Kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Palestina melalui United States Security Coordinator (USSC) periode 2005-2012

(1)

KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT

TERHADAP PALESTINA MELALUI UNITED STATES

SECURITY COORDINATOR (USSC)

PERIODE 2005-2012

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh :

Khalisotussurur

NIM: 107083000030

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisa kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Palestina melalui United States Security Coordinator (USSC) pada Periode 2005-2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi didirikannya USSC dan menilai efektivitas kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Palestina melalui USSC. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustakan dan wawancara. Penelitian ini menemukan bahwa didirikannya USSC bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keamanan internal Palestina. Adanya ketertiban di internal Palestina akan memberikan dampak positif terhadap keamanan Israel yang merupakan aliansi Amerika Serikat. Ketertiban dan keamanan wilayah internal Palestina di Tepi Barat khususnya dijaga dengan memberikan bantuan keamanan untuk meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga keamanan melalui pelatihan dan pemberian perlengkapan militer. Pelatihan-pelatihan tersebut diprogram untuk kepolisian dan bukan militer sehingga dijamin tidak akan membahayakan keamanan Israel.

Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini adalah konsep kebijakan luar negeri, kepentingan nasional, bantuan luar negeri, dan perspektif realisme. Dari hasil analisa menggunakan keempat pendekatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa bantuan keamanan yang diberikan Amerika Serikat terhadap Palestina melalui USSC tidak efektif karena beberapa hal. Pertama, Palestina tidak memiliki keleluasaan untuk mereformasi sektor keamanannya sendiri. Kedua, reformasi sektor keamanan tidak berpengaruh terhadap pelayanan masyarakat dan ketertiban internal Palestina. Ketiga, reformasi sektor keamanan tidak berpengaruh terhadap perdamaian Israel-Palestina.


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap Palestina Melalui United States Security Coordinator (USSC) Periode 2005-2012. Skripsi ini sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan Internasional.

Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, ungkapan terima kasih yang dalam ingin penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Agus Nilmada Azmi, M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta yang telah memberikan masukan dan arahan yang baik kepada penulis dalam mempersiapkan proposal skripsi menuju DPS.

2. Ibu Dina Afrianty, Ph.D., selaku Pembimbing Akademik Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Teguh Santosa, MA yang telah bersedia menjadi pembimbing skripsi penulis dalam rangka menyelesaikan studi. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan, saran, dan motivasi berharga di tengah kesibukannya.

4. Ibu Rahmi Fitriyanti dan Bapak Fajri selaku Dosen Penguji yang telah meluangkan waktu untuk membaca dan mengujikan skripsi ini.

5. Bapak Hamdan Basyar selaku peneliti LIPI, yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancara oleh penulis dan menjelaskan secara detail kepada penulis mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan perkembangan politik internasional Timur Tengah.

6. Ayahanda tercinta Sirajuddin Syamsul Arifin dan Ibunda tercinta Mazidah Maksum selaku orang tua yang telah memberikan do’a restu dan semangat, baik moral maupun material selama penulis menuntut ilmu. Tidak lupa juga kepada kakak-adik penulis yaitu Zulfa Simatur, Elsyifa Mazra, Pandu Angga, dan Kopi yang telah memberikan dukungan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Doni Purwanto yang telah memberikan penulis semangat terus menerus dan membantu penulis untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan ke beberapa perpustakaan.


(7)

8. Sahabat-sahabat penulis yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi yakni Keluarga Besar LPM INSTITUT, Legoso.co, dan teman-teman HI khususnya Ade Piun, Noor Rahma Juli, Yeni Aryati, Pridania, Haninda Farah, Rina Dwihana serta seluruh angkatan 2007.

9. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari mungkin masih terdapat berbagai kekurangan dalam karya ilmiah/skripsi ini. Karena itu sangat diharapkan saran dan kritikan yang konstruktif untuk penyempurnaan skripsi ini. Meski demikian sebagai karya ilmiah/skripsi segala isi dan bentuk dari skripsi ini menjadi tanggung jawab penulis, yang pada saat-saat tertentu harus dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik. Terakhir penulis mengucapkan hamdalah, semoga menjadi ibadah, Amin ya Rabbal ’Alamin.

Jakarta, 25 November 2013

KHALISOTUSSURUR NIM: 107083000030


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

LEMBAR PENGESAHAN iii

ABSTRAK SKRIPSI iv

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR SINGKATAN xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pertanyaan Penelitian 6

C. Kerangka Pemikiran 6

D. Metode Penelitian 11

E. Sistematika Penulisan 12

BAB II KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PALESTINA

A. Sejarah Umum Bantuan Luar Negeri Amerika Serikat 15 B. Bantuan Keamanan Amerika Serikat terhadap Palestina 22 C. Reformasi Sektor Keamanan terhadap Palestina melalui USSC 30

BAB III UNITED STATES SECURITY COORDINATOR (USSC)

A. Sejarah Terbentuknya USSC 36

B. Profil USSC

1. Prinsip USSC 44


(9)

C. Sumber Daya USSC D. 1. Kekuatan Finansial

a. INL 47

b. EUPOL COPPS 48

c. JIPTC 51

BAB IV EFEKTIVITAS KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PALESTINA MELALUI

USSC PADA PERIODE 2005-2012

A. Evaluasi Reformasi Sektor Keamanan USSC 54

B. Efektivitas Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap

Palestina Melalui USSC pada Periode 2005-2012 62

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 71

DAFTAR PUSTAKA 74


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel II.B. Bantuan AS terhadap Palestina 1994-1998 24 Tabel III.C.1 Daftar Bantuan USSC terhadap Palestina 2007-2010 47 Tabel III.C.2 Daftar Bantuan USSC & EUPOL COPPS terhadap

Palestina 2008-2010 50

Tabel IV.A.1 Poling Tingkat Kepercayaan Masyarakat Palestina

terhadap Lembaga Keamanan 59

Tabel IV.A.2 Poling Tingkat Keyakinan Masyarakat Palestina


(11)

DAFTAR GAMBAR


(12)

DAFTAR SINGKATAN

AS Amerika Serikat

DDR Disarmament, demobilization, dan reintegration

ENP The European Union Neighbourhood Policy

ESDP European Security and Defense Policy

EUPOL COPPS European Union Police Coordinating Office for Palestinian Police Support

HAM Hak Asasi Manusia

HRE Human Rights Experts

IDF Israeli Defence Force

INL International Narcotics and Law Inforcement Affairs

JIPTC Jordanian International Police Training Center

JSPD Jordania Public Security Directorate

NSF National Security Forces

PA Palestinian Authority

PASF Palestinian Authority Security Force PBB Perserikatan Bangsa-bangsa

PLO Palestinia Liberation Organization PPIO Press and Public Information Officer

RSK Reformasi Sektor Keamanan

SSR Security Sector Reform

TIPH Temporary International Presence in Hebron


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Amerika Serikat mulai memberikan bantuan bilateral pada Palestina pasca Kesepakatan Oslo I antara Israel dan Palestina pada tahun 1993 (Benvenisti, 1993: 542). Israel dan Palestina menyepakati pembentukan pemerintahan otonomi Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza (EthnoGraphic Media, 2010:6). Pemerintahan otonomi Palestina harus mengatur semua kebutuhannya sendiri. Dalam rangka membantu pemerintah otonomi Palestina yang baru terbentuk, Amerika Serikat memberikan bantuan terhadap Palestina. Bantuan tersebut ditujukan untuk meningkatkan sektor ekonomi, pelayanan sosial, kemanusiaan, pendidikan dan menguatkan pemerintahan otonomi Palestina senilai lebih dari empat miliar dolar AS (Zanotti, 2012: 7-8).

Pada 1996, Amerika Serikat memperluas bantuan bilateral ke sektor keamanan dengan memberikan lima juta dolar untuk peralatan dan perlengkapan militer Palestina. Bantuan keamanan itu diberikan untuk Pemerintah Otonomi Palestina yang harus bertanggungjawab terhadap keamanan internal di wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat. Tentara Israel ditarik dari wilayah otonomi Palestina dan digantikan oleh polisi Palestina yang menjaga keamanan wilayah mereka (Kristoff, 2012: 3).

Selanjutnya, saat Intifada kedua terjadi pada September 2000, bantuan bilateral Amerika Serikat terhadap Palestina difokuskan pada bantuan makanan untuk pengungsi dan pemulihan infrastuktur (USAID.GOV, 2013). Sebelumnya, Intifada pertama terjadi dari tahun 1987-1993 dengan aksi boikot ekonomi dan tanpa kekerasan. Lama kelamaan, Intifada berlanjut menjadi aksi kekerasan


(14)

pemuda Palestina yang melempari Tank Israel dengan batu (Ethnographic media, 2010:6). Pada Intifada Kedua, Palestina menyebut serangan ini sebagai pertahanan terhadap serangan Israel. Akibat dari Intifada Kedua, sekitar 3000 orang Palestina dan 1000 orang Israel tewas (Zanotti, 2010: 6). Menurut laporan

U.S. Departement of State and Broadcasting Board of Governors (2011: 9). Intifada kedua tersebut melibatkan polisi Palestina untuk menyerang Israel. Pada tahun 2001, terdapat sejumlah upaya negosiasi antara Israel dan Palestina tapi tidak menghasilkan sebuah kesepakatan bersama sebagai solusi konflik kedua negara (Ayyad & Anthony Pym, 2012: 1)

Selanjutnya, sebagai respon dari gagalnya negosiasi damai Israel-Palestina dan terjadinya peristiwa intifada, Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendeklarasikan diri sebagai Kuartet pada Oktober 2001 untuk merencanakan kembali proses negosiasi damai Israel-Palestina. Kuartet menghasilkan draf Roadmap for Peace (Peta Jalan Damai) sebagai cara dalam mengakhiri konflik Israel dan Palestina (Mark, 2005: 4).

Tujuan pembentukan Kuartet yaitu untuk mencegah kekerasan Israel dan Palestina dan mengakhiri konflik melalui proses politik. Kuartet memiliki tiga misi, diantaranya, mendorong perundingan perdamaian Israel-Palestina secara politik, memperbaiki kondisi keamanan, ekonomi, kemanusiaan Israel-Palestina, serta memantau pelaksanaan Roadmap (Elgindy 2012, 18-19). Dalam forum Kuartet dihasilkan Roadmap Obligations. Roadmap Obligations adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh Israel dan Palestina untuk mencapai solusi dua negara tersebut (Migdalovitz, 2010: 11). Solusi dua negara dalam konflik Israel-Palestina pertama kali diinisiasi oleh PBB dalam United Nations Partition of Palestine into


(15)

two states, one Arab and one Jewish atau UN Resolution pada 29 November 1947. Resolusi ini diterima Yahudi tapi ditolak negara-negara arab (EthnoGraphic Media, 2010:5-21).

Roadmap Obligations berisi poin-poin yang ditujukan untuk Israel dan Palestina. Adapun tiga poin di dalam Roadmap Obligations yang harus dipenuhi Palestina seperti dikutip dalam Journal of Palestine Studies XXXII (2003: 90), diantaranya:

1. Palestina bersikap tegas mengakhiri kekerasan dan terorisme, melakukan upaya nyata untuk menahan individu atau kelompok yang menjalankan serangan kekerasan terhadap Israel,

2. Membangun dan memusatkan kembali aparatur keamanan Palestina untuk mempertahankan, menargetkan, dan mengoperasikan secara efektif semua yang terlibat dalam teror dan membongkar kemampuan dan infrastruktur teroris. Termasuk melakukan penyitaan senjata ilegal, konsolidasi keamanan, dan terbebas dari keterlibatan teror dan korupsi,

3. Semua organisasi keamanan Palestina digabung ke dalam tiga layanan yang dilaporkan pada Kementerian Dalam Negeri Palestina.

Dalam konteks membantu Palestina mengimplementasikan Roadmap Obligations, Amerika Serikat membentuk United States Security Coordinator

(USSC) pada tahun 2005 untuk memperbaiki sektor keamanan di Palestina dan meningkatkan bantuan keamanannya untuk Palestina (Kushner dan Bedein, 2011: 5).

Selanjutnya, Zanotti (2010:3) menyebutkan poin-poin di dalam Roadmap Obligations yang harus dipenuhi Israel diantaranya:


(16)

1. Israel tidak boleh melakukan tindakan yang mengurangi kepercayaan seperti deportasi, menyerang sipil, menyita atau membongkar rumah dan properti masyarakat Palestina sebagai tindakan hukuman untuk memfasilitasi pembangunan Israel; Israel juga tidak boleh menghancurkan institusi dan infrastruktur Palestina; Israel harus menaati kesepakatan the Tenet Work Plan.

2. Untuk menunjukkan keamanan yang komprehensif ke depan, pasukan Israel harus meninggalkan area pendudukan sejak 28 September 2000 dan Israel-Palestina harus mengembalikan status quo sebelum 28 September 2000. Pasukan keamanan Palestina harus pindah ke tempat yang sudah ditinggalkan pasukan Israel.

Pemimpin USSC diutus langsung oleh kementerian luar negeri Amerika Serikat (state.gov). USSC dipimpin langsung oleh Letnan Jendral Kipward pada Maret 2005 hingga Desember 2005. Lalu Letnan Jendral Keith Dayton menggantikan Kipward pada 2005-2010. Pada 2010, Moeller memimpin USSC dan digantikan Paul Bushong pada 2012 (Maannews.net).

Sasaran USSC adalah mereformasi dan merestrukturisasi Palestinian Authority Security Force, melatih personil polisi, dan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi aparat. Selain itu, USSC hadir untuk menjaga rakyat Palestina dari konflik internal, membangun pertahanan untuk menjaga rakyatnya, dan upaya persiapan membangun sebuah negara (Bedein, 2009: 4).

Hal tersebut senada dengan pernyataan Keith Dayton, Letnan Jendral USSC yang menjabat pada tahun 2005 (Washington Institute, 2009: 8) bahwa USSC ditujukan untuk membangun negara Palestina yang mampu menyediakan


(17)

keselamatan dan keamanan untuk rakyat Palestina. Pasukan keamanan internal yang dididik melalui USSC bertanggungjawab untuk menegakkan hukum dan aturan, menghargai HAM, dan bukan untuk melawan Israel.

USSC memiliki misi yang terdiri dari tiga poin, diantaranya memfasilitasi kerjasama Palestina dan Israel dan memastikan kapabilitas Palestinian Authority Security Force (PASF) tidak mengancam Israel; memimpin dan mengkoordinasikan bantuan internasional untuk PASF dari Amerika Serikat dan donor internasional; membantu Palestinian Authority (PA) untuk memperbaiki dan memprofesionalkan keamanan dengan melatih dan melengkapi PASF untuk

Palestinian Obligations dalam RoadmapObligations (Government Accountability Office, 2010: 11).

Untuk menjalankan misi USSC, lembaga yang bermarkas di Jerusalem ini juga mendapatkan bantuan keamanan dari beberapa negara, yakni, Yordania dan Uni Eropa. Bantuan yang diberikan Yordania berupa fasilitas pelatihan pasukan Palestina yang dilakukan di Jordania Public Security Directorate (JSPD) (Government Accountability Office, 2010: 3). Bantuan lain untuk USSC dikutip dalam Bedein (2009: 5) berasal dari Uni Eropa melalui European Union Police Coordinating Office for Palestinian Police Support (EUPOL COPPS) yang berkontribusi dalam sektor pelatihan pasukan keamanan internal Palestina. Amerika Serikat sendiri mengalokasikan dana sekitar 392 juta dolar untuk melatih dan mengembangkan Palestinian Authority Security Forces untuk tahun 2007 hingga 2010. Walaupun begitu, Amerika Serikat tetap memastikan bahwa bantuan keamanan yang disediakannya tidak digunakan oleh individu atau kelompok yang terlibat dengan aktivitas teroris (Holland, 2010: 3).


(18)

Kebijakan luar negeri Amerika Serikat melalui USSC merupakan pembahasan yang menarik untuk diteliti karena bantuan keamanan Amerika Serikat untuk Palestina diberikan berdasarkan kepentingan nasional Amerika Serikat. Penelitian ini bertujuan untuk memahami apa kepentingan nasional Amerika Serikat melalui kebijakan luar negerinya dengan mendirikan USSC. Untuk itu, penelitian ini mengambil judul: Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Melalui United States Security Coordinator (USSC) Terhadap Palestina pada Tahun 2005-2012.

B. Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan yang muncul pada penelitian ini yaitu

1. Bagaimana efektivitas kebijakan luar negeri Amerika Serikat melalui United States Security Coordinator (USSC)?

C. Kerangka Pemikiran

Untuk menganalisa serta menjawab pertanyaan penelitian atas masalah kebijakan luar negeri Amerika Serikat melalui USSC terhadap Palestina tahun 2005-2012, penelitian ini menggunakan perspektif realisme, teori kebijakan luar negeri, konsep kepentingan nasional, dan konsep bantuan luar negeri. Perspektif dan konsep digunakan untuk lebih memahami fenomena dan data-data yang ada. Teori merupakan rangkaian konsep yang saling berhubungan dan digunakan untuk menjelaskan fenomena tertentu. Lalu konsep merupakan sebuah kata yang melambangkan gagasan (Mas’oed, 1990).


(19)

1. Perspektif Realisme

Asumsi realisme menurut Carr dikutip dalam Burchill dan Linklater (2009: 97) meyakini bahwa tatanan internasional dibentuk oleh realitas kekuatan global. Aktor kekuatan yang berdaulat untuk mengejar kepentingan internasionalnya adalah negara. Sehingga, tidak ada kedaulatan di atas negara yang dapat memaksakan hukumnya pada suatu negara. Kondisi ini menjadikan tatanan internasional bersifat anarki, sehingga muncul kompetisi antarnegara (Steans dan Pettiford, 2009: 46). Menurut Jackson dan Sorensen (2005: 89), agar dapat berkompetisi dalam tatanan internasional yang anarki, negara membutuhkan dominasi dan keamanan nasional.

Lebih lanjut, Steans dan Pettiford (2009: 58-59) menjelaskan argumen-argumen pokok realisme yakni pertama, pada hakikatnya negara, layaknya manusia adalah makhluk yang bertingkah-laku mementingkan diri sendiri. Kedua,

negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional dan kebijakan luar negerinya dimotivasi oleh kepentingan nasionalnya. Ketiga, kekuasaan menjadi kunci untuk memahami tingkah laku internasional dan negara. Keempat,

hubungan internasional merupakan ranah yang penuh dengan konflik karena adanya benturan-benturan kepentingan antar negara.

2. Teori Kebijakan Luar Negeri

Kebijakan luar negeri menurut Holsti (1992: 82) berupa seperangkat ide atau tindakan yang dibuat oleh pembuat kebijakan untuk memecahkan masalah atau mendorong beberapa perubahan dalam kebijakan, tingkah laku atau tindakan dari negara lain, aktor-aktor non negara, atau ekonomi internasional. Selanjutnya, Pratt (1955: 1) menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri adalah tentang pilihan,


(20)

tujuan, dan nilai yang diinginkan masyarakat dan perlindungan yang ingin dilakukan dari ancaman.

Selanjutnya, Holsti (1992: 271-285) menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri dipengaruhi dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari kondisi sosio-ekonomi, karakteristik geografi dan topografi, atribut nasional, struktur dan filosofi pemerintah, opini publik, dan birokrasi. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari struktur sistem internasional, struktur perekonomian dunia, tujuan dan tindakan aktor lain, masalah regional dan global serta hukum internasional dan opini dunia.

Pratt (1965: 3) membahas lebih spesifik mengenai sasaran kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Pertama, keamanan perbatasan nasional yang independen; kedua, memperluas perbatasan untuk kepentingan keamanan, navigasi, perdagangan, ruang untuk tumbuhnya populasi, dan menyebarkan demokrasi; ketiga, mempromosikan dan melindungi hak dan kepentingan warga Amerika dalam perdagangan, investasi di luar negeri, dalam keadaan damai, dan perang; keempat, memelihara netralitas dan perdamaian; kelima, menjaga balance of power.

3. Konsep Kepentingan Nasional

Penelitian ini akan menjabarkan mengenai konsep kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri. Terdapat beberapa pendapat mengenai konsep kepentingan nasional. Menurut Morgenthau yang dikutip dalam Mas’oed (1990: 162-163), kepentingan nasional merupakan upaya negara untuk membentuk dan mempertahankan kekuasaan serta mengendalikan negara lain melalui paksaan atau kerjasama. Untuk mempertahankan kekuasaan, kepentingan nasional sebuah


(21)

negara tidak didasarkan pada alasan yang utopis seperti moral, legal, dan ideologis.

Selain itu, menurut Holsti (1987: 176), kepentingan nasional merupakan tujuan nasional suatu bangsa yang akan diraih dalam jangka waktu tertentu. Tujuan nasional suatu bangsa menurut Prakash Chandra (1979: 81-82) didasarkan pada lima faktor, diantaranya mempertahankan kedaulatan negara, mewujudkan kepentingan ekonomi, melindungi prestise nasional dan membangun kekuatan nasional, memelihara keamanan nasional, serta mewujudkan tatanan dunia.

Morgenthau (1907: 132-133) menjelaskan bahwa melalui kepentingan nasional timbul kewajiban negara untuk melindungi negaranya secara fisik, politik, dan budaya. Melindungi negara secara fisik meliputi perlindungan terhadap integritas teritorial dan kedaulatan negara. Perlindungan politik yaitu memelihara eksistensi sistem politik yang berlangsung. Terakhir, melindungi budaya dengan cara mempertahankan etnis, agama, bahasa, nilai sejarah, dan tradisi negara.

Lebih lanjut, Mas’oed (1990: 173-174) membagi kepentingan nasional dalam beberapa kategori. Diantaranya konsep kepentingan nasional aspirasional, operasional, dan eksplanatori dan polemik. Pada tingkat aspirasional, kepentingan nasional masih berupa tujuan ideal yang ingin dicapai sebuah negara. Sehingga kebijaksanaan belum dilaksanakan. Lalu pada tingkat operasional, kepentingan nasional mengacu pada kebijaksanaan yang sedang dan telah dilaksanakan. Ketiga, tingkat eksplanatori dan polemik digunakan untuk menjelaskan, mengevaluasi, dan merasionalisasi serta mengkritik politik luar negeri. Konsep ini


(22)

berguna untuk membuktikan kebenaran argumen sendiri dan kesalahan argumen lawan.

Kepentingan nasional suatu negara merupakan tujuan dari kebijakan luar negeri (Frankel, 1988: 93). Feng dan Ruizhuang (2009: 31) berpendapat bahwa kebijakan luar negeri merupakan perilaku negara untuk menentukan respon terhadap tekanan internasional. Perilaku negara tersebut ditentukan dari struktur internasional, faktor-faktor domestik, dan interaksi kompleks diantara keduanya. Baik kepentingan nasional maupun kebijakan luar negeri bebas dari pilihan moral atau tidak memperhatikan apa yang baik dan benar (Schelling dikutip dalam Jackson dan Sorensen, 2005: 106).

4. Konsep Bantuan Luar Negeri

Konsep terakhir yaitu bantuan luar negeri. Bantuan luar negeri menurut Yanuar Ikbar (2007: 188) yaitu tindakan-tindakan masyarakat atau lembaga-lembaga terhadap masyarakat atau lembaga-lembaga-lembaga-lembaga lain di luar negeri dengan maksud sekurang-kurangnya untuk membantu. Melengkapi Ikbar, Holsti (1992: 348) menjelaskan bahwa bantuan luar negeri hanya dapat digunakan negara-negara besar sebagai sarana kebijakan yang efektif untuk menopang diplomasi pada negara yang kurang maju.

Lebih lanjut, terdapat empat macam program bantuan yaitu bantuan militer; bantuan teknis; hibah dan program impor bahan komoditi; dan pinjaman pembangunan (Holsti, 1992: 348). Sedangkan Rix Alam dikutip dalam Perwita dan Yani (2005: 84) menjelaskan terdapat empat motivasi negara donor memberikan bantuan diantaranya motivasi kemanusiaan, motivasi politik, motivasi keamanan nasional, dan motivasi kepentingan nasional.


(23)

Dalam konteks USSC, penelitian ini akan berfokus pada bantuan militer. Melalui bantuan militer, negara penerima akan tergantung dalam menciptakan kekuatan militer yang modern. Selain itu, mereka juga tidak dapat mengoperasikan kekuatan militer tanpa adanya dukungan dari negara donor yang membantu biaya pemeliharaan dan suku cadang pengganti. Sehingga, negara penerima baru dapat menggunakan angkatan bersenjatanya dalam cara yang dapat diterima atau sesuai dengan kepentingan negara donor (Holsti, 1992: 349).

Adapaun tujuan bantuan luar negeri adalah untuk memperluas pengaruh terhadap tingkah laku negara penerima sehingga negara donor dapat mencapai tujuan politik jangka pendek tertentu. Bantuan militer sendiri memiliki tiga fungsi, yaitu, membantu menciptakan angkatan bersenjata yang modern untuk mencegah agresi eksternal, membentuk tentara yang dilatih khusus menangani berbagai kerusuhan dan pengacau internal yang menentang pemerintah, dan menaikkan prestise regim lokal dan elit militer (Holsti, 1992: 353-354).

D. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara yang digunakan dalam upaya untuk mengumpulkan data-data yang berguna bagi penelitiannya. Metode yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu metode kualitatif (Fraenkel & Wallen, 1993: 380).

Metode penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lainnya secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2007: 6).


(24)

Teknik pengumpulan data penelitian kualitatif didapat dengan cara mengumpulkan sumber-sumber yang telah ada sebelumnya. Sumber-sumber tersebut dapat berupa buku-buku literatur, jurnal, koran, dan bahan pendukung lainnya. Hasil yang diperoleh dari metode ini bukan berupa kumpulan angka-angka, melainkan berupa tulisan-tulisan, simbol, suara, objek fisik atau data visual seperti peta, foto dan video (Neuman 2007: 110).

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis yaitu mengaitkan permasalahan dalam level Internasional dengan teori Hubungan Internasional. Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Dalam mengunakan data primer, penelitian ini mewawancarai Hamdan Basyar yang merupakan salah seorang peneliti LIPI dan mengunjungi perpustakaan seperti Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Perpustakaan Freedom Institute dan Perpustakaan LIPI.

Selain itu, penelitian ini juga menggunakan sumber sekunder yaitu data yang telah dianalisa dan diterbitkan instansi tertentu maupun pemerintah negara Amerika Serikat. Adapun bentuk sumber sekunder berupa buku-buku, jurnal ilmiah, literature majalah, koran dan situs-situs internet. Melalui sumber primer dan sekunder yang dikumpulkan, penelitian ini dapat lebih jelas menjabarkan konteks. Oleh sebab itu, data yang didapat digunakan untuk memahami efektivitas bantuan keamanan Amerika Serikat terhadap Palestina melalui USSC.

E. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN


(25)

B. Pertanyaan Penelitian C. Kerangka Pemikiran D. Metoda Penelitian E. Sistematika Penulisan

BAB II KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PALESTINA

A. Sejarah Umum Bantuan Luar Negeri Amerika Serikat B. Bantuan Keamanan Amerika Serikat terhadap Palestina C. Reformasi Sektor Keamanan Palestina Melalui USSC BAB III UNITED STATES SECURITY COORDINATOR (USSC)

A.Sejarah Terbentuknya USSC B.Profil USSC

1. Prinsip USSC 2. Tujuan USSC 3. Struktur USSC C.Sumber Daya USSC D.Kekuatan Finansial

1. INL

2. EUPOL COPPS 3. JIPTC

BAB IV EFEKTIVITAS KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PALESTINA MELALUI USSC PADA PERIODE 2005-2012

A.Evaluasi Reformasi Sektor Keamanan USSC

B.Efektivitas Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Palestina Melalui USSC pada Periode 2005-2012


(26)

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(27)

BAB II

KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT

TERHADAP PALESTINA

A. Sejarah Umum Bantuan Luar Negeri Amerika Serikat

Kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) secara substansi bergantung pada konteks waktu. Misalnya kebijakan luar negeri AS saat Perang Dingin akan berbeda dengan paska Perang Dingin. Kebijakan luar negeri AS dapat dikatakan fleksibel, sering berubah, dan beradaptasi sesuai keadaan, terkadang terlalu banyak perhitungan, terlalu terbuka, terlalu keras, terlalu isolasionis, terlalu unilateral, terlalu multilateral, terlalu moralistik, juga terlalu tidak bermoral (Morse, 2012:1).

Kebijakan luar negeri AS memiliki beberapa instrumen diantaranya pertahanan AS, korps diplomatik, diplomasi publik, kebijakan perdagangan, dan bantuan luar negeri. Pertahanan AS dapat digunakan sebagai stick untuk mencapai tujuan AS. Korps diplomatik berfungsi sebagai alat untuk menegosiasikan kebijakan luar negeri AS dengan negara lain. Diplomasi publik seperti pertukaran pelajar digunakan untuk memberikan citra baik AS di dunia. Kebijakan perdagangan melalui perdagangan bebas dapat digunakan sebagai carrot untuk mempengaruhi negara lain. Bantuan luar negeri AS berperan sebagai stick

sekaligus carrot untuk mempengaruhi maupun mencapai tujuan AS (Tarnoff dan Nowels, 2005:5).

Bantuan luar negeri sebagai salah satu instrumen kebijakan luar negeri AS dikutip dalam Sullivan, Tessman, & Li (2011:279-280), Keohane dan Nye (1977) digunakan sebagai imbalan ataupun hukuman untuk mempengaruhi negara penerima dalam menentukan kebijakannya. Selanjutnya, Sullivan (2012:1)


(28)

menjelaskan asumsi keuntungan yang didapat AS dengan memberikan bantuan luar negeri diantaranya, pertama, bantuan luar negeri dapat meningkatkan kerjasama antara AS dan negara penerima penerima; kedua, negara penerima merasa bergantung terhadap bantuan luar negeri yang diberikan AS. Sehingga negara penerima donor merasa harus mengikuti kepentingan AS jika ingin mendapatkan bantuan lagi.

Secara historis, AS pernah memberikan bantuan pada negara-negara di Eropa untuk rekonstruksi paska perang dunia kedua melalui program Marshall Plan pada tahun 1948-1952. Pada 1960-an hingga 1970-an AS memberikan bantuan yang fokus pada kelaparan, malnutrisi, dan program kesehatan (Lawson, 2012:3). Pada tahun 1961 AS mengeluarkan lima prinsip dasar bantuan luar negeri AS yaitu pertama, pemberantasan kemiskinan; kedua, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan negara penerima bantuan; ketiga, meningkatkan hak ekonomi dan hak sipil; keempat, mengintegrasikan sistem perekonomian internasional; dan kelima, meningkatkan akuntabilitas pemerintahan negara penerima untuk transparansi dan pemberantasan korupsi (Lawson, 2012:2-3).

Selanjutnya terdapat amandemen dari prinsip tersebut pada tahun 1971 dengan menambahkan poin pelarangan untuk membuat dan menjual narkotika dan obat psikotropika. Lalu pada tahun 1975 ditambahkan lagi bahwa bantuan luar negeri ditujukan untuk membantu korban bencana alam ataupun akibat manusia. Pada tahun 1983 kembali ditambahkan tujuan bantuan luar negeri yaitu meningkatkan kemampuan anti-terorisme melalui pelatihan dan memberikan perlengkapan dan menguatkan ikatan AS dan negara aliansi dengan bantuan anti-terorisme (Lawson, 2012:2-3).


(29)

Lalu, saat Perang Dingin berlangsung, bantuan luar negeri diberikan untuk mencegah pengaruh komunisme di negara-negara miskin (Sullivan, 2012; Tarnof dan Lawson, 2012; Lancaster, 2000). Pada tahun 1990-an Perang Dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet. AS pun menjadi negara yang memimpin dunia. Untuk mempertahankan posisinya, AS memelihara perdamaian dunia dari konflik antar negara dan intra negara. Bantuan luar negeri AS difokuskan untuk program

peacemaking dan conflict prevention di wilayah regional seperti Eropa, Asia Tengah, dan Timur Tengah. AS juga mempromosikan dan membantu transisi demokrasi pada negara-negara berkembang (Lancaster, 2000; Tarnoff dan Lawson, 2012).

Paska runtuhnya Soviet, menurut Lancaster (2000), kebijakan luar negeri AS yang diimplementasikan melalui bantuan luar negeri memiliki empat prinsip nilai yaitu pertama, menyediakan bantuan kemanusiaan; kedua, membantu mengurangi kelaparan di negara-negara miskin; ketiga, memperbaiki kualitas hidup bagi manusia yang membutuhkan, keempat, mempromosikan demokrasi dan HAM.

Kemudian pasca serangan 11 September 2001, AS memfokuskan bantuan luar negeri untuk counter-terrorism (Tarnof dan Lawson, 2012; Sullivan, 2012). Sembilan hari setelah peristiwa tersebut pada 20 September 2001, Bush menyampaikan pidato yang disebut sebagai Doktrin Bush. Menurut doktrin Bush yang dikutip dalam Owens (2008), AS akan aman hanya jika negara lain juga aman. Peristiwa 11 September 2001 membuat AS melakukan preventive war


(30)

semakin dekat. Preventive war dapat dilakukan dengan mempromosikan rezim tirani menuju demokratis.

Owens (2008:25) menjelaskan doktrin Bush terdiri dari tiga prinsip yaitu

pertama, menyebarkan demokrasi dan mengakhiri rezim tirani yang dianggap AS tidak unggul dibandingkan demokrasi; kedua, memerangi terorisme yang menjadi penyebab peristiwa serangan 11 September 2001 yang dianggap memiliki tujuan memerangi AS dan Israel atau liberalisme Barat; ketiga, pengakuan AS bahwa paska serangan yang dianggap dilakukan oleh teroris, pendekatan tradisional seperti pencegahan ancaman atau deterrence dan pembendungan atau containment

terhadap kebijakan luar negeri AS tidak lagi relevan.

Argumen di atas didukung melalui penjelasan dari laporan pemerintah AS dan USAID bahwa diplomasi AS memandang kebebasannya perlu dilindungi untuk menjamin kebebasan negara yang lain, kesejahteraan AS bergantung pada kesejahteraan negara lain, dan keamanan AS bertumpu pada upaya dunia untuk keamanan hak semua negara. Bagi AS, menjadi tanggungjawab mereka untuk menggunakan kekuasaan untuk memajukan keamanan, demokrasi, dan kesejahteraan di seluruh dunia (USGOV & USAID, 2003:1).

Pemerintah AS dan USAID memiliki prinsip yang terangkum dalam strategi keamanan nasional yaitu diplomasi, pembangunan, dan pertahanan (Tarnoff dan Nowels, 2005: 6). Pertama, AS akan menguatkan dan memelihara hubungan bilateral dan multilateral untuk mencapai misinya. AS akan menguatkan aliansi tradisional dan membangun hubungan baru untuk mencapai perdamaian yang membawa keamanan melalui penyediaan bantuan dan mengambil kesempatan (USGOV & USAID, 2003:1).


(31)

Kedua, AS akan melindungi negaranya dan aliansinya melawan bahaya transnasional dan ancaman dari tirani, kemiskinan, dan penyakit. Kemiskinan merefleksikan absennya penegakan hukum dan kurangnya kapasitas suatu negara (USGOV dan USAID, 2003:2). Ketiga, AS akan mengkombinasikan antara kemampuan diplomatik dan bantuannya untuk memelihara demokrasi dan integrasi dunia ke ekonomi global (USGOV dan USAID, 2003:2).

Kongres AS sendiri memiliki enam kebijakan dalam melindungi perdamaian dan menjaga keamanaan pada masa pemerintahan Bush yaitu

counter-terrorism, melawan kekuatan nuklir, stabilisasi operasi dan reformasi sektor keamanan, counter-narcotics, transnational crime, dan mitigasi dan rekonsiliasi konflik (Tarnoff dan Lawson, 2012:3).

Bantuan luar negeri AS terhadap Timur Tengah secara historis bertujuan untuk kepentingan keamanan nasional di tingkat regional. Bantuan keamanan luar negeri digunakan AS sebagai cara menjalin kerjasama militer dengan pemerintah regional. Selain itu, AS juga dapat mengendalikan militer yang tidak terkontrol dan memotong radikalisme di negara partner (Sharp, 2010:1).

Diantara Perang Dunia Kedua dan runtuhnya Uni Soviet, AS memiliki beberapa tujuan terhadap Timur Tengah yaitu menghentikan ekspansi Soviet di Timur Tengah, tetap membuka komunikasi dan perdagangan di kawasan Timur Tengah, mengelola akses minyak dari Barat ke Timur Tengah, dan mempromosikan prinsip demokrasi dan pasar bebas, serta melindungi keamanan Israel (Mark, 2005:5).

Di bawah pemerintahan partai Demokratik maupun Republik, Israel memegang kunci sebagai partner dan aliansi AS. Menjaga kamanan Israel


(32)

menjadi prioritas tertinggi dari kebijakan luar negeri AS. Normalisasi hubungan antara Israel dan negara tetangga Arab termasuk Palestina di Tepi Barat dan Gaza menjadi masalah vital perdamaian jangka panjang dan stabilitas di wilayah regional (USAID, 2001:2). Jika Stabilitas di Tepi Barat dan Gaza sudah dicapai, ini menjadi pre kondisi untuk suksesnya negosiasi permanen terhadap status kesepakatan negara demokratis Palestina (USAID, 2001:3).

Bagi Bush, jika konflik Israel-Palestina dapat diselesaikan akan memberikan keuntungan bagi AS dengan asumsi akan mengurangi rasa anti-AS dan gerakan radikal di wilayah kawasan Timur Tengah. Paska peristiwa 9 September 2001, kebijakan luar negeri AS terhadap Timur Tengah mengalami perubahan dari penggunaan militer ke arah negosiasi yang damai (Preble & Hadar:539-540).

Pada Maret 2001 Universitas Maryland mengadakan poling terhadap masyarakat lima negara Arab diantaranya Mesir, Yordania, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Libanon. Pertanyaan yang diajukan pada responden adalah apa isu termasuk isu lokal yang paling penting menurut mereka. Sebanyak 79 persen responden dari Mesir menganggap konflik Israel-Palestina sebagai isu yang penting. Lalu sebanyak 60 persen responden dari Yordania, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Libanon juga menyebutkan konflik Israel-Palestina sebagai isu krusial (Evera, 2005:2).

Survey lain dilakukan Lembaga Survey Internasional Zogby pada 2002. Hasil dari survey tersebut menyebutkan bahwa responden lima negara yaitu Mesir, Uni Emirat Arab, Kuwait, Libanon, dan Arab Saudi menyebut isu Palestina


(33)

sebagai sangat penting dan paling penting sebagai isu di dunia Arab (Evera, 2005:2).

Evera menganalisis bahwa ada kemungkinan para responden menjawab isu konflik Israel-Palestina karena mereka takut menyebut soal isu di lokal di negaranya. Di negara-negara Arab yang mayoritas sistem pemerintahannya otoritaritarian sangat tidak aman untuk mengkritik pemerintah. Walaupun begitu, poling tersebut tetap mengindikasikan adanya perhatian dunia internasional terhadap persoalan Israel-Palestina.

Selanjutnya, menurut Evera (2005:1), keamanan nasional AS terancam melalui konflik Israel-Palestina karena mempermudah jalan pada Al-Qaeda untuk merekrut teroris di dunia Arab dan negara Islam lainnya. Kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Israel-Palestina akan berpengaruh terhadap perilaku negara-negara lain pada AS.

Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa isu Palestina-Israel dapat menjadi perhatian dunia internasional terutama negara-negara Arab. Pertama, terjadinya intifada kedua pada 28 September 2000. Kedua, pemberitaan mengenai intifada melalui televisi dan saluran seperti Al-Jazeera, Al-Arabiya menciptakan efek dramatik terhadap konflik. Terakhir, pemberitaan melalui media memunculkan identitas ke-Arab-an atau muslim yang solid untuk mengakhiri penderitaan yang dialami Palestina (Evera, 2005:2).

Selanjutnya, The PIPA, lembaga survey publik Amerika terhadap isu internasional mengadakan survey terhadap bagi Amerika mengenai kebijakan bantuan luar negeri terhadap Israel-Palestina dan mempublikasikan laporannya pada 30 Mei 2003. Responden mendapatkan pertanyaan mengenai kebijakan


(34)

Amerika Serikat terhadap konflik Israel-Palestina dapat diterima atau tidak oleh negara-negara di dunia. Sebanyak 55 persen menilai bahwa kebanyakan negara tidak menyetujui kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Israel-Palestina. Lalu sebanyak 10 persen menilai bahwa dunia internasional menyetujuinya. Sisanya menilai bahwa ada yang menyetujui dan menolak kebijakan AS terhadap konflik tersebut. Alasan bahwa kebanyakan negara tidak menyetujui kebijakan AS terhadap konflik karena mereka lebih bersimpati terhadap Palestina (Kull, 2003:17).

Pada Mei 2004, Lembaga Survey Zogby kembali melakukan survey mengenai penting tidaknya kebijakan AS terhadap konflik Arab-Israel. Sebanyak 76 persen responden dari Yordania, 78 persen dari Uni Emirat Arab, 79 persen dari Libanon, 81 persen dari Arab Saudi, 84 persen dari Moroko, dan 95 persen dari Mesir menyatakan kebijakan luar negeri AS cukup penting atau sangat penting dalam konflik tersebut (Evera, 2005:3).

B. Bantuan Keamanan AS terhadap Palestina

Upaya negosiasi untuk mencapai perdamaian Israel-Palestina dilakukan Presiden AS, Bush senior bersama dengan Uni Soviet melalui konferensi perdamaian Madrid pada 30 Oktober 1991. Konferensi tersebut dihadiri beberapa negara Arab seperti Yordania, Libanon, Siria, Palestina, dan Israel. Pertemuan tersebut berhasil mempertemukan pihak-pihak yang berselisih untuk pertama kali khususnya Israel-Palestina. Dalam negosiasi tersebut, Amerika Serikat berperan sebagai mediator utama konflik. Hasilnya tidak ada kesepakatan signifikan terhadap resolusi damai antara Israel dan Palestina (Rodriguez, 2011:45). Tapi konferensi Madrid membawa proses penyelesaian pada Kesepakatan Oslo 1993


(35)

(Preble & Hadar:541-542). Kesepakatan Oslo menghasilkan upaya pembentukan satuan polisi Palestina. Sehingga banyak juga pendonor yang memberikan bantuan pada Palestina. Namun, bantuan tersebut masih terfokus pada polisi Palestina dan belum tertuju pada reformasi sektor keamanan (Friedrich dan Luethold, 2008:6).

Secara historis, pada 4 Mei 1994 Palestina dan Israel menandatangani perjanjian yang menyepakati ditariknya pasukan militer Israel dari wilayah Palestina di Gaza dan Jericho pada 11 Mei 1994. Lalu pada 28 September 1995, ditandatangani perjanjian sementara yang disebut Taba Agreement. Perjanjian ini berisi kesepakatan dilaksanakannya pemilu untuk Majelis Palestina, pembebasan tahanan Israel, penarikan mundur tentara Israel dari wilayah Tepi Barat. Pada pelaksanaannya, tentara Israel mulai meninggalkan Tepi Barat pada akhir tahun 1995. Jika diamati berdasarkan tabel di atas, pada tahun 1994-1995 bantuan yang diberikan lebih besar jika dibandingkan tahun-tahun berikutnya. Hal itu dikarenakan kebutuhan pada tahun 1994-1995 digunakan untuk keperluan Taba Agreement dan transisi pemerintahan sementara Palestina. Lalu pemilu dilaksanakan pada 20 Januari 1996 (Mark,2001:1).

Selanjutnya pada tahun 1996-1998, bantuan yang diberikan Amerika Serikat terhadap Palestina jumlahnya semakin menurun karena beberapa alasan.

Pertama, pada Mei 1996, Benyamin Netanyahu terpilih sebagai Perdana Menteri Israel yang berakibat pada terhentinya penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah Palestina. Terpilihnya Netanyahu membuat interaksi Israel dan Palestina untuk negosiasi damai terhenti sehingga bantuan pun menurun jumlahnya. Akhirnya pada tahun 1997, pasukan Israel ditarik dari Hebron. Pada tahun 1998,


(36)

perjanjian lima tahun untuk menarik mundur pasukan Israel sejak 1993 dari wilayah Palestina telah berakhir. Berakhirnya kesepakatan lima tahun untuk menarik mundur pasukan Israel juga menandakan semakin menurunnya bantuan AS terhadap Palestina bahkan mencapai nilai nol untuk transisi pemerintahan otonomi pada tahun 1998 (Mark,2001:1).

Pada perjanjian Wye River 28 Oktober 1998, disepakati langkah-langkah untuk mengimplementasikan perjanjian sebelumnya. Saat itu CIA ditugaskan untuk melakukan pemantauan pembentukan satuan polisi Palestina dan kerjasama keamanan antara Israel dan Palestina. Kerjasama keamanan kedua negara terkait dengan jaminan keamanan tapi daftar kewajiban jaminan keamanan hanya ditujukan untuk Palestina. Adapun kewajiban yang harus Palestina lakukan diantaranya memerangi terorisme, menangkap tersangka terorisme, melarang adanya hasutan teror, mengumpulkan semua senjata ilegal dalam waktu tiga bulan setelah tanda tangan perjanjian, memberikan daftar calon polisi Palestina pada Israel, dan memberikan laporan kemajuan pada Amerika Serikat (Friedrich dan Luethold, 2008:7). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan jumlah bantuan AS terhadap Palestina sejak 1994-1998 (dalam juta dolar) dikutip dalam Mark (2001:2).

Tabel II. B. Bantuan AS terhadap Palestina 1994-1998

Program Total 1994-1995 1996 1997 1998

Memperluas kesempatan ekonomi

65,814 26,410 16,182 14,219 9,003 Bantuan

kelangkaan air

193,269 69,832 32,764 50,969 39,704 Pemerintahan 35,160 3,073 9,364 11,500 11,223


(37)

Transisi pemerintahan otonomi

49,268 39,132 0,136 10,000 0

Kebutuhan pembangunan jangka

pendek

24,754 17,839 5,860 0,300 0,755

Total 368,265 156,286 64,306 86,998 60,685

Sumber: Mark, Clyde. 2001. “Palestinians and Middle East Peace: Issues for the

United States.” Congressional Research Service.

Lalu pada tahun 2000 diadakan negosiasi Camp David untuk perdamaian Israel-Palestina namun gagal karena pemukiman Yahudi masih saja terus dibangun dan hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina ke wilayah yang telah diduduki Israel sejak 1948 menjadi penyebabnya (Preble & Hadar:541-542). Kejadian yang menyusul yaitu peristiwa Intifada Kedua pada tahun 2000. Abbas mengecam intifada kedua yang terjadi pada tahun 2000. Menurutnya kemerdekaan Palestina dan penyelesaian konflik Israel-Palestina tidak bisa dicapai melalui kekerasan atau solusi militer (Pina, 2006:3).

Pada 2001 terjadi serangan terhadap menara kembar World Trade Center

di AS pada 11 September 2001. Kejadian-kejadian tersebut membuat AS harus mengelola pengaruhnya di Timur Tengah dengan biaya yang tidak sedikit baik secara militer dan inisiatif negosiator perdamaian konflik Israel-Palestina. Dalam menginisiasi perdamaian Israel-Palestina, AS juga harus berhadapan dengan aktor lain di wilayah regional Timur Tengah yaitu Irak dan Iran (Preble & Hadar:541-542).

Pada tahun 2002, sesuai dengan Tenet Workplan, Bush memperluas peran CIA dengan melakukan gencatan senjata di Palestina. CIA mengadakan pelatihan untuk meningkatkan keamanan satuan Palestina dibantu instruktur dari Mesir dan


(38)

Yordania. Tujuan dilakukannya pelatihan tersebut juga untuk menahan pembom bunuh diri rakyat Palestina di Israel. Di sisi lain, pihak Israel yaitu Mantan Kepala Intelijen Mossad, Ephraim Halevy dan Sekretaris Militer Perdana Menteri Israel, Jendral Moshe Kaplinsky menyusun rancangan untuk menggeser kekuasaan Presiden Palestina Yasser Arafat (Friedrich dan Luethold, 2008:7).

Hubungan AS dan Palestina tidak berjalan baik karena George W. Bush menganggap Yaser Arafat tidak berupaya untuk menghentikan terorisme. Tujuan dari rencana menggeser kekuasaan rezim Arafat sebenarnya untuk membentuk kepemimpinan dan kekuasaan baru di Palestina. Pemimpin baru Palestina akan diberikan tanggungjawab keamanan di Palestina. Rencana tersebut didukung pihak internasional diantaranya Mesir, Yordania, Inggris, dan Amerika Serikat (Friedrich dan Luethold, 2008:7).

Pemerintahan sementara Palestina dipimpin oleh presiden Mahmoud Abbas. Abbas memecat Haniyeh dari Hamas sebagai perdana menteri. Lalu Abbas menunjuk Salam Fayyad, politisi independen Palestina yang populer dan dekat dengan pemerintahan Barat dan memiliki sifat yang moderat (Kushner dan Bedein, 2011:5). Pada 24 Juni 2002, Bush menyatakan akan mengupayakan solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina. Pada 30 April 2002, AS bersama anggota kuartet Road Map lainnya mensosialisasikan rencana perdamaian untuk kedua negara (Mark, 2005: 6). Isi Road Map sebenarnya penekanan kembali dari perjanjian yang sudah ada sebelumnya yaitu perjanjian Wye River dan Tenet Workplan. Dalam hal ini pihak Israel dan Palestina memiliki kewajiban jaminan keamanan masing-masing dan bertanggungjawab terhadap negara-negara kuartet (Friedrich dan Luethold, 2008:7).


(39)

Pada tahun 2005, pemerintah otoritas Palestina yang dipimpin Mahmoud Abbas membentuk National Security Council untuk mengkonsolidasikan elemen-elemen keamanan di Palestina (Pina, 2006:2). Untuk mencapai hal tersebut, AS memberikan bantuan luar negeri melalui program security sector reform.

Perbaikan sektor keamanan meliputi reformasi struktur lembaga yang memberikan kewenangan terhadap sipil terhadap lembaga keamanan. Berdasarkan USAID, keamanan AS bergantung pada keamanan negara-negara yang menjalankan sistem demokrasi. Reformasi sektor keamanan menjadi program yang termasuk ke dalam Joint Strategic Plan tahun 2007-2012 oleh Departemen luar negeri dan USAID. Kedua lembaga tersebut juga bekerjasama dengan Departemen Pertahanan dan intra-agency lainnya. Reformasi sektor keamanan terhadap suatu negara merupakan intervensi dari negara lain. Karena itu, kerjasama antar lembaga lebih efektif untuk merencanakan dan mengimplementasikan perbaikan sektor keamanan tersebut (USAID, 2010:1).

Terpilihnya Abbas sebagai presiden Palestina juga membuat donor lebih tertarik untuk memberikan bantuan pada program reformasi sektor keamanan. negara-negara Kuartet juga melibatkan negara-negara Eropa seperti Inggris dan Jerman untuk ikut terlibat dalam reformasi keamanan di Palestina. Keikutsertaan banyakya aktor internasional disebutkan Amerika Serikat sebagai strategi West Bank first. Strategi tersebut mendukung berjalannya pemerintahan di Tepi Barat dengan tujuan dapat mengisolasi pemerintahan di Jalur Gaza (Friedrich dan Luethold, 2008:7-9).

Kemampuan AS untuk memberikan bantuan bertujuan untuk mempengaruhi keputusan politik Palestina. Namun, keputusan tersebut juga


(40)

bergantung pada level kesadaran populer masyarakat Palestina terhadap kebijakan AS dan bantuan jangka panjangnya. Kesediaan AS mendukung Palestina merupakan upaya untuk melawan Hamas dan mereformasi kondisi politik dan ekonomi Palestina (Zanotti dan Browne, 2011:17). Persoalan stagnasi ekonomi menjadi isu domestik yang dihadapi Abbas ketika menjabat sebagai presiden. Palestina memiliki oposisi dari pemerintahan misalnya al-Aksa Martyrs Brigade

dari kelompok nasionalis dan Hamas dari kelompok Islamis. Kelompok oposisi tersebut cenderung menolak bekerja sama dengan Israel (Pina, 2006:3).

Selain menginisiasi perdamaian, Bush juga menambahkan misi demokratisasi dalam kebijakan luar negerinya. Melalui misi demokratisasi yang diterapkan oleh Palestina, pihak AS berharap bisa mendapatkan keuntungan. Dalam asumsi AS, pemimpin Palestina yang terpilih berdasarkan sistem demokrasi bisa bekerjasama dengan AS dan tidak anti dengan Israel. Akhirnya pada Januari 2006 dilaksanakan pemilu parlemen di Palestina. Hamas yang anti-AS berhasil mengalahkan Fatah yang lebih moderat dalam pemilu tersebut. anti-AS pun menekan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk mengadakan pemilu kembali. AS menolak untuk mengakui hasil pemilu parlemen awal. Lalu AS, Israel, dan Uni Eropa menghentikan bantuan ekonomi untuk Pemerintah Otonomi Palestina kecuali jika Hamas berkomitmen untuk menghentikam kekerasan dan mengakui Israel. Akhirnya pada Juni 2007, AS dan pemerintah Israel mendorong Fatah untuk membentuk pemerintahan yang terpisah di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza (Preble & Hadar:543).

AS memberikan bantuan bilateral pada Palestina sebesar dua miliar dolar untuk wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza pada tahun 2007. Program yang


(41)

diberikan AS merefleksikan strategi untuk tetap menghargai Hamas dengan memberikan bantuan kemanusiaan ke Gaza untuk kebutuhan dasar, bantuan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat Gaza, dan bantuan keamanan untuk tujuan melawan dan mencegah aktivitas terorisme (Zanotti, 2010:27).

Tujuan dari diberlakukannya penegakan hukum dan aturan tidak lantas untuk tujuan persiapan pembentukan negara Palestina. Ada alasan lain AS membantu Palestina dalam hal keamanan. Keamanan Palestina tentu akan berpengaruh terhadap keamanan Israel. Menurut Bedein dan Kushner (2011:7), AS memiliki tujuan untuk melemahkan kelompok yang oleh AS dianggap sebagai teroris di Tepi Barat. Teroris yang dianggap oleh AS adalah Hamas. Sehingga, pemerintah Palestina akan memiliki kemampuan untuk melawan Hamas.

Hamas merupakan organisasi pergerakan dan perlawanan Islam Palestina yang berbasis militer dan sosial politik. Sebagai organisasi militer, Hamas seringkali melakukan perlawanan terhadap pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Secara politik, organisasi ini juga menolak keras adanya kerjasama dengan Israel terkait proses perdamaian Israel-Palestina. Akibatnya, AS menganggap Hamas sebagai organisasi teroris karena hal tersebut pada 1997. Beberapa negara misalnya Iran, Siria, dan Hezbollah dari Libanon memberikan bantuan dan pelatihan juga untuk Hamas (Zanotti, 2010:1). Iran memimpin negara-negara Arab untuk memberikan bantuan finansial dan militer untuk Hamas dan kelompok militan Palestina lainnya. Setiap tahun Iran memberikan 20-30 juta dolar AS untuk Hamas. Selain itu, Iran juga menyelundupkan senjata dan melatih kelompok militan melalui terowongan bawah tanah Gaza-Sinai untuk meningkatkan kemampuan Hamas secara militer (Zanotti, 2010:22-23).


(42)

Pada intifada pertama tahun 1994-1997 dan kedua tahun 2000-2008, Hamas telah membunuh sekitar 700 orang Israel (Zanotti, 2010:4). Untuk kepentingan perdamaian Israel-Palestina jangka panjang dan juga keamanan Israel, AS merumuskan kebijakan luar negerinya untuk dapat menghalangi dan meminggirkan posisi Hamas di dalam konflik. Beberapa diantara kebijakan AS terkait Hamas yaitu meng-counter Hamas secara finansial, jaringan, dan pengaruh politik; melibatkan perwakilan Hamas ke dalam negosiasi perdamaian Israel-Palestina; memutus jaringan Hamas dengan Iran dan Siria; meningkatkan bantuan kemanusiaan dan ekonomi di Gaza tanpa Hamas (Zanotti, 2010:1).

C.Reformasi Sektor Keamanan terhadap Palestina Melalui USSC

Reformasi sektor keamanan didefinisikan sebagai penyediaan keamanan, keselamatan, dan keadilan oleh suatu pemerintahan melalui perubahan kebijakan, program, dan aktivitas dengan tujuan mencapai pelayanan publik yang transparan, akuntabel, dan responsif terhadap publik (Department of State, DoD, USAID:3). Secara umum, jika yang direformasi adalah sektor keamanan, maka merujuk pada polisi dan militer. Namun, reformasi keamanan ternyata juga perlu dilakukan pada tingkatan lembaga informal keamanan dan lembaga sipil yang berpengaruh terhadap pengaturan keamanan dalam pemerintahan (Sedra (ed), 2010:46).

Pelaksanaan dari program SSR terdiri dari penilaian, perencanaan,

pelatihan, implementasi, pemantauan, dan evaluasi (U.S. Department of State, DoD, USAID,2009:6). Penilaian adalah penyusunan informasi mengenai konteks, aktor, dan kebutuhan di sebuah tempat yang akan mendapatkan reformasi sektor keamanan. Kemudian data yang telah ada dikaji untuk menentukan tujuan dan


(43)

program reformasi sektor keamanan. Laporan mengenai penilaian yang lengkap memberikan peluang reformasi keamanan yang efektif (Popovic, 2004:2).

Perencanaan adalah penyusunan program yang seimbang untuk seluruh sektor keamanan sesuai dengan indikator target yang dicapai dalam jangka waktu tertentu. Setelah perencanaan, pelatihan menjadi bagian penting dalam reformasi sektor keamanan. Dalam pelatihan dibutuhkan pendekatan multidisiplin dan kombinasi program sebelumnya dan program yang baru. Lalu, implementasi harus sesuai dengan rencana, program, dan prinsip. Sehingga terdapat sinkronisasi program sesuai dengan penilaian diawal dan perencanaan (U.S. Department of State, DoD, USAID,2009:6-7).

Pemantauan merupakan cara untuk mengukur kesesuaian kinerja dan hasil dapat mencapai tujuan dan program yang telah direncanakan. Jika kinerja tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan atau pun tujuan, pemantauan berfungsi untuk memperbaiki langkah yang akan diambil ke depannya. Selanjutnya, evaluasi merupakan penilaian akhir untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan dari suatu program reformasi sektor keamanan (Popovic, 2004:2-3). Keamanan nasional yang efektif dan akuntabel menurut standar SSR terdiri dari beberapa poin diantaranya pertama, negara harus memiliki kerangka hukum dan konstitusi yang mengatur penggunaan kekerasan berdasarkan HAM dan juga mekanisme sanksi dari penggunaan kekerasan dari aktor yang berbeda,

kedua, negara harus mempunyai lembaga yang mendukung jalannya lembaga keamanan seperti pengawasan keamanan, pengelolaan keuangan, standar perlindungan HAM, dan kapasitas personil dan sumber daya yang efektif untuk keamanan; ketiga, adanya koordinasi dan kerjasama yang transparan antara


(44)

lembaga keamanan sesuai konstitusi; keempat, menunjukkan kinerja yang disiplin, tidak berpihak, dan menghormati HAM (Sedra (ed), 2010:47).

Dalam pengimplementasiannya, USSC didukung oleh EUPOL COPPS yang berperan meningkatkan kemampuan polisi Palestina salah satunya dengan memberikan materi pelatihan mengenai komunikasi radio. Tujuan pelatihan ini agar polisi dapat mengelola soal pertolongan pertama seperti obat-obatan (Kerkkanen, Rantanen, Sundqvist, 2008:24). Selain itu EUPOL COPPS juga memberikan pelatihan untuk polisi Palestina sebanyak 1.000 personil yang bertujuan untuk mengontrol dan menjaga keamanan wilayah dari konflik (Zanotti, 2010:24).

JIPTC melaksanakan pelatihan mengenai dasar penegakan hukum dan keamanan. Banyak pihak yang memberikan masukan terhadap kurikulum yang diberikan di JIPTC diantaranya INL, USSC, the Jordanian Public Security Directorate, dan pemerintah otonomi Palestina (Zanotti, 2010:18). Pelatihan tersebut dilakukan dalam waktu 19 minggu untuk semua anggota batalyon sepanjang 2007 hingga 2010. Materi yang disampaikan diantaranya yaitu pengoperasian senjata, pengendalian massa, pengoperasian jarak dekat, pematrolian, pengoperasian tahanan, dan pemeriksaan operasional. Materi lain berisi kursus kepemimpinan senior dan menengah. Pelatihan lainnya yaitu pelatihan lanjutan dilakukan untuk anggota batalyon terpilih (US GAO, 2010:15-17).

Dua batalion Palestinian Guard atau sebanyak 400 personil mendapatkan pelatihan di JIPTC pada Februari hingga Maret 2008. Selain itu juga terdapat NSF kedua Batalion Spesial yang mendapatkan pelatihan sebanyak 700 personil dari


(45)

Februari hingga Mei 2008. Lalu NSF ketiga dan keempat berjumlah 1.000 personil juga mendapatkan materi pelatihan. NSF ketiga dilatih pada September hingga Desember 2008. NSF keempat dilatih pada Februari hingga Juni 2009. NSF pertama mendapatkan materi pelatihan pada Desember 2009 dan NSF kelima yang berjumlah 500 personil baru mengikuti pelatihan pada awal 2010. Semua pelatihan tersebut dilakukan di JIPTC (Zanotti, 2010:16).

Pelatihan di Tepi Barat ditujukan untuk anggota pasukan keamanan nasional Palestina agar memahami persoalan kepemimpinan, HAM, media, pemeliharaan peralatan, dan pengoperasian pelayanan makanan (US GAO, 2010:17). USSC melaksanakan 24 kursus dengan tema yang berbeda untuk Pasukan keamanan palestina di Tepi Barat antara 2008 hingga 2010.

Biro Diplomasi keamanan juga menyediakan pelatihan terbatas untuk pasukan pengawal presiden melalui program anti terorisme. Pelatihan ini berfokus pada operasi taktik polisi, pengembangan kepemimpinan di level senior dan menengah, kemampuan investigasi, dan kemampuan merespon situasi krisis. Pasukan keamanan Palestina dilengkapi dengan seragam, peralatan untuk tiap batalyon, alat pelindung, tenda, kendaraan, dan perlengkapan pertolongan (US GAO, 2010:17- 18).

Pasca melaksanakan pelatihan anggota pasukan keamanan, USSC menempatkan kamp-kamp operasi di tiga daerah di Palestina diantaranya Jericho, Jenin, dan Hebron. Di wilayah Jericho ditempatkan 750 personil dengan fasilitas 145 regu berkendara dan 40 kendaraan. Selain itu tersedia juga fasilitas klinis, alat komunikasi, persediaan logistik, dan pemeliharaan hewan. Di wilayah Jenin terdapat dua barak yang mengakomodasi 576 pasukan dan satu bangunan kantor


(46)

berisi 100 pegawai. Selanjutnya, di Hebron terdapat bangunan yang dikhususkan untuk Pasukan keamanan nasional dan pasukan polisi spesial (US GAO, 2010:21).

Pusat pelatihan Nuweimah merupakan fasilitas yang diperbarui dan diperluas. Fasilitas di Nuweimah mengakomodasi sekitar 2000 pasukan dan 24 ruang kelas untuk 1500 orang. Di Jericho terdapat universitas pelatihan presidential guard yang memberikan pendidikan mengenai hukum, peraturan untuk 250 personil (US GAO, 2010:22).

Operasi pertama dilaksanakan untuk ketertiban hukum di Nablus pada November 2007. Lalu Palestinian guard ketiga yang berjumlah 400 personil juga melakukan operasi di Jenin pada Mei hingga Juni 2008 dengan nama Operations Hope and Smile. Operasi tersebut bertujuan untuk counterterrorism (Zanotti, 2010:215). Hasil dari operasi tersebut, daerah operasi bersih dari senjata api dan mobil ilegal. Selain itu kelompok bersenjata juga tidak bisa berkeliaran di jalan secara terbuka.

Pada Oktober 2008 terdapat operasi Homeland Rising di Hebron, Tepi Barat. Sebanyak 600 personel keamanan ditempatkan untuk mencegah terjadinya konflik akibat pendudukan Israel. Lalu pada Desember 2008 sebanyak 1600 personil ditempatkan untuk menangani protes warga Palestina terhadap aksi militer Israel di Gaza. Selanjutnya pada April 2009 di Qalqiya NSF berhasil menggerebek ruang bawah tanah sebuah masjid yang berisi 80 kg bahan peledak. Pada operasi tersebut sebanyak tujuh orang tersangka ditangkap dan seorang pemimpin Hamas di Qalqilya yang selama ini masuk ke dalam daftar orang yang paling dicari Israel tewas (Zanotti, 2010:23).


(47)

Pemerintah AS menyediakan bantuan dalam bentuk peralatan seperti seragam, perlengkapan lapangan (tenda, terpal, botol air minum, dan lainnya), kendaraan, perlengkapan mata-mata, obat, komputer, dan perlengkapan lainnya yang memenuhi standar keamanan. Kebutuhan perlengkapan tersebut menghabiskan dana sebanyak 72,6 juta dolar AS pada tahun 2008 (Zanotti, 2010:19)

Dalam melakukan reformasi sektor keamanan, USSC dibantu oleh EUPOL COPPS yang tidak hanya meningkatkan kemampuan dan profesionalisme sektor keamanan tapi juga menyumbangkan perlengkapan yang dibutuhkan para polisi. Program ini dilaksanakan Juni 2005 hingga Oktober 2005. Peningkatan perbaikan perlengkapan diantaranya meninggikan tiang antena di daerah Khan Yonis, Hebron, Nablus, dan Jenin; mendistribusikan 600 GP 240 handset, 50 GP 280 radio handset, dan 90 stasiun radio (Kerkkanen, Rantanen, Sundqvist, 2008:3).

Selain itu, USSC melengkapi personil Palestinian Guard dan NSF dengan peralatan militer senilai 72,6 juta dolar AS. Bantuan peralatan tersebut meliputi seragam, tenda, kendaraan, obat-obatan, dan komputer (Zanotti, 2010:19). Walaupun banyak perlengkapan militer yang diberikan sebagai bantuan keamanan untuk Palestina, semua item tersebut harus mendapatkan persetujuan terlebih dulu dari Israel (Zanotti, 2010:19).


(48)

BAB III

UNITED STATES SECURITY COORDINATOR

(USSC)

A. Sejarah Terbentuknya USSC

Menurut Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist (2008: 5) konsep polisi Palestina sudah ada sejak pendudukan wilayah Palestina pada 1967 berdasarkan kesepakatan Arab-Israel. Perjanjian Camp David pada 1978 melihat bahwa dibentuknya polisi Palestina sebagai bagian dari kesepakatan otonomi untuk Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pada 1992, Palestina dan Yordania bertemu untuk mendiskusikan persiapan pembentukan lembaga kepolisian Palestina dengan kekuatan sebesar 20.000 orang. Kepolisian Palestina dijalankan pasca Israel menarik mundur pasukannya pada tahun 1993 (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 6).

AS memberikan bantuan keamanan pertama kali pada Palestina saat pembentukan pemerintahan otonomi Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza pada 1993 (Bouris, 2011: 3). Bantuan yang diberikan AS berupa perlengkapan militer dan dana yang ditujukan untuk memperbaiki sistem keamanan di Palestina sebesar 36 juta dolar AS melalui Bank Dunia dan secara tunai sebesar 5 juta dolar AS (Sharp, 2006: 4)

Pada Mei 1994 polisi sipil bertambah besar dan penting dan masuk ke dalam struktur lembaga keamanan Palestina. Arafat juga meminta PBB untuk mengepalai pelatihan polisi Palestina di daerah pendudukan pada September 1994. Ide tersebut ditentang Israel. Untuk mengkoordinasikan bantuan dari donor multilateral maka dibentuklah sebuah badan Co-ordination Committee of International Assistance to the Palestinian Police Force (COPPS) di Kairo pada


(49)

24 Maret 1994. COPPS terdiri dari perwakilan beberapa negara seperti AS, Rusia, Uni Eropa, Norwegia, Jepang, Mesir, PLO, dan Israel. Lembaga ini menjadi cikal bakal berdirinya EUPOL COPPS (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 8).

COPPS berupaya melakukan mitigasi dan menawarkan perangkat sistem komunikasi dengan memberikan Temporary International Presence in Hebron

(TIPH) berupa 95 set radio pada 8 Agustus 1994. Pada 1997, jumlah polisi sipil sebanyak 10.500 terdiri dari 6.500 di Tepi Barat dan 4.000 di Jalur Gaza. Ada juga 350 polisi wanita. Pada tahun 1996-1997 polisi sipil memiliki 18 kantor polisi dan 25 pos polisi di Tepi Barat. Pos-pos tersebut memperkerjakan 8.000 hingga 11.000 personil dengan 1.000 perwira. Pada tahun 2000, personil meningkat sebanyak 14.000 dan 23 departemen spesial dibentuk (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 8).

Sistem pemerintahan otonomi menuntut Palestina bertanggungjawab terhadap keamanan internal teritorialnya dengan konteks kondisi keamanan Palestina yang minim fasilitas dan regulasi yang ada tidak sesuai standar (Zanotti, 2010:). Secara operasional, Polisi Palestina mengalami kekurangan peralatan standar keamanan seperti seragam, radio, kendaraan, perisai, dan topi baja. Secara teknis, polisi Palestina tidak memiliki regulasi yang baku untuk menjalankan tugas menjaga keamanan (Palm, 2010:19).

Selain itu, menurut Ball, Bartu, dan Verheul (2006:19), polisi Palestina juga tidak memiliki monopoli dan kontrol terhadap akses kekerasan. Secara hukum lembaga keamanan juga tidak memiliki undang-undang tegas yang mengatur mereka dan peradilannya lemah. Mereka tidak memiliki komunikasi


(50)

yang baik antara polisi di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza karena ada konflik domestik faksional di dalamnya antara Fatah dan Hamas.

Konflik domestik faksional yang terjadi di dalam internal melibatkan dua aktor yaitu Fatah dan Hamas. Kedua faksi ini memiliki cara yang berbeda dalam konflik menghadapi Israel. Fatah cenderung bisa untuk bernegosiasi damai sedangkan Hamas menolak untuk bernegosiasi dan cenderung menggunakan perlawanan dan pertahanan bersenjata (Cohen & White, 2009:1). Kedua faksi ini juga memiliki pemerintahan masing-masing, yakni, Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza. Terpecahnya dua faksi internal antara Fatah dan Hamas berakibat pada tidak menyatunya Palestina sebagai kekuatan utuh untuk melawan Israel (Brown, 2010:37).

Brown (2010:37-40) menjelaskan bahwa pemerintahan Tepi Barat yang dipimpin Fatah lebih diakui oleh Amerika Serikat karena masih bisa diajak untuk bekerjasama. Israel pun berharap agar Hamas bisa mendapatkan isolasi ekonomi dan diplomasi sehingga posisi Hamas tidak membahayakan Israel. Fatah di bawah Perdana Menteri Salam Fayyad memerintahkan polisi dan lembaga keamanan untuk tidak hanya menegakkan hukum lalu lintas dan ketertiban umum tapi juga mencegah adanya meluasnya pengaruh Hamas di Tepi Barat. Pencegahan terhadap pengaruh Hamas diantaranya dengan menahan aktivis Hamas, melarang lembaga non pemerintah bekerjasama dengan Hamas, dan memutuskan hubungan kerja bagi warga sipil yang mendukung Hamas.

Lebih lanjut, Brynjar Lia dalam Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist (2008: 6) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa polisi Palestina masih memiliki banyak kekurangan dalam hal struktur organisasi, garis komando, disiplin


(51)

internal, koordinasi, dan akuntabilitas mekanisme. Polisi Palestina, Preventive Security dan Civil defense saat itu berada di bawah komando langsung dari Arafat. Tambahnya, polisi Palestina melihat dirinya sebagai alat untuk mencapai kemerdekaan nasional Palestina daripada menegakkan hukum dan ketertiban (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 5-10).

Struktur organisasi yang terdapat di internal kepolisian Palestina mengalami gap dalam komando dan kontrol. Komando fungsional polisi Palestina tidak menggunakan dokumen, guidelines, dan rules. Mereka memberikan komando secara lisan. Hanya 5 persen aksi kriminal yang selesai melalui investigasi dan pengadilan (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 14). Selanjutnya, AS mengalihkan bantuan keamanan menjadi bantuan kemanusiaan untuk Palestina saat Intifada kedua terjadi pada tahun 2000 hingga 2004 yang mengakibatkan korban tewas dari Palestina dan Israel sebanyak 4000 orang (US GAO, 2010: 8). Di sisi lain, infrastruktur kepolisian mengalami kerusakan berat. Sekitar 45 bangunan polisi dan kompleks di Tepi Barat dan Jalur Gaza hancur termasuk laboratorium forensik di Gaza dan kompleks polisi di Ramallah (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 10) Peristiwa Intifada kedua membuat kondisi keamanan kedua negara tidak stabil sehingga proses negosiasi antara kedua negara menjadi terhambat. Jika negosiasi tidak terjadi, upaya menuju perdamaian Israel-Palestina akan sulit tercapai (Bouris, 2011: 3).

Di tengah intifada pada tahun 30 April 2003, pihak internasional diantaranya AS, Rusia, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau

Kuartet melakukan upaya negosiasi untuk stabilitas keamanan Israel-Palestina salah satunya melalui reformasi sektor keamanan yang disebut sebagai Road Map


(52)

Plan for Peace (Mark, 2005: 4; Sayigh, 2009: 3). Road Map Plan for Peace

merupakan strategi untuk kemerdekaan Palestina dan Perdamaian Isrel-Palestina. Untuk mencapai tujuan tersebut, Israel dan Palestina memiliki kewajiban yang harus dijalankan disebut Road Map Obligations (Zanotti, 2010: 7).

Kewajiban yang harus dipenuhi Palestina diantaranya mengakhiri aktivitas kekerasan terhadap Israel, memastikan seluruh aparat keamanan agar tidak terkoneksi dengan aktivitas teroris, dan meningkatkan kapabilitas lembaga-lembaga keamanan Palestina di bawah Kementerian Dalam Negeri (US GAO, 2010: 9). Sebagai komitmen untuk mencapai tujuan dari Road Map for Peace, AS membentuk USSC pada tahun 2005 yang dikepalai Letnan Jendral Keith Dayton (Dermer, 2010: 68).

United States Security Coordinator (USSC) merupakan lembaga yang didirikan Condolleeza Rice, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) untuk pemerintah otonomi Palestina pada tahun 2005 (Kushner dan Bedein, 2011: 2). Lembaga ini bertujuan untuk mereformasi elemen-elemen keamanan Palestina dan mengkoordinasikan bantuan keamanan dari beberapa negara donor termasuk AS (US GAO, 2010: 10).

Sebagai pemimpin USSC, Dayton memiliki latar belakang sebagai pemimpin George C. Marshall European Center for Security Studies. Ia juga pernah menjadi pemimpin operasi intelijen untuk agen pertahanan di Washington D.C. Selain itu, ia juga pernah bertugas di Iraq sebagai pemimpin the Iraqi Survey Group for Operation Iraqi Freedom (Marshallcenter.org; Abdullah, 2009: 21).

Secara umum, USSC memiliki empat program. Pertama, USSC melakukan reformasi sektor keamanan melalui pelatihan dan pemberian peralatan


(1)

77

Rodriguez, Fernando. 2011. The 1991 Madrid Peace Conference: U.S. Efforts Towards Lasting Peace in the Middle East Between Israel and its Neighbors. University of New Orleans Theses and Dissertations. Paper 1343.

Sayigh, Yezid. 2009. Fixing Broken Windows: Security Sector Reform in Palestine, Lebanon, and Yemen. Carnegie Middle East Center. Carnegie Endowment for International Peace.

Sayigh, Yezid. 2011. Policing the People, Building the State; Authoritarian Transformation in the West Bank and Gaza. Carnegie Middle East Center. Carnegie Endowment for International Peace.

Sedra, Mark (ed). 2010. The Future of Security Sector Reform. The Centre for International Governance Innovation.

Sharp, Jeremy M. 2006. U.S. Aid to the Palestinian. Congressional Research Service. Sharp, Jeremy M. 2010. U.S. Foreign Assistance to the Middle East: Historical

Background, Recent Trends, and the FY2011 Request. Congressional Research Service.

Sullivan, Patricia L, Tessman, Brock F, Xiaojun Li. 2011. U.S. Military Aid and Recipient State Cooperation. Foreign Policy Analysis.

Sullivan, Patricia. 2012. Is Military Aid An Effective Tool for U.S. Foreign Policy? Scholars Strategy Network.

Tarnoff, Curt dan Larry Nowels. 2005. Foreign Aid: An Introductory Overviwe of U.S. Programs and Policy. Congressional Research Service.

Tarnoff, Curt dan Marian Leonaardo Lawson. 2012. Foreign Aid: An Introduction to U.S. Programs and Policy. Congressional Research Service.

USAID. 2010. Interagency Security Sector Assessment Framework: Guidance for the U.S. Government. Chemonics International, Inc.

US GAO. 2010. “Palestinian Authority, U.S. assistance is Training and Equipping Security Forces, but the Program Needs to Measure Progress and Faces Logistical Constraints: Report to the Committee on Foreign Affairs and Its Subcommittee on the Middle East and South Asia, House of Representatives.” United States Government Accountability Office.

Zanotti, Jim. 2010. “U.S. Security Assistance to the Palestinian.” Congressional Research Service. Diunduh 3 Oktober 2012

(http://www.fas.org/sgp/crs/mideast/RL33476.pdf)

Zanotti, Jim. 2012. “Israel: Background and U.S. Relations.” Congressional Research Service. Diunduh 3 Oktober 2012

(http://www.fas.org/sgp/crs/mideast/RL33476.pdf)

Zanotti, Jim. 2012. “U.S. Foreign Aid to the Palestinian.” Congressional Research Service.

Zanotti, Jim, Marjorie Ann Browne. 2011. Palestinian Initiatives for 2011 at the United Nations. Washington, DC: Congressional Research Service.

________. 2010. “Palestinian Authority, U.S. assistance is Training and Equipping Security Forces, but the Program Needs to Measure Progress and Faces Logislitacl Constraints: Report to the Committee on Foreign Affairs and Its Subcommittee on the Middle East and South Asia, House of Representatives.” United States Government Accountability Office.


(2)

78

________. 2011. “Performance Evaluation of Palestinian Authority Security Forces Infrastructure contruction Projects in the West Bank”. Middle East Regional Office, Report Number MERO-I-11-03. United States Department of State and the Broadcasting Board of Governors, Office of Inspector General.

________. 2003. “Special Documents The Roadmap.” Institute for Palestine Studies. Berkeley: University of alifornia Press, Journals Divisions.

________. 2009. Security Sector Reform. U.S. Agency for International Development, U.S. Department of Defense. U.S. Department of State.

Media

AlJazeera, 25 Januari 2011. Dayton’s MissionL A Reader’s Guide.

(http://www.aljazeera.com/palestinepapers/2011/01/2011125145732219555.html) Diakses 20 Oktober 2013.

Republika Online, 20 November 2012. Antara Israel, Gaza dan Hamas.

(http://www.republika.co.id/berita/internasional/palestinaisrael/12/11/20/mdru 5t-antara-israel-gaza-dan-hamas-1) Diakses 2 Agustus 2013.

US Departement of State. United States Security Coordinator for Israel and the Palestinian Authority.

(http://www.state.gov/s/ussc/index.htm) Diakses 5 Juli 2013.

Ma’an News Agency. 2010. Lieutenant General Keith Dayton: United States Security Coordinator.

(http://maannews.net/eng/ViewDetails.aspx?ID=265173) Diakses 5 Juli 2013. USAID, 27 Maret 2013. Working in Crises and Conflict.

(http://www.usaid.gov/west-bank-and-gaza/working-crises-and-conflict) Diakses 19 Oktober 2013.


(3)

79 Lampiran

DRAFT HASIL WAWANCARA

Narasumber : DRS. M. Hamdan Basyar, M.Si

Jabatan : Peneliti Utama Bidang Politik pada Pusat Penelitian Politik (P2P) -Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Instansi : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tempat : Gedung LIPI Departemen Politik

Hari/Tanggal : Selasa, 1 Oktober 2013

HASIL TANYA JAWAB

1. Bagaimana pendapat Anda mengenai bantuan keamanan AS terhadap Palestina? Ini bagian dari dukungan AS sebagai salah satu negara yang ikut merumuskan Road Map dan berusaha berjalan walaupun Road Map tidak tuntas. Karena tujuan Road Map adanya sebuah negara Palestina tapi sampai sekarang belum jelas. Sebagai sebuah negara besar yang menginisiasi Road Map sudah selayaknya melakukan bantuan untuk pelatihan. Tapi kenyataannya Road-nya tidak semulus yang dibayangkan sehingga tidak terjadi goal yang sesuai.

2. Seberapa penting isu keamanan bagi konflik Israel-Palestina?

Harap diingat juga bahwa foreign policy AS punya kepentingan nasional terhadap Israel. Secara umum foreign policy AS di Timur Tengah adalah menjaga keamanan Israel. Bagaimanapun eksistensi Israel harus dijaga oleh AS. Karena ada hubungannya dengan Palestina, Palestina juga diberikan bantuan tapi jangan sampai membuat keamanan Israel terganggu. Jadi tetap tidak akan seimbang. Artinya bantuan yang diberikan terhadap Israel akan lebih tinggi dibandingkan Palestina. Itu tujuannya agar di dalam Palestina sendiri tidak ada teroris dan supaya di Palestina bisa menertibkan masyarakatnya jika timbul riot atau kekerasan seperti suicide bomb yang mengancam keamanan Israel. Jadi, bayangannya bantuan tidak dibuat seimbang karena akan berbahaya untuk Israel.

3. Pendapat Anda mengenai politik domestik di Palestina?

Kalau secara umum wilayah domestik Palestina terpecah di Jalur Gaza dan Tepi Barat yang secara pemerintahan juga terpecah, Gaza di bawah Hamas dan Tepi Barat di bawah Fatah. Ini bagi Palestina tidak menguntungkan secara politik, perpecahan akan melemahkan kekuatannya. Masalahnya diantara mereka belum ada kesepakatan yang


(4)

80

kuat. Mereka kadang bersepakat tapi terpecah lagi. Kepentingannya agak berbeda. Yang dianggap Israel maupun AS mewakili Palestina adalah Fatah. Hamas punya perdana menteri sendiri berdasarkan hasil pemilu 2006. Di internal politik saya kira merugikan Palestina. Karena yang dibantu adalah yang di Tepi Barat. AS tidak terlalu menganggap Hamas yang dianggap sebagai teroris.

4. Kenapa AS baru mendirikan USSC saat pemerintahan Mahmoud Abbas?

Saya kira itu proses. Sebenarnya dari 1993 prosesnya panjang. Karena kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan mereka tidak berjalan mulus. Selama belum berjalan mulus, AS mendorong terus tapi tidak berhasil. Tapi di tengah perjalanan Bush juga mendorong alternatif. Kalau saya melihat karena ada sikap dari pemimpin Israel yang maju mundur. Pada prinsipnya Israel tidak mau mengembalikan tanah berdasarkan kesepakatan tahun 1967. Makanya mereka berusaha sebisa mungkin tidak mengembalikan. Tapi desakan internasional, mereka harus mengembalikan berdasarkan keputusan tahun 1967. Tapi tidak terlalu ketat karena tidak ada sanksi. Ini makanya kasus ini maju mundur. Semacam tahapan-tahapan. Dan tahapan yang suatu saat kemudian tanah akan dikembalikan secara bertahap. Tahun 1995, tahun 2000. Setelah ada kesepakatan dilanggar lagi. Permasalahannya adalah pemukiman Yahudi di Tepi Barat yang terus dilakukan oleh Israel. Dan sebagian pemukiman itu adalah rumah-rumah mewah.

Sekarang Menlu Lieberman tinggal di Tepi Barat. Kenapa dia tinggal disana karena dia memberikan simbol bahwa tidak mau mengembalikan tanah yang sudah dirampas. Ini makanya agak sulit membuat perdamaian Israel-Palestina. AS posisinya juga maju mundur. AS ingin mendorong Israel-Palestina berdamai. Solusinya adalah dua negara, itu sudah dipilih. Tapi karena Israel tidak mau mengembalikan bagaimana bisa. Obama juga pernah bersitegang dengan Netanyahu. Obama pun tidak bisa menekan. Sebenarnya permasalahan utama dielit politik Israel yang tidak rela ada sebuah negara Palestina. Kalau kita lihat bagaimana pasukan Israel ditarik dari Gaza.

5. Apakah bantuan keamanan AS terhadap Palestina dapat berpengaruh terhadap perdamaian Israel-Palestina?

Seperti saya katakan di awal, bagaimana pun AS akan mem-back up Israel agar jangan sampai Israel menjadi hilang. Sebenarnya kalau AS konsisten juga harus menghukum Israel yang melanggar masalah tanah tapi tidak terjadi. Israel seperti anak nakal yang


(5)

81

dimanjakan terus menerus, dibiarkan, kenapa Palestina diberikan bantuan untuk keseimbangan. Tujuannya agar Palestina bisa mengurus keamanannya sendiri jangan sampai orang-orang Palestina ikut mengganggu keamanan Israel, makanya diberikan bekal dan dilatih. Tujuannya menekan kekuatan teman-temannya sendiri dari lain faksi.

6. Seperti apa sistem dan kinerja lembaga-lembaga keamanan di Palestina sehingga Road Map maupun AS fokus pada soal bantuan keamanan? Apakah Palestina tidak bisa mereformasi sektor keamanannya sendiri?

Keamanan versi AS adalah mengamankan lebih banyak kepentingan Israel. Dan secara finansial kekuatan Palestina karena puluhan tahun berperang tidak bisa mereformasi atau memperbaiki kekuatan. Makanya setelah kesepakatan kalau ada masalah domestic bisa. Saya juga tidak punya data jumlah personil dan jumlah penduduk dan wilayah. Ada beberapa pos, padahal tanah Palestina. Selama elit Israel tidak tulus berdamai dan mengembalikan tanah akan sulit. Karena dilihat dari elit yang berkuasa yang menang yang kanan dan tengah kanan partai Israel yang keras yang tanahnya tidak mau dilepas.

7. Bagaimana pendapat Anda mengenai bantuan luar negeri Iran terhadap Hamas? Ini harus dicek apakah benar Hamas mendapat bantuan dari Iran dan dapat jalur dari mana. Isunya seperti itu hanya saya tidak bisa melihat jalur ke arah sana. Kalau Hizbullah memang punya jalur ke Iran tapi kalau Hamas posisinya dekat dengan Mesir. Kalau libanon selatan, dari Iran bisa lewat suriah atau sudan. Tapi kalau ke hamas di Gaza agak sulit Iran bisa menembus jalur. Saya masih ragu apakah benar Hamas mendapat bantuan secara persenjataan dari Iran. Karena semangatnya beda dari sisi ideology. Hamas ideologi ikhwan. Kecuali lewat jalur gelap. Menerobos Irak tidak gampang.

8. Menurut Anda apakah USSC cukup efektif untuk mereformasi sector keamanan di Palestina atau efekifkah kontribusinya sebagai pendukung perdamaian Israel-Palestina?

Kalau kita lihat kondisi sekarang tidak berhasil. Tapi waktu itu sebenarnya punya tujuan yang cukup baik. Supaya masyarakat Palestina lebih. Tapi ternyata tidak karena Road Map juga tidak berjalan. Sehingga bantuan ini tidak efektif. Goal-nya supaya Palestina bisa berdiri sendiri dan terjadi perdamaian, dua negara yang hidup bertetangga. Tadinya seperti itu, karena berdamainya ga terjadi, jadi tidak selesai.


(6)

82

9. Dampak bantuan keamanan AS untuk Palestina terhadap kebijakan luar negeri AS?

Tujuannya lebih cenderung menjaga Israel tidak diserang, tapi itu tidak berhasil karena ternyata Hamas tidak bisa dikendalikan. Artinya kalau tujuannya lebih ke Israel, tidak tercapai karena masih ada gangguan terhadap keamanan Israel. Inti permasalahannya AS tidak mau berdamai. Jadi yang sudah dilakukan jadi tidak berhasil. Tujuannya supaya Israel lebih aman. Menurutnkan tingkat kekerasan terhadap Israel.

10.Kalau pengaruhnya terhadap pencitraan AS?

AS sebagai inisiator Road Map. Kita jangan terjebak terhadap sesuatu yang retorika. Karena kalau USSC membahayakan pasti tidak akan didirikan.