7
2. Mengetahui pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap tumbuhnya
permukiman kumuh di Kampung Krajan Kelurahan Mojosongo Kecamatan Jebres Kota Surakarta.
1.4. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi sarana pengembangan keilmuan bidang geografi khususnya tentang kajian permukiman kumuh.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi PEMKOT Surakarta untuk lebih memperhatikan masalah permukiman kumuh
khususnya di Kampung Krajan Kelurahan Mojosongo Kecamatan Jebres.
1.5 Telaah Pustaka dan Perbandingan Antar Penelitian
1.5.1 Telaah Pustaka
Tantangan yang paling besar yang harus dihadapi dala m bidang permukiman adalah bagaimana mengatasi permukiman masyarakat miskin.
Tuntutan pengadaan rumah sangat besar dan selalu meningkat, sedangkan lingkungan permukiman yang sudah ada dinilai kurang manusiawi. Tambahan
pula kemampuan ekonomi mereka yang te rbatas, sulit untuk mengangkat diri sendiri tanpa bantuan pihak lain.
Pemukiman kumuh dapat disebut permukiman murah, sebetulnya tidak betul-betul murah dan tidak manjangkau masyarakat lapisan bawah seperti tukang
becak, penjual bakso, kuli bangunan, pekerja di pabrik tahu dan lain -lain. Kalau kelompok tersebut ingin bertekat membangun, mereka hanya mampu
menggunakan bahan lokal seperti bambu, seng, triplek, anyaman bambu gedek Kenyataan menunjukkan bahwa bagi kebanyakan masyarakat rakyat miskin,
rumah merupakan prioritas yang paling utama perkembangan yang terjadi dalam masyarakat termasuk pengetahuan tentang rumah dan lingkungan.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Subandi Gunawan di kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo pada tahun 1987, diantaranya faktor -faktor
8
sosial ekonomi masyarakat yang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas rumah di permukiman kumuh adalah pendapatan keluarga, tingkat pendidikan,
mata pencaharian. Pendapatan keluarga berpengaruh terhadap peningkatan kualitas rumah dimana se makin besar pendapatan keluarga semakin tinggi kualitas
rumahnya. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan kondisi lingkungan rumah, hal ini menunjukkan bahwa dengan pengetahuan yang tinggi,
lingkungan rumah akan dapat ditata dan diatur sedemik ian rupa sehingga memiliki kualitas rumah yang baik. Sedangkan faktor mata pencaharian
merupakan salah satu faktor yang sangat dominan dalam suatu lingkungan permukiman rumah khususnya.
Wawasan terlalu ditekankan pada pencapain target fisik dan kualitas pengadaan rumah dengan perencanaan lingkungan yang baik, menggunakan
komponen bangunan produk teknologi, sedangkan banyak masyarakat kita yang tidak mampu menggunakan komponen-komponen bangunan tersebut. Kualitas
permukiman dan kualitas lingkungan identik dengan sosial ekonomi. Syarat- syarat yang baik sebagai berikut :
1. Terdapat ventilasi yang baik, agar pertukaran udara dapat berjalan
dengan lancar dan selalu tersedia udara yang sehat dan bersih di dalam rumah.
2. Persediaan air bersih yang cukup banyak untuk diminum dan
digunakan untuk memelihara kebersihan. 3.
Tersedia perlengkapan untuk pembuangan air hujan, air kotor, sampah, dan kotoran-kotoran lainnya.
4. Memilih tata letak ruangan yang baik, agar hubungan antar ruangan
dan penghuni lainnya dapat berjalan dengan baik. Kebutuhan rumah tempat tinggal hendaknya memiliki beberapa tingkat
kebutuhan sebagai berikut : 1.
Kebutuhan untuk bernaung dan memiliki rasa aman. 2.
Kebutuhan badaniah akan pemenuhan rasa senang dan nyaman. 3.
Kebutuhan sosial yang menimbulkan rasa bangga pada diri sendiri, dan
9
4. Kebutuhan yang bersifat estetis dan keindahan.
Lingkungan kumuh adalah sebutan yang ditujukan kepada daerah perkampungan yang tidak teratur, padat sekali dan merosot kondisi lingkungannya
Herlianto. 1985. Lingkungan kumuh merupaka n lingkungan perumahan yang mempunyai karakteristik sebagai berikut ;
? Kondisi lingkungan yang tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan,
yaitu kurang atau tidak tersedianya prasarana, fasilitas, dan utilitas lingkungan.
? Kondisi bangunan yang sangat buruk serta bahan-bahan bangunan
yang digunakan adalah yang bersifat semi permanen. ?
Kepadatan bangunan dengan kondisi bangunan yang lebih besar dan yang diijinkan dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi lebih
dari 500 jiwaha. Beberapa pengertian tentang Slum’s dan Squater antara lain ;
a. Slum’s Merupakan lingkungan hunian yang legal tetapi kondisinya tidak layak
huni atau tidak memnuhi persyaratan sebagai tempat permukiman Utomo Is Hadri, 2000.
Slum’s yaitu permukiman diatas lahan yang sah yang sudah sangat merosot kumuh baik perumahan maupun permukimannya Herlianto, 1985.
Dalam kamus sosiologi Slum’s yaitu diartikan sebagai daerah penduduk yang berstatus ekonomi rendah dengan gedung-gedung yang tidak memenuhi
syarat kesehatan. Sukamto Soerjono, 1985. Sedangkan menurut kamus ilmu-ilmu sosial Slum’s diartikan sebagai
suatu daerah yang kotor yang bangunan-bangunannya sangat tidak memenuhi syarat. Jadi daerah slum’s dapat diartikan sebagai daerah yang ditempati oleh
penduduk dengan status ekonomi rendah dan bangunan-bangunan perumahannya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai perumahan yang sehat Peading
Hugo F, 1986. b. Squater
10
Squater yaitu ruang-ruang terbuka yang ditempati oleh permukiman- permukiman liar. Pada umumnya lingkungan kumuh ini berada diatas tanah-tanah
Negara, tanah perorangan, badan hukum atau tanah yayasan yang belum dibangun oleh pemiliknya Utomo Is Hadri, 2000. Daerah squater dalam kamus sosiologi
diartikan sebagai seseorang yang bertempat tinggal secara tidak sah pada suatu tempat Sukamto Soerjono, 1985. Sedangkan dalam kamus ilmu-ilmu sosial
daerah squater diartikan sebagai seseorang yang menempati tanah-tanah tanpa ijin resmi Peading Hugo F, 1986.
Wilayah squater adalah wilayah yang dijadikan oleh lahan permukiman secara liar, gubuk-gubuk liar ini umumnya didirikan dibangun diatas lahan orang
lain atau diatas lahan yang tidak jelas kepemilikannya, atau lahan Negara, dan akan semakin meluas menempati lahan-lahan kosong, di tepi rel kerta api, dan di
pinggir-pinggir sungai, dibawah jembatan dan diatas kuburan. Disamping gubuk- gubuk darurat yang di bangun menempel di tembok orang lain atau di lorong-
lorong kota, yang umumnya dihuni oleh orang-orang pendatang dekat dengan lokasi dimana mereka bekerja dan mencari nafkah.
Salah satu pendorong timbulnya permukiman kumuh slum’s dan squatter adalah arus urbanisasi yang tidak terkendali. Kesengsaraan di daerah-daerah
pedesaan yang disertai frustated exspectations terutama di kalangan pemuda mungkin akan membawa mereka bermigrasi ke didaerah perkotaan secara besar-
besaran, ketidaksiapan Kota menampung mereka tidak tersedianya pekerjaan, hilangnya primary sosial control, dan kebingungan norma dalam way of life
akan memudahkan pendatang ini memilih cara-cara yang illegitimate means dalam kehidupan mereka di kota.
Daerah-daerah slum’s di kota merupakan tempat yang baik bagi pendatang ini untuk mempelajari nilai-nilai dan norma-norma yang mendukung cara-cara
yang tidak sah diatas cara-cara yang sah. Oleh karena itu apa yang harus dicegah adalah arus urbanisasi yang berlebihan over urbanization dan di samping itu
diusahakan mempersiapkan organized slum’s untuk menampung para pendatang Herlianto, 1985.
11
Selain itu permukiman kumuh juga disebabkan karena munculnya masalah penyediaan perumahan diperkotaan yang berkaitan erat dengan beberapa hal
berikut; 1.
Tingginya pertumbuhan penduduk. 2.
Munculnya ketimpangan akibat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa diimbangi dengan pemerataan.
3. Adanya migrasi ke perkotaan yang belum diimbangi dengan kesiapan
penyediaan lapangan kerja dan berbagai prasarana perkotaan lainnya. 4.
Keterbatasan lahan, luas lahan yang tetap sedangkan kebutuhan terus meningkat sehingga persaingan penguasaan lahan pun semakin
meningkat. 5.
Keterbatasan dana bagi sebagian besar masyarakat tidak tetap dan rendah.
Pada akhirnya kondisi-kondisi tersebut diatas akan menciptakan suatu lingkungan yang buruk yang dihuni oleh masyarakat miskin di kota yang sering
disebut sebagai permukiman kumuh, serta suatu area perumahan yang dibangun serba apa adanya sesuai dengan kemampuan ekonomi penghuninya BAPPEDA
Surakarta, 1986.
1.5.2 Perbandingan Antar Penelitian