KAJIAN TEORITIK ARGUMENTASI HUKUM PEMBATASAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA TERKAIT PERLINDUNGAN HAK TERDAKWA

(1)

ABSTRAK

KAJIAN TEORITIK ARGUMENTASI HUKUM PEMBATASAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PROSES

PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA TERKAIT PERLINDUNGAN HAK TERDAKWA

Oleh : Naradea Pranusa

Setiap usaha untuk memperbaharui hukum termasuk pembaharuan hukum acara pidana di dalam KUHAP, bukanlah semata-mata kegiatan untuk memperbaiki hukum yang ada, tetapi justru mengganti hukum tersebut dengan yang lebih baik. Diantara hal ini harus perlu dilakukan perubahan, misalnya tentang alat bukti petunjuk sebagaimana diketahui bahwa KUHAP tidak memberikan batasan yang jelas mengenai pengertian alat bukti petunjuk. Di dalam penjelasan KUHAP dikatakan alat bukti petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah argumentasi hukum pembatasan penggunaan alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan terkait perlindungan Hak terdakwa? Dan Apakah urgensi pembaharuan konsep pengaturan alat bukti petunjuk dalam KUHAP?

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, data yang digunakan adalah data sekunder, pengumpulan data dengan studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

Hasil penelitian dan pembahasan diperoleh hasil bahwa alat bukti petunjuk mempunyai hubungan argumentatif dengan hak asasi manusia terdakwa dan bersifat berbanding terbalik, ketika alat bukti petunjuk dilebarkan akan menyebabkan hak terdakwa dilanggar dan apabila alat bukti petunjuk dipersempit akan menimbulkan perluasan hak asasi terdakwa dan mengakibatkan putusan majelis hakim yang mengguntungkan terdakwa dan suatu keadilan tidak tercapai. Namun ketika alat bukti petunjuk diperluas akan mengakibatkan dipersempitnya hak asasi terdakwa. Sehingga adanya keseimbangan dalam penggunaan alat bukti petunjuk dengan pelaksaan hak terdakwa. Serta Alat bukti pengamatan hakim


(2)

Naradea Pranusa

dianggap memiliki potensi yang cukup besar untuk membawa perubahan hukum melalui penafsiran dan penemuan hukum. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Hakim tidak dipandang lagi sebagai corong undang -undang, hakim hanyalah pelaksana undang-undang. Namun dalam perkembangannya hakim memiliki keleluasaan untuk menafsirkan undang-undang.

Sebaiknya penggunaan alat bukti petunjuk dibatasi penggunaannya apabila dalam persidangan hakim sudah mempunyai cukup alat bukti. Hal ini disebabkan karena akan membuat pelebaran–pelebaran hak asasi manusia terdakwa, namuan apabila hakim kekurangan dan hanya mendapat satu alat bukti.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

(13)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan………. 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 7

E. Sistematika Penulisan ………. 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Alat Bukti Dalam KUHAP Menurut Prespektif Kepastian Hukum………. 14

B. Asas Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana………. 17

C. Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Peradilan Pidana……… 19

D. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Terdakwa……… 21

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah………..…………..……….. 28

B. Sumber dan Jenis Data………..………..……….. 28

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data…..…..……..…..….. 30


(14)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Argumentasi Hukum Pembatasan Penggunaan Alat Bukti Petunjuk dalam Pemeriksaan Perkara Pidana di Persidangan Terkait Hak

Asasi Terdakwa ... 32 B. Urgensi Pembaharuan Konsep Pengaturan Alat Bukti Petunjuk

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana………... 43

V. PENUTUP

A. Kesimpulan………..………. 50

B. Saran……….……… 51


(15)

DAFTAR PUSTAKA

Adyan, Thomas. 1982.Diktat Hukum Acara Pidana. Universitas Lampung. Press. Bandar Lampung.

Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana. Universitas Lampung. Pres. Bandar Lampung.

Arif, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Hamzah, Andi. 1986.Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. Harahap, M.Yahaya. 1993. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Jilid 2 (Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta.

Marwan, M. 2009. Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality Publisher. Surabaya.

Moeljatno. 1973. Pembaharuan Hukum Pidana Nasional. Bumi Aksara. Yogyakarta.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Pangaribuan, Luhut M.P dkk. 2010. Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Akusatorial dan Adversarial. Papas Sinar Sinaanti bekerja sama dengan PERADI. Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono. 1974.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sumur. Bandung. Prodjohamidjojo, Martiman. 1983.Sistim Pembuktian dan Alat-alat Bukti. Ghalia

Indonesia. Jakarta.

Kuffal. 1997.Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. Ikip. Malang.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita. 2003. Petunjuk Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Perkara Pidana. Alumni. Bandung.


(16)

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989.Metode Penelitian Survey. Jakarta Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soerjono, Soekanto. 1986.Pengantar penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

http://id.wikipedia.org http://artikata.com


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia dalam penyelenggaraan peradilan pidana yang berbasis pada hukum Eropa Kontinental tersebut berpedoman padaHet Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Dasar hukum tersebut diberlakukan sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Proses tentang acara perkara pidana sipil sebagaimana yang terjadi pada masa lalu dengan bepedoman pada Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) pada masa sekarang ini dikenal dengan istilah Hukum acara pidana, yaitu hukum yang mengatur tentang tata cara beracara di badan peradilan dalam lingkup hukum pidana. Istilah Hukum acara pidana di Indonesia sekarang ini diatur dalam Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.


(18)

2

Proses pelaksanaan hukum pidana di masa sekarang ini erat hubungannya dengan masalah peradilan yang dalam pelaksanaannya harus menggunakan hukum acara pidana, karena hukum acara pidana mengatur hak-hak seseorang serta wewenang aparat penegak hukum apabila tersangkut dalam perkara pidana seperti penangkapan, penahanan dan penuntutan. Penyelenggaran peradilan pidana dari proses penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta pelaksanaan putusan pengadilan. Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan, yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara pidana (Andi Hamzah, 1986:17).

Sehubungan dengan hal di atas, dalam rangka penyelenggaran peradilan pidana khususnya selama proses pemeriksaan disidang pengadilan sebelum menjatuhkan vonis maka hakim juga berpedoman pada beberapa dasar pertimbangan dan berpedoman pada alat bukti yang dapat dipergunakan untuk menentukan penjatuhan pidana. Salah satu alat bukti yang digunakan oleh hakim selama sidang di Pengadilan adalah alat bukti petunjuk.

Berkaitan dengan penyelenggaran peradilan pidana khususnya selama proses pemeriksaan disidang pengadilan di atas, bahwa tujuan dari acara pidana ialah untuk mendapatkan suatu kebenaran materil dalam arti apakah benar telah terjadi suatu tindak pindana dan terdakwa pelakunya, atau telah terjadi tindak pidana tetapi bukan terdakwa pelakunya atau sebaliknya tidak terjadi tindak pidana yang selanjutnya berdasarkan atas kebenaran akan ditetapkan suatu keputusan hakim. Baik putusan yang mengandung pemidanaan atau sebaliknya tidak mengandung pemidanaan, yaitu pelepasan atau pembebasan dari segala tuntutan hukum.


(19)

3

Pembuktian adalah untuk mencari kebenaran materil, kebenaran yang sejati, dalam rangka mencari kebenaran yang sejati ini sangat luas, tidak saja hanya ada pemeriksaan sebelumnya, karena didalam KUHAP terdapat empat fase dalam mencari kebenaran sejati, yaitu :

a. Fase penyidikan. b. Fase penuntutan.

c. Fase pemeriksaan dipersidangan.

Sehubungan dengan hal di atas, dalam pembuktian yang terdapat dalam fase pemeriksaan dipersidangan hanyalah merupakan sutu diantara empat fase dari hukum acara pidana secara keseluruhan. Namun demikian pemeriksaan disidang pengadilan merupakan fase yang terpenting dalam hukum acara pidana dalam rangka mencari kebenaran yang materill, apabila dalam fase sebelumnya kebenaran materil itu belum didapatkan karena fase pemeriksaan disidang pengadilan merupakan fase yang terakhir yang akan dijadikan dasar oleh hakim untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan perkara. Berkaitan dengan hal dalam rangka mencari kebenaran materil pada fase pemeriksaan disidang pengadilan, Pasal 184 KUHAP telah menentukan beberapa alat bukti yang sah yang dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk mendapatkan keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi terdakwalah pelakunya.

Adapun Alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP ayat (1) adalah sebagai berikut :

a. Keterangan saksi. b. Keterangan ahli.


(20)

4

c. Surat. d. Petunjuk.

e. Keterangan terdakwa.

Berdasarkan kelima alat bukti tersebut diatas, alat bukti huruf d yaitu alat bukti “Petunjuk” merupakan alat bukti yang berbeda dengan alat bukti lain. Berbeda dalam arti menggantungkan diri pada alat bukti lain sebagaimana termasuk dalam Pasal 188 Ayat (2) KUHAP tentang sumber petunjuk, yaitu :

a. Keterangan saksi. b. Surat.

c. Keterangan terdakwa.

Sehubungan dengan hal di atas, dalam Pasal 188 Ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaian baik antara satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya”.

Selanjutnya ketentuan Pasal 188 Ayat (3) KUHAP menyatakan “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 188 KUHAP di atas penulis berpendapat bahwa alat bukti petunjuk sebagai alat bukti yang menggantungkan diri dengan alat bukti yang lain yang walaupun tidak dijadikan sumber petunjuk tetap sebagai alat bukti yang sah dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk mendapatkan keyakinan, akan


(21)

5

tetapi alat bukti petunjuk tersebut pada hakikatnya hampir sama dengan pengamatan hakim selama sidang. Barang bukti tersebut antara lain meliputi benda yang merupakan objek-objek dari tindak pidana, hasil dari tindak pidana dan benda-benda lain yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana. Untuk menjaga kemanan dan keutuhan benda tersebut undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyitaan. Penyitaan mana harus berdasarkan syarat-syarat dan tata cara yang telah ditentukan oleh undang-undang (Luhut M.P Pangaribuan, 2010 :254).

Berdasarkan hal tersebut, secara konseptual urgensi pembaharuan KUHAP tidak sesederhana seperti yang dikemukakan di atas. Setiap usaha untuk memperbaharui hukum, termasuk pembaharuan hukum acara pidana di dalam KUHAP, bukanlah semata-mata kegiatan untuk ‘memperbaiki’ hukum yang ada, tetapi justru ‘mengganti’ hukum tersebut dengan yang lebih baik. Diantara hal ini harus perlu dilakukan perubahan, misalnya tentang alat bukti petunjuk sebagaimana diketahui bahwa KUHAP tidak memberikan batasan yang jelas mengenai pengertian alat bukti petunjuk. Di dalam penjelasan KUHAP dikatakan alat bukti petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa.

Berdasarkan hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka mengajukan skripsi dengan judul ”Kajian Teoritik Argumentasi Hukum Pembatasan Penggunaan Alat Bukti Petunjuk Dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Terkait Perlindungan Hak Terdakwa”


(22)

6

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah argumentasi hukum pembatasan penggunaan alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan terkait perlindungan Hak terdakwa?

b. Apakah urgensi pembaharuan konsep pengaturan alat bukti petunjuk dalam KUHAP?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun yang menjadi ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada kajian teoritik argumentasi hukum pembatasan penggunaan alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan terkait perlindungan hak terdakwa dan urgensi pembaharuan konsep pengaturannya dalam kitab undang-undang hukum acara pidana. Sedangkan dalam lingkup bidang ilmu adalah bidang hukum acara pidana khususnya penggunaan alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan perkara pidana.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Pelaksanaan suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas hendak dicapai. Tujuan Penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam


(23)

7

melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Argumentasi hukum pembatasan penggunaan alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan terkait perlindungan Hak terdakwa.

b. Urgensi pembaharuan konsep pengaturan alat bukti petunjuk dalam KUHAP.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: a. Kegunaan teoritis

Untuk sedikit memberi sumbangan pengetahuan dan pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya mengaenai argumentasi hukum pembatasan penggunaan alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan terkait perlindungan Hak terdakwa.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak–pihak yang terkait dengan urgensi pembaharuan konsep pengaturan alat bukti petunjuk dalam KUHAP.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan


(24)

8

identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 125).

Adapun teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini adalah mencakup teori pembuktian serta beberapa teori tujuan pemidanaan yang juga mencakup teori dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis dalam perkara pidana. Secara teoritis mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan dalam proses persidangan sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno (1973: 34) yaitu:

“…..maka dalam usaha pencapaian proses peradilan pidana Indonesia secara terpadu, pembuktian dalam proses di persidangan merupakan salah satu masalah urgen untuk diperhatikan. Oleh sebab itu, dalam menjatuhkan vonis maka hakim harus dapat memperhatikan beberapa dasar pertimbangan untuk memberikan sanksi pidana”.

Berdasarkan pemaparan tersebut, pembuktian merupakan kekuatan-kekuatan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (Yahya Harahap, 1993 : 793).

Berkaitan dengan hal itu, hukum pembuktian merupakan suatu persoalan tentang bagaimana untuk mencari atau mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa tertentu sehingga tercapai suatu kebenaran yang materil atau setidak-tidaknya mendekati pada kebenaran yang sempurna. Menurut Wirjono Prodjodikoro (1974: 75) menyatakan kebenaran dari suatu peristiwa adalah sebagai berikut :

“...kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu yang sudah lampau, oleh karena roda waktu didunia tidak mungkin diputar


(25)

9

kembali maka seorang hakim didalam meyakini kebenaran dari suatu peristiwa haruslah dengan kepastian seratus persen. Untuk mendapatkan keyakinan tersebut hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau itu. Alat-alat tersebut dapat berupa tanda-tanda yang terwujud benda atau barang atau juga ingatan-ingatan orang orang yang mengalami keadaan itu”.

Berdasarkan pemaparan di atas maka yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu proses beracara yang telah diatur oleh undang-undang dalam mencari suatu kebenaran yang sejati dari suatu tindak pidana yang telah terjadi.

Berkaitan dengan hal itu, menurut Van Bukkelen (Wirjono Prodjodikoro, 1974: 80), menyatakan bahwa membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang:

a. Apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi; b. Apa sebabnya demikian halnya?

Sama halnya dengan pengertian di atas, Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan bahwa membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11).

Berkaitan dengan hal di atas, sistem pembuktian yang dianut KUHAP Pasal 183 KUHAP mengatur, menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa harus:

a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; b. Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim

memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.


(26)

10

Sehubungan dengan hal itu, alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran atas suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11).

Ketentuan mengenai Petunjuk diatur dalam Pasal 188 Ayat (1) sampai (3) KUHAP.

a. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karana persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

b. Petunjuk sebagaimana diaksud dalam Ayat (1) hanya dapat diperoleh dari; 1) Keterangan saksi;

2) Surat;

3) Keterangan terdakwa.

c. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan degan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah


(27)

11

yang ingin tahu akan diteliti (Soerjono Soekanto,1986 : 132). Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Pembuktian adalah kekuatan-kekuatan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (Yahya Harahap, 1993 : 793).

b. Alat Bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran atas suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11).

c. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karana persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (Pasal 188 Ayat (1) KUHAP).

d. Perkara Pidana adalah persoalan, permasalahan atau sengketa mengenai delik tindak pidana atau pelanggaran norma hukum yang berlaku dalam masyarakat menimbulkan perasaan tidak senang yang dinyatakan dalam pemberian sanksi hukum (M. Marwan, 2009: 507).

e. Hak asasi manusia (atau disingkat HAM) adalah hak-hak dasar yang telah dipunyai seseorang semata-mata karena akibat dari kualitas yang


(28)

12

disandangnya selaku manusia dengan tanpa adanya pengecualian (http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia, diakses 20 Februari 2012). f. Pembaharuan konsep merupakan sebuah ide dan pemikiran untuk membuat

sistem yang baru (www.artikata.com/arti, diakses 20 Februari 2012).

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (lima) bab yang tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai dua hal yaitu yang pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini yang meliputi: Pertama mengenai Tinjauan Umum Tentang menegakkan ketertiban dan kepastian


(29)

13

hukum, pengertian, tujuan, hambatan-hambatan. Kedua, Tinjauan Umum alat bukti. Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir maka di dalam bab ini juga disertai dengan kerangka pemikiran.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang argumentasi hukum pembatasan penggunaan alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan terkait perlindungan HAM terdakwa dan urgensi pembaharuan konsep pengaturan alat bukti petunjuk dalam KUHAP yang akan datang.

V. PENUTUP

Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas permasalahan yang diteliti.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Alat Bukti Dalam KUHAP Menurut Prespektif Kepastian Hukum

Arti dan tujuan kehidupan masyarakat ialah mencari dan mewujudkan ketenteraman atau ketertiban yaitu kehidupan bersama antara sesama anggota masyarakat yang dituntun dan dibina dalam ikatan yang teratur dan layak, sehingga lalu lintas pergaulan masyarakat yang bersangkutan berjalan dengan tertib dan lancar. Agar dapat terwujud tata pergaulan yang tertib dan lancar, satu-satunya cara yang harus ditempuh oleh masyarakat ialah jalan menegakkan ketertiban dan kepastian hukum dalam setiap aspek kehidupan, dengan kaidah-kaidah dan nilai hukum yang telah disepakati. Secara garis besar fungsi hukum dan aparat penegak hukum, pada umumnya bertujuan :

1) Agar terbina hubungan yang serasi antara negara atau masyarakat dengan warga negara dan warga masyarakat.

2) Hukum yang ditegakkan oleh instansi penegak hukum yang diserahi tugas untuk itu, harus menjamin “kepastian hukum” demi tegaknya ketertiban dan keadilan dalam kehidupan masyarakat. Ketidakpastian hukum, akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan akan saling berbuat sesuka hati serta


(31)

15

bertindak main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suatusocial disorganizationatau kekacauan sosial.

3) Untuk membina peningkatan suasana kehidupan masyarakat yang aman dan tertib atau untuk tercipta stabilitas keamanan dan ketertiban kehidupan masyarakat, hukum dan undang-undangharus ditegakkan dengan “tepat”, dan “tegas”.

KUHAP sebagai hukum positif akan memberi peluang yang lebih baik dibanding dengan masa sebelumnya. Hal ini didasarkan pada pengamatan, pembuat undang-undang merumuskan ketentuan KUHAP sedemikian rupa sehingga aturan-aturan pada garis besarnya member pengertian yang jelas serta memberi pembatasan yang terinci (seperti batas penahanan yang tegas, penjernihan fungsi, diferensiasi fungsi penyidikan dan penuntutan) penjabaran yang lebih jelas hak-hak asasi manusia dan lain sebagainya.

Akan tetapi sebaliknya, penulis masih menjumpai hal yang abstrak yang akan menyulitkan penegakan ketertiban dan kepastian hukum dalam tubuh KUHAP, antara lain ketentuan Pasal 115. Ketentuan pasal ini banyak menimbulkan permasalahan ketidakpastian hukum. Dengan kata-kata “dapat mengikuti” jalannya pemeriksaan, hal ini menimbulkan kerawanan dalam praktek penegakan hukum. Pada suatu kasus dengan mudah penasihat hukum diperbolehkan aparat penyidik mendampingi tersangka dalam pemeriksaan. Tapi pada kasus yang serupa pula, penyidik tidak memperbolehkan penasihat hukum mengikuti pemeriksaan. Atau kemungkinan bisa saja nanti terjadi. Pada suatu daerah tertentu, aparat penyidiknya selalu berlapang dada memperbolehkan penasihat hukum mengikuti pemeriksaan.


(32)

16

Sedangkan di daerah lain aparat penyidiknya tidak begitu suka diganggu oleh penasehat hukum; sehingga di daerah ini, setiap permintaan penasihat hukum untuk mengikuti pemeriksaan penyidikan akan ditolak karena mereka anggap tidak relevan. Mungkin masih ada lagi hal-hal yang dapat dicari sebagai lubang, yang akan menimbulkan kegoyahan penegakan ketertiban dan kepastian hukum dalam KUHAP. Meneliti lebih saksama masalah penegakan ketertiban dan kepastian hukum, kita masih dihadapkan kepada beberapa tantangan yang harus segera ditangani. Kita masih diliputi suasana peralihan kesadaran nilai-nilai sehingga sering dialami laju perubahan nilai-nilai kesadaran yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat tidak sejalan lagi atau dapat dikatakan tidak sinkron dengan kaidah hukum yang telah ada. Akibatnya, kaidah hukum tadi tertinggal di belakang dan tidak lagi dirasakan masyarakat sebagai pengayom dan pelindung kepentingannya. Konsekuensi dari kejadian semacam ini sering terjadi penggagahan terhadap hukum yang mengganggu ketertiban.

Hal lain, banyak peraturan yang simpang siur tentang suatu urusan. Akibat dari banyaknya peraturan yang mengaturnya, dengan sendirinya menghadirkan berbagai pejabat yang menangani. Ambil misalnya masalah perizinan yang pernah menjadi topik begitu banyak peraturan yang simpang siur serta kacaunya aparat yang sama-sama merasa dirinya berwenang menyelesaikan telah menimbulkan ketidaktertiban dan kepastian.


(33)

17

Penyakit lain yang sering mengganggu ketertiban dan kepastian hukum akibat kesimpangsiuran putusan peradilan yang sangat “disparitas”dan kesimpangsiuran ini sekarang sangat cepat beredar, akibat penyebaran melalui komunikasi mass media sehingga dalam waktu yang sangat pendek perbedaan yang mencolok dalam putusan peradilan dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Contoh yang sering dilontarkan dengan sinis ialah ungkapan pencuri ayam dihukum 2 tahun tapi pencuri kekayaan Negara berjuta-juta hanya dihukum “percobaan”.

Sulit untuk mencari pedoman pelaksanaan tugas penegakan ketertiban dan kepastian hukum terutama disebabkan faktor transisi nilainilai kesadaran yang sedang kita alami. Faktor kedua di samping perubahan nilai-nilai yaitu simpang siurnya perundang-undangan dan masih banyaknya peraturan-peraturan positif yang masih berasal dari konflik zaman kolonial.

B. Asas Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana Indonesia dalam hal pembuktian menganut asas Presumtion Of Innocence (asas praduga tak bersalah), artinya setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya keputusan hakim yang menyatakan kesalahnnya dan memperoleh hukum yang tetap. Berkaitan dengan hal itu, menurut Thomas Adyan (1982: 19) menjelaskan bahwa:

“...asas praduga tak bersalah sebagai asas pemuktian adalah suatu asa yang menjamin hak-hak asasi manusia dengan konseprule of law, selanjutnya sebagai konsekjuensi dianutnya asas praduga tak bersalah di Negara kita pembuktian dibebankan keopad Jaksa serlaku penuntut umum hterhadap apa yang didakwakan kepada seseorang”.


(34)

18

Berdasarkan asas praduga tak bersalah ini di atur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum butir 3 c KUHAP yang menjelaskan bahwa:

“Setiap orang yang disangka, ditanmgkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memeperolaeh kekuatan hukum yang tetap”.

Berkaitan dengan asas pembuktian di atas, dalam perundang-undangan pidana khusus, seperti Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 17 dan 18 ada ketentuan yang agaknya mendesak asas tersebut. Ketentuan dalam Pasal 17 Ayat (1) dan Ayat (4) menjelaskan bahwa:

Ketentuan dalam Pasal 17 Ayat (1):

“Hakim dapat memeperkenankan terdsakwa untuk kepentingan pemeriksaaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi”.

Ketentuan dalam Pasal 17 Ayat (4):

“Apabila terdakwa tidak memebrikan keterangan tentang pembhyktian sepoerti dimaksud dalam Ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal setidak-tidaknya merugikan baginya, dalam hal demikian penuntut umum tetap diwajibkan memeberikan pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi”.

Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa perundang-undangan pidana khusus, seperti Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak menganut asas pembuktian terbalik. Karena penuntut umum tetap


(35)

19

berkewajiaban membuktikan bahwa terdakwa telah korupsi. Dengan kata lain beban pembuktian ada pada penuntut umum, yang berarti masih dianut asas Presumtion Of innocence, hanya saja ketentuan tersebut dapat mendesak asas ini, karena ketidakmampuan terdakwa memberikan keterangan dapat memperkuat keteranagan sanksi lain bahwa terdakwa telah korupsi.

C. Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Peradilan Pidana

Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal justice system adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana (Barda Nawawi Arif, 2002: 75).

Berkenaan dengan hal itu, dalam proses peradilan pidana alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran atas suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11). Ketentuan mengenai Petunjuk diatur dalam Pasal 188 Ayat (1) sampai (3) KUHAP.


(36)

20

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karana persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

2. Petunjuk sebagaimana diaksud dalam Ayat (1) hanya dapat diperoleh dari; a. Keterangan saksi;

b. Surat;

c. Keterangan terdakwa.

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan degan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Proses peradilan pidana merupakan konstruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya ada aparatur hukum, advokat, terdakwa serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan. Alat bukti petunjuk dalam proses peradilan pidana juga memiliki peran penting. Ketentuan dalam Pasal 188 Ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Berkaitan dengan hal itu, ketentuan Pasal 188 Ayat (3) KUHAP yang mengatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan


(37)

21

pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Berdasarkan hal itu tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian, menjadi sama denga pengamatan hakim sebgai alat bukti. Apa yang disebut pen gamatan oleh hakim (eigen warrneming van de rechter) harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui oleh umum.

D. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Terdakwa

1. Hak Asasi Manusia di Indonesia

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk keberadaan harkat dan kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrat melekat pada diri manusia bersifat universal dan langsung, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Selain mempunyai hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen


(38)

22

internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.

Pengertian dari Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. (Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).

Hak tersebut harus diakui dan mendapatkan perlindungan. Sebagai warga negara Indonesia kita berhak mendapatkan hak tersebut karena negara kita adalah negara hukum (rechtstaats) dan Negara hukum selalu ada pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pengertian negara hukum adalah negara yang berdasarkan hukum dan keadilan bagi warga negaranya, maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa semata-mata berdasarkan atau yang diatur dalam hukum.

Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan ketentuan tertulis dan merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, di dalam pembukaan dan beberapa pasal dalam batang tubuhnya secara tersurat memuat tentang jaminan hak-hak asasi manusia. Ketentuan tersebut antara lain, yaitu :

1) Alinea Pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan tentang hak semua bangsa untuk merdeka, yaitu :


(39)

23

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perkemanusiaan danperikeadilan.”

Hal tersebut di atas mengandung arti bahwa setiap penduduk di negara manapun di seluruh dunia berhak memperoleh kemerdekaan dan mereka bebas untuk menyelenggarakan kehidupannya.

2) Dalam beberapa pasal-pasal yang terdapat pada Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, diantaranya :

a) Bab X tentang Warga Negara, yaitu Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28.

b) Bab XA tentang hak Asasi Manusia, yaitu Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28 H dan Pasal 28J.

c) Bab XI tentang Agama, yaitu Pasal 29.

d) Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, yaitu Pasal 30.

e) Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Pasal 31 dan Pasal 32. f) Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional, yaitu

Pasal 33 dan Pasal 34.

Demikian diantaranya hak-hak yang dimiliki oleh warga negara Indonesia yang keberadaannya telah diakui dan dijamin dalam Undang-Undang 1945, sehingga tidak seorangpun yang dapat atau berhak untuk menginjak-injak dan tidak mengakui keberadaannya. Ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 di atas belum ada artinya apabila tidak dijabarkan dalam undangundang pelaksananya atau yang berada


(40)

24

di bawahnya. Beberapa undang-undang yang menjabarkan tentang perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah : 1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana.

2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Hak Asasi Terdakwa

Di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP terdapat beberapa asas fundamental yang berhubungan dengan hak asasi manusia dan hukum acara pidana, sebagai bukti adanya perlindungan hak asasi manusia di dalam hukum acara pidana. Asas-asas tersebut antara lain :

1) Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.

2) Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur oleh undang-undang-undang-undang. 3) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di

muka persidangan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.


(41)

25

4) Kepada orang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak pada tingkat penyidikan, dan para pejabat penegak hukum yang sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukum administrasi.

5) Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.

6) Setiap orang yang tersangkut perkara, wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.

7) Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahukan dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.

8) Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.

9) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang.

10) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan (Romli Atmasasmita, 1996:77).


(42)

26

Asas-asas tersebut dijabarkan KUHAP dalam bentuk pemberian hak-hak kepada tersangka atau terdakwa, yang diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP. Pemberian hak kepada tersangka atau terdakwa di dalam pemeriksaan perkara di pengadilan adalah salah satu bukti bahwa hak asasi manusia diakui dan keberadaannya dijunjung tinggi di Indonesia.

Hak-hak tersangka atau terdakwa dalam KUHAP yang diatur dalam Bab VI Pasal 50 sampai 68 dan dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1) Hak untuk mendapatkan penyelesaian perkara dengan cepat. 2) Hak mempersiapkan pembelaan.

3) Hak memberi keterangan secara bebas. 4) Hak mendapatkan juru bahasa.

5) Hak mendapatkan bantuan hukum.

6) Hak untuk memilih sendiri penasihat hukum.

7) Hak untuk mendapat bantuan hukum secara cuma - cuma. 8) Hak menghubungi penasihat hukum.

9) Hak kunjungan dokter pribadi.

10) Hak diberitahukan, menghubungi, atau menerima kunjungan sanak saudara. 11) Hak berkirim dan menerima surat.

12) Hak menerima kunjungan rohaniawan. 13) Hak diadili pada sidang terbuka untuk umum.

14) Hak untuk mengajukan saksi a de charge dan saksi ahli. 15) Hak untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian.


(43)

27

16) Hak mendapat ganti rugi dan Rehabilitasi. 17) Hak naik banding dan kasasi.

18) Hak mengajukan peninjauan kembali. 19) Hak segera menerima atau menolak putusan.

20) Hak mempelajari putusan sebelum mengajukan, menerima atau menolak putusan. 21) Hak minta menangguhkan pelaksanaan putusan putusan apabila ia mengajukan

grasi. 22) Hak ingkar.


(44)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian dibandingkan dan ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.

B. Jenis Data dan Sumber Data

1. Jenis Data

Jenis data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, Peraturan perundang-undangan, seperti KUHAP dan peraturan perundangan lain yang terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, seperti putusan, dan tulisan-tulisan ilmiah dan sumber- sumber tertulis lainnya, buku- buku, literatur, dokumen resmi, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya


(45)

29

yang berkaitan dengan penelitian ini. Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder sedangkan data primer lebih bersifat sebagai penunjang.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan berupa data sekunder, yang berupa : a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum atau bahan pustaka yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun yang penulis gunakan adalah :

1) Undang- Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 2) Rancangan Undang - Undang Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku- buku, karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian atau membahas tentang rancangan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sehingga relevan dengan kondisi yang ada sekarang.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan- bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa pengertian-pengertian yang diperoleh dari kamus hukum, ensiklopedia dan bahan dari internet.


(46)

30

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka yaitu pengumpulan data sekunder.

Penulis mengumpulkan data sekunder dari peraturan perundangundangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, serta pengumpulan data melalui media internet. Metode pengumpulan data ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi obyek penelitian seperti peraturan perundangan yang berlaku dan berkaitan dengan hal-hal yang perlu diteliti.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.


(47)

31

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

D. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian. Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif. Analisis data secara kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto,1986 : 250).

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.


(48)

MOTTO

Matilah engkau dengan meninggalkan nama baik yang dikenang sepanjang masa. (Naradea pranusa)

Tidak ada manusia yang sempurna tetapi mendekati kesempurnaan itu nyata. (Andhes Tan Satrisna)

Kejarlah dunia seakan engkau akan hidup seribu tahun lagi. (Naradea pranusa)

“Dan mintalah pertolongan(kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat, kecuali bagi orang yang khusyu”.

(QS. Al-Baqarah : 45)

“Allah akan meninggikan derajad orang-orang yang beriman dan yang dibari ilmu pengetahuan beberapa tingkat”.

(25.Al-Mujadalah : 11)

Ciri orang yang beradab ialah dia sangat rajin dan suka belajar, dia tidak malu belajar daripada orang yang berkedudukan lebih rendah darinya

(Confucius)

Jadilah seperti karang di lautan yang kuat dihantam ombak dan kerjakanlah hal yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, karena hidup hanyalah sekali. Ingat hanya pada Allah apapun dan di manapun kita berada kepada Dia-lah tempat

meminta dan memohon.

“ Dimana pun pendidikan yang akan kita raih,Alam Raya-lah sekolah Kita sebenarnya”

(Naradea Pranusa)

“ Manusia tidak merancang untuk gagal, mereka gagal untuk merancang “ (Naradea Pranusa)


(49)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Firganefi, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heriyandi, S.H., M.S. NIP 196211091987031003


(50)

PERSEMBAHAN

Dengan ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan karya kecil ini kepada orang-orang yang terkasih dan mengasihiku :

Bapak tercinta, yang selama ini terus memotivasi, menasehati, dan memberikan dorongan baik moril dan materil kepadaku agar ku menjadi anak yang berguna bagi keluarga, warga, bangsa, dan agama, serta Ibu tersayang, yang selama ini berjuang keras mendidik aku hingga dewasa, tiap tetes keringat yang keluar untuk keberhasilanku dan untuk semangat, nasihat, dorongan dan doa disetiap shalat dan

sujudnya.

Untuk kakak tercinta Bunga Maulita, aku sangat berterima kasih atas dukungannya selama ini sehingga aku dapat mneyelesaikan skripsi ini. Aku

adalah adik yang sangat beruntung mempunyai kakak seperti mu.


(51)

Judul Skripsi : KAJIAN TEORITIK ARGUMENTASI HUKUM PEMBATASAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA

TERKAIT PERLINDUNGAN HAK TERDAKWA

Nama Mahasiswa : NARADEA PRANUSA No. Pokok Mahasiswa : 0642011283

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H. Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP 196112311989031023 NIP 196208171987032003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP 196208171987032003


(52)

RIWAYAT HUDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 5 Desember 1988. Merupakan anak dua dari tiga bersaudara dari pasangan Drs. Rd Basukarno Sunaryo dan Ny. Nelda Efrina.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri Teladan kota Metro yang diselesaikan tahun 2000, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 21 Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2003, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) Arjuna Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2006. Tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Pada Oktober 2009, penulis melakukan Stuban (Studi Banding) di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Indonesia.


(53)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “Kajian Teoritik Argumentasi Hukum Pembatasan Penggunaan Alat Bukti Petunjuk Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana Dipersidangan Terkait Perlindungan Hak Terdakwa” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

3. Bapak Tri Andrisman,SH.,MH selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;


(54)

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

5. Ibu Rini fathonah, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

6. Ibu Erna Dewi, S.H., M.S. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis;

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis;

8. Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung Mad Rizwan, bang Indra,boy, romi, etoy. dan untuk kekasih tercinta yang telah memberikan suport Cici Marantika, untuk yang lainnya yang pernah memberi motivasi. Dan semua yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih yang terhangat untuk kalian semua.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Bandar Lampung, 13 Februari 2013 Penulis


(55)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan,

1. Argumentasi hukum pembatasan penggunaan alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan terkait perlindungan Hak Asasi Manusia terdakwa mempunyai hubungan argumentatif dengan hak asasi manusia terdakwa dan bersifat berbanding terbalik, ketika alat bukti petunjuk dilebarkan akan menyebabkan hak terdakwa dilanggar dan apabila alat bukti petunjuk dipersempit akan menimbulkan perluasan hak asasi terdakwa dan mengakibatkan putusan majelis hakim yang mengguntungkan terdakwa dan suatu keadilan tidak tercapai. Namun ketika alat bukti petunjuk diperluas akan mengakibatkan dipersempitnya hak asasi terdakwa. Sehingga adanya keseimbangan dalam penggunaan alat bukti petunjuk dengan pelaksaan hak terdakwa dimana mampu terjadi keseimbangan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku dan rasa keadilan dari penegakan hukum tersebut dapat diwujudkan.

2. Urgensi pembaharuan konsep pengaturan alat bukti petunjuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang akan datang alat bukti petunjuk akan dihapus dan diganti dengan alat bukti pengamatan hakim. Alat bukti


(56)

51

pengamatan hakim dianggap memiliki potensi yang cukup besar untuk membawa perubahan hukum melalui penafsiran dan penemuan hukum. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Hakim tidak dipandang lagi sebagai corong undang -undang, hakim hanyalah pelaksana undang-undang. Namun dalam perkembangannya hakim memiliki keleluasaan untuk menafsirkan undang-undang. Dalam lapangan hukum pidana, hakim diperbolehkan melakukan penafsiran ekstensif atau perluasan makna, dan dilarang melakukan penafsiran analogi.

B. Saran

1. Sebaiknya penggunaan alat bukti petunjuk dibatasi penggunaannya apabila dalam persidangan hakim sudah mempunyai cukup alat bukti. Hal ini disebabkan karena akan membuat pelebaran–pelebaran hak asasi manusia terdakwa, namuan apabila hakim kekurangan dan hanya mendapat satu alat bukti. Maka untuk mencukupi batas syarat bukti minimal, maka dipergunakanlah petunjuk untuk melengkapinya. Sehingga terpenuhi alat bukti minimal (sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP.

2. Dengan berkembangnya jaman dan perkembangan hukum dan perubahan peta politik yang dibarengi dengan perkembangan ekonomi, transportasi, dan teknologi yang global sehingga makin beragamnya kejahatan yang ada dan KUHAP dipandang tidak sesuai lagi dengan perubahan sistem ketatanegaraan


(57)

52

dan perkembangan hukum dalam masyarakat sehinga perlu diganti dengan hukum acara pidana yang baru, maka sebaiknya Rancangan Undang- Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana cepat terselesaikan dan ditetapkan sebagai KUHAP yang baru.


(1)

RIWAYAT HUDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 5 Desember 1988. Merupakan anak dua dari tiga bersaudara dari pasangan Drs. Rd Basukarno Sunaryo dan Ny. Nelda Efrina.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri Teladan kota Metro yang diselesaikan tahun 2000, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 21 Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2003, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) Arjuna Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2006. Tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Pada Oktober 2009, penulis melakukan Stuban (Studi Banding) di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Indonesia.


(2)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “Kajian Teoritik Argumentasi Hukum Pembatasan Penggunaan Alat Bukti Petunjuk Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana Dipersidangan Terkait Perlindungan Hak Terdakwa” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

3. Bapak Tri Andrisman,SH.,MH selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;


(3)

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

5. Ibu Rini fathonah, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

6. Ibu Erna Dewi, S.H., M.S. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis;

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis;

8. Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung Mad Rizwan, bang Indra,boy, romi, etoy. dan untuk kekasih tercinta yang telah memberikan suport Cici Marantika, untuk yang lainnya yang pernah memberi motivasi. Dan semua yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih yang terhangat untuk kalian semua.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Bandar Lampung, 13 Februari 2013 Penulis


(4)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan,

1. Argumentasi hukum pembatasan penggunaan alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan terkait perlindungan Hak Asasi Manusia terdakwa mempunyai hubungan argumentatif dengan hak asasi manusia terdakwa dan bersifat berbanding terbalik, ketika alat bukti petunjuk dilebarkan akan menyebabkan hak terdakwa dilanggar dan apabila alat bukti petunjuk dipersempit akan menimbulkan perluasan hak asasi terdakwa dan mengakibatkan putusan majelis hakim yang mengguntungkan terdakwa dan suatu keadilan tidak tercapai. Namun ketika alat bukti petunjuk diperluas akan mengakibatkan dipersempitnya hak asasi terdakwa. Sehingga adanya keseimbangan dalam penggunaan alat bukti petunjuk dengan pelaksaan hak terdakwa dimana mampu terjadi keseimbangan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku dan rasa keadilan dari penegakan hukum tersebut dapat diwujudkan.

2. Urgensi pembaharuan konsep pengaturan alat bukti petunjuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang akan datang alat bukti petunjuk akan dihapus dan diganti dengan alat bukti pengamatan hakim. Alat bukti


(5)

51

pengamatan hakim dianggap memiliki potensi yang cukup besar untuk membawa perubahan hukum melalui penafsiran dan penemuan hukum. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Hakim tidak dipandang lagi sebagai corong undang -undang, hakim hanyalah pelaksana undang-undang. Namun dalam perkembangannya hakim memiliki keleluasaan untuk menafsirkan undang-undang. Dalam lapangan hukum pidana, hakim diperbolehkan melakukan penafsiran ekstensif atau perluasan makna, dan dilarang melakukan penafsiran analogi.

B. Saran

1. Sebaiknya penggunaan alat bukti petunjuk dibatasi penggunaannya apabila dalam persidangan hakim sudah mempunyai cukup alat bukti. Hal ini disebabkan karena akan membuat pelebaran–pelebaran hak asasi manusia terdakwa, namuan apabila hakim kekurangan dan hanya mendapat satu alat bukti. Maka untuk mencukupi batas syarat bukti minimal, maka dipergunakanlah petunjuk untuk melengkapinya. Sehingga terpenuhi alat bukti minimal (sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP.

2. Dengan berkembangnya jaman dan perkembangan hukum dan perubahan peta politik yang dibarengi dengan perkembangan ekonomi, transportasi, dan teknologi yang global sehingga makin beragamnya kejahatan yang ada dan KUHAP dipandang tidak sesuai lagi dengan perubahan sistem ketatanegaraan


(6)

52

dan perkembangan hukum dalam masyarakat sehinga perlu diganti dengan hukum acara pidana yang baru, maka sebaiknya Rancangan Undang- Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana cepat terselesaikan dan ditetapkan sebagai KUHAP yang baru.


Dokumen yang terkait

ANALISIS TERHADAP PEMBUKTIAN YANG MENGGUNAKAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PERKARA PIDANA

0 11 55

Pelaksanaan perlindungan hak hak anak sebagai terdakwa dalam proses pemeriksaan perkara pidana Di pengadilan negeri sukoharjo

0 5 85

Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Peradilan Pidana

1 3 27

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Alat Bukti Petunjuk dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Studi Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta).

0 6 15

SKRIPSI ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA Alat Bukti Petunjuk dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Studi Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta).

0 3 13

PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK KORBAN DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA Perlindungan Hukum Hak-Hak Korban Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana (Studi Kasus Di Kabupaten Sukoharjo).

0 5 12

PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK KORBAN DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA Perlindungan Hukum Hak-Hak Korban Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana (Studi Kasus Di Kabupaten Sukoharjo).

0 5 20

PENGGUNAAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PENGGUNAAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO).

0 0 11

PENDAHULUAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO).

0 0 16

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

0 0 80