TA : Pembuatan Film Dokumenter Potret Ludruk Irama Budaya Surabaya Dengan Pendekatan Ekspositori Berjudul "Bertahan Demi Lestarinya Budaya Bangsa".

(1)

DENGAN PENDEKATAN EKSPOSITORI BERJUDUL

“BERTAHAN DEMI LESTARINYA BUDAYA BANGSA”

TUGAS AKHIR

Nama : Benyamin Handaya Sulaiman NIM : 07.51016.0004

Program : DIV

Jurusan : Komputer Multimedia

SEKOLAH TINGGI

MANAJEMEN INFORMATIKA & TEKNIK KOMPUTER SURABAYA

2013

STIKOM


(2)

DENGAN PENDEKATAN EKSPOSITORI BERJUDUL

“BERTAHAN DEMI LESTARINYA BUDAYA BANGSA”

TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana Sains Terapan

Oleh:

Nama : Benyamin Handaya Sulaiman NIM : 07.51016.0004

Program : DIV

Jurusan : Komputer Multimedia

SEKOLAH TINGGI

MANAJEMEN INFORMATIKA & TEKNIK KOMPUTER SURABAYA

2013

STIKOM


(3)

xi

Halaman

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Batasan Masalah ... 4

1.4 Tujuan ... 4

1.5 Manfaat ... 5

BAB II LANDASAN TEORI ... 6

2.1 Film ... 6

2.2 Jenis-Jenis Film ... 7

2.3 Film Dokumenter ... 8

2.4 Sejarah Film Dokumenter ... 9

2.5 Jenis-Jenis Film Dokumenter ... 9

2.6 Tipe-Tipe (Mode) Dokumenter ... 13

2.7 Cara Pembuatan Film Dokumenter ... 15

STIKOM


(4)

xii

2.10 Masyarakat Era Digital ... 21

2.11 Kesenian Ludruk ... 22

2.12 Sejarah Ludruk ... 24

2.13 Struktur Pementasan Ludruk ... 26

2.14 Karakter Umur Ludruk ... 26

2.15 Grup Ludruk di Surabaya ... 27

BAB III METODOLOGI DAN PERANCANGAN KARYA ... 29

3.1 Metodologi ... 29

3.2 Perancangan Karya ... 38

3.3 Produksi ... 47

3.4 Pasca Produksi ... 48

3.5 Jadwal Kerja ... 51

BAB IV IMPLEMENTASI KARYA ... 52

4.1 Produksi ... 52

4.2 Pasca Produksi ... 59

BAB V PENUTUP ... 65

5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 69

LAMPIRAN ... 70

STIKOM


(5)

xiii

Halaman

Gambar 3.1 Kota Surabaya ... 32

Gambar 3.2 Pertunjukkan Ludruk Irama Budaya ... 32

Gambar 3.3 Wawancara Narasumber ... 33

Gambar 3.4 Wawancara Pimpinan dan Pemain Ludruk ... 33

Gambar 3.5 Gamelan ... 35

Gambar 3.6 Kata pembuka ... 35

Gambar 3.7 Tata rias ... 35

Gambar 3.8 Wawancara 1 ... 35

Gambar 3.9 Persiapan tampil ... 35

Gambar 3.10 Wawancara 2 ... 35

Gambar 3.11 Pertunjukan tari ... 35

Gambar 3.12 Pelatih tari 1 ... 35

Gambar 3.13 Tarian 1 ... 36

Gambar 3.14 Pelatih tari 2 ... 36

Gambar 3.15 Tarian 2 ... 36

Gambar 3.16 Pendapat penonton ... 36

Gambar 3.17 Ending ... 36

Gambar 3.18 Ukuran Shot yang digunakan ... 47

Gambar 3.19 Poster ... 49

Gambar 3.20 Cover DVD ... 49

STIKOM


(6)

xiv

Gambar 4.2 Wawancara bpk. Tri Broto Wibisono ... 53

Gambar 4.3 Wawancara bpk. Mudjiono ... 53

Gambar 4.4 Ikon Kota Surabaya ... 54

Gambar 4.5 Pemerintahan kota Surabaya ... 54

Gambar 4.6 Pengambilan gambar Long Shot ... 55

Gambar 4.7 Pengambilan gambar Medium Shot ... 55

Gambar 4.8 Pengambilan gambar Extreme Close Up ... 56

Gambar 4.9 Pengambilan gambar Two Shot ... 56

Gambar 4.10 Pengambilan gambar Knee Shot ... 57

Gambar 4.11 Pengambilan High Angle ... 57

Gambar 4.12 Pengambilan Normal Angle ... 58

Gambar 4.13 Pengambilan Low Angle ... 58

Gambar 4.14 Proses Capturing ... 60

Gambar 4.15 Proses penggabungan Stock Shoot ... 61

Gambar 4.16 Proses penambahan effectColor Corrector ... 61

Gambar 4.17 Proses sound editing ... 62

Gambar 4.18 Proses final rendering ... 63

Gambar 4.19 Poster ... 64

Gambar 4.20 Cover DVD ... 64

STIKOM


(7)

xv

Tabel 3.1 Wawancara pimpinan ludruk Irama Budaya dan pemainya ... 30

Tabel 3.2 Wawancara pengamat kesenian ... 31

Tabel 3.3 Wawancara pihak pemerintahan / pemkot Surabaya ... 31

Tabel 3.4 Jadwal kerja ... 51

STIKOM


(8)

xvi

Kartu Konsultasi Bimbingan tugas Akhir ... 70 Kuisioner ... 71

STIKOM


(9)

viii

PEMBUATAN FILM DOKUMENTER POTRET LUDRUK IRAMA BUDAYA SURABAYA

DENGAN PENDEKATAN EKSPOSITORI BERJUDUL “BERTAHAN DEMI LESTARINYA BUDAYA BANGSA”

Benyamin Handaya Sulaiman

Program Sudi DIV Komputer Multimedia STIKOM Surabaya

(Pembimbing I: Ir. Hardman Budiardjo, M.Med.Kom., MOS II: Karsam, MA., Ph.D.) Kata Kunci: Dokumenter, Kesenian Ludruk, Irama Budaya, Potret, Ekspositori

Ludruk merupakan salah satu warisan seni budaya bangsa dari rakyat asli Jawa Timur yang patut dilestarikan dan dibanggakan. Namun sejalan dengan perubahan zaman, ludruk terancam punah. Kurangnya minat masyarakat serta modernisasi diduga menjadi faktor penyebabnya. Padahal sangatlah penting bagi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa Timur untuk mengenal dan mencintai budaya daerah sendiri. Oleh karena itu, penulis mengangkat tema kesenian Ludruk ini dalam sebuah film dokumenter yang diharapkan dapat menjadi media promosi dan publikasi yang memperkenalkan seni budaya bangsa Indonesia, dalam hal ini kesenian Ludruk, kepada masyarakat.

Film dokumenter ini menggunakan jenis potret dengan pendekatan ekspositori yang menekankan pada penyampaian informasi dengan memaparkan / menjelaskan serangkaian fakta tentang kesenian Ludruk dalam bentuk narasi (audio) yang dikombinasikan dengan gambar – gambar kesenian Ludruk serta tampilan pendukung. Film ini diawali dengan perkenalan kesenian Ludruk secara umum dan dilanjutkan dengan kisah perjalanan Ludruk Irama Budaya Surabaya sebagai salah satu gambaran kesenian Ludruk Jawa Timur. Selain seniman Ludruk Irama Budaya, film juga menampilkan tokoh pemerintah kota Surabaya dan pengamat kesenian sebagai narasumber serta wawancara responden yang terlibat dalam kuisioner sebagai data pendukung.

STIKOM


(10)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski terkadang ada bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkotan, etc). Sebuah pementasan ludruk biasa dimulai dengan Tari Remo dan diselingi dengan pementasan seorang tokoh yang memerakan “Pak Sakera”, yaitu seorang tokoh jagoan Madura

Ludruk sudah sejak lama bertumbuh dan berkembang di masyarakat Jawa Timur, terutama di daerah Surabaya, Jombang, Malang dan sekitarnya. Sebagai kesenian asal Jawa Timur, keberadaan ludruk mulai ditinggalkan penggemarnya karena adanya hiburan modern dan kurangnya upaya pelestarian dari Pemerintah terkait (Bayu, 2012: http://sosbud.kompasiana.com/2012/09/24/mari-mengenal-ludruk-1-sejarah-ludruk-496128.html).

STIKOM


(11)

karena perannya yang cukup berat secara fisik, ludruk biasanya hanya dipentaskan oleh laki-laki atau waria (Brandon, 1967: 49).

Pada jaman modern saat ini maraknya klaim budaya Indonesia oleh negara lain yang disebabkan oleh banyak faktor yang mungkin terjadi. Kesenian daerah pada jaman sekarang sudah ditinggalkan dan banyak yang beralih kepada seni-seni budaya asing/luar. Kurangnya minat masyarakat dan perhatian pemerintah untuk melestarikan budaya serta regenerasi atau pengenalan budaya dan penanaman kecintaan budaya kepada generasi muda merupakan penyebab kesenian budaya yang mulai ditinggalkan dan pelestariannya sebagai kekayaan budaya bangsa menjadi terbengkalai.

Salah satu kesenian yang terdapat di kota Surabaya yaitu Kesenian Ludruk. Ludruk di Jawa Timur khususnya di Surabaya yang masih bertahan sampai saat ini adalah group Ludruk Irama Budaya Surabaya. Ludruk Irama Budaya telah didirikan tahun 1989. Ludruk Irama Budaya yang saat ini berlokasi di Taman Hiburan Rakyat Surabaya ini masih menampilkan pertunjukkan panggung yang dipopuler di kalangan orang tua dan kalangan menengah ke bawah serta masyarakat yang masih meminati pertunjukkan panggung ludruk (Azali, 2011: 15:

Berdasarkan uraian di atas pada Tugas Akhir ini akan dibuat sebuah karya film dokumenter yang merujuk kepada sebuah film yang dibuat berdasarkan kisah nyata. Film ini berjenis non fiksi bukan cerita khayalan, tetapi kisah nyata. Film dokumenter tidak diperankan oleh aktor tertentu. Sebaliknya, fokus dokumenter adalah merekam subjek-subjek orang terkait dengan peristiwa sejarah tertentu.

STIKOM


(12)

berupa narasi yang memaparkan/menjelaskan serangkaian fakta yang dikombinasikan bersamaan dengan gambar–gambar di film.

Di kalangan masyarakat saat ini banyak film-film yang beredar dan film tersebut hanya berfokus untuk memberi hiburan. Film dokumenter merupakan film yang mengangkat sebuah cerita/sejarah nonfiksi yang dikemas menjadi sebuah film.

Tema yang diangkat adalah kesenian yang mendokumentasikan tentang kesenian Ludruk Jawa Timur khususnya Ludruk Irama Budaya Surabaya, karena pada saat ini Ludruk mengalami kepunahan atau kurang dilestarikan. Dengan media film dokumenter ini, diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menonton dan melestarikan kesenian Ludruk.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana membuat film dokumenter yang menyajikan dan memperkenalkan pertunjukkan Ludruk sebagai seni budaya asli masyarakat Jawa Timur?

2. Bagaimana membuat film dokumenter yang berisi pesan moral untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dalam melestarikan seni budaya daerah, dengan mengangkat kisah grup Ludruk Irama Budaya di Taman Hiburan Rakyat (THR) yang masih bertahan ditengah merosotnya peminat Ludruk?

STIKOM


(13)

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan rumusan di atas, perlu dibuat batasan dalam topik yang akan dibahas dalam Tugas Akhir ini. Batasan permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Film dokumenter berisi pengenalan kesenian Ludruk secara umum, meliputi sejarah, struktur pementasan, minat masyarakat serta serta persiapan sebelum pertunjukkan.

2. Kesenian Ludruk Jawa Timur yang diangkat dan didokumentasikan adalah Ludruk Irama Budaya yang berlokasi di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya yang sampai saat ini tetap bertahan di tengah merosotnya jumlah peminat Ludruk.

3. Informasi pendukung diperoleh dari seniman Ludruk Irama Budaya, pekerja, pengamat seni, pihak pemerintah kota Surabaya serta responden yang terlibat dalam kuisioner sebagai data pelengkap.

1.4 Tujuan

Pembuatan film dokumenter ini dirancang untuk mencapai beberapa tujuan: 1. Menghasilkan film dokumenter yang menyajikan dan memperkenalkan

pertunjukkan Ludruk sebagai seni budaya asli masyarakat Jawa Timur.

2. Menghasilkan film dokumenter yang berisi pesan moral untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dalam melestarikan seni budaya daerah, dengan mengangkat kisah grup Ludruk Irama Budaya di Taman Hiburan Rakyat (THR) yang masih bertahan ditengah merosotnya peminat Ludruk.

STIKOM


(14)

Manfaat yang bisa diperoleh dari pembuatan film dokumenter ini, adalah sebagai berikut:

1. Sebagai sarana pelatihan dan praktek ilmu bagi penulis dalam mengembangkan pengetahuan.

2. Film dokumenter yang dibuat diharapkan dapat menjadi sarana publikasi untuk memperkenalkan dan meningkatkan minat masyarakat dalam melestarikan kesenian budaya daerah dalam hal ini, Ludruk Irama Budaya THR Surabaya.

STIKOM


(15)

6 2.1 Film

Menurut Marcel Danesi, (2010: 134) film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Sedangkan menurut Himawan Pratista, (2008: 1) sebuah film terbentuk dari dua unsur, yaitu unsur naratif dan unnsur sinematik.

Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Setiap film cerita tidak mungkin lepas dari unsur naratif dan setiap cerita pasti memiliki unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu, serta lainnya-lainnya. Seluruh elemen tersebut membentuk unsur naratif secara keseluruhan. Aspek kausalitas bersama unsur ruang dan waktu merupakan elemen-elemen pokok pembentuk suatu narasi.

Michael Rabiger menggambarkan hal yang serupa tentang film. Setiap film bersifat menarik dan menghibur, serta membuat para audiens berpikir. Setiap hasil karya yang ada bersifat unik dan menarik sehingga ada banyak cara yang dapat digunakan dalam suatu film dokumenter untuk menyampaikan ide-ide tentang dunia nyata (Rabiger, 2009:8).

Film dokumenter dapat menjadi suatu cara untuk menyampaikan warisan budaya, eksplorasi terhadap berbagai aspek dalam kehidupan nyata dan menyajikannya dalam suatu rangkaian narasi visual yang menarik dan hidup.

STIKOM


(16)

Sebuah dokumenter dapat mendorong pengkisahan suatu rangkaian peristiwa sejarah, bahkan menyatakan suatu kenyataan yang belum diceritakan secara luas.

Unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah film. Unsur sinematik terbagi menjadi empat elemen pokok, yaitu: mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara. Mise-en-scene adalah segala hal yang berada di depan kamera. Mise-en-scene memiliki empat elemen pokok yakni, setting atau latar, tata cahaya, kostum dan make-up, serta acting dan pergerakan pemain. Sinematografi adalah perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan kamera dengan obyek yang diambil. Editing adalah transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya. Sedangkan suara adalah segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran (Pratista, 2008: 1).

2.2 Jenis-Jenis Film

Menurut Danesi (2010: 134), film memiliki tiga kategori utama, yaitu: film fitur, film animasi, dan dokumentasi. Film fitur merupakan karya fiksi yang strukturnya selalu berupa narasi. Film animasi adalah teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Film dokumentasi merupakan karya film nonfiksi yang menggambarkan situasi kehidupan nyata yang terjadi di masyarakat dan setiap individu di dalamya menggambarkan perasaannya dan pengalaman dalam situasi yang apa adanya, tanpa persiapan, dan langsung pada kamera atau pewawancara.

Pembagian film secara umum menurut Prastisa (2008: 4), ada tiga jenis film, yakni: dokumenter, fiksi, dan eksperimental. Film fiksi memiliki struktur

STIKOM


(17)

naratif (cerita) yang jelas sementara film dokumenter dan eksperimental tidak memiliki struktur naratif.

Secara konsep, film dokumenter memiliki konsep realism (nyata) yaitu sebuah konsep yang berlawanan dengan film eksperimental yang memiliki konsep

formalism (abstrak). Film fiksi juga dapat dipengaruhi oleh film dokumenter atau film eksperimental baik secara naratif maupun sinematik (Prastisa, 2008: 4).

2.3 Film Dokumenter

Menurut John Grierson,

kreatif terhadap kejadian-kejadian aktual yang ada (the creative treatment of actuality).

Himawan Prastisa menjelaskan bahwa film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian, namun merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Tidak seperti film fiksi, film dokumenter tidak memiliki plot namun memiliki struktur yang umumnya didasarkan oleh tema atau argumen dari sineasnya. Struktur bertutur film dokumenter umumnya sederhana dengan tujuan agar memudahkan penonton untuk memahami dan mempercayai fakta-fakta yang disajikan. Film dokumenter dapat digunakan untuk berbagai macam maksud dan tujuan seperti: informasi atau berita, biografi, pengetahuan, pendidikan, sosial, ekonomi, politik (propaganda), dan lain sebagainya (Prastisa, 2008: 4).

Dalam menyajikan faktanya, film dokumenter dapat menggunakan beberapa metode. Film dokumenter dapat merekan langsung pada saat peristiwa tersebut benar-benar terjadi. Produksi film dokumenter jenis ini dapat dibuat dalam waktu

STIKOM


(18)

yang singkat, hingga berbulan-bulan, serta bertahun-tahun lamanya. Film dokumenter memiliki beberapa karakter teknis yang khusus yang tujuan utamanya untuk mendapatkan kemudahan, kecepatan, fleksibilitas, efektifitas, serta otentitas peristiwa yang akan direkam. Umumnya film dokumenter memiliki bentuk sederhana dan jarang sekali menggunakan efek visual (Pratista, 2008: 5).

2.4 Sejarah Film Dokumenter

Film dokumenter, tidak seperti halnya film fiksi (cerita), merupakan sebuah rekaman peristiwa yang diambil dari kejadian yang nyata atau sungguh-sungguh terjadi. Definisi “dokumenter” sendiri selalu berubah sejalan dengan perkembangan film dokumenter dari masa ke masa. Sejak era film bisu, film dokumenter berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi semakin kompleks dengan jenis dan fungsi yang semakin bervariasi. Inovasi teknologi kamera dan suara memiliki peran penting bagi perkembangan film dokumenter. Sejak awalnya, film dokumenter hanya mengacu pada produksi yang menggunakan format film (seluloid) namun selanjutnya berkembang hingga kini menggunakan

format video (digital)

2.5 Jenis - Jenis Film Dokumenter

Genre berarti jenis atau ragam, merupakan istilah yang berasal dari bahasa Perancis. Kategorisasi ini terjadi dalam bidang seni-budaya seperti musik, film serta sastra. Genre dibentuk oleh konvensi yang berubah dari waktu ke waktu. Dalam kenyataannya, setiap genre berfluktuasi dalam popularitasnya dan akan

STIKOM


(19)

selalu terikat erat pada faktor-faktor budaya. Gerzon R. Ayawaila, dalam bukunya yang berjudul Dari Ide Sampai Produksi, membagi genre film dokumenter menjadi dua belas jenis

1. Laporan perjalanan. Jenis ini awalnya adalah dokumentasi antropologi dari para ahli etnolog atau etnografi. Namun dalam perkembangannya bisa membahas banyak hal dari yang paling penting hingga yang remeh-temeh, sesuai dengan pesan dan gaya yang dibuat. Istilah lain yang sering digunakan untuk jenis dokumenter ini adalah travelogue, travel film, travel documentary dan adventures film.

2. Sejarah. Dalam film dokumenter, genre sejarah menjadi salah satu yang sangat kental dengan aspek referential meaning (makna yang sangat bergantung pada referensi peristiwanya) sebab keakuratan data sangat dijaga dan hampir tidak boleh ada yang salah baik pemaparan datanya maupun penafsirannya. Pemakaian dokumenter sejarah ini tidak diketahui secara akurat sejak kapan digunakan, namun pada tahun 1930-an Rezim Adolf Hitler telah menyisipkan unsur sejarah ke dalam film-filmnya yang memang lebih banyak bertipe dokumenter. Pada masa sekarang, film sejarah sudah banyak diproduksi karena terutama karena kebutuhan masyarakat akan pengetahuan dari masa lalu. Tingkat pekerjaan masyarakat yang tinggi sangat membatasi mereka untuk mendalami pengetahuan tentang sejarah, hal inilah yang ditangkap oleh stasiun televisi untuk memproduksi film-film sejarah.

3. Potret/Biografi. Jenis ini lebih berkaitan dengan sosok seseorang. Sosok yang diangkat menjadi tema utama biasanya seseorang yang dikenal luas di dunia atau masyarakat tertentu atau seseorang yang biasa namun memiliki

STIKOM


(20)

kehebatan, keunikan ataupun aspek lain yang menarik. Ada beberapa istilah yang merujuk kepada hal yang sama untuk menggolongkannya, antara lain: a. Potret, yaitu film dokumenter yang mengupas aspek human interest dari

seseorang. Plot yang diambil biasanya adalah hanya peristiwa–peristiwa yang dianggap penting dan krusial dari orang tersebut. Isinya bisa berupa sanjungan, simpati, krtitik pedas atau bahkan pemikiran sang tokoh. b. Biografi, yaitu film yang mengupas secara kronologis dari awal tokoh

dilahirkan hingga saat tertentu (masa sekarang, saat meninggal atau saat kesuksesan sang tokoh) yang diinginkan oleh pembuat filmnya.

c. Profil, yaitu sebuah sub-genre yang memiliki banyak kesamaan dengan dua jenis film di atas namun memiliki perbedaan terutama karena adanya unsur pariwara (iklan/promosi) dari tokoh tersebut. Pembagian sequence -nya hampir tidak pernah membahas secara kronologis dan walaupun misalnya diceritakan tentang kelahiran dan tempat ia berkiprah, biasanya tidak pernah mendalam atau terkadang hanya untuk awalan saja. Profil umumnya lebih banyak membahas aspek-aspek ‘positif’ tokoh seperti keberhasilan ataupun kebaikan yang dilakukan.

4. Nostalgia, yaitu jenis film yang cukup dekat dengan jenis sejarah, namun biasanya banyak mengetengahkan kilas balik atau napak tilas dari kejadian-kejadian yang dialami seseorang atau suatu kelompok.

5. Rekonstruksi, yaitu jenis dokumenter yang mencoba memberi gambaran ulang terhadap peristiwa yang terjadi secara utuh. Biasanya ada kesulitan tersendiri dalam mempresentasikan suatu peristiwa kepada penonton sehingga harus dibantu rekonstruksi peristiwanya. Perisitiwa yang

STIKOM


(21)

memungkinkan untuk direkonstruksi dalam film-film jenis ini adalah peristiwa kriminal (pembunuhan atau perampokan), bencana (jatuhnya pesawat dan tabrakan kendaraan), dan lain sebagainya. Dalam membuat rekonstruksi, bisa dilakukan dengan shoot live action atau bisa juga dibantu dengan animasi.

6. Investigasi, yaitu jenis dokumenter yang merupakan kepanjangan dari investigasi jurnalistik. Biasanya aspek visual yang tetap ditonjolkan. Peristiwa yang diangkat merupakan peristiwa yang ingin diketahui lebih mendalam, baik diketahui oleh publik ataupun tidak. Misalnya: korupsi dalam penanganan bencana, jaringan kartel atau mafia di sebuah negara, tabir dibalik sebuah peristiwa pembunuhan, ketenaran instan sebuah band dan sebagainya. Peristiwa seperti itu ada yang sudah terpublikasikan dan ada pula yang belum, namun seperti apa persisnya bisa jadi tidak banyak orang yang mengetahui. Terkadang, dokumenter seperti ini membutuhkan rekonstruksi untuk membantu memperjelas proses terjadinya peristiwa. Bahkan, dalam beberapa film aspek rekonstruksi digunakan untuk menggambarkan dugaan-dugaan para subjek di dalamnya.

7. Perbandingan dan Kontradiksi, yaitu sebuah dokumenter yang mengetengahkan sebuah perbandingan, bisa dari seseorang atau sesuatu. 8. Ilmu Pengetahuan, yaitu genre film dokumenter yang menekankan pada

aspek pendidikan dan pengetahuan.

9. Buku Harian/Diary. Seperti halnya sebuah buku harian, maka film ber-genre ini juga mengacu pada catatan perjalanan kehidupan seseorang yang diceritakan kepada orang lain.

STIKOM


(22)

10. Musik, merupakan salah satu genre musik dokumenter yang sangat banyak diproduksi. Salah satu awalnya muncul ketika Donn Alan Pannebaker membuat film-film yang sebenarnya hanya mendokumentasikan pertunjukkan musik.

11. Association Picture Story, yaitu jenis dokumenter yang dipengaruhi oleh film eksperimental. Sesuai dengan namanya, film ini mengandalkan gambar– gambar yang tidak berhubungan namun ketika disatukan dengan editing, maka makna yang muncul dapat ditangkap penonton melalui asosiasi yang terbentuk di benak mereka.

12. Dokudrama, yaitu salah satu dari jenis dokumenter yang merupakan penafsiran ulang terhadap kejadian nyata, bahkan selain peristiwanya, hampir seluruh aspek filmnya (tokoh, ruang dan waktu) cenderung untuk direkonstruksi. Ruang (tempat) akan dicari yang mirip dengan tempat aslinya bahkan kalau memungkinkan dibangun lagi hanya untuk keperluan film tersebut. Begitu pula dengan tokoh, pastinya akan dimainkan oleh aktor yang sebisa mungkin dibuat mirip dengan tokoh aslinya.

2.6 Tipe - Tipe (Mode) Dokumenter

Tipe film lebih cenderung mengelompok dari pendekatan wujud yang terlihat secara kasat mata serta dapat dirasakan dampaknya oleh penonton, sehingga lebih dekat dengan gaya film seperti unsur mise-en-scene, sinematografi, editing dan suara. Menurut Bill Nichols

STIKOM


(23)

1. Tipe Expository. Tipe ini berupa narasi (voice over) yang memaparkan/menjelaskan serangkaian fakta yang dikombinasikan bersamaan dengan gambar-gambar di film. Kekuatan narasi yaitu menyampaikan informasi abstrak yang tidak mungkin digambarkan oleh shot serta dapat memperjelas peristiwa atau action tokoh yang terekam kamera dan kurang dipahami. Penekanan pada jenis ini adalah penyampaian informasi.

2. Tipe Observational. Film dokumenter observational merupakan film yang filmmaker-nya menolak untuk mengintervensi objek dan peristiwanya. Mereka berusaha untuk netral dan tidak menghakimi subjek atau peristiwanya. Tipe ini juga menolak menggunakan narasi atau komentar dari luar ruang cerita. Penekanannya adalah untuk memaparkan potongan kehidupan manusia sceara akurat atau mempertunjukkan gambaran kehidupan manusia secara langsung.

3. Tipe Interactive.

Tipe dokumenter ini menjadi kebalikan dari dokumenter observational, pembuat filmnya menunjukkan diri secara mencolok di layar dan melibatkan diri pada peristiwa serta berinteraksi dengan subjeknya. Aspek utama dari dokumenter interactive adalah wawancara, terutama dengan subjek-subjeknya sehingga bisa didapatkan komentar-komentar dan respon langsung dari narasumbernya (subjek film).

4. Tipe Reflexive.

Tipe ini lebih memfokuskan pada bagaimana film itu dibuat artinya penonton dibuat menjadi sadar akan adanya unsur–unsur film dan proses pembuatan

STIKOM


(24)

film tersebut. Tujuannya untuk membuka ‘kebenaran’ lebih lebar kepada penontonnya.

5. Tipe Performative.

Tipe film dokumenter ini pada satu sisi justru mengalihkan perhatian penonton dari ‘dunia’ yang tercipta dalam film. Sedangkan sisi yang lain justru menarik perhatian penonton pada aspek ekspresi dari film itu sendiri. Tujuannya untuk merepresentasikan ‘dunia’ dalam film secara tidak langsung. Aspek penciptaan tersebut bertujuan untuk menggambarkan subjek atau peristiwanya secara lebih subjektif, lebih ekspresif, lebih stylistik, lebih mendalam serta lebih kuat menampilkan penggambarannya.

6. Tipe Poetic.

Film dokumenter tipe ini cenderung memiliki interpretasi subjektif terhadap subjek-subjeknya. Pendekatan dari tipe ini mengabaikan kandungan penceritaan tradisional yang cenderung menggunakan karakter tunggal (individual characters) dan peristiwa yang harus dikembangkan.

2.7 Cara Pembuatan Film Dokumenter

Dokumenter adalah suatu bentuk penyajian yang kreatif dari sesuatu yang bersifat factual. Ketika seorang penulis cerita berusaha untuk menyajikan potongan-potongan peristiwa realita dalam suatu narasi yang dilengkapi dengan elemen-elemen nonfiksi, maka dapat dikatakan bahwa penulis cerita tersebut telah menyusun sebuah dokumenter. Michael Rabiger (2009:12-14), seorang pakar dalam dokumenter modern mengemukakan bahwa agar seorang penulis cerita

STIKOM


(25)

dapat menyajikan sebuah dokumenter dengan baik, ada empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Cerita terorganisir dengan suatu makna yang jelas.

Dalam setiap cerita yang menarik, baik fiksi maupun dokumenter, memiliki karakter-karakter yang berupaya untuk mencapai sesuatu dan melewati hambatan yang muncul dalam kondisi-kondisi yang dihadapinya. Cara para tokoh melakukannya dan mencapai tujuan mereka merupakan daya dramatis yang membuat para audiens terpukau.

2. Setiap tokoh dalam cerita dokumenter tersebut memiliki tujuan atau sasaran tertentu.

Karya dokumenter yang sukses mempunyai unsur karakter yang jelas, narasi yang mempunyai penekanan, dan sesuatu yang menjelaskan kondisi manusia/tokoh dalam dokumenter tersebut. Setiap tokoh berusaha untuk mencapai dan menyelesaikan sesuatu. Elemen-elemen serupa tersebut seringkali muncul dalam kisah-kisah narasi klasik seperti dongeng, mitos, dan legenda. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karya dokumenter merupakan perkembangan kisah mulut-ke-mulut.

3. Terdapat suatu kisah yang mendorong audiens untuk melakukan suatu tindakan.

Segala bentuk narasi adalah penyambung ide, yang tujuan utamanya adalah mempersuasi audiens. Sebuah narasi mampu menelusuri rangkaian sebab dan akibat dan membantu para audiens untuk menangkap hal-hal yang menjadi

underlying focus dalam kehidupan manusia. Cerita-cerita sanggup untuk memperingatkan adanya bahaya, sifat alami manusia yang perlu diwaspadai,

STIKOM


(26)

mendorong manusia untuk hidup menurut idealisme tertentu, dan berbagai dorongan lainnya. Ketika seorang pencerita yang ulung sanggup menuturkan suatu kisah secara menarik, audiens akan terbawa oleh pesan yang disampaikan.

4. Bersifat kritis secara sosial

Seorang pembuat film dapat menyatakan bahwa suatu karya bersifat dokumenter bila karya tersebut:

a. Mampu menunjukkan serangkaian nilai-nilai (values) humanis. Hal ini disebabkan karena karya dokumenter berusaha untuk menarik audiens dengan menampilkan nilai-nilai yang dipegang oleh seorang tokoh, pilihan-pilihan yang dibuat tokoh tersebutdan konsekuensi yang muncul dari alternatif pilihan tersebut. Fokus sebuah film dokumenter secara eksplisit menggerakkan audiens dari sesuatu yang bersifat factual pada ranah moral dan etis.

b. Mampu membangkitkan suatu kesadaran (awareness) dalam diri audiens. Karya-karya dokumenter yang sukses mampu menunjukkan pada audiens suatu dunia dan pengetahuan yang baru, sesuatu yang familier dengan cara pandang asing, dan menaikkan tingkat kesadaran audiens.

c. Mampu menyampaikan kritik-kritik social. Banyak karya nonfiksi menyajikan serangkaian informasi tanpa mempertanyakan nilai manusiawi yang dimuat dalamnya. Film-film tersebut tidak mempunyai karakter-karakter yang merefleksikan suatu karya dokumenter sesungguhnya. Misalkan sebuah film berusaha untuk menyajikan proses manufaktur bahan baja dan besi. Film tersebut akan tergolong sebagai

STIKOM


(27)

film industrial dengan sangat baik. Namun, hanya sebuah film yang menampilkan pengaruh proses manufaktur tersebut terhadap para pekerjanya dan membuat para audiens menarik suatu kesimpulan social yang kritis, baru akan dapat disebut sebagai karya dokumenter.

2.8 Sinematografi

Sinematografi mencakup perlakuan sineas terhadap kamera serta stok filmnya. Seorang sineas tidak hanya sekedar merekam sebuah adegan semata namun juga harus mengontrol dan mengatur bagaimana adegan tersebut diambil, seperti jarak, ketinggian, sudut, lama pengambilan, dan sebagainya (Pratista, 2008: 89).

Unsur sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek, yakni: kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Kamera dan film mencakup teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok filmnya, seperti warna, penggunaan lensa, kecepatan gerak gambar, dan sebagainya. Framing

adalah hubungan kamera dengan obyek yang akan diambil, seperti batasan wilayah gambar atau frame, jarak, ketinggian, pergerakan kamera, dan seterusnya, sementara durasi gambar mencakup lamanya sebuah obyek diambil gambarnya oleh kamera (Pratista, 2008: 89).

2.9 Editing

Ketika proses pengambilan gambar telah selesai, maka produksi film memasuki tahap editing. Dalam tahap ini shot-shot yang telah diambil dipilih, diolah, dan dirangkai hingga menjadi satu rangkaian kesatuan yang utuh. Aspek

STIKOM


(28)

editing bersama pergerakan kamera merupakan satu-satunya unsur sinematik yang murni dimiliki oleh seni film. Sejak awal perkembangan sinema, para sineas telah menyadari betapa kuatnya pengaruh teknik editing untuk memanupulasi ruang dan waktu (Pratista, 2008: 123).

Definisi editing pada tahap produksi adalah proses pemilihan serta penyambungan gambar-gambar yang telah diambil. Sementara definisi editing setelah filmnya jadi (pasca produksi) adalah teknik-teknik yang digunakan untuk menghubungkan tiap shot-nya. Pembahasan buku ini seluruhnya mengacu pada definisi editing pasca produksi. Adapun sineas memiliki wilayah kontrol yang luas untuk menghubungkan shot-shot dalam film-film mereka, baik secara grafis, ritmis, spasial, dan temporal. Sineas juga dapat memilih bentuk transisi sesuai tuntutan naratif dan estetik yang ia inginkan. Berdasarkan aspek temporal, editing dibagi menjadi dua jenis, yakni editing kontinu dan editing diskontinu. Editing kontinu adalah perpindahan shot langsung tanpa terjadi lompatan waktu. Sebaliknya editing diskontinu adalah perpindahan shot dengan terjadi lompatan waktu. Sebaliknya editing diskontinu adalah perpindahan shot dengan terjadi lompatan waktu (Pratista, 2008: 123).

1. Bentuk Editing

Transisi shot dalam film umumnya dilakukan dalam empat bentuk, yakni, cut,

fade-in/out, dissolve, serta wipe. Bentuk yang paling umum adalah cut yakni, transisi shot secara langsung. Sementara wipe, dissolve, dan fades merupakan transisi shot secara bertahap. Cut dapat digunakan untuk editing kontinu dan

diskontinu. Sementara wipe, dissolve, dan fades umumnya digunakan untuk

STIKOM


(29)

editing diskontinu. Beberapa variasi bentuk lain juga kadang muncul namun sangat jarang digunakan.

2. Aspek Editing

Teknik editing memungkinkan para sineas untuk memilih atau mengontrol empat wilayah dasar, yakni:

a. Kontinuitas Grafik

Sineas dalm melakukan perubahan shot dapat melakukannya berdasarkan kontinuitas grafik (kesamaan gambar). Kontinuitas grafik dapat dibentuk oleh unsur mise-en-scene dan sinematografi dengan menggunakan aspek bentuk, warna, komposisi, pergerakan, set, kostum, tata cahaya, dan sebagainya. Kontinuitas grafik antar shot tidak disadari merupakan hal yang umum digunakan dalam film terutama pada editing kontinu.

b. Aspek Ritmik

Sineas mampu mengontrol panjang pendeknya (durasi) sebuah shot. Durasi shot sangat behubungan dengan durasi shot sebelum dan setelahnya sehingga seorang sineas mampu mengontrol ritme editing sesuai tuntutan naratif serta estetik. Sineas dapat mengatur ritme editingnya melalui durasi shot yang sama, semakin pendek, atau semakin panjang. Semakin pendek durasi shot-nya akan menghasilkan tempo aksi yang cepat. Sebaliknya semakin panjang durasi shot-nya akan menghasilkan tempo aksi yang lambat. Adegan-adegan aksi umumnya menggunakan tempo editing yang cepat dengan durasi shot hanya beberapa detik bahkan kurang. Dalam mengontrol ritme editing juga

STIKOM


(30)

dapat bergantung pada karakter dalam mise-en-scene, posisi dan pergerakan kamera, serta ritme suara (music dan lagu).

c. Aspek Spasial

Editing juga memungkinkan bagi sineas untuk memanipulasi ruang dan waktu. Efek ini memungkinkan tiap shot dapat diambil secara terpisah, bahkan di lokasi dan waktu yang berbeda tanpa menganggu kontinuitas naratif.

d. Aspek Temporal

Teknik editing mampu mempengaruhi naratif dalam memanipulasi waktu. Sebuah shot berikutnya secara temporal dapat berupa waktu yang tak terputus (editing kontinu) dan dapat pula terjadi lompatan waktu (editing diskontinu).

2.10 Masyarakat Era Digital

Seiring dengan perkembangan teknologi serta modernisasi yang membawa dampak terhadap perubahan perilaku masyarakat dalam budaya bangsa indonesia. Diantara Perubahan yang paling sering terjadi oleh Masuknya budaya barat ialah mnimbulkan perubahan sosial budaya.

Perubahan sosial budaya meliputi perubahan fungsi kebudayaan dan perilaku manusia dalam masyarakat dari suatu keadaan tertentu ke keadaan lain. Perubahan yang terjadi tersebut meliputi perubahan sosial dan budaya, terjadi di masyarakat, serta menghasilkan suatu keadaan baru bagi manusia (http://muaramasad.blogspot.com/2011/04/perubahan-perilaku-masyrakat-di-era. html).

STIKOM


(31)

Perubahan sosial budaya dapat dipengaruhi oleh faktor modernisasi dan globalisasi. Modernisasi adalah perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern seperti perubahan cara berpikir masyarakat menjadi cara berpikir yang ilmiah.

Globalisasi adalah proses pencampuran nilai-nilai yang beraneka ragam dari berbagai negara menjadi sebuah masyarakat dunia seperti pertukaran informasi dari suatu negara ke negara lain (http://id.shvoong.com/social-sciences/economics /2261193-pengertian-globalisasi-modernisasi-dampak-globalisasi/).

2.11 Kesenian Ludruk

Ludruk menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://www.kbbi.web.id/) diartikan sebagai kesenian rakyat Jawa Timur berbentuk sandiwara yang dipertontonkan dng menari dan menyanyi.

Ludruk merupakan seni pertunjukan (drama) tradisional khas Jawa Timur yang mengambil cerita kehidupan rakyat sehari-hari seperti cerita perjuangan dan cerita-cerita lainnya. Pertunjukan ludruk biasanya diselingi dengan lawakan dan diiringi musik gamelan. Ludruk tersebar di Surabaya dan Jawa Timur, mulai dari Banyuwangi di bagian paling timur, dan paling barat di Kediri. Pulau Madura juga memiliki pertunjukan yang disebut ludruk, meskipun menurut Peacock, ludruk Madura berbeda dengan ludruk Jawa. Sementara dulu, pusat pertunjukan ludruk ada di Surabaya.

STIKOM


(32)

Peacock menyampaikan pendapatnya mengenai ludruk sebagai salah satu seni budaya khas Surabaya melalui pernyataan berikut:

“Surabaya memiliki rombongan-rombongan dan teater-teater ludruk yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan kota lainnya. Identitas ludruk dengan kota Surabaya ditunjukkan dengan sering dikenakan logo kota Surabaya, yaitu ikan hiu sura dan buaya, di pakaian para penari ludruk, dan di bagian atas panggung teater ludruk yang terbaru” (Peacock, 2005: 30).

Ludruk merupakan salah satu kesenian Jawa Timur-an yang cukup terkenal, yakni seni panggung yang umumnya seluruh pemainnya adalah laki-laki. Saat ini kelompok ludruk tradisional dapat dijumpai di daerah Surabaya, Mojokerto, dan Jombang; meski keberadaannya semakin dikalahkan dengan modernisasi.

Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski terkadang ada bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkotan, etc). Sebuah pementasan ludruk biasa dimulai dengan Tari Remo dan diselingi dengan pementasan seorang tokoh yang memerakan “Pak Sakera”, yaitu seorang tokoh jagoan Madura

STIKOM


(33)

2.12 Sejarah Ludruk

Ludruk sudah sejak lama bertumbuh dan berkembang di masyarakat Jawa Timur, terutama di daerah Surabaya, Jombang, Malang dan sekitarnya. Sebagai kesenian asal Jawa Timur, keberadaan ludruk mulai ditinggalkan penggemarnya karena adanya hiburan modern dan kurangnya upaya pelestarian dari Pemerintah terkait (Bayu, 2012 : http://sosbud.kompasiana.com/2012/09/24/mari-mengenal-ludruk-1-sejarah-ludruk-496128.html).

Sejarah ludruk menurut Peacock (2005: 28) dijelaskan sebagai berikut:

“Beberapa orang yang mengatakan bahwa pertunjukan-pertunjukan yang disebut sebagai ludruk bondan dan ludruk lerok telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit abad ke-13 di Jawa. Namun secara tertulis, catatan paling awal mengenai saksi mata pertama yang menonton pertunjukan yang disebut ludruk baru ditemukan pada tahun 1822. Dalam pertunjukan tersebut, ludruk dilukiskan dibintangi oleh dua orang, yakni satu pemain dagelan yang bercerita-cerita lucu, dan seorang waria. Hingga sekarang, pemain dagelan dan waria sampai sekarang menjadi elemen dominan dalam pertunjukan ludruk”

Pada tahun 1994, grup ludruk keliling tinggal 14 group saja. Mereka melakukan pertunjukan di desa-desa yang belum mempunyai listrik dengan tarif Rp 350. Group ini didukung oleh 50-60 orang pemain. Penghasilan mereka sangat minim yaitu: Rp 1.500 s/d 2.500,- per malam. Bila pertunjukan sepi, terpaksa mengambil uang kas untuk bisa makan di desa (Azali, 2011: 15).

Sewaktu James L. Peacok (1963-1964) mengadakan penelitian ludruk di Surabaya, ia mencatat bahwa saat itu terdapat sebanyak 594 grup ludruk. Menurut Depdikbud propinsi jatim, sesudah tahun 1980, jumlah tersebut meningkat menjadi 789 group (84/85), 771 group (85/86), 621 group (86/87) dan 525 (87/88). Suwito H.S., seniman ludruk asal Malang mengatakan sebenarnya tidak

STIKOM


(34)

lebih dari 500 grup karena banyak anggota grup yang memiliki keanggotaan sampai lima group (Azali, 2011: 15).

Hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus Javanansch Nederduitssch Woordenboek karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya

Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya W.J.S. Poerwadarminta, BPE Sastra (1930). Sedangkan menurut S.Wojowasito (1984), kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat Jawa Timur sejak tahun 760 Masehi di masa kerajaan Kanyuruhan Malan dengan rajanya Gjayana, seorang seniman tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut (Azali, 2011: 15).

Ludruk tidak terbentuk begitu saja, tetapi mengalami metamorfosa yang cukup panjang. Tidak ada data yang memadai untuk merekonstruksi waktu sejarah yang demikian lama, tetapi Hendricus Supriyanto (melalui Azali, 2011: 15) mencoba menetapkan berdasarkan narasumber yang masih hidup sampai tahun 1988, bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh Pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda kabupaten Jombang (Azali, 2011: 15).

Bermula dari kesenian ngamen yang berisi syair-syair dan tabuhan sederhana, Pak Santik berteman dengan Pak Pono dan Pak Amir yang berkeliling dari desa ke desa. Pak Pono mengenakan pakaian wanita dan wajahnya dirias coret-coretan agar tampak lucu. Dari sinilah penonton melahirkan kata Wong Lorek. Akibat variasi dalam bahasa, maka kata lorek berubah menjadi kata Lerok.

STIKOM


(35)

2.13 Struktur Pementasan Ludruk

Pementasan ludruk biasanya dimulai dari jam 9 malam hingga pagi, dan karena perannya yang cukup berat secara fisik, ludruk biasanya hanya dipentaskan oleh laki-laki atau waria (Brandon, 1967: 49). Struktur pementasan tidak banyak berubah dari zaman dulu, dengan tatanan sebagai berikut (Sutarto, 2009: 8). 1. Pembukaan dengan atraksi tari remo.

2. Bedayan, yaitu tarian joget ringan oleh beebrapa transvestite sambil melantunkan kidungan jula-juli.

3. Dagelan, atau lawakan yang menyajikan satu kidungan, disusul oleh beberapa pelawak lain. Mereka kemudian berdialog dengan materi humor yang lucu.

4. Penyajian lakon atau cerita, yang merupakan inti dari pementasan. Biasanya lakon dibagi menjadi beberapa babak, dengan setiap babak dibagi lagi menjadi beberapa adegan. Di sela-sela adegan biasanya diisi selingan berupa tembang jula-juli yang biasanya dinyanyikan oleh seorang waria.

2.14 Karakter Umum Ludruk

Sedyawati dalam Sutarto (2009: 7) menyatakan bahwa ludruk memiliki beberapa ciri khas, antara lain:

1. Pertunjukan ludruk dilakukan dengan improvisasi, tanpa persiapan naskah, 2. Memiliki pakem/konvensi tersendiri, berupa:

a. Pemeran-pemeran wanita diperankan oleh laki-laki, b. Memiliki lagu khas berupa kidungan jula-juli,

c. Iringan musik gamelannya berlarasslendro dan pelog,

STIKOM


(36)

d. Pertunjukan dibuka dengan tari ngeremo, e. Terdapat adegan bedayan,

f. Terdapat adegan lawak/dagelan, g. Terdapat selingan transvestite,

h. Lakon diambil dari cerita rakyat, cerita sejarah, dan kehidupan sehari-hari,

i. Terdapat kidungan, baik kidungan tari ngeremo, kidungan bedayan, kidungan lawak, dan kidungan adegan.

Sementara Peacock (1968: 58-76) menyorot beberapa karakter umum dalam ludruk. Pertama, drama pertunjukan di Asia Tenggara berbeda dengan seni pertunjukan Barat; seni pertunjukan Asia Tenggara mempunyai struktur yang telah terbangun sebelumnya. Jadi, ada penataan ulang kembali dari bagian-bagian standar menjadi kombinasi yang berbeda-beda. Setiap pertunjukan ludruk merupakan sekumpulan contoh dari genre ngeremo, dagelan, selingan, dan cerita tertentu. Unsur-unsur intra yang menjadi bagian dalam setiap, ngeremo, dagelan, cerita, atau selingan lebih saling terkait jika dibandingkan dengan hubungan inter

antara ngeremo, dagelan, cerita dan selingan itu sendiri (Azali, 2011:

2.15 Grup Ludruk Irama Budaya Surabaya

Grup ludruk satu – satunya di Surabaya yaitu Irama Budaya, yang dididrikan di tahun 1989. Grup Ludruk ini telah berdiri selama 25 tahun dan masih bertahan hingga sekarang walaupun peminatnya sudah mulai berkurang

STIKOM


(37)

(http://dennywahyuwibowo.wordpress.com/2012/01/24/ludruk-irama-budaya-surabaya/).

Ludruk Irama Budaya memiliki jumlah pemain kurang lebih 60 pemain, yang lebih banyak didominasi oleh kaum waria yang memerankan pemeran wanita dalam pertunjukkan (http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/05/ludruk-irama-budaya-bertahan-untuk-tetap-eksis-425172.html).

STIKOM


(38)

29

Dalam bab ini akan dijelaskan metode dan teknik yang digunakan dalam pembuatan film dokumenter ini. Metode yang digunakan dalam pembuatan film dokumenter ini terdiri dari beberapa bagian yaitu pra-produksi yang harus dipersiapkan sebelum film dibuat, kemudian dilanjutkan dengan produksi dan pasca produksi dimana di dalamnya termasuk editing.

3.1 Metodologi

Pembuatan film dokumenter ini menggunakan metode yang terdiri dari tiga bagian yaitu praproduksi, produksi, dan pascaproduksi. Tahap praproduksi meliputi ide dan konsep, pengamatan, narasi, dan treatment. Hal tersebut harus dipersiapkan sebelum membuat dokumenter. Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan produksi dan pascaproduksi yang didalamnya juga termasuk pengambilan gambar/shooting dan editing.

3.1.1 Mengumpulkan Data

Tahap awal (preliminary) dalam mempersiapkan bahan dan materi untuk pembuatan film dokumenter Ludruk Irama Budaya adalah sebagai berikut:

STIKOM


(39)

1. Pengamatan dan Wawancara

Pengamatan dilakukan pada bulan Maret 2012. Hal-hal yang diamati adalah ludruk di THR kota Surabaya serta aktivitas sebelum pertunjukkan serta keseharian para pemain. Dalam pengamatan yang memakan waktu yang cukup lama ini, guna untuk menggali informasi lebih dalam mengenai identitas kesenian ludruk THR. Wawancara pun dilakukan di sela-sela aktiftas para pemain ludruk dan waktu-waktu santai mereka.

Berdasarkan hasil pengamatan, menunjukkan bahwa ternyata minat masyarakat untuk menonton pertunjukkan ludruk masih kurang yang ditandai dengan sedikitnya penonton yang hadir. Alat yang digunakan pun sudah mulai usang serta juga pemain dari ludruk tersebut yang kian berkurang.

Tabel 3.1 Wawancara pimpinan ludruk Irama Budaya dan pemainya Pihak yang

diwawancarai Pertanyaan wawancara

Pimpinan Ludruk Irama Budaya dan

Pemainnya

Sejarah berdirinya ludruk Irama Budaya - Kapan? Dimana? Siapa?

- Cerita berdirinya dan alasanya

Perjalanan ludruk Irama Budaya dari dulu hingga sekarang? dan sejak kapan di THR & kenapa? Suka – Dukanya, seperti apa?

Personil berapa saat ini? Apakah bertambah atau berkurang?

Perbedaan pementasan dulu hingga sekarang dan banyaknya penonton dulu hingga sekarang, seperti apa?

STIKOM


(40)

Kenapa masih bertahan? Alasannya… Apa harapan untuk kedepannya?

Tabel 3.2 Wawancara pengamat kesenian Pihak yang

diwawancarai Pertanyaan wawancara

Pengamat Kesenian

Sejarah dan asal usul ludruk seperti apa?

Perkembangan ludruk dari dulu hingga sekarang seperti apa?

- Apakah ada perbedaan?

- Berapa banyakkah grup luduk yang masih nobong hingga sekarang?

- Kira-kira penyebabnya apa?

Pendapat anda tentang ludruk Irama Budaya seperti apa?

Kira-kira upaya apa yang dapat dilakukan untuk melestarikan seni budaya daerah, dalam hal ini yaitu kesenian ludruk.

Tabel 3.3 Wawancara pihak pemerintahan / pemkot Surabaya Pihak yang

diwawancarai Pertanyaan wawancara

Pihak Pemerintahan / Pemkot Surabaya

Bagaimana tanggapan pemerintah terhadap kesenian ludruk dan secara khusus ludruk di surabaya?

Sejauh ini bagaimana perkembangan ludruk menurut penilaian pemerintah?

Apa yang menjadi perbedaan kesenian ludruk dahulu dan sekarang?

Akhir-akhir ini banyak budaya Indonesia yang di

STIKOM


(41)

diakui oleh bangsa lain. Bagaimana

pemerintah/pemkot menyikapi hal tersebut agar tidak terjadi pada kesenian di Jawa timur khususnya Surabaya?

Sejauh mana keterlibatan pemerintah dalam upaya pelestarian budaya daerah ini?

Apakah ada program atau rencana khusus untuk pelestarian budaya daerah?

2. Dokumentasi

Dokumentasi yang dipakatkan diatanya adalah:

a. Suasana kota Surabaya serta kehidupan masyarakatnya

Gambar 3.1 Kota Surabaya

b. Suasana pertunjukkan grup Ludruk Irama Budaya Surabaya di gedung kesenian Taman Hiburan Rakyat.

Gambar 3.2 Pertunjukkan Ludruk Irama Budaya

STIKOM


(42)

c. Wawancara dengan narasumber dari pihak pemerintahan serta pengamat seni.

Gambar 3.3 Wawancara Narasumber

d. Wawancara dengan pimpinan grup Ludruk Irama Budaya Surabaya serta pemain Ludruk.

Gambar 3.4 Wawancara Pimpinan dan Pemain Ludruk

3. Literatur / Kepustakaan

Literatur diambil dari artikel maupun buku-buku yang berhubungan dengan film dokumenter dan kesenian Ludruk. Buku yang digunakan sebagai acuan utama adalah:

a. Memahami Film, karangan Himawan Prastisa, penerbit Homerian Pustaka, 2008.

b. Semiotika Media, karangan Marcel Danesi, penerbit JALASUTRA Anggota IKAPI, 2010.

STIKOM


(43)

c. Directing The Documentary, karangan Michael Rabiger, penerbit Elsevier, 2009.

d. Mari Membuat Film, karangan Heru Effendy, Erlangga, 2009.

e. Theatre in Southeast Asia, karangan James Brandon, Massachusetts: Cambrige University Press, 1967.

f. Ritus Modernisasi: Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia, diterjemahkan dari Rites of Modernization: Symbolic & Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama, karangan James L Peacock, Depok: Desantara. 2005(1968).

g. Reog dan Ludruk: Dua Pusaka Budaya dari Jawa Timur yang Masih Bertahan, karangan Ayu Sutarto, Yogyakarta, 2009.

4. Study Existing

Studi ini dilakukan dengan upaya membandingkan karya dokumenter yang telah ada baik sebagai acuan atau pun hanya sebagai pembanding dengan karya dokumenter yang akan diproduksi.

Sekarang, tema budaya ramai dibicarakan. Hal tersebut terbukti dengan banyakya film yang bertemakan budaya baik itu iklan ataupun dokumenter. Seperti contohnya film dokumenter yang dibuat oleh Irene Sanita Lanny, berjudul “Ini Budayaku, Budayamu”. Dimana film tersebut masuk dalam nominasi kategori dokumenter festival film pelajar Indonesia 2010. Pada film tersebut menyampaikan pesan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia sendiri khususnya tarian dipelajari oleh orang asing dan dibawa ke negaranya namun di Indonesia sendiri generasi muda tidak mau mempelajarinya dan akhirnya membiarkan hilang begitu saja.

STIKOM


(44)

Di bawah ini ada beberapa gambar film dokumenter Ini Budayaku, Budayamu:

Gambar 3.5 Gamelan Gambar 3.6 Kata pembuka

Gambar 3.7 Tata rias Gambar 3.8 Wawancara 1

Gambar 3.9 Persiapan tampil Gambar 3.10 Wawancara 2

Gambar 3.11 Pertunjukan tari Gambar 3.12 Pelatih tari 1

STIKOM


(45)

Gambar 3.13 Tarian 1 Gambar 3.14 Pelatih tari 2

Gambar 3.15 Tarian 2 Gambar 3.16 Pendapat penonton

Gambar 3.17 Ending

Gambar-gambar di atas adalah beberapa contoh dari gambar yang ada pada film dokumenter Ini Budayaku, Budayamu.

1. STP

Film dokumenter ini lebih mengarah kepada masyarakat pada umumnya dengan menggunakan cara penyampaian pesan yang mudah untuk dipahami oleh masyarakat.

STIKOM


(46)

2. SWOT

Pada film dokumenter ini memiliki kelebihan yaitu menggunakan cara penyampainan yang lebih mudah dipahami dengan menampilkan gambar yang simple dan tidak terlalu banyak. Kelemahan dalam film ini yaitu tidak adanya pengenalan kota asal dari kebudayaan tersebut serta narasinya pun kurang menampilkan pengenalan terlebih dahulu sebelum berpindah ke wawancara. Dalam film ini menngangkat tema yang belum banyak diketahui masyarakat sehingga memiliki peluang untuk diterima masyarakat. Kurangnya minat masyarakat terhadap tayangan bertema kesenian budaya daerah dapat menjadi ancaman terhadap publikasi dan penyebaran dalam film ini sehingga pesannya kurang tersampaikan.

3.1.2 Analisis Data

Hasil pengamatan di THR Irama Budaya yaitu gedung pertunjukan ludruk menunjukkan bahwa ternyata minat masyarakat untuk menonton pertunjukkan ludruk masih kurang serta alat yang dugunakan pun sudah mulai usang serta juga pemain dari ludruk tersebut yang semakin berkurang namun para pemain tersebut masih berkeinginan melestarikan kesenian ludruk tersebut serta disamping itu mereka hanya dibayar ± Rp 20.000,- sekali pertunjukannya yang diadakan 1 kali dalam seminggu, itu hanya sebagai tambahan untuk mencukupi kebutuhan selain pekerjaan utama mereka.

Hasil wawancara dengan pengamat kesenian serta dari pihak pemerintahan menunjukkan bahwa kesenian Ludruk di jawa timur khususnya Surabaya hanya ada satu grup Ludruk yang masih bertahan yaitu grup Ludruk Irama Budaya. Grup

STIKOM


(47)

Ludruk atau kesenian ini harus dipertahankan sebagai identitas budaya bangsa khususnya kota Surabaya. Masyarakat serta peran pemerintah dalam hal ini sangatlah penting untuk melestarikan kesenian budaya bangsa.

3.2 Perancangan Karya

Dalam hal perancangan karya dokumenter ini, proses perancangan dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap pra-produksi, produksi, dan pasca produksi.

3.2.1 PraProduksi

Dalam tahap pra-produksi, ada tiga aspek yaitu: ide, konsep, dan narasi. 1. Ide

Ide cerita didapatkan dari perkembangan budaya indonesia saat ini yang semakin marak diakui oleh negara lain yang didukung oleh banyak faktor yang terjadi seperti kurangnya minat dan perhatian pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan, kurangnya regenerasi atau pengenalan budaya dan penanaman kecintaan budaya kepada generasi muda, semakin berkurangnya peminat hiburan seni budaya yang ditandai dengan jarangnya pertunjukan panggung seni budaya serta hubungan dengan globalisasi, pengaruh negara asing & kemajuan teknologi yang kurang bisa mempertahankan identitas budaya. Hal-hal tersebut mengakibatkan seni budaya di indonesia mulai banyak ditinggalkan dan tidak dikenal oleh masyarakat indonesia sendiri serta pelestariannya sebagai budaya bangsa menjadi terbengkalai dan didiakui oleh negara lain. Salah satu contohnya adalah Ludruk Irama Budaya Surabaya yang merupakan kesenian yang ada pada tempat tinggal sendiri, yang masih bertahan sampai saat ini meskipun

STIKOM


(48)

sudah kurang peminatnya. Ludruk Irama Budaya merupakan salah satu warisan budaya Jawa Timur yang masi diminati oleh kalangan bawah serta dari kalangan orang tua berusia 50 tahun keatas yang yang minim. Jika hal ini terus di biarkan akan berdampak buruk bagi pelestarian seni budaya bangsa yang semakin kurang di kenal dan diminati. Oleh sebab itu dibuatlah karya dokumenter yang mengangkat mengenai kesenian ludruk khususnya Irama Budaya Surabaya yang bisa diguanakan sebagai media promosi atau perkenalan kepada masyarakat.

2. Konsep

Tahap Pra-Produksi ini meliputi pembuatan konsep yang di buat untuk pengenalan kesenian ludruk khususnya irama budaya surabaya yang di klasifikasikan bergenre potret yang mengangkat mengenai irama budaya dengan menggunakan tipe expository yang berupa penjelasan yang bersamaan dengan gambar–gambar di dalam film. Memasukkan narasi yang dikombinasikan dengan serangkaian gambar yang telah diberikan efek untuk terlihat lebih berkesan dan bertujuan agar lebih deksriptif dan informatif. Dalam film terbut juga akan ditampilkan wawancara narasumber serta responden yang terlibat dalam penyebaran kuisioner yang di tampilkan dengan efek yang berbeda pada bagian wawacara responden. Narasi sendiri diarahkan langsung kepada penonton dengan menawarkan serangkaian fakta dan argumentasi yang ilustrasinya bisa didapatkan dari shot–shot yang menjadi insert-nya.

STIKOM


(49)

3. Narasi

Judul : “Ludruk Irama Budaya: Bertahan demi lestarinya budaya bangsa” Narasi perkenalan kota Surabaya :

Surabaya…Ibukota Provinsi Jawa Timur dengan luas wilayah sebesar 326,36 (tiga ratus dua puluh enam koma tiga enam) Kilometer persegi. Luas wilayah dan jumlah penduduk metropolisnya yang mencapai 3 juta jiwa, menjadikan Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta.

Kata Surabaya berasal dari cerita mitos pertempuran antara sura atau ikan hiu dan buaya yang akhirnya membentuk kata Surabaya. Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah.

Sebagai Kota Pahlawan, Surabaya menyimpan banyak kenangan historis. Bangunan-bangunan bersejarah peninggalan masa penjajahan dan letaknya yang strategis diantara dua daerah wisata seperti Yogyakarta dan Bali, memberikan keuntungan dan nuansa tersendiri bagi keindahan Kota Surabaya dan banyak menarik minat wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Beragam etnis bermigrasi ke Surabaya, membaur dengan penduduk asli membentuk pluralisme budaya yang kemudian menjadi ciri khas kota Surabaya yang sangat kental mewarnai kehidupan pergaulan sehari-hari.Namun di tengah kekayaan budaya kota Surabaya yang multi etnis, ciri khas budaya daerah asli tetap mempertahankan eksistensinya dengan keragaman bentuk kesenian mulai dari seni tari, seni musik dan seni panggung.

STIKOM


(50)

Narasi perkenalan kesenian Ludruk :

Sudah sangat dikenal bahwa Ludruk merupakan kesenian rakyat asli Jawa Timur, termasuk Surabaya. Ludruk merupakan drama tradisional yang diperagakan oleh grup kesenian yang sebagian besar anggota atau pemerannya adalah pria.

Kata ludruk sendiri berasal dari kata lodrok yang dikategorikan ke dalam kata bahasa Jawa yang berarti badut atau lawak. Diiringi dengan alunan musik gamelan, dialog atau monolog ludruk biasanya dibumbui dengan candaan dan komedi segar dengan bahasa khas Surabaya.

Struktur pementasan dari awal terciptanya seni ludruk hingga saat ini tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pertunjukan dibuka dengan tarian khas Jawa Timur yaitu tari Remo dengan diiringi gamelan, yang menggambarkan seorang yang gagah dengan tata rias wajah dan busana yang menarik.

Kemudian dilanjutkan dengan Bedayan atau tarian joget ringan oleh beberapa sinden yaitu lelaki yang berdandan seperti wanita, sambil melantunkan kidung jula-juli yang diambil dari pantun atau syair dengan tema kehidupan sehari-hari.

Pertunjukkan ketiga yaitu Dagelan atau lawakan yang menyajikan satu kidungan, disusul oleh beberapa pelawak yang kemudian berdialog dengan materi humor yang lucu.

Kemudian masuk pada inti pementasan yaitu penyajian lakon atau cerita, yang biasanya dibagi menjadi beberapa babak dan setiap babak dibagi menjadi beberapa adegan yang diselingi dengan tembang jula-juli.

STIKOM


(51)

Pada era kemerdekaan Ludruk turut memiliki peranan penting. Populer dikalangan masyarakat pada masa itu, ludruk pun turut berfungsi sebagai penyampai pesan persiapan kemerdekaan. Sampai setelah merdeka, ludruk masih tetap digunakan sebagai penyampai pesan pembangunan Indonesia. Terlepas dari fungsi sejarah dan juga budayanya, ludruk memang menjadi ikon penting bagi masyarakat Jawa Timur.

Namun sejalan dengan perubahan zaman, ludruk terancam punah. Hal ini ditandai dengan kurangnya minat masyarakat terhadap pertunjukan Ludruk, jumlah pemain yang bertahan semakin berkurang, bahkan harga tiket yang murah pun masih belum dapat mendongkrak traffic pengunjung.

Telah diadakan pembagian kuisioner untuk melihat “Pengenalan & kecintaan akan kesenian ludruk” kepada 80 orang anak muda dan pekerja usia 18-35 tahun. Tiga puluh enam orang di antaranya merupakan penduduk asli yang tinggal di Surabaya.

Sebanyak 91,7% dari responden asal Surabaya mengaku mengenal ludruk sebagai kesenian Jawa Timur namun hanya 25% atau 9 responden yang menyukai dan pernah menonton pertunjukan ludruk di THR Surabaya. Membosankan dan tidak menarik merupakan alasan sebagian besar responden yang menyatakan tidak suka dengan kesenian asli Indonesia ini. Penguasaan bahasa menjadi alasan sebagain responden dan beberapa lainnya tidak menyukai ludruk karena merasa ludruk tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini. Untuk pelestarian budaya daerah, tidak banyak responden yang bersedia terlibat langsung, namun menyatakan dukungannya terhadap kebijakan pemerintah.

STIKOM


(52)

Narasi perkenalan kesenian Ludruk di kota Surabaya :

Di Surabaya, Ludruk masih tetap bertahan walaupun hanya beberapa puluh pemain saja. Tercatat sebanyak 789 grup ludruk ada pada tahun 1980an. Namun seiring dengan waktu, jumlah ini pun semakin berkurang.

Pasang surut seni pertunjukan panggung ludruk tobong tak lepas dari grup ludruk Irama Budaya Surabaya…tobong atau nobong adalah kata yang biasa diartkan sebagai tempat pertunjukkan yang sifatnyua darurat.

Grup ludruk Irama Budaya Surabaya.salah satu kelompok seni di Jawa Timur yang masih bertahan mementaskan ludruk. Para pekerja seni ludruk ini bahkan rela mengorbankan sisa hidupnya untuk kelestarian budaya bangsa. Walaupun honor yang mereka terima hanya cukup untuk beli rokok dan makan sehari-hari, mereka tetap mempertahankan posisinya sebagai seniman Ludruk.

Setelah nobong dari suatu tempat ketempat lainya di berbagai lokasi selama 25 tahun, akhirnya 4 Maret 2010 lalu Ludruk Irama Budaya mendapat tempat untuk menetap di Taman Hiburan Rakyat atau yang biasa disingkat THR Surabaya.

Adalah almarhum Sunaryo…seniman ludruk asli Ploso Gang III Surabaya yang akrab disapa dengan nama Zakia, merupakan pimpinan Ludruk Irama Budaya yang seumur hidupnya memperjuangkan eksistensi ludruk Surabaya.

Di gedung inilah karya-karya ludruk Irama Budaya diproduksi dan dimainkan, sekaligus menjadi tempat tinggal sebagian besar

seniman-STIKOM


(53)

seniwatinya. Seolah tidak menghiraukan hiruk pikuknya kota Surabaya, para anggota Ludruk Irama Budaya terus berlatih dan mencari kreasi baru untuk pertunjukan setiap minggunya. Sebagian besar berasal dari berbagai daerah di pulau Jawa bahkan ada yang dari luar pulau Jawa.

Jika sebelumnya pentas 2 sampai 3 kali seminggu, namun sepeninggal almarhum Sunaryo ludruk irama budaya kini hanya tampil setiap malam minggu saja. Karena berbeda dengan hari-hari biasa, di malam minggu penonton ludruk masih bisa mencapai 100 orang.

Dengan karcis seharga 5000 rupiah, para penikmat ludruk sudah dapat menyaksikan pertunjukkan ludruk irama budaya dari jajaran kursi penonton yang sudah tua. Pemasukan yang sangat minim membuat irama budaya jarang dapat memperbaiki ataupun meningkatkan sarana dan prasarana penunjang pertunjukkan ludruk. Tak hanya gedung sederhana dengan kapasitas penonton yang terbatas, peralatan yang digunakan pun masih sederhana. Setiap kali pertunjukan, gedung ini hanya menggunakan seperangkat gamelan dan beberapa alat pengeras suara.

Penghasilan yang begitu rendah, tentu tidak mencukupi untuk sumber penghidupan. Tak heran, seniman ludruk amat mengharapkan saweran penonton yang meminta gending-gending atau lagu-lagu. Hasilnya kemudian dibagi-bagi sesama mereka. Sehari-harinya para seniman ludruk juga memiliki pekerjaan sambilan misalnya sebagai penjual kopi dll.

Namun semangat almarhum Sunaryo bersama rekan-rekan, tidak pernah luntur dalam mempertahankan Ludruk khas Surabaya ini.

Di jaman yang keras dan maraknya diakui negara tetangga terhadap

STIKOM


(54)

budaya Indonesia, para seniman ludruk irama budaya tetap mempertahankan eksistensi ludruk di Indonesia. Karena seni pertunjukan tradisional ludruk merupakan pusaka budaya Jawa Timur yang harus dipertahankan dan dilestarikan.

Seni pertunjukan tradisional ini merupakan pusaka budaya Jawa Timur yang harus dipertahankan dan dilestarikan. Tak hanya seniman Ludruk.. pemerintah dan masyarakat pun memiliki tanggung jawab untuk bekerja sama dalam pelestarian seni budaya bangsa.

Di jaman yang keras dan arus modernisasi yang tak terelakkan, para seniman ludruk irama budaya Surabaya tetap mempertahankan eksistensi ludruk di Indonesia. Semangat mereka tidak pernah luntur untuk menyuarakan originalitas Ludruk sebagai budaya bangsa di tengah maraknya diakui negara tetangga terhadap budaya Indonesia.

Jika bangsa lain begitu kagum dengan budaya Indonesia, bagaimana dengan kita. Bukankah itu suatu kebanggaan yang harus dilestarikan dan dicintai.

4. Metode Pembuatan

Berdasarkan observasi yang dilakukan di lapangan yang disertakan penuturan oleh narasumber yang mengetahui tentang perjalanan Ludruk khususnya Ludruk Irama Budaya Surabaya. Kesenian Ludruk Propinsi Jawa Timur khususnya di kota Surabaya yang masih bertahan hingga saat ini yaitu Ludruk Irama Budaya. Melihat apa yang terjadi pada kesenian negara Indonesia yang pernah di diakui oleh bangsa lain maka dilakukan pengenalan kepada masyarakat lewat film dokumenter tersebut. Berdasarkan data-data

STIKOM


(55)

yang telah didapatkan, selanjutnya dibuat menjadi sebuah film dokumenter bergenre potret. Dalam film dokumenter ini mengangkat peristiwa yang berkaitan dengan sosok seseorang ataupun kelompok. Konsep yang digunakan oleh penulis dalam hal ini adalah informatif dan deskriptif untuk membangun sebuah argumen. Hal ini memberikan penjelasan terhadap gambar atau hal-hal yang tak bisa disajikan oleh gambar.

5. Tujuan Penyampaian

Mengangakat tentang kesenian asli Jawa Timur khususnya kota Surabaya yang merupakan warisan budaya bangsa, sehingga dapat dikenal olah publik karena kesenian budaya bangsa yang hampir punah serta banyaknya klaim atau pengakuan oleh bangsa lain terhadap seni budaya bangsa Indonesia sendiri. Dengan penyampaian fakta secara visual kepada masyarakat umum, dapat membuka pemahaman mengenai keberadaan kesenian budaya asli Jawa Timur yang ada di kota Surabaya dan pentingnya melestarikan warisan budaya bangsa.

Pada bagain akhir film terdapat kesimpulan yang diharapkan dapat membentuk pemahaman masyarakat yang menonton film tersebut bahwa kesenian Ludruk tersebut merupakan kesenian asli Jawa Timur yang patut dipertahankan dan dilestarikan bukan hanya oleh seniman Ludruk saja tetapi di perlukan juga peran masyarakat serta pemerintah.

STIKOM


(56)

3.3 Produksi

Dalam tahap produksi peneliti melakukan pendekatan yang menggabungkan antara deskriptif dan naratif yang dengan mejelaskan fakta yang terjadi dengan menggunakan gaya pemaparan eksposisi (expository). Dalam proses pengambilan gambar dilakukan sesuai narasi yang menjadi acuan gambar secara nyata. Lokasi pengambilan gambar bertempatkan di Taman Hiburan Rakyat Surabaya Jl.Kusuma bangsa. Beberapa shot yang digunakan dalam film documenter ini diantaranya adalah Insert Shot, Two Shot, Medium Shot, Extrime Close Up, Long Shot serta adapun pergerakan kamera yang digunakan yaitu Panning, Tilting.

Gambar 3.18 Ukuran Shot yang digunakan

Proses pengambilan gambar dilakukan dengan menggunakan peralatan yaitu:

a. Kamera DSLR dengan kemampuan recording

b. Lensa AF – S Nikkor 18 – 55 mm c. Memory kamera

d. Tripod

STIKOM


(57)

3.4 Pasca Produksi

Setelah semua data di-render dalam komputer maka tahap selanjutnya adalah proses editing serta penggabungan antara pengambilan gambar pertama dengan yang lainnya, agar terlihat berkesinambungan dengan menggunakan software editing. Proses editing merupakan proses yang paling berperan penting terhadap hasil akhir yang didapat, oleh sebab itu proses-proses yang dilakukan harus dilakukan dengan baik, detail serta sempurna

Tahap awal proses editing dengan menggabungkan video yang telah diambil yaitu dengan mengimport hasil pengambilan gambar sesuai narasi ke dalam software editing.

Kemudian, satu per satu dari setiap video pada timeline diberi video effect agar penataan menjadi lebih bagus. Video effect yang digunakan disesuaikan dengan alur cerita yang akan dijalankan sesuai dengan narasi. Transisi yang digunakan halus sehingga tidak terjadi hentakan-hentakan. Begitu selanjutnya hingga seluruh video dimasukkan ke timeline.

3.4.1 Publikasi

Hal ini dilakukan sebagai pengenalan kepada masyarakat yang menonton. Tahap publikasi akan dilakuan sebagai prasyarat presentasi Tugas Akhir dengan mengguakan media Poster dan DVD (cover depan dan cover belakang).

Tahap ini memerlukan proses menentukan konsep dan membuat sketsa poster dan cover. Konsep poster dan cover DVD didasarkan pada tokoh dalam pementasan ludruk, yang akan ditonjolkan pada bagian depan poster agar lebih mudah dikenali sebagai identitas atau inti dari film dokumenter tersebut.

STIKOM


(58)

1. Poster

Gambar 3.19 Poster

2. Cover

Gambar 3.20 Cover DVD

STIKOM


(59)

3. Cakram

Gambar 3.21 Cakram DVD

3.4.2 Peralatan

Adapun peralatan yang digunakan adalah sebuah unit komputer dengan speisifikasi sebagai berikut:

1. Personal Komputer

AMD Athlon(tm) 7750 Dual-Core Processor 2.70 GHz 2. Memori 3GB RAM

3. Hard disk 150 GB

4. Kamera DSLR dengan kemampuan recording

5. Lensa AF – S Nikkor 18 – 55 mm 6. Memory kamera

7. Tripod

STIKOM


(60)

3.5 Jadwal Kerja

Adapun jadwal kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut: Tabel 3.4 Jadwal kerja

Juli Agustus September Oktober November Desember Januari

Observasi

Produksi

Editing

STIKOM


(61)

52

Proses implementasi karya adalah tahap pembuatan film dokumenter Ludruk Irama Budaya. Dalam implementasi karya ini, terdapat tiga proses utama yang dilakukan, yaitu produksi, editing, final rendering, dan publikasi.

4.1 Produksi

Dalam tahap produksi, ada empat kegiatan yang dilakukan yaitu pengambilan gambar, recording narasi, dan persiapan peralatan. Untuk masing-masing kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai berikut:

1. Pengambilan Gambar

Pengambilan gambar sesuai dengan narasi ataupun treatment yang telah dibuat dengan menggunakan angle kamera seperti medium shoot, long shoot dan lain sebagainya. Dalam hal pencahayaan dalam film dokumenter ini menggunakan cahaya apa adanya agar terlihat keaslian film dokumenter sehingga tidak terkesan dibuat-buat atau direkayasa seperti yang ada dalam gambar 4.1.

STIKOM


(62)

Gambar 4.1 Pengambilan gambar Irama Budaya di THR

Dalam kegiatan pengambilan gambar ini, dilakukan secara berkala untuk mengumpulkan stock shoot serta untuk lebih dekat dengan para pemain dan mengetahui lebih dalam tentang kegiatan para pemain baik dibelakang panggung maupun di depan panggung.

Proses pengambilan gambar ini juga meliputi wawancara beberapa narasumber dari pengamat kesenian seperti pada gambar 4.2 dan pendapat dari pemerintah kota Surabaya yang menangani bidang kesenian yang diwakilkan oleh bapak Mudjiono, seperti pada gambar 4.3.

Gambar 4.2 Wawancara bapak Tri Broto Wibisono

Gambar 4.3 Wawancara bapak Mudjiono

Pengambilan gambar juga dilakukan di sudut kota Surabaya untuk mengenalkan kota Surabaya di awal tampilan film, sebelum masuk pada kesenian ludruk yang ada di Surabaya seperti yang tunjukkan pada gambar 4.4 dan 4.5.

STIKOM


(63)

Gambar 4.4 Ikon kota Surabaya

Gambar 4.5 Pemerintahan kota Surabaya

2. Recording Narasi

Recoding/perekaman narasi di lakukan dengan menggunakan mic dan komputer dengan sofware yang digunakan untuk merekam suara yang sesuai dengan narasi dari film dokumenter tersebut.

3. Tipe Shot dan Sudut Kamera

Dalam hal ini variasi shot yang digunakan dan diterapkan dalam film dokumenter ini diantaranya adalah Extreme Long Shot, Medium Shot, Extreme Close Up, Two Shot, Knee Shot.

STIKOM


(64)

Shot ini sering digunakan untuk mengambil keseluruhan panggung.

Gambar 4.6 Pengambilan gambar Long Shot b. Medium Shot

Shot ini banyak digunakan dalam pengambilan gambar wawancara serta pemain yang sedang merias wajah.

Gambar 4.7 Pengambilan gambar Medium Shot

STIKOM


(65)

Shot ini digunakan untuk mengambil detail gerakan kaki saat menari.

Gambar 4.8 Pengambilan gambar Extreme Close Up d. Two Shot

Shot ini sering digunakan untuk mengambil adegan lawakan.

Gambar 4.9 Pengambilan gambar Two Shot

STIKOM


(66)

Shot ini digunakan untuk mengambil adegan jula-juli.

Gambar 4.10 Pengambilan gambar Knee Shot f. High Angle

Angle ini digunakan pada pengambilan gambar suasana kota.

Gambar 4.11 Pengambilan High Angle

STIKOM


(67)

Angle ini digunakan pada pengambilan gambar dengan ketinggan normal atau sebatas mata normal daripada obyek yang diambil.

Gambar 4.12 Pengambilan Normal Angle h. Low Angle

Angle ini digunakan pada pengambilan gambar tarian remo.

Gambar 4.13 Pengambilan Low Angle

STIKOM


(68)

Dalam melakukan pembuatan film dokumenter ini, digunakan beberapa peralatan yaitu:

a. Kamera DSLR dengan kemampuan recording

b. Lensa AF – S Nikkor 18 – 55 mm c. Memory kamera

d. Tripod

4.2 Pasca Produksi

Setelah hasil produksi selesai dibuat, maka tahap selanjutnya yaitu melakukan penggabungan antara seluruh frame serta musik yang sesuai dengan narasi yang telah direncanakan/dibuat dan kemudian memberikan effect pada setiap penggabungan agar terlihat lebih halus.

1. Proses Capturing

Proses ini dilakukan pemindahan sumber gambar dari kamera atau media penyimpanan data pada kamera ke dalam komputer dan disimpan dalam

hardisk. Proses ini diawali dengan menghubungkan perangkat kamera ke komputer melaui kabel data dan melakukan proses pemindahan data kedalam program yang akan digunakan utuk mengedit.

STIKOM


(69)

Gambar 4.14 Proses Capturing 2. Pemilihan Stock Shoot

Proses ini diawali dengan memasukkan hasil shoot/pengambilan gambar ke dalam komputer yang kemudian akan dilakukan proses pemilihan stock shoot. Proses pemilihan stock shoot yang telah diambil selama 3 bulan, dilihat berdasarkan kelayakan gambar yang sesuai dengan narasi yang telah di rencanakan.

3. Proses Penggabungan Stock Shoot

Dalam hal penggabungan antara stock shoot dikerjakan dengan menggunakan software editing video. Video daripada stock shoot tersebut kemudian dipotong dan diatur pada timeline sesuai dengan narasi.

STIKOM


(70)

Gambar 4.15 Proses penggabungan Stock Shoot 4. Color Corrector

Dalam proses color corrector dilakukan untuk memberikan efek pada video agar tampilan pada gambar tersebut lebih tajam. Dalam video dokumenter ini tidak menggunakan banyak efek agar tetap menjaga tampilannya sesuai dengan kenyataan yang terjadi saat itu.

Gambar 4.16 Proses penambahan effectColor Corrector

STIKOM


(71)

Sound editing adalah proses memasukkan dan mengatur sound dan music

pada film. Tidak lengkap rasanya apabila suatu film dokumenter tanpa menggunakan music/instrument yang mendukung film dokumenter tersebut. Terdapat berbagai macam music/instrument yang bisa dibuat sendiri dengan alat-alat tertentu. Dalam pembuatan film dokumenter ini, menggunakan

music/instrument buatan sendiri dari koleksi Bina Tari Jawa Timur yang diciptakan oleh bapak Tri Broto wibisono, SPd, Msi.

Gambar 4.17 Proses sound editing 6. Final Rendering

Final Rendering merupakan tahap akhir dari semua proses pembuatan video dokumenter setelah melakukan penggabungan antar frame/scene serta editing music/instrument. Tahap ini dinamakan rendering akhir karena merupakan satu kesatuan dari seluruh proses yang ada di mana file dirender dalam format MPEG atau AVI, agar film dokumenter ini dapat diputar dan dinikmati oleh semua penonton dengan kualitas yang bagus.

STIKOM


(72)

Gambar 4.18 Proses final rendering 7. Mastering

Dalam tahap mastering dilakukan proses untuk menjadikan film yang telah di render ke dalam bentuk DVD.

8. Publikasi

Publikasi adalah tahap yang dilakukan setelah semua tahap selesai. Tahap ini disebut juga pasca produksi yaitu dengan membuat poster agar film dokumenter ini dapat dikenal dan diketahui oleh semua orang. Publikasi dapat dilakukan tidak hanya dengan membuat poster tetapi juga dapat dilakukan dengan sistem online yaitu dengan memberikan informasi link kepada sesama pengguna online melalui jejaring sosial ataupun website.

STIKOM


(73)

Gambar 4.19 Poster

Gambar 4.20 Cover DVD

STIKOM


(74)

65 5.1 Kesimpulan

Pembuatan media audio visual dalam hal ini film dokumenter tentang Ludruk Irama Budaya di Taman Hiburan Rakyat (THR) di buat berdasarkan kenyataan yang terjadi agar sesuai dengan fakta yang ada serta menggunakan narasi untuk memaparkan hal yang tidak dapat digambarkan oleh visual.

Adapun kesimpulan dari pembuatan film ini yaitu:

1. Untuk memperkenalkan kesenian Ludruk Jawa Timur kepada masyarakat, digunakan film dokumenter tipe ekspositori yang menekankan pada penyampaian informasi dengan memaparkan/menjelaskan serangkaian fakta tentang kesenian Ludruk dalam bentuk narasi (audio) yang dikombinasikan bersamaan dengan gambar-gambar kesenian Ludruk dan tampilan pendukung.

2. Film dokumenter dibuat berdasarkan wawancara dan info terpercaya dari sumber-sumber yang memiliki keterkaitan langsung dengan kesenian Ludruk Jawa Timur dan Ludruk Irama Budaya. Tampilan gambar dan pesan dalam film, diambil langsung sebagaimana kondisi Ludruk saat ini tanpa intervensi dari penulis.

STIKOM


(75)

Penelitian yang dilakukan mengenai ludruk Irama Budaya Surabaya yang di aplikasikan kedalam sebuah film dokumenter diharapkan dapat menjadi pengetahuan dan pengenalan masyarakat yang menonton film tersebut mengenai ludruk. Keberadaan ludruk yang sudah mulai kurang peminatnya juga dapat diketahui masyarakat yang menonton film tersebut.

Dalam hal ni disarankan bagi peneliti selanjutnya dapat mengangkat tentang ludruk Irama Budaya dari aspek-aspek yang berbeda. Aspek yang berbeda seperti diangkat dari sebuah kisah nyata seorang pemain ludruk ataupun animasi pembelajran bagi anak-anak mengenai kesenian ludruk.

STIKOM


(76)

67 Sumber Buku:

Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia. Massachusetts: Cambrige University Press.

Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalan Sutra.

Effendy, Heru. 2009. Mari Membuat Film. Jakarta: Erlangga.

Peacock, James L. 2005(1968). Ritus Modernisasi: Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia, diterjemahkan dari Rites of Modernization: Symbolic & Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama. Depok: Desantara.

Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka. Rabiger, Michael. 2009. Directing the Documentary. Oxford: Elsevier. Sutarto, Ayu. 2009. "Reog dan Ludruk: Dua Pusaka Budaya dari Jawa Timur

yang Masih Bertahan". Yogyakarta.

Sumber Internet:

Ayawaila, Gerzon R. 2012. Jenis Film Dokumenter dan Tipe Mode Dokumenter. 2012. http://kusendony.wordpress.com/. Diakses tanggal 20 Juni 2012 pukul 14.56 WIB.

Azali, Kathleeh. 2011. Ludruk, masikah sebagai ritus medernisasi?. http://c2o- library.net/wp-content/uploads/2012/01/Ludruk-kazali-201201.pdf. Diakses tanggal 20 Juni 2012, pukul 14.56 WIB

Bayu, 2012. Mari Mengenal Ludruk. http://sosbud.kompasiana.com/2012/09/24/ mari-mengenal-ludruk-1-sejarah-ludruk-496128.html. Diakses tanggal 21 Januari 2013 pukul 11.30 WIB.

STIKOM


(1)

63

Gambar 4.18 Proses final rendering

7. Mastering

Dalam tahap mastering dilakukan proses untuk menjadikan film yang telah di render ke dalam bentuk DVD.

8. Publikasi

Publikasi adalah tahap yang dilakukan setelah semua tahap selesai. Tahap ini disebut juga pasca produksi yaitu dengan membuat poster agar film dokumenter ini dapat dikenal dan diketahui oleh semua orang. Publikasi dapat dilakukan tidak hanya dengan membuat poster tetapi juga dapat dilakukan dengan sistem online yaitu dengan memberikan informasi link kepada sesama pengguna online melalui jejaring sosial ataupun website.

STIKOM


(2)

64

Gambar 4.19 Poster

Gambar 4.20 Cover DVD

STIKOM


(3)

65

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pembuatan media audio visual dalam hal ini film dokumenter tentang Ludruk Irama Budaya di Taman Hiburan Rakyat (THR) di buat berdasarkan kenyataan yang terjadi agar sesuai dengan fakta yang ada serta menggunakan narasi untuk memaparkan hal yang tidak dapat digambarkan oleh visual.

Adapun kesimpulan dari pembuatan film ini yaitu:

1. Untuk memperkenalkan kesenian Ludruk Jawa Timur kepada masyarakat, digunakan film dokumenter tipe ekspositori yang menekankan pada penyampaian informasi dengan memaparkan/menjelaskan serangkaian fakta tentang kesenian Ludruk dalam bentuk narasi (audio) yang dikombinasikan bersamaan dengan gambar-gambar kesenian Ludruk dan tampilan pendukung.

2. Film dokumenter dibuat berdasarkan wawancara dan info terpercaya dari sumber-sumber yang memiliki keterkaitan langsung dengan kesenian Ludruk Jawa Timur dan Ludruk Irama Budaya. Tampilan gambar dan pesan dalam film, diambil langsung sebagaimana kondisi Ludruk saat ini tanpa intervensi dari penulis.

STIKOM


(4)

66

5.2 Saran

Penelitian yang dilakukan mengenai ludruk Irama Budaya Surabaya yang di aplikasikan kedalam sebuah film dokumenter diharapkan dapat menjadi pengetahuan dan pengenalan masyarakat yang menonton film tersebut mengenai ludruk. Keberadaan ludruk yang sudah mulai kurang peminatnya juga dapat diketahui masyarakat yang menonton film tersebut.

Dalam hal ni disarankan bagi peneliti selanjutnya dapat mengangkat tentang ludruk Irama Budaya dari aspek-aspek yang berbeda. Aspek yang berbeda seperti diangkat dari sebuah kisah nyata seorang pemain ludruk ataupun animasi pembelajran bagi anak-anak mengenai kesenian ludruk.

STIKOM


(5)

67

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia. Massachusetts: Cambrige University Press.

Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalan Sutra.

Effendy, Heru. 2009. Mari Membuat Film. Jakarta: Erlangga.

Peacock, James L. 2005(1968). Ritus Modernisasi: Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia, diterjemahkan dari Rites of Modernization: Symbolic & Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama. Depok: Desantara.

Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka. Rabiger, Michael. 2009. Directing the Documentary. Oxford: Elsevier. Sutarto, Ayu. 2009. "Reog dan Ludruk: Dua Pusaka Budaya dari Jawa Timur

yang Masih Bertahan". Yogyakarta.

Sumber Internet:

Ayawaila, Gerzon R. 2012. Jenis Film Dokumenter dan Tipe Mode Dokumenter. 2012. http://kusendony.wordpress.com/. Diakses tanggal 20 Juni 2012 pukul 14.56 WIB.

Azali, Kathleeh. 2011. Ludruk, masikah sebagai ritus medernisasi?. http://c2o- library.net/wp-content/uploads/2012/01/Ludruk-kazali-201201.pdf. Diakses tanggal 20 Juni 2012, pukul 14.56 WIB

Bayu, 2012. Mari Mengenal Ludruk. http://sosbud.kompasiana.com/2012/09/24/ mari-mengenal-ludruk-1-sejarah-ludruk-496128.html. Diakses tanggal 21 Januari 2013 pukul 11.30 WIB.

STIKOM


(6)

68

Grierson, John. 2012. Definisi Film Dokumenter. http://filmpelajar.com/tutorial/ definisi-film-dokumenter diakses tanggal 20 Juni 2012, pukul 14.56 WIB.

Kesenian Ludruk Jawa Timur 2012. http://perwakilan.jatimprov.go.id/2012/03/28/ kesenian-ludruk-jawa-timur-an/. Diakses tanggal 15 April 2012 pukul 20.00 WIB.

Ludruk Irama Budaya. 2013. http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/05/ludruk- irama-budaya-bertahan-untuk-tetap-eksis-425172.html. Diakses tanggal 15 April 2012 pukul 20.00 WIB.

Nichols, Bill. 2012. Tipe Mode Dokumenter. http://filmpelajar.com/berita/tipe- tipe-mode%C2%A0dokumenter. Diakses tanggal 20 juni 2012 pukul 14.56 WIB.

Pengertian Globalisasi dan Modernisasi. 2013. http://id.shvoong.com/social-

sciences/economics/2261193-pengertian-globalisasi-modernisasi-dampak-globalisasi/ Diakses tanggal 07 Februari 2013 pukul 09.00 WIB. Pengertian Ludruk. (2013)

2013 pukul 11.30 WIB.

Perubahan Perilaku Masyarakat. (2013). http://muaramasad.blogspot.com/2011/04 /perubahan-perilaku-masyrakat-di-era.html. Diakses tanggal 05 Februari 2013 pukul 23.00 WIB.

Sejarah Film Dokumenter. (2012). http://montase.blogspot.com/2008/05/sejarah- film-dokumenter.html. Diakses tanggal 20 Juni 2012 pukul 14.56 WIB. Wibowo, Denny Wahyu. 2012. Ludruk Irama Budaya. 2013. http://dennywahyu

wibowo.wordpress.com/2012/01/24/ludruk-irama-budaya-surabaya/. Diakses tanggal 15 April 2012 pukul 20.00 WIB.

STIKOM