Efek Pemberian Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Difermentasi Rhizopus oligosporus terhadap Kualitas Telur Puyuh

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi protein per kapita di Indonesia setiap tahun meningkat, tahun 2009
54,35 g/orang/hari, tahun 2010 55,01 g/orang/hari, dan pada tahun 2011 mencapai
56,25 g/orang/hari (Badan Pusat Statistik, 2012). Impor pangan sumber protein yakni
susu dan kedelai masing-masing mencapai 70% kebutuhan nasional, sehingga
peningkatan produksi pangan sumber protein harus diupayakan. Puyuh telah lama
dikenal masyarakat dan mampu menghasilkan daging dan telur untuk memenuhi
kebutuhan protein nasional. Berdasarkan basis data yang dimiliki Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) populasi puyuh secara nasional mengalami
peningkatan, yakni dari 7.053.757 ekor pada tahun 2010 menjadi 7.055.537 ekor
pada tahun 2011. Peningkatan populasi dan produksi puyuh perlu didukung dengan
pengadaan pakan yang cukup. Ketersediaan bahan pakan yang masih mengandalkan
impor terutama kedelai perlu ditanggulangi dengan memanfaatkan bahan pakan
alternatif, salah satunya adalah bungkil biji jarak pagar.
Indonesia kaya akan sumber daya alam dan kini pemanfaatan tumbuhan
sebagai sumber bahan bakar alternatif banyak dikembangkan. Sesuai dengan Inpres
nomor 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati
(Biofuel) sebagai bahan bakar alternatif dan Perpres nomor 5 tahun 2006 tentang
energi nasional bahwa pemanfaatan biofuel tahun 2010 sebesar 1,7 juta kiloliter (kl),
tahun 2015 sebesar 4,0 juta kl, tahun 2025 sebesar 22,0 juta kl. Jarak pagar (Jatropha

curcas L.) dipilih sebagai bahan pembuatan biodiesel karena bukan tanaman pangan
seperti jagung, kedelai, dan sawit sehingga penggunaannya tidak bersaing dengan
kebutuhan pangan. Alasan lain adalah kadar minyaknya tinggi (30%-50%), dapat
tumbuh di lahan yang tidak produktif, seluruh biji dapat bermanfaat, sabun dan
gliserol adalah hasil sisa produk, limbah hasil proses mengandung N, P dan K yang
tinggi, dan dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Bungkil biji jarak pagar
mengandung protein 24,7% dengan protein murni (true protein) mencapai 90%,
sehingga sangat potensial sebagai bahan pakan sumber protein. Namun, bungkil biji
jarak mengandung racun curcin (0,09%) serta phorbolester (24,33 µg/g) yang
berbahaya bagi ternak, sehingga penggunaannya sebagai bahan pakan dapat
dilakukan setelah melalui proses detoksifikasi. Proses detoksifikasi terhadap bungkil
1

biji jarak merupakan upaya implementasi dari amanat UU No. 18 tahun 2009 untuk
memenuhi kebutuhan pakan ternak, dan mengadakan bahan pakan yang layak
dikonsumsi ternak.
Detoksifikasi racun dalam bungkil biji jarak pagar dapat dilakukan melalui
tiga metode, yakni dengan metode kimiawi, fisik dan perlakuan biologi. Penelitian
tentang detoksifikasi racun dalam bungkil biji jarak pagar telah banyak dilakukan
baik secara fisik, kimia, biologi maupun gabungan perlakuan tersebut. Penelitian

lanjutan untuk mengetahui metode detoksifikasi yang efisien dan tepat serta toleransi
penggunaannya dalam pakan berbagai ternak masih perlu dilakukan. Detoksifikasi
bungkil biji jarak secara biologi dengan fermentasi menggunakan kapang Rhizopus
oligosporus menunjukkan hasil efisiensi kegunaan protein, retensi mineral Ca dan P,
serta energi metabolis terbaik dibandingkan perlakuan fisik dengan pemanasan dan
perlakuan kimiawi dengan NaOH (Sumiati et al., 2008).
Bungkil biji jarak pagar hasil fermentasi kapang R. oligosporus yang
digunakan dalam ransum diharapkan tidak berpengaruh negatif terhadap kualitas
telur puyuh (bobot telur, bobot dan persentase kerabang, bobot dan persentase putih
telur, bobot dan persentase kuning telur, warna kuning telur, Haugh unit, dan tebal
kerabang).
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh pemberian bungkil
biji jarak pagar yang difermentasi dengan kapang R. oligosporus dalam ransum
terhadap kualitas telur puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica).

2

TINJAUAN PUSTAKA
Puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica)

Puyuh telah dikembangkan ke seluruh dunia, namun di Indonesia puyuh
mulai dikenal dan diternakkan sejak akhir tahun 1979 (Warintek, 2011). Berdasarkan
basis data yang dimiliki Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
(2012) populasi puyuh secara nasional mengalami peningkatan, yakni dari 7.053.757
ekor pada tahun 2010 menjadi 7.055.537 ekor pada tahun 2011. Puyuh dalam
klasifikasi zoologi termasuk ke dalam kingdom Animalia, phylum Chordata, sub
Phylum Vertebrata, kelas Aves, ordo Galiformes, famili Phasianidae, genus
Coturnix, dan spesies Coturnix coturnix japonica (Pappas, 2002).
Puyuh jantan maupun betina memiliki belang-belang cokelat gelap, pada
bagian punggung memiliki lurik krem, bagian bawah perut, dada, dan panggul
berwarna lebih pucat.Puyuh jantan tumbuh hingga memiliki panjang tubuh sekitar 16
cm dengan bobot 121-150 g, sedangkan puyuh berukuran sedikit lebih besar rata-rata
18,5 cm dengan bobot 131-160 g. Puyuh betina memiliki dada berbintik-bintik
kelabu terkadang bercampur dengan bulu berwarna kecoklatan. Ciri khusus tersebut
cukup akurat untuk penentuan jenis kelamin ketika puyuh berumur sekitar 2 minggu
Shanaway (1994).
Puyuh memiliki perkembangan alat reproduksi dan produksi telur yang tinggi
seperti strain ayam. Studi terkontrol menunjukkan bahwa produksi telur yang optimal
pada puyuh membutuhkan 14-18 jam cahaya dalam sehari. Puyuh mulai awal
produksi rata-rata pada umur 41 hari setelah menetas. Puyuh dapat berproduksi

setiap hari selama 8-9 bulan, setelah itu efisiensi produksi telur turun hingga 50%
Cambel (1994). Kebutuhan pakan puyuh sangat sedikit sesuai dengan ukuran
tubuhnya yang kecil yaitu 21,4 gram/ekor/hari (Garcia et al., 2005).
Telur Puyuh
Telur puyuh umumnya dikenal masyarakat dihasilkan dari ternak puyuh
Coturnix coturnix japonica. Karakter puyuh ini mampu menghasilkan jumlah telur
yang cukup banyak dan relatif cepat bertelur. Puyuh betina mampu bertelur kurang
lebih pada umur 41 hari dengan bobot telur rata-rata 10 gram. Suprijatna et al. (2008)
melaporkan puyuh umur 7 minggu yang diberi ransum dengan kandungan protein
kasar sebesar 20%, memiliki produksi telur 28,21%. Fardiaz (1986) menyatakan telur
3

puyuh merupakan alternatif sumber protein bagi masyarakat dalam rangka
meningkatkan gizi.
Kualitas telur meliputi kualitas kulit telur (kerabang), derajat kekentalan atau
kualitas albumin, kualitas gizi untuk kepentingan konsumen (Wahju, 1997). Kualitas
telur ditentukan dengan pengamatan dan pengukuran telur secara eksterior dan
interior. Secara eksterior dengan mengamati bentuk telur, mengukur bobot telur,
mengukur tebal dan bobot kerabang telur dan secara interior dengan mengukur
bagian dalam telur yakni bobot dan warna kuning telur, bobot dan tinggi putih telur,

Haugh unit, dan ada atau tidaknya cacat pada telur (North dan Bell, 1990). Haugh
unit telur puyuh menurut Song et al. (2000) adalah 84,19. Silvesdes dan Scott (2001)
menyebutkan faktor yang mempengaruhi kualitas telur adalah lama dan suhu
penyimpanan. Kualitas telur juga dipengaruhi oleh genetik, pakan dan menejemen
pemeliharaan.
Bobot Telur dan Komponen Telur Puyuh
Bobot telur adalah hasil dari sifat genetik kuantitatif atau sifat dengan
heritabilitas tinggi, sehingga kurang dipengaruhi oleh lingkungan dan lebih mudah
untuk meningkatkan bobot telur melalui manipulasi bobot telur pada strain burung
oleh ahli genetik (North dan Bell, 1990). North dan Bell (1990) menambahkan
bahwa bobot telur biasanya seragam, dan hanya bervariasi pada telur kuning ganda
(double yolk) dan telur abnormal yang mengalami perbedaan bobot telur yang
dihasilkan. Beberapa faktor yang menyebabkan variasi bobot telur antara lain yang
berhubungan dengan genetik seperti susunan gen dan kromosom yang dimiliki suatu
individu, faktor lingkungan tidak selalu berubah dan tidak dapat diwariskan kepada
anak keturunannya, seperti protein pakan (Hardjosubroto, 1994). Pola alami produksi
telur yaitu ketika unggas baru mulai bertelur, telur berukuran kecil secara berangsurangsur bobot telur meningkat seiring pertambahan umur unggas dan mencapai bobot
maksimum ketika mendekati akhir masa bertelur (North dan Bell, 1990). Penelitian
yang dilakukan Indah (1989) menunjukkan bahwa tingkat protein dalam pakan
sangat mempengaruhi bobot telur. Pemberian protein dari 18%-24% dalam ransum

puyuh memperlihatkan respon linier yang sangat nyata pada bobot telur.
Bobot telur puyuh pada pertama bertelur (35 hari) adalah 7 g dan 10 g pada
umur 56 hari, kemudian bobot telur naik 1 g pada umur 57 – 81 hari, dan konstan
4

sampai bobot telur mencapai 11 g (Tiwari dan Panda, 1978). Bobot utuh telur puyuh
dalam studi komparatif yang dilakukan oleh Song et al. (2000) adalah berkisar antara
9,41-11,27 g. Song et al. (2000) menambahkan bobot albumin telur puyuh 6,33 g
yakni 61,2% dari bobot utuh telur, sedangkan bobot yolk adalah 3,25 g yakni 31,4%
dari bobot utuh telur. Saerang et al. (1998) melaporkan puyuh yang diberi pakan
dengan kandungan minyak nabati 3,5%-5% dan lemak hewani 3,5%-5%
menghasilkan rata-rata bobot telur berkisar 9,036-9,60 g. Vichez et al. (1992)
melaporkan bobot telur puyuh mencapai 11,30-11,50 g dengan pemberian pakan
yang mengandung 3% asam palmitat, asam oleat dan asam linoleat.
Kerabang Telur
Menurut Wahju (1997) kerabang telur merupakan bagian telur yang berfungsi
untuk melindungi isi telur agar tidak ditembus oleh mikroorganisme. Kerabang telur
unggas terdiri atas beberapa lapisan. Stadelman dan Cotterill (1977) menyebutkan
bagian-bagian tersebut secara berurutan dari lapisan terluar adalah kutikula, lapisan
bunga karang, lapisan mamilaris dan membran telur. Kerabang telur menurut

Stadelman dan Cotteril (1995) terdiri atas kristal kalsium karbonat (98,2%) dan
protein (2%). Stadelman dan Cotteril (1995) menambahkan bahwa magnesium dan
fosfor juga merupakan penyusun kulit telur unggas. Menurut Song et al. (2000)
bobot kerabang telur puyuh adalah 0,76 g yakni 7,3% dari bobot utuh telur, tebal
kerabang telur puyuh adalah 174,8 µm.
Menurut Khanna dan Yadav (2005) warna pada kerabang telur berasal dari
pigmen porphyrin yang disekresi oleh kelenjar kerabang pada bagian uterus. Pigmen
cokelat (porphyrin) disintesis oleh kelenjar kerabang dari asam δ-Aminolevulinic.
Khanna dan Yadav (2005) menambahkan bahwa pada telur puyuh lebih berpigmen
dibandingkan dengan telur ayam, pigmen puyuh lebih menonjol pada kutikula dan
pigmen diendapkan 3,5 jam sebelum bertelur. Telur puyuh ditandai dengan beragam
pola warna mulai dari berwarna cokelat tua , kelabu, dan putih, setiap telur memiliki
banyak bintik dengan warna hitam, cokelat dan kelabu (Cambel, 1994).
Warna Kuning Telur
Konsumen umumnya lebih menyukai telur dengan warna kuning berkisar
antara emas sampai oranye (skor warna kuning telur 9 – 12). Warna kuning telur
dipengaruhi oleh pigmen karoten (Kang et al., 2003). Warna kuning telur merupakan
5

kriteria kualitas telur yang penting dalam pemasaran (Chung, 2002). North dan Bell

(1990) menyebutkan faktor penyebab warna kuning telur bervariasi adalah bangsa,
genetik, kondisi kandang, penyakit, cekaman, oksidasi xanthopil dan angka produksi
telur. Chung (2002) menambahkan karotenoid selain ditemukan pada jagung kuning,
tepung alfalfa, dan tepung rumput, karotenoid juga ditemukan dalam bunga-bungaan,
hijau dari tanaman (rumput, alfalfa), biji-bijian, buah, fungi, umbi (wortel), tanaman
air (alga) dan tanaman pangan (tomat, ubi, cabe). Menurut Kang et al. (2003) unggas
yang mengkonsumsi pigmen karotenoid lebih tinggi akan menghasilkan intensitas
kuning telur yang lebih tinggi. Wiradimadja et al. (2009) melaporkan bahwa puyuh
yang diberi ransum mengandung tepung daun katuk 15% memiliki skor warna
kuning telur 8.
Bungkil Biji Jarak Pagar
Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan (2011) produksi bungkil biji
jarak pagar di Indonesia adalah 7.081 ton dalam wujud biji kering dengan luas areal
penanaman 50.106 Ha. Proses pembuatan biodiesel di pabrik biodiesel disajikan
pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan biodiesel
Sumber : Matoa (2010)

6


Biji kering menghasilkan 60% bungkil biji jarak pagar, sehingga potensi
bungkil biji jarak pagar di Indonesia adalah 4.248,6 ton. Jarak pagar IP-3A
merupakan benih jarak pagar terbaik di Indonesia yang memiliki potensi produksi
biji jarak (kondisi optimal) 2,0 – 2,5 ton/ha/tahun pada panen tahun pertama, pada
tahun ketiga mencapai 5,0 – 6,0 ton/ha/tahun, dan pada tahun keempat mencapai 8,0
– 8,5 ton/ha/tahun. Produksi biji jarak stabil hingga pohon jarak berumur 30 tahun.
Pengepresan biji jarak pagar akan menghasilkan minyak dan bungkil masing-masing
34% dan 66% (Prastowo, 2008). Biji jarak pagar memiliki kandungan nutrien yang
baik, yaitu kandungan

protein yang tinggi, sehingga memiliki potensi untuk

dijadikan bahan pakan sumber protein. Kandungan nutrien bungkil biji jarak pagar
(BBJP) tanpa cangkang lebih baik dibandingkan BBJP dengan cangkang, karena
memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan serat kasar yang lebih rendah.
Proses pengepresan untuk menghasilkan Jatropha curcas Oil (JCO) dan memisahkan
ampas/bungkil juga mempengaruhi kadar lemak dalam BBJP. Kandungan nutrien
bungkil biji jarak pagar tanpa cangkang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Nutrien Bungkil Biji Jarak Pagar tanpa Cangkang dalam As fed.

Nutrien

Jumlah (%)

Kadar Air

5,54 ± 0,20

Abu

4,50 ± 0,14

Protein kasar

24,60 ± 1,4

Lemak kasar

47, 25 ± 1,34


Karbohidrat

7,99

Serat kasar

10,12 ± 0,52

Sumber : Akintayo (2004)

Selain memiliki kandungan yang baik, biji jarak pagar juga memiliki racun
yaitu curcin dan phorbolester. Kandungan curcin dan phorbolester pada jarak pagar
(J. curcas L) membuat tanaman ini menjadi berbahaya bagi manusia, hewan dan
serangga (Becker dan Makkar, 2000). Tanaman jarak pagar memiliki senyawa yang
daya racunnya cukup tinggi. Pada bagian biji, terdapat senyawa curcin dan
toksalbumin dan pada bagian daun ditemukan senyawa kaemfesterol, sitosterol,
stigmasterol, amirin, dan tarakserol. Komposisi nutrien dan fraksi serat BBJP tanpa
cangkang dan BBJP dengan cangkang disajikan pada Tabel 2.
7

Tabel 2. Komposisi Nutrien dan Fraksi Serat BBJP tanpa Cangkang, BBJP dengan
Cangkang
Kandungan Nutrien
Bahan Kering (%)

BBJP tanpa cangkang

BBJP dengan
cangkang

86,26

89,71

7,71

5,20

Protein Kasar (%BK)

37,56

24,28

Lemak Kasar (%BK)

35,02

15,99

7,23

38,49

12,47

16,06

16,30

57,64

0,72

10,45

ADF (%BK)

15,86

46,78

Selulosa (%BK)

11,31

19,22

Lignin (%BK)

4,51

23,98

Silika (%BK)

0,01

3,51

Komposisi bahan kering (BK)
Abu (%BK)

Serat Kasar (%BK)
Beta- N (%BK)
Fraksi Serat
NDF (%BK)
Hemiselulosa (%BK)

Sumber : Tjakradidjaja et al. (2009)

Kandungan phorbolester dalam bungkil biji jarak pagar adalah 24,33 µg/g
(Sumiati et al., 2010) dan kandungan curcin mencapai 0,09% (Sumiati et al., 2011).
Aregheore et al. (2003) melaporkan bahwa pemberian bungkil biji jarak segar pada
ternak akan menyebabkan kematian yang singkat. Respon peradangan yang
disebabkan oleh phorbolester dapat dilihat pada gambar 2.
Pelepasan
Histamin

Phorbolester

Pemodelan ulang
pembuluh
Aktivasi integrin
pada leukosit
Pelepasan IL-2

Pelepasan protease, sitokin dan
aktivasi oksidase NADPH

Kebocoran
plasma

Tumor, warna
kemerahan, panas

Migrasi sel
transendothelial
Perluasan klon
Kerusakan
jaringan

Rasa sakit

Gambar 2. Respon Peradangan yang Disebabkan oleh Phorbolester
Sumber : Goel et al. (2007)

8

Upaya Detoksifikasi Antinutrisi pada Bungkil Biji Jarak Pagar
Berbagai metode telah digunakan untuk mengurangi kandungan antnutrisi
dan racun dalam bungkil biji jarak pagar. Detoksifikasi bungkil biji jarak pagar yang
direaksikan dengan pelarut aseton teknis dengan pemanasan microwave pada power
level 30% menghasilkan penurunan kandungan curcin sebesar 24% (Putra, 2009).
Pengolahan bungkil biji jarak secara fisik dengan pemanasan 121 °C selama 30
menit (autoclave) dapat menghambat aktivitas antitrypsin dan lectin sehingga
meningkatkan kecernaan protein pada bungkil biji jarak pagar (Aregheore et al.,
2003). Menurut El Rafei et al. (2010) perlakuan ozon mampu menurunkan kadar
phorbolester hingga 78,53%, lebih baik dibandingkan perlakuan kimia menggunakan
Na HCO3 yang hanya menurunkan kadar phorbolester 44,54%, dan perlakuan fisik
( -irradiation) menurunkan kadar phorbolester sebesar 71,35%. Fermentasi bungkil
biji jarak dengan R. oligosporus telah dilakukan Sumiati et al. (2008) dan hasilnya
menunjukkan fermentasi dengan R. oligosporus sangat efektif menurunkan kadar
lemak dan antitrypsin. Penurunan kadar lemak pada bungkil biji jarak yang
difermentasi dengan R. oligosporus diharapkan secara langsung menurunkan kadar
phorbolester dalam bungkil biji jarak, karena Wink (1993) menyebutkan
phorbolester terdapat pada lemak yang masih berada dalam bungkil biji jarak.
Fermentasi bungkil biji jarak pagar dengan kapang R. oligosporus menunjukkan hasil
efisiensi kegunaan protein, retensi mineral Ca dan P, serta energi metabolis terbaik
dibandingkan perlakuan fisik dengan pemanasan dan perlakuan kimiawi dengan
NaOH (Sumiati et al., 2008). Pemberian 5% bungkil biji jarak pagar yang
difermentasi R. oryzae dan disuplementasi enzim selulase 200 ml/ton dan fitase 100
FTU pada ayam kampung umur 1-10 minggu menunjukkan performa pertumbuhan
dan efisiensi pakan terbaik (Sumiati et al., 2009). Berbagai kapang digunakan
Belewu dan Sam (2010) untuk memfermentasi bungkil biji jarak pagar, fermentasi
tersebut mampu menurunkan kandungan berbagai antinutrisi yang terkandung dalam
BBJP dengan hasil yang beragam. Meskipun hasil fermentasi tiap spesies kapang
beragam, namun secara keseluruhan fermentasi bungkil biji jarak pagar dengan
kapang mampu menurun kandungan antinutrisi yang terkandung dalam BBJP.
Kandungan antinutisi yang tidak difermentasi dan yang difermentasi dengan berbagai
kapang disajikan dalam Tabel 3.

9

Tabel 3. Kandungan Antinutisi yang Tidak Difermentasi dan yang Difermentasi
dengan Berbagai Kapang.
Antinutrisi
(%)

Tanpa
perlakuan

Perlakuan
Penicillium

Perlakuan
R.oligosporus

Perlakuan
R. nigricans

Perlakuan
A. niger

Perlakuan T.
longibacterium

Inhibitor
trypsin
Lektin

20,51

8,23

8,15

8,01

6,50

7,98

34,36

15,25

14,75

13,98

7,58

14,10

Saponin

2,47

0,53

0,33

0,22

0,13

0,43

Fitat

9,10

4,32

4,18

3,88

2,70

4,12

Phorbolester

0,013

0,011

0,012

0,010

0,003

0,011

Sumber : Belewu dan Sam (2010)

Rhizopus oligosporus
Rhizopus oligosporus merupakan kapang dari genus Rhizopus, famili
Mucoraceae, ordo mucorales, sub-divisi Zygomycotina, divisi Eumicota (Fardiaz,
1989). Kapang ini telah lama dikenal masyarakat dalam pembuatan tempe dan sering
juga disebut “ragi tempe”. R. oligosporus banyak ditemukan di alam karena
hidupnya bersifat saprofit (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Menurut Aunstrup (1979),
Rhizopus oligosporus dikenal sebagai kapang yang mampu memproduksi enzim
lipase untuk merombak lemak media. Selain itu mampu meningkatkan nilai gizi
protein kedelai pada pembuatan tempe, karena R. oligosporus mensintesa enzim
protease lebih banyak (Anshori, 1989). R. oligosporus juga mensintesa enzim lipase,
poligalakturonase, endoselulase, xilanase, arabinase, fitase, dan rhizopus carboksil
proteinase (Nout dan Rombouts, 1990). Enzim-enzim yang disintesis oleh R.
oligosporus diharapkan mampu meningkatkan nilai gizi bungkil biji jarak pagar,
serta menurunkan phorbolester yang larut dalam lemak yang terkandung pada
bungkil biji jarak pagar. R. oligosporus masih melakukan perombakan terhadap
bahan kering selama 6 hari fermentasi yang ditandai dengan tumbuhnya miselia
(Mirwandhono dan Siregar, 2004).

10

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Pemeliharaan puyuh dilaksanakan di Kandang C, Laboratorium Lapang
Nutrisi Ternak Unggas dan pengambilan data dilakukan di Laboratorium Nutrisi
Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan - Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu
dari bulan Juni sampai Agustus tahun 2011.
Materi
Ternak
Penelitian ini menggunakan 150 ternak puyuh betina yang sudah berumur 8
minggu. Jenis puyuh yang dipilih pada penelitian ini adalah jenis puyuh jepang
(Coturnix coturnix japonica). Puyuh yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari
peternakan puyuh di daerah Cemplang, Cibatok, Bogor, Jawa Barat.
Kandang
Kandang yang digunakan adalah kandang baterai sebanyak 15 sekat dengan
ukuran (panjang x lebar x tinggi) 50 cm x 50 cm x 30 cm. Kandang yang digunakan
telah dikapur, didesinfeksi dan kandang ditutup rapat menggunakan tirai plastik.
Peralatan dan Perlengkapan
Peralatan yang digunakan dalam kandang adalah 15 tempat pakan, 15 tempat
air minum serta 2 buah lampu 60 watt. Peralatan lain yang digunakan adalah alat
pembersih kandang, label, timbangan digital, plastik untuk menampung telur dan
membungkus pakan per ulangan, yolk colour fan, cawan petri, alat pengukur tebal
kerabang (Starret micrometer), jangka sorong, pisau, meja kaca, dan tisu untuk
membersihkan meja kaca dan kerabang telur. Digunakan juga oven untuk
mengeringkan tepung bungkil biji jarak yang telah difermentasi.
Pakan dan Air Minum
Bahan pakan penyusun ransum adalah dedak padi, jagung kuning, tepung
ikan, bungkil kedele, CPO, CaCO3, DCP, garam, premix, DL-Methionin dan bungkil
biji jarak pagar yang difermentasi dengan R. oligosporus (BBJF). Air minum
diberikan ad libitum. Ransum puyuh perlakuan disusun berdasarkan rekomendasi

11

Leeson dan Summers (2005). Komposisi dan kandungan nutrien ransum yang
digunakan disajikan pada Tabel 4 :
Tabel 4. Komposisi dan Kandungan Nutrien dalam Ransum Puyuh Penelitian
Bahan Pakan

BJ 0

BJ 3

BJ6

BJ9

BJ 12

-----------------------------(%)-----------------------------------Jagung kuning

50

50

50

8

6

4

1,8

0

22

20,8

19,6

18,5

17,3

BBJF

0

3

6

9

12

Tepung Ikan

6

6

6

6

6

CPO

6,2

6,4

6,6

6,8

7

CaCO3

6,1

6,1

6,1

6,1

6,1

DCP

0,8

0,8

0,8

0,8

0,8

Garam

0,2

0,2

0,2

0,2

0,2

Premix

0,4

0,4

0,4

0,4

0,4

DL-Methionin

0,3

0,3

0,3

0,3

0,3

100

100

100

100

100

Dedak Padi
Bungkil Kedelai

Jumlah (%)

50

50

Kandungan nutrien ransum perhitungan (dalam As fed):
Protein (%)

18,19

18,17

18,12

18,13

18,12

Energi Metabolis kkal/kg 2957,42

2956,08

2954,74

2951,85

2954,31

Lemak (%)

8,27

8,43

8,59

8,75

8,92

SK (%)

2,33

3,07

3,82

4,54

5,31

Pav (%)

0,57

0,55

0,54

0,55

0,54

Ca (%)

3,01

3,04

3,06

3,11

3,09

Methionin (%)

0,57

0,56

0,56

0,55

0,54

Sistin (%)

0,29

0,29

0,28

0,27

0,26

Methionin+ sistin (%)

0,86

0,85

0,83

0,82

0,80

Lisin (%)

1,06

1,03

1,01

0,99

0,97

Na (%)

0,14

0,14

0,14

0,14

0,13

Cl (%)

0,21

0,20

0,20

0,20

0,19

Keterangan : BJ0 : ransum tanpa BBJF (kontrol), BJ3 : ransum menggunakan 3% BBJF, BJ6 :
ransum menggunakan 6% BBJF, BJ9 : ransum menggunakan 9% BBJF, BJ12 :
ransum menggunakan 12% BBJF.

12

Kandungan nutrien premix yang digunakan dalam ransum penelitian
disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Kandungan Nutrien dalam Setiap 1 kg Premix
Kandungan

Satuan

Vitamin A

2000000 IU

Vitamin D

400000 IU

Vitamin E

Choline Chloride

20 mg

L-lysine

15 mg

0,6 mg

Dl-Methionine

20 mg

Vitamin B1

0,2 mg

Magnesium Sulfate

6,8 mg

Vitamin B2

1 mg

Vitamin B12

1 mcg Manganese Sulfate

Ferrous Sulfate

Vitamin K

0,2 mg

Cupri Sulfate

Niacinamide

1,5 mg

Zinc Sulfate

Ca-d-Panthotenate

0,5 mg

Potasium Iodine

Folic Acid

100 mg

Antioxidant & Carrier ad

5 mg
10 mg
100 mg
2 mg
20 mg
1 mg

Keterangan : Data tercantum pada kemasan premix milik PT Indofeed.

Prosedur
Fermentasi Bungkil Biji Jarak Pagar.
Fermentasi bungkil biji jarak pagar (J. curcas) dengan kapang R. oligosporus
dilakukan dengan mengikuti metode Sumiati et al. (2010), tahapan fermentasi
sebagai berikut:
Bungkil biji jarak pagar (BBJP) ditimbang sebanyak 1 kg, kemudian
ditambahkan air hingga kadar air bahan sampai 60% dan diaduk sampai rata, setelah
rata BBJP dimasukkkan ke dalam plastik tahan panas berukuran 2 kg. BBJP
kemudian dikukus pada panci yang sudah dipersiapkan sebelumnya. BBJP
dimasukkan ke dalam panci yang airnya sudah mendidih. BBJP dikukus hingga 1
jam kemudian didinginkan di atas tampah hingga suhu turun sekitar 38 °C. Starter R.
oligosporus ditimbang sebanyak 7 gram. BBJP yang masih hangat tersebut
dicampurkan dengan 7 gram R. oligosporus di dalam baskom. Setelah tercampur
rata, campuran tersebut dituang ke tampah yang sudah dilapisi plastik yang
sebelumnya semua bagian plastiknya sudah dilubangi dengan jarum, dan diratakan.
Setelah diratakan, ditutup dengan plastik yang sama, dan juga ditutup dengan koran

13

dan diberi pemberat dengan keramik, lalu disimpan di tempat yang tidak terkena
cahaya matahari langsung pada suhu ruang. Keramik diangkat setelah 24 jam.
bungkil biji jarak pagar yang difermentasi (BBJF) dapat dipanen setelah 48 jam
inkubasi. BBJF dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 60 °C selama 24 jam
untuk menghentikan proses fermentasi, lalu ditimbang.
Persiapan Kandang.
Persiapan kandang dilakukan dengan mencuci lantai dengan detergen.
Kandang disterilisasi menggunakan larutan Formalin 40% disemprotkan ke seluruh
kandang menggunakan penyemprot air, dengan keadaan kandang telah ditutup rapat
menggunakan tirai plastik. Pengapuran pada dinding dan lantai kandang dilakukan
setelah sterilisasi dengan larutan formalin telah selesai. Proses ini dilakukan satu
minggu sebelum pemeliharaan. Tempat pakan dan tempat air minum disiapkan dan
dibersihkan. Sekeliling kandang ditutup dengan menggunakan tirai plastik dan di
dalam kandang diberi lampu bohlam 60 watt untuk pencahayaan.
Pemeliharaan Puyuh dan Pengambilan Data
Pemeliharaan puyuh dilakukan setelah jumlah bungkil biji jarak pagar yang
difermentasi mencukupi kebutuhan untuk pemeliharaan dan kandang puyuh telah
disiapkan, setelah kandang siap mulai mencampur pakan. Pengambilan data kualitas
telur puyuh dilakukan setiap minggu ketika puyuh berumur 12, 13 dan 14 minggu.
Bobot Utuh Telur
Bobot utuh telur puyuh diperoleh dengan mengukur bobot dari keseluruhan
telur puyuh menggunakan timbangan digital dengan satu digit dibelakang koma
dalam satuan gram (g).
Bobot dan Persentase Albumin
Bobot albumin (putih telur) diperoleh setelah putih telur dikeluarkan dari
kerabang dan dipisahkan dari kuning telur, kemudian ditimbang menggunakan
timbangan digital dengan satu digit dibelakang koma dalam satuan gram (g).
Persentase albumin diperoleh dari hasil persentase bobot putih telur dalam satuan
gram (g) terhadap bobot utuh telur dalam satuan gram (g).

14

Bobot dan Persentase Yolk
Bobot yolk (kuning telur) diperoleh setelah kuning telur dikeluarkan dari
kerabang dan dipisahkan dari putih telur, kemudian ditimbang menggunakan
timbangan digital dengan satu digit dibelakang koma dalam satuan gram (g).
Persentase Yolk diperoleh dari hasil persentase bobot kuning telur dalam satuan gram
(g) terhadap bobot utuh telur dalam satuan gram (g).
Bobot dan Persentase Kerabang
Bobot kerabang diperoleh setelah putih telur dan kuning telur dikeluarkan
dari kerabang, kemudian kerabang ditimbang menggunakan timbangan digital 1 digit
dibelakang koma dalam satuan gram (g). Persentase kerabang diperoleh dari hasil
persentase bobot kerabang dalam satuan gram (g) terhadap bobot utuh telur dalam
satuan gram (g).
Tebal Kerabang
Pengukuran tebal kerabang dilakukan pada tiga bagian kerabang telur yakni
pada bagian runcing, tengah, dan bagian tumpul. Sampel kerabang yang diukur
dipisahkan dari selaput (membran telur). Tebal kerabang telur diperoleh dengan
pengukuran menggunakan alat pengukur tebal kerabang (micrometer calliper) dalam
satuan milimeter (mm).
Haugh Unit
Haugh unit (HU), merupakan ukuran kualitas protein telur berdasarkan tinggi
albumin yang diukur menggunakan jangka sorong dengan satuan milimeter (mm)
dan bobot telur dalam satuan gram (g). Menurut Mountney (1976) HU dihitung
dengan rumus berikut :
HU = 100 * log(h – 1,7w0.37 + 7,57)
Keterangan :

HU

= nilai Haugh unit

h

= Tinggi Albumen (mm)

w

= Bobot telur (gram)

Skor Warna Yolk
Pengamatan skor warna yolk dilakukan dengan cara membandingkan warna
pada kuning telur dengan standar Roche yolk colour fan dengan skala 1 – 15
(Vuilleumir, 1987).

15

Rancangan dan Analisis Data
Perlakuan
Penelitian ini menggunakan 5 taraf perlakuan ransum dan 3 ulangan.
Perlakuan ransum yang diberikan adalah :
BJ0 : ransum tanpa BBJF (kontrol),
BJ3 : ransum menggunakan 3% BBJF,
BJ6 : ransum menggunakan 6% BBJF,
BJ9 : ransum menggunakan 9% BBJF,
BJ12 : ransum menggunakan 12% BBJF.
Peubah
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah bobot utuh dan persentase
komponen telur (kuning telur, putih telur, dan kerabang), serta kualitas interior telur
(tebal kerabang, skor warna yolk, dan Haugh unit).
Model
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang
terdiri dari 5 perlakuan dan 3 ulangan. Setiap unit percobaan terdiri dari 10 ekor
puyuh betina. Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik dan
Sumertajaya, 2006) :
Yij = µ + +
Keterangan :
Y

= Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ

= Nilai rataan umum
= Efek perlakuan ke-i
= Galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati
dilakukan Analisis Ragam (ANOVA). Jika berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji
jarak berganda Duncan atau Duncan multiple range test (DMRT). Analisis data
menggunakan bantuan program IBM SPSS Statistics 20 (IBM, 2011).

16

HASIL DAN PEMBAHASAN
Fermentasi Bungkil Biji Jarak Pagar dengan Rhizopus oligosporus
Sumiati et al. (2010) telah melakukan detoksifikasi bungkil biji jarak pagar
(BBJP) dengan pengukusan dan fermentasi menggunakan 7 g ragi tempe (R.
oligosporus) per 1 kg BBJP. Penurunan kadar antinutrisi bungkil biji jarak pagar
setelah difermentasi disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Kadar Antinutrisi BBJP Tanpa diolah dan BBJP Fermentasi yang sebelumnya Dikukus selama 60 Menit.
Antinutrisi

Perlakuan

Penurunan (%)

Tanpa diolah

Fermentasi

Phorbolester (µg/g)

24,33

15,28

37,20

Tanin (%)

0,13

0,007

94,62

Saponin (%)

1,04

0,39

62,50

Asam fitat (%)

9,19

8,45

8,05

Antitripsin (%)

6,17

1,85

70,02

Curcin (%)*

0,09

0,07

22,22

Sumber : Sumiati et al. (2010), *Sumiati et al. (2011)

Perlakuan fisik yakni pemanasan dengan pengukusan dan perlakuan biologis
yakni dengan fermentasi bungkil biji jarak pagar dengan kapang R. oligosporus
(BBJF) efektif menurunkan kadar antinutrisi dalam bungkil biji jarak pagar.
Perlakuan fisik dengan pengukusan menurunkan kandungan lectin (curcin) dalam
bungkil biji jarak pagar, karena curcin mudah rusak dengan pemanasan. Pengukusan
lebih aplikatif dibandingkan dengan pemanasan menggunakan autoclave, karena
metode pengukusan membutuhkan peralatan yang sederhana dan telah dikenal oleh
masyarakat luas. Kandungan curcin yang sudah dikurangi dengan pemanasan
menyebabkan sistesis protein tubuh tidak terhambat, dan ternak dapat menghasilkan
produk yang berkualitas. Menurut Sumiati et al. (2011) pengukusan bungkil biji
jarak pagar menggunakan autoclave selama 60 menit dan fermentasi menggunakan
R. oligosporus efektif menurunkan curcin dalam bungkil biji jarak pagar yakni
mengalami penurunan sebesar 22,22%. Phorbolester memiliki struktur lemak dan
bersifat stabil, sehingga proses pemanasan tidak mengurangi kandungan phorbolester
pada bungkil biji jarak pagar. Fermentasi menggunakan R. oligosporus menurut
17

Belewu dan Sam (2010) dapat menurunkan berbagai anti nutrisi dalam bungkil biji
jarak, yaitu inhibitor tripsin (20,51% menjadi 8,15%), curcin (34,36% menjadi
14,75%), saponin (2,47% menjadi 0,33%), asam fitat (9,10% menjadi 4,18%) dan
phorbolester (0,013% menjadi 0,012%).
Fermentasi 10 kg bungkil biji jarak pagar dengan R. oligosporus dalam
penelitian ini menghasilkan 7 kg BBJF yang dapat digunakan sebagai bahan pakan.
R. oligosporus memetabolisme bahan organik untuk pertumbuhannya, dan memecah
senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. R. oligosporus memiliki
kemampuan memproduksi berbagai enzim yakni, enzim protease, lipase, α-amilase,
glutaminase, α-galactosidase (Han et al., 2003). Enzim-enzim tersebut akan
membantu proses metabolisme protein dan karbohidrat bungkil biji jarak pagar,
sehingga nutrien pada BBJF lebih mudah dicerna oleh ternak. R. oligosporus juga
menghasilkan enzim fitase yang mampu memecah ikatan asam fitat dengan mineral
bervalensi 2 dan meningkatkan ketersediaan phospor (Jennessen et al., 2008). Ikatan
asam fitat dengan mineral bervalensi 2 yang terpecah akan meningkatkan kegunaan
mineral dalam ransum, sehingga kebutuhan mineral terutama Ca untuk pembentukan
kerabang dapat terpenuhi. Enzim lipase yang dihasilkan R. oligosporus akan
menurunkan kadar lemak, sehingga phorbolester dalam bungkil biji jarak pagar juga
berkurang karena larut dalam lemak.
Bobot dan Persentase Komponen Telur Puyuh
Bobot utuh dan persentase komponen telur puyuh diukur dalam penelitian ini
ketika puyuh berumur 12, 13, dan 14 minggu. Hasil pengukuran bobot utuh dan
persentase komponen telur puyuh menunjukkan adanya pengaruh akibat penggunaan
bungkil biji jarak yang difermentasi dengan R. oligosporus (BBJF) dalam ransum.
Hasil penelitian ini menunjukkan rataan bobot telur pada pemberian bungkil biji
jarak pagar fermentasi (BBJF) sebesar 3% dan 6 % dalam ransum tidak berbeda
nyata (P>0,05) dibandingkan perlakuan BJ 0 (tanpa pemberian BBJF). Pemberian
9% dan 12% BBJF dalam ransum nyata (P0,05) dibandingkan dengan
perlakuan kontrol (BJ 0). Pemberian 6% dan 12% BBJF dalam ransum nyata
(P0,05)
dibandingkan perlakuan BJ 0 (tanpa pemberian BBJF). Pemberian BBJF 9% dan
12% dalam ransum signifikan (p0,05) dibandingkan dengan puyuh yang tidak diberi BBJF (BJ 0). Pemberian
22

BBJF 12% dalam ransum menurunkan persentase albumin telur puyuh. Penurunan
persentase albumin terjadi akibat meningkatnya persentase yolk. Bahan kering dan
lemak dalam ransum perlakuan BJ 12 lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lain,
sehingga air dan protein yang merupakan komponen utama penyusun putih telur
lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Penyusun utama putih
telur menurut Stadelman dan Cotteril (1995) adalah air (88%) dan protein (9,7%10,6%). Wiradimadja et al. (2009) melaporkan pemberian tepung daun katuk dalam
ransum juga menurunkan bobot putih telur, meskipun protein kasar dalam ransum
lebih tinggi. Rataan persentase bobot albumen yang diperoleh dalam penelitian ini
lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang ditunjukkan oleh studi konparasi yang
dilakukan oleh Song et al. (2000) yaitu, antara 58,88%-63,52%.
Rataan bobot kerabang telur yang diberi BBJF 3% dalam ransum tidak
berbeda (p>0,05) dengan perlakuan BJ 0 (tanpa pemberian BBJF). Pemberian BBJF
6, 9, dan 12% dalam ransum nyata (p0,05) dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa BBJF).

23

Penggunaan CaCO3 dalam ransum seragam yakni 3,01%-3,11%, sehingga persentase
kerabang relatif sama. Konsumsi ransum pada penelitian ini +19,58 g/ekor/hari,
sehingga konsumsi Ca sekitar 0,59 g/ekor/hari. Asupan Ca dari ransum cukup untuk
memenuhi kebutuhan Ca puyuh untuk membentuk kerabang sebutir telur yakni 0,38
g. Stadelman dan Cotteril (2005) menyatakan penyusun utama pembentuk kerabang
telur adalah mineral kalsium. Rataan persentase kerabang dalam penelitian ini lebih
besar dibanding hasil penelitian Song et al. (2000) yang menyebutkan persentase
kerabang telur puyuh adalah 6,61%-7,99%.
Kualitas Interior Telur Puyuh
Pengukuran terhadap kualitas interior telur puyuh dilakukan untuk
mengetahui pengaruh penggunaan bungkil biji jarak pagar yang difermentasi R.
oligosporus. Pengukuran dilakukan saat puyuh berumur 12, 13, dan 14 minggu. Hasil
pengukuran kualitas interior telur puyuh disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Kualitas Interior Telur Puyuh (Umur 12-14 Minggu) yang Diberi BBJF
dalam Ransum.
Peubah

BJ 0

BJ 3

BJ 6

BJ 9

BJ 12

Tebal Kerabang
(µm)

169,52+10,07

164,33+8,28

158,11+12,41

155,56+9,77

154,44+14,01

Skor Warna
Yolk

6,04+0,56

6,44+1,01

6,35+0,68

6,09+0,77

6,76+0,76

Haugh Unit

88,02+2,73

90,06+1,78

89,65+2,51

90,27+2,05

88,70+3,31

Keterangan : BJ0 : ransum tanpa BBJF (kontrol), BJ3 : ransum menggunakan 3% BBJF, BJ6 :
ransum menggunakan 6% BBJF, BJ9 : ransum menggunakan 9% BBJF, BJ12 : ransum
menggunakan 12% BBJF.

Rataan kualitas interior telur puyuh tidak dipengaruhi oleh pemberian bungkil
biji jarak pagar terfermentasi R. oligosporus dalam ransum. Puyuh mampu
mempertahankan kualitas telur, sebagai kompensasi dari penurunan produksi telur
dan bobot utuh telur yang dihasilkan oleh puyuh. Hasil penelitian ini menunjukkan
rata-rata tebal kerabang adalah 164,28±30,24 µm. Tebal kerabang normal menurut
Song et al. (2000) adalah 159,3-190,3 µm. Hal ini juga menunjukkan bahwa BBJF
memiliki ketersediaan Ca yang cukup sehingga kebutuhan puyuh untuk membentuk
kerabang dapat terpenuhi. Komponen dasar kerabang telur adalah 98,2% kalsium,
0,9% magnesium, dan 0,9% fosfor (Stadelman dan Cotterill, 1995). Berdasarkan
literatur tersebut, komponen penyusun kerabang telur terbesar adalah kalsium.

24

Skor warna kuning telur yang diukur dengan Yolk colour fan pada penelitian
ini berkisar antara 5-8. Penelitian yang dilakukan Ghazvinian

et al. (2011)

menunjukkan bahwa pengurangan penggunaan jagung dalam ransum meski protein
ransum meningkat dapat menurunkan skor warna yolk, karena warna yolk diperoleh
dari senyawa karotenoid dalam ransum yang ditransfer ke kuning telur. Menurut
Leeson dan Summers (2005) bahan pakan yang mengandung xanthopyll antara lain
CGM (275 mg/kg), jagung kuning(20 mg/kg), gandum (4 mg/kg), shorgum (1
mg/kg), tepung alfalfa (175 mg/kg), bunga marigold (7.000 mg/kg). Wiradimaja et
al.. (2009) telah mengukur rataan warna kuning telur yang diberi ransum
mengandung tepung daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) pada puyuh umur 8,
12, dan 16 minggu, yaitu dengan skor 8. Hasil literatur tersebut lebih tinggi karena
peranan

-karoten dalam daun katuk. Pigmen yang berpengaruh terhadap warna

kuning telur adalah pigmen karoten (Yuwanta, 2004). Pigmen warna pada bahan
pakan berupa xanhtophyl, zeaxanthin, canthaxanthin, astaxanthin, β-apo-8carotenoic,cryptoxanthin dan -karoten (Leeson dan Summers, 2005).
Haugh unit telur puyuh menurut Song et al. (2000) berkisar antara 82,1786,21. Penelitian lain yang dilakukan oleh Hazim et al. (2011) mengukur rataan nilai
HU telur puyuh sebesar 87,57. Nilai Haugh unit dalam penelitian ini adalah 89,34 +
2,56 menunjukkan kualitas telur termasuk kelas AA (USDA, 2000), karena
pengukuran dilakukan +24 jam. Nilai Haugh unit sangat dipengaruhi oleh lama
penyimpanan dan suhu lingkungan. Pengukuran HU pada penelitian ini dilakukan
pada masa penyimpanan dan suhu yang relatif sama yakni, + 24 jam pada suhu 27-28
°C, sehingga hasilnya cenderung seragam. Kuning telur dalam penelitian disajikan
pada Gambar 9.

Gambar 9. Kuning Telur Puyuh Penelitian
25

Penggunaan BBJF hingga 12% dalam ransum tidak mempengaruhi (P>0,05)
kualitas interior (tebal kerabang, skor warna yolk, dan Haugh unit) telur puyuh. Hasil
pengukuran persentase kerabang telur puyuh juga menunjukkan tidak adanya
pengaruh (P>0,05) akibat penggunaan BBJF hingga 12% dalam ransum. Persentase
albumin dengan penggunaan BBJF 3%, 6%, dan 9% dalam ransum tidak berbeda
(P>0,05) dengan penggunaan BBJF 0%, perentase albumin meningkat (P

Dokumen yang terkait

Uji Antifertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

4 25 111

Uji Antifertilitas ekstrak N-Heksana biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley secara IN VIVO

2 15 116

Uji Antifertilitas Ekstrak Etanol 70% Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Jantan Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

0 4 121

Pengaruh Pemberian Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L) Terfermentasi Rhizopus oligosporus dalam Ransum terhadap Performa Broiler

0 8 81

: Karkas dan Potongan Karkas Ayam Kampung Umur 10 Minggu yang Diberi Ransum Mengandung Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L) Terfermentasi Rhizopus Oligosporus

0 4 101

Organ dalam ayam kampung umur 10 minggu yang diberi ransum mengandung bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L) terfermentasi Rhizopus oligosporus

0 5 106

Folikel Kuning Telur dan Organ Dalam Puyuh yang Diberi Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Difermentasi Rhizopus oligosporus

0 4 100

Kualitas Telur Ayam Yang Diberi Pakan Mengandung Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L) hasil Fermentasi

0 3 48

Uji Antifertilitas Ekstrak n-heksana Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

0 15 116

Performa Ayam Broiler yang Diberi Ransum Mengandung Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Hasil Fermentasi Menggunakan Rhizopus oligosporus

0 0 9