mengoperasikan alatnya di luar jalur tersebut atau yang batasanya adalah bagan tangcap paling dalam, b kapalmotor tempel harus diberi tanda
dengan mengecat kapalperahu tersebut minimal seperempat lambung kiri dan kanan dengan cat berwarna merah dan memberi nomor registrasi
pada setiap perahukapal, dan c tidak mengoperasikan dan memproduksi lagi alat tangkap ikan yang dimodifikasi yang fungsi dan
kegunaan seperti alat tangkap trawl dan hanya mengoperasikan alat sesuai dengan izin yang dimiliki.
3 Bilamana kedua belah pihak yang berkonflik tidak mentaati kesepakatan tersebut, maka pihak yang melanggar akan mendapat sanksi berupa ; a
izin operasinya dicabut oleh pihak yang berwenang dan tidak lagi diperkenankan melakukan operasi, dan b menanggung kerugian yang
dialami oleh pihak yang dirugikan dan akan dituntut sesuai hukum yang berlaku.
Kesepakatan tersebut dimediasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Maros, yang terdiri dari unsur Muspida Kabupaten Maros, DPRD Maros,
Subdin Perikanan dan Kelautan Maros, unsur Muspika Kecamatan Bontoa, dan PPNS Perikanan.
B. Pihak Yang Terlibat Dalam Proses Penyelesaian Konflik
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik nelayan di Kacamatan Bontoa Kabupaten Maros, diungkapkan oleh Kepala Sub Dinas
Perikanan dan Kelautan Maros berikut ini : “Bentuk penyelesaian konflik nelayan di Maros, melibatkan banyak
pihak, seperti unsur Muspida Bupati, Kejaksaan, Polres, Kodim Maros, DPRD, Subdin Perikanan dan Kelautan, PPNS Perikanan,
unsur Muspika Camat, Polsek, Korem Bontoa, Kepala Desa, dan tokoh-tokoh masyarakat nelayan, baik nelayan pengguna alat tangkap
jaring klitik maupun nelayan pengguna trawl mini” lanjutan wawancara SA, tanggal 6 Nopember 2008.
Pendapat Kapala Sub Dinas Perikanan dan Kelautan Maros tersebut dibenarkan oleh Kepala BPP Perikanan :
“Penyelesaian konflik nelayan di Kecamatan Bontoa melibatkan berbagai unsur, seperti Kepala Desa, Camat, Kepolisian, Bupati,
DPRD, dan tokoh- tokoh masyarakat yang berkonflik” wawancara DL,
tanggal 6 Nopember 2007. Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua HNSI Kabupaten Maros,
yang mengatakan bahwa : “Upaya penyelesaian konflik nelayan di Kabupaten Maros sudah cukup
maksimal karena telah melibatkan semua pihak terkait, seperti mayarakat nelayan, pemerintah dan lembaga pengawasan yang terdiri
dari kejaksaan, kepolisian, PPNS Perikanan dan DPRD Maros” lanjutan wawancara LNG, tanggal 13 Desember 2008.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat
nelayan pengguna jaring klitik yang mengatakan bahwa : “Upaya penyelesaian sudah pernah dilakukan dengan melibatkan
tokoh masyarakat nelayan dan unsur pemerintah, seperti Camat, Bupati, Sub Dinas Perikanan dan Kelautan, BPP Perikanan, dan Dinas
Perhubungan dan Komunikasi Kabupaten Maros. Namun hasil tidak memuaskan nelayan, khususnya nelayan pengguna jaring klitik karena
masih banyak nelayan pengguna trawl mini yang masuk di wilayah
penangkapan nelayan kecil” wawancara HL, tanggal 13 Desember 2008.
Sedangkan tokoh masyarakat nelayan pengguna alat tangkap trawl
mini mengungkapkan bahwa : “Upaya penyelesaian konflik nelayan sudah pernah dilakukan dengan
membuat kesepakatan antara nelayan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat nelayan dan unsur pemda, DPRD, dan perikanan. Namun
hasilnya sulit dilaksanakan karena nelayan pengguna jaring klitik sebagian besar meninggalkan alat tangkapnya dan tidak memiliki
tanda-tanda berupa lampu yang dapat dilihat oleh nelayan pengguna
trawl mini” wawancara SW, tanggal 13 Desember 2008. Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas menunjukkan bahwa
pihak-pihak yang telibat dalam proses penyelesaian konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang wilayah penangkapan di Kecamatan Bontoa, yaitu tokoh-
tokoh masyarakat pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini, unsur Muspida Maros Bupati, Kejaksaan, Polres, Kodim Maros, unsur Muspika
Bontoa Camat, Polsek, Korem Bontoa, DPRD, Dinas Perhubungan dan
Komunikasi, Sub Dinas Perikanan dan Kalautan Maros, PPNS Perikanan, BPP Perikanan, dan Kepala Desa.
C. Strategi Pemanfaatan Ruang Wilayah Penangkapan Ikan