PERUBAHAN POPULASI MIKROORGANISME SELAMA VERMICOMPOSTING BERBAGAI LIMBAH PADAT ORGANIK

(1)

ABSTRACT

CHANGES POPULATION MICROORGANISM DURING VERMICOMPOSTING VARIOUS

ORGANIC SOLID WASTE

By

LUQMAN HASAN

The development and rapid population growth in urban areas resulted in wider residential area and cause increased solid waste generated. One of the alternative waste management / waste that is composted by vermicomposting method. This research aims to study the changes in populations of microorganisms (actynomicetes, bacteria, fungi) during vermicomposting of organic solid waste (waste market, leaves, and rice straw). The hypothesis proposed in this study were (1) The population of microorganisms (actynomicetes, bacteria and fungi) on solid waste market is higher compared with leaves and rice straw. (2) The population of microorganisms (actynomicetes, bacteria and fungi) was higher in the market of solid waste that is applied earthworm Lumbricus rubellus. (3) The population of microorganisms (actynomicetes, bacteria and fungi) was higher in a given market solid waste lime compared to controls. (4) The population of microorganisms (actynomicetes, bacteria and fungi) are highest on the market of solid waste is applied to the earthworm Lumbricus rubellus and given a lime. This research was conducted using randomized block design (RAK), and treatment arranged in a factorial 3 x 3 x 2 with three replications, so there are 54 experimental units. The first factor is application of waste that is: L1: Waste Market, L2: Waste foliage, L3: Rice straw. The second factor is the application of worms that is: C0: no earthworms, C1: Eisenia fetida, C2: Lumbricus rubellus. The third factor is the calcification of K0: without lime, K1: with lime (5% CaCO3 kg-1 of waste materials). Homogeneity range of the data was tested with Bartlett test and aditifitas data with Tukey test followed by analysis of variance to test the value being conducted with LSD with significance level of 5% and 1%.


(2)

Results indicated that (1) Population actynomicetes, bacteria and fungi was higher in vermicomposting of solid waste market as compared with leaves and straw waste. (2) Population actynomicetes, bacteria and fungi was higher in the earthworm Eisenia fetida compared with that given the earthworm Lumbricus rubellus except the bacterial population in the observation week - 8 was higher in the earthworm Lumbricus rubellus. (3) Population actynomicetes, bacteria and fungi was higher in vermicomposting are given without any lime compared with lime. (4) Population actynomicetes, bacteria and fungi, the highest on the market of solid waste vermicomposting earthworm Eisenia fetida given and given a lime. Key words: Earthworm, Lime, Organic Waste, Microorganisms,


(3)

ABSTRAK

PERUBAHAN POPULASI MIKROORGANISME SELAMA VERMICOMPOSTING BERBAGAI

LIMBAH PADAT ORGANIK

Oleh

LUQMAN HASAN

Perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan mengakibatkan daerah pemukiman semakin luas dan padat menyebabkan meningkatnya sampah yang dihasilkan. Salah satu alternatif pengelolaan sampah / limbah yaitu dengan cara dibuat kompos dengan metode vermicomposting. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri, fungi) selama vermicomposting berbagai limbah padat organik (limbah pasar, dedaunan, dan jerami padi). Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah (1) Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) pada limbah padat pasar lebih tinggi dibandingkan dengan dedaunan dan jerami padi. (2) Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) lebih tinggi pada limbah padat pasar yang diaplikasikan cacing tanah

Lumbricus rubellus. (3) Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) lebih tinggi pada limbah padat pasar yang diberi kapur dibandingkan kontrol. (4) Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) tertinggi terdapat pada limbah padat pasar yang diaplikasikan cacing tanah Lumbricus rubellus dan diberi kapur.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), serta perlakuan disusun secara faktorial 3 x 3 x 2 dengan tiga ulangan, sehingga terdapat 54 satuan percobaan. Faktor pertama adalah aplikasi limbah yaitu: L1: Limbah Pasar, L2: Limbah dedaunan, L3: Jerami padi. Faktor kedua adalah aplikasi cacing yaitu: C0: tanpa cacing tanah, C1: Eisenia fetida, C2:

Lumbricus rubellus. Faktor ketiga adalah pengapuran yaitu K0: tanpa kapur, K1: dengan kapur (5 % CaCO3 kg-1 bahan limbah). Homogenitas ragam data diuji


(4)

Luqman Hasan dengan uji Bartlett dan aditifitas data dengan uji Tukey dilanjutkan dengan analisis ragam, untuk menguji nilai tengah dilakukan dengan uji BNT dengan taraf nyata 5 % dan 1 %.

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi lebih tinggi pada vermicomposting limbah padat pasar dibandingkan dengan limbah dedaunan dan limbah jerami. (2) Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi lebih tinggi pada cacing tanah Eisenia fetida dibandingkan dengan yang diberi cacing tanah Lumbricus rubellus kecuali populasi bakteri pada amatan minggu ke - 8 lebih tinggi pada cacing tanah Lumbricus rubellus. (3) Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi lebih tinggi pada vermicomposting yang diberi kapur dibandingkan dengan tanpa diberi kapur. (4) Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi tertinggi pada vermicomposting limbah padat pasar yang diberi cacing tanah

Eisenia fetida dan diberi kapur.

Kata kunci : Cacing Tanah, Kapur, Limbah Organik, Mikroorganisme, Vermicomposting.


(5)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi lebih tinggi pada vermicomposting limbah pasar dibandingkan dengan limbah dedaunan dan limbah jerami.

2. Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi lebih tinggi pada cacing tanah Eisenia fetida dibandingkan dengan yang diberi cacing Lumbricus rubellus kecuali populasi bakteri pada amatan minggu ke - 8 lebih tinggi pada cacing tanah Lumbricus rubellus.

3. Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi lebih tinggi pada vermicomposting yang diberi kapur dibandingkan dengan tanpa diberi kapur.

4. Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi tertinggi pada vermicomposting limbah padat pasar yang diberi cacing tanah Eisenia fetida dan diberi kapur.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka disarankan:

Pengomposan dengan metode vermicomposting sebaiknya menggunakan cacing tanah Eisenia fetida.


(6)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan mengakibatkan daerah pemukiman semakin luas dan padat menyebabkan meningkatnya sampah yang dihasilkan. Faktor yang mempengaruhi jumlah sampah selain aktivitas penduduk antara lain adalah jumlah atau kepadatan penduduk, sistem pengelolaan sampah, keadaan geografi, musim dan waktu, kebiasaan penduduk, teknologi serta tingkat sosial ekonomi.

Sampah padat perkotaan rnerupakan salah satu sumber masalah lingkungan dan sosial yang dihadapi di kota-kota besar. Secara umum jenis sampah dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu sampah organik dan sampah anorganik (Deddy, 2005). Pada umumnya sampah dikumpulkan dari berbagai tempat (rumah tangga, pasar, industri dan lain-lainnya) (Simarmata, 2005).

Limbah merupakan hasil sampingan dari suatu proses produksi yang mengandung bahan yang dapat mencemari lingkungan termasuk tanah, air dan udara (Manik, 2002). Limbah tergolong ke dalam bahan organik (limbah pasar, serasah dedaunan dan jerami padi) yang merupakan sumber nutrisi bagi organisme di


(7)

2

dalam tanah. Keberadaan limbah padat ini apabila tidak dikelola dengan baik akan menjadi masalah bagi manusia dan lingkungan berupa berupa bau yang tidak sedap, gangguan kesehatan penduduk, dan pencemaran lingkungan air (sungai). Alternatif dalam mengatasi limbah padat secara alami yaitu dengan cara dibuat kompos / pengomposan. Pengomposan adalah proses penguraian bahan organik secara biologis, khususnya oleh mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi (Isroi, 2008).

Salah satu metode pengomposan adalah vermicomposting yang melibatkan cacing tanah sebagai dekomposer. Mashur (2001) mengemukakan bahwa vermikompos adalah kompos yang diperoleh dari hasil perombakan bahan-bahan organik yang dilakukan oleh cacing tanah. Vemikompos merupakan campuran kotoran cacing tanah (casting) dengan sisa media atau pakan dalam budidaya cacing tanah. Oleh karena itu vermikompos merupakan pupuk organik yang ramah lingkungan dan memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan kompos lain. Metode pengomposan dengan cara vermikompos memiliki beberapa keuntungan antara lain waktu pengomposan yang relatif lebih cepat, tidak menimbulkan bau, dan relatif mudah untuk dilakukan.

Beberapa spesies cacing tanah yang berperan dalam mempercepat proses pengomposan yaitu Lumbricus rubellus dan Eisenia fetida. Cacing tanah berperan mencampurkan bahan organik kasar ataupun halus antara lapisan atas dan bawah (Hakim dkk., 1986). Cacing tanah memiliki peran yang sangat penting dalam menghancurkan bahan organik sehingga dapat memperbaiki aerasi dan struktur


(8)

3

tanah. Akibatnya lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan cacing tanah dapat meningkatkan populasi mikroorganisme yang bermanfaat bagi tanaman. Cacing tanah juga dapat mendekomposisi sampah organik menjadi humus (Sharma et al., 2005 dalam

Ilyas, 2009). Keberadaan cacing tanah sebagai dekomposer juga dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah antara lain aktinomisetes 2,8 x 106 sel g-1 BK, bakteri 1,8 x 108 sel g-1 BK dan fungi 2,6 x 105 sel g-1 BK (Mashur, 2001).

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi ) selama vermicomposting berbagai limbah padat organik (limbah pasar, dedaunan dan jerami padi).

C. Kerangka Pemikiran

Pada prinsipnya bahan organik akan terdekomposisi secara alami di alam, namun berlangsung lama dan lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan ini telah banyak dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan, salah satunya yang melibatkan cacing tanah atau dikenal dengan vermicomposting dengan hasil akhir berupa vermikompos. Menurut Mashur (2001) vermikompos adalah kompos yang diperoleh dari hasil perombakan bahan-bahan organik yang dilakukan oleh cacing tanah. Vermikompos merupakan campuran kotoran cacing tanah (casting) dengan


(9)

4

sisa media atau pakan dalam budidaya cacing tanah. Vermicast juga diyakini mengandung hormon dan enzim yang terkandung selama proses bahan organik melewati usus cacing tanah. Hormon-hormon dan enzim diyakini untuk merangsang pertumbuhan tanaman dan mencegah patogen tanaman (Gajalakshmi dan Abbasi, 2004). Selanjutnya Nuryati (2004) menyatakan bahwa penguraian bahan organik dengan cacing tanah 3-5 kali lebih cepat dibandingkan pengomposan secara alami. Jenis cacing tanah yang dimanfaatkan untuk mempercepat proses pengomposan yaitu L. rubellus dan E. fetida.

Hasil penelitian Mashur (2001) menyatakan bahwa vermikompos yang dihasilkan dengan menggunakan cacing tanah E. fetida mengandung unsur-unsur hara seperti N total 1,4-2,2%, P 0,6-0,7%, K 1,6-2,1%, C/N rasio 12,5-19,2, Ca 1,3-1,6%, Mg 0,4-0,95, pH 6,5-6,8 sedangkan vermikompos dari cacing tanah Lumbricus rubellus mengandung C 20,20 %, N 1,58 %, C/N 13, P 70,30 mg 100 g-1, K 21,80 mg 100 g-1, Ca 34,99 mg 100 g-1, Mg 21,43 mg 100 g-1, S 153,70 mg 100 kg-1, Fe 13,50 mg kg-1, Mn 661,50 mg kg-1, Al 5,00 mg kg-1, Na 15,40 mg kg-1, Cu 1,7 mg kg-1, Zn 33,55 mg kg-1, bahan organik 34,37 mg kg-1 dan pH 6,6-7,5. Menegristek (2003) menyatakan L. rubellus memiliki keunggulan karena produktivitasnya tinggi (pertambahan berat badan, produksi telur dan produksi kascing) serta tidak banyak bergerak dibandingkan jenis cacing tanah Pheretima dan Perionyx.

Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan organik menjadi sama dengan C/N rasio tanah (< 20). C/N rasio adalah hasil perbandingan antara karbon dan nitrogen. Bahan organik yang mempunyai C/N rasio sama dengan tanah


(10)

5

memungkinkan bahan tersebut bisa diserap oleh tanaman. Padahal di alam, beberapa jenis bahan organik mempunyai C/N rasio yang tinggi seperti jerami padi (40-50), dedaunan (> 50), limbah dapur (23), limbah sayuran (13) dan kulit kayu (100-130) (Sutanto, 2002).

Cacing tanah menyukai bahan-bahan yang mudah membusuk dan mudah dicerna sebagai sumber makanannya. Beberapa jenis limbah padat yang digunakan sebagai sumber makanan cacing tanah yaitu sampah pasar, serasah dedaunan, dan jerami padi. Namun kecepatan proses dekomposisi yang dilakukan oleh cacing tanah tergantung pada jenis bahan organik dan kandungan substrat dari bahan organik tersebut. Semakin banyak bahan organik yang tersedia maka akan semakin banyak pula ketersediaan makanan bagi cacing tanah. Nisbah C/N sebagai penanda tingkat dekomposisi bahan organik menunjukkan korelasi yang negatif terhadap jumlah cacing tanah. Dengan kata lain jumlah cacing tanah akan meningkat seiring dengan penurunan nisbah C/N (Jicong et al., 2005).

Dalam perkembangan aktivitasnya, cacing tanah membutuhkan syarat hidup yang sesuai. Selain bahan organik sebagai sumber makanan, faktor lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap aktivitas cacing tanah, yaitu air, suplai oksigen, suhu dan pH. Mashur (2001) menyatakan bahwa nilai pH yang dibutuhkan cacing tanah dari sedikit asam sampai netral. Media yang terlalu asam (pH rendah) akan menyebabkan kerusakan pada tembolok, dormansi (tidak beraktivitas), diapause (pertumbuhan terhenti), keracunan, konvulsi (kejang-kejang), paralis (gangguan fungsi motorik atau sensorik sehingga tidak bisa beraktivitas) dan akhirnya


(11)

6

mengalami kematian. Menurut Lee (1985) dalam Brata (2006) cacing tanah menghendaki kondisi media yang sesuai dan berkecukupan pangan, terlindung dari cahaya, pH sekitar netral, sirkulasi udara dan air yang baik. Menegristek (2003) menyatakan bahwa cacing tanah membutuhkan pH yang sedikit asam sampai netral atau pH sekitar 6,0-7,2 untuk pertumbuhannya.

Menurut Soepardi (1983) cacing-cacing tertentu memerlukan sejumlah kapur. Oleh karena itu di daerah yang banyak mengandung kapur yang dapat dipertukarkan, jumlah cacing melonjak tinggi. Karena keterbatasan sistem pencernaannya, cacing tanah membutuhkan tingkat asam tertentu untuk mencerna makanannya. Untuk meningkatkan pH perlu ditambahkan kapur atau kalsium carbonat (CaCO3). Menurut (Waluyo, 1993 dalam Brata, 2006) penambahan kapur 0,3% dari berat campuran media akan menaikkan pH 0,14-0,39 dan pH tertinggi yang dicapai sebesar 7,91. Hasil penelitian Winarso dkk. (2009) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi (CaCO3) dapat menaikkan pH hingga menjadi lebih dari 6,5.

Proses pengomposan selain dengan bantuan organisme juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan pengomposan antara lain pH. Untuk menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai dengan pertumbuhan populasi mikroorganisme diperlukan proses pemberian kapur dengan tujuan kesesuaian hidup mikroorganisme. Tingkat toleransi mikroorganisme terhadap pH sangat bervariasi. Umumnya mikroorganisme hidup dan berkembang pada pH normal seperti bakteri dan aktinomisetes, sedangkan fungi lebih toleran pada pH rendah (Killham, 1994


(12)

7

dalam Nurida, 2001). Perubahan pH akan mempengaruhi dominansi dan aktivitas mikroorganisme tanah. Menurut Sutanto (2002) bakteri lebih senang pada pH netral dan fungi berkembang cukup baik pada kondisi pH agak asam. Mashur (2001) mengemukakan pada nilai pH netral hingga sedikit masam, kondisi bakteri dalam tubuh cacing tanah akan bekerja optimal.

Vermikompos merupakan campuran kotoran cacing tanah (casting) dengan sisa media atau pakan dapat meningkatkan populasi mikroorganisme. Parle (1959)

dalam Edwards (1972) dalam Adianto, Diah, dan Nuryati (2004) menunjukkan bahwa pakan setelah melalui saluran pencernaan cacing (feses yang disebut kasting yang dikeluarkan pada tanah) dapat meningkatkan jumlah aktinomisetes, bakteri berpigmen, dan kelompok bakteri Bacillus cereus. Kasting yang dikeluarkan oleh cacing tanah sangat kaya akan ammonia dan bahan organik yang terdegradasi sehingga menjadi substrat yang bagus bagi pertumbuhan mikroorganisme.

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini :

1. Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) pada limbah padat pasar lebih tinggi dibandingkan dengan dedaunan dan jerami padi. 2. Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) lebih tinggi pada limbah padat pasar yang diaplikasikan cacing tanah L. rubellus.


(13)

8

limbah padat pasar yang diberi kapur dibandingkan dengan kontrol.

4. Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) tertinggi terdapat pada limbah padat pasar yang diaplikasikan cacing tanah L. rubellus dan diberi kapur.


(1)

tanah. Akibatnya lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan cacing tanah dapat meningkatkan populasi mikroorganisme yang bermanfaat bagi tanaman. Cacing tanah juga dapat mendekomposisi sampah organik menjadi humus (Sharma et al., 2005 dalam Ilyas, 2009). Keberadaan cacing tanah sebagai dekomposer juga dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah antara lain aktinomisetes 2,8 x 106 sel g-1 BK, bakteri 1,8 x 108 sel g-1 BK dan fungi 2,6 x 105 sel g-1 BK (Mashur, 2001).

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi ) selama vermicomposting berbagai limbah padat organik (limbah pasar, dedaunan dan jerami padi).

C. Kerangka Pemikiran

Pada prinsipnya bahan organik akan terdekomposisi secara alami di alam, namun berlangsung lama dan lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan ini telah banyak dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan, salah satunya yang melibatkan cacing tanah atau dikenal dengan vermicomposting dengan hasil akhir berupa vermikompos. Menurut Mashur (2001) vermikompos adalah kompos yang diperoleh dari hasil perombakan bahan-bahan organik yang dilakukan oleh cacing tanah. Vermikompos merupakan campuran kotoran cacing tanah (casting) dengan


(2)

sisa media atau pakan dalam budidaya cacing tanah. Vermicast juga diyakini mengandung hormon dan enzim yang terkandung selama proses bahan organik melewati usus cacing tanah. Hormon-hormon dan enzim diyakini untuk merangsang pertumbuhan tanaman dan mencegah patogen tanaman (Gajalakshmi dan Abbasi, 2004). Selanjutnya Nuryati (2004) menyatakan bahwa penguraian bahan organik dengan cacing tanah 3-5 kali lebih cepat dibandingkan pengomposan secara alami. Jenis cacing tanah yang dimanfaatkan untuk mempercepat proses pengomposan yaitu L. rubellus dan E. fetida.

Hasil penelitian Mashur (2001) menyatakan bahwa vermikompos yang dihasilkan dengan menggunakan cacing tanah E. fetida mengandung unsur-unsur hara seperti N total 1,4-2,2%, P 0,6-0,7%, K 1,6-2,1%, C/N rasio 12,5-19,2, Ca 1,3-1,6%, Mg 0,4-0,95, pH 6,5-6,8 sedangkan vermikompos dari cacing tanah Lumbricus rubellus mengandung C 20,20 %, N 1,58 %, C/N 13, P 70,30 mg 100 g-1, K 21,80 mg 100 g-1, Ca 34,99 mg 100 g-1, Mg 21,43 mg 100 g-1, S 153,70 mg 100 kg-1, Fe 13,50 mg kg-1, Mn 661,50 mg kg-1, Al 5,00 mg kg-1, Na 15,40 mg kg-1, Cu 1,7 mg kg-1, Zn 33,55 mg kg-1, bahan organik 34,37 mg kg-1 dan pH 6,6-7,5. Menegristek (2003) menyatakan L. rubellus memiliki keunggulan karena produktivitasnya tinggi (pertambahan berat badan, produksi telur dan produksi kascing) serta tidak banyak bergerak dibandingkan jenis cacing tanah Pheretima dan Perionyx.

Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan organik menjadi sama dengan C/N rasio tanah (< 20). C/N rasio adalah hasil perbandingan antara karbon dan nitrogen. Bahan organik yang mempunyai C/N rasio sama dengan tanah


(3)

memungkinkan bahan tersebut bisa diserap oleh tanaman. Padahal di alam, beberapa jenis bahan organik mempunyai C/N rasio yang tinggi seperti jerami padi (40-50), dedaunan (> 50), limbah dapur (23), limbah sayuran (13) dan kulit kayu (100-130) (Sutanto, 2002).

Cacing tanah menyukai bahan-bahan yang mudah membusuk dan mudah dicerna sebagai sumber makanannya. Beberapa jenis limbah padat yang digunakan sebagai sumber makanan cacing tanah yaitu sampah pasar, serasah dedaunan, dan jerami padi. Namun kecepatan proses dekomposisi yang dilakukan oleh cacing tanah tergantung pada jenis bahan organik dan kandungan substrat dari bahan organik tersebut. Semakin banyak bahan organik yang tersedia maka akan semakin banyak pula ketersediaan makanan bagi cacing tanah. Nisbah C/N sebagai penanda tingkat dekomposisi bahan organik menunjukkan korelasi yang negatif terhadap jumlah cacing tanah. Dengan kata lain jumlah cacing tanah akan meningkat seiring dengan penurunan nisbah C/N (Jicong et al., 2005).

Dalam perkembangan aktivitasnya, cacing tanah membutuhkan syarat hidup yang sesuai. Selain bahan organik sebagai sumber makanan, faktor lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap aktivitas cacing tanah, yaitu air, suplai oksigen, suhu dan pH. Mashur (2001) menyatakan bahwa nilai pH yang dibutuhkan cacing tanah dari sedikit asam sampai netral. Media yang terlalu asam (pH rendah) akan menyebabkan kerusakan pada tembolok, dormansi (tidak beraktivitas), diapause (pertumbuhan terhenti), keracunan, konvulsi (kejang-kejang), paralis (gangguan fungsi motorik atau sensorik sehingga tidak bisa beraktivitas) dan akhirnya


(4)

mengalami kematian. Menurut Lee (1985) dalam Brata (2006) cacing tanah menghendaki kondisi media yang sesuai dan berkecukupan pangan, terlindung dari cahaya, pH sekitar netral, sirkulasi udara dan air yang baik. Menegristek (2003) menyatakan bahwa cacing tanah membutuhkan pH yang sedikit asam sampai netral atau pH sekitar 6,0-7,2 untuk pertumbuhannya.

Menurut Soepardi (1983) cacing-cacing tertentu memerlukan sejumlah kapur. Oleh karena itu di daerah yang banyak mengandung kapur yang dapat dipertukarkan, jumlah cacing melonjak tinggi. Karena keterbatasan sistem pencernaannya, cacing tanah membutuhkan tingkat asam tertentu untuk mencerna makanannya. Untuk meningkatkan pH perlu ditambahkan kapur atau kalsium carbonat (CaCO3). Menurut (Waluyo, 1993 dalam Brata, 2006) penambahan kapur 0,3% dari berat campuran media akan menaikkan pH 0,14-0,39 dan pH tertinggi yang dicapai sebesar 7,91. Hasil penelitian Winarso dkk. (2009) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi (CaCO3) dapat menaikkan pH hingga menjadi lebih dari 6,5.

Proses pengomposan selain dengan bantuan organisme juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan pengomposan antara lain pH. Untuk menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai dengan pertumbuhan populasi mikroorganisme diperlukan proses pemberian kapur dengan tujuan kesesuaian hidup mikroorganisme. Tingkat toleransi mikroorganisme terhadap pH sangat bervariasi. Umumnya mikroorganisme hidup dan berkembang pada pH normal seperti bakteri dan aktinomisetes, sedangkan fungi lebih toleran pada pH rendah (Killham, 1994


(5)

dalam Nurida, 2001). Perubahan pH akan mempengaruhi dominansi dan aktivitas mikroorganisme tanah. Menurut Sutanto (2002) bakteri lebih senang pada pH netral dan fungi berkembang cukup baik pada kondisi pH agak asam. Mashur (2001) mengemukakan pada nilai pH netral hingga sedikit masam, kondisi bakteri dalam tubuh cacing tanah akan bekerja optimal.

Vermikompos merupakan campuran kotoran cacing tanah (casting) dengan sisa media atau pakan dapat meningkatkan populasi mikroorganisme. Parle (1959) dalam Edwards (1972) dalam Adianto, Diah, dan Nuryati (2004) menunjukkan bahwa pakan setelah melalui saluran pencernaan cacing (feses yang disebut kasting yang dikeluarkan pada tanah) dapat meningkatkan jumlah aktinomisetes, bakteri berpigmen, dan kelompok bakteri Bacillus cereus. Kasting yang dikeluarkan oleh cacing tanah sangat kaya akan ammonia dan bahan organik yang terdegradasi sehingga menjadi substrat yang bagus bagi pertumbuhan mikroorganisme.

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini :

1. Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) pada limbah padat pasar lebih tinggi dibandingkan dengan dedaunan dan jerami padi. 2. Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) lebih tinggi pada limbah padat pasar yang diaplikasikan cacing tanah L. rubellus.


(6)

limbah padat pasar yang diberi kapur dibandingkan dengan kontrol.

4. Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) tertinggi terdapat pada limbah padat pasar yang diaplikasikan cacing tanah L. rubellus dan diberi kapur.