STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK NELAYAN 2

(1)

STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK NELAYAN

DALAM PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PENANGKAPAN IKAN DI WILAYAH KABUPATEN MAROS PROVENSI SULAWESI SELATAN

Lukman Daris

Penyuluh Perikanan Madya BPPKP Kabupaten Maros/ Staf Pengajar STITEK Balik Diwa Makassar

ABSTRAK

Studi strategi penyelesain konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan di Pesisir Kabupaten Maros Provensi Selawesi Selatan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk penyelesaian konflik yang telah dilakukan dan yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik nelayan, serta mengajukan strategi pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan.

Bentuk penyelesaian konflik pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan yang telah dilakukan melalui media negoisasi dan mediasi dengan melibatkan tokoh masyarakat nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini, unsur Muspida Maros, unsur Muspika Bontoa, DPRD, Dinas Perhubungan dan Komunikasi, Sub Dinas Perikanan dan Kelautan, PPNS Perikanan, BPP Perikanan, dan Kepala Desa.

Strategi penyelesaian konflik yang perlu dilakukan adalah; (1) tingkatkan pengawasan terhadap alat tangkap yang digunakan nelayan dalam melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah perairan dengan mematuhi jalur-jalur penangkapan yang telah ditetapkan pemerintah, (2) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perairan lepas pantai dengan mengarahkan perahu yang memiliki daya jelajah besar, (3) optimalkan peran PPNS perikanan dan polisi air dalam melakukan pengawasan terhadap alat tangkap yang tidak selektif, produktif, dan merusak lingkungan, (4) tingkatkan ukuran tonase perahu yang telah memiliki mesin, (5) kembangkan teknologi alat tangkap yang telah ada dengan memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, (6) pembuatan tata ruang wilayah penangkapan ikan di wilayah pesisir dengan memperhatikan SK Mentan No. 392 tahun 1999, (7) penataan tata ruang wilayah penangkapan ikan harus melibatkan semua stakeholders yang berkepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya perairan, dan (8) petugas PPNS perikanan dan polisi air harus aktif memberikan pembinaan dan penyuluhan kepada nelayan tentang jenis alat tangkap yang izinkan berserta wilayah operasinya.

Kata Kunci : Konflik, wilayah penangkapan ikan, jaring klitik, trawl mini


(2)

Pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan pada saat ini akan menjadi tumpuan harapan bagi bangsa Indonesia dalam rangka pemulihan ekonomi akibat krisis yang berkepenjangan. Nilai dan arti penting wilayah pesisir dan lautan bagi bangsa Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, secara sosial ekonomi wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting karena; (1) sekitar 140 juta (60%) penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir (dengan pertumbuhan rata-rata 2% per tahun), (2) sebagian besar kota (kota propinsi dan kabupaten/kota) terletak di kawasan pesisir, (3) kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional sekitar 20,06%, dan (4) industri kelautan (coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara langsung. Kedua, secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti penting karena; (1) Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada, (2) sekitar 75% dari wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan (sekitar 5,8 juta km2 termasuk ZEEI), (3) Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau, dan (4) memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar (Dahuri, 2001).

Dibalik prospek yang menjanjikan tersebut, fakta yang terjadi bahwa, dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan pada masa lalu cenderung mengarah pada suatu pola pemanfaatan yang merusak keseimbangan ekosistem dan tidak berkelanjutan (unsustainable). Kebijakan

kelautan yang didasarkan pada doktrin “sumberdaya milik bersama” (common property resources) yang tidak ada hak kepemilikannya. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lauatan biasanya mengikuti asas akses terbuka (open access). Artinya, kapan dan siapa saja boleh memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara maksimal (Idris, 2001).

Pendekatan akses terbuka dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan tidak berdampak negatif, apabila sumberdaya yang tersedia berlimpah, sedangkan tingkat pemanfaatannya masih rendah. Kondisi demikian umum dijumpai pada komunitas masyarakat pesisir tradisional, dimana jumlah penduduk masih sedikit, teknologi pemanfaatan sumberdaya yang digunakan masih sederhana, dan tujuan pemanfaatan pun


(3)

hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (sub sistem) bukan untuk tujuan komersial. Ketika jumlah penduduk sudah banyak, kualitas kehidupan masyarakat tinggi, dan teknologi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut sudah semakin canggih, maka asas akses terbuka akan membawa kemusnahan sumberdaya (tragedy of the commons). Hal ini disebabkan oleh perilaku (attitude) pengguna sumberdaya yang berprinsip memaksimalkan keuntungan pribadi, tanpa menghiraukan kelestarian sumberdaya dan kepentingan pengguna (stakeholders) lain. Konsekuensi lain yang ditimbulkan akibat asas akses terbuka adalah konflik pemanfaatan ruang maupun sumberdaya alam di wilayah pesisir lebih sering terjadi daripada wilayah daratan maupun lautan (Farida, 2003).

Di samping itu, Pollnac (1984) dalam Wahyono dkk. (2000) mengemukakan bahwa, salah satu sumber konflik di wilayah pesisir dan laut adalah peningkatan intensitas eksploitasi sumberdaya. Hal ini berkaitan erat dengan pertambahan unit eksploitasi, pertambahan penduduk (demografi), lapangan kerja, perubahan tingkat komersialisasi (permintaan pasar), kondisi ekologis sumberdaya, dan perubahan teknologi.

Tingkat eksploitasi perikanan tangkap Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2001 sebesar 306.115 ton. Dengan nilai total potensi lestari maksimun (Maximum Sustainable Yield) untuk jenis ikan-ikan yang terdapat di perairan Selat Makassar, Laut Flores, dan Teluk Bone, yaitu sekitar 620.480 ton/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan, 2003), maka tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah tersebut telah mencapai 49%. Dengan demikian, peluang pemanfaatan secara optimal dan lestari adalah sebesar 31% jika dipertimbangkan hanya sebesar 80% dari total potensi lestari yang dapat dimanfaatkan sebagaimana digariskan FAO (Satria dkk., 2002).

Berdasarkan kenyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mencapai hasil tangkapan yang maksimal agar mencukupi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya, nelayan cenderung menggunakan beberapa jenis dan metode penangkapan yang bersifat ilegal dan dapat membahayakan kelestarian sumberdaya serta keseimbangan ekosistem laut


(4)

seperti penggunaan bahan peledak (dinamik), bahan beracun (potasium cyanide), pukat harimau/gadang/lampara dasar/pukat udang (mini trawl), dan penggunaan alat tangkap bergerak lainnya cenderung mengeruk ke dasar laut yang berakibat perusakan benthos, terumbu karang (coral reefs), dan organisme lain. Selain itu, penggunaan bagan rambo (lift net) yang berukuran besar yang dilengkapi dengan lampu celup bawah air di wilayah operasi nelayan tradisional (dijalur penangkapan I, 0-3 mil laut) telah menimbulkan konflik antar nelayan, khususnya nelayan di Kabupaten Barru dan Pangkep (Saad, 2003).

Pengoprasian pukat harimau atau jaring trawl telah dilarang pengoperasiannya berdasarkan Kepres No. 39 Tahun 1980 dengan alasan timbulnya keresahan sosial akibat terjadinya bentrokan fisik antara nelayan tradisional dan nelayan trawl yang beroprasi pada wilayah penangkapan yang sama di beberapa perairan pantai. Selain itu, penggunaan jaring trawl mengakibatkan juga kerusakan sumberdaya ikan pantai karena selektivitas jaring trawl yang rendah, sehingga menghasilkan tangkap sampingan (by-catch) dalam jumlah besar. Meski demikian, karena trawl merupakan satu-satunya alat tangkap yang paling efektif untuk menangkap udang dan karena lemahnya pengawasan dan tindakan hukum (law enforcement) yang dikenakan setiap pelanggarnya, hal ini telah mendorong nelayan untuk tetap mengoperasikan jaring trawl di sebagian besar wilayah perairan pantai yang kaya dengan udang (Satria dkk., 2002).

Lebih jauh, Satria dkk. (2002) mengemukakan bahwa, kasus yang dijumpai di Kabupaten Maros adalah adanya nelayan tradisional/lokal di wilayah ini yang melakukan kegiatan penangkapan udang dengan trawl mini atau dalam bahasa lokal dengan nama pukat gadang, pattarik, atau perrenreng. Pengoperasian trawl mini inilah yang menimbulkan ketidaksetujuan dari beberapa nelayan pengguna alat tangkap lainnya, terutama nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik yang merupakan alat tangkap dominan di Kabupaten Maros yang jumlahnya mencapai 427 unit (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan, 2000 dalam Satria dkk., 2002). Jumlah jaring klitik tersebut terus menurun sehingga saat ini


(5)

jumlahnya hanya mencapai 243 unit (Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian Maros, 2003).

Hal tersebut telah memicu timbulnya konflik antar sesama nelayan lokal di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros, yang sampai saat ini masih berlangsung, meskipun kedua belah pihak telah membuat kesepakatan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan pada jalur 0-3 mil untuk nelayan tradisional (termasuk nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik) dan jalur di luar 3 mil untuk nelayan pengguna alat tangkap trawl mini (Achmad, 2003). Namun kesepakatan tersebut masih dilanggar oleh salah satu pihak, sehingga upaya penyelesaian konflik baik yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun yang dilakukan oleh pemerintah belum menghasilkan penyelesaian yang optimal, nyata, dan hanya bersifat sementara.

Berdasarkan dari kenyataan tersebut, perlu dicari model atau strategi penyelesaian konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan, sehingga tercapai suatu model pemanfaatan sumberdaya laut yang ramah lingkungan dengan memperhatikan keseimbangan antar pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya perikanan untuk pemanfaatan sumberdaya laut yang ideal dan berkelanjutan.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui bagaimana bentuk penyelesaian konflik yang telah dilakukan dan siapa yang terlibat dalam proses penyelesaian masalah konflik nelayan tersebut, dan (2) untuk mengajukan strategi pemanfaatan ruang wilayah penangkapan sehingga dapat meminimalkan terjadinya konflik nelayan di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakaan pada Oktober 2008 sampai dengan Januari 2009 di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan, dimana banyak terdapat nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini yang telibat dalam konflik pemanfaatan


(6)

ruang wilayah penangkapan di lokasi penelitian. Sampel ditentukan dengan memadukan teknik purposive sampling dan teknik snowball sampling. Jumlah sampel tidak ditentukan, tergantung informasi yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara pada saat pengambilan data di lokasi penelitian. Teknik ini ditetapkan secara segaja oleh peneliti yang didasarkan atas kriteria atau pertimbangan tertentu dan sesuai dengan tujuan penelitian (Nasution,1982).

Berdasarkan hal tersebut, maka sampel dalam penelitian ini adalah nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini yang terlibat konflik pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan di lokasi penelitian, dan juga informan kunci (key informant) yang terdiri dari tokoh masyarakat nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini, serta beberapa kalangan dari lembaga terkait, seperti Subdin Perikanan dan Kelautan, HNSI, DPRD Maros, PPNS Perikanan, dan BPP Perikanan.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara; (1) pengamatan (observasi), (2) wawancara (interview), dan (3) Particypatory Rapid Appraisal (PRA). Metode analisis digunakan adalah analisis SWOT. Analisis SWOT adalah model analisis yang membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) yang digunakan untuk analisis kasus yang bersifat strategis (Hamid, 1999).

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk Penyelesaian Konflik Nelayan

Beberapa upaya penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan yang lazim dipakai adalah upaya penyelesaian konflik atau sengketa di luar pengadilan, seperti negoisiasi, mediasi, konsilidasi, dan arbitrasi.


(7)

Negosiasi merupakan salah satu upaya penyelesaian konflik atau sengketa pemanfataan sumberdaya perikanan dan kelautan melalui penyelesaian langsung antara para pihak yang berkonflik guna mencapai atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati dan diterima oleh pihak-pihak yang konflik. Dalam negosiasi para pihak yang berkonflik berunding secara langsung tanpa perantara pihak lain (ketiga) dalam mencapai kata akhir penyelesaian sengketa pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut. Penyelesaian konflik sepenuhnya dilaksanakan oleh

pihak yang berkonflik atas dasar “win-win” (sama-sama menang).

Negosiasi ini bersifat informal dan tidak terstruktur (tidak ada bentuk yang baku) serta waktunya tidak terbatas. Efisiensi dan efektivitas kelangsungan negosiasi tergantung sepenuhnya kepada para pihak yang berkonflik. Penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan dan lautan melalui media negosiasi tidak hanya terbatas mempertimbangkan aspek hukum belaka, melainkan juga faktor non hukum. Pada tingkatan negosiasi konflik pengelolaan sumberdaya perikanan, dapat saja unsur-unsur hukum tidak terlalu dipersoalkan, asalkan konflik pengelolaan mampu diselesaikan dengan tanpa merugikan para pihak yang berkonflik.

Secara yuridis, hasil negosiasi tidak mengikat, penentuan hasil negosiasi tergantung pada itikad dan kemauan baik dari masing-masing pihak yang berkonflik. Pengingkaran terhadap kesepakatan negosiasi yang telah dilaksanakan tidak saja mementahkan proses negosiasi, tetapi juga menimbulkan problem teknis tentang pelaksanaan produk negosiasi, merupakan kendala dan kegagalan negosiasi itu sendiri.

2. Mediasi

Mediasi merupakan upaya penyelesaian konflik atau sengketa pengelolaan sumberdaya perikanan dan laut melalui perantaraan dan bantuan pihak ketiga yang netral (mediator) guna memenuhi bentuk penyelesaian yang dapat disepakati pihak-pihak yang berkonflik. Peran mediator dalam mediasi adalah memberikan bantuan substantif dan prosedural kepada pihak yang berkonflik. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutus atau menetapkan suatu bentuk penyelesaian


(8)

yang dihasilkannya. Mediator hanya memberi saran, pertimbangan, dan jalan keluar yang sebaiknya disepakati. Para pihak yang berkonfliklah yang mempunyai otoritas untuk membuat keputusan berdasarkan konsensus diantara mereka sendiri.

Pada prinsipnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak perantara (mediator) yang netral dan tidak memihak serta dapat menolong para pihak untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang. Tanpa negosiasi tidak ada mediasi, karena mediasi merupakan perluasan dari negosiasi.

Bentuk penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan melalui media mediasi adalah merupakan salah satu bentuk penyelesaian konflik antara nelayan tradisional dan nelayan pengguna trawl mini yang telah dilakukan di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros dengan cara masing-masing pihak yang berkonflik membuat kesepakatan tertulis pada tanggal 11 Januari 2002 yang dimediasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Maros.

Bentuk penyelesaian konflik nelayan tersebut juga diungkapkan oleh Ketua Komisi B DPRD Maros sebagai berikut :

“Bentuk penyelesaian konflik yang telah dilakukan adalah mempertemukan tokoh-tokoh nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring klitik dan alat tangkap modofikasi yang menyerupai trawl. Dari pertemuan tersebut, akhirnya tercapai kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh masing-masing perwakilan nelayan pengguna jaring klitik dan nelayan pengguna alat tangkap modifikasi

trawl” (wawancara SM, tanggal 11 Nopember 2008).

Pendapat Ketua Komisi B DPRD Maros tersebut, dipertegas oleh penjelasan Kepala Sub Dinas Perikanan dan Kelautan Maros ;

“Bentuk penyelesaian konflik yang kita lakukan adalah hanya

menfasilitasi masyarakat nelayan, baik pengguna alat tangkap jaring klitik maupun pengguna alat tangkap modifikasi yang mirip trawl (trawl mini), kemudian mereka (nelayan) yang membuat kesepakatan tertulis. Hasil kesepakatan yang mereka buat, pada garis besarnya memuat tentang pengaturan wilayah penangkapan dan cara pengoperasian alat tangkap yang mereka gunakan. Misalnya ; nelayan pengguna jaring klitik dapat mengoperasikan alat tangkapnya pada jalur 0-3 mil dan alat tangkap yang dioperasikan harus diberi tanda khusus, terutama pada malam hari supaya dapat terlihat oleh nelayan pengguna trawl mini, sedangkan nelayan pengguna alat tangkap trawl


(9)

mini dapat mengoperasikan alat tangkapnya pada jalur di luar 3 mil

laut dan kapal yang digunakan dicat warna merah” (wawancara SA, tanggal 6 Nopember 2008).

Ketua HNSI Kabupaten Maros mengungkapkan upaya penyelesaian konflik nelayan yang terjadi di Kecamatan Bontoa telah dimediasi oleh pemerintah :

“Konflik nelayan yang terjadi di Kabupaten Maros (termasuk di Kecamatan Bontoa) telah dimediasi oleh pemerintah dengan mempertemukan beberapa tokoh masyarakat nelayan, dan kami sangat mendukung upaya yang dilakukan oleh pemerintah. Mudah-mudahan hasil kesepakatan mereka dapat diterima oleh semua

nelayan, terutama nelayan pengguna trawl mini” (wawancara LNG, tanggal 13 Desember 2008).

Bentuk penyelesaian konflik nelayan telah dimediasi oleh pemerintah, namun pada kenyataannya kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kedua pihak yang berkonflik telah dilanggar oleh nelayan.

“Tapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah hasil kesepakatan

yang telah mereka tandatangani sulit dilaksanakan karena polisi air atau PPNS Perikanan yang bertugas mengawasi kegiatan penangkapan ikan di laut tidak memiliki sarana yang memadai, seperti speed boad, sehingga sangat sulit untuk melakukan kegiatan

pengawasan di laut secara maksimal” (lanjutan wawancara SM, tanggal 11 Nopember 2008).

Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Sub Dinas Perikanan dan Kelautan Maros yang mengatakan :

“Kesepakatan yang mereka buat sendiri, masih sering dilanggar

terutama pada bulan terang, dimana banyak nelayan pengguna trawl mini melakukan kegiatan penangkapan udang pada jalur penangkapan nelayan tradisional (jalur 0-3 mil laut). Hal itulah yang sering memicu terjadinya konflik antara nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik

dan trawl mini di Bontoa” (lanjutan wawancara SA, tanggal 6 Nopember 2008).

PPNS Perikanan mengatakan bahwa untuk melaksanakan kesepakatan yang mereka telah tanda tangani dibutuhkan suatu komitmen yang kuat dari masing-masing pihak yang berkonflik :

“Kesepakatan yang mereka telah tanda tangani dibutuhkan suatu

komitmen yang kuat oleh masing-masing pihak yang berkonflik, karena kami selaku pengawas hanya bisa mengawasi pelaksanaan hasil


(10)

kesepakatan yang mereka telah buat. Dalam melaksanakan tugas pengawasan, kami tidak dilengkapi dengan sarana yang memadai seperti speed boad untuk kegiatan patroli di laut, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya pelanggaran penggunaan alat

tangkap di kawasan pesisir Kabupaten Maros” (wawancara HM, tanggal 10 Desember 2008).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas menunjukkan bahwa upaya penyelesaian konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan di Kecamatan Bontoa telah dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat nelayan, baik nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik maupun nelayan pengguna alat tangkap trawl mini.

Bentuk penyelesaian konflik tersebut dilakukan melalui media penyelesaian konflik di luar pengadilan dengan proses negoisasi dan mediasi. Bentuk penyelesaian konflik pemanfaatan ruang wilayah penangkapan melalui media negosiasi dan mediasi yang telah dilakukan antara nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan nelayan pengguna alat tangkap trawl mini di lokasi penelitian adalah masing-masing pihak yang berkonflik membuat kesepakatan tertulis pada tanggal 11 Januari 2002, adapun isi kesepakatan tersebut adalah :

1) Kelompok nelayan tradisional (termasuk nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik) dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan harus mematuhi ; (a) tidak meninggalkan alatnya yang telah dipasang dan melengkapi jaring tersebut dengan rambu-rambu pelampung yang mudah dilihat dan diberi lampu pada malam hari, (b) perahu motor/tanpa motor nelayan tradisional diberi tanda pengenal dengan mengecat perahu tersebut minimal seperempat lambung kiri dan kanan dengan cat berwarna putih dan memberi nomor (registrasi) pada setiap perahu, dan (c) batas jalur penangkapan ikan yaitu pada jalur I (0-3 mil) dan dapat memasuki jalur penangkapan lainnya.

2) Kelompok nelayan pengguna pukat yang merupai jaring trawl (trawl mini) dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan harus memenuhi ; (a) tidak mengoperasikan alat tangkap pukat yang merupai trawl di dalam jalur penangkapan ikan nelayan tradisional (0-3 mil) dan hanya


(11)

mengoperasikan alatnya di luar jalur tersebut atau yang batasanya adalah bagan tangcap paling dalam, (b) kapal/motor tempel harus diberi tanda dengan mengecat kapal/perahu tersebut minimal seperempat lambung kiri dan kanan dengan cat berwarna merah dan memberi nomor (registrasi) pada setiap perahu/kapal, dan (c) tidak mengoperasikan dan memproduksi lagi alat tangkap ikan yang dimodifikasi yang fungsi dan kegunaan seperti alat tangkap trawl dan hanya mengoperasikan alat sesuai dengan izin yang dimiliki.

3) Bilamana kedua belah pihak yang berkonflik tidak mentaati kesepakatan tersebut, maka pihak yang melanggar akan mendapat sanksi berupa ; (a) izin operasinya dicabut oleh pihak yang berwenang dan tidak lagi diperkenankan melakukan operasi, dan (b) menanggung kerugian yang dialami oleh pihak yang dirugikan dan akan dituntut sesuai hukum yang berlaku.

Kesepakatan tersebut dimediasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Maros, yang terdiri dari unsur Muspida Kabupaten Maros, DPRD Maros, Subdin Perikanan dan Kelautan Maros, unsur Muspika Kecamatan Bontoa, dan PPNS Perikanan.

B. Pihak Yang Terlibat Dalam Proses Penyelesaian Konflik

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik nelayan di Kacamatan Bontoa Kabupaten Maros, diungkapkan oleh Kepala Sub Dinas Perikanan dan Kelautan Maros berikut ini :

“Bentuk penyelesaian konflik nelayan di Maros, melibatkan banyak

pihak, seperti unsur Muspida (Bupati, Kejaksaan, Polres, Kodim Maros), DPRD, Subdin Perikanan dan Kelautan, PPNS Perikanan, unsur Muspika (Camat, Polsek, Korem Bontoa), Kepala Desa, dan tokoh-tokoh masyarakat nelayan, baik nelayan pengguna alat tangkap

jaring klitik maupun nelayan pengguna trawl mini” (lanjutan wawancara SA, tanggal 6 Nopember 2008).

Pendapat Kapala Sub Dinas Perikanan dan Kelautan Maros tersebut dibenarkan oleh Kepala BPP Perikanan :


(12)

“Penyelesaian konflik nelayan di Kecamatan Bontoa melibatkan

berbagai unsur, seperti Kepala Desa, Camat, Kepolisian, Bupati, DPRD, dan tokoh-tokoh masyarakat yang berkonflik” (wawancara DL, tanggal 6 Nopember 2007).

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua HNSI Kabupaten Maros, yang mengatakan bahwa :

“Upaya penyelesaian konflik nelayan di Kabupaten Maros sudah cukup

maksimal karena telah melibatkan semua pihak terkait, seperti mayarakat nelayan, pemerintah dan lembaga pengawasan yang terdiri

dari kejaksaan, kepolisian, PPNS Perikanan dan DPRD Maros”

(lanjutan wawancara LNG, tanggal 13 Desember 2008).

Hal tersebut juga diungkapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat nelayan pengguna jaring klitik yang mengatakan bahwa :

“Upaya penyelesaian sudah pernah dilakukan dengan melibatkan

tokoh masyarakat nelayan dan unsur pemerintah, seperti Camat, Bupati, Sub Dinas Perikanan dan Kelautan, BPP Perikanan, dan Dinas Perhubungan dan Komunikasi Kabupaten Maros. Namun hasil tidak memuaskan nelayan, khususnya nelayan pengguna jaring klitik karena masih banyak nelayan pengguna trawl mini yang masuk di wilayah

penangkapan nelayan kecil” (wawancara HL, tanggal 13 Desember 2008).

Sedangkan tokoh masyarakat nelayan pengguna alat tangkap trawl mini mengungkapkan bahwa :

“Upaya penyelesaian konflik nelayan sudah pernah dilakukan dengan

membuat kesepakatan antara nelayan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat nelayan dan unsur pemda, DPRD, dan perikanan. Namun hasilnya sulit dilaksanakan karena nelayan pengguna jaring klitik sebagian besar meninggalkan alat tangkapnya dan tidak memiliki tanda-tanda berupa lampu yang dapat dilihat oleh nelayan pengguna

trawl mini” (wawancara SW, tanggal 13 Desember 2008).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas menunjukkan bahwa pihak-pihak yang telibat dalam proses penyelesaian konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan di Kecamatan Bontoa, yaitu tokoh-tokoh masyarakat pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini, unsur Muspida Maros (Bupati, Kejaksaan, Polres, Kodim Maros), unsur Muspika Bontoa (Camat, Polsek, Korem Bontoa), DPRD, Dinas Perhubungan dan


(13)

Komunikasi, Sub Dinas Perikanan dan Kalautan Maros, PPNS Perikanan, BPP Perikanan, dan Kepala Desa.

C. Strategi Pemanfaatan Ruang Wilayah Penangkapan Ikan

Untuk menentukan strategi yang bersifat kasus pada umumnya digunakan model analisis SWOT. Model analisis ini membandingkan faktor eksternal yang berupa peluang dan ancaman dengan faktor internal yang berupa kekuatan dan kelemahan. Penentuan strategi pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan dengan analisis SWOT digunakan pendekatan partisipatoris dengan tahapan sebagai berikut :

1. Tahapan Pengumpulan Data

Pada dasarnya tahapan ini tidak hanya sekedar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra analisis. Pada tahap ini data-data yang dikumpulkan dari responden dan informan melalui wawancara dan PRA, selanjutnya dibagi menjadi dua faktor, yaitu data yang menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Hasil pengklasifikasian data internal dan eksternal tersebut dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil identifikasi data internal dan eksternal

Faktor Internal Faktor Eksternal

1. Daerah penangkapan relatif dekat dan masih baik kondisinya.

2. Sumberdaya laut dapat dimanfaatkan oleh nelayan kapan dan dimana saja. 3. PPNS perikanan dan Polisi air dan

udara (Polairud) siap menegakkan hukum di wilayah perairan.

4. Daerah penangkapan relatif dekat dan masih baik kondisinya.

5. Sering terjadi konflik kepentingan antar stakeholders di daerah penangkapan ikan.

6. Adanya perbedaan persepsi nelayan terhadap laut sebagai sumberdaya milik bersama.

7. Jumlah PPNS perikanan dan Polairud sangat terbatas.

8. Masih banyak alat tangkap yang

1. Banyak kegiatan stakeholders yang merusak kondisi perairan.

2. Belum ada tata ruang wilayah penangkapan ikan.

3. Sarana yang mendukung (seperti speed boad) upaya penegakan hukum di wilayah perairan sangat terbatas.

4. Banyak alat tangkap yang motode operasinya merusak lingkungan perairan. 5. Perairan lepas pantai belum dimanfaatkan

secara optimal.

6. Nelayan menyadari arti penting sumberdaya laut sebagai sumberdaya milik bersama.

7. Political will dari pemerintah terhadap upaya penegakan hukum di wilayah perairan besar.


(14)

berteknologi tradisional.

9. Kapal/perahu sebagian besar ukuran tonasenya kecil.

10. Perahu sudah banyak menggunakan mesin.

11. Tokoh masyarakat nelayan sangat mendukung upaya penyelesaian konflik.

12. Kepres No. 39 tahun 1980 dan SK Mentan No. 392 tahun 1999.

13. Manyarakat nelayan terbuka untuk diajak berdialog tentang upaya penyelesaian konflik yang sedang terjadi.

14. Jumlah nelayan meningkat setiap tahun.

15. Belum adanya kesamaan persepsi nelayan tentang alat tangkap yang dilarang penggunaannya.

16. Nelayan mulai pesimis terhadap model penyelesaian konflik yang telah dilaksanakan.

17. Pemahaman nelayan terhadap Kepres No. 39 tahun 1980 dan SK Mentan No. 392 tahun 1999 sangat rendah.

18. Tingkat pendidikan nelayan masih rendah.

dikembangkan.

9. Kapal/perahu yang ada masih memungkinkan untuk dikembangkan ukuran tonasenya.

10. Kapal/perahu hanya sebagian kecil mampu beroperasi pada perairan lepas pantai.

11. Meningkatnya penggunaan teknologi usaha penangkapan.

12. Dukungan pemerintah daerah terhadap upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan cukup baik.

13. Nilai kepatutan terhadap tokoh masyarakat masih tinggi.

14. Nelayan dapat menjadi profesional apabila dibina dengan baik.

15. Lemahnya penegakan hukum terhadap penggunaan alat/cara penangkapan ilegal. 16. Sosialisasi Kepres No. 39 tahun 1980 dan SK Mentan tahun 1999 terhadap nelayan masih rendah.

17. Kurangnya pembinaan dan penyuluhan yang dilakukan instansi terkait.

18. Banyak nelayan pendatang dari daerah lain.

Sumber : Hasil olahan data primer, 2009

Setelah faktor-faktor internal dan eksternal diklasifikasikan, selanjutnya faktor-faktor tersebut diidentifikasi lagi menjadi empat faktor, yaitu faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Hasil identifikasi faktor tersebut dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman terhadap upaya penyelesaian konflik nelayan dalam rangka pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan

Kekuatan (S)

1. Sumberdaya laut dapat dimanfaatkan oleh nelayan kapan dan dimana saja.

2. Tokoh masyarakat nelayan sangat mendukung upaya penyelesaian konflik. 3. Kepres No. 39 tahun 1980 dan SK Mentan

No. 392 tahun 1999.

4. Masyarakat nelayan terbuka untuk diajak berdialog tentang upaya penyelesaian konflik yang sedang terjadi.

5. Daerah penangkapan relatif dekat dan masih baik kondisinya.

6. Alat tangkap terdiri dari berbagai macam jenis.

7. Jumlah nelayan yang meningkat setiap

Peluang (O)

1. Meningkatnya penggunaan teknologi usaha penangkapan.

2. Dukungan pemerintah daerah terhadap upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan cukup baik.

3. Nelayan menyadari arti penting sumberdaya laut sebagai sumberdaya milik bersama.

4. Nilai kepatutan terhadap tokoh masyarakat masih tinggi.

5. Perairan lepas pantai belum dimanfaatkan secara optimal.

6. Alat tangkap masih memungkinkan untuk dikembangkan.


(15)

tahun.

8. PPNS perikanan dan Polisi air dan udara (Polairud) siap menegakkan hukum di wilayah perairan.

9. Perahu sudah banyak menggunakan mesin.

7. Nelayan dapat menjadi profesional apabila dibina dengan baik.

8. Political will dari pemerintah terhadap upaya penegakan hukum di wilayah perairan besar.

9. Kapal/ perahu yang ada masih memungkinkan untuk dikembangkan ukuran tonasenya.

Kelemahan (W)

1. Belum adanya kesamaan persepsi nelayan tentang alat langkap yang dilarang penggunaannya.

2. Adanya perbedaan persepsi nelayan terhadap laut sebagai sumberdaya milik bersama.

3. Nelayan mulai pesimis terhadap model penyelesaian konflik yang telah dilaksanakan.

4. Pemahaman nelayan terhadap Kepres 39 tahun 1980 dan SK Mentan No. 392 tahun 1999 sangat rendah.

5. Sering terjadi konflik kepentingan antar stakeholders di daerah penangkapan ikan. 6. Masih banyak alat tangkap yang

berteknologi tradisional.

7. Tingkat pendidikan nelayan masih rendah. 8. Jumlah PPNS perikanan dan Polairud

sangat terbatas.

9. Kapal/ perahu sebagian besar ukuran tonasenya kecil.

Ancaman (T)

1. Lemahnya penegakan hukum terhadap pengguna alat/cara penangkap ilegal. 2. Belum ada tata ruang wilayah

penangkapan ikan.

3. Sosialisasi Kepres No. 39 tahun 1980 dan SK Mentan No. 392 tahun 1999 terhadap nelayan masih rendah.

4. Kurannya pembinaan dan penyuluhan yang dilakukan instansi terkait.

5. Banyak kegiatan stakeholders yang merusak kondisi perairan.

6. Banyak alat tangkap yang motode operasinya merusak lingkungan perairan. 7. Banyak nelayan pendatang dari daerah

lain.

8. Sarana yang mendukung (seperti speed boad) upaya penegakan hukum di wilayah perairan sangat terbatas.

9. Kapal/ perahu hanya sebagian kecil mampu beroperasi pada perairan lepas pantai.

Sumber : Hasil olahan data primer, 2009

2. Tahapan Analisis

Faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dipilih secara partisipatif untuk mendapatkan masing-masing lima faktor kekuatan dan kelemahan internal, serta lima faktor peluang dan ancaman eksternal yang dianggap paling kuat. Kelima faktor kekuatan dan kelemahan internal, serta lima faktor peluang dan ancaman eksternal tersebut dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang paling berpengaruh terhadap upaya pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan berdasarkan hasil penilaian nelayan secara partisipatif

Kekuatan (S)

1. Daerah penangkapan relatif dekat dan masih baik kondisinya.

2. Sumberdaya laut dapat dimanfaatkan oleh nelayan kapan dan dimana saja.

Peluang (O)

1. Perairan lepas pantai belum dimanfaatkan secara optimal.

2. Nelayan menyadari arti penting sumberdaya laut sebagai sumberdaya


(16)

3. PPNS perikanan dan Polisi air dan udara (Polairud) siap menegakkan hukum di wilayah perairan.

4. Alat tangkap terdiri dari berbagai macam jenis.

5. Perahu sudah banyak menggunakan mesin.

milik bersama.

3. Political will dari pemerintah terhadap upaya penegakan hukum di wilayah perairan besar.

4. Alat tangkap masih memungkinkan untuk dikembangkan.

5. Kapal/ perahu yang ada masih memungkinkan untuk dikembangkan ukuran tonasenya.

Kelemahan (W)

1. Sering terjadi konflik kepentingan antar stakeholders di daerah penangkapan ikan. 2. Adanya perbedaan persepsi nelayan terhadap laut sebagai sumberdaya milik bersama.

3. Jumlah PPNS perikanan dan Polairud sangat terbatas.

4. Masih banyak alat tangkap yang berteknologi tradisional.

5. Kapal/ perahu sebagian besar ukuran tonasenya kecil.

Ancaman (T)

1. Banyak kegiatan stakeholders yang merusak kondisi perairan.

2. Belum ada tata ruang wilayah penangkapan ikan.

3. Sarana yang mendukung (seperti speed boad) upaya penegakan hukum di wilayah perairan sangat terbatas.

4. Banyak alat tangkap yang motode operasinya merusak lingkungan perairan. 5. Kapal/ perahu hanya sebagian kecil mampu beroperasi pada perairan lepas pantai.

Sumber : Hasil olahan data primer, 2009

Kelima faktor tersebut, selanjutnya diberi bobot yang nilai kumulatifnya dimulai dari 1,00 (paling penting) sampai dengan 0,00 (tidak penting), faktor-faktor tersebut memberi dampak terhadap proses perencanaan dan pelaksanaan dalam upaya pemanfaatan ruang wilayah penangkapan sehingga dapat meminimalkan terjadinya konflik nelayan. Semua bobot tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi skor tolal 1,00.

Kemudian faktor-faktor tersebut diberi skala rating yang mulai dari skala empat (outstanding) sampai dengan satu (poor) berdasarkan pengaruh setiap faktor terhadap kondisi penyelesaian konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan di wilayah pesisir Kacamatan Bontoa Kabupaten Maros. Pemberian nilai rating peluang yang paling besar diberi nilai empat (4), tetapi jika peluangnya kecil terhadap upaya penyelesaian konflik diberi rating satu (1), sendangkan pemberian nilai ancaman adalah sebaliknya. Jika ancaman besar diberi nilai satu (1), tetapi bila ancamannya kecil diberi nilai empat (4).

Begitu juga dengan pemberian nilai skala rating faktor internal, kekuatan yang paling besar diberi nilai empat (4), tetapi jika kekuatannya kecil terhadap upaya penyelesaian konflik pemanfaatan ruang wilayah


(17)

penangkapan ikan diberi nilai satu (1), sedangkan pemberian nilai kelemahan adalah sebaliknya. Jika kelemahan besar diberi nilai satu (1), tetapi bila kelemahannya kecil diberi nilai empat (4).

Tabel 4. Faktor strategi eksternal

Faktor Strategi Eksternal Bobot (B)

Rating (R)

B x R Komentar

Peluang (O)

1. Perairan lepas pantai belum dimanfaatkan secara optimal. 2. Nelayan menyadari arti

penting sumberdaya laut sebagai sumberdaya milik bersama.

3. Political will dari pemerintah terhadap upaya penegakan hukum di wilayah perairan.

4. Alat tangkap masih

memungkinkan untuk

dikembangkan.

5. Kapal/ perahu yang ada masih

memungkinkan untuk

dikembangkan ukuran

tonasenya. 0,15 0,10 0,18 0,10 0,15 4 3 3 4 4 0,60 0,30 0,54 0,40 0,60

- Peluang utama yaitu : (1) perairan lepas pantai belum dimanfaatkan secara optimal, dan (2) kapal/ perahu yang ada masih memungkinkan untuk

dikembangkan tonasenya.

- Nilai rata-rata : 0,488

Ancaman (T)

1. Banyak kegiatan stakeholders

yang merusak kondisi

perairan.

2. Belum ada tata ruang wilayah penangkapan ikan.

3. Sarana yang mendukung (seperti speed boad) upaya penegakan hukum di wilayah perairan sangat terbatas. 4. Banyak alat tangkap yang

metode operasinya merusak lingkungan perairan.

5. Kapal/ perahu hanya sebagian kecil beroperasi pada perairan lepas pantai.

0,05 0,07 0,10 0,05 0,05 1 2 2 1 2 0,05 0,14 0,20 0,05 0,10

- Ancaman utama yaitu : (1) banyak kegiatan

stakeholders yang merusak kondisi perairan, dan (2) banyak alat tangkap

yang metode

operasinya merusak lingkungan perairan. - Nilai rata-rata :

0,108

Total Skor 1,00 2,98

Sumber : Hasil olahan data primer, 2009

Faktor strategi eksternal pada tabel 4 di atas, menunjukkan bahwa nilai kumulatif rata-rata untuk faktor peluang sebesar 0,488 lebih besar daripada nilai kumulatif rata-rata faktor ancaman yang hanya sebesar 0,108. Keadaan


(18)

ini mengindikasikan bahwa peluang untuk menyelesaikan konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan lebih besar daripada ancaman yang akan menjadi hambatan dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.

Ancaman yang paling besar dalam upaya penyelesaian konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan, yaitu; (1) banyaknya kegiatan stakeholders yang merusak kondisi perairan, dan (2) banyaknya alat tangkap yang metode operasinya merusak lingkungan perairan. Sedangkan yang menjadi peluang besar dalam proses penyelesain konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan, adalah; (1) perairan lepas pantai belum dimanfaatkan secara optimal, dan (2) kapal/ perahu yang ada masih memungkinkan untuk dikembangkan ukuran tonasenya.

Pemanfaatan wilayah perairan lepas pantai secara optimal dengan mengarahkan dan mengembangkan ukuran tonase kapal/ perahu-perahu yang dioperasikan nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah pesisir. Hal tersebut akan mengurangi kegiatan stakeholders dan kegiatan penangkapan ikan yang metode operasinya dapat merusak kondisi wilayah pesisir.

Tabel 5. Faktor strategi internal

Faktor Strategi Internal Bobot (B)

Rating (R)

B x R Komentar

Kekuatan (S)

1. Daerah penangkapan relatif

dekat dan masih baik

kondisinya.

2. Sumberdaya laut dapat dimanfaatkan oleh nelayan kapan dan dimana saja.

3. PPNS perikanan dan Polairud siap menegakkan hukum di wilayah perairan.

4. Alat tangkap terdiri dari berbagai macam jenis.

5. Perahu sudah banyak

menggunakan mesin. 0,10 0,10 0,15 0,10 0,15 3 4 4 3 3 0,30 0,40 0,60 0,30 0,45

- Kekuatan utama yaitu : (1) kesiapan PPNS perikanan dan Polairud untuk menegakkan

hukum, dan (2)

sudah banyak

perahu yang

menggunakan mesin.

- Nilai rata-rata : 0,410

Kelemahan (W)

1. Sering terjadi konflik

kepentingan antar

0,08 1 0,08 - Kelemahan utama


(19)

stakeholders di daerah penangkapan ikan.

2. Adanya perbedaan persepsi nelayan terhadap laut sebagai sumberdaya milik bersama. 3. Jumlah PPNS perikanan dan

Polairud sangat terbatas. 4. Masih banyak alat tangkap

yang berteknologi tradisional. 5. Kapal/ perahu sebagian besar

ukuran tonasenya kecil.

0,10

0,10 0,10

0,07

2

1 2

1

0,20

0,10 0,20

0,07

terjadi konflik kepentingan

stakeholders di daerah

penangkapan ikan,

dan (2)

keterbatasan jumlah PPNS perikanan dan Polairud.

- Nilai rata-rata : 0,130

Total Skor 1,00 2,70

Sumber : Hasil olahan data primer, 2009

Faktor strategi internal pada tabel 5 di atas, menunjukkan bahwa nilai kumulatif rata-rata untuk faktor kekuatan sebesar 0,410 lebih besar daripada nilai kumulatif rata-rata faktor kelemahan yang hanya sebesar 0,130. Keadaan ini mengindikasikan bahwa faktor kekuatan untuk penyelesaian konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan lebih besar daripada faktor kelemahan yang akan menghambat upaya penyelesaian konflik tersebut.

Kelemahan utama dalam upaya penyelesaian konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan, yaitu; (1) sering terjadi konflik kepentingan stakeholders di daerah penangkapan ikan, dan (2) keterbatasan jumlah PPNS perikanan dan Polairud yang bertugas melakukan pengawasan kegiatan penangkapan ikan di perairan. Sedangkan yang menjadi faktor kekuatan besar dalam proses penyelesain konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan, adalah ;(1) adanya kesiapan PPNS perikanan dan Polairud untuk menegakkan hukum di wilayah perairan, dan (2) sudah banyak perahu nelayan sudah menggunakan mesin, walaupun ukuran tonasenya rata-rata masih kecil.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan peningkatan pengawasan dan pengendalian terhadap pengoperasian alat tangkap yang digunakan nelayan dalam melakukan operasi penangkapan ikan di laut berdasarkan jalur-jalur penangkapan ikan yang telah ditetapkan pemerintah dengan mengoptimalkan peran PPNS perikanan dan polairud yang ada.


(20)

Disamping hal tersebut, juga dapat dilakukan dengan mengarahkan penahu motor nelayan yang memiliki daya jelajah yang besar untuk melakukan kegiatan penangkapan di wilayah lepas pantai, sehingga dapat meminimalkan terjadinya konflik nelayan pada jalur penangkapan I (khususnya pada jarak 0-3 mil ke arah laut).

3. Tahapan Pengambilan Keputusan Strategi

Tahap pengambilan keputusan strategi dilakukan dengan cara merumuskan beberapa alternatif strategi penyelesaian konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros. Hasil perumusan strategi penyelesaian konflik yang dimaksud adalah sebagai berikut:

3.1. Strategi SO

Potensi kekuatan terbesar yang dimiliki dalam upaya pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan di kawasan pesisir Kabupaten Maros adalah; (1) sebagian besar perahu nelayan yang telah menggunakan mesin, (2) alat tangkap yang digunakan nelayan cukup bervasiasi, dan (3) adanya kesiapan aparat pengawasan (PPNS perikanan dan Polairud) untuk melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap nelayan melakukan penangkapan ikan secara ilegal. Faktor kekuatan ini merupakan salah satu potensi dalam rangka meminimalkan terjadinya konflik nelayan di wilayah pesisir.

Strategi yang dipilih adalah; (1) tingkatkan pengawasan terhadap alat tangkap yang digunakan nelayan dalam melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah perairan dengan mematuhi jalur-jalur penangkapan yang telah ditetapkan pemerintah, dan (2) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perairan lepas pantai dengan mengarahkan kapal/perahu yang memiliki daya jelajah besar.


(21)

Tabel 6. Matrik penyusunan strategi pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros

IFAS

EFAS

Kekuatan (S)

1. Daerah penangkapan relatif

dekat dan masih baik

kondisinya.

2. Sumberdaya laut dapat

dimanfaatkan oleh nelayan kapan dan dimana saja. 3. PPNS perikanan dan Polairud

siap menegakkan hukum di wilayah perairan.

4. Alat tangkap terdiri dari terdiri dari berbagai macam jenis.

5. Perahu sudah banyak

menggunakan mesin.

Kelemahan (W)

1. Sering terjadi konflik

kepentingan antar

stakeholders di daerah penangkapan ikan.

2. Adanya perbedaan

persepsi nelayan terhadap laut sebagai sumberdaya milik bersama.

3. Jumlah PPNS perikanan

dan Polairud sangat

terbatas.

4. Masih banyak alat tangkap

yang berteknologi

tradisional.

5. Kapal/perahu sebagian

besar ukuran tonasenya kecil.

Peluang (O)

1. Perairan lepas pantai belum dimanfaatkan secara optimal.

2. Nelayan menyadari arti

penting sumberdaya laut

sebagai sumberdaya milik

bersama.

3. Political will dari pemerintah terhadap upaya penegakan hukum di wilayah perairan.

4. Alat tangkap masih

memungkinkan untuk

dikembangkan.

5. Kapal/perahu yang ada masih

memungkinkan untuk

dikembangkan ukuran

tonasenya.

Strategi SO

1. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan di

wilayah perairan lepas

pantai dengan

mengarahkan kapal/perahu yang memiliki daya jelajah yang besar.

2. Tingkatkan pengawasan

terhadap alat tangkap yang

dimiliki nelayan dalam

melakukan operasi

penangkapan ikan di

wilayah perairan dengan

mematuhi jalur-jalur

penangkapan yang telah ditetapkan.

Strategi WO

1. Kembangkan teknologi

alat tangkap yang telah

ada dengan

memperhatikan

kepentingan stakeholders

lainnya.

2. Penataan jalur-jalur

daerah penangkapan ikan berdasarkan SK Mentan No. 392 tahun 1999.

Ancaman (T)

1. Banyak kegiatan

stakeholders yang merusak kondisi perairan.

2. Belum ada tata ruang wilayah penangkapan ikan.

3. Sarana yang mendukung

(seperti speed boad) upaya

penegakan hukum di wilayah perairan sangat terbatas. 4. Banyak alat tangkap yang

metode operasinya merusak lingkungan perairan.

5. Kapal/perahu hanya

sebagian kecil beroperasi

Strategi ST

1. Optimalkan peran PPNS

perikanan dan Polairud

dalam melakukan

pengawasan terhadap alat tangkap yang tidak selektif,

produktif, dan merusak

lingkungan yang beroperasi di wilayah perairan. 2. Perahu yang telah memiliki

mesin ditingkatkan ukuran

tonasenya agar dapat

mengoperasikan alat

tangkapnya di wilayah

perairan lepas pantai.

Strategi WT

1. Petugas PPNS perikanan dan Polairud yang ada harus aktif memberikan

pembinaan dan

penyuluhan kepada

nelayan tentang jenis alat

tangkap yang izinkan

beserta wilayah

beroperasinya.

2. Pengaturan wilayah/

daerah penangkapan ikan

harus melibatkan

stakeholders yang berkepentingan terhadap


(22)

pada perairan lepas pantai. pemanfaatan sumberdaya perikanan dan lautan.

Sumber : Hasil olahan data primer, 2009

3.2. Strategi ST

Kekuatan terbesar dalam upaya penyelesaian konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan adalah; (1) sebagian besar perahu nelayan yang telah menggunakan mesin, (2) alat tangkap yang digunakan nelayan cukup bervasiasi, (3) adanya kesiapan aparat pengawasan (PPNS perikanan dan polairud) untuk melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap nelayan melakukan penangkapan ikan secara ilegal, dan (4) adanya kesadaran nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan dimana dan kapan saja sesuai aturan yang tetapkan pemerintah.

Strategi yang dipilih adalah; (1) optimalkan peran PPNS perikanan dan Polairud dalam melakukan pengawasan terhadap alat tangkap yang tidak selektif, produktif, dan merusak lingkungan yang beroperasi di wilayah perairan Kabupaten Maros, dan (2) tingkatkan ukuran tonase perahu-perahu yang telah memiliki mesin, sehingga dapat melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah perairan lepas pantai.

3.3. Strategi WO

Faktor yang menjadi kelemahan besar dalam upaya pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros adalah; (1) sering terjadi konflik kepentingan stakeholders di daerah penangkapan ikan khususnya pada jalur I (0-6 mil laut), (2) adanya perbedaan persepsi nelayan terhadap laut sebagai sumberdaya milik bersama, (3) masih banyak alat tangkap yang digunakan nelayan berteknologi tradisional, dan (4) keterbatasan jumlah dan sarana yang dimiliki PPNS perikanan dan Polairud dalam melakukan pengawasan di wilayah perairan Kabupaten Maros.

Strategi yang dipilih adalah; (1) kembangkan teknologi alat tangkap yang telah ada dengan memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya,


(23)

dan (2) pembuatan tata ruang wilayah penangkapan ikan di wilayah pesisir Kabupaten Maros dengan memperhatikan SK Mentan No. 392 tahun 1999 tentang pengaturan jalur-jalur penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia.

3.4. Strategi WT

Kelemahan terbesar dalam upaya pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros adalah; (1) sering terjadi konflik kepentingan stakeholders di daerah penangkapan ikan khususnya pada jalur I (0-6 mil laut), (2) adanya perbedaan persepsi nelayan terhadap laut sebagai sumberdaya milik bersama, (3) masih banyak alat tangkap yang digunakan nelayan berteknologi tradisional, dan (4) keterbatasan jumlah dan sarana yang dimiliki PPNS perikanan dan Polairud dalam melakukan pengawasan di wilayah perairan Kabupaten Maros.

Strategi yang dipilih adalah; (1) petugas PPNS perikanan dan Polairud yang telah ada, harus aktif memberikan pembinaan dan penyuluhan terhadap nelayan tentang jenis-jenis alat tangkap yang izinkan berserta wilayah operasinya, dan (2) penataan tata ruang wilayah penangkapan ikan harus melibatkan semua stakeholders yang berkepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan dan lautan, sehingga kebijakan penganturan wilayah penangkapan ikan tersebut dapat diterima oleh semua pihak.

KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil dan pembahasan dalam penilitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Bentuk penyelesaian konflik pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan yang telah dilakukan melalui media negoisasi dan mediasi dengan melibatkan tokoh masyarakat nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini, unsur Muspida Maros, unsur Muspika Bontoa, DPRD Maros, Dinas Perhubungan dan Komunikasi, Sub Dinas Perikanan dan Kelautan Maros, PPNS Perikanan, BPP Perikanan, dan Kepala Desa. 2. Strategi penyelesaian konflik yang perlu dilakukan adalah; (1) tingkatkan


(24)

melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah perairan dengan mematuhi jalur-jalur penangkapan yang telah ditetapkan pemerintah, (2) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perairan lepas pantai dengan mengarahkan kapal/perahu yang memiliki daya jelajah besar, (3) optimalkan peran PPNS perikanan dan Polairud dalam melakukan pengawasan terhadap alat tangkap yang tidak selektif, produktif, dan merusak lingkungan yang beroperasi di wilayah perairan Kabupaten Maros, (4) tingkatkan ukuran tonase perahu-perahu yang telah memiliki mesin, sehingga dapat melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah perairan lepas pantai, (5) kembangkan teknologi alat tangkap yang telah ada dengan memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, (6) pembuatan tata ruang wilayah penangkapan ikan di wilayah pesisir Kabupaten Maros dengan memperhatikan SK Mentan No. 392 tahun 1999 tentang pengaturan jalur-jalur penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia, (7) penataan tata ruang wilayah penangkapan ikan harus melibatkan semua stakeholders yang berkepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan dan lautan, sehingga kebijakan penganturan wilayah penangkapan ikan tersebut dapat diterima oleh semua pihak, dan (8) petugas PPNS perikanan dan Polairud yang telah ada, harus aktif memberikan pembinaan dan penyuluhan terhadap nelayan tentang jenis-jenis alat tangkap yang izinkan berserta wilayah operasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, S. 2003. Masalah dan Konflik yang Terjadi Antara Nelayan Tangkap Trawl Mini dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Maros. Makalah disajikan pada FKPPS Propinsi Sulawesi Selatan. Dinas Pertanian Kabupaten Maros, Maros.

Dahuri, R. 2001. Kebijakan Nasional Pengelolaan Wilayah Pesisir. Makalah disajikan dalam Lokakarya dan Dialog Kebijaksanaan Pengendalian


(25)

Kerusakan Lingkungan di Teluk Kendari, Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman, Kendari, 22 Oktober.

Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. 2003. Peta Masalah Perikanan dan Kelautan serta Penanggulangannya di Sulawesi Selatan. Makalah disajikan dalam Seminar Pemantapan Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif Bidang Kelautan dan Perikanan Melalui Mekanisme ADR, Kerjasama UNHAS - DKP RI, Makassar, 14-15 Juli.

Farida. 2003. Peraturan dan Kelembagaan Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan di Kabupaten Pangkep, Kerjasama INCUNE UNHAS-MCRMP Kabupaten Pangkep, Makassar, 2-11 Juli.

Hamid, S. 1999. Lingkungan Strategis. Lembaga Adinistrasi Negara – Republik Indonesia, Jakarta.

Idris, I. 2001. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Makalah disajikan dalam Lokakarya Regional Pulau Sulawesi, Kerjasama Lembaga Studi dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Yayasan ELS@P Makassar, dan Partnership for Governance in Indonesia, Makassar, 12-14 Maret.

Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian Maros. 2003. Programa Penyuluhan Pertanian Tahun 2003. Proyek BPPL-KIPP, Maros.

Pollnac, Richard B. 1984. Investigation Territorial Use Right Among Fishermen, dalam Maritime Institutions in the Western Pasific. National Museum of Ethnology, Osaka.

Rangkuti, P. 2002. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Saad, S. 2003. Sejarah Hukum Sumberdaya Pesisir dan Laut. Makalah disajikan dalam Diseminasi dan Lokakarya Praktek-Praktek Terbaik Kegiatan Pembangunan Sub-Sektor Perikanan se-Sulawesi,


(26)

Kerjasama Dinas Perikanan dan Kelautan-JICA, Makassar, 17-19 Pebruari.

Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik, untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Satria, A., A. Umbari, A. Fauzi, A. Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M. Karim, S. Saad, W. Oktariza, dan Z. Imran. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta. Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Penerbit Alfabeta, Bandung Wahyono, A., A.R. Patji, D.S. Laksono, R. Idrawasih, Sudiyono, dan S. Ali.

2000. Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia. Media Pressindo, Yogyakarta.


(1)

Tabel 6. Matrik penyusunan strategi pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros

IFAS

EFAS

Kekuatan (S)

1. Daerah penangkapan relatif dekat dan masih baik kondisinya.

2. Sumberdaya laut dapat dimanfaatkan oleh nelayan kapan dan dimana saja. 3. PPNS perikanan dan Polairud

siap menegakkan hukum di wilayah perairan.

4. Alat tangkap terdiri dari terdiri dari berbagai macam jenis. 5. Perahu sudah banyak

menggunakan mesin.

Kelemahan (W) 1. Sering terjadi konflik

kepentingan antar

stakeholders di daerah penangkapan ikan. 2. Adanya perbedaan

persepsi nelayan terhadap laut sebagai sumberdaya milik bersama.

3. Jumlah PPNS perikanan dan Polairud sangat terbatas.

4. Masih banyak alat tangkap yang berteknologi tradisional.

5. Kapal/perahu sebagian besar ukuran tonasenya kecil.

Peluang (O)

1. Perairan lepas pantai belum dimanfaatkan secara optimal. 2. Nelayan menyadari arti

penting sumberdaya laut sebagai sumberdaya milik bersama.

3. Political will dari pemerintah terhadap upaya penegakan hukum di wilayah perairan. 4. Alat tangkap masih

memungkinkan untuk dikembangkan.

5. Kapal/perahu yang ada masih memungkinkan untuk dikembangkan ukuran tonasenya.

Strategi SO

1. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perairan lepas

pantai dengan

mengarahkan kapal/perahu yang memiliki daya jelajah yang besar.

2. Tingkatkan pengawasan terhadap alat tangkap yang dimiliki nelayan dalam melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah perairan dengan mematuhi jalur-jalur penangkapan yang telah ditetapkan.

Strategi WO

1. Kembangkan teknologi alat tangkap yang telah

ada dengan

memperhatikan

kepentingan stakeholders

lainnya.

2. Penataan jalur-jalur daerah penangkapan ikan berdasarkan SK Mentan No. 392 tahun 1999.

Ancaman (T)

1. Banyak kegiatan

stakeholders yang merusak kondisi perairan.

2. Belum ada tata ruang wilayah penangkapan ikan.

3. Sarana yang mendukung (seperti speed boad) upaya penegakan hukum di wilayah perairan sangat terbatas. 4. Banyak alat tangkap yang

metode operasinya merusak lingkungan perairan.

5. Kapal/perahu hanya sebagian kecil beroperasi

Strategi ST

1. Optimalkan peran PPNS perikanan dan Polairud

dalam melakukan

pengawasan terhadap alat tangkap yang tidak selektif, produktif, dan merusak lingkungan yang beroperasi di wilayah perairan. 2. Perahu yang telah memiliki

mesin ditingkatkan ukuran tonasenya agar dapat mengoperasikan alat tangkapnya di wilayah perairan lepas pantai.

Strategi WT

1. Petugas PPNS perikanan dan Polairud yang ada harus aktif memberikan

pembinaan dan

penyuluhan kepada nelayan tentang jenis alat tangkap yang izinkan beserta wilayah beroperasinya.

2. Pengaturan wilayah/ daerah penangkapan ikan harus melibatkan

stakeholders yang berkepentingan terhadap


(2)

pada perairan lepas pantai. pemanfaatan sumberdaya perikanan dan lautan. Sumber : Hasil olahan data primer, 2009

3.2. Strategi ST

Kekuatan terbesar dalam upaya penyelesaian konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan adalah; (1) sebagian besar perahu nelayan yang telah menggunakan mesin, (2) alat tangkap yang digunakan nelayan cukup bervasiasi, (3) adanya kesiapan aparat pengawasan (PPNS perikanan dan polairud) untuk melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap nelayan melakukan penangkapan ikan secara ilegal, dan (4) adanya kesadaran nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan dimana dan kapan saja sesuai aturan yang tetapkan pemerintah.

Strategi yang dipilih adalah; (1) optimalkan peran PPNS perikanan dan Polairud dalam melakukan pengawasan terhadap alat tangkap yang tidak selektif, produktif, dan merusak lingkungan yang beroperasi di wilayah perairan Kabupaten Maros, dan (2) tingkatkan ukuran tonase perahu-perahu yang telah memiliki mesin, sehingga dapat melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah perairan lepas pantai.

3.3. Strategi WO

Faktor yang menjadi kelemahan besar dalam upaya pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros adalah; (1) sering terjadi konflik kepentingan stakeholders di daerah penangkapan ikan khususnya pada jalur I (0-6 mil laut), (2) adanya perbedaan persepsi nelayan terhadap laut sebagai sumberdaya milik bersama, (3) masih banyak alat tangkap yang digunakan nelayan berteknologi tradisional, dan (4) keterbatasan jumlah dan sarana yang dimiliki PPNS perikanan dan Polairud dalam melakukan pengawasan di wilayah perairan Kabupaten Maros.

Strategi yang dipilih adalah; (1) kembangkan teknologi alat tangkap yang telah ada dengan memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya,


(3)

dan (2) pembuatan tata ruang wilayah penangkapan ikan di wilayah pesisir Kabupaten Maros dengan memperhatikan SK Mentan No. 392 tahun 1999 tentang pengaturan jalur-jalur penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia.

3.4. Strategi WT

Kelemahan terbesar dalam upaya pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros adalah; (1) sering terjadi konflik kepentingan stakeholders di daerah penangkapan ikan khususnya pada jalur I (0-6 mil laut), (2) adanya perbedaan persepsi nelayan terhadap laut sebagai sumberdaya milik bersama, (3) masih banyak alat tangkap yang digunakan nelayan berteknologi tradisional, dan (4) keterbatasan jumlah dan sarana yang dimiliki PPNS perikanan dan Polairud dalam melakukan pengawasan di wilayah perairan Kabupaten Maros.

Strategi yang dipilih adalah; (1) petugas PPNS perikanan dan Polairud yang telah ada, harus aktif memberikan pembinaan dan penyuluhan terhadap nelayan tentang jenis-jenis alat tangkap yang izinkan berserta wilayah operasinya, dan (2) penataan tata ruang wilayah penangkapan ikan harus melibatkan semua stakeholders yang berkepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan dan lautan, sehingga kebijakan penganturan wilayah penangkapan ikan tersebut dapat diterima oleh semua pihak.

KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil dan pembahasan dalam penilitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Bentuk penyelesaian konflik pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan yang telah dilakukan melalui media negoisasi dan mediasi dengan melibatkan tokoh masyarakat nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini, unsur Muspida Maros, unsur Muspika Bontoa, DPRD Maros, Dinas Perhubungan dan Komunikasi, Sub Dinas Perikanan dan Kelautan Maros, PPNS Perikanan, BPP Perikanan, dan Kepala Desa. 2. Strategi penyelesaian konflik yang perlu dilakukan adalah; (1) tingkatkan


(4)

melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah perairan dengan mematuhi jalur-jalur penangkapan yang telah ditetapkan pemerintah, (2) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perairan lepas pantai dengan mengarahkan kapal/perahu yang memiliki daya jelajah besar, (3) optimalkan peran PPNS perikanan dan Polairud dalam melakukan pengawasan terhadap alat tangkap yang tidak selektif, produktif, dan merusak lingkungan yang beroperasi di wilayah perairan Kabupaten Maros, (4) tingkatkan ukuran tonase perahu-perahu yang telah memiliki mesin, sehingga dapat melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah perairan lepas pantai, (5) kembangkan teknologi alat tangkap yang telah ada dengan memperhatikan kepentingan

stakeholders lainnya, (6) pembuatan tata ruang wilayah penangkapan ikan di wilayah pesisir Kabupaten Maros dengan memperhatikan SK Mentan No. 392 tahun 1999 tentang pengaturan jalur-jalur penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia, (7) penataan tata ruang wilayah penangkapan ikan harus melibatkan semua stakeholders yang berkepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan dan lautan, sehingga kebijakan penganturan wilayah penangkapan ikan tersebut dapat diterima oleh semua pihak, dan (8) petugas PPNS perikanan dan Polairud yang telah ada, harus aktif memberikan pembinaan dan penyuluhan terhadap nelayan tentang jenis-jenis alat tangkap yang izinkan berserta wilayah operasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, S. 2003. Masalah dan Konflik yang Terjadi Antara Nelayan Tangkap Trawl Mini dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Maros. Makalah disajikan pada FKPPS Propinsi Sulawesi Selatan. Dinas Pertanian Kabupaten Maros, Maros.

Dahuri, R. 2001. Kebijakan Nasional Pengelolaan Wilayah Pesisir. Makalah disajikan dalam Lokakarya dan Dialog Kebijaksanaan Pengendalian


(5)

Kerusakan Lingkungan di Teluk Kendari, Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman, Kendari, 22 Oktober.

Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. 2003. Peta Masalah Perikanan dan Kelautan serta Penanggulangannya di Sulawesi Selatan. Makalah disajikan dalam Seminar Pemantapan Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif Bidang Kelautan dan Perikanan Melalui Mekanisme ADR, Kerjasama UNHAS - DKP RI, Makassar, 14-15 Juli.

Farida. 2003. Peraturan dan Kelembagaan Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan di Kabupaten Pangkep, Kerjasama INCUNE UNHAS-MCRMP Kabupaten Pangkep, Makassar, 2-11 Juli.

Hamid, S. 1999. Lingkungan Strategis. Lembaga Adinistrasi Negara – Republik Indonesia, Jakarta.

Idris, I. 2001. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Makalah disajikan dalam Lokakarya Regional Pulau Sulawesi, Kerjasama Lembaga Studi dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Yayasan ELS@P Makassar, dan Partnership for Governance in Indonesia, Makassar, 12-14 Maret.

Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian Maros. 2003. Programa Penyuluhan Pertanian Tahun 2003. Proyek BPPL-KIPP, Maros.

Pollnac, Richard B. 1984. Investigation Territorial Use Right Among Fishermen, dalam Maritime Institutions in the Western Pasific. National Museum of Ethnology, Osaka.

Rangkuti, P. 2002. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Saad, S. 2003. Sejarah Hukum Sumberdaya Pesisir dan Laut. Makalah disajikan dalam Diseminasi dan Lokakarya Praktek-Praktek Terbaik Kegiatan Pembangunan Sub-Sektor Perikanan se-Sulawesi,


(6)

Kerjasama Dinas Perikanan dan Kelautan-JICA, Makassar, 17-19 Pebruari.

Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik, untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Satria, A., A. Umbari, A. Fauzi, A. Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M. Karim, S. Saad, W. Oktariza, dan Z. Imran. 2002.

Menuju Desentralisasi Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta. Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Penerbit Alfabeta, Bandung Wahyono, A., A.R. Patji, D.S. Laksono, R. Idrawasih, Sudiyono, dan S. Ali.

2000. Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia. Media Pressindo, Yogyakarta.