2.2 Metafor sebagai Konsep Ekolinguistik
Tonggak awal perkembangan ekolinguistik diawali saat Einar Haugen 1970 memberikan paradigma metaphor sebagai konsep kajian bahasa dan lingkungan. Dikatakannya
bahwa bahasa memiliki interaksi dengan lingkungan dimana bahasa itu dituturkan. Dalam paradigma Haugen mengatakan bahwa ekologi dipahami sebagai 1 ekologi secara metaphor
ditransfer oleh bahasa dalam lingkungan di mana bahasa tersebut dituturkan dan 2 ekologi dipahami sebagai lingkungan biologis dimana bahasa memiliki peran penting secara sosial dalam
lingkungan tersebut lih. Fill Mühlhäusler, 2001:43. Paradigma baru Haugen melihat fenomena bahasa dan lingkungan membentuk suatu
sistem. Fenomena metaphor merefleksikan ekosistem tertentu. Pada awalnya, studi bahasa dan lingkungan terfokus pada bahasa-bahasa minoritas dan hegemoni bahasa-bahasa besar terhadap
bahasa kecil di kawasan Pasifik. Variabel kajian pun terbatas pada hal-hal seperti variabel etnodemografi, etnososiologis, etnokultural, dan faktor-faktor lain yang membentuk lingkungan
bahasa lih. Fill Mühlhäusler, 2001:44. Perkembangan berikutnya, kelompok peneliti dari Uni Bielefeld dengan mengembangkan kajian linguistik ekologi. Konsep awalnya berupa kajian
komunikasi secara ekologis Luhmann; Finke, 1983,1993,1996. Konsep ekosistem dijadikan model kajian terhadap kajian sistem bahasa dan lingkungan. Metafora ekosistem menurut
Trampe; Strohner, 1990 menunjukkan adanya proses interaktif terhadap perubahan sepanjang waktu antara bahasa dan dunia lingkungan. Hal ini terbukti kreatifitas kehidupan manusia
dalam memperlakukan alam. Degradasi alam tercermin dalam kreatifitas praktik berbahasa Finke, 1983; Trampe, 1990,1991.
Pendekatan metaphor dalam kajian bahasa dan lingkungan terfokus pada pendekatan kritis terhadap ekosistem. Jika sebelumnya ekolinguistik memiliki konsep sebab dan akibat
cause effect, berikutnya konsep interaksi dan dialektika Wechselwirkung mulai dikembangkan Door Bang, 1996. Wacana kritis terhadap perubahan ekologis dikembangkan
oleh Jung 1989;1994;1996 untuk mengkaji perubahan kosa kata dari waktu ke waktu. Jung mendeskripsikan bagaimana perubahan leksikal dari waktu ke waktu dengan manipulasinya
untuk menjapai maksud-maksud tertentu. Secara kritis, kajian ekolinguistik selanjutnya dilakukan Gerbig, Bang Door Alexander
1996 terfokus pada teks-teks lingkungan. Mereka mengkritik eufemisme penggunaan perangkat gramatikal agent-patientexperiencerrecipient, subject-object untuk memperhalus proses
degradasi lingkungan. Sementara itu, ahli-ahli non linguist Vester 1991, Bohm 1980, Lovelock 1988 juga menggunakan konsep-konsep pemikiran ekolinguist terhadap degradasi
lingkungan yang tercermin dalam praktik penggunaan bahasa. Selanjutnya Verhagen 1993 dan Goatly 1996 mendeskripsikan bagaimana bahasa membentuk pandangan biosentris dan
antroposentris manusia terhadap lingkungannya. Secara biologis, penamaan fenomena alam merupakan proses etnosentrisme yang
merefleksikan kondisi lingkungan dalam kurun waktu yang lama. Dengan demikian kajian ekolinguistik melampaui kajian ranah sintaksis, semantik, dan pragmatik. Luasnya cakupan
kajian ekolinguistik, peneliti perlu memperhatikan fokus kajian pada hal-hal sebagai berikut. 1
Menemukan kajian konseptual-teoretis yang sesuai; 2
Kajian terhadap sistem bahasa dan wacana kritis; 3
Kajian terhadap fitur-fitur universalitas kebahasaan yang gayut dengan isu-isu lingkungan;
4 Pendekatan kontrastif kebahasaan untuk menemukan fitur-fitur universalitas;
5 Kajian terhadap peran bahasa dalam membentuk wacana lingkungan ekoliterasi dalam
bidang pengajaran dan pendidikan.
3. Studi Kasus: Bahasa dan Pariwisata