PERUBAHAN POPULASI MIKROORGANISME SELAMA VERMICOMPOSTING BERBAGAI LIMBAH PADAT ORGANIK

(1)

ABSTRACT

CHANGES POPULATION MICROORGANISM DURING VERMICOMPOSTING VARIOUS

ORGANIC SOLID WASTE

By

LUQMAN HASAN

The development and rapid population growth in urban areas resulted in wider residential area and cause increased solid waste generated. One of the alternative waste management / waste that is composted by vermicomposting method. This research aims to study the changes in populations of microorganisms (actynomicetes, bacteria, fungi) during vermicomposting of organic solid waste (waste market, leaves, and rice straw). The hypothesis proposed in this study were (1) The population of microorganisms (actynomicetes, bacteria and fungi) on solid waste market is higher compared with leaves and rice straw. (2) The population of microorganisms (actynomicetes, bacteria and fungi) was higher in the market of solid waste that is applied earthworm Lumbricus rubellus. (3) The population of microorganisms (actynomicetes, bacteria and fungi) was higher in a given market solid waste lime compared to controls. (4) The population of microorganisms (actynomicetes, bacteria and fungi) are highest on the market of solid waste is applied to the earthworm Lumbricus rubellus and given a lime. This research was conducted using randomized block design (RAK), and treatment arranged in a factorial 3 x 3 x 2 with three replications, so there are 54 experimental units. The first factor is application of waste that is: L1: Waste Market, L2: Waste foliage, L3: Rice straw. The second factor is the application of worms that is: C0: no earthworms, C1: Eisenia fetida, C2: Lumbricus rubellus. The third factor is the calcification of K0: without lime, K1: with lime (5% CaCO3 kg-1 of waste materials). Homogeneity range of the data was tested with Bartlett test and aditifitas data with Tukey test followed by analysis of variance to test the value being conducted with LSD with significance level of 5% and 1%.


(2)

earthworm Eisenia fetida compared with that given the earthworm Lumbricus rubellus except the bacterial population in the observation week - 8 was higher in the earthworm Lumbricus rubellus. (3) Population actynomicetes, bacteria and fungi was higher in vermicomposting are given without any lime compared with lime. (4) Population actynomicetes, bacteria and fungi, the highest on the market of solid waste vermicomposting earthworm Eisenia fetida given and given a lime. Key words: Earthworm, Lime, Organic Waste, Microorganisms, Vermicomposting.


(3)

ABSTRAK

PERUBAHAN POPULASI MIKROORGANISME SELAMA VERMICOMPOSTING BERBAGAI

LIMBAH PADAT ORGANIK

Oleh

LUQMAN HASAN

Perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan mengakibatkan daerah pemukiman semakin luas dan padat menyebabkan meningkatnya sampah yang dihasilkan. Salah satu alternatif pengelolaan sampah / limbah yaitu dengan cara dibuat kompos dengan metode vermicomposting. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri, fungi) selama vermicomposting berbagai limbah padat organik (limbah pasar, dedaunan, dan jerami padi). Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah (1) Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) pada limbah padat pasar lebih tinggi dibandingkan dengan dedaunan dan jerami padi. (2) Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) lebih tinggi pada limbah padat pasar yang diaplikasikan cacing tanah Lumbricus rubellus. (3) Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) lebih tinggi pada limbah padat pasar yang diberi kapur dibandingkan kontrol. (4) Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) tertinggi terdapat pada limbah padat pasar yang diaplikasikan cacing tanah Lumbricus rubellus dan diberi kapur.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), serta perlakuan disusun secara faktorial 3 x 3 x 2 dengan tiga ulangan, sehingga terdapat 54 satuan percobaan. Faktor pertama adalah aplikasi limbah yaitu: L1: Limbah Pasar, L2: Limbah dedaunan, L3: Jerami padi. Faktor kedua adalah aplikasi cacing yaitu: C0: tanpa cacing tanah, C1: Eisenia fetida, C2: Lumbricus rubellus. Faktor ketiga adalah pengapuran yaitu K0: tanpa kapur, K1: dengan kapur (5 % CaCO3 kg-1 bahan limbah). Homogenitas ragam data diuji


(4)

dengan uji Bartlett dan aditifitas data dengan uji Tukey dilanjutkan dengan analisis ragam, untuk menguji nilai tengah dilakukan dengan uji BNT dengan taraf nyata 5 % dan 1 %.

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi lebih tinggi pada vermicomposting limbah padat pasar dibandingkan dengan limbah dedaunan dan limbah jerami. (2) Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi lebih tinggi pada cacing tanah Eisenia fetida dibandingkan dengan yang diberi cacing tanah Lumbricus rubellus kecuali populasi bakteri pada amatan minggu ke - 8 lebih tinggi pada cacing tanah Lumbricus rubellus. (3) Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi lebih tinggi pada vermicomposting yang diberi kapur dibandingkan dengan tanpa diberi kapur. (4) Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi tertinggi pada vermicomposting limbah padat pasar yang diberi cacing tanah Eisenia fetida dan diberi kapur.

Kata kunci : Cacing Tanah, Kapur, Limbah Organik, Mikroorganisme, Vermicomposting.


(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan mengakibatkan daerah pemukiman semakin luas dan padat menyebabkan meningkatnya sampah yang dihasilkan. Faktor yang mempengaruhi jumlah sampah selain aktivitas penduduk antara lain adalah jumlah atau kepadatan penduduk, sistem pengelolaan sampah, keadaan geografi, musim dan waktu, kebiasaan penduduk, teknologi serta tingkat sosial ekonomi.

Sampah padat perkotaan rnerupakan salah satu sumber masalah lingkungan dan sosial yang dihadapi di kota-kota besar. Secara umum jenis sampah dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu sampah organik dan sampah anorganik (Deddy, 2005). Pada umumnya sampah dikumpulkan dari berbagai tempat (rumah tangga, pasar, industri dan lain-lainnya) (Simarmata, 2005).

Limbah merupakan hasil sampingan dari suatu proses produksi yang mengandung bahan yang dapat mencemari lingkungan termasuk tanah, air dan udara (Manik, 2002). Limbah tergolong ke dalam bahan organik (limbah pasar, serasah dedaunan dan jerami padi) yang merupakan sumber nutrisi bagi organisme di


(6)

dalam tanah. Keberadaan limbah padat ini apabila tidak dikelola dengan baik akan menjadi masalah bagi manusia dan lingkungan berupa berupa bau yang tidak sedap, gangguan kesehatan penduduk, dan pencemaran lingkungan air (sungai). Alternatif dalam mengatasi limbah padat secara alami yaitu dengan cara dibuat kompos / pengomposan. Pengomposan adalah proses penguraian bahan organik secara biologis, khususnya oleh mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi (Isroi, 2008).

Salah satu metode pengomposan adalah vermicomposting yang melibatkan cacing tanah sebagai dekomposer. Mashur (2001) mengemukakan bahwa vermikompos adalah kompos yang diperoleh dari hasil perombakan bahan-bahan organik yang dilakukan oleh cacing tanah. Vemikompos merupakan campuran kotoran cacing tanah (casting) dengan sisa media atau pakan dalam budidaya cacing tanah. Oleh karena itu vermikompos merupakan pupuk organik yang ramah lingkungan dan memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan kompos lain. Metode pengomposan dengan cara vermikompos memiliki beberapa keuntungan antara lain waktu pengomposan yang relatif lebih cepat, tidak menimbulkan bau, dan relatif mudah untuk dilakukan.

Beberapa spesies cacing tanah yang berperan dalam mempercepat proses pengomposan yaitu Lumbricus rubellus dan Eisenia fetida. Cacing tanah berperan mencampurkan bahan organik kasar ataupun halus antara lapisan atas dan bawah (Hakim dkk., 1986). Cacing tanah memiliki peran yang sangat penting dalam menghancurkan bahan organik sehingga dapat memperbaiki aerasi dan struktur


(7)

tanah. Akibatnya lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan cacing tanah dapat meningkatkan populasi mikroorganisme yang bermanfaat bagi tanaman. Cacing tanah juga dapat mendekomposisi sampah organik menjadi humus (Sharma et al., 2005 dalam Ilyas, 2009). Keberadaan cacing tanah sebagai dekomposer juga dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah antara lain aktinomisetes 2,8 x 106 sel g-1 BK, bakteri 1,8 x 108 sel g-1 BK dan fungi 2,6 x 105 sel g-1 BK (Mashur, 2001).

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi ) selama vermicomposting berbagai limbah padat organik (limbah pasar, dedaunan dan jerami padi).

C. Kerangka Pemikiran

Pada prinsipnya bahan organik akan terdekomposisi secara alami di alam, namun berlangsung lama dan lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan ini telah banyak dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan, salah satunya yang melibatkan cacing tanah atau dikenal dengan vermicomposting dengan hasil akhir berupa vermikompos. Menurut Mashur (2001) vermikompos adalah kompos yang diperoleh dari hasil perombakan bahan-bahan organik yang dilakukan oleh cacing tanah. Vermikompos merupakan campuran kotoran cacing tanah (casting) dengan


(8)

sisa media atau pakan dalam budidaya cacing tanah. Vermicast juga diyakini mengandung hormon dan enzim yang terkandung selama proses bahan organik melewati usus cacing tanah. Hormon-hormon dan enzim diyakini untuk merangsang pertumbuhan tanaman dan mencegah patogen tanaman (Gajalakshmi dan Abbasi, 2004). Selanjutnya Nuryati (2004) menyatakan bahwa penguraian bahan organik dengan cacing tanah 3-5 kali lebih cepat dibandingkan pengomposan secara alami. Jenis cacing tanah yang dimanfaatkan untuk mempercepat proses pengomposan yaitu L. rubellus dan E. fetida.

Hasil penelitian Mashur (2001) menyatakan bahwa vermikompos yang dihasilkan dengan menggunakan cacing tanah E. fetida mengandung unsur-unsur hara seperti N total 1,4-2,2%, P 0,6-0,7%, K 1,6-2,1%, C/N rasio 12,5-19,2, Ca 1,3-1,6%, Mg 0,4-0,95, pH 6,5-6,8 sedangkan vermikompos dari cacing tanah Lumbricus rubellus mengandung C 20,20 %, N 1,58 %, C/N 13, P 70,30 mg 100 g-1, K 21,80 mg 100 g-1, Ca 34,99 mg 100 g-1, Mg 21,43 mg 100 g-1, S 153,70 mg 100 kg-1, Fe 13,50 mg kg-1, Mn 661,50 mg kg-1, Al 5,00 mg kg-1, Na 15,40 mg kg-1, Cu 1,7 mg kg-1, Zn 33,55 mg kg-1, bahan organik 34,37 mg kg-1 dan pH 6,6-7,5. Menegristek (2003) menyatakan L. rubellus memiliki keunggulan karena produktivitasnya tinggi (pertambahan berat badan, produksi telur dan produksi kascing) serta tidak banyak bergerak dibandingkan jenis cacing tanah Pheretima dan Perionyx.

Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan organik menjadi sama dengan C/N rasio tanah (< 20). C/N rasio adalah hasil perbandingan antara karbon dan nitrogen. Bahan organik yang mempunyai C/N rasio sama dengan tanah


(9)

memungkinkan bahan tersebut bisa diserap oleh tanaman. Padahal di alam, beberapa jenis bahan organik mempunyai C/N rasio yang tinggi seperti jerami padi (40-50), dedaunan (> 50), limbah dapur (23), limbah sayuran (13) dan kulit kayu (100-130) (Sutanto, 2002).

Cacing tanah menyukai bahan-bahan yang mudah membusuk dan mudah dicerna sebagai sumber makanannya. Beberapa jenis limbah padat yang digunakan sebagai sumber makanan cacing tanah yaitu sampah pasar, serasah dedaunan, dan jerami padi. Namun kecepatan proses dekomposisi yang dilakukan oleh cacing tanah tergantung pada jenis bahan organik dan kandungan substrat dari bahan organik tersebut. Semakin banyak bahan organik yang tersedia maka akan semakin banyak pula ketersediaan makanan bagi cacing tanah. Nisbah C/N sebagai penanda tingkat dekomposisi bahan organik menunjukkan korelasi yang negatif terhadap jumlah cacing tanah. Dengan kata lain jumlah cacing tanah akan meningkat seiring dengan penurunan nisbah C/N (Jicong et al., 2005).

Dalam perkembangan aktivitasnya, cacing tanah membutuhkan syarat hidup yang sesuai. Selain bahan organik sebagai sumber makanan, faktor lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap aktivitas cacing tanah, yaitu air, suplai oksigen, suhu dan pH. Mashur (2001) menyatakan bahwa nilai pH yang dibutuhkan cacing tanah dari sedikit asam sampai netral. Media yang terlalu asam (pH rendah) akan menyebabkan kerusakan pada tembolok, dormansi (tidak beraktivitas), diapause (pertumbuhan terhenti), keracunan, konvulsi (kejang-kejang), paralis (gangguan fungsi motorik atau sensorik sehingga tidak bisa beraktivitas) dan akhirnya


(10)

mengalami kematian. Menurut Lee (1985) dalam Brata (2006) cacing tanah menghendaki kondisi media yang sesuai dan berkecukupan pangan, terlindung dari cahaya, pH sekitar netral, sirkulasi udara dan air yang baik. Menegristek (2003) menyatakan bahwa cacing tanah membutuhkan pH yang sedikit asam sampai netral atau pH sekitar 6,0-7,2 untuk pertumbuhannya.

Menurut Soepardi (1983) cacing-cacing tertentu memerlukan sejumlah kapur. Oleh karena itu di daerah yang banyak mengandung kapur yang dapat dipertukarkan, jumlah cacing melonjak tinggi. Karena keterbatasan sistem pencernaannya, cacing tanah membutuhkan tingkat asam tertentu untuk mencerna makanannya. Untuk meningkatkan pH perlu ditambahkan kapur atau kalsium carbonat (CaCO3). Menurut (Waluyo, 1993 dalam Brata, 2006) penambahan kapur 0,3% dari berat campuran media akan menaikkan pH 0,14-0,39 dan pH tertinggi yang dicapai sebesar 7,91. Hasil penelitian Winarso dkk. (2009) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi (CaCO3) dapat menaikkan pH hingga menjadi lebih dari 6,5.

Proses pengomposan selain dengan bantuan organisme juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan pengomposan antara lain pH. Untuk menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai dengan pertumbuhan populasi mikroorganisme diperlukan proses pemberian kapur dengan tujuan kesesuaian hidup mikroorganisme. Tingkat toleransi mikroorganisme terhadap pH sangat bervariasi. Umumnya mikroorganisme hidup dan berkembang pada pH normal seperti bakteri dan aktinomisetes, sedangkan fungi lebih toleran pada pH rendah (Killham, 1994


(11)

dalam Nurida, 2001). Perubahan pH akan mempengaruhi dominansi dan aktivitas mikroorganisme tanah. Menurut Sutanto (2002) bakteri lebih senang pada pH netral dan fungi berkembang cukup baik pada kondisi pH agak asam. Mashur (2001) mengemukakan pada nilai pH netral hingga sedikit masam, kondisi bakteri dalam tubuh cacing tanah akan bekerja optimal.

Vermikompos merupakan campuran kotoran cacing tanah (casting) dengan sisa media atau pakan dapat meningkatkan populasi mikroorganisme. Parle (1959) dalam Edwards (1972) dalam Adianto, Diah, dan Nuryati (2004) menunjukkan bahwa pakan setelah melalui saluran pencernaan cacing (feses yang disebut kasting yang dikeluarkan pada tanah) dapat meningkatkan jumlah aktinomisetes, bakteri berpigmen, dan kelompok bakteri Bacillus cereus. Kasting yang dikeluarkan oleh cacing tanah sangat kaya akan ammonia dan bahan organik yang terdegradasi sehingga menjadi substrat yang bagus bagi pertumbuhan mikroorganisme.

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini :

1. Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) pada limbah padat pasar lebih tinggi dibandingkan dengan dedaunan dan jerami padi. 2. Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) lebih tinggi pada limbah padat pasar yang diaplikasikan cacing tanah L. rubellus.


(12)

limbah padat pasar yang diberi kapur dibandingkan dengan kontrol.

4. Populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) tertinggi terdapat pada limbah padat pasar yang diaplikasikan cacing tanah L. rubellus dan diberi kapur.


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan pada permasalahan limbah / sampah yang jumlahnya semakin meningkat seiring bertambahnya aktivitas penduduk. Keberadaan limbah / sampah apabila tidak dikelola dengan baik menimbulkan permasalahan baik bagi manusia maupun lingkungan. Salah satu alternatif dalam upaya pengelolaan limbah / sampah dengan cara dibuat kompos / pengomposan.

Kompos adalah hasil penguraian parsial atau tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroorganisme dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab dan aerobik atau anaerobik. Sedangkan proses pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi (Isroi, 2008).

Lebih lanjut Setyorini dkk. (2006) mengungkapkan bahwa kompos merupakan bahan organik seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang serta kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai, sehingga dapat


(14)

dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Kompos mengandung hara-hara mineral yang esensial bagi tanaman.

A. Limbah Padat Organik

Limbah merupakan hasil sampingan dari suatu proses produksi yang mengandung bahan yang dapat mencemari lingkungan baik limbah padat, cair dan gas. Limbah padat yang juga tergolong sebagai bahan organik apabila dikelola dengan baik masih dapat memberikan manfaat.

Bahan organik yang dapat digunakan sebagai sumber pupuk organik dapat berasal dari limbah / hasil pertanian dan non pertanian (limbah kota dan limbah industri) (Kurnia et al., 2001 dalam Setyorini dkk., 2006). Dari hasil pertanian antara lain berupa sisa tanaman (jerami dan brangkasan), sisa hasil pertanian (sekam padi, kulit kacang tanah, ampas tebu dan belotong), pupuk kandang (kotoran sapi, kerbau, ayam, itik dan kuda), dan pupuk hijau. Limbah kota atau sampah organik kota biasanya dikumpulkan dari pasar-pasar atau sampah rumah tangga dari daerah pemukiman serta taman-taman kota.

Proses perombakan bahan organik secara alami membutuhkan waktu yang relatif lama, hal ini dikarenakan berhubungan dengan kandungan senyawa dan sumber bahan organik tersebut. Tingkat kecepatan dekomposisi bahan organik ditentukan oleh perbandingan rasio C/N. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbon (C) dan nitrogen (N). Prinsip pengomposan adalah menurunkan rasio C/N bahan


(15)

organik hingga sama dengan C/N tanah. Namun pada umumnya bahan organik segar mempunyai rasio C/N tinggi: jerami padi 50-70, dedaunan tanaman 50-60, kayu-kayuan > 400 dan lain-lain (Setyorini dkk., 2006).

Beberapa jenis bahan organik atau limbah hasil pertanian memiliki perbedaan dalam komposisi atau susunan jaringan penyusunnya tergantung sumber bahan organik tersebut. Sumber dan komposisi bahan organik sangat menentukan kecepatan dekomposisi dan senyawa yang dihasilkannya. Soepardi (1983) mengungkapkan senyawa-senyawa yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan diklasifikasikan menurut tingkat mudah tidaknya senyawa tersebut dilapuk. Urutan tingkat cepat dilapuk hingga lambat dilapuk yaitu :

1. Gula, zat pati dan protein sederhana. 2. Protein kasar.

3. Hemiselulosa. 4. Selulosa.

5. Lignin, lemak, waks dan lain-lain.

Menurut Sutanto (2002) kemungkinan sumber bahan dasar kompos mengandung selulose 15%-60%, hemiselulose 10%-30%, lignin 5%-30%, protein 5%-40%, bahan mineral (abu) 3%-5%, disamping itu terdapat bahan larut panas dan dingin (gula, pati, asam amino, urea, garam amonium sebanyak 2%-30% dan 1%-15% lemak larut eter dan alkohol, minyak lilin.


(16)

B. Vermicomposting

Salah satu metode pengomposan adalah vermicomposting yang melibatkan cacing tanah sebagai dekomposer. Aira et al. (2002) mengungkapkan vermicomposting merupakan proses biooksidasi dan pemantapan bahan organik yang melibatkan tindakan bersama cacing tanah dan mikroorganisme. Lebih lanjut (Edwards dan Bohlen, 1986 dalam Parthasarathi, 2007) mengungkapkan vermicomposting merupakan proses biologi yang tergantung pada cacing dan aktivitas mikroorganisme dimana bergantung pada suhu, kelembaban, suplai oksigen dan kemampuan degradasi limbah organik sebagai substrat makanan untuk cacing tanah.

Hasil akhir proses vermicomposting berupa vermikompos / vermicast. Biokonversi limbah hasil vermicomposting menghasilkan dua produk yang berguna yaitu biomassa cacing tanah dan vermicompost (Garg et al., 2005). Mashur (2001) mengemukakan bahwa vermikompos adalah kompos yang diperoleh dari hasil perombakan bahan-bahan organik yang dilakukan cacing tanah. Vermikompos merupakan campuran kotoran cacing tanah (casting) dengan sisa media atau pakan dalam budidaya cacing tanah. Vermicast juga diyakini mengandung hormon dan enzim yang terkandung selama proses bahan organik melewati usus cacing tanah. Hormon-hormon dan enzim diyakini untuk merangsang pertumbuhan tanaman dan mencegah patogen tanaman (Gajalakshmi dan Abbasi, 2004).


(17)

Keberhasilan vermicomposting tergantung pada kualitas limbah organik yang diberikan sebagai makanan untuk cacing tanah dan juga pada kelembaban, suhu, pH, dan aerasi yang merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi pengomposan (Parthasarathi, 2007).

C. Cacing Tanah

Cacing tanah termasuk dalam ordo Oligochaeta dan filum Annelida. Tubuh cacing dilindungi oleh kutikula (kulit bagian luar) dan memiliki segmen yang berbentuk cincin dimana setiap segmennya terdapat seta. Seta merupakan rambut yang relatif keras dan berukuran pendek pada setiap segmen (Palungkun, 2006).

Lee (1985) dalam Ilyas (2009) mengelompokkan spesies cacing tanah ke dalam tiga kategori ekologi berdasarkan strategi mencari makanan dan membuat liang yaitu spesies epigeic, endogeic dan anecic. Cacing tanah epigeic hidup di dalam atau dekat permukaan sampah dan memakan sampah organik yang kasar serta sejumlah sampah yang belum terurai. Cacing tanah epigeic membuat liang ephemeral ke dalam tanah mineral selama periode diapause. Tubuhnya kecil dengan pigmen warna seragam (Gajalakshmi dan Abbasi, 2004). Cacing tanah endogeic hidup di dalam tanah yang lebih dalam dan memakan tanah serta kumpulan bahan-bahan organik. Cacing tanah ini tidak memiliki pigmen tubuh dan membuat liang horizontal yang bercabang kedalam. Cacing tanah anecic hidup di dalam sistem liang vertikal yang lebih permanen yang dapat meluas beberapa meter ke dalam tanah.


(18)

Tidak semua jenis cacing dapat dibudidayakan dalam proses vermicomposting. Gajalakshmi dan Abbasi (2004) mengemukakan spesies cacing yang cocok untuk vermicomposting dengan kriteria: mudah untuk dibudidayakan, menyukai bahan yang akan di vermicompost dan tingkat menghasilkan vermicast yang tinggi per cacing dari tiap unit volume yang didegradasi.

Jenis cacing yang umum dipakai dalam proses vermicomposting yaitu jenis L. rubellus dan E. fetida dikarenakan kedua jenis cacing ini memiliki keungulan- keunggulan. Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (2003) menyatakan cacing jenis L. rubellus memiliki keunggulan dibandingkan cacing jenis Pheretima dan Perionyx karena produktivitasnya tinggi (penambahan berat badan, produksi telur / anakan dan

produksi bekas cacing ”kascing”) serta tidak banyak bergerak.

E. fetida mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan spesies lain terutama kemampuannya yang tinggi dalam reproduksi dan merombak bahan organik sebagai pakannya. Seekor induk cacing tanah E. fetida atau ”earthworm breeder” menghasilkan satu kokon setiap 7-10 hari. Kokon tersebut menetas antara 14-21 hari apabila keadaannya lembab dengan temperatur 29-30°C. Setiap kokon dapat menghasilkan 2-20 ekor anak dengan perkiraan rata-rata tujuh anak cacing (Lee, 1985 dalam Mashur dkk., 2001).

Bila dibandingkan dengan L. rubellus, E. fetida memiliki toleransi temperatur 40 -90ºF. Kondisi yang ideal adalah 70-75ºF. L. rubellus dapat bertahan di bawah


(19)

temperatur tersebut. Menurut Vermiplex (2005) ukuran cacing tanah L. rubellus sekitar 4 inchi sedangkan E. fetida sekitar 2,5 inchi. Kedua jenis cacing ini ditemukan di permukaan tanah tetapi L. rubellus bergerak jauh lebih dalam dibandingkan E. fetida yang lebih menyukai permukaan tanah.

Cacing tanah, rayap dan semut merupakan organisme-organisme tanah yang berfungsi sebagai ”ecosystem engineer”, peranannya sangat penting didalam proses - proses yang terjadi di dalam tanah (Fragoso et al., 1997 dalam Nurida, 2001). Lebih lanjut diungkapkan Mulat (2003) dalam Agus (2005) cacing tanah berperan dalam membangun rongga-rongga tanah yang berakibat tanah menjadi gembur sehingga aerasi tanah menjadi lebih baik dan juga sebagai pemakan berbagai sisa bahan organik (saphrofagus). Selain memakan bahan organik, cacing tanah juga memakan mikroorganisme tanah dan tanah itu sendiri dan kemudian dikeluarkan dalam bentuk kotoran cacing yang disebut kascing. Kotoran cacing (kascing) mengandung unsur hara yang lengkap baik unsur hara makro dan mikro yang sangat berguna bagi kesuburan tanah.

Perkembangan dan aktivitas cacing tanah juga dibatasi oleh faktor pH. Menurut Singh et al. (2005) cacing tanah sangat sensitif terhadap pH, sehingga pH tanah atau limbah kadang - kadang menjadi faktor yang membatasi distribusi, jumlah dan jenis cacing tanah.

Menurut Soepardi (1983) cacing-cacing tertentu memerlukan sejumlah kapur. Oleh karena itu di daerah yang banyak mengandung kapur yang dapat


(20)

dipertukarkan, jumlah cacing melonjak tinggi. Karena keterbatasan sistem pencernaannya, cacing tanah membutuhkan tingkat asam tertentu untuk mencerna makanannya. Menurut Waluyo (1993) dalam Brata (2006) penambahan kapur 0,3 % dari berat campuran media akan menaikkan pH 0,14-0,39 dan pH tertinggi yang dicapai sebesar 7,91.

Tingginya kemampuan cacing tanah dalam merombak limbah organik dan meredam bau busuk yang menyengat maka cacing tanah juga dapat dimanfaatkan sebagai alternatif untuk mencegah pencemaran lingkungan terutama yang ditimbulkan oleh limbah ternak, limbah pasar dan limbah rumah tangga (Mashur dkk., 2001).

D. Mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi)

Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain atau bahkan mati (Isroi, 2001).

Mikroorganisme menggunakan nitrogen tanah sebagai sumber energi dan untuk berkembang biak. Dengan demikian cukup banyak senyawa karbon yang dimanfaatkan mikroorganisme dan kegiatan ini akan melepaskan CO2 ke udara (Sutanto, 2002).


(21)

Bakteri berperan sebagai penginisiasi proses dekomposisi senyawa-senyawa menjadi bentuk yang lebih sederhana. Fungi dan aktinomisetes berkemampuan mendekomposisi bahan yang sulit terurai (Graves et al., 2000 dalam Sulistyawati dkk., 2008).

Jenis mikroorganisme yang terlibat dalam proses vermicomposting tergantung pada kondisi lingkungan, di bawah kondisi aerobik termasuk fungi, aktinomisetes dan bakteri dan di bawah kondisi anaerobik hampir secara khusus (Lynd et al., 2002 dalam Aira et al., 2006).

a. Aktinomisetes

Berdasarkan klasifikasinya, Actinomycetes termasuk kelas Schizomycetes, ordo Actinomycetales yang dikelompokkan menjadi empat familia, yaitu: Mycobacteriaceae, Actinomycetaeceae, Streptomyceae, dan Actinoplanaceae. Genus yang paling banyak dijumpai adalah Streptomyces (hampir 70%), Nocardia, dan Micronospora. Koloni Actinomycetes muncul perlahan, menunjukkan konsistensi berbubuk dan melekat erat pada permukaaan media. Pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan adanya miselium ramping bersel satu yang bercabang membentuk spora aseksual untuk perkembangbiakannya (Lechevalier dan Lechevalier, 1967; Nonomura dan Ohara, 1971a dalam Kanti 2005).


(22)

Aktinomisetes adalah bakteri yang mirip jamur, memiliki miselia mirip jamur tatapi hifa aktinomisetes jauh lebih kecil dibandingkan hifa jamur, berukuran panjang 10-15µm dan diameter 0,5-1µm. Komposisi dinding sel aktinomisetes sesuai dengan kriteria bakteri gram positif. Aktinomisetes bukan organisme fotosintesis tetapi organisme yang tumbuh melalui dekomposisi bahan organik. Pertumbuhan aktinomisetes tanah terjadi dari hypal apices dengan cabang reguler yang terjadi dibalik apices utama dari hifa. Aktinomisetes menghasilkan spora reproduktif yang kurang resisten terhadap lingkungan dibandingkan dengan endospora bakteri. Spora aktinomisetes dihasilkan pada aerial_sporophores yang dapat dibedakan dengan hifa substrat atau miselium vegetatif. Aktinomisetes banyak dijumpai dalam tanah, kompos, lumpur sungai dan dasar danau. Jumlahnya kedua terbanyak setelah bakteri (105-108 g-1) (Handayanto dan Hairiah, 2007).

Hampir semua aktinomisetes memerlukan O2 untuk pertumbuhannya, kecuali beberapa spesies yang bersifat mikroaerofilik dan kapnofilik (O2 rendah, CO2 tinggi) misalnya Actinomyces, Agromyces, Micromonospora. Pada umumnya aktinomisetes tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah-tanah basah. Aktinomisetes lebih banyak dijumpai pada tanah yang lebih panas dibandingkan bakteri. Pertumbuhan terhambat pada temperatur 5ºC, temperatur optimum untuk pertumbuhan aktinomisetes adalah 28-37ºC. Namun demikian, ada juga aktinomisetes termofilik yang dapat tumbuh pada temperatur 55-65ºC pada timbunan kompos. Aktinomisetes dapat tumbuh pada kisaran pH 4-10, tetapi pada pH < 5, populasi aktinomisetes < 1 dari populasi mikroorganisme. Aktinomisetes


(23)

tidak toleran asam tetapi toleran pada kondisi basa. Sebagian besar aktinomisetes dalam tanah adalah saprofit yang hidup bebas, dapat melapukkan berbagai macam substrat karbon dalam bentuk polimer yang resisten seperti khitin, selulosa dan hemiselulosa. Aktinomisetes mempunyai peranan yang penting pada pH tinggi. Pada pH netral atau asam proses pelapukan ini umumya dilakukan oleh bakteri dan / jamur (Handayanto dan Hairiah, 2007). Aktinomisetes tidak toleran terhadap asam dan jumlahnya menurun pada pH 5,0. Rentang pH yang paling cocok antara 6,5-8,0.

Aktinomisetes dapat menyerang lignin dan mengubahnya menjadi senyawa sederhana dan berperan dalam mineralisasi nitrogen (Hakim dkk., 1986). Aktinomisetes juga mampu mendegradasi polimer selulosa namun dengan kemampuan yang lebih rendah dibandingkan fungi (Saraswati dkk., 2006). Beberapa aktinomisetes penting dalam tanah : Rhodococcus, Nocardia, Frankia, Streptomyces (Handayanto dan Hairiah, 2007).

b. Bakteri

Bakteri merupakan jasad bersel satu, bentuk hidup sederhana dan terkecil. Berkembangbiak dengan membelah diri dan sangat cepat pada kondisi kesuburan yang baik. Ukuran bakteri yang terbesar tidak lebih dari 4-5µm sedangkan ukuran terkecil hampir sama dengan liat. Berdasarkan sumber energi bakteri dibagi atas dua kelompok yaitu ototrofik (memperoleh energi dari oksidasi mineral dan karbon yang diperoleh dari CO2), sedangkan heterotrofik energinya bersumber


(24)

dari bahan organik. Peranan bakteri sangat penting dalam tanah karena turut dalam semua perubahan bahan organik, memonopoli dalam reaksi enzimatik seperti nitrifikasi, oksidasi bakteri dan fiksasi nitrogen. Peranan bakteri sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kelembaban, oksigen (aerasi), suhu, bahan organik, pH dan kalsium dapat ditukar (Hakim dkk., 1986).

Pada dasarnya terdapat empat bentuk utama bakteri yaitu cocci (spherical), batang (rod), vibrio (bentuk koma) dan spiral dengan panjang bakteri 1-3µm dan diameter 0,5-1µm. Di dalam tanah, pernyebaran bakteri umumnya lebih beragam dibanding organisme tanah lainnya, diperkirakan lebih dari 200 genera. Terdapat dua divisi utama bakteri ditinjau dari ekologinya yaitu indigenus (Autochthonous): penghuni sebenarnya yang permanen dan bukan penghuni atau pendatang (Allochthonous): penyerang atau penjelajah. Reproduksi bakteri umumnya melalui pembelahan yaitu bentuk pembiakan aseksual dimana pembelahan suatu sel tunggal atau kromosom diikuti dengan pembelahan sitoplasma untuk membentuk dua sel kembar.

Berdasarkan fungsinya di dalam tanah, bakteri tanah dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu: 1. Bakteri perombak (decomposer): merupakan kelompok terbesar yang mengkonsumsi senyawa karbon sederhana seperti eksudat akar dan sisa tanaman segar. Melalui proses ini, bakteri mengkonversi energi dalam bahan organik tanah menjadi bentuk yang bermanfaat untuk organisme tanah lain di dalam rantai makanan (food web) tanah. 2. Bakteri mutualis: bakteri yang membentuk asosiasi dengan tanaman, paling dikenal


(25)

adalah bakteri penambat nitrogen. 3. Bakteri patogen: termasuk spesies Xymomonas dan Erwinia dan spesies Agrobacterium yang menyebabkan

pembentukan ’gail’ pada tanaman. 4. Bakteri litotrof atau khemoautotrof: yaitu bakteri yang memperoleh energi dari senyawa nitrogen, sulfur, besi atau hidrogen selain senyawa karbon (Campbell, 1989 dalam Handayanto dan Hairiah, 2007).

Beberapa bakteri penting di dalam tanah yaitu: Pseudomonas, Arhtrobacter, Rhizobium, Bradyrhizobium, Azotobacter, Agrobacterium, Nitrosomonas, dan Nitrobacter (Handayanto dan Hairiah, 2007).

Bakteri perombak bahan organik dapat ditemukan di tempat yang mengandung senyawa organik berasal dari sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik di laut ataupun di darat. Berbagai bentuk bakteri dari bentuk yang sederhana (bulat, batang, koma dan lengkung), tunggal sampai bentuk koloni seperti filamen/spiral mendekomposisi sisa tumbuhan maupun hewan. Sebagian bakteri hidup secara aerob dan sebagian lagi secara anaerob, sel berukuran 1 µm-≤1000 µm. Dalam merombak bahan organik biasanya bakteri hidup bebas di luar organisme lain, tetapi ada sebagian kecil yang hidup dalam saluran pencernaan hewan (mamalia, rayap dan lain-lain). Bakteri yang berkemampuan tinggi dalam memutus rantai ikatan C penyusun senyawa lignin (pada bahan yang berkayu), selulosa (pada bahan yang berserat) dan hemiselulosa yang merupakan komponen penyusun bahan organik sisa tanaman, secara alami merombak lebih lambat dibandingkan pada senyawa polisakarida yang lebih sederhana (amilum, disakarida dan monosakarida) (Saraswati dkk., 2006).


(26)

c. Fungi

Fungi adalah organisme eukariot umumnya mempunyai berbagai bentuk dan ukuran, berkisar dari sel tunggal sampai sel berantai. Fungi dicirikan oleh adanya tubuh yang tidak bergerak (thallus) tersusun dari filamen panjang berdinding disebut hifa dengan diameter 3-8µm. Komponen dinding selnya adalah khitin dan glukan. Reproduksi secara seksual, membentuk spora dari dua fusi dua nukleus pada stadium tertentu dalam siklus hidupnya, miselium menghasilkan spora yang berkecambah untuk menghasilkan hifa baru. Sampai saat ini dikenal 5 kelas fungi yaitu Oomycetes, Zygomycetes, Ascomycetes, Deuteromycetes dan Basidiomycetes (Alexopoulus et al., 1996 dalam Handayanto dan Hairiah, 2007).

Fungi berperan penting dalam kaitannya dengan dinamika air, siklus hara, dan pengendalian penyakit. Bersama-sama dengan bakteri, fungi berperan penting sebagai organisme perombak di dalam rantai makanan (food web) tanah. Fungi mengkonversi bahan organik yang keras untuk dilumat menjadi bentuk yang dapat digunakan oleh organisme lainnya. Hifa fungi secara fisik mengikat partikel tanah, menghasilkan agregat stabil yang membantu meningkatkan infiltrasi air dan kapasitas tanah menahan air.

Fungi tanah dikelompokkan menjadi 3 kelompok fungsional atas dasar cara memperoleh energi yaitu: 1. Perombak (decomposer): merupakan fungi saprofit yang mengkonversi bahan organik mati, karbondioksida, dan molekul-molekul kecil seperti asam-asam organik. Fungi ini umumnya menggunakan substrat yang


(27)

komplek seperti selulosa dan lignin dalam kayu dan esensial dalam dekomposisi struktur rantai karbon dalam beberapa bahan pencemar. 2. Mutualis: fungi yang terkenal adalah fungi mikoriza yang mengkoloni akar tanaman. 3. Patogen atau parasit: menyebabkan produksi tanaman menurun atau tanaman mati jika fungi ini mengkoloni akar dan organisme lainnya. Beberapa fungi penting di tanah yaitu Aspergillus, Fusarium, Penicillium, Trichoderma, Saccharomyces dan Rhizopus (Carroll dan Wicklow, 1992 dalam Handayanto dan Hairiah, 2007)

Fungi merupakan jasad renik yang dapat menghancurkan selulosa, zat pati, gum, lignin dan senyawa organik yang mudah didekomposisikan seperti protein dan gula. Dalam agregasi tanah fungi lebih berperan daripada bakteri terutama dalam suasana asam (Hakim dkk., 1986). Fungi biasanya tumbuh baik pada lingkungan yang agak asam (pH sekitar 5) dan dapat tumbuh pada substrat dengan kadar air yang sangat rendah (Webster, 1970 dalam Handayanto dan Hairiah, 2007).

Fungi terdapat di setiap tempat terutama di darat dalam berbagai bentuk, ukuran dan warna. Pada umumnya mempunyai kemampuan yang lebih baik dibanding bakteri dalam mengurai sisa-sisa tanaman (hemiselulosa, selulosa dan lignin). Sebagian besar fungi bersifat mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan memakai mikroskop), kumpulan miselium atau spora yang dapat dilihat dengan mata. Tetapi fungi dari kelas Basidiomycetes dapat diamati dengan mata telanjang sehingga disebut makrofungi. Makrofungi menghasilkan spora dalam bangunan yang berbentuk seperti payung, kuping, koral atau bola, bahkan beberapa


(28)

makrofungi tersebut sudah banyak dibudidayakan dan dimakan (Saraswati dkk., 2006).

E. Kapur Kalsit (CaCO3)

Kapur memiliki peranan dalam dekomposisi bahan organik. Pengapuran berfungsi sebagai sumber Ca, meningkatkan pH dan mengurangi kejenuhan Al (Hakim dkk., 1986). Rahayu (2002) mengemukakan bahwa kapur akan menetralisir asam-asam yang dibentuk sebagai hasil antara penguraian bahan organik. Dengan adanya netralisir tersebut maka keasaman akan menurun sehingga proses mikrobiologis dapat berlangsung dengan baik dan bahan organik dapat cepat terurai.


(29)

III. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu

Pelaksanaan vermicomposting dilakukan di rumah plastik FP Unila. Perhitungan populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri, fungi) dilakukan di laboratorium Bioteknologi FP Unila. Penelitian ini dilakukan pada bulan November sampai dengan Desember 2008.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan terdiri dari alumunium foil, bakul dari anyaman bambu, botol semprot, bulp, spritus, alhohol, erlenmeyer, gelas ukur, gembor, gunting, kapas, labu bunsen, lakban, mortal, rak tabung reaksi, petridis, pipet, pipet mikron, plastik, shaker, spaktula, tabung reaksi, termometer, timbangan, 1 set autoclave, kompor gas, kertas label, vortex dan Quebec Colony Counter (QCC).

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari limbah pasar (sampah pasar Pasir Gintung), jerami padi, serasah dedaunan di lingkungan FP Unila, cacing tanah (E. fetida dan L. rubellus), kapur pertanian, kotoran sapi, media tumbuh (agar NA, PDA dan NDA), NaCl dan streptomisin.


(30)

C. Metode Penelitian

Pelaksanaan vermicomposting dilakukan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial terdiri dari beberapa perlakuan.

Faktor pertama adalah sumber bahan organik (BO) terdiri dari: L1 = Limbah pasar Pasir Gintung

L2 =Serasah dedaunan L3 = Jerami padi

Faktor kedua adalah jenis cacing tanah: C0 = Tanpa cacing tanah

C1 = E. fetida C2 = L. rubellus

Faktor ketiga adalah pemberian kapur: K0 = Tanpa kapur

K1 = Dengan kapur (5 g CaCO3 kg-1 limbah organik)

Perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga didapat 3 x 3 x 3 x 2 = 54 satuan percobaan. Homogenitas data diuji dengan Uji Bartlett dan aditifitas data diuji dengan Uji Tukey. Selanjutnya dilakukan analisis sidik ragam. Perbedaan nilai tengah perlakuan diuji dengan uji BNT pada taraf nyata 5 %.


(31)

D. Pelaksanaan Percobaan

1. Kadar air masing-masing limbah diukur untuk 1,5 kg bobot kering oven (BKO). Perhitungan kadar air didapat dengan cara menimbang 5 g bobot basah limbah kemudian dimasukkan dalam oven selama 2-3 hari pada suhu 70° C sehingga didapatkan bobot kering ovennya.

Kadar air = Bobot basah – bobot kering oven x 100% Bobot basah

2. Sebanyak 1,5 kg limbah organik masing-masing: limbah pasar Pasir Gintung (L1), serasah dedaunan di lingkungan FP Unila (L2), dan jerami padi (L3) dimasukkan ke dalam bakul.

3. Untuk mempermudah proses dekomposisi limbah padat organik yang berasal dari sampah pasar, serasah dedaunan dan jerami padi dipotong hingga

berukuran ± 3 cm.

4. Sebanyak 10% (w/w) kotoran sapi dicampurkan ke dalam masing-masing limbah organik sebagai starter untuk pakan cacing tanah dan kapur 5 g CaCO3 kg-1 limbah organik diberikan sesuai perlakuan. Kemudian dilakukan pengukuran suhu.

5. Setelah suhu media mendekati 30°C, sejumlah 25 ekor cacing dewasa (E. fetida dan L. rubellus) dimasukkan ke dalam bakul yang telah berisi limbah organik sesuai dengan perlakuan yang diterapkan. Kelembaban bahan kompos diusahakan sekitar 50-60% dengan cara menambahkan air secara periodik setiap minggu.


(32)

6. Bahan kompos yang sudah diperlakukan diinkubasi di tempat gelap, dengan cara menutup bakul-bakul tersebut dengan plastik selama 60 hari.

7. Selama masa inkubasi dilakukan pengukuran suhu setiap hari dengan

menggunakan termometer dan setiap satu minggu sekali dilakukan penyiraman dan pembalikan kompos (menggunakan tangan) serta dilakukan pengukuran pH.

8. Populasi mikroorganisme (bakteri, fungi dan aktinomisetes) dihitung dengan metode cawan agar, dengan pembuatan seri pengenceran dan pembuatan media biakan (Anas, 1989).

a. Pembuatan seri pengenceran:

a) Larutan fisiologi dibuat dengan cara melarutkan 8,5 g NaCl dalam 1 L air.

b) Selanjutnya disiapkan labu erlenmeyer berukuran 250 mL sebanyak 1 buah, dan tabung reaksi sebanyak 8 buah.

c) Sebanyak 9 mL larutan fisiologis dimasukkan kedalam erlenmeyer dan 9 mL larutan fisiologis dimasukkan kedalam tabung reaksi.

d) Labu erlenmeyer dan tabung reaksi ditutup dengan kapas dan alumunium foil.

e) Sterilisasi basah dilakukan dengan menggunakan autoclave (tekanan 1 atm selama 2 jam).

f) Setelah sterilisasi selesai, lakukan pengenceran kompos dengan cara memasukkan 1 g kompos kedalam 9 mL larutan fisiologi (pengenceran 10-1).


(33)

g) Pengenceran dilakukan sampai dengan 10-9 dengan cara memipet 1 mL dari pengenceran 10-1 dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan fisiologis (pengenceran 10-2) sampai dengan diperoleh pengenceran 10-9.

b. Pembuatan media biakan:

a) Untuk menumbuhkan bakteri digunakan media nutrient agar (NA). b) Pembuatan media NA dilakukan dengan cara melarutkan 28 g NA ke

dalam 1000 mL aquades lalu disterilkan menggunakan autoclave selama ± 15 menit pada tekanan 1 atm dan suhu 120 ° C.

c) Setelah sterilisasi dilakukan, sebanyak 10-15 mL medium biakan dituangkan ke dalam petridis yang telah berisi 1 mL larutan kompos dari seri pengenceran 10-4, 10-5, 10-6.

d) Apabila medium telah padat, petridis dibalik dengan tujuan agar tidak ada uap air yang jatuh ke media.

e) Media diinkubasi pada inkubator selama 3 hari.

f) Koloni bakteri yang tumbuh dihitung dengan menggunakan QCC. g) Pengamatan fungi dan aktinomisetes menggunakan metode yang sama,

pembedanya adalah medium tumbuhnya dan lama inkubasi.

h) Untuk fungi media yang digunakan adalah potato dextrosa agar (PDA + streptomisin) dan digunakan seri pengenceran 10-3, 10-4, 10-5 dengan lama inkubasi 7 hari.

i) Untuk aktinomisetes media tumbuh yang digunakan adalah nitrat dekstrosa (NDA + streptomisin) dan seri pengenceran yang digunakan adalah 10-3, 10-4, 10-5 dengan lama inkubasi 7 hari.


(34)

E. Pengamatan Percobaan

1. Variabel utama:

Variabel utama yang diamati adalah populasi mikroorganisme

(aktinomisetes, bakteri, dan fungi) pada amatan minggu ke 0, 1 dan 8 dengan menggunakan metode cawan agar.

Minggu ke - 0 adalah hari ke - 11 pencampuran limbah padat organik dan diaplikasikannya cacing tanah (E. fetida dan L. rubellus).

2. Variabel pendukung:

Variabel pendukung yang diamati adalah: a. pH (pH meter)


(35)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi lebih tinggi pada vermicomposting limbah pasar dibandingkan dengan limbah dedaunan dan limbah jerami.

2. Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi lebih tinggi pada cacing tanah Eisenia fetida dibandingkan dengan yang diberi cacing Lumbricus rubellus kecuali populasi bakteri pada amatan minggu ke - 8 lebih tinggi pada cacing tanah Lumbricus rubellus.

3. Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi lebih tinggi pada vermicomposting yang diberi kapur dibandingkan dengan tanpa diberi kapur.

4. Populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi tertinggi pada vermicomposting limbah padat pasar yang diberi cacing tanah Eisenia fetida dan diberi kapur.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka disarankan:

Pengomposan dengan metode vermicomposting sebaiknya menggunakan cacing tanah Eisenia fetida.


(36)

PERUBAHAN POPULASI MIKROORGANISME SELAMA VERMICOMPOSTING BERBAGAI

LIMBAH PADAT ORGANIK

(Skripsi)

Oleh

LUQMAN HASAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(37)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Perubahan populasi aktinomisetes dengan pemberian limbah padat organik tanpa cacing dan tanpa kapur (A); tanpa cacing dengan kapur (B); E. fetida tanpa kapur (C); E. fetida dengan kapur (D); L. rubellus tanpa kapur (E); L. rubellus dengan kapur (F) ... 34 2. Perubahan populasi bakteri dengan pemberian limbah padat organik tanpa cacing dan tanpa kapur (A); tanpa cacing dengan kapur (B); E. fetida tanpa kapur (C); E. fetida dengan kapur (D); L. rubellus tanpa kapur (E); L. rubellus dengan kapur (F) ... 35 3. Perubahan populasi fungi dengan pemberian limbah padat organik tanpa cacing dan tanpa kapur (A); tanpa cacing dengan kapur (B); E. fetida tanpa kapur (C); E. fetida dengan kapur (D); L. rubellus tanpa kapur (E); L. rubellus dengan kapur (F) ... 36 4. Perubahan pH selama vermicomposting limbah pasar (A), dedaunan

(B), dan jerami padi (C) ... 53 5. Perubahan suhu selama vermicomposting limbah pasar (A), dedaunan

(B), dan jerami padi (C) ... 54 6. Hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g - 1 ) dengan pH

vermicompost pada amatan minggu ke - 0 ... 106 7. Hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g - 1 ) dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke - 0 ... 108 8. Hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g - 1 ) dengan pH vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 110 9. Hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g - 1 ) dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 112 10. Hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g - 1 ) dengan pH


(38)

11. Hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g - 1 ) dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke – 8 ... 116 12. Hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g - 1 ) dengan pH

vermicompost pada amatan minggu ke – 0 ... 118 13. Hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g - 1 ) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke – 0 ... 120 14. Hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g - 1 ) dengan pH

vermicompost pada amatan minggu ke – 1 ... 122 15. Hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g - 1 ) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke – 1 ... 124 16. Hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g - 1 ) dengan pH

vermicompost pada amatan minggu ke – 8 ... 126 17. Hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g - 1 ) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke - 8 ... 128 18. Hubungan antara populasi fungi (log CFUs g - 1) dengan pH

vermicompost pada amatan minggu ke – 0 ... 130 19. Hubungan antara populasi fungi (log CFUs g - 1 ) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke - 0 ... 132 20. Hubungan antara populasi fungi (log CFUs g - 1 ) dengan pH

vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 134 21. Hubungan antara populasi fungi (log CFUs g - 1 ) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke – 1 ... 136 22. Hubungan antara populasi fungi (log CFUs g - 1 ) dengan pH

vermicompost pada amatan minggu ke – 8 ... 138 23. Hubungan antara populasi fungi (log CFUs g - 1 ) dengan suhu


(39)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xiii DAFTAR GAMBAR ... xix I. PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Tujuan ... 3 C. Kerangka Pemikiran. ... 3 D. Hipotesis ... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9 A. Limbah Padat Organik ... 10 B. Vermicomposting ... 12 C. Cacing Tanah ... 13 D. Mikroorganisme ... 16 E. Kapur Kalsit ... 24 III. BAHAN DAN METODE ... 25 A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25 B. Alat dan Bahan ... 25 C. Metode Penelitian ... 26 D. Pelaksanaan Percobaan ... 27 E. Pengamatan Percobaan ... 30 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31 A. Hasil ... 31 1. Pengaruh Pemberian Limbah, Cacing dan Kapur terhadap

Populasi Mikroorganisme (Aktinomisetes, Bakteri, Fungi) ... 31 2. Perubahan Populasi Mikroorganisme (Aktinomisetes, Bakteri,

Fungi) ... 33 3. Kemasaman (pH) dan Suhu selama Vermicomposting ... 53 a. Perubahan pH ... 53 b. Perubahan suhu ... 54


(40)

4. Hubungan Antara Populasi Mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi) dengan pH dan Suhu selama

vermicomposting ... 55 B. Pembahasan ... 56 V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

A. Kesimpulan ... 66 B. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Adianto, Diah U, S. dan Nuryati Y. 2004. Pengaruh Inokulasi Cacing Tanah (Pontoscolex corethrurus Fr Mull) Terhadap Sifat Fisika Kimia Tanah dan Pertumbuhan Tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata L.Wilczek) Varietas Walet. J. Matematika dan Sains 9 (1): 175 - 182.

Agus, S. 2005. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik dan Anorganik Serta Kombinasinya Terhadap Aktivitas Cacing Tanah Selama Pertanaman Jagung (Zea mays L.) Kedelapan Pada Tanah Ultisol Taman Bogo. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 60 hlm.

Aira, M., F. Monroy dan J. Dominguez. 2006. Eisenia fetida (Oligochaeta, Lumbricidae) Activates Fungal Growth, Triggering Cellulose

Decomposition During Vermicomposting. Microbial Ecology 52: 738 - 746.

Aira, M., F. Monroy dan J. Dominguez. 2007. Eisenia fetida (Oligochaeta, Lumbricidae) Modifies the Structure and Physiological Capabilities of Microbial Communities Improving Carbon Mineralization During Vermicomposting of Pig Manure. Microbial Ecology 54: 662 - 671. Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 169 hlm.

Banuwa, I., H. Yuliprianto dan Istianto. 1996. Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kecepatan dan Kualitas Kompos Dengan Metode Vermicomposting. J. Tanah Trop. 2 (2): 73 - 77.

Basuki. 1994. Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Dengan Pemberian Inokulum Fungi Selulotik, Nitrogen dan Fosfor. Tesis. IPB. Bogor. 109 hlm.

Brata, B. 2006. Pertumbuhan Tiga Spesies Cacing Tanah Akibat Penyiraman Air dan Pengapuran Yang Berbeda. J. I. Pert. Indonesia 8 (1): 69 - 75.

Deddy, A. 2005. Peluang Pasar Kompos Hasil Pengomposan Sampah Pasar. Lokakarya Sehari Pengelolaan Sampah Pasar DKI Jakarta. IPB. Bogor.


(42)

Devi, S. H., K. Vijayalakshmi., K. P. Jyotsna., S. K. Shaheen., K. Jyothi dan M. S. Rani. 2009. Comparative Assessment in Enzyme Activities and Microbial Populations During Normal and Vermicomposting. J. of Environ. Biol. 30 (6): 1013 - 1017.

Dewi, K. H. 2002. Hidrolisis Limbah Hasil Pertanian Secara Enzimatik. Akta Agrosia 5 (2): 67 - 71.

Gajalakshmi, S dan S. A. Abbasi. 2004. Earthworms and Vermicomposting. Indian J. Biotechnol. 3: 486 - 494.

Garg, V. K., S. Chand., A. Chhillar dan A. Yadav. 2005. Growth And Reproduction of Eisenia Foetida In Various Animal Wastes During Vermicomposting. Applied Ecology And Environmental Research. 3 (2): 51 - 59.

Gazi., A. Kyriacou., M. Kotsoudan K. E. Lasaridi. 2007. Microbial Community Dynamics and Stability Assesment During Green Waste Composting. Global NEST J. 9 (1): 35 - 41.

Grahayanti, Y. A dan I. F. Purwanti. 2006. Pengaruh Penambahan Kotoran Ayam dan Mikroorganisme M - 16 Dalam Pengomposan Sampah Kota Secara Semi Anaerobik. Seminar Nasional Manajemen Teknologi III. ITS. Surabaya.

Hakim, N., M. Y. Nyakpa., A. M. Lubis., S. G. Nugroho., M. A. Diha., G. B. Hong dan H. H. Bailey. 1986. Dasar - Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 486 hlm.

Handayanto, E dan K. Hairiah. 2007. Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Pustaka Adipura. Yogyakarta. 195 hlm.

Ilyas, M. 2009. Vermicomposting Sampah Daun Sonokeling (Delbergia latifolia) Menggunakan Tiga Spesies Cacing Tanah (Pheretimasp., Eisenia fetida dan Lumbricus rubellus). Tesis Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 88 hlm. Isroi. 2008. KOMPOS. Makalah. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor.

Jicong, H., Q. Yanyun, L. Guangqing, and R. Dong. 1995. The Influence of

Temperature, pH and C/N Ratio on the Growth and Survival of Earthworms in Municipal Solid Waste. http://kascing.com/research/hou-

jicong/influence-temperature-ph-and-c-n-ratio-growth-and-survival- earthworms-municipal-. Diakses tanggal 8 Agustus 2008.

Kanti, A. 2005. Actinomycetes Selulolitik dari Tanah Hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. BIODIVERSITAS 6 (2): 85 - 89.


(43)

Lazcano, C., M. G. Brandon dan J. Dominguez. 2008. Comparison of the Effectiveness of Composting and Vermicomposting for the Biological Stabilization of Cattle Manure. Chemosphere 72: 1013 - 1019.

Manik, K. E. S. 2002. Perubahan Beberapa Sifat Kimia Tanah Akibat Pemberian Tandan Kosong Kelapa Sawit pada Areal Perkebunan di PTPN VII Unit Usaha Rejosari Lamsel. J. Tanah Trop. 14: 111 - 115.

Mala, Y dan I. Anas. 1995. Pengomposan Jerami Dengan Menggunakan Trichoderma harzianum Rifai aggr. J. Tanah Trop. 1 (1): 38 - 45.

Mashur. 2001. Vermikompos (Kompos Cacing Tanah). Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IPPTP) Mataram. Mataram.

http://kascing.comarticlemashurvermikompos.htm. Diakses tanggal 9 Agustus 2008.

Mashur., G. Djajakirana., Muladno dan D. T. H. Sihombing. 2001. Kajian Perbaikan Teknologi Budidaya Cacing Tanah Eisenia fetida Savigny Untuk Meningkatkan Produksi Biomassa dan Kualitas Eksmecat Dengan Memanfaatkan Limbah Organik Sebagai Media. Med. Pet. 24 (1).

Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 2003. Budidaya Cacing Tanah. http://www.ristek.go.id.

Diakses tanggal 13 Oktober 2008.

Nurainy, F dan O. Nawansih. 2008. Optimasi Frekuensi Pembalikan dan

Penambahan Sumber Nitrogen Pada Proses Pengomposan Bagasse. Seminar Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung. Lampung.

Nurida, N. L. 2001. Pembukaan Lahan Secara Tebas Bakar Hubungannya Dengan Tingkat Populasi dan Aktivitas Organisme Tanah. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nuryati, S. 2004. Manfaat Cacing Tanah Untuk Menghasilkan Pupuk Organik. http://Beritabumi.or.id. Diakses tanggal 20 Oktober 2008.

Palungkun, R. 2006. Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Penebar Swadaya. Jakarta. 88 hlm.

Parthasarathi, K., L. S. Ranganathan., V. Anandi dan J. Zeyer. 2007. Diversity of Microflora in the Gut and Cast of Tropical Earthworms Reared of Different Substrat. J. of Environment. Biol. 28 (1): 87 - 97.

Parthasarathi, K. 2007. Influence of Moisture on the Activity of Perionyx Excavatus (Perrier) and Microbial - Nutrient Dynamics of Pressmud Vermicompost. Iran. J. Environ. Health. Sci. Eng. 4 (3): 147 - 156.


(44)

Rahayu, H. 2002. Pengaruh Penambahan Dosis Bahan Organik dan Dolomit Terhadap Ketersediaan dan Serapan P dengan Indikator Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogea L.(Merr)) Pada Tanah Latosol. Sains Tanah 2 (1): 23 - 25.

Saraswati, R., E. Santosa dan E. Yuniarti. 2006. Organisme Perombak Bahan Organik. Dalam Simanubgkalit, R. D. M., D.A Sudikarta., R. Saraswati., D. Setyorini., W. Hartatik. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 313 hlm.

Setyorini, D., R. Saraswati dan Ea. Kosman Anwar. 2006. Kompos. Dalam Simanubgkalit, R. D. M., D.A Sudikarta., R. Saraswati., D. Setyorini., W. Hartatik. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Bogor. 313 hlm.

Simarmata, T. 2005. Pengomposan Limbah Perkotaan untuk Menanggulangi Bencana Sampah dan Mendukung Pertanian yang Berkelanjutan. Makalah Pada Seminar Ilmiah dan Jambore Ilmu Tanah Indonesia II-Forum

Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah Indonesia. Universitas Padjadjaran. Bandung.

Singh, N. B., A. K. Khare., D. S. Bhargava dan S. Bhattacharya. 2005. Effect of Initial Substrate pH on Vermicomposting Using Perionyx Excavatus (Perrier, 1872). Applied Eclogy And Environmental Research 4 (1): 85 - 97. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. IPB. Bogor. 591 hlm.

Sulistyawati, E., N. Mashita dan D. N. Choesin. 2008. Pengaruh Agen Dekomposer Terhadap Kualitas Hasil Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga. Seminar Nasional Penelitian Lingkungan.

Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta. 219 hlm. Sutedjo, M. M., A. G. Kantasapoetra dan R. D. S. Sastroatmodjo. 1991.

Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta. 446 hlm.

Vermiplex. 2005. Worm Biology. http:www.vermiplex.com/typeofworms.html. Diakses tanggal 10 Oktober 2008.

Widawati, S. 2005. Daya Pacu Aktivator Fungi Asal Kebun Biologi Wamena Terhadap Kematangan Hara Kompos, serta Jumlah Mikroba Pelarut Fosfat Dan Penambahan Nitrogen. BioDiversitas 6 (4): 240 - 243.


(45)

Winarso, S., E. Handayanto., Syekhfani dan D. Sulistyanto. 2009. Pengaruh Kombinasi Senyawa Humik dan CaCO3 terhadap Alumunium dan Fosfat Typic Paleudult Kentrong Banten. J. Tanah Trop. 14 (2): 89 - 95.

Yuwono, T. 2006. Kecepatan Dekomposisi dan Kualitas Kompos Sampah Organik. J. Inovasi Pert. 4 (2): 116 - 123.


(46)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Ringkasan hasil analisis ragam populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri, fungi) selama vermicomposting berbagai limbah padat organik

(limbah pasar, dedaunan, jerami padi) ... 33 2. Pengaruh jenis limbah, jenis cacing dan pemberian kapur terhadap

populasi aktinomisetes (log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu

ke - 0 ... 39

3. Pengaruh jenis limbah dan jenis cacing terhadap populasi aktinomisetes (log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 1 Transformasi (√ x) .... 39 4. Pengaruh jenis limbah dan pemberian kapur terhadap populasi

aktinomisetes (log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 1

Transformasi (√ x)... 40 5. Pengaruh jenis cacing dan pemberian kapur terhadap populasi

aktinomisetes (log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 1

Transformasi (√ x)... 41 6. Pengaruh jenis limbah dan jenis cacing terhadap populasi aktinomisetes (log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 8 ... 41 7. Pengaruh jenis limbah dan pemberian kapur terhadap populasi

aktinomisetes (log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 8 ... 42 8. Pengaruh jenis cacing dan pemberian kapur terhadap populasi

aktinomisetes (log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 8 ... 43 9. Pengaruh jenis limbah dan jenis cacing terhadap populasi bakteri

(log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 0 ... 43 10. Pengaruh jenis limbah dan jenis cacing terhadap populasi bakteri

(log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 0 ... 44 11. Pengaruh jenis cacing dan pemberian kapur terhadap populasi bakteri


(47)

12. Pengaruh jenis limbah, jenis cacing dan pemberian kapur terhadap

populasi bakteri (log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 1 ... 46 13. Pengaruh jenis limbah, jenis cacing dan pemberian kapur terhadap

opulasi bakteri (log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 8 ... 47 14. Pengaruh jenis limbah, jenis cacing dan pemberian kapur terhadap

populasi fungi (log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 0 ... 48 15. Pengaruh jenis limbah dan jenis cacing terhadap populasi fungi

(log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 1

Transformasi (√ x)... 49 16. Pengaruh jenis limbah dan pemberian kapur terhadap populasi fungi

(log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 1

Transformasi (√ x)... 50 17. Pengaruh jenis cacing dan pemberian kapur terhadap populasi fungi

(log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 1

Transformasi (√ x) ... 50 18. Pengaruh jenis limbah dan jenis cacing terhadap populasi fungi

(log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 8 ... 51 19. Pengaruh jenis limbah dan pemberian kapur terhadap populasi fungi

(log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 8 ... 52 20. Pengaruh jenis cacing dan pemberian kapur terhadap populasi fungi

(log CFUs g - 1) vermicompost pada minggu ke - 8 ... 52

21. Hubungan antara populasi aktinomisetes, bakteri dan fungi dengan pH dan suhu selama vermicomposting berbagai limbah padat

organik ... 56 22. Populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 0 ... 73 23. Uji homogenitas populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) pada

vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan

minggu ke - 0 ... 74 24. Analisis ragam populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) pada

vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan

minggu ke - 0 ... 75 25. Populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 1 ... 76


(48)

26. Uji homogenitas populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan

minggu ke - 1 ... 77 27. Analisis ragam populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) pada

vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan

minggu ke - 1 ... 78 28. Transformasi (√ x) populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) pada

vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan minggu

ke - 1 ... 79 29. Transformasi (√ x) uji homogenitas populasi aktinomisetes

(log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai limbah padat organik

amatan minggu ke - 1 ... 80 30. Analisis ragam populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) pada

vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan

minggu ke - 1 ... 81 31. Populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 8 ... 82 32. Uji homogenitas populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) pada

vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan

minggu ke - 8 ... 83 33. Analisis ragam populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) pada

vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan

minggu ke - 8 ... 84 34. Populasi bakteri (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai

limbah padat organik amatan minggu ke - 0 ... 85 35. Uji homogenitas populasi bakteri (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 0 ... 86 36. Analisis ragam populasi bakteri (log CFUs g- 1) pada vermicomposting

berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 0 ... 87 37. Populasi bakteri (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai

limbah padat organik amatan minggu ke - 1 ... 88 38. Uji homogenitas populasi bakteri (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 1 ... 89 39. Analisis ragam populasi bakteri (log CFUs g- 1) pada vermicomposting


(49)

40. Populasi bakteri (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai

limbah padat organik amatan minggu ke - 8 ... 91 41. Uji homogenitas populasi bakteri (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 8 ... 92 42. Analisis ragam populasi bakteri (log CFUs g- 1) pada vermicomposting

berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 8 ... 93 43. Populasi fungi (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai limbah

padat organik amatan minggu ke - 0 ... 94 44. Uji homogenitas populasi fungi (log CFUs g- 1) pada vermicomposting

berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 0 ... 95 45. Analisis ragam populasi fungi (log CFUs g- 1) pada vermicomposting

berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 0 ... 96 46. Populasi fungi (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai limbah

padat organik amatan minggu ke - 1 ... 97 47. Uji homogenitas populasi fungi (log CFUs g- 1) pada vermicomposting

berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 1 ... 98 48. Transformasi (√ x) populasi fungi (log CFUs g- 1) pada

vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan minggu

ke - 1 ... 99 49. Transformasi (√ x) uji homogenitas populasi fungi (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai limbah padat organik amatan

minggu ke - 1 ... 100 50. Analisis ragam populasi fungi (log CFUs g- 1) pada vermicomposting

berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 1 ... 101 51. Populasi fungi (log CFUs g- 1) pada vermicomposting berbagai limbah

padat organik amatan minggu ke – 8 ... 102 52. Uji homogenitas populasi fungi (log CFUs g- 1) pada vermicomposting

berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 8 ... 103 53. Analisis ragam populasi fungi (log CFUs g- 1) pada vermicomposting

berbagai limbah padat organik amatan minggu ke - 8 ... 104 54. Hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g-1) dengan pH


(50)

55. Analisis ragam hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g-1)

dengan pH vermicompost pada amatan minggu ke - 0. ... 106 56. Hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g-1) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke - 0 ... 107 57. Analisis ragam hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g-1)

dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke - 0 ... 108 58. Hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g-1) dengan pH

vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 109 59. Analisis ragam hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g-1)

dengan pH vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 110 60. Hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g-1) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 111 61. Analisis ragam hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 112 62. Hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) dengan pH

vermicompost pada amatan minggu ke - 8 ... 113 63. Analisis ragam hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g- 1) dengan pH vermicompost pada amatan minggu ke - 8 ... 114 64. Hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g-1) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke - 8 ... 115 65. Analisis ragam hubungan antara populasi aktinomisetes (log CFUs g-1)

dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke - 8 ... 116 66. Hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g-1) dengan pH

vermicompost pada amatan minggu ke - 0 ... 117 67. Analisis ragam hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g - 1 )

dengan pH vermicompost pada amatan minggu ke - 0 ... 118 68. Hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g-1) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke - 0 ... 119 69. Analisis ragam hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g-1)

dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke - 0 ... 120 70. Hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g-1) dengan pH


(51)

71. Analisis ragam hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g-1)

dengan pH vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 122 72. Hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g-1) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 123 73. Analisis ragam hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g-1)

dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 124 74. Hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g-1) dengan pH

vermicompost pada amatan minggu ke - 8 ... 125 75. Analisis ragam hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g-1)

dengan pH vermicompost pada amatan minggu ke - 8 ... 126 76. Hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g-1) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke - 8 ... 127 77. Analisis ragam hubungan antara populasi bakteri (log CFUs g-1)

dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke - 8 ... 128 78. Hubungan antara populasi fungi (log CFUs g-1) dengan pH

vermicompost pada amatan minggu ke - 0 ... 129 79. Analisis ragam hubungan antara populasi fungi (log CFUs g-1)

dengan pH vermicompost pada amatan minggu ke - 0 ... 130 80. Hubungan antara populasi fungi (log CFUs g-1) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke - 0 ... 131 81. Analisis ragam hubungan antara populasi fungi (log CFUs g-1)

dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke - 0 ... 132 82. Hubungan antara populasi fungi (log CFUs g-1) dengan pH

vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 133 83. Analisis ragam hubungan antara populasi fungi (log CFUs g-1)

dengan pH vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 134 84. Hubungan antara populasi fungi (log CFUs g-1) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 135 85. Analisis ragam hubungan antara populasi fungi (log CFUs g-1)

dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke - 1 ... 136 86. Hubungan antara populasi fungi (log CFUs g-1) dengan pH


(52)

87. Analisis ragam hubungan antara populasi fungi (log CFUs g-1)

dengan pH vermicompost pada amatan minggu ke - 8 ... 138 88. Hubungan antara populasi fungi (log CFUs g-1) dengan suhu

vermicompost pada amatan minggu ke - 8 ... 139 89. Analisis ragam hubungan antara populasi fungi (log CFUs g-1)


(53)

Gambar 1. Perubahan populasi aktinomisetes pada limbah padat organik tanpa cacing dan tanpa kapur (A); tanpa cacing dengan kapur (B); E. fetida tanpa kapur (C); E. fetida dengan kapur (D); L. rubellus tanpa kapur (E); L. rubellus dengan kapur (F);

L1 = Limbah Pasar; L2 = Dedaunan; L3 = Jerami Padi; C0 = Tanpa Cacing; C1 = E. fetida; C2 = L. rubellus; K0 = Tanpa Kapur; K1 = Kapur.

5,30 5,50 5,70 5,90 6,10

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L3

B. Tanpa Cacing de ngan Kapur

5,30 5,50 5,70 5,90 6,10 6,30

0 1 8

Wak tu Verm icom posting (Minggu k e-)

log C F U s g -1 L1 L2 L3

C. E. fetidatanpa Kapur

5,30 5,50 5,70 5,90 6,10 6,30

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L1 L2 L3 5,30 5,50 5,70 5,90 6,10

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U g -1 L3

E. L. rubellus tanpa Kapur

5,30 5,50 5,70 5,90 6,10 6,30

0 1 8

Wak tu Verm icom posting (Minggu k e-)

log C F U s g -1 L1 L2 L3

F. L. rubellus de ngan Kapur

5,30 5,50 5,70 5,90 6,10 6,30

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L1 L2 L3


(54)

Gambar 2. Perubahan populasi bakteri pada limbah padat organik tanpa cacing dan tanpa kapur (A); tanpa cacing dengan kapur (B); E. fetida tanpa kapur (C); E. fetida dengan kapur (D); L. rubellus tanpa kapur (E); L. rubellus dengan kapur (F);

L1 = Limbah Pasar; L2 = Dedaunan; L3 = Jerami Padi; C0 = Tanpa Cacing; C1 = E. fetida; C2 = L. rubellus; K0 = Tanpa Kapur; K1 = Kapur.

6,30 6,50 6,70 6,90 7,10

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L2 L3

B. Tanpa Cacing de ngan Kapur

6,30 6,50 6,70 6,90 7,10 7,30 7,50

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L1 L2 L3

C. E. fetida Tanpa Kapur

6,30 6,50 6,70 6,90 7,10 7,30 7,50

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L1 L2 L3 6,30 6,50 6,70 6,90 7,10

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L2 L3

F. L. rubellus de ngan Kapur

6,30 6,50 6,70 6,90 7,10 7,30 7,50

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L1 L2 L3

E. L. rubellus tanpa Kapur

6,30 6,50 6,70 6,90 7,10 7,30 7,50

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L1 L2 L3


(55)

Gambar 3. Perubahan populasi fungi pada limbah padat organik tanpa cacing dan tanpa kapur (A); tanpa cacing dengan kapur (B); E. fetida tanpa kapur (C); E. fetida dengan kapur (D); L. rubellus tanpa kapur (E); L. rubellus dengan kapur (F);

L1 = Limbah Pasar; L2 = Dedaunan; L3 = Jerami Padi; C0 = Tanpa Cacing; C1 = E. fetida; C2 = L. rubellus; K0 = Tanpa Kapur; K1 = Kapur.

5,10 5,30 5,50 5,70 5,90 6,10 6,30

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L3

B. Tanpa Cacing de ngan Kapur

5,10 5,30 5,50 5,70 5,90 6,10 6,30 6,50 6,70

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L1 L2 L3

C. E. fetida Tanpa Kapur

5,10 5,30 5,50 5,70 5,90 6,10 6,30 6,50 6,70

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L1 L2 L3 5,10 5,30 5,50 5,70 5,90 6,10 6,30

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L2 L3

E. L. rubellus tanpa Kapur

5,10 5,30 5,50 5,70 5,90 6,10 6,30 6,50 6,70

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L1 L2 L3

F. L. rubellus de ngan Kapur

5,10 5,30 5,50 5,70 5,90 6,10 6,30 6,50 6,70

0 1 8

Waktu Vermicomposting (Minggu ke -)

lo g C F U s g -1 L1 L2 L3


(56)

Sungguh, ALLAH Bersama Mereka Yang Memelihara Diri, dan Orang Yang Mengerjakan Kebaikan

(Q.S An-Nahl 128)

Tiga Perbuatan Yang Termasuk Sangat Baik, yaitu Berzikir Kepada Allah Dalam Segala Situasi dan Kondisi, Saling

Menyadarkan (Menasihati) Satu Sama Lain, dan Menyantuni Saudara-saudaranya

(Yang Memerlukan) (HR. Ad-Dailami)

Orang Yang Berhasil Akan Mengambil Manfaat Dari Kesalahan-kesalahan Yang Ia Lakukan dan Akan

Mencoba Kembali Untuk Melakukan Dalam Suatu Cara Yang Berbeda

(Dale Carnegie)

Turutilah Setiap Nasehat Dari Ahlinya Jika Memang Untuk Kebaikan Dalam Hidup dan Berusahalah

Untuk Terus Menjadi Yang Terbaik Dalam Setiap Kondisi


(57)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si. ...

Sekretaris : Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.Agr.Sc. ...

Penguji

Bukan Pembimbin g : Prof. Dr. Ir. Dermiyati, M.Agr.Sc. ...

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 196108261987021 001


(58)

Judul Skripsi : PERUBAHAN POPULASI MIKROORGANISME SELAMA VERMICOMPOSTING BERBAGAI LIMBAH PADAT ORGANIK

Nama Mahasiswa : Luqman Hasan No. Pokok Mahasiswa : 0314031009 Program Studi : Ilmu Tanah

Jurusan : Ilmu Tanah

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si. Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.Agr.Sc. NIP 196305081988112001 NIP 196305091987032001

2. Ketua Jurusan

Prof. Dr. Ir. Dermiyati, M.Agr.Sc. NIP 196308041987032002


(59)

PERUBAHAN POPULASI MIKROORGANISME SELAMA VERMICOMPOSTING BERBAGAI

LIMBAH PADAT ORGANIK

Oleh

LUQMAN HASAN

Skripsi

Sebagai salah Satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Ilmu Tanah

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(60)

Bismillahirrohmanirrohim

Dengan Penuh Rasa Syukur Kupersembahkan Karya Sederhanaku Ini Kepada

Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW

Papa dan Mama Tercinta Yang Selalu Mendukung dan Mendoakan

Adik-adikku Tersayang

Para Pendidik dan Almamater Universitas Lampung Yang Selalu Kubanggakan


(1)

139

Tabel 88. Hubungan antara populasi fungi (log CFU g-1) dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke - 8.

Perlakuan Suhu

log

CFU g-1 x y x2 y2 xy r2 0,025

(x) (y)

L1COKO 25 5,4 -0,09 -0,16 0,01 0,03 0,01 L1COK1 25 5,6 -0,09 0,06 0,01 0,00 -0,00 L1C1KO 25 5,5 -0,09 -0,11 0,01 0,01 0,01 L1C1K1 25 5,6 -0,09 0,03 0,01 0,00 -0,00 L1C2KO 25 5,6 0,24 0,03 0,06 0,00 0,00 L1C2K1 25 5,9 -0,09 0,28 0,01 0,08 -0,02 L2COKO 25 5,4 0,24 -0,22 0,06 0,05 -0,05 L2COK1 25 5,7 -0,09 0,12 0,01 0,01 -0,01 L2C1K0 25 5,5 0,24 -0,12 0,06 0,01 -0,02 L2C1K1 26 5,7 0,57 0,11 0,33 0,01 0,06 L2C2K0 25 5,5 -0,09 -0,09 0,01 0,01 0,00 L2C2K1 25 5,7 -0,43 0,14 0,18 0,02 -0,06 L3COKO 25 5,4 -0,09 -0,20 0,01 0,04 0,01 L3COK1 25 5,5 -0,09 -0,06 0,01 0,00 0,00 L3C1KO 25 5,4 -0,09 -0,14 0,01 0,02 0,01 L3C1K1 25 5,8 -0,09 0,21 0,01 0,04 -0,01 L3C2KO 25 5,5 0,24 -0,04 0,06 0,00 -0,00 L3C2K1 25 5,7 -0,09 0,14 0,009 0,02 -0,01

Total 25,09 5,58 0,85 0,37 -0,09

r2 = 0,025 b -0,10

r = -0,16 a 8,21

Keterangan : L1 = Limbah Pasar; L2 = Dedaunan; L3 = Jerami Padi C0 = Tanpa Cacing; C1 = E. fetida; C2 = L. rubellus; K0 = Tanpa Kapur; K1 = Kapur.


(2)

140

Tabel 89. Analisis ragam hubungan antara populasi fungi (log CFU g-1) dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke - 8.

SK db JK KT F hit F tabel

0,05 0,01

Total 17 0,37 0,02

Regresi 1 0,01 0,01 0.42 tn 4,49 8,53 Galat 16 0,36 0,02

Keterangan : * = berbeda nyata taraf 5 %; ** = berbeda sangat nyata taraf 1 %; tn = tidak nyata.

y = -0,1048x + 8,2098 r = - 0,16 tn

5,2 5,4 5,6 5,8 6,0

24,5 24,7 24,9 25,1 25,3 25,5 25,7

L

o

g

C

F

U

g

-1

Suhu

Gambar 23. Hubungan antara populasi fungi (log CFU g-1) dengan suhu vermicompost pada amatan minggu ke - 8.


(3)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi Lampung Utara pada tanggal 6 Mei 1985, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari bapak Hasan Basri S.Si. dan ibu Alfauziah Henny S.Pd.

Penulis meyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak (Aisyah Bastanul Atfal Yogyakarta) pada tahun 1991, Sekolah Dasar (SD N 5 Tj. Aman) tahun 1997, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP Al-Kautsar) pada tahun 2000, dan Sekolah Menengah Umum (SMU Al-Kautsar) pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unila melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB).

Selama menjadi mahasiswa penulis merupakan pengurus Gamatala FP Unila periode 2004-2005 sebagai anggota bidang Hubungan dan Kemasyarakatan. Pada tahun 2008, penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di Balai Benih Induk Hortikultura (BBIH) Pekalongan Lampung Timur.


(4)

SANWANCANA

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji dan syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan berkah, hidayah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Perubahan Populasi Mikroorganisme

Selama Vermicomposting Berbagai Limbah Padat Organik”. Skripsi ini disusun

untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Unila.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sri Yusniani, M.Si., selaku Pembimbing pertama atas semua arahan, bimbingan, masukan, waktu dan kesabarannya dalam membimbing penulis selama proses penyelesaian skripsi.

2. Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.Agr.Sc., selaku Pembimbing kedua atas semua ide, bimbingan, saran, nasehat serta kesabarannya selama proses penyelesaian skripsi.

3. Prof. Dr. Ir. Dermiyati, M.Agr.Sc., selaku Dosen Penguji atas semua masukan, saran, nasehat, motivasi dan dorongan untuk penyempurnaan skripsi ini. 4. Prof. Dr. Ir. Dermiyati, M.Agr.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.Agr.Sc.,


(5)

5. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., sebagai Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

6. Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc., sebagai Dosen Pembimbing Akademik atas bimbingan, arahan dan masukan selama penulis tercatat sebagai mahasiswa.

7. Papa dan Mama tercinta yang selama ini telah dengan sabar mensupport dan mendorong penulis dalam penyelesaian studi di Universitas Lampung.

8. Adik - adikku tersayang, Amirza dan Alghazali Hasan yang banyak mensupport penulis dalam penyelesaian studi di Universitas Lampung.

9. Teman seperjuangan Tim Vermicomposting Season II: kakak Adib, kakak Kisju dan mbak Eko atas bantuan, kebersamaan, dan semangatnya selama penelitian ini.

10.Teman - teman angkatan 2003: Agung, Alex, Anom, Aulia, Bambang, Budi, Fauzi, Hendra, Henri, Hermawan, Raden, Topan, Ana O, Ana R, Dian, Dwi K, Dwi D, Devi, Dewi, Elizabeth, Eko, Farlina, Friska, May, Meta, Narilla, Puspita, Ruri, Reni W, Reni Z, Sari, Vera, Veronika, dan Yoshi terimakasih atas kebersamaannya selama menjalani studi di Universitas Lampung.

11.Teman - teman yang banyak membantu dalam proses penelitian: Iswah, Bambang, Bustommy, Youpan, Eka, Ela, Ika, Sri, dan Tini.

12.Anak-anak Kingkong Camp: Agung, Agus, Ahmad, Andri, Budi, Berlianto, Dadang, Dani K, Deni, Gunawan, Gusti, Hasbi, Muksin, Bramanda, Nopan, Masgi, Riston, Sapril, Sepranoto, Rian, Ronal, Wahyu, dan Yusyam.


(6)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 17 November 2010 Penulis