Hubungan Tingkat Kecukupan Konsumsi dan Status Kesehatan terhadap Status Gizi Santri Putri di Dua Pondok Pesantren Modern di Kabupaten Bogor

ABSTRACT
SITI MASTUROH. The Consumption Adequacy Level and Health Status in
Relation to Nutritional Status of Female Adolescent Boarders at Two Modern
Islamic Boarding Schools in Bogor. Under directions of RIZAL DAMANIK and
TIURMA SINAGA.
The consumption adequacy level and health status affect the nutritional
status. Meanwhile, little is known concerning to the consumption adequacy level,
health and nutritional status of female adolescent boarders at Modern Islamic
boarding schools which has a food service system. The aim of the study was to
identify the consumption adequacy level and health status in relation to nutritional
status of female adolescent boarders at two modern Islamic boarding schools in
Bogor: knowing the process of a food service, energy and nutrients consumption;
assessing energy and nutrients consumption adequacy level; determining
nutritional and health status of female adolescent boarders; and revealing
environmental condition of female adolescent boarders dormitory at Sahid and
Ummul Quro Al-Islami modern Islamic boarding schools (PP Sahid and PP UQI).
The study was an observational type used cross sectional design held for two
periods, on April 2011 (PP Sahid) and from September to October 2011 (PP
UQI). The subjects were 68 at PP Sahid and 87 at PP UQI of female adolescent
boarders chosen by simple random sampling with purposive site selection. The
results showed that both boarding schools did not meet the required food serving

standard. The average of energy and nutrients consumption of subjects was still
below the recommended adequacy value, except for vitamin B1 in the two groups
of subjects (28,92 mg and 14,46 mg) and calcium in the subjects at PP Sahid
(1018,35 mg). Most energy and nutrients consumption adequacy levels of the
subjects were in the deficit category except for vitamin B1 consumption adequacy
level in the subjects at PP Sahid (54,4%). Most (69,1% and 79,3%) nutritional
status (BMI for age) of both groups of subjects was in the normal nutritional
status category. Most (97,1% and 88,5%) health status of both groups of subjects
was unhealthy (sick). The dormitory environmental conditions on both the
boarding school had not fully met the health requirements. The results showed
that energy and calcium consumption adequacy levels were significantly
correlated with nutritional status (BMI for age) of the subjects. Meanwhile, the
consumption adequacy levels of protein, vitamin A, B1 and C, phosphorus and
iron were not significantly correlated with nutritional status (BMI for age) of the
subjects. Besides, the health status was not significantly correlated with
nutritional status (BMI for age) of the subjects.
Keywords: consumption adequacy level, nutritional status, health status, female
adolescent boarders

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals
(MDGs) 2015 merupakan cita-cita mulia yang didasari kenyataan bahwa
pembangunan yang hakiki adalah pembangunan manusia yang mencakup
semua komponen pembangunan dengan tujuan akhirnya adalah kesejahteraan
masyarakat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Bappenas 2010).
Dalam upaya meningkatkan kulitas sumber daya manusia, remaja sebagai
generasi penerus bangsa dan sumber daya pembangunan yang optimal perlu
diperhatikan.
Pondok pesantren merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan
keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat yang berperan penting
dalam pengembangan sumberdaya manusia (Depkes 2007). Istilah modern
dalam dunia pesantren bukan dimaksudkan kepada ajaran agamanya tetapi
kepada metode pembelajarannya dan sistem pengelolaannya (Gitosardjono
2006).

Model

pondok


pesantren

modern

yang

memodernisasi

metode

pembelajaran dan sistem pengelolaannya diharapkan lebih mampu dalam
mengembangkan sumber daya manusia (santri).
Umumnya santri yang tinggal di pondok pesantren adalah remaja.
Menurut Depkes (2005), masa remaja menjadi masa yang begitu khusus dalam
hidup masusia karena pada masa tersebut terjadi awal proses kematangan
organ reproduksi manusia yang disebut sebagai masa pubertas. Pada remaja
putri, perubahan itu ditandai dengan mulainya menstruasi. Masa remaja juga
merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa, dimana
banyak terjadi perubahan dalam hal fisik dan psikis. Perubahan-perubahan
tersebut dapat menyebabkan


kekacauan-kekacauan batin pada remaja,

sehingga masa remaja juga sering disebut sebagai masa pancaroba. Kondisi ini
menyebabkan remaja dalam kondisi rawan menjalani proses pertumbuhan dan
perkembangannya (Depkes 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya
meningkatkan kesehatan dan status gizi.
Status gizi yang baik diusia remaja sangat diperlukan terutama untuk
remaja putri agar dimasa kehamilannya nanti sehat dan pertambahan berat
badannya

adekuat,

tetapi

hal

itu

seringkali


diabaikan

guna

menjaga

penampilannya dan bentuk tubuh (Arisman 2010). Seorang remaja putri dengan
status gizi kurang, berisiko terjadinya keadaan Kurang Energi Kronik (KEK)

2

sehingga memberikan kontribusi kurang baik terhadap kenaikan berat badan
selama hamil. Ibu yang mempunyai riwayat kekurangan berat badan cenderung
melahirkan lebih cepat (premature) serta berisiko bagi kelangsungan hidup ibu
dan bayinya (Moore 1997 diacu dalam Yuliansyah 2007).
Menurut Smith & Haddad (2000) diacu dalam Riyadi (2001) bahwa faktor
(determinan) langsung yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi
makanan dan status kesehatan. Jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi
pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan (internal

dan eksternal), pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan (Hardinsyah & Martianto
1989). Lain halnya dengan kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan dan
hiburan, manusia hanya membutuhkan asupan pangan dalam jumlah yang
terbatas atau secukupnya. Kelebihan atau kekurangan asupan pangan akan
berdampak negatif pada status gizi.
Peningkatan kebutuhan gizi pada remaja terjadi akibat pertumbuhan
cepat jaringan baru dan perubahan-perubahan perkembangan tertentu. Sebagai
contoh, kebutuhan kalsium (Ca) meningkat sekitar 50% pada masa remaja
(Riyadi 2001). Menurut The Third National Health and Nutrition Examination
Survey (NHANES III) (1997) di Amerika Serikat hanya 19 % anak perempuan
usia 9-19 tahun yang memenuhi rekomendasi kalsium hariannya (Tucker et al.
2002). Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian Fikawati et al. (2005) pada
sampel penelitian siswi kelas 1 dan kelas 2 di 13 SMUN di Kota Bandung
menunjukan bahwa konsumsi kalsium pada remaja perempuan dengan
suplemen kalsium hanya 52,5% AKG dan bila tanpa suplemen kalsium hanya
48,9% AKG. Kalsium sangat penting dalam pembentukan tulang pada usia
remaja dan dewasa muda. Kekurangan kalsium selagi muda merupakan
penyebab osteoporosis di usia lanjut, dan keadaan ini tidak dapat ditanggulangi
dengan meningkatkan konsumsi zat ini ketika (tanda) penyakit ini tampak
(Arisman 2010).

Peningkatan kebutuhan besi (Fe) untuk pengembangan massa sel darah
merah dan mioglobin pada masa remaja penting untuk pertambahan jaringan
otot baru, remaja putri membutuhkan besi yang lebih banyak (sampai 15%) untuk
mengkompensasi kehilangan darah akibat menstruasi (Riyadi 2001). Di negara
yang sedang berkembang, sekitar 26% remaja putri menderita anemia. Dampak
anemia pada remaja putri yaitu tubuh pada masa pertumbuhan mudah terinfeksi,
mengakibatkan kebugaran/kesegaran tubuh berkurang, semangat belajar/

3

prestasi menurun, sehingga pada saat akan menjadi calon ibu dengan keadaan
berisiko tinggi (Arisman 2010).
Subandriyo (1993) menjelaskan bahwa masalah kesehatan merupakan
gangguan

kesehatan

yang

dinyatakan


dalam ukuran

tingkat

kesakitan

(morbiditas) dan kematian (mortalitas). Morbiditas lebih mencerminkan keadaan
kesehatan sesungguhnya. Morbiditas berhubungan erat dengan berbagai faktor
lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan. Keadaan sanitasi
lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit
antara lain diare, kecacingan dan infeksi saluran pencernaan (Supariasa et al.
2002). Status kesehatan seseorang juga dapat dilihat dari kapan terakhir kalinya
sakit. Remaja yang kesehatannya buruk, adalah sangat rawan karena akan
berpengaruh pada merosotnya nafsu makan, keadaan yang demikian membantu
terjadinya kurang gizi yang langsung berpengaruh pada status gizi (Fatimah
2002). Menurut Roedjito (1989) bahwa infeksi berbagai penyakit akan
memperburuk tingkat keadaan gizi karena zat gizi yang didapat dari makanan
tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh.
Usia santri putri yang berada di pondok pesantren yang umumnya adalah

remaja, merupakan sumber daya yang berpotensi besar bagi pembangunan
suatu bangsa. Jika ternyata kualitas sebagian generasi mudanya buruk, maka
apa yang dapat diperbuat generasi tersebut untuk negaranya. Berdasarkan hal
tersebut maka peneliti ingin melihat bagaimana hubungan tingkat kecukupan
konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi santri putri di dua pondok
pesantren modern di Kabupaten Bogor.
Tujuan
Tujuan Umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi
santri putri di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor, yaitu di
Pondok Pesantren Modern Sahid (PP Sahid) dan Pondok Pesantren Modern
Ummul Quro Al-Islami (PP UQI).
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui proses penyelenggaraan makanan di PP Sahid dan PP UQI
2. Mengetahui konsumsi energi dan zat gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI

4


3. Menilai tingkat kecukupan konsumsi energi dan zat gizi santri putri di PP
Sahid dan PP UQI
4. Menilai status gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI
5. Menilai status kesehatan santri putri di PP Sahid dan PP UQI
6. Mengetahui kondisi lingkungan pemondokan santri putri di PP Sahid dan PP
UQI
7. Menganalisis hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan
terhadap status gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI
Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan konsumsi dengan status gizi
santri putri di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor
2. Terdapat hubungan antara status kesehatan dengan status gizi santri putri di
dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor
Kegunaan
Data hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan
informasi bagi pihak pondok pesantren mengenai status gizi dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Secara umum hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai salah satu referensi untuk keperluan penelitian yang lebih mendalam
dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam program

perbaikan gizi pondok pesantren.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Pesantren
Istilah pondok pesantren terdiri dari dua kata yaitu pondok dan pesantren.
Ada yang menyebut pondok saja atau pesantren saja, namun kebanyakan
menyebut dengan lengkap yaitu pondok pesantren. “Pondok” artinya tempat
berteduh atau tempat menginap. Adapun “Pesantren” berasal dari kata “santri”
ditambah awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri
(Gitosardjono 2006).
Pengertian atau ta’rif Pondok Pesantren menurut Depag (2003) tidak
dapat diberikan dengan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas
pengertian yang memenuhi ciri-ciri pengertian Pondok Pesantren. Setidaknya
ada 5 (lima) ciri yang terdapat pada suatu lembaga Pondok Pesantren, yaitu kyai,
santri, pengajian, asrama dan masjid dengan aktivitasnya. Gitosardjono (2006)
berpendapat bahwa pondok pesantren merupakan perpaduan antara konsep
pendidikan Islam dengan model pendidikan yang merupakan budaya lokal yang
sudah berkembang sebelumnya khususnya di pulau Jawa pada saat datangnya
agama Islam pertama kali.
Menurut Dhofier (1982) dalam Maftukha (2006), sebuah pesantren
digolongkan kecil bila memiliki santri dibawah 1000 orang dan pengaruhnya
hanya sebatas kabupaten. Pesantren sedang memiliki antara 1000-2000 orang
yang pengaruh dan rekruitmen santrinya meliputi beberapa kabupaten.
Pesantren besar memiliki santri lebih dari 2000 orang dan biasanya berasal dari
beberapa kabupaten dan provinsi. Diantara model-model pesantren itu adalah:
1.

Pesantren Tradisional (Salafiyah)
Pesantren tradisional adalah pesantren yang masih mempertahankan

sistem pengajaran tradisional, dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik.
Diantara pesantren ini ada yang mengelola madrasah, bahkan juga sekolahsekolah umum. Murid dan mahasiswa boleh tinggal di pondok atau di luar, tetapi
mereka diwajibkan mengikuti pengajaran kitab-kitab dengan cara sorogan
maupun bandongan, sesuai dengan tingkatan masing-masing.
2.

Pesantren Modern (Khalafiyah/’Ashriyah)
Pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang mengintegrasikan

secara penuh sistem klasikal pondok dan sekolah ke dalam pondok pesantren.
Semua santri masuk pondok dan terbagi dalam tingkatan kelas. Pengajian kitab
tidak lagi menonjol, tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi.

6

Demikian pula cara sorogan dan bandongan mulai berubah bentuk menjadi
bimbingan individual dalam belajar dan kuliah ceramah umum atau stadium
general.

Jadi

selain

menyelenggarakan

kegiatan

kepesantrenan

juga

menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal atau jalur sekolah (Depag 2003).
Perkembangan

pesantren

saat

ini

sangat

diperhitungkan

oleh

masyarakat, selain mempertahankan kekhasannya juga dapat mengembangkan
pengetahuan lain sebagai kegiatan tambahan bagi para santrinya. Menurut
catatan Depag (2009), pondok pesantren di Indonesia berjumlah 24.206 dengan
jumlah total santri sebanyak 3.647.719 yang terdiri atas 1.953.992 (53,6%) santri
putra dan 1.693.727 (46,4%) santri putri. Sejumlah tersebut menunjukkan bahwa
pesantren sangat potensial dalam bidang pendidikan yang keberadaannya makin
diminati

masyarakat.

Secara

kuantitatif

pesantren

cukup

besar

dalam

memberikan sumbangsihnya terhadap pengembangan sumber daya manusia
karena pesantren telah mengakar di tanah air dan bangsa Indonesia.
Remaja dan Tumbuh Kembangnya
Menurut Arisman (2010), laju pertumbuhan anak, baik perempuan
maupun laki-laki hampir sama cepatnya sampai pada usia 9 tahun. Usia antara
10-12 tahun pada anak perempuan mengalami percepatan pertumbuhan yang
lebih dahulu dibandingkan dengan anak laki-laki karena tubuhnya memerlukan
persiapan menjelang usia reproduksi, sedangkan anak laki-laki baru dapat
menyusul dua tahun kemudian. Puncak pertambahan berat badan dan tinggi
badan perempuan tercapai pada usia masing-masing 12,9 dan 12,1 tahun,
sedangkan laki-laki 14,3 dan 14,1 tahun.
Menurut Depkes (2005), masa remaja dibedakan dalam tiga tahap, yaitu
masa remaja awal (10-13 tahun), masa remaja tengah (14-16 tahun) dan masa
remaja akhir (17-19 tahun). Masa remaja menjadi masa yang begitu khusus
dalam hidup manusia, karena pada masa tersebut terjadi proses awal
kematangan organ reproduksi manusia yang disebut sebagai masa pubertas.
Masa remaja juga sebagai masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa,
banyak terjadi perubahan dalam hal fisik dan psikis. Perubahan-perubahan
tersebut dapat menyebabkan

kekacauan-kekacauan batin pada remaja,

sehingga masa remaja sering juga disebut sebagai masa pancaroba. Kondisi ini
menyebabkan remaja dalam kondisi rawan menjalani proses pertumbuhan dan
perkembangannya.

7

Ada tiga alasan mengapa remaja dikategorikan rentan. Pertama
percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat
gizi yang lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan
menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan,
keikutsertaan dalam olahraga, kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan
kebutuhan energi dan zat gizi. Disamping itu, tidak sedikit remaja yang makan
secara berlebihan dan akhirnya mengalami obesitas (Arisman 2010).
Peningkatan kebutuhan gizi pada remaja terjadi akibat pertumbuhan
cepat jaringan baru dan perubahan-perubahan perkembangan tertentu. Sebagai
contoh, lebih dari 20 persen pertumbuhan tinggi badan total dan sekitar 50
persen massa tulang dewasa dicapai selama masa remaja, sehingga hal ini
menyebabkan kebutuhan kalsium (Ca) meningkat sekitar 50%. Disamping
peningkatan kebutuhan besi (Fe) untuk pengembangan massa sel darah merah
dan mioglobin pada pertambahan jaringan otot baru, remaja putri membutuhkan
besi yang lebih banyak (sampai 15%) untuk mengkompensasi kehilangan darah
akibat menstruasi (Riyadi 2001).
Pertumbuhan dan kematangan manusia merupakan proses yang terus
berlanjut, dan adanya transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa tidak
berlangsung

secara

mendadak.

Periode

remaja

mencakup

perubahan-

perubahan yang cepat dalam pertumbuhan fisik dan kematangan biologi serta
perkembangan psikologi. Masalah kesehatan pada periode remaja dicirikan oleh
prevelensi penyakit kronik dan infeksi yang rendah, tetapi mereka beresiko tinggi
terhadap masalah kesehatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan obatobatan, penyakit yang ditularkan lewat hubungan seksual, kehamilan dan luka
akibat kecelakaan atau kesengajaan (Riyadi 2001).
Proses Penyelenggaraan Makanan
Penyelenggaraan makanan adalah sebuah ilmu dan seni perencanaan,
persiapan, pemasakan dan pelayanan yang berkualitas sesuai kebutuhan. Jika
dilihat sebagai sebuah sistem, penyelenggaraan makanan adalah penggabungan
dari beberapa komponen/bagian yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan.
Sistem penyelenggaraan makanan ini terdiri atas enam elemen, yakni input,
thruput, output, control, feedback dan environment (Perdigon 1989).
Penyelenggaraan makanan menurut Depkes (1991) adalah serangkaian
kegiatan

yang

merupakan

suatu

sistem

mencakup

kegiatan/subsistem

penyusunan anggaran belanja makanan, penyediaan/pembelian bahan pangan,

8

penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan pangan, persiapan dan
pemasakan makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan, pelaporan
dan evaluasi, yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi
kelompok masyarakat di suatu institusi.
Perencanaan Menu
Kata menu berasal dari bahasa Perancis yang artinya suatu daftar yang
tertulis secara rinci. Tipe menu menurut Palacio & Theis (2009) yakni selective
menu, semi-selective menu, non-selective menu, static menu, single-use menu
dan cycle menu. Menurut Nursiah (1990) bahwa perencanaan menu merupakan
rangkaian kegiatan untuk menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi.
Sedangkan menurut Depkes (2003), perencanaan menu adalah suatu kegiatan
penyusunan menu yang akan diolah untuk memenuhi selera konsumen dan
kebutuhan gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan menu: 1)
informasi tentang pelanggan yang akan dilayani, meliputi jumlah, usia, jenis
kelamin, kebutuhan gizi, makanan kesukaan, kemampuan membayar; 2)
pengetahuan tentang proses kegiatan meliputi peralatan yang tersedia di dapur,
keterampilan, anggaran dan jenis penyelenggaraan; 3) faktor lingkungan seperti
waktu, musim, iklim dan ketersediaan sumber bahan pangan; dan 4) estetika
meliputi variasi makanan, kombinasi warna, tekstur, bentuk, rasa dan konsistensi
(Perdigon 1989).
Menurut Yuliati & Santoso (1995) bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi

keberhasilan

penyelenggaraan

makanan

institusi

adalah

tersedianya menu yang baik, secara kualitas maupun kuantitas. Menu perlu
direncanakan secara matang. Perencanaan menu harus disesuaikan dengan tipe
institusi, bahan pangan yang mudah didapat di pasar atau musimnya, anggaran
yang tersedia, dan sesuai dengan kemampuan pekerja. Selain itu, pegawai yang
ditugaskan merencanakan menu harus mengetahui pengetahuan yang luas
tentang seluk beluk bahan pangan, penyediaan bahan pangan meliputi jenis
bahan pangan yang tersedia di pasar dan sesuai dengan musim, fluktuasi harga
bahan pangan di pasar, serta metoda dan prosedur persiapan makanan mulai
dari belanja, pengolahan sampai dengan penyajian.
Perencanaan menu disusun oleh suatu tim yang terdiri dari ahli gizi, juru
masak, pengelola dan konsumen. Menu dapat disusun untuk satu rangkaian
waktu 5, 7, 10 atau 21 hari dan selanjutnya diputarkan (siklus) selama 3 atau 6

9

bulan setelah itu diganti dengan rangkaian menu baru. Harus ada standar untuk
setiap porsi hidangan, sehingga macam dan jumlah bahan pangan per porsi
menjadi jelas. Standar porsi dinyatakan dalam berat bersih bahan pangan yang
digunakan. Harus ada resep standar, dilengkapi dengan macam, jumlah, harga
bumbu yang dapat dikembangkan di berbagai institusi, serta jumlah porsi per
satu resep (Depkes 1991).
Perencanaan Biaya
Menurut Depkes (1991), perencanaan biaya atau anggaran belanja untuk
suatu

penyelenggaraan

makanan

dalam

jumlah

banyak

seharusnya

direncanakan setahun sebelumnya dan umumnya didasari atas pengalamanpengalaman masa lalu. Anggaran belanja yang diperhitungkan adalah untuk
bahan pangan, peralatan, tenaga dan pengeluaran lain yang disebut biaya
overhead (bahan bakar, air, listrik, kerusakan, sabun, pembersih dan
sebagainya).
Faktor utama yang dipantau dalam pengendalian biaya adalah food
(bahan pangan), labor (tenaga kerja), operating (operasi) dan overhead cost
(biaya lainnya) seperti listrik, pajak dan sebagainya. Food cost (biaya bahan
pangan) adalah yang paling mudah dikendalikan. Prinsip-prinsip yang mendasari
pengendalian biaya bahan pangan harus diterapkan ketika: 1) perencanaan
menu, 2) pembelian bahan pangan, 3) penerimaan bahan pangan, 4)
penyimpanan bahan pangan, 5) persiapan bahan pangan, dan 6) penyediaan
makanan. Beberapa faktor yang mempengaruhi labor cost (biaya tenaga kerja)
adalah: 1) jenis jasa makanan, 2) jam pelayanan, 3) pola menu, 4) jenis/bentuk
bahan pangan yang dibeli, 5) ukuran dan tata letak dapur serta area pelayanan,
6) labor-saving equipment, 7) kebijakan personil, dan 8) jadwal karyawan.
Operating cost and overhead cost (Biaya operasi dan biaya lainnya) perlu
menjadi perhatian dalam penyelenggaraan makanan. Beberapa biaya ini meliputi
barang-barang

kertas,

perlengkapan

pembersih,

utilitas

(pemanas

air,

penerangan, air dan lain-lain), laundry dan perlengkapan linen, serta perbaikan,
penggantian dan pemeliharaan peralatan (Shirley 1999).
Pembelian Bahan pangan
Palacio & Theis (2009) mendefinisikan pembelanjaan bahan pangan
sebagai sebuah proses pembelian atau pengadaaan suatu produk pada waktu
yang tepat dengan jumlah, kualitas dan harga yang sesuai. Ada dua tipe jenis
pembelanjaan bahan pangan, yaitu centralized purchasing pembelanjaan

10

terpusat) dan group and corporate purchasing (pembelanjaan kelompok).
Pembelanjaan secara terpusat yang dilakukan oleh departemen pengadaan
bahan pangan yang bertanggung jawab untuk mendapatkan kebutuhan bahan
atau peralatan untuk seluruh unit dalam suatu organisasi, biasa digunakan pada
organisasi besar termasuk universitas, sekolah, rumah makan dengan banyak
cabang dan rumah sakit. Tipe pembelanjaan kelompok dapat menguntungkan
pembeli untuk meningkatkan volume pembelian sehingga dapat mengurangi
harga.
Metode pembelian menurut Perdigon (1989) yaitu informal or the open
market buying (informal atau pembelian langsung ke pasar), formal competitive
bid buying (pembelian bahan pangan dengan pelelangan), dan semi-formal
method or negotiated buying (metode semi-formal atau pembelian dengan
musyawarah). Pada informal or the open market buying (informal atau pembelian
langsung ke pasar), buyer mengumpulkan informasi pasar tentang macam,
kualitas, harga, ketersediaan bahan pangan, memutuskan pilihan, dan membuat
order pesanan. Saat bahan pangan dikirim, buyer mengecek macam, jumlah
spesifikasi sesuai kesepakatan. Transaksi antara pembeli dan penjual dapat
dilakukan di lokasi pasar itu sendiri, melalui telepon atau melalui seorang
salesman yang menghubungi pembeli. Pada formal competitive bid buying
(pembelian bahan pangan dengan pelelangan) melibatkan pengajuan spesifikasi
tertulis beserta kebutuhan akan kuantitas kepada pemasok dengan undangan
bagi mereka untuk mengajukan harga untuk item yang tercantum. Semi-formal
method or negotiated buying (metode semi-formal atau pembelian dengan
musyawarah) merupakan praktek pembelian yang terpaksa pada saat produksi
musiman dan terbatas. Metode ini yang menyediakan sarana yang fleksibel
untuk memperoleh tindakan yang cepat dan tepat di pasar yang berfluktuasi.
Pembeli membuat kontrak dengan vendor secara langsung dan meminta
penawaran yang disampaikan secara tertulis sesegera mungkin. Ada peraturan
kurang ketat dalam jenis penawaran ini jika dibandingkan dengan pembelian
pelelangan.
Penerimaan Bahan pangan
Penerimaan adalah proses lain dalam sistem penyelenggaraan makanan,
yang memastikan apa yang telah dibeli benar-benar sesuai kualitas dan
kuantitasnya

dengan

apa

yang

telah

dikirimkan.

Sebuah

faktur

yang

ditandatangani membuktikan kelengkapan dan keakuratan pengiriman. Oleh

11

karena itu, petugas penerima yang bertanggung jawab untuk memeriksa barangbarang harus selalu memastikan barang yang dikirimkan memenuhi spesifikasi,
dan bahwa kuantitas, kualitas serta harga sesuai dengan apa yang telah
disepakati sebelumnya. Untuk membantu petugas penerima dalam kinerja yang
tepat dari pekerjaan ini, fasilitas dasar diperlukan: 1) lokasi penerimaan terletak
di dekat pintu masuk layanan dan penyimpanan terlebih dahulu dilengkapi
dengan tabel penerimaan dan skala berat yang akurat; 2) set rincian makanan
dan bahan lainnya yang akan diterima; 3) bagan konversi dan berat untuk
kemudahan dalam membaca; dan 4) termometer dan kalkulator (Perdigon 1989).
Penerimaan bahan pangan didasarkan atas pesanan bahan pangan,
yang menyatakan macam, jumlah dan kualitas bahan pangan. Pesanan bahan
pangan harus diteliti dan diamati pula cara pengepakan/pembungkusan/
penanganan menurut yang tercantum dalam perjanjian jual beli, termasuk
ketepatan waktu pengiriman bahan pangan. Bahan pangan yang telah diteliti dan
diamati kemudian dikirim ke gudang/ruang penyimpanan. Petugas mencatat dan
melaporkan pemasukan bahan pangan. Prosedur penerimaan bahan pangan
dapat dilakukan dengan cara konvensional seperti yang telah diuraikan, atau
secara blind (tanpa diperiksa), karena rekanan sudah dipercaya, baik kualitas,
cara pelayanan dan harga (Depkes 1991).
Penyimpanan Bahan pangan
Menurut Depkes (2003), penyimpanan bahan pangan adalah suatu tata
cara menata, menyimpan, memelihara keamanan bahan pangan kering atau
basah baik kualitas maupun kuantitas di gudang bahan pangan kering dan basah
serta pencatatan dan pelaporannya. Depkes (1991) menjelaskan bahwa
penyimpanan bahan pangan dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi bahan
pangan, mencegah kerusakan/gangguan lingkungan bahan pangan, melayani
kebutuhan macam dan jumlah bahan pangan dengan kualitas dan waktu yang
sesuai untuk unit yang memerlukan. Penyimpanan bahan kering dan basah
harus dipisahkan dan memiliki perlakuan masing-masing yang berbeda dengan
memperhatikan macam, golongan, urutan pemakaian, kartu stock, jam buka,
petugas penjaga, pembersihan, suhu dan kelembabannya.
Pengolahan Bahan pangan
Menurut Wirakusumah (1991) bahwa pada prinsipnya pengolahan bahan
pangan meliputi persiapan dan pemasakan bahan pangan. Persiapan adalah
suatu proses kegiatan dalam rangka menangani bahan pangan dan bumbu

12

sehingga siap atau layak untuk dilanjutkan dengan kegiatan pemasakan. Depkes
(1991) menjelaskan bahwa kemungkinan-kemungkinan yang dapat merusak/
melarutkan zat-zat gizi dalam bahan pangan harus dihindari dalam persiapan
bahan pangan. Perlakuan terhadap bahan pangan ini selain selama persiapan
juga harus diperhatikan selama proses pemasakan, penyajian serta perlakuan
selama masakan disimpan. Persiapan bahan pangan meliputi kegiatan
pencucian

bahan

pangan,

pemotongan,

perendaman,

penggilingan,

penumbukan, pengadukan, pengasaman, pengasinan, pengayakan, pencetakan
dan perlakuan lain sebelum bahan pangan dimasak. Kegiatan-kegiatan ini
sebaiknya mengikuti prosedur yang benar agar kehilangan zat-zat gizi dapat
diatasi.
Pemasakan adalah suatu proses perubahan dari bahan pangan mentah
atau makanan setengah jadi menjadi makanan siap dimakan (Wirakusumah
1991). Menurut Depkes (1991), pemasakan adalah proses kegiatan terhadap
bahan pangan dan bumbu yang telah dipersiapkan, dengan menggunakan
berbagai cara pemasakan seperti membakar, merebus, mengukus, menggoreng,
mengetim dan sebagainya dalam rangka meningkatkan cita rasa, nilai cerna
bahan pangan dan menghilangkan/mematikan kuman-kuman yang berbahaya.
Fungsi area dan luas yang disarankan dalam proses food production disajikan
dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1 Perkiraan persentase luas area dalam food production
Fungsi area
Penerimaan bahan pangan
Penyimpanan bahan pangan
Persiapan bahan pangan
Pemasakan
Tempat pencucian
Lalu lintas jalan
Tempat sampah
Fasilitas pekerja
Lain-lain
Total

Luas yang disarankan (%)
5
20
14
18
5
16
5
15
2
100%

Sumber: (Kazarian 1989 diacu dalam Sinaga 1995)
Pendistribusian dan Penyajian Makanan
Penyajian merupakan kegiatan yang dilakukan setelah bahan pangan
selesai diolah atau diproses. Hidangan yang lezat tanpa penyajian yang menarik
akan mengecewakan atau menghilangkan selera makan konsumen. Oleh karena

13

itu, tahap penyajian dan distribusi makanan merupakan tahap yang tidak boleh
diabaikan (Wirakusumah 1991).
Ada dua cara yang dapat digunakan dalam mendistribusikan makanan
yang disesuaikan dengan keadaan dapur penyedia makanan tersebut. Cara
sentralisasi yaitu makanan langsung dibagikan pada rantang makanan masingmasing konsumen ataupun dalam kotak makanan. Cara desentralisasi berarti
penanganan makanan dua kali. Pertama dibagikan dalam jumlah besar pada
alat-alat yang khusus, kemudian dikirim ke ruang makan yang ada. Kedua, di
ruang makan ini makanan disajikan dalam bentuk porsi (Depkes 1991).
Menurut Perdigon (1989), cara makanan disajikan kepada pelanggan
dalam lembaga yang berbeda dapat diklasifikasikan ke dalam table, counter and
tray service. Table service sebanding dengan makanan yang disajikan di sebuah
rumah yang nyaman. Ruang makan dengan suasana khas hotel dan restoran
biasanya menggunakan layanan semacam ini. Counter service merupakan
layanan makanan yang cepat dengan jumlah minimum yang diperlukan untuk
pesanan meja makan. Warung kopi memanfaatkan layanan jenis ini. Pada Tray
service, pelanggan dapat dilayani dalam privasi kamar rumah sakit atau mobilnya
(curb service) daripada di ruang makan umum.
Cara lain dalam penyajian makanan yaitu pelanggan memilih untuk
melayani dirinya sendiri. Cara penyajian dengan melayani diri sendiri (selfservice) terdapat di outlet makanan seperti cafetarias, buffet service (prasmanan)
dan take-out service. Pada cafetarias, pelanggan mengambil/menentukan pilihan
sendiri dari sajian makanan yang ditampilkan di loket pelayanan dan menyusun
sendiri makanan di nampan untuk dibawa ke meja. Cafetaria diklasifikasikan
lebih lanjut sesuai dengan jenis klien yang dilayani, contohnya Cafetaria Kantor,
Cafetaria Sekolah, Cafetaria Industri Tanaman dan lain-lain. Pada buffet service
memerlukan counter atau meja tempat makanan yang ditata baik untuk melayani
diri sendiri atau dilayani oleh seorang petugas. Menu mungkin terbatas atau luas
dan layanan mungkin formal atau informal. Pada take-out service, makanan atau
snack dikemas yang bisa dibeli dari tempatnya oleh pelanggan sendiri atau
dengan cara pemesanan melalui telepon (Perdigon 1989).
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal/beragam) yang
dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Dalam aspek
gizi tujuan memperoleh pangan adalah untuk mendapatkan sejumlah zat gizi

14

yang diperlukan tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989). Konsumsi pangan
merupakan faktor utama dalam memenuhi kebutuhan zat gizi. Zat gizi tersebut
selanjutnya akan menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses metabolisme
dalam tubuh, memperbaiki jaringan serta pertumbuhan (Harper et al. 1986).
Keadaan gizi pada dasarnya ditentukan oleh konsumsi pangan dan kemampuan
tubuh dalam menggunakan zat gizi tersebut (Sukandar 2008).
Supariasa et al. (2002) menjelaskan bahwa dalam survei konsumsi
pangan terdapat tiga metode yang digunakan yaitu metode kualitatif, metode
kuantitatif serta gabungan dari keduanya. Metode kualitatif digunakan untuk
mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan pangan
dan menggali informasi tentang kebiasaan makan. Metode kuantitatif digunakan
untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung
konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan pangan
(DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga
(URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak
(DPM).
Metode Estimated Food Record
Metode estimated food record merupakan salah satu metode pengukuran
konsumsi makanan untuk individu, metode ini disebut juga food records atau
diary records (Supariasa et al. 2002). Food record adalah catatan contoh tentang
jenis dan jumlah makanan dan minuman dalam suatu periode waktu, biasanya
antara 1 sampai 7 hari (Achadi 2007). Metode ini dilakukan dengan cara meminta
contoh untuk mencatat semua yang ia makan dan minum setiap kali sebelum
makan dalam Ukuran Rumah Tangga (URT) atau menimbang dalam ukuran
berat (gram) dalam periode tertentu (2-4 hari berturut-turut), termasuk cara
persiapan dan pengolahan makanan tersebut (Supariasa et al. 2002).
Kelebihan food record antara lain: a) tidak tergantung pada memori, b)
mendapatkan data asupan yang detail, c) mendapatkan data tentang eating
habit, dan d) multiple day lebih representatif menggambarkan usual intake, valid
sampai 5 hari. Adapun keterbatasan food record antara lain: a) membutuhkan
kerjasama yang tinggi dari contoh, b) contoh harus dapat membaca dan menulis,
c) dapat mengubah kebiasaan makan, d) analisis intensif dan mahal, e)
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan data, harus
menimbang dan mencatat, dan f) respons rate dapat menjadi rendah karena
memberikan beban terhadap contoh (Achadi 2007).

15

Kecukupan Energi dan Zat Gizi
Hardinsyah & Briawan (1994) menjelaskan bahwa kecukupan gizi antar
individu sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis kelamin, berat badan,
umur, tinggi badan, keadaan fisiologis, aktivitas, metabolisme tubuh dan
sebagainya. Menurut Sediaoetama (2006) bahwa kelompok umur remaja
menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat, yang disebut “adolescence growth
spurt”, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Kegiatan
jasmaniah pada remaja laki-laki sangat meningkat, karena biasanya pada umur
inilah perhatian untuk olahraga sedang tinggi-tingginya, seperti atletik, mendaki
gunung, sepak bola, hiking dan sebagainya. Remaja putri sangat mementingkan
bentuk badannya, sehingga banyak yang berdiet tanpa nasihat atau pengawasan
seorang ahli kesehatan dan gizi. Secara rinci dapat dilihat kecukupan gizi yang
dianjurkan untuk remaja putri pada Tabel 2.
Tabel 2 Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk remaja putri
Zat gizi
Energi (Kal)
Protein (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vit A (RE)
Vit B1 (mg)
Vit C (mg)

10-12
2050
50
1000
1000
20
600
1,0
50

Perempuan (tahun)
13-15
16-18
2350
2200
57
50
1000
1000
1000
1000
26
26
600
600
1,1
1,1
65
75

19-29
1900
50
800
600
26
500
1.0
75

Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004)
Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi) dan
utilisasi (utilization) zat gizi makanan. Penilaian terhadap status gizi seseorang
atau sekelompok orang akan menentukan apakah orang atau sekelompok orang
tersebut memiliki status gizi yang baik atau tidak (Riyadi 2001). Menurut
Supariasa et al. (2002), status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan
oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka
waktu yang lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi
empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik.
Menurut Smith & Haddad (2000) bahwa faktor (determinan) langsung
yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi makanan dan status kesehatan.

16

Determinan langsung tersebut dipengaruhi oleh tiga determinan tidak langsung
yang terdapat pada level rumah tangga, yaitu ketahanan pangan, perawatan ibu
dan anak yang cukup, dan lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk akses
terhadap pelayanan kesehatan. Faktor kunci yang mempengaruhi semua
determinan tidak langsung adalah kemiskinan. Determinan tidak langsung dari
status gizi (dan juga kemiskinan) dipengaruhi oleh determinan dasar, yaitu
potensi sumberdaya yang tersedia di suatu negara, atau masyarakat. Potensi
sumberdaya ini dibatasi oleh lingkungan alam, akses terhadap teknologi, dan
mutu sumberdaya manusia. Faktor politik, ekonomi, sosial, dan budaya
mempengaruhi kemampuan penggunaan potensi sumberdaya yang dimilliki, dan
bagaimana mereka memanfaatkan sumberdaya tersebut untuk ketahanan
pangan, perawatan, serta lingkungan dan pelayanan kesehatan (Riyadi 2001).
Status gizi dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu melalui penilaian
asupan pangan, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis dan riwayat mengenai
kesehatan, pemeriksaan antropometris serta data psikososial (Arisman 2010).
Setiap metode penilaian status gizi mempunyai kelebihan dan kelemahan
masing-masing.

Faktor

yang

perlu

dipertimbangkan

antara

lain

tujuan

pengukuran, unit sampel yang akan diukur, jenis informasi yang dibutuhkan,
tenaga, waktu, dana dan lain sebagainya (Supariasa et al. 2002).
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Beberapa
indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB) (Supariasa et al. 2002). Indeks massa tubuh menurut umur
(IMT/U) direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja (Riyadi 2001).
Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Menurut
direkomendasikan

Riyadi

(2001)

bahwa

IMT

menurut

umur

sebagai indikator terbaik untuk remaja.

(IMT/U)

Indikator ini

memerlukan informasi tentang umur. Indikator ini juga sudah divalidasi sebagai
indikator lemak tubuh total pada persentil atas, dan indikator ini juga sejalan
dengan indikator-indikator yang direkomendasikan untuk orang dewasa. Indeks
massa tubuh diukur dengan menggunakan rumus IMT=BB/TB2 (kg/m2).
Walaupun IMT belum sepenuhnya divalidasi sebagai indikator kekurusan
atau gizi kurang pada remaja, IMT merupakan indeks masa tubuh tunggal yang
dapat diterapkan untuk mengukur keadaan yang sangat kekurangan dan

17

kelebihan gizi. Sedikit sekali informasi tentang level IMT spesifik pada remaja
dan hubungannya dengan resiko pada masa sekarang atau masa mendatang,
atau

responnya

terhadap

intervensi.

IMT/U

remaja

Amerika

Serikat

direkomendasikan untuk digunakan selama belum tersedia data referensi untuk
remaja yang lebih baik (Riyadi 2001).
Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,
relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang
pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam
waktu yang relatif lama. Indeks TB/U selain menggambarkan status gizi masa
lalu juga lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi (Supariasa et al.
2002).
Menurut Supariasa et al. (2002) bahwa indeks TB/U memiliki beberapa
keuntungan dan kelemahan. Keuntungan dari indeks TB/U, antara lain: a) baik
untuk menilai status gizi masa lampau; dan b) ukuran panjang dapat dibuat
sendiri, murah dan mudah dibawa. Adapaun kelemahan indeks TB/U adalah: a)
tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun; b) pengukuran relatif
sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga diperlukan dua orang
untuk melakukannya; dan c) ketepatan umur sulit didapat.
Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu
makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah
parameter antropometri yang sangat labil. Berdasarkan karakteristik berat badan
ini, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara
pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka
indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current
nutritional status) (Supariasa et al. 2002).
Menurut Supariasa et al. (2002) bahwa indeks BB/U memiliki beberapa
kelebihan dan kelemahan. Indeks BB/U mempunyai beberapa kelebihan antara
lain: a) lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, b) baik
untuk mengukur status gizi akut atau kronis, c) berat badan dapat berfluktuasi, d)

18

sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil, dan e) dapat mendeteksi
kegemukan (overweight). Disamping mempunyai kelebihan, indeks BB/U juga
mempunyai beberapa kekurangan, antara lain: a) dapat mengakibatkan
interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat edema maupun asites; b) di
daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur seringkali sulit
ditaksir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik; c) memerlukan
data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah usia lima tahun; d) sering
terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau gerakan
anak pada saat penimbangan; dan e) secara operasional sering mengalami
hambatan karena masalah sosial budaya setempat.
Status Kesehatan
Pengertian sehat menurut WHO adalah keadaan sempurna baik fisik,
mental maupun sosial, tidak hanya bebas dari penyakit dan kecacatan
(Notoatmodjo 2007). Menurut UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Menurut Smet (1994) diacu dalam Fitriyani (2008), status kesehatan
adalah keadaan kesehatan seseorang pada waktu tertentu. Subandriyo (1993)
menjelaskan bahwa status kesehatan dapat diukur dengan sebuah indikator
kesehatan. Indikator yang dapat digunakan adalah angka kesakitan (morbiditas)
dan angka kematian (mortalitas). Morbiditas lebih mencerminkan keadaan
kesehatan sesungguhnya. Morbiditas berhubungan erat dengan berbagai faktor
lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan, serta faktor
kemiskinan, kekurangan gizi serta pelayanan kesehatan di suatu daerah.
Penilaian atau “assessment” terhadap kesehatan individu didasarkan
pada

pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan

laboratorium

dan

pemeriksaan-

pemeriksaan lain terhadap kesehatan yang bersangkutan. Penilaian terhadap
kesehatan masyarakat didasarkan kepada kejadian-kejadian penting yang
menimpa penduduk atau masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai indikator
kesehatan masyarakat, seperti angka kesakitan, angka kematian, angka
kelahiran dan sebagainya (Notoatmodjo 2003).
Menurut Bloem (1979) diacu dalam Notoatmodjo (2003) bahwa kesehatan
dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu faktor keturunan, lingkungan, perilaku
dan pelayanan kesehatan. Faktor-faktor tersebut disamping berpengaruh
langsung kepada kesehatan juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Sukarni

19

(1994) berpendapat bahwa faktor perilaku dan lingkungan merupakan faktor
yang sangat besar pengaruhnya terhadap status kesehatan masyarakat. Faktorfaktor tersebut saling berinteraksi secara dinamis dan berhubungan dengan
faktor-faktor kependudukan, sosial budaya, ekologi sumberdaya alam dan
ekonomi.
Penyakit yang sangat erat hubungannya dengan lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan biologis adalah penyakit infeksi (Sukarni
1994). Menurut Smet (1994) diacu dalam Fitriyani (2008), penyakit infeksi adalah
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri atau virus yang
ada di dalam tubuh. Di Indonesia, tingginya angka kesakitan akibat penyakit
infeksi seperti diare dan ISPA, disebabkan kerena faktor lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan biologis. Terbatasnya penyediaan air bersih,
sarana pembuangan sampah dan air limbah serta lingkungan perumahan yang
kotor dapat menjadi penyebab timbulnya penyakit infeksi tersebut (Sukarni
1994).
Kesehatan Lingkungan
Kesehatan lingkungan menurut P. Walton Purdon (1980) diacu dalam
Atmodjo (1993) didefinisikan sebagai aspek kesehatan masyarakat yang
memperhatikan tentang bentuk kehidupan, substansi, kekuatan dan kondisi yang
ada disekitar manusia yang berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan
manusia. Notoatmodjo (2003) berpendapat bahawa kesehatan lingkungan pada
hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum
sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang
optimum.
Menurut Atmodjo (1993), secara garis besar, ruang lingkup kesehatan
lingkungan di Indonesia mencakup: 1) penyediaan air bersih yang cukup kualitas
dan kuantitasnya, 2) program sanitasi dasar bagi masyarakat yang meliputi
pembuangan air kotor dan tinja manusia, pengelolaan sampah, pengawasan
makanan, pengawasan pencemaran udara, pengawasan pencemaran vektor
penyakit dan penataan perumahan atau pemukiman; dan 3) program-program
pelengkap seperti kebersihan tempat umum, pencegahan kecelakaan dan
bencana, pencegahan bahaya radiasi dan lain sebagainya.
Pemondokan
Pemondokan (asrama) merupakan tempat tinggal santri selama berada di
pondok pesantren. Kondisi pemondokan menentukan kondisi kebersihan dan

20

sanitasi lingkungan. Pemondokan yang sehat harus memenuhi beberapa
variabel kondisi kesehatan lingkungan sesuai Surat Keputusan Menkes RI No.
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan antara
lain kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan alami dan kelembaban udara.
Variabel-variabel tersebut erat kaitannya dengan penularan penyakit menular
(Lamsidi 2003).
Pemondokan

dengan

pencahayaan

yang

kurang

memudahkan

perkembangan sumber penyakit. Sinar matahari mengandung sinar ultra violet
yang bisa membunuh kuman penyakit. Aliran udara berkaitan dengan penularan
penyakit.

Pemondokan

dengan

ventilasi

yang

baik

akan

menyulitkan

pertumbuhan kuman penyakit. Pertukaran udara dapat memecah dan mengurai
konsentrasi kuman di udara. Bahan bangunan pemondokan berdampak pada
sanitasinya. Pemondokan dengan lantai tanah akan berbeda dengan lantai ubin
dan keramik bila ditinjau dari segi kesehatan. Dinding tembok atau beton jauh
lebih baik daripada anyaman bambu atau dinding semi permanen (Widoyono
2011).
Kriteria ‘rumah sehat’ menurut Riskesdas (2010) adalah bila memenuhi
tujuh kriteria, yaitu atap

berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis

lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi cukup, pencahayaan alami cukup
dan tidak padat huni. Menurut Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999
bahwa luas lubang ventilasi alamiah yang permanen yaitu minimal 10% luas
lantai, pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung
yaitu dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal
60 lux dan tidak menyilaukan mata. Kepadatan hunian dilihat dari luas kamar
tidur yaitu minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih besar dari dua orang
tidur.

Persyaratan

Kesehatan

Perumahan

dalam

Kepmenkes

RI

No.

829/MENKES/SK/VII/1999 berlaku juga terhadap kondominium, rumah susun
(rusun), rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan) pada zona pemukiman.
Sumber Air Minum
Sarana air minum merupakan bagian yang sangat penting dari kesehatan
lingkungan. Sumber air minum dapat berasal dari sumur gali, sumur pompa
tangan dalam/dangkal (SPTDL-SPTDK), sumur artesis, perpipaan atau PDAM,
penampungan air hujan (PAH) dan penampungan mata air (PMA). Semua
sumber tersebut harus memenuhi syarat kesehatan air minum, yaitu kadar E.
Coli nol atau negatif. Sumur gali misalnya, harus berjarak minimal 10 meter dari

21

septic tank. Sarana ini sangat erat kaitannya dengan penyakit diare (Widoyono
2011).
Kriteria akses terhadap sumber air minum terlindung yang digunakan
Millenium Development Goals (MDGs) 2010 adalah bila jenis sumber air minum
berupa perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung dan mata air terlindung
dengan jarak dari sumber pencemaran lebih dari 10 meter dan air hujan. Kriteria
sumber air terlindung yang digunakan Joint Monitoring Program (JMP) WHOUNICEF 2004 adalah berasal dari sumber air yang ‘improved’ dan sumber air
minumnya berada dalam radius satu kilometer dari rumah. Air kemasan (bottled
water) baik pada kriteria MDGs maupun JMP WHO-UNICEF tidak dikategorikan
sebagai sumber air minum terlindung (Riskesdas 2010).
Pembuangan Sampah
Menurut Notoatmodjo (2003) sampah adalah sesuatu bahan atau benda
padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah
digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan
masyarakat Amerika membuat batasan, sampah (waste) adalah sesuatu yang
tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang; yang
berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya.
Sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena dari
sampah-sampah tersebut akan hidup berbagai mikro organisme penyebab
penyakit

(bacteri

patogen),

dan

juga

binatang

serangga

sebagai

pemindah/penyebar penyakit (vektor). Oleh sebab itu sampah harus dikelola
dengan baik sampai sekecil mungkin tidak menganggu atau mengancam
kesehatan masyarakat (Notoatmodjo 2003). Berdasarkan Riskesdas (2010)
bahwa

cara

pembuangan

sampah

dikategorikan

‘baik’

apabila

cara

pembuangannya diambil petugas, dibuat kompos dan dikubur dalam tanah.
Dikategorikan kurang baik jika dibakar, dibuang ke sungai atau sembarangan.
Pembuangan Kotoran Manusia
Yang dimaksud kotoran manu

Dokumen yang terkait

Gambaran Status Gizi Dan Tingkat Konsumsi Energi Protein Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Medan Johor

11 124 97

Hubungan Pengetahuan Gizi serta Tingkat Konsumsi terhadap Status Gizi Santri Putri di Dua Pesantren Modern di Kabupaten Bogor

0 2 166

Penyelenggaraan Makanan, Konsumsi Pangan dan Status Gizi Santri Putri Pondok Pesantren Darusalaam Bogor

1 5 137

Hubungan Konsumsi pangan, tingkat kecukupan gizi dan status gizi dengan tingkat kebugaran atlet futsal putri

0 5 62

Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan dan Status Gizi pada Lansia di Kota Bandung

0 3 44

HUBUNGAN ASUPAN ENERGI DAN LEMAK DENGAN STATUS GIZI PADA REMAJA PUTRI DI PONDOK Hubungan Asupan Energi Dan Lemak Dengan Status Gizi Pada Remaja Putri Di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Surakarta.

0 7 19

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN STATUS GIZI REMAJA PUTRI DI PONDOK PESANTREN TA’MIRUL ISLAM SURAKARTA Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Status Gizi Remaja Putri Di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Surakarta.

0 2 11

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN STATUS GIZI REMAJA PUTRI DI Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Status Gizi Remaja Putri Di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Surakarta.

0 4 17

KEPATUHAN SANTRI TERHADAP ATURAN DI PONDOK PESANTREN MODERN Kepatuhan Santri Terhadap Aturan di Pondok Pesantren Modern.

0 8 23

HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI MAKAN DAN STATUS GIZI DENGAN PRESTASI BELAJAR SANTRIWATI KELAS 2 SMA PONDOK PESANTREN MODERN ISLAM ASSALAAM SUKOHARJO.

0 0 7