Bahasa dan Ekologi sebagai Persfektif Ekoluingistik Dalam Pariwisata.

(1)

BAHASA DAN EKOLOGI:

SEBUAH PERSPEKTIF EKOLINGUISTIK DALAM PARIWISATA Oleh

W. Citra JuwitaSari dan Yohanes Kristianto Program Studi Industri Perjalanan Wisata

Fakultas Pariwisata Universitas Udayana inselbali@yahoo.com

Abstrak

Entitas yang ada dalam lingkungan direfleksikan oleh penutur dalam bentuk bahasa. Hubungan bahasa dan lingkungan tercermin dalam terminologi struktur bahasa, sistem bunyi bahasa, makna kata. Namun demikian, Sapir menekankan bahwa interelasi bahasa dan lingkungan secara khusus tercermin dalam level kosa kata. Kosa kata juga merupakan thesaurus yang lengkap mengenai karakteristik lingkungan fisik dan karakteristik budaya penutur yang menggunakan kosa kata tersebut. Fenomena bahasa dan lingkungan membentuk suatu sistem. Kata-kata dalam wujud metaphor merefleksikan ekosistem tertentu.

Representasi kosa kata merupakan interelasi bahasa dengan lingkungan, maka kosa kata pariwisata pun merupakan representasi lingkungan fisik maupun sosial dalam pariwisata itu sendiri. Konsep image dan bahkan hiperbolisme penggunaan perangkat leksikal mendominasi bahasa (wacana) pariwisata untuk menciptakan tourist gaze (kesan wisatawan). Bahasa promosi, iklan, program tour, baik lewat media cetak maupun elektronik (internet) menggunakan bahasa metaphor tentang semua “sisi baik” lingkungan fisik maupun sosial pariwisata.

Praktik bahasa dalam pariwisata dapat dipandang sebagai individualitas terhadap aspek intrarelasi,interrelasi, dan ekstrarelasi dari masing-masing individu, kelompok, kata, teks, dan tuturan (baca: penulis) lain-lain. Intrarelasi merupakan hubungan intraindividu. Interelasi adalah relasi satu individu dengan individu lain dalam satu lingkungan. Ekstrarelasi dimaksudkan sebagai relasi satu individu dengan individu lain yang berada dalam lingkungan yang berbeda (Lindo & Bundsgaard, 2000).

Kata kunci: bahasa, ekolinguistik, metafora, relasi 1. Latar Belakang

Bahasa dan lingkungan merupakan dua hal layaknya sisi mata uang. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari lingkungan dimana bahasa itu digunakan oleh penuturnya. Begitu juga, penutur bahasa tertentu akan membentuk suatu guyub tutur dalam suatu linkungan tertentu. Sementara itu, lingkungan menjadi sumber pengetahuan bagi penutur dalam suatu guyub tutur. Entitas yang ada dalam lingkungan direfleksikan oleh penutur dalam bentuk bahasa. Sejalan dengan pendapat Chomsky, bahwa bahasa, penutur bahasa, dan lingkungan memiliki independensi (saling


(2)

ketergantungan). Suatu hipotesis yang sebelumnya juga diungkapkan oleh Sapir (1912) bahwa alam dan lanskap memiliki korelasi signifikan terhadap pembentukan suatu wacana secara budaya (lih.Fill & Mühlhäusler, 2001:5).

Dalam perkembangannya, akhirnya paradigma keterkaitan bahasa dan lingkungan (ekologi bahasa) secara tegas dimunculkan oleh Einar Haugen (1970). Haugen merujuk pada studi ekologi, penutur, dan lingkungannya. Pada dekade berikutnya, studi ekologi bahasa menjadi objek kajian yang multidisipliner. Konsep ekologi menjadi fokus kajian pragmatik, analisis wacana, linguistik antropologi, linguistik teoretis, penelitian pengajaran bahasa, serta cabang-cabang linguistik lainnya. Hingga pada awal tahun 1990, kajian multidisipliner mengenai bahasa dan lingkungan menjadi konsep teoretis mengenai kajian bahasa dan lingkungan yang kemudian menjad satu disiplin kajian linguistik yang disebut Ekolinguistik (lih.Fill & Mühlhäusler, 2001:1).

2. Konsep Teoretis dan Filosofis Kajian Bahasa dan Lingkungan

Bahasa merupakan refleksi lingkungan penuturnya. Hipotesis Sapir (1912) menunjukkan bahwa refleksi bahasa merujuk pada lingkungan fisik dan sosial. Hubungan bahasa dan lingkungan tercermin dalam terminologi struktur bahasa, sistem bunyi bahasa, makna kata. Namun demikian, Sapir menekankan bahwa interelasi bahasa dan lingkungan secara khusus tercermin dalam level kosa kata. Hal ini membuktikan bahwa kosa kata merupakan refleksi yang paling jelas terlihat dari hubungan lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan penutur bahasa tersebut. Kosa kata dari suatu bahasa merupakan inventori dari semua ide (pengetahuan), minat, dan pekerjaan suatu guyub tutur. Kosa kata juga merupakan thesaurus yang lengkap mengenai


(3)

karakteristik lingkungan fisik dan karakteristik budaya penutur yang menggunakan kosa kata tersebut (lih. Fill & Mühlhäusler, 2001:2).

Jadi, konsep dasar pemikiran ekolinguistik adalah interaksi dan keberagaman. Interaksi dan keberagaman yang dimaksud Sapir (1912) merupakan hasil dari interaksi antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial, di sisi lain dibentuk oleh interaksi bahasa dan budaya. Keberagaman disebut Sapir sebagai korelasi gramatikal-kultural yang terwujud misalnya dalam cara-cara menghitung, konsep kepemilikan, dan perbedaan gender dalam tata bahasa. Sebelumnya, Humboldt, seorang filsuf Jerman mengatakan bahwa bahasa memiliki bentuk batin (inner form) yang menjadi Energeia bagi ide (pengetahuan ) manusia (penutur) untuk menginterpretasikan dunia. Pendapat ini juga disetujui oleh Steiner dengan mengemukan pertanyaan berdasarkan teori Darwin, yaitu mengapa keberagaman linguistik itu selalu berevolusi dan apa fungsinya. Baik Sapir maupun Steiner memberikan epistemologi pengkajian bahasa dan ekologi pada dua hal pokok, yaitu (1) pertanyaan tentang keberagaman linguistik (terhadap masalah-masalah kepunahan bahasa) dan (2) relasi antara bahasa dan lingkungan (terhadap polusi, kerusakan spesies, dan degradasi lingkungan) (lih. Fill & Mühlhäusler, 2001:2-3).

2.1Bahasa dan Lingkungan

Lingkungan dapat mempengaruhi dan membentuk suatu budaya dari masyarakat yang hidup dalam lingkungan tersebut. Lingkungan fisik maupun lingkungan sosial mempengaruhi perilaku individu dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perilaku individu secara sadar dan tidak sadar akhirnya membentuk suatu perilaku kelompok. Perilaku kelompok inilah yang kemudian disebut sebagai perilaku sosial. Bahasa, sebagai suatu sistem tanda,juga merupakan refleksi dari latar belakang lingkungan fisik maupun sosial dari penutur bahasa tersebut. Faktor lingkungan fisik, bahasa merefleksikan bentuk-bentuk lingual (kosa kata) tentang topografi,


(4)

misalnya pantai, lembah, dataran, iklim, hujan, flora, fauna, dan sumber daya alam suatu wilayah. Faktor lingkungan sosial juga mempengaruhi perilaku dan cara berpikir serta cara hidup individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Faktor sosial tersebut meliputi kepercayaan, norma sosial, bentuk-bentuk organisasi politik, dan seni (lih. Fill & Mühlhäusler, 2001:14-15).

Kosa kata dalam bahasa menjadi inferensi penutur bahasa tersebut terhadap lingkungan fisik dan sosial di mana penutur itu berada. Lebih jauh, kosa kata secara jelas memberikan karakteristik terhadap lingkungan baik yang transparan maupun tidak. Dalam bahasa Indogermania, kosa kata menunjukkan relasi genetis dari satu bahasa terhadap bahasa yang lainnya. Hal ini sangat membantu bagi perkembangan linguistik historis komparatif terhadap kekerabatan bahasa Indogermania. Kosa kata tidak hanya menunjukkan relasi genetis dan karakteristik lingkungan fisik dan sosial penutur antarbahasa Indogermania, tetapi lebih jauh menjadi seperangkat simbol tentang konsep budaya penutur. Kosa kata merefleksikan stok konsep budaya baik fisik maupun sosial penuturnya (lih. Fill & Mühlhäusler, 2001:17).

Jika kosa kata memberikan karakteristik lingkungan fisik dan sosial serta sebagai seperangkat stok konsep budaya penutur, maka kosa kata juga merupakan representasi aspek psikologis-kognitif penuturnya. Proses morfologis dan fonologis dapat menunjukkan pola pikir penuturnya. Aturan gramatika dalam bahasa Indogermania menunjukkan aspek-aspek psikologis-kognitif penutur. Dalam bahasa Jerman, sebagai contoh, pembentukan prefiks, sufiks, serta kasus gramatikal merefleksikan relasi pikiran, karakteristik budaya dan konsep-konsep budaya. Begitu juga tata kalimat dalam bahasa Jerman secara jelas menunjukkan keteraturan konsep berpikir yang tercermin dalam praktik budaya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kedisiplinan orang Jerman, perfeksionis, perilaku yang terpola, futuris, dan menghargai waktu (band. Fill & Mühlhäusler, 2001:18-21).


(5)

2.2Metafor sebagai Konsep Ekolinguistik

Tonggak awal perkembangan ekolinguistik diawali saat Einar Haugen (1970) memberikan paradigma metaphor sebagai konsep kajian bahasa dan lingkungan. Dikatakannya bahwa bahasa memiliki interaksi dengan lingkungan dimana bahasa itu dituturkan. Dalam paradigma Haugen mengatakan bahwa ekologi dipahami sebagai (1) ekologi secara metaphor ditransfer oleh bahasa dalam lingkungan di mana bahasa tersebut dituturkan dan (2) ekologi dipahami sebagai lingkungan biologis dimana bahasa memiliki peran penting secara sosial dalam lingkungan tersebut ((lih. Fill & Mühlhäusler, 2001:43).

Paradigma baru Haugen melihat fenomena bahasa dan lingkungan membentuk suatu sistem. Fenomena metaphor merefleksikan ekosistem tertentu. Pada awalnya, studi bahasa dan lingkungan terfokus pada bahasa-bahasa minoritas dan hegemoni bahasa-bahasa besar terhadap bahasa kecil di kawasan Pasifik. Variabel kajian pun terbatas pada hal-hal seperti variabel etnodemografi, etnososiologis, etnokultural, dan faktor-faktor lain yang membentuk lingkungan bahasa (lih. Fill & Mühlhäusler, 2001:44). Perkembangan berikutnya, kelompok peneliti dari Uni Bielefeld dengan mengembangkan kajian linguistik ekologi. Konsep awalnya berupa kajian komunikasi secara ekologis (Luhmann; Finke, 1983,1993,1996). Konsep ekosistem dijadikan model kajian terhadap kajian sistem bahasa dan lingkungan. Metafora ekosistem menurut ( Trampe; Strohner, 1990) menunjukkan adanya proses interaktif terhadap perubahan sepanjang waktu antara bahasa dan dunia (lingkungan). Hal ini terbukti kreatifitas kehidupan manusia dalam memperlakukan alam. Degradasi alam tercermin dalam kreatifitas praktik berbahasa (Finke, 1983; Trampe, 1990,1991).

Pendekatan metaphor dalam kajian bahasa dan lingkungan terfokus pada pendekatan kritis terhadap ekosistem. Jika sebelumnya ekolinguistik memiliki konsep sebab dan akibat


(6)

(cause & effect), berikutnya konsep interaksi dan dialektika (Wechselwirkung) mulai dikembangkan (Door & Bang, 1996). Wacana kritis terhadap perubahan ekologis dikembangkan oleh Jung (1989;1994;1996) untuk mengkaji perubahan kosa kata dari waktu ke waktu. Jung mendeskripsikan bagaimana perubahan leksikal dari waktu ke waktu dengan manipulasinya untuk menjapai maksud-maksud tertentu.

Secara kritis, kajian ekolinguistik selanjutnya dilakukan Gerbig, Bang & Door Alexander (1996) terfokus pada teks-teks lingkungan. Mereka mengkritik eufemisme penggunaan perangkat gramatikal (agent-patient/experiencer/recipient, subject-object) untuk memperhalus proses degradasi lingkungan. Sementara itu, ahli-ahli non linguist Vester (1991), Bohm (1980), Lovelock (1988) juga menggunakan konsep-konsep pemikiran ekolinguist terhadap degradasi lingkungan yang tercermin dalam praktik penggunaan bahasa. Selanjutnya Verhagen (1993) dan Goatly (1996) mendeskripsikan bagaimana bahasa membentuk pandangan biosentris dan antroposentris manusia terhadap lingkungannya.

Secara biologis, penamaan fenomena alam merupakan proses etnosentrisme yang merefleksikan kondisi lingkungan dalam kurun waktu yang lama. Dengan demikian kajian ekolinguistik melampaui kajian ranah sintaksis, semantik, dan pragmatik. Luasnya cakupan kajian ekolinguistik, peneliti perlu memperhatikan fokus kajian pada hal-hal sebagai berikut.

1) Menemukan kajian konseptual-teoretis yang sesuai; 2) Kajian terhadap sistem bahasa dan wacana kritis;

3) Kajian terhadap fitur-fitur universalitas kebahasaan yang gayut dengan isu-isu lingkungan;


(7)

5) Kajian terhadap peran bahasa dalam membentuk wacana lingkungan (ekoliterasi) dalam bidang pengajaran dan pendidikan.

3. Studi Kasus: Bahasa dan Pariwisata

Hasil penelitian Blue dan Harun (2003) yang diunggah dalam bentuk artikel elektronik di www.elsevier.com/locate/esp, menunjukkan adanya pola bahasa yang khas dalam berkomunikasi antara pelaku pariwisata sebagai tuan rumah (hosts) dan wisatawan sebagai tamu (guest). Pola bahasa dalam layanan pariwisata, terlihat dalam komunikasi saat pelaku pariwisata atau tuan rumah (host ) menyambut wisatawan (tourists) datang (arrival) dan saat wisatawan kembali atau berangkat pulang ke negara asalnya (departure). Komunikasi verbal (praktik bahasa) yang berorientasi pada suatu nilai dan norma bisnis (uang). Hal ini sejalan dengan pendapat Geld ist Wasser, uang adalah air. Metafora yang mengarah pada paradigma ego-sentrisme manusia terhadap eksploitasi alam demi kepentingan ekonomis belaka. Air mengalir tanpa batas, begitu ada peluang /celah, maka air tersebut akan mengalir hingga tak terbatas.

Adapun peran bahasa dalam pariwisata menurut Thitthongkam dan Walsh (2010:184), mengatakan bahwa: (1) bahasa memiliki peran imperatif dalam manajemen organisasi kepariwisataan, (2) bahasa memfasilitasi komunikasi antarpelaku pariwisata dengan wisatawan, (3) bahasa menciptakan kemampuan dalam meningkatkan dan memperbaiki kepuasan wisatawan (guests) terhadap layanan yang diberikan pelaku pariwisata sebagai tuan rumah (hosts), dan (4) bahasa dapat memperbaiki kemampuan pelaku pariwisata, memotivasi wisatawan (tourist) sebagai tamu mancanegara, dan menambah kemampuan pengertian antarbudaya pelaku pariwisata sebagai tuan rumah (hosts) terhadap budaya wisatawan sebagai tamu (guests). Namun demikian, peran bahasa dalam konteks komunikasi pariwisata tidak lebih pada komunikasi bisnis.


(8)

Selanjutnya pendapat Swales (dalam Magdaléna Rázusová, 2008) juga memerikan bahwa wacana (baca: tuturan) pariwisata menjadi representasi verbal harapan-harapan dalam berbagai aktivitas pariwisata baik dari tuan rumah maupun bagi wisatawan terhadap apa yang ditujukan dalam tuturan pariwisata akan diterima sesuai harapan wisatawan. Dari ketiga pendapat tersebut, bahasa pariwisata selain sebagai alat komunikasi host dan guest juga sebagai refleksi lingkungan dan budaya pariwisata yang dibentuk oleh bahasa melalui host yang berinteraksi kepada guest. Untuk memenuhi harapan wisatawan, pemengang capital atau pelaku pariwisata menggunakan bahasa untuk membentuk suatu nilai universal “kepuasan” terhadap wisatawan. Nilai kepuasan inilah yang menjadikan pelaku pariwisata menjadikan bahasa sebagai alat representasi eksploitasi sumber daya alam pariwisata demi kepuasan pelanggannya (wisatawan).

Sejalan dengan pendapat Haugen (1970), representasi kosa kata merupakan interelasi bahasa dengan lingkungan, maka kosa kata pariwisata pun merupakan representasi lingkungan fisik maupun sosial dalam pariwisata itu sendiri. Konsep image dan bahkan hiperbolisme penggunaan perangkat leksikal mendominasi bahasa (wacana) pariwisata untuk menciptakan tourist gaze (kesan bagus). Bahasa promosi, iklan, program tour, baik lewat media cetak maupun elektronik (internet) menggunakan bahasa metaphor tentang semua “sisi baik” lingkungan fisik maupun sosial pariwisata. Sejalan dengan pendapat Habermas, bahasa selain berfungsi sebagai tindakan komunikatif, normatif, juga merupakan tindakan dramaturgi pembentukan image pariwisata.

Jika kosa kata menjadi representasi ideology dan konsep suatu budaya, maka kosa kata dalam pariwisata pun merefleksikan egosentrisme perilaku manusia (antroposentrisme) terhadap lingkungan pariwisata. Alih-alih pengembangan pariwisata yang berkualitas dan berbasis


(9)

kerakyatan, eksploitasi alam dan lingkungan pun dilakukan demi image pariwisata Bali. Secara periodic, perubahan dan perkembangan kosa kata dalam pariwisata menunjukkan bagaimana egosentrisme manusia terhadap lingkungannya. Munculnya kosa kata baru dan bahkan secara kasar diadopsi tanpa adaptasi dari konsep budaya asing, menjadikan lingkungan pariwisata mendekati imitasi kondisi lingkungan yang sebenarnya.

3.1Metafor dalam Pariwisata

Refleksi pengaruh perubahan (interaksi dan dialektika) lingkungan dapat dilihat dari representasi kosa kata bahasa penutur yang berada dalam lingkungan tersebut. Menurut Bang & Door (1995) secara dialektika konsep ekolinguistik mencakup tiga aspek, yaitu (1) ideologis, (2) sosiologis, dan (3) biologis (dalam Lindo & Bundsgaard, 2000:10). Berikut disajikan beberapa data metafora bahasa pariwisata pada tabel 1 dalam konteks lingkungan fisik dan sosial.

Tabel 1 Metafora Bahasa Pariwisata

DIMENSI

LINGKUNGAN Ideologis Sosiologis Biologis

Bandara Welcome to the

island of Gods

Welcome home We are green contractors

Hotel Stay with us in

paradise

Be free your mind and soul

Keep clean and green Restoran/Café Sushi Tei,

Fukutaru, Fukusima

Sosiokultural Jepang Mamas, Nyoman

Biergarten

Sosiokultural Jerman Trattoria, Massimo,

Pizeria

Sosiokultural Italia Korean Food Sosiokultural Korea Canton Restaurant,

Hongkong Garden

Sosiokultural China Be pasih, Melasti,

Warung Made

Sosiokultural Bali


(10)

untouchable Bali Bali

Land und Leute Lingkungan alam dan

manusia Bali

Romantische Tour Lingkungan alam Bali (Dimodifikasi dari Lindo &Bundsgaard, 2000:30)

3.2Inter-Intra dan Ekstrarelasi Bahasa dan Pariwisata

Praktik bahasa dalam pariwisata dapat dipandang sebagai individualitas terhadap aspek intrarelasi,interrelasi, dan ekstrarelasi dari masing-masing individu, kelompok, kata, teks, dan tuturan (baca: penulis) lain-lain. Intrarelasi merupakan hubungan intraindividu. Interelasi adalah relasi satu individu dengan individu lain dalam satu lingkungan. Ekstrarelasi dimaksudkan sebagai relasi satu individu dengan individu lain yang berada dalam lingkungan yang berbeda (Lindo &Bundsgaard, 2000:17). Berikut analisis ekomorfologi dan ekopragmatik pada tabel 2 dalam bentuk matriks fungsional.

Tabel 2 Intra-Inter-Ekstrarelasi Morfologis: Bahasa dan Pariwisata

Welcome to Bali

Extrarelasi Verba: greeting kepada orang kedua Interrelasi Verba: fungsi

ekspresif

Preposisi menunjukkan lokasi

Deiksis Spasial/lokasi

Intrarelasi Verba: imperatif Preposisi Noun: Adverb of Place

Stay with us in paradise/heaven

Extrarelasi Verba:

mengharapkan kepada orang kedua Interrelasi Verba: fungsi

ekspresif

Preposisi merujuk pada

Deiksis Spasial/lokasi


(11)

actor

Intrarelasi Verba: imperatif Preposisi yang memerlukan objek tidak langsung

Noun: Adverb of Place

How was your holiday ?

Ekstrarelasi Interelasi Intrarelasi

Did you enjoy your

breakfast ? Ekstrarelasi

Interelasi Intrarelasi

(Dimodifikasi dari Lindo &Bundsgaard, 2000:30) 4. Simpulan dan Saran

Kehidupan merefleksikan dan mempengaruhi bahasa, bahasa mempengaruhi dan merefleksikan kehidupan (Lindo & Bundsgaard, 2000:32) . Untuk itu, kajian dialektika bahasa dan lingkungan mencakup:

1) Dialektika aspek sosiologis, biologis, dan ideologis; 2) Dialektika intratekstual, intertekstual, dan ekstratekstual; 3) Dialektika sintaksis, semantik, dan pragmatik;

4) Dialektika mikro-meso-, dan makroperspektif 5) Dialektika perilaku, berpikir, dan komunikasi

Untuk itu, berdasarkan konsep interaksi dan dialektika (Wechselwirkung), maka penulis dapat memberikan saran-saran konseptual sebagai berikut.

1) Kajian bahasa dan lingkungan secara interdisipliner;

2) Perlunya kajian makromorfologi dalam kajian bahasa dan lingkungan;

3) Perlunya pragmatik multidisipliner untuk melihat aspek penggunaan bahasa dalam lingkungan dari aspek biologis, sosiologis, dan ideologis; dan


(12)

4) Perlunya pembatasan cakupan ekolinguistik terhadap objek kajiannya untuk menghindari overlapping dengan kajian linguistik lainnya.

Pustaka Rujukan

Fill, A. & Mühlhäusler, P. 2001. The Ecolinguistics Reader. Language, Ecology, and Environment. London & New York: Continuum.

Grup Riset Unud. 2013. Bahasa Pariwisata sebuah Perspektif Eko-Sosiolinguistik. Penelitian Hibah Grup Riset Unud. Denpasar: Universitas Udayana

Lindo, A.V. & Bundsgaard, J. 2000. Dialectical Ecolinguistics. Three Essays For Symposium 30Years Of Language and Ecology in Graz. Odense: University of Odense Research Group for Ecology, Language, and Odeology Nordisk Institut

Mbete, A.M. 2013. Ekolinguistik. Penuntun Singkat Penulisan Proposal Penelitian. Denpasar: Penerbit Vidia

.


(1)

5) Kajian terhadap peran bahasa dalam membentuk wacana lingkungan (ekoliterasi) dalam bidang pengajaran dan pendidikan.

3. Studi Kasus: Bahasa dan Pariwisata

Hasil penelitian Blue dan Harun (2003) yang diunggah dalam bentuk artikel elektronik di www.elsevier.com/locate/esp, menunjukkan adanya pola bahasa yang khas dalam berkomunikasi antara pelaku pariwisata sebagai tuan rumah (hosts) dan wisatawan sebagai tamu (guest). Pola bahasa dalam layanan pariwisata, terlihat dalam komunikasi saat pelaku pariwisata atau tuan rumah (host ) menyambut wisatawan (tourists) datang (arrival) dan saat wisatawan kembali atau berangkat pulang ke negara asalnya (departure). Komunikasi verbal (praktik bahasa) yang berorientasi pada suatu nilai dan norma bisnis (uang). Hal ini sejalan dengan pendapat Geld ist Wasser, uang adalah air. Metafora yang mengarah pada paradigma ego-sentrisme manusia terhadap eksploitasi alam demi kepentingan ekonomis belaka. Air mengalir tanpa batas, begitu ada peluang /celah, maka air tersebut akan mengalir hingga tak terbatas.

Adapun peran bahasa dalam pariwisata menurut Thitthongkam dan Walsh (2010:184), mengatakan bahwa: (1) bahasa memiliki peran imperatif dalam manajemen organisasi kepariwisataan, (2) bahasa memfasilitasi komunikasi antarpelaku pariwisata dengan wisatawan, (3) bahasa menciptakan kemampuan dalam meningkatkan dan memperbaiki kepuasan wisatawan (guests) terhadap layanan yang diberikan pelaku pariwisata sebagai tuan rumah (hosts), dan (4) bahasa dapat memperbaiki kemampuan pelaku pariwisata, memotivasi wisatawan (tourist) sebagai tamu mancanegara, dan menambah kemampuan pengertian antarbudaya pelaku pariwisata sebagai tuan rumah (hosts) terhadap budaya wisatawan sebagai tamu (guests). Namun demikian, peran bahasa dalam konteks komunikasi pariwisata tidak lebih pada komunikasi bisnis.


(2)

Selanjutnya pendapat Swales (dalam Magdaléna Rázusová, 2008) juga memerikan bahwa wacana (baca: tuturan) pariwisata menjadi representasi verbal harapan-harapan dalam berbagai aktivitas pariwisata baik dari tuan rumah maupun bagi wisatawan terhadap apa yang ditujukan dalam tuturan pariwisata akan diterima sesuai harapan wisatawan. Dari ketiga pendapat tersebut, bahasa pariwisata selain sebagai alat komunikasi host dan guest juga sebagai refleksi lingkungan dan budaya pariwisata yang dibentuk oleh bahasa melalui host yang berinteraksi kepada guest. Untuk memenuhi harapan wisatawan, pemengang capital atau pelaku pariwisata menggunakan bahasa untuk membentuk suatu nilai universal “kepuasan” terhadap wisatawan. Nilai kepuasan inilah yang menjadikan pelaku pariwisata menjadikan bahasa sebagai alat representasi eksploitasi sumber daya alam pariwisata demi kepuasan pelanggannya (wisatawan).

Sejalan dengan pendapat Haugen (1970), representasi kosa kata merupakan interelasi bahasa dengan lingkungan, maka kosa kata pariwisata pun merupakan representasi lingkungan fisik maupun sosial dalam pariwisata itu sendiri. Konsep image dan bahkan hiperbolisme penggunaan perangkat leksikal mendominasi bahasa (wacana) pariwisata untuk menciptakan tourist gaze (kesan bagus). Bahasa promosi, iklan, program tour, baik lewat media cetak maupun elektronik (internet) menggunakan bahasa metaphor tentang semua “sisi baik” lingkungan fisik maupun sosial pariwisata. Sejalan dengan pendapat Habermas, bahasa selain berfungsi sebagai tindakan komunikatif, normatif, juga merupakan tindakan dramaturgi pembentukan image pariwisata.

Jika kosa kata menjadi representasi ideology dan konsep suatu budaya, maka kosa kata dalam pariwisata pun merefleksikan egosentrisme perilaku manusia (antroposentrisme) terhadap lingkungan pariwisata. Alih-alih pengembangan pariwisata yang berkualitas dan berbasis


(3)

kerakyatan, eksploitasi alam dan lingkungan pun dilakukan demi image pariwisata Bali. Secara periodic, perubahan dan perkembangan kosa kata dalam pariwisata menunjukkan bagaimana egosentrisme manusia terhadap lingkungannya. Munculnya kosa kata baru dan bahkan secara kasar diadopsi tanpa adaptasi dari konsep budaya asing, menjadikan lingkungan pariwisata mendekati imitasi kondisi lingkungan yang sebenarnya.

3.1Metafor dalam Pariwisata

Refleksi pengaruh perubahan (interaksi dan dialektika) lingkungan dapat dilihat dari representasi kosa kata bahasa penutur yang berada dalam lingkungan tersebut. Menurut Bang & Door (1995) secara dialektika konsep ekolinguistik mencakup tiga aspek, yaitu (1) ideologis, (2) sosiologis, dan (3) biologis (dalam Lindo & Bundsgaard, 2000:10). Berikut disajikan beberapa data metafora bahasa pariwisata pada tabel 1 dalam konteks lingkungan fisik dan sosial.

Tabel 1 Metafora Bahasa Pariwisata

DIMENSI

LINGKUNGAN Ideologis Sosiologis Biologis

Bandara Welcome to the

island of Gods

Welcome home We are green contractors

Hotel Stay with us in

paradise

Be free your mind and soul

Keep clean and green Restoran/Café Sushi Tei,

Fukutaru, Fukusima

Sosiokultural Jepang Mamas, Nyoman

Biergarten

Sosiokultural Jerman Trattoria, Massimo,

Pizeria

Sosiokultural Italia Korean Food Sosiokultural Korea Canton Restaurant,

Hongkong Garden

Sosiokultural China Be pasih, Melasti,

Warung Made

Sosiokultural Bali


(4)

untouchable Bali Bali

Land und Leute Lingkungan alam dan

manusia Bali

Romantische Tour Lingkungan alam Bali

(Dimodifikasi dari Lindo &Bundsgaard, 2000:30)

3.2Inter-Intra dan Ekstrarelasi Bahasa dan Pariwisata

Praktik bahasa dalam pariwisata dapat dipandang sebagai individualitas terhadap aspek intrarelasi,interrelasi, dan ekstrarelasi dari masing-masing individu, kelompok, kata, teks, dan tuturan (baca: penulis) lain-lain. Intrarelasi merupakan hubungan intraindividu. Interelasi adalah relasi satu individu dengan individu lain dalam satu lingkungan. Ekstrarelasi dimaksudkan sebagai relasi satu individu dengan individu lain yang berada dalam lingkungan yang berbeda (Lindo &Bundsgaard, 2000:17). Berikut analisis ekomorfologi dan ekopragmatik pada tabel 2 dalam bentuk matriks fungsional.

Tabel 2 Intra-Inter-Ekstrarelasi Morfologis: Bahasa dan Pariwisata

Welcome to Bali

Extrarelasi Verba: greeting kepada orang kedua Interrelasi Verba: fungsi

ekspresif

Preposisi menunjukkan lokasi

Deiksis Spasial/lokasi

Intrarelasi Verba: imperatif Preposisi Noun: Adverb of Place Stay with us in paradise/heaven Extrarelasi Verba:

mengharapkan kepada orang kedua Interrelasi Verba: fungsi

ekspresif

Preposisi merujuk pada

Deiksis Spasial/lokasi


(5)

actor

Intrarelasi Verba: imperatif Preposisi yang memerlukan objek tidak langsung

Noun: Adverb of Place

How was your holiday ?

Ekstrarelasi Interelasi Intrarelasi

Did you enjoy your

breakfast ? Ekstrarelasi

Interelasi Intrarelasi

(Dimodifikasi dari Lindo &Bundsgaard, 2000:30) 4. Simpulan dan Saran

Kehidupan merefleksikan dan mempengaruhi bahasa, bahasa mempengaruhi dan merefleksikan kehidupan (Lindo & Bundsgaard, 2000:32) . Untuk itu, kajian dialektika bahasa dan lingkungan mencakup:

1) Dialektika aspek sosiologis, biologis, dan ideologis; 2) Dialektika intratekstual, intertekstual, dan ekstratekstual; 3) Dialektika sintaksis, semantik, dan pragmatik;

4) Dialektika mikro-meso-, dan makroperspektif 5) Dialektika perilaku, berpikir, dan komunikasi

Untuk itu, berdasarkan konsep interaksi dan dialektika (Wechselwirkung), maka penulis dapat memberikan saran-saran konseptual sebagai berikut.

1) Kajian bahasa dan lingkungan secara interdisipliner;

2) Perlunya kajian makromorfologi dalam kajian bahasa dan lingkungan;

3) Perlunya pragmatik multidisipliner untuk melihat aspek penggunaan bahasa dalam lingkungan dari aspek biologis, sosiologis, dan ideologis; dan


(6)

4) Perlunya pembatasan cakupan ekolinguistik terhadap objek kajiannya untuk menghindari overlapping dengan kajian linguistik lainnya.

Pustaka Rujukan

Fill, A. & Mühlhäusler, P. 2001. The Ecolinguistics Reader. Language, Ecology, and Environment. London & New York: Continuum.

Grup Riset Unud. 2013. Bahasa Pariwisata sebuah Perspektif Eko-Sosiolinguistik. Penelitian Hibah Grup Riset Unud. Denpasar: Universitas Udayana

Lindo, A.V. & Bundsgaard, J. 2000. Dialectical Ecolinguistics. Three Essays For Symposium 30Years Of Language and Ecology in Graz. Odense: University of Odense Research Group for Ecology, Language, and Odeology Nordisk Institut

Mbete, A.M. 2013. Ekolinguistik. Penuntun Singkat Penulisan Proposal Penelitian. Denpasar: Penerbit Vidia

.