PENYEBARAN AGENS HAYATI NEOCHETINA SPP.

BAB V PENYEBARAN AGENS HAYATI NEOCHETINA SPP.

COLEOPTERA: CURCULIONIDAE DAN DAMPAKNYA TERHADAP ECENG GONDOK The Distribution of Biocontrol Agent Neochetina spp. Coleoptera: Curculionidae and Its Impact on Waterhyacinth Abstrak Tingkat kemapanan Neochetina spp. sebagai agens hayati eceng gondok berhubungan dengan kemampuan kumbang tersebut untuk menyebar dan meningkatkan populasinya. Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari penyebaran dan kelimpahan individu Neochetina spp. pada beberapa daerah di Jawa Barat dan DKI Jakarta, serta dampaknya terhadap eceng gondok. Penelitian dilakukan pada beberapa ekosistem perairan yang terivestasi eceng gondok, meliputi danau Cibinong, danau Lido, saluran irigasi di Karawang, Suaka Margasatwa Muara Angke, dan sungai Citarum Hulu di Purwakarta, berlangsung antara April hingga Agustus 2004. Pengamatan distribusi Neochetina spp. dilakukan dengan pencatatan koordinat dan ketinggian lokasi ditemukannya kumbang tersebut, sedangkan kelimpahan individu diamati dengan melakukan koleksi langsung dengan tangan. Implikasi keberadaan agens hayati tersebut dievaluasi dengan intensitas kerusakan daun dan parameter pertumbuhan eceng gondok. Intensitas kerusakan daun diukur berdasarkan jumlah dan luas bekas ketaman. Dari hasil penelitian diketahui bahwa N. eichhorniae telah menyebar secara luas pada lokasi penelitian, kecuali Karawang, sedangkan N. bruchi tidak ditemukan dalam penelitian ini. Ada indikasi bahwa penyebaran N. eichhorniae secara pasif lebih efektif dibandingkan secara aktif sehingga habitat yang terisolasi tidak dapat dikolonisasi oleh kumbang ini. Meskipun N. eichhorniae secara umum telah mapan di Jawa Barat dan DKI Jakarta, namun secara relatif kelimpahannya rendah. Kelimpahan individu N. eichhorniae sejauh ini tidak dapat menekan populasi eceng gondok. Kata kunci: Neochetina spp., distribusi, kelimpahan individu. Abstract The establishment of Neochetina spp. as a biocontrol agent of waterhyacinth corelate to the weevil ability in distribution and growing population. The objective of this research is to study the distribution and individual abundance of Neochetina spp. at several areas in West Java and DKI Jakarta, and its impact on waterhyacith. The field research was done in several freshwater ecosystem infested by waterhyacinth, including Cibinong and Lido lakes, irigation canal in Karawang, Muara Angke Sanctuary in North Jakarta, 109 and Citarum Hulu river in Purwakarta, conducted during April to August 2004. Coordinate and elevation of the research sites where N. eichhorniae found was reported to make a map of the weevil distribution, while its individual abundance was observed by direct hand-colection technique. The implication of N. eichhorniae on waterhyacinth was evaluated by leaf damage intensity and growth parameter of the plant. Damage intensity of leaf was kuantified based on feeding scars of the weevil. The results of the research showed that N. eichhorniae has widely distributed in most sampling sites, except in Karawang, whereas N. bruchi was not found in any sampling sites. Our observation also indicated that N. eichhorniae distributed passively so that the weevil couldn’t colonize the isolated habitat or location. N. eichhorniae has generally established in West Java and DKI Jakarta, however, its abundance is relatively low. The individual abundance of the weevil was not result in decreasing of waterhyacith population. Key words: Neochetina spp., distribution, individual abundance. Pendahuluan Pemanfaatan kumbang moncong, Neochetina eichhorniae Warner dan N. bruchi Hustache Coleoptera: Curculionidae sebagai agens pengendalian eceng gondok telah banyak dilakukan Grodowitz 1998; Kasno et al. 1999, 2001; Ochiel et al. 2001; Fayad et al. 2001. Di Indonesia, pengendalian hayati eceng gondok menggunakan kumbang moncong tersebut telah dikembangkan sejak tiga dekade yang lalu Kasno et al. 2001. Upaya ini dimulai dengan diintroduksinya kumbang N. eichhorniae dari Universitas Florida, Gainesville, Amerika Serikat pada tahun 1975 dan pertama kali dilepaskan pada tahun 1979 di Danau Cibinong Jawa Barat dan Danau Rawa Pening Jawa Tengah Widayanti et al. 1998. Selanjutnya, pada tahun 1994 kembali diintroduksi spesies N. bruchi dari Australia dan mulai dilepaskan pada tahun 1996 setelah memperoleh izin pelepasan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian. Pelepasan N. bruchi telah dilakukan di Pulau Jawa, Sumatera dan Irian Jaya. Tidak seperti keberhasilan yang dicapai di danau Victoria, Uganda Ogwang 2001 dan di Amerika Serikat Center et al. 1999; Zattau et al. 2003, penggunaan kumbang Neochetina spp. dalam mengendalikan eceng gondok pada beberapa daerah perairan di Indonesia nampaknya tidak memberikan hasil yang memuaskan. Widayanti et al. 1998 menyatakan bahwa meskipun 110 kumbang ini diperkirakan telah menyebar secara alami di seluruh Pulau Jawa, keberadaannya tidak menyebabkan penurunan populasi eceng gondok. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa pada beberapa perairan terbuka di Indonesia menunjukkan bahwa beberapa danau secara serius terivestasi oleh eceng gondok, terutama di pulau Jawa Tjitrosoedirdjo Wijaya 1991. Dalam 20 tahun terakhir, kebanyakan penelitian di Indonesia terfokus pada pengembangan metode pembiakan massal dalam upaya pemanfaatan N. eichhorniae dan N. bruchi untuk mengendalikan eceng gondok. Sayangnya, belum banyak dilakukan upaya evaluasi dan monitoring secara terencana untuk mengevaluasi kemapanan dan efektivitas agens pengendalian biologi tersebut setelah dilepaskan di lapangan. Spesies mana di antara kedua spesies kumbang tersebut yang telah mapan di lapangan juga tidak diketahui. Tingkat kemapanan Neochetina spp. sebagai salah satu agens pengendalian biologi eceng gondok berhubungan dengan kemampuan kumbang tersebut untuk menyebar dan meningkatkan populasinya. Namun demikian, kemapanan kumbang tersebut di lapangan tidak serta-merta menjadi jaminan efektivitasnya untuk menekan populasi eceng gondok. Bellows 2001 menyatakan bahwa agens pengendalian biologi introduksi, yang mampu hidup dan berreproduksi di lingkungan baru, kemungkinan hanya memiliki dampak terbatas terhadap inang target. Lebih lanjut Confrancesco 2000 menyatakan bahwa efektivitas suatu agens pengendalian biologi gulma berkaitan dengan beberapa faktor atau kondisi, misalnya kepadatan populasi atau bagaimana agens tersebut berinteraksi dengan tumbuhan target dan lingkungannya. Bertitik tolak pada uraian di atas, pemantauan penyebaran, kelimpahan populasi, dan efektivitas Neochetina spp. perlu dilakukan, terutama untuk daerah Jawa Barat yang merupakan titik pelepasan agens biologi tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk: 1 mempelajari penyebaran Neochetina spp. di beberapa daerah di Jawa Barat dan DKI Jakarta, dan fluktuasi kelimpahannya di lapangan, dan 2 mengevaluasi implikasi eksistensi agens hayati tersebut terhadap enceng gondok. 111 Bahan dan Metode Tempat dan waktu penelitian Lokasi pengambilan sampel meliputi beberapa ekosistem perairan yang terdapat di Provinsi Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota DKI Jakarta. Pengambilan sampel dilaksanakan sejak Maret sampai Agustus 2004. Pelaksanaan penelitian ƒ Penentuan lokasi penelitian Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan berdasarkan purposive sampling methode , yaitu meliputi ekosistem perairan danau dan sungai yang terivestasi oleh eceng gondok. Dari hasil survey pendahuluan maka ditetapkan lokasi pengambilan sampel yang meliputi ekosistem perairan Danau Cibinong dan Danau Lido Kabupaten Bogor, saluran irigasi di sekitar Desa Panca Karya Kabupaten Karawang, sungai Citarum Hulu di sekitar Waduk Jatiluhur Kabupaten Purwakarta, dan Suaka Margasatwa Muara Angke Jakarta Utara. Deskripsi lokasi penelitian sebagaiman diuraikan pada BAB III. ƒ Penyebaran dan kelimpahan individu Neochetina spp. Pengamatan terhadap penyebaran Neochetina spp. dilakukan dengan melihat keberadaan agens hayati tersebut pada tumbuhan eceng gondok di lima lokasi yang telah ditetapkan. Setiap lokasi yang ditemukan N. eichhorniae dan N. bruchi dicatat altitude, latitude, dan longitude-nya. Koleksi kumbang Neochetina spp. dilakukan secara manual dengan tangan hand colection. Untuk setiap lokasi pengambilan sampel, koleksi kumbang tersebut dilakukan pada petak kuadrat yang berukuran 1 m 2 dengan ulangan sebanyak 5 kali. Jarak antar petak pengambilan sampel ± 10 m. Jumlah imago yang ditemukan pada setiap petak sampel dihitung berdasarkan jenis kelaminnya untuk menentukan kelimpahan individu dan nisbah kelaminnya. Selain itu, pengamatan juga dilakukan terhadap kelimpahan individu larva. Rara-rata jumlah larva dihitung 112 pada 10 rumpun eceng gondok yang diambil secara diagonal dari setiap petak kuadrat. Pengamatan terhadap kelimpahan individu imago dilakukan setiap bulan hingga 5 kali April sampai Agustus 2004. Sementara itu, pengamatan terhadap kelimpahan individu larva hanya dilakukan sekali Juli 2004. Untuk mengestimasi kelimpahan individu Neochetina spp. dilakukan pengamatan terhadap gejala kerusakan akibat aktivitas makan kumbang tersebut, yaitu berupa bekas ketaman pada daun eceng gondok. Pengamatan dilakukan dengan metode seperti diuraikan Ochiel et al. 2001. Jumlah bekas ketaman dihitung pada tiga helai daun termuda, dari setiap petak diambil 5 rumpun eceng gondok 4 rumpun pada bagian sudut dan 1 rumpun pada bagian tengah, kemudian dihitung rata-ratanya. Pengamatan terhadap jumlah bekas ketaman juga dilakukan setiap bulan hingga 5 kali, sebagaimana pengamatan terhadap kelimpahan individu imago Neochetina spp.. ƒ Implikasi keberadaan Neochetina spp. terhadap eceng gondok Untuk mengkuantifikasi intensitas kerusakan eceng gondok akibat aktivitas makan Neochetina spp., digunakan metode seperti diuraikan Ochiel et al. 2001. Pengamatan dilakukan terhadap intensitas kerusakan daun dan parameter pertumbuhan eceng gondok jumlah rumpunm 2 , biomassa, jumlah daunrumpun, dan diameter daun. Intensitas kerusakan daun diukur berdasarkan jumlah bekas ketaman yang mengindikasikan aktivitas makan kumbang tersebut. Sebanyak 50 bekas ketaman diukur luasnya untuk menentukan rata- rata luas ketaman tersebut. Nilai rata-rata ini selanjutnya dikalikan dengan jumlah bekas ketaman, kemudian dibagi dengan total luas helaian daun. Intensitas kerusakan pada enceng gondok oleh N. eichhorniae dan keempat parameter pertumbuhan eceng gondok diamati bersamaan dengan pengamatan kelimpahan individu Neochetina spp.. Analisis data Dari data pengambilan sampel N. eichhorniae dan N. bruchi dibuat suatu peta distribusi, khusus untuk wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Selain itu, 113 populasi kumbang tersebut ditabulasi dan dibuat suatu box plot untuk menggambarkan prbedaan kelimpahan individunya di lapangan menurut lokasi pengambilan sampel, serta antar waktu pengambilan sampel. Untuk melihat signifikansi perbedaan populasi kumbang dan intensitas kerusakan antar lokasi, dianalisis menggunakan ANOVA satu arah one-way ANOVA dan Uji Jarak Berganda Duncan DMRT pada selang kepercayaan 95 dengan program Statistica for Windows 6.0. Untuk melihat pengaruh kelimpahan individu Neochetina spp. terhadap eceng gondok dibuat korelasi antara jumlah imago kumbang tersebut dengan keempat parameter pertumbuhan eceng gondok. Sementara itu, untuk melihat sejauhmana aktivitas merusak Neochetina spp. dibuat korelasi antara jumlah imago kumbang tersebut dengan jumlah bekas ketaman pada daun eceng gondok. Analisis yang sama juga digunakan untuk menggambarakan korelasi antara jumlah imago dan jumlah larva agens hayati tersebut. Hasil Penyebaran dan kelimpahan individu Neochetina spp. Hasil penelitian menemukan bahwa Neochetina telah menyebar luas di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Hampir pada semua lokasi penelitian ditemukan kumbang tersebut, kecuali Karawang Gambar 5.1. Dari keseluruhan kumbang yang ditemukan diidentifikasi sebagai Neochetina eichhorniae, sedangkan N. bruchi tidak ditemukan pada penelitian ini. Kelimpahan individu imago N. eichhorniae berbeda nyata antar lokasi, baik dalam ukuran per m 2 F 3,16 = 11,249; p 0,001 maupun per rumpun eceng gondok F 4,20 = 9,847; p 0,001 Gambar 5.2. Jumlah individu imago N. eichhorniae per m 2 paling tinggi dijumpai di Cibinong, kemudian Muara Angke, Purwakarta, dan paling rendah di Lido. Sementara itu, berdasarkan kelimpahan individu imago kumbang per rumpun eceng gondok paling tinggi dijumpai di Muara Angke, selanjutnya Cibinong, Purwakarta, dan paling rendah di Lido. 114 Gambar 5.1 Peta penyebaran N. eichhorniae di Jawa Barat dan DKI Jakarta 115 Cibinong Lido M. Angke Purwakarta Lokasi 20 40 60 80 100 120 Jumlah imago individum 2 a A a a b Mean ±SE ±SD Cibinong Lido M. Angke Purwakarta Lokasi 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 Jumlah imago individurumpun Mean ±SE ±SD b B a bc c Gambar 5.2 Kelimpahan individu imago Neochetina eichhorniae per m 2 A dan per rumpun eceng gondok B di empat lokasi huruf yang sama pada gambar yang sama menunjukkan kelimpahan individu imago antar lokasi tidak berbeda nyata pada taraf 0,05, uji T. Dari hasil pengamatan terhadap larva N. eichhorniae yang dilakukan pada bulan Juli 2004, ditemukan bahwa kelimpahan individu larva kumbang tersebut berbeda nyata antar lokasi F 3,16 = 22,210; p 0,001. Demikian juga kelimpahan individu imago N. eichhorniae yang diamati pada bulan yang sama berbeda nyata antar lokasi F 3,16 = 21,049; p 0,001. Selain itu, pada bulan Agustus 2004, kelimpahan individu imago kumbang tersebut juga berbeda nyata antar lokasi F 3,16 = 9,635; p 0,001 Tabel 5.1. Rata-rata kelimpahan individu larva yang ditemukan dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan kelimpahan individu imago. 116 Tabel 5.1 Populasi kelimpahan individu larva dan imago Neochetina eichhorniae di empat lokasi pengambilan sampel yang diamati pada bulan Juli dan Agustus 2004 Kelimpahan individurumpun ± SD Lokasi Larva Juli Imago Juli Imago Agustus Cibinong 2,12 ± 0,40 b 1,74 ± 0,47 b 1,86 ± 0,41 a Lido 1,15 ± 0,20 cd 0,85 ± 0,15 b 0,44 ± 0,19 c Muara Angke 5,91 ± 2,06 a 4,85 ± 1,75 a 1,49 ± 0,72 ab Purwakarta 1,29 ± 0,27 bc 0,90 ± 0,25 b 1,02 ± 0,22 bc Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT Hasil analisis korelasi memperlihatkan bahwa kelimpahan individu larva secara nyata berkorelasi positif dengan populasi imago r = 0,863; p 0,001 Gambar 5.3. Selain itu, komposisi imago N. eichhorniae berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa persentase imago betina, baik secara total, rata- rata, maupun per bulan selama pengamatan relatif sama, yaitu mendekati 40 Tabel 5.2. Dengan kata lain, perbandingan antara imago betina dan jantan adalah mendekati 2:3. Demikian juga dengan perbandingan antara imago betina dan jantan pada musim hujan dan musim kemarau, di keempat lokasi pengambilan sampel relatif sama yakni mendekati 2:3 Gambar 5.4. 1 2 3 4 5 6 Jumlah imago N. eichhorniae individurumpun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ju mlah larva N. e ic hhornia e indiv idurumpun r = 0,905 p 0,0001 y = 0,072 + 1,753x Gambar 5.3 Korelasi antara kelimpahan individu imago dan larva Neochetina eichhorniae yang ditemukan di empat lokasi pengambilan sampel 117 Tabel 5.2 Komposisi imago betina Neochetina eichhorniae ± SD pada empat lokasi pengambilan sampel Lokasi Persentase betina Bulan Cibinong Lido M. Angke Purwakarta 4 41,23 ± 4,23 38,65 ± 16,40 40,84 ± 6,38 37.24 ± 3.62 5 40,12 ± 0,62 37,73 ± 4,20 38,35 ± 3,85 39.24 ± 8.16 6 40,03 ± 6,15 35,60 ± 10,13 37,02 ± 4,96 40.31 ± 13.67 7 37,26 ± 1,20 38,26 ± 5,56 41,26 ± 4,24 36.82 ± 2.17 Per bulan 8 40,14 ± 4,49 38,97 ± 8,48 39,28 ± 6,28 33.84 ± 4.78 Rerata 39.75 ± 1.48 37,84 ± 1,33 39,35 ± 1,76 37,49 ± 2,49 Total 39.75 ± 3.84 37,84 ± 9,14 39,35 ± 5,05 37,49 ± 7,36 10 20 30 40 50 60 70 Cibinong Lido Muara Angke Purwakarta Lokasi Po pul a si i m a g o indi v idu m 2 Hujan, betina Hujan, jantan Kemarau, betina Kemarau, jantan Gambar 5.4 Rata-rata jumlah imago betina dan jantan Neochetina eichhorniae di empat lokasi pada musim hujan dan kemarau Kelimpahan individu imago N. eichhorniae di semua lokasi penyebaran berfluktuasi secara temporal, tetapi polanya tidak konsisten dan tidak berbeda nyata F 4,15 = 0,287; p = 0,882 Gambar 5.5. Fluktuasi kelimpahan individu kumbang tersebut yang agak tinggi terjadi di Muara Angke dan Cibinong, sedangkan di Purwakarta dan Lido relatif stabil. 118 20 40 60 80 100 120 140 April Mei Juni Juli Agustus Lokasi J um la h i m a go ind iv idu m 2 Cibinong Lido Muara Angke Purwakarta A B 1 2 3 4 5 6 April Mei Juni Juli Agustus Lokasi J um la h i m a g o ind iv idu rum pun Cibinong Lido Muara Angke Purwakarta Gambar 5.5 Fluktuasi kelimpahan individu imago Neochetina eichhorniae per m 2 A dan per rumpun eceng gondok B di empat lokasi dari April sampai Agustus 2004 Ada kecenderungan kelimpahan individu imago N. eichornia pada musim kemarau Juli dan Agustus lebih tinggi dibandingkan musim penghujan April dan Mei Gambar 5.6, tetapi tidak berbeda nyata F 1,6 = 0,155; p = 0,707. 119 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Cibinong Lido Muara Angke Purwakarta Lokasi Po pula si imago individum 2 Hujan Kemarau Gambar 5.6 Rata-rata kelimpahan individu imago Neochetina eichhorniae individum 2 di empat lokasi pada musim hujan dan kemarau Implikasi Neochetina eichhorniae terhadap eceng gondok Intensitas kerusakan daun eceng gondok oleh N. eichhorniae sangat rendah, yaitu rata-rata kurang dari 6 dan jumlah bekas ketaman maksimum sekitar 200helai daun. Intensitas kerusakan daun paling rendah ditemukan di Lido dan berbeda nyata dengan lokasi lainnya F 3,16 = 3,882; p = 0,0292. Demikian juga dengan jumlah bekas ketaman di Lido paling rendah dan berbeda nyata dengan lokasi lainnya F 3,16 = 7,851; p = 0,002 Gambar 5.7. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap bekas ketaman feeding scars imago N. eichhorniae pada daun eceng gondok, dapat dikatakan bahwa kumbang ini cukup aktif merusak. Hal ini terlihat dari hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa jumlah bekas ketaman per helai daun memiliki korelasi positif yang nyata dengan kelimpahan individu imago N. eichhorniae per m 2 r = 0,756; p 0,001 dan per rumpun r = 0,762; p 0,001 Gambar 5.8. Meskipun N. eichhorniae cukup aktif merusak, namun dari hasil penelitian ini juga terlihat bahwa pengaruh eksistensi agens hayati ini tidak konsisten terhadap semua parameter pertumbuhan eceng gondok. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa secara umum kelimpahan individu agens hayati tersebut tidak memiliki hubungan yang nyata dengan penurunan parameter pertumbuhan eceng gondok, yang meliputi jumlah rumpunm 2 Gambar 5.9, biomassa 120 Gambar 5.10, jumlah daunrumpun Gambar 5.11 dan diameter daun Gambar 5.12. Meskipun peningkatan kelimpahan individu N. eichhorniae cenderung mengakibatkan penurunan biomassa dan jumlah daun per rumpun eceng gondok, namun penurunan ini tidak nyata. Bahkan ada kecenderungan peningkatan kelimpahan individu imago kumbang ini, jumlah rumpun eceng gondok per m 2 juga meningkat, tetapi peningkatan tersebut juga tidak nyata. Cibinong Lido Muara Angke Purwakarta Lokasi 1 2 3 4 5 6 7 8 Intensitas kerusakan daun Mean ±SE ±SD a b a a A Cibinong Lido Muara Angke Purwakarta Lokasi 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 Jumlah bekas ketamandaun Mean ±SE ±SD a a b a B Gambar 5.7 Intensitas kerusakan daun eceng gondok A dan jumlah bekas ketaman B yang disebabkan oleh Neochetina eichhorniae huruf yang sama pada gambar yang sama menunjukkan intensitas kerusakan daun dan jumlah bekas ketaman antar lokasi tidak berbeda nyata pada taraf 0,05, uji T. 121 20 40 60 80 100 120 140 Kelimpahan imago Neochetina eichhorniae individum 2 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 Jumlah bekas ketamandaun r = 0,756 p = 0,0001 y = 90,306 + 1,433x A 1 2 3 4 5 6 Kelimpahan imago Neochetina eichhorniae individu rumpun 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 Jumlah bekas ketamandaun r = 0,762 p 0,0001 y = 106,185 + 41,272x B Gambar 5.8 Korelasi antara bekas ketaman dan kelimpahan individu imago Neochetina eichhorniae per m 2 A dan per rumpun eceng gondok B di empat lokasi pengambilan sampel 122 20 40 60 80 100 120 140 Kelimpahan imago N. eichorniae individum 2 10 20 30 40 50 60 70 Populasi eceng gondok rumpunm 2 r = 0,189, p = 0,424; y = 35,7509 + 0,080x Gambar 5.9 Korelasi antara kelimpahan imago Neochetina eichhorniae dan populasi eceng gondok 20 40 60 80 100 120 140 Kelimpahan imago N. eichorniae individum 2 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Biomassa eceng gondok kgm 2 r = -0,443 p = 0,051 y = 24,028 - 0,074x Gambar 5.10 Korelasi antara kelimpahan imago Neochetina eichhorniae dan biomassa eceng gondok 123 20 40 60 80 100 120 140 Kelimpahan imago N. eichorniae individum 2 8.4 8.6 8.8 9.0 9.2 9.4 9.6 9.8 10.0 10.2 10.4 10.6 Jumlah daun eceng gondok helairumpun r = 0,044 p = 0,854 y = 9,229 + 0,001x Gambar 5.11 Korelasi antara kelimpahan imago Neochetina eichhorniae dan jumlah daun eceng gondok 20 40 60 80 100 120 140 Kelimpahan imago N. eichorniae ekorm 2 120 125 130 135 140 145 150 155 160 165 Diameter daun eceng gondok mm r = -0,233 p = 0,322 y = 144,165 - 0,077x Gambar 5.12 Korelasi antara kelimpahan imago Neochetina eichhorniae dan diameter daun eceng gondok 124 Pembahasan Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa N. eichhorniae telah terdistribusi secara luas pada habitat eceng gondok di Jawa Barat dan dapat dikatakan sudah mapan. Sementara itu, N. bruchi tidak memperlihatkan kemapanan dan penyebaran sebagaimana N. eichhorniae. Ketidakmapanan N. bruchi diduga terjadi karena kegagalan adaptasi spesies tersebut. Center et al. 2002 menyatakan bahwa kecil kemungkinan terjadi kompetisi interspesifik antara N. eichhorniae dan N. bruchi, sebab kedua spesies tersebut memiliki perilaku yang berbeda. Kedua spesies kumbang ini memiliki preferensi yang berbeda untuk tempat peletakan telur, dimana N. eichhorniae memilih daun yang menggulung, sedangkan N. bruchi lebih menyukai daun yang sudah berkembang sempurna. Selain itu, Ochiel et al. 2001 juga melaporkan bahwa kedua spesies agens hayati tersebut sama-sama telah mapan di Danau Victoria, Kenya. Hasil penelitian di Indonesia juga mengindikasikan bahwa kompetisi antara N. eichhorniae dan N. bruchi tidak terjadi Widayanti et al. 1999. Hal ini didasarkan pada data yang menunjukkan bahwa pemeliharaan kedua spesies kumbang ini secara bersama-sama dalam kurungan plastik 1m x 1m x 1m selama tiga bulan tidak mempengaruhi perkembangan populasi kedua spesies kumbang tersebut. Namun demikian, kondisi perlakuan yang dibuat sedemikian rupa, dengan pengamatan yang hanya berlangsung selama tiga bulan, tidak merepresentasikan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Banyak faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kemampuan agens hayati tersebut untuk berkembang dan bertahan hidup. Ada kemungkinan N. bruchi tidak dapat beradaptasi dan akhirnya punah. Sejak dilepaskan di Danau Cibinong hampir tiga dekade yang lalu, N. eichhorniae telah menyebar ke hampir semua habitat eceng gondok pada ekosistem perairan di daerah Jawa Barat, baik daerah dataran rendah maupun dataran tinggi. Penyebaran kumbang ini dapat terjadi secara pasif maupun aktif. Penyebaran secara pasif antara lain terjadi melalui pergerakan massa eceng gondok yang hanyut bersama aliran air, sedangkan penyebaran secara aktif 125 terjadi karena aktivitas terbang kumbang tersebut Tjitrosoedirdjo et al. 2003. Namun demikian, ada indikasi bahwa N. eichhorniae lebih banyak menyebar secara pasif daripada aktif. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa kumbang tersebut tidak ditemukan di Karawang yang lokasinya terisolasi dari sumber penyebaran. Massa eceng gondok yang hanyut melalui saluran irigasi menuju daerah tersebut secara intensif dibersihkan petani untuk menghindari terhambatnya aliran air. Aktivitas ini mengakibatkan massa eceng gondok, yang kemungkinan dihuni oleh kumbang N. eichhorniae tidak pernah mencapai hamparan eceng gondok di Karawang. Data yang diperoleh dari penelitian ini mendukung hasil beberapa penelitian sebelumnya yang mengindikasikan bahwa Neochetina spp. lebih efektif menyebar secara pasif dibandingkan secara aktif. Jianqing 2002 melaporkan bahwa di beberapa sungai di Wenzhou, Provinsi Zhejiang, Cina, kumbang ini dapat menyebar dengan eceng gondok yang hanyut melalui aliran sungai hingga 40 km dari titik pelepasan, dalam kurun waktu 4 tahun. Sementara itu, perpindahan aktif terutama terjadi dalam hamparan eceng gondok yang hanya mencapai 100,8 cm dalam periode 15 hari Tjitrosoedirdjo et al. 2003. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Kasno et al. 2001 bahwa kumbang tersebut hanya mampu menyebar sejauh 15 m dalam kurun waktu 4 minggu dalam hamparan eceng gondok. Namun demikian, belum ada laporan tentang kemampuan terbang kumbang tersebut sehingga tidak diketahui kemampuan penyebarannya secara aktif antar hamparan eceng gondok yang berbeda. Kelimpahan individu imago N. eichhorniae per m 2 yang ditemukan di Muara Angke, Cibinong dan Purwakarta dataran rendah secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditemukan di Danau Lido dataran tinggi. Hal ini diduga berkaitan dengan cara penyebaran kumbang tersebut yang lebih banyak bersifat pasif mengikuti pergerakan massa eceng gondok dari dataran tinggi ke dataran rendah. Indikasi ini terlihat dengan tingginya kelimpahan individu N. eichhorniae di Muara Angke, yang diduga disebabkan oleh tingginya pergerakan massa eceng gondok melalui sungai yang bermuara ke 126 wilayah tersebut. Selain itu, Muara Angke merupakan daerah Suaka Margasatwa yang memungkinkan populasi eceng gondok relatif lebih stabil sehingga dapat menjamin ketersediaan inang bagi kumbang tersebut. Kedua faktor tersebut pada gilirannya akan memberikan peluang terjadinya perkembangan populasi N. eichhorniae . Rata-rata kelimpahan individu imago N. Eichhorniae di Cibinong sebesar 76,1 individum 2 , lebih tinggi dibandingkan hasil pengamatan sebelumnya sebesar 54,6 individum 2 Kasno et al. 1997. Tingginya kelimpahan kumbang ini di Danau Cibinong terutama karena daerah ini merupakan lokasi pelepasan untuk Jawa Barat. Selain itu, kegiatan pembersihan eceng gondok yang dilakukan masyarakat di sebagian besar permukaan danau telah memaksa kumbang ini terkonsentrasi pada hamparan eceng gondok yang tersisa di bagian selatan danau tersebut. Di bagian ini hamparan eceng gondok sengaja dipertahankan oleh penduduk sekitarnya untuk pelindung bagi tempat pemeliharaan ikan. Kondisi ini mengakibatkan tingkat kepadatan populasi per satuan luas tertentu yang teramati lebih tinggi dibandingkan lokasi lainnya. Berbeda dengan di Muara Angke dan di Danau Cibinong, kelimpahan N. eichornia di Danau Lido secara nyata lebih rendah. Hal ini diduga terjadi karena intensifnya pengendalian populasi eceng gondok di danau tersebut dalam tiga tahun terakhir. Keadaan ini sebagai akibat adanya kewajiban masyarakat yang memiliki atau memanfaatkan lahan di sekeliling danau untuk membersihkan eceng gondok dan tumbuhan liar lainnya di pinggir danau yang berbatasan langsung dengan lahan mereka. Kewajiban ini dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat dalam rangka menunjang program pariwisata, karena Danau Lido merupakan salah satu lokasi kunjungan wisata. Aktivitas pembersihan di lokasi ini biasanya dilakukan secara serentak di seluruh permukaan danau setiap tiga bulan. Namun demikian eceng gondok selalu tumbuh kembali, meskipun sangat terbatas di bagian pinggir danau. Diduga Neochetina spp. segera dapat mengkoloni kembali eceng gondok tersebut sehingga kumbang ini selalu dapat ditemukan, meskipun populasinya sangat rendah. Hal ini dimungkinkan oleh kemampuan kumbang tersebut untuk bertahan hidup pada beberapa spesies 127 tumbuhan terestrial yang terdapat di sekitar ekosistem perairan Widayanti et al 1999; Tjitrosoedirdjo et al. 2003. N. eichhorniae tidak ditemukan di Karawang. Hal ini diduga berhubungan dengan isolasi habitat. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa lokasi ini sangat terisolasi karena adanya hamparan persawahan yang luas dengan sistem pertanaman yang sangat intensif. Massa eceng gondok yang bergerak melalui saluran irigasi di sekitar persawahan selalu dibersihkan sehingga tidak memiliki kesempatan untuk menjadi sarana penyebaran kumbang tersebut. Keadaan ini telah memperkuat dugaan bahwa penyebaran kumbang tersebut lebih bersifat pasif. Selain itu, intensifikasi usahatani padi di wilayah ini telah meningkatkan pemakaian pestisida, terutama insektisida dan herbisida. Zattau et al. 2003 menyatakan bahwa pestisida dapat menekan tingkat kelangsungan hidup Neochetina spp., terutama fase larva. Ada fenomena menarik yang teramati bahwa di Muara Angke kelimpahan invidu imago N. eichhorniae menurun drastis pada bulan Agustus 2004, padahal kepadatan kelimpahannya cukup tinggi pada bulan Juli 2004. Hal ini diduga disebabkan oleh terjadinya kematian massal eceng gondok pada pertengahan bulan Juli. Peristiwa ini terjadi akibat pasang tinggi air laut sehingga menggenangi hamparan eceng gondok di lokasi tersebut. Meskipun jumlah larva yang teramati pada awal bulan Juli di lokasi ini cukup tinggi, kemungkinan larva dan pupa banyak yang mati akibat pengaruh air laut. Sementara itu, di danau Cibinong dilakukan pembersihan selektif terhadap eceng gondok yang sudah besar pada bulan Juni sehingga kelimpahan individu yang teramati rendah. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat di sekitar danau yang memanfaatkan bagian pinggir danau tersebut sebagai tempat pemeliharaan ikan, yang dibuat menyerupai kolam-kolam. Pembersihan selektif ini dimaksudkan untuk memungkinkan intensitas cahaya menembus hamparan eceng gondok tersebut. Secara umum kelimpahan individu N. eichhorniae yang ditemukan pada penelitian ini dapat dikatakan sangat rendah rata-rata kurang dari 3 ekor per rumpun dibandingkan dengan yang ditemukan di Danau Victoria, Uganda. Ogwang 2001 melaporkan bahwa selama tahun 1997, pada hamparan eceng 128 gondok ditemukan rata-rata 25 ekor per rumpun pada beberapa tempat pengambilan sampel yang meliputi Thurston Bay, Lwanika, Wakawaka dan Bugoto. Tingginya kelimpahan agens hayati ini di daerah tersebut telah mengakibatkan penurunan populasi eceng gondok yang cukup nyata, sehingga kejadian itu merupakan keberhasilan penurunan populasi gulma yang paling spektakuler dalam sejarah pengendalian hayati gulma. Rendahnya kelimpahan N. eichhorniae di Indonesia pada umumnya diduga disebabkan oleh tingginya mortalitas pupa. Perbedaan populasi larva dan imago sebesar 17-30 mengindikasikan adanya mortalitas pada stadium pupa. Angka tersebut diduga lebih tinggi daripada yang teramati sebab ada kemungkinan sebagian larva tidak teramati, terutama larva-larva instar awal. Tjitrosoedirdjo et al. 2003 melaporkan bahwa pada kondisi laboratorium, persentase penetasan telur N. bruchi sebesar 94,5, yang menjadi pupa 61,5, sementara tingkat kemunculan imago hanya 54,5. Mortalitas pupa juga terungkap dari hasil penelitian Kasno et al. 2001 yang melaporkan bahwa banyak pupa yang mati karena dimakan oleh ikan predator. Plot percobaan yang dipasangi jaring pada bagian bawahnya ternyata akan menurunkan tingkat mortalitas pupa, bila dibandingkan dengan plot yang tidak dipasangi jaring. Selain ikan predator yang memangsa pupa, bebek juga diketahui dapat berperan sebagai predator larva, pupa, bahkan imago N. eichhorniae Hal ini terungkap dari hasil pembedahan tembolok bebek, yang mana banyak ditemukan ketiga fase pertumbuhan kumbang tersebut Sukisman; komunikasi pribadi. Widayanti et al 1999 juga menemukan bahwa laba-laba serigala wolf spider memangsa larva N. bruchi. Fakta ini telah menjelaskan fenomena terjadinya perbedaan antara potensi tingkat kelangsungan hidup survival rate kumbang tersebut di laboratorium dengan kenyataan di lapangan. Kendala pertumbuhan populasi N. eichhorniae juga dapat disebabkan oleh penyakit yang disebabkan oleh berbagai jenis patogen. Salah satu patogen yang berperan dalam menekan perkembangan populasi kumbang tersebut adalah microsporidia. Keefektifan kumbang ini sangat terbatas di beberapa tempat atau negara yang diyakini berhubungan dengan mikrosporidia yang menginfeksi 129 populasinya di Florida, yang merupakan sumber introduksi kumbang tersebut untuk beberapa negara Rebelo Center 2001, termasuk Indonesia. Kedua peneliti ini memang tidak dapat meyakini sepenuhnya apakah mikrosporidia terintroduksi bersama kumbang tersebut dari daerah asalnya, Amazon-Brazil, atau terinfeksi setelah pelepasan. Hal ini disebabkan oleh pengujian penyakit pada koloni N. eichhorniae dan N. bruchi sebelum pelepasan di Amerika Serikat pada awal 1970-an sangat tidak memadai. Untuk daerah-daerah yang memiliki iklim tropis, misalnya negara-negara di Asia Tenggara, kemungkinan kumbang tersebut terinfeksi oleh mikrosporidia setelah pelepasan sangat besar karena patogen ini bersifat kosmopolitan. Rebelo dan Center 2001 melaporkan bahwa penyakit yang disebabkan oleh mikrosporidia biasanya bersifat kronis tanpa manifestasi gejala eksternal yang ditunjukkan oleh inangnya. Infeksi terjadi pada saluran pencernaan, tubuh lemak dan tabung malfigi. Pengaruh subletal umumnya berupa penurunan kebugaran serangga yang terinfeksi, meliputi lama hidup, fertilitas, dan aktivitas makan. Dari hasil studi pendahuluan yang mereka lakukan diketahui bahwa infeksi mikrosporidia pada N. eichhorniae menurunkan fertilitas sebesar 46,2 dan lama hidup sebesar 41,8, tetapi aktivitas makannya tidak terganggu. Selain mortalitas larva, pupa dan imago, nisbah kelamin imago N. eichhorniae merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya laju pertumbuhan populasi kumbang tersebut. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perbandingan komposisi imago betina lebih rendah dibandingkan jantan. Persentase betina N. eichhorniae yang ditemukan dalam penelitian ini mendekati 40, dengan kata lain rasio antara betina dan jantan adalah 2:3. Hasil pengamatan nisbah kelamin ini berbeda dengan hasil penelitian Julien et.al 1999 yang melaporkan bahwa rasio antara betina dan jantan adalah 1:1. Proporsi imago betina yang lebih rendah daripada jantan berpengaruh negatif terhadap perkembangan populasi kumbang tersebut. Dari hasil pengamatan juga ditemukan adanya indikasi bahwa N. eichornia bereproduksi sepanjang waktu, tanpa dipengaruhi oleh musim. Hal ini terlihat dengan tidak adanya perbedaan kelimpahan individu kumbang tersebut 130 pada musim kemarau dan musim penghujan. Selain itu, hasil pengamatan terhadap persentase imago betina agens hayati ini yang mendekati 40 mengindikasikan bahwa perbedaan musim secara relatif tidak berpengaruh terhadap jumlah telur yang diletakkan. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa larva yang dihasilkan akan selalu sebanding dengan populasi imago. Fakta ini dapat menjelaskan mengapa populasi kumbang tersebut di lapangan dari waktu ke waktu relatif tidak berfluktuasi. Hasil yang sama juga ditemukan dari penelitian di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa imago N. eichornia dan N. bruchi dapat bereproduksi sepanjang tahun, tanpa perbedaan generasi Center 1994. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap intensitas kerusakan daun pada eceng gondok terlihat bahwa populasi N. eichhorniae tidak mampu menimbulkan pengaruh yang nyata terhadap eceng gondok. Hal ini berkaitan erat dengan kelimpahan individu N. eichhorniae yang sangat rendah rata-rata kurang dari 5 ekorrumpun sehingga tidak mampu menimbulkan kerusakan yang nyata pada eceng gondok. Dengan kata lain, kumbang tersebut tidak dapat menyebabkan penurunan populasi eceng gondok secara nyata hinggga di bawah ambang pengendalian. Berbeda dengan fakta di Danau Victoria, Uganda, populasi yang tinggi rata-rata 25 ekorrumpun dapat mengakibatkan bagian eceng gondok di atas permukaan air mati dan tenggelam ke dasar danau Ogwang, 2001. Tjitrosemito 2002 menyatakan bahwa dua pasang imago N. eichhorniae membutuhkan waktu 1 bulan untuk mematikan 1 rumpun eceng gondok. Padahal waktu yang dibutukan eceng gondok untuk menggandakan jumlah rumpunnya doubling time di beberapa negara tropis dilaporkan berkisar antara 9,2-32,2 hari Gopal Sharma 1981. Selain itu, dari hasil pengamatan di lapangan terlihat bahwa N. eichhorniae tidak ditemukan pada semua rumpun eceng gondok. Dengan demikian, individu eceng gondok yang tidak terserang oleh kumbang tersebut akan berkembang dengan laju pertumbuhan normal. Kondisi ini mengakibatkan populasi kumbang tersebut tidak mampu mengimbangi perkembangan populasi eceng gondok. 131 Keberadaan N. eichhorniae tidak mempengaruhi parameter pertumbuhan eceng gondok jumlah rumpun per m 2 , biomassa, dan jumlah daun per rumpun. Memang ada kecenderungan bahwa parameter pertumbuhan eceng gondok lebih tinggi pada lokasi tertentu dimana tidak ditemukan N. eichhorniae, sebagaimana terlihat di Karawang. Namun hal ini tidak dapat dipastikan sebagai akibat ketiadaan kumbang tersebut. Ada beberapa faktor lain yang diduga lebih berperan dalam mendukung tingginya kelimpahan eceng gondok di daerah tersebut. Salah satu faktor yang diyakini cenderung mendukung pertumbuhan eceng gondok antara lain adalah rendahnya gangguan, sebab hamparan tumbuhan ini tidak pernah dibersihkan atau diambil sebagai bahan kerajinan. Selain itu, nutrisi yang tersedia untuk mendukung pertumbuhannya juga melimpah karena daerah ini merupakan tempat pembuangan air dari persawahan di sekitarnya, yang diberikan pupuk dengan dosis tinggi. Ekosistem perairan ini merupakan sungai mati sehingga biomassa eceng gondok tidak berpindah akibat terbawa air dan berkembang dengan sangat leluasa. Keadaan ini berbeda dengan ekosistem perairan lain yang dijadikan sebagai lokasi penelitian. Di lokasi lain pada umumnya gangguan cukup tinggi sehingga dinamika populasi eceng gondok secara temporal juga tinggi. Secara umum kelimpahan individu imago N. eichhorniae menggambarkan kelimpahan individu larva sebab jumlah larva secara nyata berkorelasi positif dengan jumlah imago. Kelimpan individu larva kumbang tersebut yang ditemukan di empat lokasi pengambilan sampel cenderung lebih tinggi dibandingkan kelimpahan imagonya. Data ini mirip dengan hasil penelitian Kasno et al. 2001 yang melaporkan bahwa kelimpahan larva N. eichhorniae di Danau Situbagendit pada bulan Juni hingga Agustus 1998 relatif lebih tinggi daripada kelimpahan imagonya. Hal ini berkaitan dengan pola reproduksi N. eichhorniae yang dapat terjadi sepanjang tahun Center 1994, sehingga dapat diprediksi bahwa komposisi setiap fase pertumbuhan kumbang tersebut di lapangan relatif stabil. Bertitik tolak pada uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dengan adanya kendala-kendala perkembangan populasi N. eichhorniae, baik berupa 132 musuh alami predator dan patogen, maupun persentase imago betina yang rendah, telah mengakibatkan populasi kumbang tersebut di Indonesia dalam kurun waktu hampir 3 dekade setelah diintroduksi selalu saja rendah. Persentase betina yang lebih rendah dibandingkan daerah asal agens hayati tersebut California, Amerika Serikat, yang selalu stabil tanpa dipengaruhi oleh musim, telah mengakibatkan kelimpahannya di lapangan relatif stabil. Keberadaan musuh alami N. eichhorniae , yang belum semuanya diidentifikasi, dan persentase imago betina yang rendah diprediksi menyebabkan kelimpahan individu kumbang tersebut khususnya di wilayah Jawa Barat, bahkan di Indonesia pada umumnya, akan selalu rendah. Kelimpahan agens hayati tersebut diprediksi tidak pernah cukup tinggi untuk menekan perkembangan populasi eceng gondok. Sebaliknya agens hayati ini juga tidak akan punah selama eceng gondok masih ada. Hal ini didasarkan pada beberapa hasil penelitian yang sejauh ini menunjukkan bahwa N. eichhorniae dan N. bruchi hanya dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada eceng gondok Subagyo et al. 1977; Center 1994; Tjitrosoedirdjo et al. 1995. Kesimpulan Neochetina eichhorniae telah menyebar luas di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Penyebarannya meliputi Danau Lido, Suaka Margasatwa Muara Angke, Sungai Citarum Hulu Purwakarta dan Danau Cibinong, kecuali di Karawang tidak ditemukan agens hayati tersebut. Spesies N. bruchi tidak ditemukan pada penelitian ini. Penyebaran N. eichhorniae secara pasif lebih efektif dibandingkan secara aktif sehingga habitat yang terisolasi tidak dapat dikolonisasi oleh kumbang ini. Kelimpahan individu N. eichhorniae di dataran rendah lebih tinggi daripada di dataran tinggi. Sementara itu, kelimpahan individu relatif stabil dari waktu ke waktu tanpa dipengaruhi oleh perbedaan musim. Meskipun N. eichhorniae secara umum telah mapan di Jawa Barat dan DKI Jakarta, namun secara relatif kelimpahannya rendah. Tingkat populasi N. eichhorniae sejauh ini tidak dapat menekan populasi eceng gondok. 133 Daftar Pustaka Bellows, TS. 2001. Restoring population balance through natural enemy introductions. Biological Control 21: 199-205. Center TD. 1994. Biological control of weeds: waterhyacinth and waterlettuce. Di dalam: Rosen D, Bennet FD, Capinera JL, editor. Pest Management in The Subtropics: Biological Control—A Florida Perspective. Andover: Intercept Ltd. Center TD, Dray Jr FA, Jubinsky GP, Leslie AJ. 1999. Waterhyacinth weevils Neochetina eichhorniae and N. bruchi inhibit waterhyacinth Eichhornia crassipes colony development. Biol Cont 15: 39-50. Center TD, Hill MP, Cordo H, Julien MH. 2002. Waterhyacinth. Di dalam: Van Driesche R et al. Biological Control of Invasive Plants in The Eastern United States. USDA Forest Service Publication FHTET. Confrancesco AF. 2000. Factors to consider when using native biological control organisms to manage exotic plants. J Aquat Plant Manage 38: 117-120. Fayad YH, Ibrahim AA, El-Zoghby AA, Shalaby FF. 2001. Ongoing activities in the biological control of waterhyacinth in Egypt. Di dalam: Julien MH, Hill MP, Center TD, Jianqing D, editor. Biological and integrated control og waterhyacinth , Eichhorniae crassipes. ACIAR Proceedings 102, hal 43- 46. Gopal B, Sharma KP. 1981. Water-hyacinth Eichhornia crassipes, The Most Troublesome Weed of The World . New Delhi: Hindasia. Grodowitz MJ. 1998. An active approach to the use of insect biological control for the management of non-native aquatic plants. J Aquat Plant Manage 36: 57-61. Grodowitz MJ. 1998. An active approach to the use of insect biological control for the management of non-native aquatic plants. J Aquat Plant Manage 36: 57-61. Julien MH, Griffiths MW, Wright AD. 1999. Biological control of water hyacinth. The weevils Neochetina bruchi and Neochetina eichhorniae: biologies, host ranges, releasing and monitoring techniques for biological control of Eichhornia crassipes. Canberra: ACIAR. Kasno, Putri ASR, Widayanti S, Sunjaya. 2001. Establishment of Neochaetina spp.: Their pattern of local dispersal and age structure at release site. BIOTROPIA 17:18-29 134 Kasno, Sundjaya, Putri ASR, Dharmaputra OR, Handayani HS. 1999. Integrated use of Neochetina bruchi and Alternaria eichhorniae in controling water hyacinth. BIOTROPIA 13:1-17 Kasno, Tjitrosemito S, Sunjaya, Handayani HS. 1997. Establishment of water hyacinth weevil Neochetina bruchi in Indonesia: Rearing, release techniques and natural enemies. BIOTROP Internal Report. Ochiel GS, Njoka SW, Mailu AM, Gitonga W. 2001. Establishment, spread and impact of Neochetina spp. on water hyacinth in Lake Victoria, Kenya. Di dalam: Julien MH, Hill MP, Center TD, Jianqing D, editor. Biological and Integrated Control of Water Hyacinth , Eichhornia crassipes. ACIAR Proceedings 102. hal 89-95. Ogwang J. 2001. Is there resurgence on Lake Victoria? Di dalam: IMPECCA. Biological and integrated control of Eichhornia crassipes. Water hyacinth news No. 4. Silwood Park: CABI Bioscience. Rebelo MT, Center TD. 2001. Microsporidia Neochetina. Di dalam: IMPECCA. Biological and integrated control of Eichhornia crassipes. Water Hyacinth News No. 4. Silwood Park: CABI Bioscience. Subagyo T, Kasno, Mangoendihardjo S. 1977. Masalah dan pengendalian tumbuhan pengganggu air Rawa Pening. Laporan Akhir 1976-1977. Bogor: SEAMEO BIOTROP. Tjitrosemito S. 2002. Pengelolaan gulma air secara terpadu. Makalah, disampaikan pada kunjungan staf Perum Jasa Tirta, Malang ke SEAMEO BITROP, 17 Januari 2002. Tjitrosoedirdjo SS. 1994. Pengendalian hayati eceng gondok, kiambang, dan klampis air dengan musuh alaminya [laporan penelitian]. Bogor: SEAMEO BIOTROP. Tjitrosoedirdjo SS, Kasno, Sunjaya, Ariyanti NS. 1995. Kemungkinan penggunaan Neochetina bruchi bagi pengendalian hayati eceng gondok di Indonesia [laporan penelitian]. Bogor: SEAMEO BIOTROP. Tjitrosoedirdjo SS, Kasno, Tjitrosemito S. 2003. The biological control of water hyacinth in Indonesia. J Tropical Weeds11: 18-23. Tjitrosoedirdjo SS, Widjaya F. 1991. Aquatic weed management in Indonesia. BIOTROP Special Publication 40: 25-38. Widayanti, Kasno S, Tjitrosoedirdjo SS, and Tjitrosemito S. 1998. Efforts in using water hyacinth weevils to control water hyacinth in Indonesia. Di dalam: Proceedings of The Workshop on Integrated Weed Management in 135 Managed and Natural Ecosystem . Bogor, 23-25 June 1998. BIOTROP Special Publication 61. Zattau W, Cofrancesco A, Grodowitz M, Center T. 2003. Neuchetina bruchi, “Chevroned waterhyacinth weevil”. http:www.wes.armi.milelaqua apisbiocontrolhtmlneocheti.html [9 Juni 2003].

BAB VI INTRODUKSI NEOCHETINA EICHHORNIAE