karakteristik lingkungan fisik dan karakteristik budaya penutur yang menggunakan kosa kata tersebut lih. Fill Mühlhäusler, 2001:2.
Jadi, konsep dasar pemikiran ekolinguistik adalah interaksi dan keberagaman. Interaksi dan keberagaman yang dimaksud Sapir 1912 merupakan hasil dari interaksi antara lingkungan
fisik dan lingkungan sosial, di sisi lain dibentuk oleh interaksi bahasa dan budaya. Keberagaman disebut Sapir sebagai korelasi gramatikal-kultural yang terwujud misalnya dalam cara-cara
menghitung, konsep kepemilikan, dan perbedaan gender dalam tata bahasa. Sebelumnya, Humboldt, seorang filsuf Jerman mengatakan bahwa bahasa memiliki bentuk batin inner form
yang menjadi Energeia bagi ide pengetahuan manusia penutur untuk menginterpretasikan dunia. Pendapat ini juga disetujui oleh Steiner dengan mengemukan pertanyaan berdasarkan teori
Darwin, yaitu mengapa keberagaman linguistik itu selalu berevolusi dan apa fungsinya. Baik Sapir maupun Steiner memberikan epistemologi pengkajian bahasa dan ekologi pada dua hal
pokok, yaitu 1 pertanyaan tentang keberagaman linguistik terhadap masalah-masalah kepunahan bahasa dan 2 relasi antara bahasa dan lingkungan terhadap polusi, kerusakan
spesies, dan degradasi lingkungan lih. Fill Mühlhäusler, 2001:2-3.
2.1 Bahasa dan Lingkungan
Lingkungan dapat mempengaruhi dan membentuk suatu budaya dari masyarakat yang hidup dalam lingkungan tersebut. Lingkungan fisik maupun lingkungan sosial mempengaruhi
perilaku individu dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perilaku individu secara sadar dan tidak sadar akhirnya membentuk suatu perilaku kelompok. Perilaku kelompok inilah yang
kemudian disebut sebagai perilaku sosial. Bahasa, sebagai suatu sistem tanda,juga merupakan refleksi dari latar belakang lingkungan fisik maupun sosial dari penutur bahasa tersebut. Faktor
lingkungan fisik, bahasa merefleksikan bentuk-bentuk lingual kosa kata tentang topografi,
misalnya pantai, lembah, dataran, iklim, hujan, flora, fauna, dan sumber daya alam suatu wilayah. Faktor lingkungan sosial juga mempengaruhi perilaku dan cara berpikir serta cara hidup
individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Faktor sosial tersebut meliputi kepercayaan, norma sosial, bentuk-bentuk organisasi politik, dan seni lih. Fill Mühlhäusler, 2001:14-15.
Kosa kata dalam bahasa menjadi inferensi penutur bahasa tersebut terhadap lingkungan fisik dan sosial di mana penutur itu berada. Lebih jauh, kosa kata secara jelas memberikan
karakteristik terhadap lingkungan baik yang transparan maupun tidak. Dalam bahasa Indogermania, kosa kata menunjukkan relasi genetis dari satu bahasa terhadap bahasa yang
lainnya. Hal ini sangat membantu bagi perkembangan linguistik historis komparatif terhadap kekerabatan bahasa Indogermania. Kosa kata tidak hanya menunjukkan relasi genetis dan
karakteristik lingkungan fisik dan sosial penutur antarbahasa Indogermania, tetapi lebih jauh menjadi seperangkat simbol tentang konsep budaya penutur. Kosa kata merefleksikan stok
konsep budaya baik fisik maupun sosial penuturnya lih. Fill Mühlhäusler, 2001:17. Jika kosa kata memberikan karakteristik lingkungan fisik dan sosial serta sebagai
seperangkat stok konsep budaya penutur, maka kosa kata juga merupakan representasi aspek psikologis-kognitif penuturnya. Proses morfologis dan fonologis dapat menunjukkan pola pikir
penuturnya. Aturan gramatika dalam bahasa Indogermania menunjukkan aspek-aspek psikologis-kognitif penutur. Dalam bahasa Jerman, sebagai contoh, pembentukan prefiks, sufiks,
serta kasus gramatikal merefleksikan relasi pikiran, karakteristik budaya dan konsep-konsep budaya. Begitu juga tata kalimat dalam bahasa Jerman secara jelas menunjukkan keteraturan
konsep berpikir yang tercermin dalam praktik budaya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kedisiplinan orang Jerman, perfeksionis, perilaku yang terpola, futuris, dan menghargai waktu
band. Fill Mühlhäusler, 2001:18-21.
2.2 Metafor sebagai Konsep Ekolinguistik