KOMPARASI RESPON MASYARAKAT TERHADAP PERJANJIAN PERDAMAIAN PASCA KONFLIK KOMUNAL (STUDI PADA MASYARAKAT DESA BALINURAGA DENGAN DESA AGOM KAB. LAMPUNG SELATAN) (COMPARASI COMMUNITY RESPONSE TO POST CONFLICT PEACE AGREEMENT COMMUNAL (STUDIES ON RURAL COMMUN

(1)

(2)

ABSTRACT

COMPARASI COMMUNITY RESPONSE TO POST CONFLICT PEACE AGREEMENT COMMUNAL

(STUDIES ON RURAL COMMUNITIES WITH RURAL COMMUNITIES BALINURAGA AGOM SOUTH LAMPUNG REGENCY)

By

BAMBANG IRAWAN

The purpose of this study was to determine the response of the Villagers of Balinuraga Agom to ten grains of the peace agreement and to compare the response of the Villagers Balinuraga Agom Villagers to ten grains of the peace agreement in order to know the similarities and differences that occur. This research is a case study and conducted in two villages namely Balinuraga Village Way Panji district of South Lampung regency and Village district Agom Kalianda South Lampung regency. This is a public research informants Balinuraga Village and Villagers Agom, which is determined by using a random system. The data was collected using questionnaires and interviews with the documentation. Data processing is done quantitatively.

Results of this study indicate that the community response to the Villagers of Balinuraga Agom when viewed from the level of knowledge that is both villages have the same result or outcome that is balanced with results hundred percent. This means that the two villages are equally balanced or know ten grains peace treaty on


(3)

Furthermore, if viewed from kesetujuannya level of public response to the ten highest point peace agreement was owned by Agom Villagers, with the result that sixty six percent, while sixty five percent Balinuraga Village. Reason Agom Village residents want more security, order, harmony, and peace between the two sides.

Furthermore, if viewed from the level of support, public response to the ten highest point peace agreement was owned by the Village community Balinuraga, namely the results of sixty one percent, whereas fifty nine percent Agom Village.

Further if seen from the implementation level, the highest community response to the ten items a peace treaty is owned by Agom Village community that is the result of sixty two percent, whereas fifty eight percent Balinuraga village.


(4)

ABSTRAK

KOMPARASI RESPON MASYARAKAT TERHADAP PERJANJIAN PERDAMAIAN PASCA KONFLIK KOMUNAL

(STUDI PADA MASYARAKAT DESA BALINURAGA DENGAN DESA AGOM KAB. LAMPUNG SELATAN)

Oleh Bambang Irawan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respon masyarakat Desa Balinuraga dengan masyarakat Desa Agom terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian serta membandingkan respon masyarakat Desa Balinuraga dengan masyarakat Desa Agom terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian tersebut agar diketahui persamaan dan perbedaan yang terjadi. Penelitian ini dilakukan di dua desa yaitu Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan dan Desa Agom Kecamatan Kalianda Kabupaten Lampung Selatan. Informan penelitian ini adalah masyarakat Desa Balinuraga dan masyarakat Desa Agom, yang ditentukan dengan menggunakan sistem acak (random sampling). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan dokumentasi. Pengolahan data dilakukan secara kuantitatif.


(5)

tersebut memiliki hasil yang sama atau hasil yang seimbang yakni dengan hasil 100%. Hal ini berarti kedua desa seimbang atau sama-sama mengetahui sepuluh butir perjanjian perdamaian dengan alasan karena pernah mendengar dan pernah membaca teks perjanjian perdamaian. Dalam hal ini, pernah mendengar dan pernah membaca yang dimaksud yakni responden pernah mendengarkan dan pernah membaca secara langsung melalui sosialisasi.

Selanjutnya jika dilihat dari tingkat kesetujuannya, respon masyarakat tertinggi terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian ini dimiliki oleh masyarakat Desa Agom, yakni dengan hasil 66%, sedangkan Desa Balinuraga 65%. Alasan warga Desa Agom lebih banyak menginginkan keamanan, ketertiban, kerukunan, keharmonisan dan perdamaian diantara kedua belah pihak.

Selanjutnya jika dilihat dari tingkat dukungannya, respon masyarakat tertinggi terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian ini dimiliki oleh masyarakat Desa Balinuraga, yakni dengan hasil 61%, sedangkan Desa Agom 59%.

Selanjutnya jika dilihat dari tingkat pelaksanaannya, respon masyarakat tertinggi terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian ini dimiliki oleh masyarakat Desa Agom yakni dengan hasil 62%, sedangkan desa Balinuraga 58%.


(6)

(7)

(8)

(9)

DAFTAR ISI

Halaman I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Konflik Komunal ... 7

1. Pengertian Konflik ... 7

2. Penyebab Konflik ... 9

a. Struktur ... 9

b. Variabel Pribadi ... 10

c. Komunikasi Yang Buruk ... 10

d. Perbedaan Individu ... 10

e. Perbedaan Latar Belakang Kebudayaan ... 11

f. Perbedaan Kepentingan Antar Individu atau Kelompok ... 11

g. Perubahan-perubahan Nilai Yang Cepat dan Mendadak Dalam Masyarakat ... 11

3. Tipe-tipe Konflik ... 12

a. Konflik Pribadi ... 12

b. Konflik Rasial ... 12

c. Konflik Politik ... 12

d. Konflik Antar Kelas Sosial ... 13

e. Konflik Internasional ... 13

f. Konflik Antar Kelompok ... 13

g. Konflik Fungsional ... 13

h. Konflik Dis fungsional ... 13

i. Konflik Vertikal ... 13

j. Konflik Horizontal ... 14


(10)

c. Strategi Kolaborasi ... 15

d. Strategi Penghindaran ... 15

e. Strategi Kompromi atau Negoisasi ... 15

5. ISI 10 Butir Perjanjian Perdamaian ... 16

a. Kesepakatan Butir 1 Tentang Keamanan, Ketertiban, Kerukunan, Keharmonisan, Kebersamaan dan Perdamaian ... 16

b. Kesepakatan Butir 2 Tentang Suku, Agama dan Ras ... 16

c. Kesepakatan Butir 3 Tentang Kepemimpinan ... 16

d. Kesepakatan Butir 4 Tentang Proses Rekonsiliasi atau Mufakat ... 16

e. Kesepakatan Butir 5 Tentang Kepemimpinan dan Proses Rekonsiliasi atau Mufakat ... 17

f. Kesepakatan Butir 6 Tentang Pembinaan Berupa Sanksi, Teguran dan Hukuman ... 17

g. Kesepakatan Butir 7 Tentang Sosialisasi dan kesepakatan ... 17

h. Kesepakatan Butir 8 Tentang Sosialisasi dan kesepakatan ... 17

i. Kesepakatan Butir 9 Tentang Sosialisasi ... 18

j. Kesepakatan Butir 10 Tentang Sosialisasi ... 18

6. Sara (Suku Ras Agama dan Antar Golongan) ... 18

7. Sosialisasi ... 20

8. Kepemimpinan ... 21

B. Tinjauan Terhadap Perdamaian Pasca Konflik ... 22

1. Rekonsiliasi Konflik ... 22

2. Pembangunan Perdamaian Pasca Konflik ... 23

C. Konsepsi Respon Masyarakat Terhadap Perjanjian Pasca Konflik ... 25

1. Teori Stimulus Respon ... 25

2. Respon Masyarakat dan Perjanjian Pasca Konflik ... 29

D. Kerangka Pikir ... ... 36

III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 37

B. Definisi Konseptual ... 38

C. Definisi Operasional ... 38

D. Populasi dan Sampel ... 40

E. Sumber Data ... 46

F. Teknik Pengumpulan Data ... 47

G. Teknik Pengolahan Data ... 48


(11)

dan Desa Balinuraga ... 52

B. Letak dan Batas-batas Desa Agom dan Desa Balinuraga ... 55

C. Keadaan Penduduk Desa Agom dan Desa Balinuraga ... 56

1. Keadaan Penduduk Menurut Agama ... 57

2. Keadaan Penduduk Menurut Etnis ... 57

3. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 57

4. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 58

5. Kondisi Sarana dan Prasarana ... 59

D. Struktur Organisasi Desa Agom dan Desa Balinuraga.. ... 60

E. Sejarah Konflik Desa Agom dan Desa Balinuraga ... 62

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Respon Masyarakat Desa Balinuraga Terhadap 10 Butir Isi Perjanjian Perdamaian ... 64

B. Respon Masyarakat Desa Agom Terhadap 10 Butir Isi Perjanjian Perdamaian. ... 115

C. Perbandingan Respon Masyarakat Desa Balinuraga dengan Masyarakat Desa Agom Terhadap 10 Butir Isi Perjanjian Perdamaian ... 167

VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 172

B. Saran ... 174 DAFTAR PUSTAKA


(12)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bentrok antara kedua desa, yaitu Desa Balinuraga dengan Desa Agom, di sebabkan karena pelecehan seksual dimana adanya fitnah kepada warga masyarakat suku Bali yang dilakukan oleh oknum masyarakat Lampung. Kronologis kejadian pada hari Sabtu, tanggal 27 Oktober 2012 pukul 17.30 WIB. Telah terjadi kecelakaan lalu lintas di jalan Lintas Way Arong Desa Sidorejo (Patok) Kab. Lampung Selatan antara sepeda roda dua yang dikendarai oleh suku Bali di tabrak oleh sepeda motor yang dikendarai Nurdiana yang berumur sekitar 17 tahun warga Desa Agom Kec. Kalianda Kab. Lampung Selatan berboncengan dengan Eni yang berumur sekitar 16 tahun warga Desa Negri Pandan Kec. Kalianda Kab. Lampung Selatan. (http//www.Lampost/Konflik Balinuraga.com/28/12/2012/22:12 WIB). Pada peristiwa tersebut warga suku Bali memberikan pertolongan terhadap Nurdiana dan Eni, namun warga suku Lampung lainnya memprovokasi bahwa warga suku Bali telah memegang dada Nurdiana dan Eni. Sehingga pada hari Sabtu 27 Oktober 2012 pukul 22.00 WIB, warga suku Lampung berkumpul di pasar patok melakukan penyerangan ke pemukiman warga suku Bali di Desa Balinuraga Kec. Way Panji. Selanjutnya warga suku


(13)

Lampung menyerang warga masyarakat Bali di Desa Balinuraga pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012 pukul 01.00 WIB. Selanjutnya, puncak konflik terjadi pada hari Senin tanggal 29 Oktober 2012 pukul 10.00 WIB, saat warga Lampung menyerang secara serentak di Desa Balinuraga. (http://www.Lampost/Konflik Balinuraga.com/28/12/2012/22:12 WIB). Adanya konflik tersebut maka akan menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif diantaranya konflik dapat memperjelas berbagai aspek kehidupan yang masih belum tuntas, adanya konflik menimbulkan penyesuaian kembali norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dampak negatif dari terjadinya konflik tersebut diantaranya konflik dapat menimbulkan keretakan hubungan antara individu dan kelompok, konflik menyebabkan rusaknya berbagai harta benda dan terjadinya korban jiwa, konflik menyebabkan adanya perubahan kepribadian dan konflik menyebabkan dominasi kelompok pemenang. (http://www.Lampost/Konflik Balinuraga.com/28/12/2012/22:12 WIB). Menurut Hugh Miall (2002:65) bahwa keharmonisan hubungan antar kelompok perlu dengan sengaja dipupuk bersama sebagai suatu sistem acuan dan pengandali untuk menjaga keberlangsungan hubungan yang baik di antara mereka. Lebih jauh, perilaku para anggota dan sentimen-sentimen kelompok etnik yang berkembang juga dapat menjadi suatu ukuran yang membentuk pengendalian penyelesaian konflik.


(14)

Hal yang menarik pada penelitian ini adalah adanya pro dan kontra kedua belah pihak masyarakat terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian. Adapun hal yang pro seperti salah satu pihak masyarakat meyetujui setiap poin perjanjian perdamaian dan hal yang kontra seperti salah satu pihak masyarakat menolak setiap poin perjanjian perdamaian. Maka dari itu penulis tertarik terhadap penelitian ini. Adapun hasil dari isi sepuluh butir perjanjian perdamaian tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Kedua belah pihak sepakat untuk menjaga Keamanan, Ketertiban, Kerukunan, Keharmonisan, Kebersamaan dan Perdamaian antar suku yang ada di bumi Khagom Mufakat Kabupaten Lampung Selatan yang kita cintai serta mendukung kelancaran pelaksanaan program pembangunan yang sedang berjalan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Kedua belah pihak sepakat tidak akan mengulangi tindakan-tindakan anarkhis yang mengatasnamakan Suku, Agama dan Ras (SARA), sehingga menyebabkan keresahan, ketakutan, kebencian, kecemasan dan kerugian secara material khususnya bagi Kedua belah Pihak dan umumnya bagi masyarakat luas.

3. Kedua belah pihak sepakat apabila terjadi pertikaian, perkelahian, dan perselisihan yang disebabkan oleh permasalahan pribadi, Kelompok, dan atau golongan agar segera diselesaikan secara langsung oleh orang tua, ketua kelompok dan/atau pimpinan golongan.

4. Kedua belah pihak sepakat apabila orang tua, ketua kelompok dan/atau pimpinan golongan tidak mampu menyelesaikan permasalahan seperti


(15)

yang tercantum pada angka 3 (tiga), maka akan diselesaikan secara musyawarah, mufakat dan kekeluargaan oleh tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda serta aparat pemerintahan desa setempat.

5. Kedua belah pihak sepakat apabila penyelesaian permasalahan seperti yang tercantum pada angka 3 (tiga) dan angka 4 (empat) tidak tercapai, maka tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan aparat pemerintahan desa setempat menghantarkan dan menyerahkan permasalahan tersebut kepada pihak berwajib untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Apabila ditemukan oknum warganya yang terbukti melakukan perbuatan, tindakan, ucapan serta upaya-upaya yang berpotensi menimbulkan dampak permusuhan dan kerusuhan, Pihak Pertama dan/atau Pihak Kedua bersedia melakukan pembinaan kepada yang bersangkutan, dan jika pembinaan tidak berhasil, maka diberikan sanksi adat berupa pengusiran terhadap oknum tersebut dari Wilayah Kabupaten Lampung Selatan.

7. Kewajiban pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 6 (enam) berlaku juga bagi warga Lampung selatan dari suku-suku lainnya yang ada di wilayah Kabupaten Lampung Selatan.

8. Terhadap permasalahan yang telah terjadi antara para pihak pada tanggal 27 sampai dengan 29 oktober 2012 yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa (meninggal dunia) maupun terhadap korban yang


(16)

luka-luka, kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan tuntutan hukum apapun dibuktikan dengan surat pernyataan dari keluarga yang menjadi korban, dan hal ini juga berlaku bagi aparat penegak hukum (kepolisian).

9. Kepada masyarakat suku Bali khususnya yang berada di Desa Bali Nuraga harus mampu bersosialisasi dan hidup berdampingan secara damai dengan seluruh Lapisan Masyarakat yang ada di wilayah Kabupaten Lampung Selatan terutama dengan masyarakat yang berbatasan dan/atau berdekatan dengan wilayah Desa Bali Nuraga Kecamatan Way Panji.

10.Kedua pihak sepakat berkewajiban untuk mensosialisasikan isi perjanjian perdamaian ini ke lingkungan masyarakatnya.


(17)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah respon masyarakat Desa Balinuraga dengan masyarakat Desa Agom terhadap sepuluh butir isi perjanjian perdamaian tersebut? 2. Bagaimanakah perbandingan respon masyarakat Desa Balinuraga

dengan masyarakat Desa Agom terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian tersebut?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui respon masyarakat Desa Balinuraga dengan masyarakat Desa Agom terhadap sepuluh butir isi perjanjian perdamaian tersebut. 2. Membandingkan respon masyarakat Desa Balinuraga dengan respon

masyarakat Desa Agom terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian tersebut agar diketahui persamaan dan perbedaan yang terjadi.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan menambah informasi dan pengetahuan mengenai konflik komunal yang sedang terjadi di Lampung.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi masyarakat kedua belah pihak dan pihak terkait yang mengawal atau membina upaya perdamaian di daerah.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Konflik Komunal

1. Pengertian Konflik

Menurut Hugh Miall (2002:65) bahwa konflik adalah aspek intrinsik dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial serta sebuah ekspresi heteregonitas kepentingan,nilai, dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang penting ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang di wariskan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka konflik merupakan aspek intrinsik yang tidak mungkin dihindari serta ekspresi heteregonitas yang di timbulkan oleh perubahan sosial yang di wariskan.

Menurut Leopod Von Wiese (1987:89) bahwa konflik adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan kekerasan. Dari pengertian konflik tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik merupakan proses sosial yang di lakukan oleh sekelompok manusia yang berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi keinginannya yang di sertai dengan kekerasan.


(19)

Menuurut Duane Ruth (1986:54) bahwa konflik adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan posisi yang tidak selaras, tidak cukup sumber dan tindakan salah satu pihak menghalangi, atau mencampuri atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil. Dari pengertian konflik tersebut, maka konflik merupakan kondisi yang terjadi akibat perbedaan posisi yang tidak selaras, adanya pihak yang menghalangi serta ikut campur yang mengakibatkan tujuanpihak lain tidak terpenuhi.

Menurut Taquiri (1977:76) bahwa konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat dari pada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dari pengertian konflik tersebut, maka konflik merupakan warisan sosial akibat adanya ketidak setujuan akibat dari pertentangan yang terjadi dua pihak atau lebih.

Menurut Faules (1994:249) bahwa konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami. Dari pengertian konflik tersebut, maka konflik merupakan ekspresi yang dilakukan oleh sekelompok manusia akibat akibat kelompok lain memepunyai perbedaan pendapat.


(20)

Berdasarkan beberapa definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian konflik dalam hal ini adalah sebuah pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan serta pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan di alami yang berupa perselisihan, adanya ketegangan atau munculnya kesulitan-kesulitan lain diantara dua pihak atau lebih dan sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.

2. Penyebab Konflik

Menurut Thomas santoso (2001:65) bahwa penyebab terjadinya konflik adalah sebagai berikut:

a. Struktur

Dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.


(21)

b. Variabel Pribadi

Faktor pribadi ini meliputi sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict).

c. Komunikasi Yang Buruk

Dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi.

d. Perbedaan Individu

Konflik ini meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik social dalam menjalani hubungan sosial.


(22)

e. Perbedaan Latar Belakang Kebudayaan

Konflik ini terjadi sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

f. Perbedaan Kepentingan Antara Individu atau Kelompok

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.

g. Perubahan Nilai yang Cepat dan Mendadak dalam Masyarakat

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.


(23)

Berdasarkan beberapa penyebab konflik diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa konflik dapat terjadi bila mana terdapat perbedaan kebudayaan, adanya perubahan-perubahan nilai yang begitu cepat, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial, dan adanya perbedaan individu. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.

3. Tipe-tipe Konflik

Menurut Soerjono Soekanto (1998:87) bahwa tipe-tipe konflik adalah sebagai berikut:

a. Konflik Pribadi

Merupakan pertentangan yang terjadi antara orang perorang. b. Konflik Rasial

Merupakan pertentangan kelompok ras yang berbeda karena kepentingan dan kebudayaan yang saling bertabrakan.

c. Konflik Politik

Merupakan merupakan aspek yang paling mudah untuk menyulut ketidaknyamanan atau ketidaktenangan dalam masyarakat.


(24)

d. Konflik Antar Kelas Sosial

Merupakan pertentangan antara dua kelas sosial.

e. Konflik Internasional

Merupakan pertentangan yang melibatkan beberapa kelompok negara karena perbedaan kepentingan.

f. Konflik Antar Kelompok

Merupakan konflik yang terjadi karena persaingan dalam mendapatkan mata pencaharian hidup yang sama atau karena pemaksaan unsur-unsur budaya asing. Selain itu, karena ada pemaksaan agama, dominasi politik, atau adanya konflik tradisional yang terpendam.

g. Konflik Fungsional

Merupakan sebuah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.

h. Konflik Disfungsional

Merupakan konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok. i. Konflik Vertikal

Merupakan konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.


(25)

j. Konflik Horizontal

Merupakan konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.

k. Konflik Peran

Merupakan konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain.

Berdasarkan tipe-tipe konflik diatas dapat disimpulkan bahwa tipe konflik dalam hal ini terdiri dari konflik antar agama, konflik antara kelompok-kelompok sosial, konflik antarkelas sosial, konflik pribadi, konflik fungsional dan konflik disfungsional serta salah satu kriteria untuk membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional. Pada konflik ini, tipe konfliknya adalah tipe konflik horizontal.


(26)

4. Srategi Penyelesaian Konflik

Menurut Hugh Miall (2002:65) bahwa penyelesaian konflik dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Strategi Kompetisi

Merupakan penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain.

b. Strategi Akomodasi

Merupakan penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri.

c. Strategi Kolaborasi

Merupakan bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak.

d. Strategi Penghindaran

Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik tidak terlalu penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang akan ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonfrontasi untuk menenangkan diri.

e. Strategi Kompromi atau Negoisasi

Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan dan saling member serta menerima, serta meminimalkan kekurangan semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak.


(27)

5. Isi 10 Butir Perjanjian Perdamaian

a. Kedua belah pihak sepakat untuk menjaga Keamanan, Ketertiban, Kerukunan, Keharmonisan, Kebersamaan dan Perdamaian antar suku yang ada di bumi Khagom Mufakat Kabupaten Lampung Selatan yang kita cintai serta mendukung kelancaran pelaksanaan program pembangunan yang sedang berjalan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Kedua belah pihak sepakat tidak akan mengulangi tindakan-tindakan anarkhis yang mengatasnamakan Suku, Agama dan Ras (SARA), sehingga menyebabkan keresahan, ketakutan, kebencian, kecemasan dan kerugian secara material khususnya bagi Kedua belah Pihak dan umumnya bagi masyarakat luas.

c. Kedua belah pihak sepakat apabila terjadi pertikaian, perkelahian, dan perselisihan yang disebabkan oleh permasalahan pribadi, Kelompok, dan atau golongan agar segera diselesaikan secara langsung oleh orang tua, ketua kelompok dan/atau pimpinan golongan.

d. Kedua belah pihak sepakat apabila orang tua, ketua kelompok dan/atau pimpinan golongan tidak mampu menyelesaikan permasalahan seperti yang tercantum pada angka 3 (tiga), maka akan diselesaikan secara musyawarah, mufakat dan kekeluargaan oleh tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda serta aparat pemerintahan desa setempat.


(28)

e. Kedua belah pihak sepakat apabila penyelesaian permasalahan seperti yang tercantum pada angka 3 (tiga) dan angka 4 (empat) tidak tercapai, maka tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan aparat pemerintahan desa setempat menghantarkan dan menyerahkan permasalahan tersebut kepada pihak berwajib untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f. Apabila ditemukan oknum warganya yang terbukti melakukan perbuatan, tindakan, ucapan serta upaya-upaya yang berpotensi menimbulkan dampak permusuhan dan kerusuhan, Pihak Pertama dan/atau Pihak Kedua bersedia melakukan pembinaan kepada yang bersangkutan, dan jika pembinaan tidak berhasil, maka diberikan sanksi adat berupa pengusiran terhadap oknum tersebut dari Wilayah Kabupaten Lampung Selatan.

g. Kewajiban pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 6 (enam) berlaku juga bagi warga Lampung selatan dari suku-suku lainnya yang ada di wilayah Kabupaten Lampung Selatan.

h. Terhadap permasalahan yang telah terjadi antara para pihak pada tanggal 27 sampai dengan 29 oktober 2012 yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa (meninggal dunia) maupun terhadap korban yang luka-luka, kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan tuntutan hukum apapun dibuktikan dengan surat pernyataan dari keluarga yang menjadi korban, dan hal ini juga berlaku bagi aparat penegak hukum (kepolisian).


(29)

i. Kepada masyarakat suku Bali khususnya yang berada di Desa Bali Nuraga harus mampu bersosialisasi dan hidup berdampingan secara damai dengan seluruh Lapisan Masyarakat yang ada di wilayah Kabupaten Lampung Selatan terutama dengan masyarakat yang berbatasan dan/atau berdekatan dengan wilayah Desa Bali Nuraga Kecamatan Way Panji.

j. Kedua pihak sepakat berkewajiban untuk mensosialisasikan isi perjanjian perdamaian ini ke lingkungan masyarakatnya.

Berdasarkan strategi penyelesaian konflik diatas dapat disimpulkan bahwa strategi penyelesaian konflik bisa melalui beberapa cara diantaranya terdiri dari membentuk sistem banding, pelembagaan kewenangan formal, akomodasi, sharing, kompetisi, dan penghindaran serta trategi penyelesaian konflik sangat penting apabila telah terjadi sebuah konflik. Pada konflik ini penyelesaian konflik di selesaikan melalui strategi akomodasi, ertinya penyelesaian konflik di serahkan oleh pihak ketiga yang menghasilkan perjanjian perdamaian.

6. Sara (Suku Ras Agama dan Antar Golongan)

Menurut Rudy Hartoyo (http://www.kompas/sara.com/15/11/2013/18:34) bahwa SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang di dasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Tindakan ini melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. SARA dapat di golongkan dalam tiga katagori diantaranya sebagai berikut:


(30)

a. Kategori pertama yaitu individual merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan.

b. Kategori kedua yaitu institusional merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.

c. Kategori ke tiga yaitu kultural merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat. Dalam pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.

Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa sara adalah pandangan atau tindakan yang menyangkut ras agama dan antargolongan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan. Kita dapat mencegah SARA menjadi sumber kerawanan dengan menempuh beberapa cara yaitu dalam membangun perekonomian harus secara tegas ditempuh pendekatan affirmative action, yakni memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada penduduk pribumi untuk berkembang.


(31)

7. Sosialisasi

Menurut Andy Rahmat (http://kompas/sosislisasi.com/25/10/2013/18:50) bahwa sosialisasi merupakan sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Melalui proses sosialisasi, individu berusaha mengatasi konflik tuntutan dalam perkembangan sosialnya. Apabila individu gagal dalam proses sosialisasinya akan menyebabkan terjadinya frustrasi (kondisi dimana individu mengalami kekecewaan yang mendalam karena tidak mampu). Kebijaksanaan orang tua yang baik dalam proses sosialisasi anak antara lain:

a. mendorong agar anak mampu membedakan benar dan salah, baik dan buruk serta memberikan keteladanan yang baik.

b. menasihati anak-anak jika melakukan kesalahan-kesalahan dan tidak menjatuhkan hukuman di luar batas kejawaran.

c. menanamkan nilainilai religi baik dengan mempelajari agama maupun menerapkan ibadah dalam keluarga.

Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi merupakan Proses dimana seseorang menyampaikan sebuah informasi, dimana informasi tersebut agar diketahui oleh orang bayak dengan tujuan tertentu.


(32)

8. Kepemimpinan

Menurut Andy Rahmat (http://kompas/kepemimpinan.com/15/9/13/18:59) bahwa kepemimpinan merupakan serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpin agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa. Kepemimpinan yang efektif hanya terwujud jika mampu menghormati hak-hak asasi manusia, meskipun akan selalu menghadapkan ke-pemimpinan pada berbagai konflik.

Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau sekelompokorang untuk meneapai tujuan tertentu pada situasi tertentu. Kepemimpinan merupakan masalah sosial yang didalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuanbersama, baik dengan cara mempengafuhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi.


(33)

B. Tinjauan Terhadap Perdamaian Pasca Konflik

1. Rekonsiliasi Konflik

Menurut Galtung (1994:67) bahwa rekonsiliasi adalah bentuk akomodatif dari pihak-pihak yang terlibat konflik destruktif untuk saling menghargai satu sama lain, menyingkirkan rasa sakit, dendam, takut, benci, dan bahaya terhadap pihak lawan. Dari pengertian rekonsiliasi tersebut, dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi merupakan bentuk akomodatif dari pihak yang bertikai untuk saling menghargai dan tidak saling membenci terhadap pihak lawan.

Menurut John Dawson (1998:27) bahwa arti dari rekonsiliasi adalah mengekspresikan serta menerima pengampunan dan mengejar persekutuan intim dengan orang-orang yang sebelumnya menjadi musuh. Dari pengertian rekonsiliasi tersebut, dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi merupakan proses penerimaan pengampunan untuk mengejar persekutuan dengan pihak-pihak yang sebelumnya belum menjadi musuh.

Menurut Carol (1998:159) bahwa rekonsiliasi menyelaraskan atau menyelesaikan suatu ketidakcocokan, bergabung kembali, berbaik kembali, sependapat kembali, memulihkan persekutuan kembali dan kepercayaan. Dari pengertian rekonsiliasi tersebut, dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi merupakan proses penyelesain konflik untuk memulihkan kembali keadaan-keadaan yang berakibat terhadap pertikaian.


(34)

Berdasarkan beberapa definisi diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian rekonsiliasi dalam hal ini adalah mengejar suatu perdamaian dengan menyelesaikan akar permasalahannya dan mengampuni, guna memperoleh persekutuan (kerukunan kembali) serta bertujuan agar terciptanya suatu perdamaian (kerukunan kembali) tanpa kebencian, dendam, amarah, akar pahit, serta membina hubungan kembali. Rekonsiliasi sebagai bagian dari resolusi konflik, merupakan tahapan perdamaian yang paling banyak memakan waktu dan sangat melelahkan tetapi harus dilakukan.

2. Pembangunan Perdamaian Pasca Konflik

Menurut W. Eaton Joseph (1986:97) bahwa pembangunan perdamaian pasca konflik merupakan suatu proses perubahan sosial berencana, karena meliputi berbagai dimensi untuk mengusahakan kemajuan dalam kesejahteraan ekonomi, modernisasi, pembangunan bangsa, wawasan lingkungan dan bahkan peningkatan kualitas manusia untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Dari pengertian perdamaian pasca konflik tersebut, dapat dikatakan bahwa perdamaian pasca konflik adalah proses perubahan sosial berencana yang berusaha untuk mamajukan kesejahteraan ekonomi, pembangunan bangsa dan lainnya yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup manusia.


(35)

Menurut Galtung (1994:98) bahwa pembangunan perdamaian pasca konflik merupakan upaya untuk memenuhan kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun kelompok, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan alam. Dari pengertian perdamaian pasca konflik tersebut, dapat dikatakan bahwa perdamaian pasca konflik merupakan sebuah proses untuk tidak menimbulkan kerusakan baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan alam.

Fikih Mansour (2001:23) bahwa pembangunan perdamaian pasca konflik merupakan suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrasturktur masyarakat,serta menuju perdamaian dan sebagainya. Dari pengertian perdamaian pasca konflik tersebut, dapat dikatakan bahwa perdamaian pasca konflik merupakan penjelasan proses dalam rangka peningkatan kehidupan ekonomi, politik dan lainnya yang tertuju pada perdamaian dunia.

Berdasarkan kesimpulan di atas bahwa pembangunan perdamaian dalam arti ini umumnya hanya dimaknai sebagai upaya pembinaan damai atau penguatan nilai-nilai perdamaian melalui pendidikan perdamaian untuk membangun pondasi perdamaian di masyarakat. proses pembangunan situasi damai tersebut untuk merestrukturisasi hubungan-hubungan sosial yang telah rusak dan lebih jauh lagi, menghasilkan sebuah mekanisme penanganan konflik yang adil dan damai, dengan memperhatikan aspek-aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya.


(36)

C. Konsepsi Respon Masyarakat Terhadap Perjanjian Pasca Konflik

1. Teori Stimulus Respon

Menurut Dollar dan Milier (2004:98) bahwa Teori SR ini bersifat objektif, fungsional, sangat menekankan penelitian empiris dan hanya sedikit sekali memperhatikan sisi objektif dan intuitif tingkah laku manusia, karena itu teori SR berbeda secara mencolok dengan banyak teori lain yang telah dibicarakan. Stimulus Respon ini terdiri sebagai berikut:

a.Generalisasi stimulus (stimulus generalization)

Generalisasi stimulus merupakan respon yang dipelajari dalam kaitannya dengan suatu stimulus, dapat dipakai untuk menjawab stimulus lain yang berbentuk atau berwujud fisiknya mirip. Semakin mirip stimulus lain itu dengan stimulus aslinya, maka peluang terjadinya generalisasi tingkah laku, emosi, pikiran atau sikap semakin besar.

b. Berpikir (Reasoning)

Reasoning memungkinkan seseorang menguji alternative respon tanpa nyata-nyata mencobanya sehingga menyngkat proses memilih tindakan. Reasoning juga memberi kemudahan untuk merencanakan, menekankan tindakan pada masa yang akan datang, mengantisipasi respon agar menjadi lebih efektif

c. Bahasa (ucapan, pikiran, tulisan maupun sikap tubuh)

Bahasa merupakan respon isyarat yang penting sesuda reasoning. Dua fungsi pentingnya sebagai respon isyarat adalah generalisasi dan diskriminasi. Dengan memberi label yang sama terhadap dua atau lebih


(37)

kejadian yang berbeda, maka terjadi generalisasi untuk meresponnya secara sama. Sebaliknya label yang berbeda terhadap kejadian yang hampir sama, memaksa seseorang untuk merespon kejadian itu secara berbeda pula (diskriminasi).

d. Secondary drive

Menurut Dollard dan Miller, stimulus apapun yang sering berasosiasi dengan kepuasan dorongan primer dapat menjadi reinforcement sekunder. Semua drive sekunder, dapat dianalisis asosiasinya dengan drive primer, walaupun terkadang asosiasi itu begitu kompleks sehingga sukar ditemukan jejaknya. Kemampuan memakai bahasa dan respon isyarat sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dimana orang orang itu berkembang.

Menurut Edward L. Thorndike (2004:32) bahwa stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau tindakan.

Eksperimen Edward L. Thorndike yang terkenal yaitu dengan menggunakan kucing yang masih muda dengan kebiasaan-kebiasaan yang masih belum kaku, dibiarkan lapar kemudian dimasukkan ke dalam kurungan. Dimana konstruksi pintu kurungan tersebut dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu pintu kurungan akan terbuka.


(38)

Dengan demikian diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respon perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang tepat serta melalui usaha atau percobaan dan kegagalan terlebih dahulu. Percobaan tersebut menghasilkan teori trial and error yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba dan membuat salah. Eksperimen yang dilakukan Edward L. Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:

a. Law of Effect artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus Respon akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respon, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.

b. Law of Readiness artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

c. Law of Exercise artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respon akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih. Selain hukum-hukum di atas, Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya trasfer of training.


(39)

Menurut Gabriel Almond (1997:43) bahwa budaya politik mengandung tiga komponen objek politik sebagai berikut:

1. Orientasi Kognitif

Berupa pengetahuan tentang kepercayaan pada politik, peranan, dan segala kewajiban serta input dan outputnya.

2. Orientasi Afektif

Berupa perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor, dan penampilannya.

3. Orientasi Evaluatif

Berupa keputusan dan pendapat tentang objek-objek politik yang secara langsung melibatkan standar nilai dan criteria informasi dan perasaan.

Menurut Gabriel Almond (1997:48) budaya politik tergolong dalam tiga kelompok meliputi:

1. Budaya Politik Parokial

Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik di mana ikatan seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara kognitif maupun afektif.

2. Budaya Politik Subyek

Budaya politik subyek adalah budaya politik yang tingkatannya lebih tinggi dari parokial oleh sebab individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari warga suatu negara. Individu yang berbudaya politik subyek juga memberi perhatian yang cukup atas politik akan tetapi sifatnya pasif.


(40)

3. Budaya Politik Partisipan

Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi tingkatannya ketimbang subyek. Dalam budaya politik partisipan, individu mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang mempunyai sejumlah hak maupun kewajiban. Hak misalnya untuk menyatakan pendapat, memperoleh pekerjaan, penghasilan, pendidikan, dan di sisi lain kewajiban untuk, misalnya, membayar pajak.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa teori stimulus respon merupakan sebuah teori yang bersifat objektif yang menekankan pada penelitian empiris dan tingkah laku manusia, pikiran, dan perasaan manusia atau hal lain. Respon dan menjawab memberikan reinforcement respon baru, memunculkan motif sekunder dari drive primer dan mengembangkan proses mental yang lebih tinggi melalui mediasi stimulus.

2. Respon Masyarakat dan Perjanjian Pasca Konflik

Menurut Lambang Trijono (2007:23) bahwa definisi respon masyarakat adalah tanggapan-tanggapan dari masyarakat, reaksi-reaksi dari masyarakat, dan jawaban-jawaban dari masyarakat yang ikut serta menyuarakan suaranya berupa pendapat atau tanggapan baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Dari pengertian respon masyarakat tersebut, dapat dikatakan bahwa respon masyarakat merupakan tanggapan yang dilakukan oleh masyarakat yang ikut menyuarakan suaranya berupa pendapat baik secara tertulis maupun tidak tertulis.


(41)

Menurut Fakih Mansour (2001:23) bahwa respon masyarakat merupakan suatu reaksi atau jawaban seseorang atau masyarakat yang ikut berperan berupa sikap, emosi pengaruh masa lampau dan sebagiannya yang akhirnya menentukan bentuk perilaku yang ditampilkan seseorang. Dari pengertian respon masyarakat tersebut, dapat dikatakan bahwa respon masyarakat merupakan proses reaksi sikap masyarakat yang ikut berperan yang selanjutnya ditampilkan dihadapan seseorang.

Menurut Lambang Trijono (2007:23) bahwa definisi perjanjian pasca konflik adalah ikatan antar kedua belah pihak sebagai kesepakatan keduanya yang diucapkan dengan lisan maupun tulisan. Dari pengertian respon masyarakat tersebut, dapat dikatakan bahwa respon masyarakat merupakan perjanjian kesepakatan oleh kedua belah pihak baik secara lisan maupun tulisan.

Menurut Qirom Samsudin (1997:9) bahwa perjanjian pasca konflik adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana seorang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari pengertian respon masyarakat tersebut, dapat dikatakan bahwa respon masyarakat merupakan proses perjanjian seseorang kepada orang lain untuk keperluan sesuatu hal.

Jadi, yang dimaksud respon masyarakat terhadap perjanjian pasca konflik adalah bentuk reaksi atau tanggapan masyarakat yang ikut menyuarakan pendapatnya terhadap persepakatan atau persetujuan isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan sesuatu hal.


(42)

Adapun penelitian terdahulu diantaranya sebagai berikut: Tabel 1. Penelitian Terdahulu

No Nama

1. a. b.

c.

Sitti Atissa Ruzuar

Judul Penelitian

Respon Masyarakat Terhadap Program Sosialisasi KPU

(Studi: Penggunaan Surat Suara di Kecamatan Lembah Gumanti) Tujuan Penelitian

Mendeskripsikan dan menganalisis Respon Masyarakat terhadap Program Sosialisasi Komisi Pemilihan Umum tentang penggunaan surat suara di kabupaten Solok dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatra Barat 2010

Hasil Penelitian

d. Pelaksanaan Sosialisasi Pemilukada kecamatan Lembah Gumanti dilakukan dengan berbagai bentuk Komunikasi Politik. Bentuk komunikasi yang dilakukan adalah, Komunikasi tatap muka, komunikasi melalui media, dan kampanye. Komunikasi dilakukan agar informasi mengenai Pemilukada serta informasi tentang cara memilih dapat diterima dengan baik oleh masyarakat sehingga masyarakat pergi ke TPS dan mencoblos dengan benar. Sosialisasi merupakan salah satu dari 22 tugas KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. KPU Kabupaten/Kota bertugas melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan/atau yang berkaitan dengan tugas KPU Kabupaten/Kota kepada masyarakat.

Informasi mengenai Pemilukada dan cara mencoblos seharusnya sepenuh nya menjadi tugas KPUD kabupaten, namun pada kenyataannya yang melakukan komunikasi tatap muka adalah KPPS untuk menyampaikan kepada masyarakat. Hal inilah yang membuat kurang maksimalnya informasi yang sampai di kalangan masyarakat, seharusnya KPUD Kabupaten Solok melakukan Komunikasi langsung kepada masyarakat dan berkoordinasi dengan petugas lainnya PPK dan PPS, mengoptimalkan sosialisasi tersebut tidak hanya menyerahkan begitu saja kepada KPPS tanpa ada koordinasi dan pengontrolan. Kurangnya tenaga, dana, dan kontrol dari KPUD kabupaten Solok yang menjadi salah satu penyebab tidak maksimalnya informasi yang beredar di kalangan masyarakat. Selain itu tingkat kepedulian masyarakat yang minim dan pendidikan yang rendah juga membuat informasi yang telah disampaikan oleh KPPS tidak dipahami dan dilakukan dengan benar karena masyarakat sibuk dengan kegiatannya dan hanya mengandalkan informasi yang diberikan oleh KPPS pada saat hari H.


(43)

Kemudian faktor umur yang membuat masih banyak nya kesalahan yang terjadi pada saat pencoblosan. Respon masyarakat secara keseluruhan adalah baik terhadap segala bentuk program sosialisasi hanya saja masyarakat sulit untuk dikumpulkan, sehingga informasi yang dapat diterima kebanyakan melalui mulut ke mulut, KPPS dan televisi. Masyarakat kedepannya mengaharapkan sosialisasi dan komunikasi politik oleh KPUD Kabupaten Solok dan petugas lain seperti PPK, PPS dan KKPS dilakukan dengan optimal, dan dengan waktu yang lebih panjang sehingga informasi yang disampaikan kepada masyarakat bisa lebih sering dan lebih banyak agar masyarakat bisa lebih mengerti baik untuk yang berpendidikan ataupun yang berpendidikan rendah. Kemudian masyarakat mengharapkan adanya sosialisasi langsung kepada masyarakat lanjut usia dengan kekurangan penglihatan dan pendengaran sehingga dapat lebih terbantu. Lalu jadwal dan metode sosialisasi yang di sesuaikan dengan masyarakat, agar informasi dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.

Nama 2. a I Made Putra Ariana

Judul Penelitian

b Respon Masyarakat Setempat Terhadap Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Di Desa Temesi Kabupaten Gianyar

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui respon masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Temesi Kabupaten Gianyar.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya respon masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar.

3. Untuk mengetahui dampak dan makna respon masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar Hasil Penelitian

1. Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Desa Temesi yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Gianyar dengan segala aktivitasnya menimbulkan respon positif dan respon negatif dari masyarakat setempat. Selanjutnya, kedua respon tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut ini:

a. Respon positif masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA ditunjukkan dengan persepsi positif serta sikap dan perilaku positif masyarakat setempat. Dalam persepsi tersebut, masyarakat setempat mempunyai pandangan bahwa TPA mendatangkan kesejahteraan kehidupannya. Lebih lanjut, dalam sikap dan perilakunya, masyarakat telah mempunyai kebiasaan baik dalam mengelola sampah.


(44)

b. Keberadaan TPA di Desa Temesi juga menimbulkan respon negatif. Respon negatif tersebut juga ditunjukkan oleh persepsi negatif masyarakat setempat, yaitu adanya rasa kekhawatiran timbulnya kerusakan lingkungan dan sumber penyakit bagi masyarakat setempat. Selain itu, suasana kumuh, kebisingan, kotor, bau busuk, dan aktivitas TPA dipersepsikan akan sangat mengganggu kenyamanan aktivita masyarakat setempat. Respon negatif masyarakat juga ditunjukkan dengan sikap dan perilaku protes terhadap pelayanan dan cita-cita pemerintah untuk menciptakan Kabupaten Gianyar yang bersih, indah, dan lestari. Akan tetapi, di lain pihak semua itu menimbulkan kerusakkan lingkungan di Desa Temesi.

2. Munculnya berbagai respon masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut ini:

a. Faktor yang menyebabkan munculnya respon positif masyarakat setempat terdiri atas faktor sosial-budaya dan faktor ekonomi. Secara sosial budaya, masyarakat setempat telah mengalami perubahan menuju pada kebiasaan yang baik dalam menangani sampah. Secara ekonomi, keberadaan TPA telah memberikan sebagian masyarakat setempat lapangan kerja, kemampuan mendaur ulang sampah, dan kemudahan memanfaatkan kompos. Secara sosial budaya dan ekonomi, masyarakat telah mendapatkan keuntungan dan kemudahan sehingga muncul respon positif dari sebagian masyarakat setempat. b. Faktor yang menyebabkan munculnya respon negatif

masyarakat setempat juga terdiri atas faktor sosial-budaya, ekonomi dan juga faktor kesehatan. Secara sosial-budaya, mayarakat setempat mengalami sesuatu yang tidak biasa terhadap lingkungannya seperti suasana bising, kotor, dan jauh dari keindahan. Selain itu, masyarakat juga merasakan kekecewaan karena kurang konsistennya pemerintah melaksanakan kesepakatan. Berkembangnya rumah-rumah kumuh juga menambah rasa kecewa dari masyararakat setempat, sehingga muncul ketidaknyamanan masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA.


(45)

3. Dampak respon masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA akan dijabarkan dalam dampak respon positif dan negatif seperti berikut ini:

a. Dampak respon positif dari keberadaan TPA di Desa Temesi secara sosial budaya adalah menimbulkan kesadaran masyarakat setempat betapa pentingnya memelihara lingkungan menjadi bersih dan sehat. Hal itu ditunjukkan dalam mengubah kebiasaan membuang dan mengelola sampah menjadi lebih baik. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulya kerusakan lingkungan yang dapat merugikan warga dan hewan peliharaan yang dimilikinya. Timbulnya pemikiran masyarakat bahwa keberadaan TPA juga dapat memberikan kehidupan kepada masyarakat, seperti bekerja menjadi pemilah sampah/pemulung, menjadi pegawai di TPA dan juga menjadi pengepul barang bekas. b. Respon negatif masyarakat setempat juga berdampak pada

kehidupan sosial budaya masyarakat setempat, yaitu ketidaknyamanan masyarakat karena semakin banyaknya pendatang dari luar. Selain itu, juga timbul perasaan terganggunya budaya setempat oleh budaya pendatang yang bekerja di TPA. Secara ekonomi, dampaknya pada kemampuan kurang mampu bersaing secara sehat dengan para pendatang. Artinya masyarakat setempat kalah dalam menghasilkan uang dengan pandatang. Selain itu, dampak respon negatif masyarakat secara ekologi adalah berupa keresahan dalam masyarakat yang bekerja sebagai petani, karena kerusakan lingkungan yang terjadi mengganggu pertanian mereka.

4. Makna respon masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA juga di jabar seperti berikut ini. Makna respon mayarakat setempat yang dijelaskan dengan kehidupan sosial budaya, adalah perubahan budaya masyarakat. Semua itu, ditandai adanya kesadaran, dan juga anjuran pemerintah sehingga masyarakat punya pengetahuan akan pentingnya kelestarian lingkungan. Semua itu didukung oleh sistem sosial yang mapan. Selain itu, juga terkandung makna ekonomi (kesejahteraan masyarakat). Makna ekologi dari respon positif masyarakat setempa adalah kesadaran individu dalam masyarakat setempat mengena lingkungan hidup dan kelestariannya yang merupakan hal yang amat penting.


(46)

Berdasarakan tabel di atas, dapat di katakana bahwa penelitian penulis dengan penelitian terdahulu sangatlah berbeda, karena pada penelitian terdahulu yang pertama ini respon masyarakatnya tertuju terhadap program sosialisasi KPU yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis respon masyarakat terhadap program sosialisasi komisi pemilihan umum tentang penggunaan surat suara dalam pemilihan umum kepala daerah dan selanjutnya penelitian terdahulu yang ke dua ini respon masyarakatnya tertuju terhadap keberadaan tempat pembuangan akhir yang bertujuan untuk mengetahui respon masyarakat terhadap tempat pembuangan akhir dan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya respon masyarakat setempat terhadap keberadaan tempat pembuangan akhir serta untuk mengetahui dampak dan makna respon masyarakat setempat terhadap keberadaan tempat pembuangan akhir, akan tetapi dalam penelitian penulis yaitu respon masyarakatnya hanya tertuju pada surat perjanjian perdamaian pasca konflik komunal yang bertujuan untuk mengetahui respon masyarakat terhadap perjanjian perdamaian pasca konflik komunal. Jadi dapat di katakan bahwa penelitian penulis dengan penelitian terdahulu di atas sangatlah berbeda, karena penelitian terdahulu respon masyakatnya tertuju pada program sosialisasi KPU dan tempat pembuangan akhir, tetapi penelitian penulis hanya tertuju pada surat perjanjian perdamaian pasca konflik komunal.


(47)

D. Kerangka Pikir

Telah terjadi konflik dua desa, yaitu Desa Balinuraga dengan Desa Agom. Dimana konflik tersebut sudah bisa terselesaikan melalui perjanjian perdamaian kedua belah pihak yang bertikai. Dalam hal ini, muncullah teori stimulus respon yang artinya sebuah teori yang bersifat objektif, fungsional, yang sangat menekankan pada penelitian empiris dan hanya sedikit sekali memperhatikan sisi objektif dan intuitif tingkah laku manusia.

Penelitian ini untuk mengetahui respon kedua belah pihak masyarakat terhadap perjanjian perdamaian dan untuk mengetahui perbandingan respon kedua belah pihak masyarakat terhadap perjanjian perdamaian yang bertujuan untuk memelihara dan menjaga perdamaian. Agar lebih mudah dalam memahami penelitian ini, dapat dilihat dari bagan kerangka pikir berikut ini: Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir

KONFLIK KOMUNAL

MASYARAKAT DESA BALINURAGA

MASYARAKAT DESA AGOM

UNTUK MENGETAHUI :

ď‚· RESPON KEDUA BELAH PIHAK MASYARAKAT TERHADAP PERJANJIAN PERDAMAIAN

ď‚· RESPON YANG DIMAKSUD BERUPA TINGKAT

PENGETAHUANNYA, TINGKAT KESETUJUANNYA, TINGKAT DUKUNGANNYA DAN TINGKAT PELAKSANAANNYA

ď‚· PERBANDINGAN RESPON KEDUA BELAH PIHAK MASYARAKAT TERHADAP PERJANJIAN PERDAMAIAN

ď‚·

TUJUAN :

MEMELIHARA DAN MENJAGA PERDAMAIAN RESOLUSI KONFLIK :

PERJANJIAN DAMAI


(48)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, artinya penelitian yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang. Penelitian ini akan melihat respon masyarakat terhadap isi sepuluh butir perjanjian perdamaian dan membandingkan masyarakatnya serta diukur dengan angka-angka. Maka dari itu penelitian ini menggunakan tipe deskriptif dengan pendekatan kuantitatif.

Menurut Nazir (1988:54) bahwa metode deskriptif yaitu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiranatau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang dan bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

Menurut Sevilla (1993:72) ada beberapa alasan menggunakan metode deskriftif kuantitatif, salah satu diantaranya adalah bahwa metode ini digunakan secara luas dan dapat meliputi lebih banyak segi dibanding dengan metode-metode lain dan metode ini juga banyak memberikan


(49)

sumbangan kepada ilmu pengetahuan melalui pemberian informasi keadaan mutakhir dan dapat membantu dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berguna untuk pelaksanaan percobaan serta metode ini dapat digunakan dalam menggambarkan keadaan yang mungkin terdapat dalam situasi tertentu.

A. Definisi Konseptual

Untuk membatasi masalah penelitian ini, maka penulis membuat Definisi Konseptual sehingga fokus penelitian menjadi jelas. Dalam penelitian ini Definisi Konseptual yang dikemukakan adalah sebagai berikut:

1. Respon masyarakat desa Balinuraga dengan masyarakat Desa Agom terhadap sepuluh butir isi perjanjian perdamaian tersebut adalah respon masyarakat terpilih terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian yang telah ditanda tangani.

2. Perbandingan respon masyarakat desa Balinuraga dengan respon masyarakat desa Agom terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian tersebut adalah respon masyarakat terpilih terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian yang telah ditanda tangani.

B. Definisi Operasional

Menurut Masri Singarimbun (1995:46) bahwa definisi operasional merupakan operasionalisasi dari konsep-konsep yang akan digunakan, sehingga memudahkan untuk mengaplikasikannya di lapangan. Dengan


(50)

melihat definisi operasional suatu penelitian, maka seseorang peneliti akan dapat mengetahui suatu variabel yang akan diteliti.

Untuk mengetahui respon masyarakat, maka diperlukan beberapa pendekatan untuk menjelaskannya, yaitu melalui indikator-indikator respon masyarakat agar diketahui perbandingan respon kedua belah pihak masyarakat terhadap perjanjian perdamaian. Respon yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

1. Tingkat pengetahuannya (tahu atau tidak tahu)

Maksud dari tingkat pengetahuan tersebut adalah apakah masyarakat mengetahui atau tidak mengenai sepuluh butir perjanjian perdamaian. 2. Tingkat Kesetujuannya (setuju atau tidak setuju)

Maksud dari tingkat kesetujuan tersebut adalah apakah masyarakat menyetujui atau tidak mengenai sepuluh butir perjanjian perdamaian. 3. Tingkat Dukungannya (didukung atau tidak didukung)

Maksud dari tingkat dukungan tersebut adalah apakah masyarakat mendukung atau tidak mengenai sepuluh butir perjanjian perdamaian.

4. Tingkat pelaksanaannya (dilaksanakan atau tidak dilaksanakan)

Maksud dari tingkat pelaksanaan tersebut adalah apakah masyarakat melaksanakan atau tidak terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian. Berdasarkan indikator-indikator respon masyarakat di atas, maka respon dalam penelitian ini adalah respon kedua desa yaitu Desa Balinuraga dan Desa Agom terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian. Jadi, dalam


(51)

penelitian ini yang ditekankan adalah respon masyarakat terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Nawawi (1985:34) mengatakan bahwa populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda, hewan, tumbuhan, gejala, nilai tes atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Balinuraga dan masyarakat desa Agom. Masyarakat desa Balinuraga berjumlah 3015 orang, yang terdiri dari laki-laki 1509 orang dan perempuan 1506 orang, yang berumur diatas 17 tahun berjumlah 1987 orang dan yang berumur dibawah 17 tahun berjumlah 1028 orang. Jadi, dalam penelitian ini yang akan dijadikan populasi desa Balinuraga yang berumur diatas 17 tahun atau yang sudah terdaftar sebagai peserta pemilu (pemilihan umum), yaitu berjumlah 1987 orang. Dengan alasan karena apabila respondennya di atas 17 tahun, maka seseorang sudah bisa dikatakan dewasa dan akan lebih mudah mengerti dalam menjawab pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner. (Monografi Desa Balinuraga, Tahun 2012)

Sedangkan masyarakat desa Agom berjumlah 2837 orang, yang terdiri dari laki-laki 1483 orang dan perempuan 1354 orang, yang berumur diatas 17 tahun berjumlah 1865 orang dan yang berumur dibawah 17 tahun


(52)

berjumlah 972 orang. Jadi, dalam penelitian ini yang akan dijadikan populasi desa Agom yang berumur diatas 17 tahun atau yang sudah terdaftar sebagai peserta pemilu (pemilihan umum), yaitu berjumlah 1865 orang. Setelah menentukan populasi yang akan diteliti, maka ditentukan sampel penelitian. Dengan alasan karena apabila respondennya di atas 17 tahun, maka seseorang sudah bisa dikatakan dewasa dan akan lebih mudah mengerti dalam menjawab pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner. (Monografi Desa Agom, Tahun 2012)

2. Sampel

Menurut Burhan Bungin (2010:106) bahwa sampel adalah sebagian dari jumlak karakteristik yang dimiliki oleh populasi.

Dalam penelitian ini pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan menggunakan sistem acak (random sampling).

Berdasarkan rumus Slovin (dalam Sevilla (1993:161) bahwa pengambilan sampel untuk populasi yang sudah diketahui dapat digunakan dengan rumus sebagai berikut:

n = N

1+Ne

2

Keterangan:

n = Ukuran Sampel N = Ukuran Populasi


(53)

Dengan menggunakan rumus tersebut, banyaknya sampel keseluruhan yang diperoleh adalah sebagai berikut:

n

= 3852

1+ 3852 (0,1)

2

n = 3852

1+ 38,52

n = 3852

39,52

N = 97,46

dibulatkan menjadi 97 orang.

Berdasarkan sampel keseluruhan di atas, maka banyaknya sampel di setiap masing-masing desa adalah sebagai berikut:

1. Desa Agom

Populasi desa Agom adalah 1865 orang.

n = 1865

1+ 1865 (0,1)

2

n = 1865

1+ 18,65

n = 1865

19,65

N = 94,91

dibulatkan menjadi 95 orang.

Jumlah 94,91 adalah jumlah dalam bentuk desimal yang tidak mungkin diterapkan kepada responden. Oleh karena itu perlu adanya pembulatan agar diperoleh jumlah yang utuh atau bulat sehingga memudahkan pengambilan sampel yaitu menjadi 95 sampel yang berarti 95 responden. Cara mengambil anggota sampel menggunakan teknik sampling proposional (proporsional random sampling) dan di undi (Sugiyono,


(54)

2009:87). Dalam penelitian ini sampel yang sudah diketahui adalah sebanyak 95 sampel. Dari 95 sampel tersebut tersebar di 5 dusun dan 17 RT, sehingga masing-masing RT mendapat bagian sampel yang merata. Masing-masing sampel ditiap RT akan di undi bertingkat mulai dari nomor rumah dan anggota keluarga yang berusia diatas 17 tahun.

Menurut Sudjana (2005:40) bahwa penarikan sampel secara undian merupakan penarikan sampel yang layaknya seperti orang undian.

Tahapan-tahapan penarikan sampel secara undian adalah sebagai berikut: 1. Membuat daftar nomor rumah dan anggota keluarga yang sudah

berusia diatas 17 tahun yang akan diselidiki.

2. Memberi kode berupa angka-angka untuk semua yang dalam diselidiki dalam nomor 1.

3. Menulis kode tersebut masing-masing dalam selembar kertas kecil. 4. Menggulung setiap kertas kecil berkode tersebut.

5. Memasukkan gulungan-gulungan kertas tersebut dalam kaleng atau tempat sejenis.

6. Mengocok baik-baik kaleng tersebut.


(55)

2. Desa Balinuraga

Populasi desa Balinuraga 1987 orang.

n = 1987

1+ 1987(0,1)

2

n = 1987

1+ 19,87

n = 1987

20,87

N = 95,20

dibulatkan menjadi 95 orang.

Jumlah 95,20 adalah jumlah dalam bentuk desimal yang tidak mungkin diterapkan kepada responden. Oleh karena itu perlu adanya pembulatan agar diperoleh jumlah yang utuh atau bulat sehingga memudahkan pengambilan sampel yaitu menjadi 95 sampel yang berarti 95 responden. Cara mengambil anggota sampel menggunakan teknik sampling proposional (proporsional random sampling) dan di undi (Sugiyono, 2009:87). Dalam penelitian ini sampel yang sudah diketahui adalah sebanyak 95 sampel. Dari 95 sampel tersebut tersebar di 7 dusun dan 16 RT, sehingga masing-masing RT mendapat bagian sampel yang merata. Masing-masing sampel ditiap RT akan di undi bertingkat mulai dari nomor rumah dan anggota keluarga yang berusia diatas 17 tahun.


(56)

Menurut Sudjana (2005:40) bahwa penarikan sampel secara undian merupakan penarikan sampel yang layaknya seperti orang undian.

Tahapan-tahapan penarikan sampel secara undian adalah sebagai berikut: 1. Membuat daftar nomor rumah dan anggota keluarga yang sudah berusia

diatas 17 tahun yang akan diselidiki.

2. Memberi kode berupa angka-angka untuk semua yang dalam diselidiki dalam nomor 1.

3. Menulis kode tersebut masing-masing dalam selembar kertas kecil. 4. Menggulung setiap kertas kecil berkode tersebut.

5. Memasukkan gulungan-gulungan kertas tersebut dalam kaleng atau tempat sejenis.

6. Mengocok baik-baik kaleng tersebut.


(57)

E. Sumber Data

Menurut Arikunto (1998:114) bahwa sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data atau informasi adalah salah satu yang paling vital dalam penelitian. Kesalahan dalam menggunakan atau memahami sumber data, maka data yang diperoleh juga akan meleset dari yang diharapakan.

Menurut Burhan Bungin (2010:122) bahwa sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder.

Dalam penelitian ini sumber datanya adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari para informan. Pada penelitian ini, data primer diperoleh penulis masing-masing jawaban informan yang telah menjawab beberapa pertanyaan. Setelah mendapatkan data primer tersebut yang berasal dari wawancara, penulis mengolah data tersebut dan menganalisisnya yang di paparkan secara terperinci dalam pembahasan.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari data yang dibutuhkan peneliti. Data sekunder dasarnya diperlukan untuk melengkapi informasi bagi penulis. Pada pengumpulan data sekunder, penulis mengumpulkan data-data tersebut yang bersumber dari arsip-arsip, dokumen-dokumen dan sumber-sumber lain yang relevan dan dapat diterima.


(58)

F. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Nan Lin (1994:8) bahwa teknik pengumpulan data merupakan teknik yang dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian.

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan cara sebagai berikut:

1. Kuesioner

Menurut Nazir (1988:10) bahwa wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan lisan dan berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada peneliti. Penelitian ini menggunakan 95 responden, setiap masing-masing responden diberikan pertanyaan terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian dan responden menjawab pertanyaan tersebut. Peneliti membacakan pertanyaan tersebut dan kemudian responden menjawab pertanyaan tersebut.

2. Dokumentasi

Menurut Nazir (1988:14) dokumentasi adalah semua sumber baik sumber tertulis maupun sumber lisan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian sangat perlu didukung oleh dokumentasi. Oleh sebab itu, penulis juga melakukan studi dokumentasi yakni dengan cara mempelajari dan mengumpulkan bahan-bahan tertulis, yaitu berupa arsip-arsip perjanjian perdamaian.


(59)

Penulis juga mengumpulkan dokumentasi dalam bentuk foto, dimana foto tersebut adalah foto responden dan peneliti ketika menjawab pertanyaan serta foto kantor kepala desa Balinuraga dan kantor kepala desa Agom. Dokumen ini pada dasarnya penting dipelajari karena dokumen, penulis dapat menemukan suatu ide-ide pembaharuan ataupun bisa juga berupa penolakan terhadap sesuatu data tersebut.

G. Teknik Pengolahan Data

Menurut Nazir (1988:55) bahwa pengolahan data merupakan data mentah yang telah dikumpulkan oleh peneliti. Data yang terkumpul tidak langsung dianalisis, tetapi lebih dahulu diperiksa kembali dengan tujuan apakah data yang terkumpul tersebut mempunyai kekurangan maupun kesalahan agar tidak mempengaruhi hasil penelitian.

Dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan menggunakan cara sebagai berikut:

1. Tahap Editing

Menurut Nazir (1988:30) bahwa tahap editing merupakan tahap memeriksa kembali data yang berhasil diperoleh dalam rangka menjamin keabsahannya. Kemudian dipersiapkan ketahap selanjutnya yaitu memeriksa hasil kuesionr yang telah diisi oleh responden yang berada di desa Balinuraga dan desa Agom. Tujuan editing adalah untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan dilapangan dan pada dasarnya bersifat koreksi.


(60)

2. Tahap Koding

Menurut Nazir (1988:35) bahwa koding yaitu usaha mengelompokkan jawaban-jawaban responden menurut macamnya untuk kemudian diberi kode dan dipindahkan dalam tabel kode atau buku kode. Kode ini dibuat dalam bentuk angka atau huruf yang memberikan petunjuk atau identitas pada suatu informasi atau data yang akan dianalisis. Tahap ini dilakukan dengan mengklasifikasikan jawaban responden sehingga akan mudah mengetahui hasil kuesioner.

3. Tabulasi

Menurut Nazir (1988:40) bahwa tabulasi adalah kegiatan menghitung frekuensi dan persentase dari jawaban terhadap keseluruhan jawaban subjek lalu memberikan tafsiran pada nilai persentase yang diperoleh. Tahap ini dilakukan dengan cara mengelompokkan jawaban-jawaban responden yang serupa. Cara ini akan mengetahui hasil akhir yang dapat dilihat dari pengelompokan jawaban yang di masukkan ke tabel.

H. Teknik Analisis Data

Menurut Nazir (1988:65) bahwa analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah karena dengan analisislah data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.


(61)

Dianalisis dengan menggunakan rumus persentase sebagai berikut: F

P =

x

100 %

N Keterangan:

P : Persentase

F : Frekuensi pada klasifikasi kategori yang bersangkutan N : Jumlah frekuensi dari seluruh klasifikasi atau kategori variasi (Burhan Bungin 2005:172)

Analisis data yang di pergunakan oleh penulis pada saat penelitian bersifat kuantitatif dengan memasukkan data dari masing-masing jawaban kuesioner yang telah diisi oleh responden. Penulis melakukan perhitungan data dari masing-masing jawaban responden dalam bentuk angka-angka dan memasukkan ke dalam kerangka tabel untuk menghitung frekuensi dan membuat persentase dari masing-masing jawaban responden tersebut. Sehingga mayoritas dari masing-masing jawaban responden yang telah dipersentasekan dianalisis oleh penulis dengan melihat konsep-konsep dari para ahli dan realita di lapangan serta di interpretasikan yang di jelaskan secara terperinci di dalam pembahasan.


(62)

Dalam penelitian ini analisis data dilakukan dengan menggunakan cara sebagai berikut:

1. Komparasi

Menuruit Nazir (1988:69) bahwa komparasi adalah suatu proses membandingkan hasil data yang diperoleh dan dibandingkan dengan orang lain. Komparasi dalam penelitian ini yaitu membandingkan hasil jawaban kuesioner dari desa Balinuraga dan desa Agom.

2. Interpretasi data

Menuruit Nazir (1988:47) bahwa Interpretasi adalah suatu proses untuk menyederhanakan ide-ide atau isu-isu yang rumit yang kemudian di deskripsikan sehingga dapat ditarik kesimpulan sebagai hasil penelitian.

3. Penarikan Kesimpulan (Verifikasi)

Menurut Nazir (1988:76) bahwa penarikan kesimpulan merupakan tindakan peneliti untuk berusaha menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi dengan mencari makna setiap gejala yang diperolehnya dilapangan.


(63)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Singkat Lokasi Penelitian Desa Agom dan Desa Balinuraga

1. Desa Agom

Desa Agom merupakan suatu wilayah hasil pembukaan hutan, yang dilaksanakan oleh kaum pribumi yang bertujuan untuk bercocok tanam terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan. Tujuan utama mereka pada dasarnya untuk bercocok tanam, yang pada awalnya mengalami berbagai kendala dalam hal bercocok tanam, antara lain kesulitan air, sehingga mereka berjalan, berkeliling, berputar-putar atau dalam Bahasa Lampung (Segalo, berkeliling atau dengan kata lain dalam Bahasa Lampung disebut Midor).

Adapun Kronologis sejarah kepemimpinan Desa Agom dari awal hingga saat ini adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Periode Kepemimpinan Desa Agom

No Nama Pejabat Periode Tahun

1 Rustam Efendi 2004-2009

2 Mukhsin Syukur 2010-2016

(Sumber: Sejarah Kepemimpinan Desa Agom)


(64)

Pada jaman dahulu Desa Balinuraga adalah lahan milik pemerintah yang kemudian dijadikan sebagai daerah tujuan transmigrasi pada tahun 1963 dan pada tahun 1963 diberi nama Desa Balinuraga di bawah wilayah Kecamatan Kalianda.

Pada tanggal 27 September 1967 Dinas transmigrasi menempatkan 4 (empat) rombongan peserta transmigrasi yang ditempatkan di Balinuraga. Rombongan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sidorahayu diketuai oleh Pan Sudiartana yang berjumlah 250 KK 2. Sukanadi diketuai oleh Pan Kedas yang berjumlah 75 KK

3. Pandearge diketuai oleh Made Cedah yang berjumlah 175 KK 4. Rengas diketuai oleh Oyok yang berjumlah 40 KK

dan tahun 1963-1965 wilayah ini belum mempunyai sruktur pemerintahan desa. Segala administrasi masih ditangani oleh jawatan transmigrasi yaitu Mangku Siman. Untuk mengkoordinir rombongan-rombongan seluruhnya. Pada tahun 1965 barulah perangkat Desa Balinuraga mulai dirintis dan terpilihlah pemerintahan sementara, yaitu:

Kepala Desa : Aji Regeg Kamitua : Sudiartana

Bayan : Sudiartana, Pan Kedas, Made Gedah, dan Oyok

Pada pertengahan tahun 1973 diadakan pemilihan kepala desa, pada pemilihan tersebut dipilih sebagai kepala desa, yaitu: Bapak Wayan Getem sejak 1973 sampai dengan 1981. Pada tahun 1981 diadakan pemilihan Kepala Desa Balinuraga, dan pada pemilihan tersebut terpilihlah Bapak Nyoman Harun. Selam 2 periode (8 tahunan). Pada ahir tahun 1988


(1)

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Respon masyarakat Desa Balinuraga terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian jika dilihat dari tingkat pengetahuannya adalah 100% responden menjawab tahu. Untuk tingkat kesetujuannya adalah 65% responden menjawab setuju. Untuk tingkat dukungannya adalah 61% responden menjawab mendukung. Untuk tingkat pelaksanaannya adalah 58% responden menjawab melaksanakan.

2. Respon masyarakat Desa Agom jika dilihat dari tingkat pengetahuannya adalah 100% responden menjawab tahu. Untuk tingkat kesetujuannya adalah 66% responden menjawab setuju. Untuk tingkat dukungannya adalah 59% responden menjawab mendukung. Untuk tingkat pelaksanaannya adalah 62% responden menjawab melaksanakan.

3. Perbandingan respon masyarakat Desa Balinuraga dengan masyarakat Desa Agom jika dilihat dari tingkat pengetahuannya yakni kedua desa tersebut memiliki hasil yang sama atau hasil yang seimbang yakni dengan hasil 100%. Dengan alasan karena pernah mendengar dan pernah membaca teks perjanjian perdamaian secara langsung melalui sosialisasi. Hal ini berarti


(2)

kedua Desa sama-sama memahami terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian.

Dilihat dari tingkat kesetujuannya, respon masyarakat tertinggi terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian ini dimiliki oleh masyarakat Desa Agom, yakni dengan hasil 66%, sedangkan Desa Balinuraga 65%. Dengan alasan warga Desa Agom lebih banyak menginginkan keamanan, ketertiban, kerukunan, keharmonisan dan perdamaian diantara kedua belah pihak. Hal ini berarti Desa Agom lebih tinggi pemahamannya dari pada Desa Balinuraga.

Dilihat dari tingkat dukungannya, respon masyarakat tertinggi terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian ini dimiliki oleh masyarakat Desa Balinuraga, yakni dengan hasil 61%, sedangkan Desa Agom 59%. Hal ini berarti Desa Balinuraga lebih tinggi pemahamannya dari pada Desa Agom.

Dilihat dari tingkat pelaksanaannya, respon masyarakat tertinggi terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian ini dimiliki oleh masyarakat Desa Agom yakni dengan hasil 62%, sedangkan desa Balinuraga 58%. Hal ini berarti Desa Agom lebih tinggi pemahamannya dari pada Desa Balinuraga.

Dilihat dari tabel hasil gabungan dua desa tingkat pengetahuan, tingkat kesetujuan, tingkat dukungan dan tingkat pelaksanaan Desa Agom dan Desa Balinuraga di dapatkan hasil 67,8% pemahaman kedua desa terhadap sepuluh butir perjanjian perdamaian yang artinya bahwa potensi konflik di kedua desa masih ada dan di perkirakan yang kurang di pahami sekitar 32,2%.


(3)

B. Saran

1. Disarankan kepada warga Desa Balinuraga agar lebih meningkatkan tingkat kesetujuannya dan tingkat pelaksanaannya, karena masyarakat Desa Balinuraga merupakan penduduk pendatang dan sekaligus pihak yang bertikai.

2. Disarankan kepada warga Desa Agom agar lebih meningkatkan tingkat dukungannya agar tercipta suasana perdamaian karena warga Desa Agom merupakan penduduk pribumi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Almond, Gabriel. 1997. Budaya Politik. Rajawali Press. Jakarta

Arikunto. 1998. Metode Penelitian Kuantitatif. Prenada Media. Jakarta Brown, Seyom. 1994. The Couses and Prevention of War. St Martin’s Press. New York

Bungin, Burhan. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif. Prenada Media. Jakarta Carol. 1998. Rekonsiliasi Konflik. Pustaka Jaya. Bandung

Dawson, John. 1998. Rekonsiliasi Konflik. Developmental Change. New York Dollar dan Millier. 2004. Teori Assosiatif. Salemba Humanika. Jakarta

Faules. 1994 Mengelola Konflik: Ketrampilan & Strategi untuk Bertindak (Edisi Bahasa Indonesia). PT Raja Grafindo. Jakarta

Galtung. 1994. Rekonsiliasi Konflik. Pustaka Jaya. Jakarta

Hugh, Miall. 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer. PT Raja Grafindo. Jakarta

Josep, W. Eaton. 1986. Pembangunan sebagai Perdamaian, Rekonstruksi Indonesia Pasca- Konflik. the Padi Institute. New York

Lin, Nan. 1994. Metode Penelitian Kuantitatif. Salemba Humanika. Jakarta Mansour, Fikih. 2001. Pembangunan sebagai Perdamaian, Rekonstruksi Indonesia Pasca-Konflik. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. CV Rajawali. Jakarta Nawawi. 1985. Metode Penelitian Kuantitatif. Pustaka Jaya. Jakarta Nazir. 1988. Metode Penelitian Kuantitatif. Artha Jaya. Surabaya

Ruth, Duane. 1986. Konflik Dalam Organisasi. Kippas. Jakarta


(5)

Santoso, Thomas. 2001. Teori-Teori Kekerasan. Ghalia Indonesia. Jakarta Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Graha Ilmu. Bandung

Sevilla. 1993. Metode Penelitian Kuantitatif. PT Raja Grafindo. Surabaya Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta

Soekanto, Soerjono. 1998. Proses Konflik dan Konflik Etnis. Pustaka Jaya. Jakarta Soetopo. 1999. Teori Konflik. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Sudjana. 2005. Metode Statistika. Tarsito. Bandung

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R & G. Alfabeta. Bandung

Straus dan Corbin. 2001. Metode Penelitian Kuantitatif. Salemba Humanika. Jakarta

Susan, Novri. 2009. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Kontemporer. Kencana. Jakarta

Taquiri. 1997. Manajemen Konflik. Pertja. Jakarta.

Thorndike. L. Edward. 2004. Teori Assosiatif. Pustaka Jaya. Bandung Trijono, Lambang. 2007. Pembangunan sebagai Perdamaian, Rekonstruksi Indonesia Pasca-Konflik. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Wiese, Von Leopod. 1987. Resolusi Konflik Melalui Jurnalisme Damai. Kippas. Medan


(6)

Sumber Lain :

Andi Rahmat(http://kompas/sosislisasi/kepemimpinan/com.html/25/10/13/18:50) Rudy Hartoyo(http://kompas/sosislisasi.com.html/5/4/2013/18:50)

(http://www.lampost/konflik Balinuraga.com/28/2012/22:12 WIB) (Ketut Wardane, Wayan Mungkur/2/07/2013/09:40 WIB)

(Muhsin Syukur, Suraji/7/07/2013/11:42 WIB)

Muhamad Amin tentang konflik dalam Ruang Publik Lampost (22/11/2012/13.45)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 pasal 3 tentang penanganan konflik sosial

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 20012 bagian menimbang tentang penanganan konflik sosial Profil Desa Balinuraga dan Profil Desa Agom Tahun 2012 Monografi Desa Balinuraga dan Agom Tahun 2012


Dokumen yang terkait

KOMPARASI RESPON MASYARAKAT TERHADAP PERJANJIAN PERDAMAIAN PASCA KONFLIK KOMUNAL (STUDI PADA MASYARAKAT DESA BALINURAGA DENGAN DESA AGOM KAB. LAMPUNG SELATAN) (COMPARASI COMMUNITY RESPONSE TO POST CONFLICT PEACE AGREEMENT COMMUNAL (STUDIES ON RURAL COMMUN

1 27 80

POLITISASI DALAM KONFLIK DESA BALINURAGA KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

1 47 76

PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG PENYEBAB KONFLIK ANTARA MASYARAKAT DESA KESUMADADI DENGAN MASYARAKAT DESA BUYUT UDIK DI DUSUN 1 SIDOREJO LAMPUNG TENGAH

0 28 77

LEADERSHIP STYLE SOUTHERN REGENT LAMPUNG RYCKO MENOZA SZP IN CONFLICT RESOLUTIONBALINURAGA VILLAGE AND AGOM Dw GAYA KEPEMIMPINAN BUPATI LAMPUNG SELATAN RYCKO MENOZA SZP DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DESA BALINURAGA DAN DESA AGOM

2 25 89

RESOLUSI KONFLIK BERBASIS GOOD GOVERNANCE STUDI KASUS KONFLIK DESA AGOM DAN DESA BALINURAGA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

7 54 98

INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT DESA BALINURAGA DENGAN MASYARAKAT DESA AGOM PASCA KONFLIK

6 56 80

PERKAWINAN BEDA KASTA PADA MASYARAKAT BALI DI DESA BALINURAGA KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

4 43 55

PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN BERBASIS MASYARAKAT (STUDI EFEKTIVITAS KELOMPOK SADAR WISATA DESA WAY MULI, KECAMATAN RAJABASA, KABUPATEN LAMPUNG SELATAN)

14 120 108

PENGARUH SIKAP MASYARAKAT TERHADAP KONFLIK ANTARSUKU DISEKITAR DESA BANJARSARI KECAMATAN WAY SULAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

9 57 68

STRATEGI PENGEMBANGAN DESA WISATA BERBASIS MASYARAKAT ( COMMUNITY BASED RURAL TOURISM) DI DESA PAPRINGAN

0 18 12