Negosiasi Tahapan Pengumpulan Data

ruang wilayah penangkapan di lokasi penelitian. Sampel ditentukan dengan memadukan teknik purposive sampling dan teknik snowball sampling. Jumlah sampel tidak ditentukan, tergantung informasi yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara pada saat pengambilan data di lokasi penelitian. Teknik ini ditetapkan secara segaja oleh peneliti yang didasarkan atas kriteria atau pertimbangan tertentu dan sesuai dengan tujuan penelitian Nasution,1982. Berdasarkan hal tersebut, maka sampel dalam penelitian ini adalah nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini yang terlibat konflik pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan di lokasi penelitian, dan juga informan kunci key informant yang terdiri dari tokoh masyarakat nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini, serta beberapa kalangan dari lembaga terkait, seperti Subdin Perikanan dan Kelautan, HNSI, DPRD Maros, PPNS Perikanan, dan BPP Perikanan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara; 1 pengamatan observasi, 2 wawancara interview, dan 3 Particypatory Rapid Appraisal PRA. Metode analisis digunakan adalah analisis SWOT. Analisis SWOT adalah model analisis yang membandingkan antara faktor eksternal peluang opportunities dan ancaman threats dengan faktor internal kekuatan strengths dan kelemahan weaknesses yang digunakan untuk analisis kasus yang bersifat strategis Hamid, 1999. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Bentuk Penyelesaian Konflik Nelayan Beberapa upaya penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan yang lazim dipakai adalah upaya penyelesaian konflik atau sengketa di luar pengadilan, seperti negoisiasi, mediasi, konsilidasi, dan arbitrasi.

1. Negosiasi

Negosiasi merupakan salah satu upaya penyelesaian konflik atau sengketa pemanfataan sumberdaya perikanan dan kelautan melalui penyelesaian langsung antara para pihak yang berkonflik guna mencapai atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati dan diterima oleh pihak-pihak yang konflik. Dalam negosiasi para pihak yang berkonflik berunding secara langsung tanpa perantara pihak lain ketiga dalam mencapai kata akhir penyelesaian sengketa pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut. Penyelesaian konflik sepenuhnya dilaksanakan oleh pihak yang berkonflik atas dasar “win-win” sama-sama menang. Negosiasi ini bersifat informal dan tidak terstruktur tidak ada bentuk yang baku serta waktunya tidak terbatas. Efisiensi dan efektivitas kelangsungan negosiasi tergantung sepenuhnya kepada para pihak yang berkonflik. Penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan dan lautan melalui media negosiasi tidak hanya terbatas mempertimbangkan aspek hukum belaka, melainkan juga faktor non hukum. Pada tingkatan negosiasi konflik pengelolaan sumberdaya perikanan, dapat saja unsur-unsur hukum tidak terlalu dipersoalkan, asalkan konflik pengelolaan mampu diselesaikan dengan tanpa merugikan para pihak yang berkonflik. Secara yuridis, hasil negosiasi tidak mengikat, penentuan hasil negosiasi tergantung pada itikad dan kemauan baik dari masing-masing pihak yang berkonflik. Pengingkaran terhadap kesepakatan negosiasi yang telah dilaksanakan tidak saja mementahkan proses negosiasi, tetapi juga menimbulkan problem teknis tentang pelaksanaan produk negosiasi, merupakan kendala dan kegagalan negosiasi itu sendiri.

2. Mediasi

Mediasi merupakan upaya penyelesaian konflik atau sengketa pengelolaan sumberdaya perikanan dan laut melalui perantaraan dan bantuan pihak ketiga yang netral mediator guna memenuhi bentuk penyelesaian yang dapat disepakati pihak-pihak yang berkonflik. Peran mediator dalam mediasi adalah memberikan bantuan substantif dan prosedural kepada pihak yang berkonflik. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutus atau menetapkan suatu bentuk penyelesaian yang dihasilkannya. Mediator hanya memberi saran, pertimbangan, dan jalan keluar yang sebaiknya disepakati. Para pihak yang berkonfliklah yang mempunyai otoritas untuk membuat keputusan berdasarkan konsensus diantara mereka sendiri. Pada prinsipnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak perantara mediator yang netral dan tidak memihak serta dapat menolong para pihak untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang. Tanpa negosiasi tidak ada mediasi, karena mediasi merupakan perluasan dari negosiasi. Bentuk penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan melalui media mediasi adalah merupakan salah satu bentuk penyelesaian konflik antara nelayan tradisional dan nelayan pengguna trawl mini yang telah dilakukan di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros dengan cara masing- masing pihak yang berkonflik membuat kesepakatan tertulis pada tanggal 11 Januari 2002 yang dimediasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Maros. Bentuk penyelesaian konflik nelayan tersebut juga diungkapkan oleh Ketua Komisi B DPRD Maros sebagai berikut : “Bentuk penyelesaian konflik yang telah dilakukan adalah mempertemukan tokoh-tokoh nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring klitik dan alat tangkap modofikasi yang menyerupai trawl. Dari pertemuan tersebut, akhirnya tercapai kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh masing-masing perwakilan nelayan pengguna jaring klitik dan nelayan pengguna alat tangkap modifikasi trawl” wawancara SM, tanggal 11 Nopember 2008. Pendapat Ketua Komisi B DPRD Maros tersebut, dipertegas oleh penjelasan Kepala Sub Dinas Perikanan dan Kelautan Maros ; “Bentuk penyelesaian konflik yang kita lakukan adalah hanya menfasilitasi masyarakat nelayan, baik pengguna alat tangkap jaring klitik maupun pengguna alat tangkap modifikasi yang mirip trawl trawl mini, kemudian mereka nelayan yang membuat kesepakatan tertulis. Hasil kesepakatan yang mereka buat, pada garis besarnya memuat tentang pengaturan wilayah penangkapan dan cara pengoperasian alat tangkap yang mereka gunakan. Misalnya ; nelayan pengguna jaring klitik dapat mengoperasikan alat tangkapnya pada jalur 0-3 mil dan alat tangkap yang dioperasikan harus diberi tanda khusus, terutama pada malam hari supaya dapat terlihat oleh nelayan pengguna trawl mini, sedangkan nelayan pengguna alat tangkap trawl mini dapat mengoperasikan alat tangkapnya pada jalur di luar 3 mil laut dan kapal yang digunakan dicat warna merah” wawancara SA, tanggal 6 Nopember 2008. Ketua HNSI Kabupaten Maros mengungkapkan upaya penyelesaian konflik nelayan yang terjadi di Kecamatan Bontoa telah dimediasi oleh pemerintah : “Konflik nelayan yang terjadi di Kabupaten Maros termasuk di Kecamatan Bontoa telah dimediasi oleh pemerintah dengan mempertemukan beberapa tokoh masyarakat nelayan, dan kami sangat mendukung upaya yang dilakukan oleh pemerintah. Mudah- mudahan hasil kesepakatan mereka dapat diterima oleh semua nelayan, terutama nelayan pengguna trawl mini” wawancara LNG, tanggal 13 Desember 2008. Bentuk penyelesaian konflik nelayan telah dimediasi oleh pemerintah, namun pada kenyataannya kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kedua pihak yang berkonflik telah dilanggar oleh nelayan. “Tapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah hasil kesepakatan yang telah mereka tandatangani sulit dilaksanakan karena polisi air atau PPNS Perikanan yang bertugas mengawasi kegiatan penangkapan ikan di laut tidak memiliki sarana yang memadai, seperti speed boad, sehingga sangat sulit untuk melakukan kegiatan pengawasan di laut secara maksimal” lanjutan wawancara SM, tanggal 11 Nopember 2008. Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Sub Dinas Perikanan dan Kelautan Maros yang mengatakan : “Kesepakatan yang mereka buat sendiri, masih sering dilanggar terutama pada bulan terang, dimana banyak nelayan pengguna trawl mini melakukan kegiatan penangkapan udang pada jalur penangkapan nelayan tradisional jalur 0-3 mil laut. Hal itulah yang sering memicu terjadinya konflik antara nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini di Bontoa” lanjutan wawancara SA, tanggal 6 Nopember 2008. PPNS Perikanan mengatakan bahwa untuk melaksanakan kesepakatan yang mereka telah tanda tangani dibutuhkan suatu komitmen yang kuat dari masing-masing pihak yang berkonflik : “Kesepakatan yang mereka telah tanda tangani dibutuhkan suatu komitmen yang kuat oleh masing-masing pihak yang berkonflik, karena kami selaku pengawas hanya bisa mengawasi pelaksanaan hasil kesepakatan yang mereka telah buat. Dalam melaksanakan tugas pengawasan, kami tidak dilengkapi dengan sarana yang memadai seperti speed boad untuk kegiatan patroli di laut, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya pelanggaran penggunaan alat tangkap di kawasan pesisir Kabupaten Maros” wawancara HM, tanggal 10 Desember 2008. Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas menunjukkan bahwa upaya penyelesaian konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan di Kecamatan Bontoa telah dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat nelayan, baik nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik maupun nelayan pengguna alat tangkap trawl mini. Bentuk penyelesaian konflik tersebut dilakukan melalui media penyelesaian konflik di luar pengadilan dengan proses negoisasi dan mediasi. Bentuk penyelesaian konflik pemanfaatan ruang wilayah penangkapan melalui media negosiasi dan mediasi yang telah dilakukan antara nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan nelayan pengguna alat tangkap trawl mini di lokasi penelitian adalah masing-masing pihak yang berkonflik membuat kesepakatan tertulis pada tanggal 11 Januari 2002, adapun isi kesepakatan tersebut adalah : 1 Kelompok nelayan tradisional termasuk nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan harus mematuhi ; a tidak meninggalkan alatnya yang telah dipasang dan melengkapi jaring tersebut dengan rambu-rambu pelampung yang mudah dilihat dan diberi lampu pada malam hari, b perahu motortanpa motor nelayan tradisional diberi tanda pengenal dengan mengecat perahu tersebut minimal seperempat lambung kiri dan kanan dengan cat berwarna putih dan memberi nomor registrasi pada setiap perahu, dan c batas jalur penangkapan ikan yaitu pada jalur I 0-3 mil dan dapat memasuki jalur penangkapan lainnya. 2 Kelompok nelayan pengguna pukat yang merupai jaring trawl trawl mini dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan harus memenuhi ; a tidak mengoperasikan alat tangkap pukat yang merupai trawl di dalam jalur penangkapan ikan nelayan tradisional 0-3 mil dan hanya mengoperasikan alatnya di luar jalur tersebut atau yang batasanya adalah bagan tangcap paling dalam, b kapalmotor tempel harus diberi tanda dengan mengecat kapalperahu tersebut minimal seperempat lambung kiri dan kanan dengan cat berwarna merah dan memberi nomor registrasi pada setiap perahukapal, dan c tidak mengoperasikan dan memproduksi lagi alat tangkap ikan yang dimodifikasi yang fungsi dan kegunaan seperti alat tangkap trawl dan hanya mengoperasikan alat sesuai dengan izin yang dimiliki. 3 Bilamana kedua belah pihak yang berkonflik tidak mentaati kesepakatan tersebut, maka pihak yang melanggar akan mendapat sanksi berupa ; a izin operasinya dicabut oleh pihak yang berwenang dan tidak lagi diperkenankan melakukan operasi, dan b menanggung kerugian yang dialami oleh pihak yang dirugikan dan akan dituntut sesuai hukum yang berlaku. Kesepakatan tersebut dimediasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Maros, yang terdiri dari unsur Muspida Kabupaten Maros, DPRD Maros, Subdin Perikanan dan Kelautan Maros, unsur Muspika Kecamatan Bontoa, dan PPNS Perikanan.

B. Pihak Yang Terlibat Dalam Proses Penyelesaian Konflik

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik nelayan di Kacamatan Bontoa Kabupaten Maros, diungkapkan oleh Kepala Sub Dinas Perikanan dan Kelautan Maros berikut ini : “Bentuk penyelesaian konflik nelayan di Maros, melibatkan banyak pihak, seperti unsur Muspida Bupati, Kejaksaan, Polres, Kodim Maros, DPRD, Subdin Perikanan dan Kelautan, PPNS Perikanan, unsur Muspika Camat, Polsek, Korem Bontoa, Kepala Desa, dan tokoh-tokoh masyarakat nelayan, baik nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik maupun nelayan pengguna trawl mini” lanjutan wawancara SA, tanggal 6 Nopember 2008. Pendapat Kapala Sub Dinas Perikanan dan Kelautan Maros tersebut dibenarkan oleh Kepala BPP Perikanan : “Penyelesaian konflik nelayan di Kecamatan Bontoa melibatkan berbagai unsur, seperti Kepala Desa, Camat, Kepolisian, Bupati, DPRD, dan tokoh- tokoh masyarakat yang berkonflik” wawancara DL, tanggal 6 Nopember 2007. Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua HNSI Kabupaten Maros, yang mengatakan bahwa : “Upaya penyelesaian konflik nelayan di Kabupaten Maros sudah cukup maksimal karena telah melibatkan semua pihak terkait, seperti mayarakat nelayan, pemerintah dan lembaga pengawasan yang terdiri dari kejaksaan, kepolisian, PPNS Perikanan dan DPRD Maros” lanjutan wawancara LNG, tanggal 13 Desember 2008. Hal tersebut juga diungkapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat nelayan pengguna jaring klitik yang mengatakan bahwa : “Upaya penyelesaian sudah pernah dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat nelayan dan unsur pemerintah, seperti Camat, Bupati, Sub Dinas Perikanan dan Kelautan, BPP Perikanan, dan Dinas Perhubungan dan Komunikasi Kabupaten Maros. Namun hasil tidak memuaskan nelayan, khususnya nelayan pengguna jaring klitik karena masih banyak nelayan pengguna trawl mini yang masuk di wilayah penangkapan nelayan kecil” wawancara HL, tanggal 13 Desember 2008. Sedangkan tokoh masyarakat nelayan pengguna alat tangkap trawl mini mengungkapkan bahwa : “Upaya penyelesaian konflik nelayan sudah pernah dilakukan dengan membuat kesepakatan antara nelayan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat nelayan dan unsur pemda, DPRD, dan perikanan. Namun hasilnya sulit dilaksanakan karena nelayan pengguna jaring klitik sebagian besar meninggalkan alat tangkapnya dan tidak memiliki tanda-tanda berupa lampu yang dapat dilihat oleh nelayan pengguna trawl mini” wawancara SW, tanggal 13 Desember 2008. Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas menunjukkan bahwa pihak-pihak yang telibat dalam proses penyelesaian konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan di Kecamatan Bontoa, yaitu tokoh- tokoh masyarakat pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini, unsur Muspida Maros Bupati, Kejaksaan, Polres, Kodim Maros, unsur Muspika Bontoa Camat, Polsek, Korem Bontoa, DPRD, Dinas Perhubungan dan Komunikasi, Sub Dinas Perikanan dan Kalautan Maros, PPNS Perikanan, BPP Perikanan, dan Kepala Desa.

C. Strategi Pemanfaatan Ruang Wilayah Penangkapan Ikan

Untuk menentukan strategi yang bersifat kasus pada umumnya digunakan model analisis SWOT. Model analisis ini membandingkan faktor eksternal yang berupa peluang dan ancaman dengan faktor internal yang berupa kekuatan dan kelemahan. Penentuan strategi pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan dengan analisis SWOT digunakan pendekatan partisipatoris dengan tahapan sebagai berikut :

1. Tahapan Pengumpulan Data

Pada dasarnya tahapan ini tidak hanya sekedar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra analisis. Pada tahap ini data-data yang dikumpulkan dari responden dan informan melalui wawancara dan PRA, selanjutnya dibagi menjadi dua faktor, yaitu data yang menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Hasil pengklasifikasian data internal dan eksternal tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Hasil identifikasi data internal dan eksternal Faktor Internal Faktor Eksternal 1. Daerah penangkapan relatif dekat dan masih baik kondisinya. 2. Sumberdaya laut dapat dimanfaatkan oleh nelayan kapan dan dimana saja. 3. PPNS perikanan dan Polisi air dan udara Polairud siap menegakkan hukum di wilayah perairan. 4. Daerah penangkapan relatif dekat dan masih baik kondisinya. 5. Sering terjadi konflik kepentingan antar stakeholders di daerah penangkapan ikan. 6. Adanya perbedaan persepsi nelayan terhadap laut sebagai sumberdaya milik bersama. 7. Jumlah PPNS perikanan dan Polairud sangat terbatas. 8. Masih banyak alat tangkap yang 1. Banyak kegiatan stakeholders yang merusak kondisi perairan. 2. Belum ada tata ruang wilayah penangkapan ikan. 3. Sarana yang mendukung seperti speed boad upaya penegakan hukum di wilayah perairan sangat terbatas. 4. Banyak alat tangkap yang motode operasinya merusak lingkungan perairan. 5. Perairan lepas pantai belum dimanfaatkan secara optimal. 6. Nelayan menyadari arti penting sumberdaya laut sebagai sumberdaya milik bersama. 7. Political will dari pemerintah terhadap upaya penegakan hukum di wilayah perairan besar. 8. Alat tangkap masih memungkinkan untuk berteknologi tradisional. 9. Kapalperahu sebagian besar ukuran tonasenya kecil. 10. Perahu sudah banyak menggunakan mesin. 11. Tokoh masyarakat nelayan sangat mendukung upaya penyelesaian konflik. 12. Kepres No. 39 tahun 1980 dan SK Mentan No. 392 tahun 1999. 13. Manyarakat nelayan terbuka untuk diajak berdialog tentang upaya penyelesaian konflik yang sedang terjadi. 14. Jumlah nelayan meningkat setiap tahun. 15. Belum adanya kesamaan persepsi nelayan tentang alat tangkap yang dilarang penggunaannya. 16. Nelayan mulai pesimis terhadap model penyelesaian konflik yang telah dilaksanakan. 17. Pemahaman nelayan terhadap Kepres No. 39 tahun 1980 dan SK Mentan No. 392 tahun 1999 sangat rendah. 18. Tingkat pendidikan nelayan masih rendah. dikembangkan. 9. Kapalperahu yang ada masih memungkinkan untuk dikembangkan ukuran tonasenya. 10. Kapalperahu hanya sebagian kecil mampu beroperasi pada perairan lepas pantai. 11. Meningkatnya penggunaan teknologi usaha penangkapan. 12. Dukungan pemerintah daerah terhadap upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan cukup baik. 13. Nilai kepatutan terhadap tokoh masyarakat masih tinggi. 14. Nelayan dapat menjadi profesional apabila dibina dengan baik. 15. Lemahnya penegakan hukum terhadap penggunaan alatcara penangkapan ilegal. 16. Sosialisasi Kepres No. 39 tahun 1980 dan SK Mentan tahun 1999 terhadap nelayan masih rendah. 17. Kurangnya pembinaan dan penyuluhan yang dilakukan instansi terkait. 18. Banyak nelayan pendatang dari daerah lain. Sumber : Hasil olahan data primer, 2009 Setelah faktor-faktor internal dan eksternal diklasifikasikan, selanjutnya faktor-faktor tersebut diidentifikasi lagi menjadi empat faktor, yaitu faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Hasil identifikasi faktor tersebut dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Hasil faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman terhadap upaya penyelesaian konflik nelayan dalam rangka pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan Kekuatan S 1. Sumberdaya laut dapat dimanfaatkan oleh nelayan kapan dan dimana saja. 2. Tokoh masyarakat nelayan sangat mendukung upaya penyelesaian konflik. 3. Kepres No. 39 tahun 1980 dan SK Mentan No. 392 tahun 1999. 4. Masyarakat nelayan terbuka untuk diajak berdialog tentang upaya penyelesaian konflik yang sedang terjadi. 5. Daerah penangkapan relatif dekat dan masih baik kondisinya. 6. Alat tangkap terdiri dari berbagai macam jenis. 7. Jumlah nelayan yang meningkat setiap Peluang O 1. Meningkatnya penggunaan teknologi usaha penangkapan. 2. Dukungan pemerintah daerah terhadap upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan cukup baik. 3. Nelayan menyadari arti penting sumberdaya laut sebagai sumberdaya milik bersama. 4. Nilai kepatutan terhadap tokoh masyarakat masih tinggi. 5. Perairan lepas pantai belum dimanfaatkan secara optimal. 6. Alat tangkap masih memungkinkan untuk dikembangkan. tahun. 8. PPNS perikanan dan Polisi air dan udara Polairud siap menegakkan hukum di wilayah perairan. 9. Perahu sudah banyak menggunakan mesin. 7. Nelayan dapat menjadi profesional apabila dibina dengan baik. 8. Political will dari pemerintah terhadap upaya penegakan hukum di wilayah perairan besar. 9. Kapal perahu yang ada masih memungkinkan untuk dikembangkan ukuran tonasenya. Kelemahan W 1. Belum adanya kesamaan persepsi nelayan tentang alat langkap yang dilarang penggunaannya. 2. Adanya perbedaan persepsi nelayan terhadap laut sebagai sumberdaya milik bersama. 3. Nelayan mulai pesimis terhadap model penyelesaian konflik yang telah dilaksanakan. 4. Pemahaman nelayan terhadap Kepres 39 tahun 1980 dan SK Mentan No. 392 tahun 1999 sangat rendah. 5. Sering terjadi konflik kepentingan antar stakeholders di daerah penangkapan ikan. 6. Masih banyak alat tangkap yang berteknologi tradisional. 7. Tingkat pendidikan nelayan masih rendah. 8. Jumlah PPNS perikanan dan Polairud sangat terbatas. 9. Kapal perahu sebagian besar ukuran tonasenya kecil. Ancaman T 1. Lemahnya penegakan hukum terhadap pengguna alatcara penangkap ilegal. 2. Belum ada tata ruang wilayah penangkapan ikan. 3. Sosialisasi Kepres No. 39 tahun 1980 dan SK Mentan No. 392 tahun 1999 terhadap nelayan masih rendah. 4. Kurannya pembinaan dan penyuluhan yang dilakukan instansi terkait. 5. Banyak kegiatan stakeholders yang merusak kondisi perairan. 6. Banyak alat tangkap yang motode operasinya merusak lingkungan perairan. 7. Banyak nelayan pendatang dari daerah lain. 8. Sarana yang mendukung seperti speed boad upaya penegakan hukum di wilayah perairan sangat terbatas. 9. Kapal perahu hanya sebagian kecil mampu beroperasi pada perairan lepas pantai. Sumber : Hasil olahan data primer, 2009

2. Tahapan Analisis