ANTIJAMUR SISTEMIK AMFOTERISIN B

pengenceran kaldu adalah metode yang sangat luas digunakan saat ini dan telah distandarisasi oleh NCCLS. Saat ini metode pengenceran kaldu hanya dianjurkan pada pemeriksaan Candida dan Criptococcus sp. Walaupun mempunyai konsistensi yang sama antara interlaboratory dan intralaboratory dan sering berhubungan dengan gejala klinis yang tampak. 1

II. Metode uji sensitifitas pada jamur yang berfilamen

Pada uji sensitifitas ini mempunyai masalah yang khas, dimana timbul pertanyaan kita, bagaimana proses penghambatan pertumbuhan dari sel jamur yang mengalami perubahan bentuk morfologi. Sebagai contoh, spesies Aspergillus yang mempunyai konidia yang kecil, melingkar, dan banyak, tetapi tidak mempunyai bentuk hifa. Sedangkan indikator uji sensitifitas yang digunakan adalah dengan melihat pertumbuhan hifa. Bentuk kaldu dan agar merupakan metode dasar yang digunakan. Saat ini NCCLS mengusulkan metode pengenceran kaldu untuk uji sensitifitas dari jamur berfilamen yang dibuat oleh M-38P. Inokulum dispectrophotometri dan diinkubasi sesuai dengan jenis spesies yang diuji. Espinel-Ingroff diduga menggunakan metode ini ketika menguji efek azole terhadap aspergilus. Pada penelitian yang dilakukan Pfaller et al menyebutkan bahwa metode E-test berguna untuk uji sensitifitas beberapa jamur berfilamen. 1

C. ANTIJAMUR SISTEMIK AMFOTERISIN B

Amfoterisin B merupakan poliena antibiotik kompleks yang disintesis oleh actinomycetes aerobik, Streptomyces nodosus dan memiliki sifat antibakteri yang dapat diabaikan. Obat ini menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogenik secara kuat dalam in vitro maupun in vivo. Amfoterisin B berikatan dengan sterol pada selaput sel jamur dan mengganggu kerjanya. 2,3 Mekanisme kerja Amfoterisin B diberikan secara intravena dalam bentuk micelles dengan natrium deoksikolat yang dicairkan dalam cairan dekstrosa. Walaupun obat tersebar secara luas dalam jaringan, obat ini tidak begitu baik memasuki cairan serebrospinal. Ketika memasuki sel jamur, amfoterisin B berikatan secara kuat dengan ergosterol pada selaput Universitas Sumatera Utara sel. Interaksi ini memberikan perubahan pada kandungan cairan selaput dan barangkali pengenalan “kutub amfoterisin”. Molekul kecil dan ion terlepas dari sel jamur, yang sesungguhnya mengakibatkan kematian sel. Sel mamalia relatif resisten terhadap kerja obat ini karena mereka tidak mempunyai ergosterol. Amfoterisin B berikatan secara lemah dengan kolesterol pada selaput sel mamalia, barangkali interaksi ini yang menyebabkan efek toksiknya. Indikasi Amfoterisin B adalah obat antijamur berspektrum luas dan bermanfaat untuk menghadapi sebagian besar mikosis sistemik utama, termasuk, koksidiodomikosis, blastomikosis, histoplasmosis, sporotrikosis, kriptokokosis, mukormikosis dan kandidiasis. Respon terhadap infeksi utama bergantung pada pemberian amfoterisin B yang cepat, tempat infeksi, keadaan imun pasien dan sensitivitas bawaan terhadap pathogen. Untuk meningitis jamur akibat Coccidioides diperlukan pemberian secara intratekal. Terapi intraartikular berguna pada infeksi sendi oleh jamur. Terapi kombinasi dengan flusitosin barangkali bermanfaat untuk infeksi akibat Candida dan Cryptococcus. Infeksi jamur akibat Pseudallescheria boydii tampaknya sukar disembuhkan oleh amfoterisin B. Efek Samping Reaksi akut yang biasanya menyertai pemberian amfoterisin B intravena antara lain demam, menggigil, dispnea dan hipotensi. Efek samping ini biasanya dapat dikurangi dengan pemberian hidrokortison atau asetaminofen secara bersamaan atau sebelumnya. Toleransi terhadap efek samping akut timbul selama terapi. Efek samping kronik biasanya mengakibatkan nefrotoksisitas. Azotemia hampir selalu terlihat pada terapi amfoterisin B, dan kadar kreatinin serum serta kadar ion harus dipantau secara ketat. Juga sering terlihat hipokalemia, anemia, asidosis tubuler ginjal, sakit kepala, mual dan muntah. Walaupun beberapa kasus nefrotoksisitas dapat pulih kembali, terjadi penurunan fungsi tubuler dan glomerulus yang menetap. Kerusakan ini dapat dikorelasikan dengan dosis total amfoterisin B yang diberikan. Universitas Sumatera Utara FLUSITOSIN Flusitosin 5-fluorositosin merupakan derivate sitosin yang terfluorinasi. Obat ini merupakan senyawa antijamur yang secara primer digunakan dalam ikatan dengan amfoterisin B pada infeksi yang disebabkan oleh Candida dan Cryptococcus. Obat ini berpenetrasi dengan baik ke dalam seluruh jaringan, termasuk cairan serebrospinal. Mekanisme kerja Jamur yang rentan mampu mengakumulasikan flusitosin melalui permease terikat selaput. Flusitosin kemudian dikonversikan menjadi fluorourasil melalui sitosin deaminase. Fluorourasil merupakan penghambat kuat dari sintetase timidilat, dan penghambatan ini mengakibatkan kematian sel. Sel mamalia tidak memiliki sitosin deaminase dan karena itu terlindung dari efek toksik fluorourasil. Sayangnya, mutan resisten timbul dengan cepat sehingga membatasi kerja flusitosin. Indikasi Flusitosin digunakan secara primer dalam ikatan dengan amfoterisin B untuk pengobatan infeksi Candida dan Cryptococcus. Flusitosin bekerja secara sinergistik dengan amfoterisin B in vitro terhadap organismo ini, dan percobaan klinik menunjukkan efek yang bermanfaat dari kombinasi tersebut, terutama pada meningitis kriptokokus. Kombinasi ini juga terlihat memperlambat dan mengeliminasi timbulnya mutan resisten flusitosin. Efek samping Walaupun flusitosin sendiri mungkin memiliki sedikit toksisitas terhadap sel mamalia dan relatif dapat ditoleransi dengan baik, konversinya menjadi fluorourasil menghasilkan senyawa yang sangat toksik yang mungkin mengakibatkan efek samping utama dari obat ini. Pemberian flusitosin jangka lama mengakibatkan penekanan sumsum tulang, kerontokan rambut, dan fungsi hati yang abnormal. Konversi flusitosin menjadi fluorourasil oleh bakteri enterik dapat menyebabkan colitis. Pasien dengan AIDS mungkin lebih rentan terhadap supresi sumsum tulang oleh flusitosin dan kadar serum harus dipantau secara ketat. Universitas Sumatera Utara ANTIJAMUR AZOL Antijamur imidazol ketokonazol dan triazol flukonazol dan itrakonazol merupakan obat yang aktif secara oral dan bermanfaat untuk terapi pada infeksi jamur setempat atau sistemik luas. Indikasi untuk penggunaannya masih dievaluasi, tetapi ada kecendrungan bahwa obat ini akan menggantikan amfoterisin B pada banyak infeksi jamur karena obat ini dapat diberikan secara oral dan dengan sedikit toksisitas. Imidazol lain mikonazol dan kotrimazol yang sangat toksik untuk pemberian sistemik berguna sebagai obat topikal. Mekanisme kerja Semua antijamur azol bekerja melalui penghambatan biosíntesis ergosterol jamur. Penghambatan ini dicapai melalui pengikatan obat dan pengaruhnya terhadap fungsi kelompok heme pada sitokrom P450 oksidase. P450 oksidase jamur yang paling sensitif terhadap penghambatan adalah 14-lanosterol demetilase. Enzim P450 lainnya termasuk enzim mamalia yang terlibat dalam steroidogenesis dapat dihambat pada konsentrasi tinggi. Penghambatan ergosterol menimbulkan gangguan pada struktur dan fungsi selaput jamur. 2 Indikasi Ketokonazol bermanfaat pada pengobatan kandidiasis mukokutan kronik dan pada bentuk ekstrameningeal kronik dari blastomikosis, koksidioidomikosis, parakoksidioidomikosis, dan histoplasmosis. Flukonazol merupakan bentuk unik dari antijamur azol yang baru saja ditemukan karena kemampuannya dalam memasuki cairan serebrospinal. Sifat ini dan manfaat kliniknya membuat flukonazol menjadi alternatif yang baik untuk amfoterisin B dalam pengobatan meningitis kriptokokus dan koksidioidal. Pada pasien AIDS dengan meningitis kriptokokus, terapi rematan dengan flukonazol dapat mencegah kekambuhan. Kandidiasis orofaring pada pasien AIDS dan kandidemia pada pasien dengan fungsi imun yang baik dapat juga diobati dengan flukonazol. 2 Universitas Sumatera Utara Indikasi itrakonazol bertumpang tindih dengan yang ditujukan bagi flukonazol, tetapi mungkin memiliki aktivitas melawan aspergilosis. Walaupun percobaan klinik dalam skala besar belum sempurna, hewan percobaan dan laporan kasus menunjukkan bahwa itrakonazol dapat bermanfaat pada pengobatan aspergilosis yang invasif, yang umumnya tidak berespon dengan amfoterisin B. Itrakonazol telah memperlihatkan manfaatnya pada terapi primer dan terapi rumatan bagi histoplasmosis pada penderita AIDS, histoplasmosis pada pasien dengan fungsi imun yang baik, koksidioidomikosis ekstrameningeal, sporotrikosis dan blastomikosis. 2 Mukormikosis tidak berespon terhadap antijamur azol dan amfoterisin B karena mikosis ini berkaitan langsung dengan pembuangan jeringan mati secara pembedahan. Efek samping Efek tambahan antijamur azol secara primer berkaitan dengan kemampuannya menghambat enzim P450 sitokrom mamalia. Ketokonazol merupakan yang paling toksik dalam hal ini dan pada dosis terapeutiknya akan menghambat síntesis testosteron dan kortisol. Penghambatan ini mengakibatkan ginekomastia, penurunan libido, impotensi, menstruasi yang tidak teratur dan kadang-kadang insufisiensi adrenal. Flukonazol dan itrakonazol pada dosis terapeutik yang dianjurkan tidak memperlihatkan gangguan yang bermakna terhadap steroidogenesis mamalia, tetapi hal ini dapat berubah jika dosis yang digunakan untuk pengobatan infeksi recalcitran diturunkan. Semua antijamur azol dapat menyebabkan peningkatan fungsi hati yang asimtomatik dan kasus hepatitis yang jarang. 2,3 Karena antijamur azol berinteraksi dengan enzim P450 yang juga mengakibatkan metabolisme obat, maka dapat terjadi interaksi antara beberapa obat yang penting. Peningkatan konsentrasi antijamur azol dapat terlihat bila digunakan isoniazid, fenitoin, atau rifampisin. Terapi antijamur azol dapat juga mengakibatkan kadar yang lebih tinggi daripada kadar serum siklosporin, fenitoin, hipoglikemik oral, antikoagulan, digoksin dan barangkali banyak lagi yang lain yang diharapkan. Diperlukan pemantauan serum kedua obat tersebut untuk mencapai kisaran terapeutik yang sesuai. 2,3 Universitas Sumatera Utara GRISEOFULVIN Griseofulvin merupakan antibiotik yang diberikan secara oral yang diperoleh dari spesies Penicillium tertentu. Obat ini tidak berpengaruh terhadap bakteri atau jamur yang mengakibatkan mikosis sistemik tetapi menekan dermatofita tertentu. 2 Mekanisme kerja Setelah pemberian peroral, griseofulvin disebarkan ke seluruh tubuh. Obat ini berakumulasi di epidermis dan jeringan keratinisasi lainnya rambut dan kuku. Keratin merupakan sumber nutrisi utama untuk dermatofita dan degradasi keratin oleh jamur ini mengakibatkan dicernakannya obat. Dalam organisme, griseofulvin diduga berinteraksi dengan mikrotubula dan mengganggu fungsi mitosis gelendong, menimbulkan penghambatan pertumbuhan. 2 Indikasi Griseofulvin bermanfaat secara klinik untuk mengobati infeksi dermatofita pada kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh spesies Trichophyton, Epidermophyton dan Microsporum. Obat ini tidak berpengaruh pada kandidiasis superficial atau kandidiasis sistemik atau setiap mikosis sistemik lainnya. Biasanya diperlukan terapi oral selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. 2 Efek samping Griseofulvin biasanya ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling sering adalah sakit kepala, yang biasanya timbul kembali bila obat tidak dihentikan. Jarang terjadi gangguan pencernaan, mengantuk dan hepatotoksisitas.

D. ANTIJAMUR TOPIKAL