman pada tanaman tersebut. Sementara itu, kumbang yang berada di luar pot atau pada lantai kurungan aktif bergerak. Pada pengamatan 4 jam setelah pelepasan, semua imago N. eichorniae telah berada pada tanaman eceng gondok dan melakukan aktivitas makan di daun atau masuk kebagian petiol. Pada pengamatan berikutnya hingga 7 jam setelah pelepasan, seluruh individu kumbang tersebut tetap berada pada tanaman eceng gondok, demikian pula ketika setiap individu kumbang dikeluarkan pada 48 jam setelah pelepasan. Pada keenam spesies tumbuhan uji selain eceng gondok, tidak ditemukan adanya 146 gejala aktivitas makan kumbang tersebut. Dengan kata lain, pada kondisi N. eichhorniae diberikan kebebasan untuk memilih, imago kumbang ini hanya mau hidup dan makan tanaman eceng gondok. Pengamatan terhadap aktivitas peletakan telur juga menunjukkan bahwa N . eichhorniae hanya memilih eceng gondok untuk tempat meletakkan telurnya, sedangkan pada spesies tumbuhan uji lainnya sama sekali tidak ditemukan telur kumbang tersebut Tabel 6.2. Semua telur yang diletakkkan pada eceng gondok menetas 13-16 hari setelah perlakuan. Tabel 6.2 Jumlah telur Neochetina eichorniae yang diletakkan pada setiap spesies tumbuhan uji Jumlah telurindividu tumbuhan No. Spesies tumbuhan uji 1 2 3 4 1. Eichornia crassipes 10 16 9 11 2. Spirodela sp. 0 0 0 0 3. Marsilea crenata 0 0 0 0 4. Ludwigia adscendens 0 0 0 0 5. Ludwigia octovalvis 0 0 0 0 6. Portulaca oleracea 0 0 0 0 7. Salvinia molesta 0 0 0 0 Keberadaan Neochetina eichhorniae pada tumbuhan akuatik dan terestrial di sekitar ekosistem perairan Studi keberadaan N. eichhorniae pada tumbuhan akuatik dan terestrial di sekitar ekosistem perairan dimaksudkan untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya ekspansi tanaman inang di lapangan. Pengamatan hanya dilakukan pada vegetasi akuatik dan terestrial, dimana ditemukan kumbang tersebut, yaitu di Danau Cibinong, Danau Lido, Suaka Margasatwa Muara Angke, dan sungai Citarum Hulu, Purwakarta. Dari hasil pengamatan insitu yang dilakukan pada 23 spesies tumbuhan akuatik yang tergolong ke dalam 11 famili, yang ditemukan di sekitar hamparan eceng gondok, tidak ditemukan individu N. eichhorniae maupun gejala aktivitas makan kumbang tersebut Tabel lampiran 6.1. Demikian pula hasil pengamatan 147 pada 85 spesies tumbuhan terestrial yang tergolong ke dalam 38 famili, yang tumbuh di sekitar ekosistem perairan dimana ditemukan eceng gondok dan N. eichhorniae , juga tidak ditemukan individu dan gejala aktivitas makan kumbang tersebut Tabel lampiran 6.2. Hubungan antara Neochetina eichhorniae dengan komunitas serangga pada habitat eceng gondok Untuk mengevaluasi implikasi keberadaan N. eichhorniae terhadap komunitas serangga dilakukan analisis korelasi antara kepadatan populasi kumbang tersebut dan kelimpahan individu setiap ordo serangga yang ditemukan pada habitat eceng gondok. Selain itu, implikasi keberadaan agens hayati tersebut terhadap komunitas serangga juga dievaluasi dengan melakukan perbandingan antara komunitas serangga pada eceng gondok yang ditemukan pada lokasi TNE dan lokasi DNE. Berdasarkan hasil pengamatan distribusi N. eichhorniae diketahui bahwa kumbang ini tidak dijumpai di lokasi Karawang. Oleh karena itu, komunitas serangga di lokasi ini dijadikan sebagai pembanding dengan komunitas serangga di lokasi lainnya. Dari hasil analisis korelasi Pearson terlihat bahwa kelimpahan individu N. eichhorniae tidak memiliki hubungan yang nyata dengan kelimpahan individu sebagian besar ordo serangga yang dijumpai pada habitat eceng gondok. Hubungan positif yang nyata hanya dijumpai antara kelimpahan individu agens hayati tersebut dengan kelimpahan individu ordo Dermaptera, Diptera, Orthoptera dan Thysanoptera Tabel 6.3. Berdasarkan hasil perbandingan antara komunitas serangga antara lokasi TNE dan lokasi DNE terlihat bahwa keberadaan N. eichhorniae pada habitat eceng gondok tidak secara nyata mempengaruhi jumlah ordo dan spesies serangga yang ditemukan pada habitat tersebut. Berdasarkan kekayaan spesies serangga, baik lokasi TNE maupun lokasi DNE didominasi oleh ordo Diptera 46-77, Hymenoptera 43-52 dan Coleoptera 12-15 Tabel 6.4. 148 Tabel 6.3 Korelasi Pearson antara kepadatan populasi N. eichhorniae dan kelimpahan individu setiap ordo serangga yang ditemukan pada habitat eceng gondok Ordo r p n Blattodea 0,175 0,402 25 Coleoptera 0,306 0,137 25 Collembola 0,234 0,261 25 Dermaptera 0,482 0,015 25 Diptera 0,562 0,003 25 Hemiptera -0,151 0,471 25 Hymenoptera 0,037 0,862 25 Lepidoptera 0,233 0,262 25 Mantodea -0,287 0,164 25 Mecoptera 0,292 0,156 25 Odonata 0,095 0,651 25 Orthoptera 0,424 0,035 25 Psocoptera -0,016 0,940 25 Thysanoptera 0,401 0,047 25 Trichoptera 0,260 0,209 25 Tabel 6.4 Komposisi komunitas serangga di habitat eceng gondok berdasarkan kekayaan spesies pada lokasi ditemukan N. eichhorniae DNE dan tidak ditemukan N. eichhorniae TNE Lokasi TNE DNE Ordo Karawang Cibinong Lido M. Angke Purwakarta Blattodea 0 0 1 1 Coleoptera 15 12 12 15 12 Collembola 7 3 5 5 5 Dermaptera 0 0 0 1 Diptera 49 66 68 77 46 Hemiptera 4 3 6 2 4 Homoptera 5 8 7 12 9 Hymenoptera 45 50 46 52 43 Lepidoptera 3 0 1 2 2 Mantodea 1 0 1 0 Mecoptera 0 0 0 1 Odonata 4 5 4 2 5 Orthoptera 8 4 3 7 7 Psocoptera 0 0 0 2 Thysanoptera 2 4 5 5 3 Trichoptera 2 1 2 2 Jumlah ordo 12 10 13 15 10 Jumlah spesies 157 166 174 201 146 149 Hasil analisis kemiripan Sorensen menunjukkan bahwa komposisi spesies serangga umum pada habitat eceng gondok antara lokasi TNE dan lokasi DNE cukup berbeda. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kemiripan komposisi spesies serangga pada habitat eceng gondok antar kedua lokasi tersebut, yang kurang dari 50 indeks kemiripan 0,37-0,48. Namun demikian, tingkat kemiripan komposisi spesies serangga pada habiat eceng gondok antar lokasi yang sama-sama ditemukan agens hayati tersebut juga rendah indeks kemiripan 0,38-0,45 Tabel 6.5. Tabel 6.5 Matriks kemiripan Indeks Sorensen komunitas serangga secara umum pada habitat eceng gondok antara lokasi dengan N. eichhorniae DNE dan lokasi tanpa N. eichhorniae TNE Lokasi Karawang DNE Cibinong TNE Lido TNE M. Angke TNE Purwakarta TNE Karawang DNE 1,00 0,47 0,37 0,48 0,43 Cibinong TNE 1,00 0,42 0,44 0,45 Lido TNE 1,00 0,43 0,38 M. Angke TNE 1,00 0,38 Purwakarta TNE 1,00 Apabila kita lihat komunitas serangga herbivor, yang memiliki fungsi ekologi sama dengan N. eichhorniae, ada indikasi bahwa keberadaan agens hayati ini tidak berpengaruh terhadap kelompok serangga herbivor tersebut. Komposisi spesies serangga herbivor pada habitat eceng gondok dengan dan tanpa keberadaan N. eichhorniae justru memiliki tingkat kemiripan yang tinggi, yakni di atas 50 indeks kemiripan 0,57-0,68. Tingkat kemiripan yang cukup tinggi juga terlihat pada komposisi spesies serangga herbivor yang ditemukan pada habiat eceng gondok antar lokasi yang sama-sama ditemukan agens hayati tersebut indeks kemiripan 0,60-0,70 Tabel 6.6. Pola yang sama juga ditemukan pada komunitas serangga dari taksa yang sama dengan N. eichhorniae, yaitu ordo Coleoptera. Komposisi spesies serangga dari ordo Coleoptera pada habitat eceng gondok dengan dan tanpa keberadaan N. eichhorniae juga memiliki tingkat kemiripan yang lebih kurang sama dengan serangga umum. Kemiripan komposisi spesies Coleoptera pada habitat eceng 150 gondok juga relatif rendah indeks kemiripan 0,30-0,53. Tingkat kemiripan yang rendah juga terlihat pada komposisi spesies serangga herbivor yang ditemukan pada habiat eceng gondok antar lokasi yang sama-sama ditemukan agens hayati tersebut indeks kemiripan 0,22-0,42 Tabel 6.7. Tabel 6.6 Matriks kemiripan Indeks Sorensen komunitas serangga herbivor pada habitat eceng gondok antara lokasi dengan N. eichhorniae DNE dan lokasi tanpa N. eichhorniae TNE Lokasi Karawang DNE Cibinong TNE Lido TNE M. Angke TNE Purwakarta TNE Karawang DNE 1,00 0,65 0,57 0,61 0,68 Cibinong TNE 1,00 0,67 0,70 0,66 Lido TNE 1,00 0,70 0,60 M. Angke TNE 1,00 0,65 Purwakarta TNE 1,00 Tabel 6.7 Matriks kemiripan Indeks Sorensen komunitas serangga Coleoptera pada habitat eceng gondok antara lokasi dengan N. eichhorniae DNE dan lokasi tanpa N. eichhorniae TNE Lokasi Karawang DNE Cibinong TNE Lido TNE M. Angke TNE Purwakarta TNE Karawang DNE 1,00 0,30 0,30 0,53 0,37 Cibinong TNE 1,00 0,33 0,22 0,42 Lido TNE 1,00 0,37 0,25 M. Angke TNE 1,00 0,30 Purwakarta TNE 1,00 Pembahasan Hasil pengamatan pada uji preferensi dengan metode tanpa pilihan menunjukkan bahwa imago N. eichhorniae mengindikasikan bahwa ada kemungkinan imago kumbang ini dapat hidup pada beberapa inang alternatif, meskipun dalam kondisi terpaksa dan dalam kurun waktu tertentu. Indikasi ini didasarkan pada data hasil pengujian yang menunjukkan bahwa beberapa spesies tumbuhan, seperti L. adscendens, Marsilea crenata dan Spirodela sp., 151 dapat menggantikan eceng gondok dalam menunjang kebutuhan makanan imago N. eichhorniae . Hal ini ditunjukkan oleh adanya aktivitas makan imago kumbang tersebut sehingga mampu bertahan hidup lebih dari 25 hari. Kemampuan imago N. eichhorniae untuk bertahan hidup pada beberapa tumbuhan inang alternatif atau inang sementara sebenarnya dapat bersifat positif bagi kemapanan agens biologi tersebut di lapangan. Keberadaan inang alternatif sangat diperlukan untuk mempertahankan populasinya ketika eceng gondok sebagai inang utama tidak ada, misalnya karena aktivitas pembersihan eceng gondok dari ekosistem perairan. Sebaliknya, kondisi tersebut juga dapat bersifat negatif apabila inang alternatifnya adalah spesies langka atau tanaman budidaya, lebih-lebih jika terjadi pergeseran tanaman inang yang disebabkan oleh ketiadaan eceng gondok secara permanen dari suatu ekosistem perairan. Menurut Kasno 2003, pertanyaan yang selalu muncul ketika akan memanfaatkan serangga herbivor sebagai agens pengendalian gulma antara lain: Apakah kelak, apabila gulma yang menjadi makanan hampir habis atau bahkan telah habis, musuh alami ini tidak akan makan dan merusak tanaman budidaya? Hasil uji preferensi dengan metode pilihan menunjukkan bahwa imago N. eichhorniae yang telah menemukan eceng gondok tidak lagi berpindah ke tumbuhan uji lainnya Gambar 5.3. Pengamatan pada 3 jam setelah perlakuan menunjukkan bahwa sebagian besar 97 imago N. eichorniae telah berada pada tanaman eceng gondok, sedangkan sebagian lainnya masih berada di luar pot atau pada lantai kurungan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa waktu yang dibutuhkan kumbang tersebut untuk menemukan inangnya relatif singkat. Hal ini mengindikasikan bahwa kumbang tersebut memiliki preferensi dan tingkat kekhususan inang yang tinggi terhadap eceng gondok. Imago N. eichorniae yang sudah berada pada tanaman eceng gondok langsung melakukan aktivitas makan yang ditunjukkan dengan adanya luka atau bekas ketaman pada tanaman tersebut. Sementara itu, kumbang yang berada di luar pot atau pada lantai kurungan aktif bergerak. Pada pengamatan 4 jam setelah pelepasan, semua imago N. eichorniae telah berada pada tanaman eceng gondok dan melakukan aktivitas makan di daun atau masuk kebagian petiol. 152 Pada pengamatan berikutnya hingga 7 jam setelah pelepasan, seluruh individu kumbang tersebut tetap berada pada tanaman eceng gondok, demikian pula ketika setiap individu kumbang dikeluarkan pada 48 jam setelah pelepasan. Pada keenam spesies tumbuhan uji selain eceng gondok, tidak ditemukan adanya gejala aktivitas makan kumbang tersebut. Dengan kata lain, pada kondisi N. eichhorniae diberikan kebebasan untuk memilih, imago kumbang ini hanya mau hidup dan makan tanaman eceng gondok. Pengamatan terhadap aktivitas peletakan telur juga menunjukkan bahwa N . eichhorniae hanya memilih eceng gondok untuk tempat meletakkan telurnya. Pada umumnya telur diletakkan pada jaringan daun atau tangkai daun dengan cara menyelipkan ke dalam luka gigitan kumbang betina di bawah epidermis. Perilaku peletakan telur kumbang ini sama dengan hasil penelitian terdahulu Center 1994; Julien et al. 1999. Semua telur yang diletakkan pada eceng gondok menetas 13-16 hari setelah perlakuan. Julien et al. 1999 juga melaporkan bahwa pada percobaan tanpa pilihan, betina N. eichhorniae hanya dapat meletakkan telur pada 7 spesies tumbuhan uji yang tergolong famili Pontederiaceae dan Commelinaceae. Sebagian telur yang diletakkan juga tidak menetas, atau kalaupun telur dapat menetas, larvanya segera mati. Sebagian larva dapat masuk ke dalam batang tumbuhan uji, tetapi larva tersebut tidak dapat makan dan akhirnya mati. Larva hanya dapat berkembang pada salah satu spesies tumbuhan dari famili Pontederiaceae, yaitu Pontederia cordata L., tetapi tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Hasil pengamatan pada uji preferensi dengan metode tanpa pilihan menunjukkan bahwa imago kumbang tersebut tidak meletakkan telur pada sebagian besar tumbuhan uji, meskipun kumbang mampu bertahan hidup dan makan pada tumbuhan tersebut. Kendatipun ditemukan beberapa butir telur diletakkan imago N. eichhorniae pada beberapa tumbuhan uji L. octovalvis dan S. Molesta , namun tidak ditemukan adanya telur yang menetas menjadi larva atau luka bekas gerekan larva pada kedua spesies tumbuhan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa sangat kecil kemungkinan N. eichhorniae dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada tumbuhan selain eceng gondok. Schaffner 153 2001 menyatakan bahwa secara alami serangga herbivor memilih inang yang sesuai untuk menyelesaikan siklus hidupnya pada tumbuhan tersebut. Jadi, tanaman inang bukan hanya menyediakan makanan, tetapi juga harus dapat menunjang pertumbuhan serangga herbivor untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Keberhasilan N. eichhorniae untuk menyelesaikan siklus hidupnya bukan hanya ditentukan oleh kemampuan larva untuk berkembang, tetapi juga ditentukan oleh proses pembentukan pupa yang membutuhkan tempat yang khusus. De Loach 1972 menyatakan bahwa N. eichhorniae hanya dapat hidup pada eceng gondok karena sistem perakarannya dapat menunjang pembentukan pupa kumbang tersebut. Sementara itu, N. eichhorniae tidak dapat membentuk pupa pada P. cordata karena sistem perakaran tumbuhan ini berada di dalam tanah Perkins 1972. Tjitrosoedirdjo et al. 1995 juga melaporkan bahwa kumbang tersebut tidak dapat meneruskan generasinya pada tanaman ganyong Canna edulis, meskipun pada uji preferensi dengan pilihan tanaman ini juga dimakan oleh imago N. eichhorniae. Oleh karena itu, status tanaman ganyong bagi kumbang tersebut hanya sebagai media transit dari eceng gondok yang satu ke eceng gondok yang lain. Studi keberadaan N. eichhorniae pada tumbuhan akuatik dan terestrial di sekitar ekosistem perairan juga menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya ekspansi tanaman inang di lapangan sangat kecil. Dari hasil pengamatan insitu yang dilakukan, baik pada tumbuhan akuatik di sekitar hamparan eceng gondok maupun pada tumbuhan tersetrial di sekitar ekosistem perairan, tidak ditemukan individu N. eichhorniae maupun gejala aktivitas makan kumbang tersebut. Hasil yang sama juga dilaporkan Kartosuwondo et al. 2006 bahwa di lapangan tidak terjadi ekspansi tanaman inang oleh N. eichhorniae. Pengamatan insitu pada tumbuhan terestrial di sekitar danau Lido, yang meliputi 38 spesies dari 21 famili, juga tidak ditemukan individu imago kumbang tersebut maupun gejala aktivitas makannya. Meskipun dari hasil penelitian terdahulu dilaporkan bahwa N. eichhorniae dapat hidup dan makan pada beberapa spesies tumbuhan selain eceng gondok, 154 seperti canna Canna edulis, jahe Zingiber officinale, galangale Kaemperia galangale dan kunyit Curcuma domestica Widayanti et al. 1999, tidak berarti bahwa spesies tumbuhan tersebut dapat berperan sebagai tanaman inang. Aktivitas makan imago N. eichhorniae semata-mata terjadi pada kondisi terpaksa karena hal itu hanya terlihat pada perlakuan uji lapar. Sementara itu, penerimaan suatu spesises tumbuhan oleh serangga herbivor sebagai inang bukan hanya ditentukan oleh kemampuan serangga tersebut untuk memakannya, tetapi juga tergantung kepada kesesuaian tumbuhan tersebut untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan serangga. Schaffner 2001 menyatakan bahwa spesies tumbuhan yang dapat menjadi inang bagi serangga herbivor adalah tumbuhan yang sesuai untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Ekspansi kisaran inang serangga herbivor yang diintroduksi sebagai agens pengendalian biologi gulma terutama terjadi pada serangga herbivor yang bersifat oligofagus. Schaffner 2001 menyatakan bahwa serangga herbivor oligofagus yang diintroduksi dapat menyerang spesies tumbuhan lokal nontarget dari genus yang sama atau berkerabat dekat dengan spesies gulma sasaran. Sebagai contoh, di Amerika Utara, introduksi Rhynocyllus conicus Coleoptera: Curculionidae untuk mengendalikan widuri eksotik, ternyata juga menyerang spesies lokal Cirsium spp., demikian pula introduksi Tyria jacobaeae Lepidoptera: Arctiidae sebagai agens pengendalian biologi gulma eksotik Senecio jacobaea , dilaporkan juga menyerang spesies lokal, Senecio tringularis. Sebelumnya, Simberloff dan Stiling 1996 melaporkan bahwa introduksi ulat ngengat Cactoblastis cactorum ke Florida Keys untuk mengendalikan Opuntia spp. telah mendorong O. Spinosissima dan O. triacantha menjadi langka dan terancam punah. Menurut Schaffner 2001, ekspansi kisaran inang serangga herbivor yang diintroduksi terutama terjadi karena prosedur evaluasi pelepasan agens pengendalian biologi pada masa lalu tidak banyak mencurahkan perhatian kepada potensi dampak nontarget. Untuk kasus N. eichhorniae , hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sejauh ini tidak terjadi ekspansi kisaran inang oleh agens pengendalian biologi tersebut di lapangan. Disamping itu, sejauh ini juga belum ada laporan tentang 155 terjadinya pergeseran inang kumbang tersebut. Menurut Tjitrosemito komunikasi pribadi, kekhawatiran akan terjadinya pergeseran inang N. eichhorniae pernah muncul ketika pertama kali kumbang ini dilepaskan di danau Cibinong. Beberapa hari setelah pelepasan, populasi kumbang yang cukup tinggi ditemukan pada vegetasi akuatik dan terestrial di sekitar danau. Hal ini sempat menimbulkan kepanikan pada pihak BIOTROP selaku pelaksana program introduksi agens biologi tersebut, sehingga diputuskan untuk melakukan eradikasi. Namun demikian, peristiwa tersebut ternyata tidak perlu dikhawatirkan karena keadaan tersebut hanya bersifat sementara. Kemampuan imago N. eichhorniae untuk memakan dan bertahan hidup dalam kurun waktu tertentu pada beberapa spesies tumbuhan selain eceng gondok tidak serta-merta mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran atau ekspansi kisaran inang. Ketidakmampuan kumbang ini untuk menyelesaikan siklus hidupnya pada spesies tumbuhan tertentu menunjukkan bahwa spesies tumbuhan tersebut hanya berperan sebagai inang alternatif sementara Widayanti et al. 1999. Keberadaan inang alternatif bahkan sangat dibutuhkan untuk mendukung distribusi agens pengendalian biologi ini di lapangan. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kelimpahan individu sebagian besar kelompok serangga yang dijumpai pada habitat eceng gondok tidak berkaitan dengan kelimpahan individu N. eichhorniae. Hubungan positif yang nyata hanya dijumpai antara kelimpahan individu agens hayati tersebut dengan kelimpahan individu ordo Dermaptera, Diptera, Orthoptera dan Thysanptera. Namun demikian, korelasi yang nyata tersebut tidak semuanya dapat dapat dijelaskan karena tidak semua ordo-ordo serangga tersebut berasosiasi langsung dengan N. eichhorniae. Ordo Hemiptera, Lepidoptera, Orthoptera dan Thysanoptera diduga memiliki asosiasi dengan N. eichhorniae karena sebagian besar spesies serangga ini berperan sebagai herbivor pada eceng gondok. Sementara itu, ordo Dermaptera, Mantodea dan Odonata diduga dapat berperan sebagai predator agens hayati tersebut. Dari keenam ordo serangga tersebut, hanya Orthoptera dan Dermaptera yang menunjukkan korelasi yang nyata dengan kelimpahan 156 individu N. eichhorniae, artinya peningkatan populasi agens hayati tersebut dapat meningkatkan kelimpahan individu Orthoptera dan Dermaptera. Hasil analisis kemiripan Sorensen menunjukkan bahwa komposisi spesies serangga secara keseluruhan yang ditemukan pada habitat eceng gondok dengan dan tanpa keberadaan N. eichhorniae cukup berbeda indeks kemiripan 0,5. Namun demikian, tingkat kemiripan komposisi spesies serangga umum pada habitat eceng gondok antar lokasi yang sama-sama ditemukan agens hayati tersebut juga rendah. Pola yang sama juga ditemukan pada komunitas serangga dari taksa yang sama, yaitu Coleoptera. Sementara itu, komposisi spesies serangga herbivor pada habitat eceng gondok dengan dan tanpa keberadaan agens hayati tersebut justru memiliki tingkat kemiripan yang tinggi, yakni di atas 50. Tingkat kemiripan komposisi spesies serangga herbivor pada habiat eceng gondok antar lokasi yang sama-sama ditemukan agens hayati tersebut juga relatif sama, yaitu di atas 50. Bertitik tolak pada uraian di atas terlihat adanya indikasi bahwa keberadaan agens hayati N. eichhorniae sama sekali tidak memiliki implikasi terhadap komunitas serangga yang hidup pada habitat eceng gondok. Kekhawatiran timbulnya indirect effect terhadap spesies nontarget, yaitu komunitas serangga, akibat introduksi agens hayati tersebut tidak terbukti. Perbedaan komposisi spesies serangga yang berasosiasi dengan eceng gondok lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan lokasi pengambilan sampel daripada faktor keberadaan agens hayati tersebut. Kanekaragaman komunitas serangga pada suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh struktur spasial, keanekaragaman habitat dan komposisi habitat Kruess 2003, konsentrasi atau dispersi spasial tumbuhan inang Altieri Nicholls 2004, sebab setiap spesies serangga membutuhkan mikrohabitat yang unik atau spesifik Schoonhoven et al. 1998. Selain itu, faktor abiotik atau fisik juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kelestarian suatu spesies serangga Confrancesco 2000. 157 Kesimpulan N. eichhorniae memiliki preferensi dan tingkat kekhususan inang yang tinggi terhadap eceng gondok. Meskipun agens hayati ini dapat hidup dan meletakkan telur pada beberapa spesies tumbuhan, namun kumbang ini tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Hasil ini mengindikasikan bahwa pergeseran tanaman inang agens hayati tersebut potensinya kecil. Hasil pengamatan insitu yang dilakukan pada tumbuhan akuatik dan terestrial di sekitar ekosistem perairan tidak menemukan N. eichhorniae. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejauh ini tidak terjadi ekspansi kisaran inang oleh agens hayati tersebut di lapangan. Ada indikasi bahwa keberadaan agens hayati N. eichhorniae tidak memiliki implikasi terhadap komunitas serangga yang hidup pada habitat eceng gondok. Perbedaan komposisi spesies serangga lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan lokasi pengambilan sampel daripada faktor keberadaan agens hayati tersebut. Daftar Pustaka Altieri MA, Nicholls CI. 2004. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystems . Secound edition. New York: Food Products Press. Center TD. 1994. Biological control of weeds: waterhyacinth and waterlettuce. Di dalam: Rosen D, Bennet FD, Capinera JL, editor. Pest Management in The Subtropics: Biological Control—A Florida Perspective. Andover: Intercept Ltd. Cory JS, Myers JH. 2000. Direct and indirect effects of biological control. TREE 15:137-139. De Loach CJ. 1972. Host specifity of weevil Neochetina bruchi in Argentina. A biological control agent of water hyacinth Eichhornia crassipes. Annals of the Entomological Society of America 69: 635-642. Julien MH, Griffiths MW, Wright AD. 1999. Biological control of water hyacinth. The weevils Neochetina bruchi and Neochetina eichhorniae: biologies, host ranges, releasing and monitoring techniques for biological control of Eichhornia crassipes. Canberra: ACIAR. 158 Kartosuwondo U, Buchori D, Tjitrosemito S. 2006. Spesies eksotik: Implikasi spesies eksotik terhadap keanekaragaman hayati dan struktur komunitas serangga pada berbagai ekosistem. Laporan Penelitian Hibah Penelitian Tim Pascasarjana HPTP Angkatan II Tahun III. Bogor: LP2M IPB. Kasno. 2003. Pengendalian gulma secara biologis. J Tropical Weeds11: 13-17. Kostermans AJGH, Wirdjahardja S, Dekker RJ. 1987. The weed: description, ecologi and control. Di dalam: Soerjani M, Kostermans AJGH, Tjitrosoepomo G, editor. Weed of rise in Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hal 24-566. Kruess A. 2003. Effect of lanscape structure and habitat tipe on a plant- herbivore-parasitoid community. Ecography 26: 283-290. Laumonier EKW, Megia R, Veenstra H. 1987. The seedling. Di dalam: Soerjani M, Kostermans AJGH, Tjitrosoepomo G, editor. Weed of rise in Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hal 567-686. Linch LD, Ives AR, Waage JK, Hochberg ME, Thomas MB. 2002. The risks of biocontrol: Transient impacts and minimum nontarget densities. Ecological Aplication 126: 1872-1882. Mangoendihardjo S. 1978. Penggunaan kumbang moncong Neochetina eichhorniae di beberapa negara dan kemungkinan pemakaiannya di Indonesia [laporan penelitian]. Di dalam: Laporan diskusi kemungkinan penggunaan kumbang moncong Neochetina eichhorniae bagi pengendalian hayati Eceng Gondok Eichhornia crassipes di Indonesia. SEAMEO BIOTROP. Bogor. hal 29-51. Pearson DE, Callaway RM. 2003. Indirect effects of host-specific biological control agents. Trend in Ecol Evol 189: 456-461. Perkins PD. 1972. Host specificity and biology studies of Neochetina eichorniae Warner, an insect for the biological control of waterhyacinth. Florida: USDA-ARS. Schaffner URS. 2001. Host range testing of insects for biological weed control: How can it be better interpreted? Bioscience 51:951-959. Schoonhoven LM, Jermy T, van Loon JJA. 1996. Insect-plant Biology: From Physiology to Evolution . London: Chapman Hall. Simberloff D, Stiling P. 1996. How risky of biological control? Ecol 777: 1965-1974. 159 Subagyo T, Kasno, Mangoendihardjo S. 1977. Masalah dan pengendalian tumbuhan pengganggu air Rawa Pening. Laporan Akhir 1976-1977. Bogor: SEAMEO BIOTROP. Tjitrosoedirdjo SS, Kasno, Sunjaya, Ariyanti NS. 1995. Kemungkinan penggunaan Neochetina bruchi bagi pengendalian hayati eceng gondok di Indonesia [laporan penelitian]. Bogor: SEAMEO BIOTROP. Tjitrosoedirdjo SS, Kasno, Tjitrosemito S. 2003. The biological control of water hyacinth in Indonesia. J Tropical Weeds11: 18-23. Trihendradi C. 2005. Step by Step SPSS 13, Analisis Data Statistik. Yogyakarta: Andi. Widayanti, Kasno S, Tjitrosoedirdjo SS, and Tjitrosemito S. 1998. Efforts in using water hyacinth weevils to control water hyacinth in Indonesia. Di dalam: Proceedings of The Workshop on Integrated Weed Management in Managed and Natural Ecosystem . Bogor, 23-25 June 1998. BIOTROP Special Publication 61.

BAB VII PEMBAHASAN UMUM

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya issu hangat yang banyak dibicarakan dalam beberapa tahun belakangan ini, yaitu berkaitan dengan spesies eksotik invasif. Perhatian banyak dicurahkan pada implikasi introduksi spesies eksotik invasif, terutama spesies tumbuhan invasif dan agens pengendalian hayatinya berupa serangga herbivor. Keberadaan spesies eksotik invasif cenderung merugikan karena merupakan ancaman serius terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati Wittenberg Cock 2003; Primack et al. 1998. Hal ini didasarkan pada kemungkinan terjadinya kompetisi interspesifik. Jika spesies eksotik introduksi tersebut lebih dominan daripada spesies lokal, besar kemungkinan akan terjadi dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati lokal, bahkan tidak mustahil akan terjadi kepunahan spesies lokal. Olden et al . 2004 menyatakan bahwa spesies eksotik invasif pada habitat yang baru dapat menyebabkan terjadinya homogenisasi biotik dan pergantian spesies lokal dengan spesies introduksi. Salah satu spesies tumbuhan yang dikenal sangat invasif dan telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, adalah eceng gondok, Eichhornia crassipes Mart. Solms. Pontederiaceae Gopal Sharma 1981. Untuk mengatasi invasi eceng gondok di Indonesia, pengendalian hayati dengan musuh alami gulma tersebut yang berupa serangga herbivor telah menjadi pilihan. Dua spesies agens hayati Neochetina spp. Coleoptera: Curculionidae telah diintroduksi, yaitu N. eichhorniae pada tahun 1975 Subagyo et al. 1977 dan N. bruchi pada tahun 1975 Widayanti et al. 1998. Keberadaan spesies tumbuhan invasif eceng gondok bukan hanya memiliki dampak langsung direct effect berupa homogenisasi vegetasi akuatik, tetapi diprediksi juga memiliki dampak tidak langsung indirect effect terhadap komunitas serangga yang berasosiasi dengan komunitas tumbuhan tersebut. Selain itu, introduksi Neochetina spp. sebagai agens hayati eceng gondok perlu mendapat perhatian yang serius sebab dikhawatirkan dapat menimbulkan