Hubungan anti bodi anti Epstein - Barr - Virus (EBNA-1) Dengan Karsinoma Nasofaring Pada Pasien Etnis Batak Di Medan

(1)

HUBUNGAN ANTIBODI ANTI EPSTEIN-BARR VIRUS (EBNA-1)

DENGAN KARSINOMA NASOFARING PADA PASIEN ETNIS

BATAK DI MEDAN

TESIS

O l e h :

RUSDIANA

047008005/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

HUBUNGAN ANTIBODI ANTI EPSTEIN-BARR VIRUS (EBNA-1)

DENGAN KARSINOMA NASOFARING PADA PASIEN ETNIS

BATAK DI MEDAN

Tesis

Untuk memperoleh Gelar Magister Kesehatan

Dalam program Studi Biomedik Pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

O l e h :

RUSDIANA

047008005/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

Judul Penelitian : Hubungan Antibodi Anti Epstein-barr Virus (EBNA-1) Dengan Karsinoma Nasofaring Pada Pasien Etnis Batak di Medan .

Nama Mahasiswa : RUSDIANA

Nomor Pokok : 047008005

Program studi : Biomedik Jurusan Biokimia

Menyetujui Komisi Pembimbing

dr. Yahwardiah S, PhD Ketua

dr. Delfitri Munir, SpTHT (K) Anggota

Ketua Program Studi Direktur

( dr. Yahwardiah S, PhD ) (Prof.Dr.Ir. T.Chairunnisa B.MSc)


(4)

Telah diuji pada :

Tanggal : 22 Agustus 2007

Panitia Penguji :

Ketua : dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D Anggota : dr. Delfitri Munir, SpTHTKL

Dr.dr.Hadyanto Lim, M.Kes, SpFK, FIBA DR. Ramlan Silaban,MSi


(5)

ABSTRAK

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas di nasofaring. Salah satu penyebab dari karsinoma nasofaring ini disebabkan oleh infeksi virus epstein-barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpainya keberadaan EBNA-1 di dalam serum plasma penderita karsinoma nasofaring. Selain infeksi virus epstein-barr faktor nitrosamin, faktor lingkungan, faktor genetik (ras dan keturunan) disebut sebagai faktor resiko terjadinya karsinoma nasofaring.

Penelitian ini merupakan penelitian Cross sectional, dilakukan dengan pemeriksaan EBNA-1 di dalam serum pasien karsinoma nasofaring dengan pemeriksaan ELISA. Sampel diperoleh dari Departemen THT RSHAM Medan yang telah terdiagnosa dengan karsinoma nasofaring secara pemeriksaan histopatologi.

Sekitar 80,8% sampel yang diperiksa menunjukkan adanya EBNA-1 di dalam serum pasien karsinoma nasofaring, Dan hasil data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan uji statistik Chi – Square, di mana diperoleh nilai p<0,005, yang menunjukkan bahwa peneltian ini ada hubungan yang bermakna antara antibodi anti epstein-barr virus dengan karsinoma nasofaring.

Kata kunci : Virus epasteinbarr, EBNA-1, karsinoma nasofaring.


(6)

Abstract : Nasopharyngeal carcinoma is malignant tumor in nasopharyngeal space. Epstein-barr virus infection might be responsible for the caution of this cancer. That is found antigen anti EBV (EBNA-1) in the sera of carcinoma nasopharyngeal patient. Except epstein-barr virus infection, nitrosamin, environmental factors, genetically are possibly contributing for the risk factors of nasopharyngeal carcinoma.

This research was designed as a cross sectional study , detection of EBNA-1 in the serum of nasofaryngeal carcinoma patients by ELISA method. Serum sampels were obtained Departemen of ENT Haji Adam Malik Hospital in Medan, serum samples were dignosed histopatologically.

In this study, of the 80,8% of the nasopharyngeal carcinoma in their serum had EBNA-1. Data was performed by Chi – square analysis, and p values were significant at p<0,005, so there was significant relation between antibodi anti epstein-barr virus with nasopharyngeal carcinoma.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan lahir dan bahin atas segala rahmat dan karunianya sehingga tesis ini dapat selesai.

Tesis ini adalah laporan hasil penelitian penulis berjudul ” Hubungan Antibodi anti Epstein-Barr Virus (EBNA-1) dengan karsinoma nasofaring pada pasien etnis Batak di RSHAM di Medan ”.

Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam rangka untuk memenuhi persyaratan agar meraih gelar Magister pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada :

Rektor Universitas Sumatera utara Medan, Prof.dr.H.Chairuddin P.Lubis, SpA(K) dan sejumlah jajarannya, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pasca Sarjana USU Medan.

Mantan Dekan Fakultas Kedoteran USU, Prof.Dr.T.Bahri Anwar, Dekan Fakultas Kedokteran USU, Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar,Sp.PDKGEH, Direktur Pasca Sarjana USU Medan, Prof.Dr.Ir.T.Chairunnisa B.MSc dan Ketua Program Studi Biomedik dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pogram magister di Sekolah Pasca Sarjana USU Medan.


(8)

Terimakasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D (Ketua Komisi Pembimbing), dr. Delfitri Munir Sp.THT KL (K) (Anggota Komisi Pembimbing), serta dr. Arlinda Sari wahyuni , Mkes, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah mengorbankan waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan, semangat, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada penulis mulai dari persiapan sampai selesai tesis ini.

Terimakasih saya juga kepada Prof. dr. Yasmeini Yazir, Prof.dr. Rozaimah Hamid, dr. Deddy Ardinata Mkes, dan semua dosen yang telah membimbing saya selama mengikuti program magister ini.

Kepada suamiku tercinta, Ir.Syaiful Mahzar atas semua dorongan, pengertian dan semangat hingga tesis ini selesai, anak-anakku M.Alvin Rinaldi dan Syva Affiana.

Ucapan terimakasih yang tulus dan rasa hormat, penulis sampaikan kepada ayahanda Drs.H. Ruslan Hasan, serta ibunda Hj.Azhariah (Almh) beserta keluarga, yang penuh kasih sayang senantiasa memberikan dukungan moril selama penulis menjalani pendidikan di Sekolah Pasca Sarjana.

Akhirnya ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan dengan segala kerendahan hati penulis memohon maaf bila ada kesalahan selama pendidikan ini. Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan yang telah diberikan.

Medan, 22 Agustus 2007


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama penulis : Rusdiana Tempat/ Tanggal lahir

Riwayat Pendidikan

SD Negeri No. 060849 tahun 1978 s / d 1984 SMP Negeri 14 Medan tahun 1984 s / d 1987 SMA Negeri 4 Medan tahun 1987 s / d 1990

Pendidikan S1 di Fak.Kedokteran USU tahun 1990 s / d 1996

Riwayat Pekerjaan

Rumah Sakit Siti hajar Padang Bulan Medan tahun 1996 s / d 1997 PTT di Puskesmas Kota Pinang Lab. Batu tahun 1997 s / d 2000 FK Kedokteran USU tahun 2000 s/ d sekarang Riwayat Keluarga

Suami : Ir. Syaiful Mahzar

Anak : M.Alvin Rinaldi, Syva Affiana


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak...v

Kata Pengantar...vi

Riwayat Hidup... ...ix

Daftar isi………...x

Daftar gambar...xiii

Daftar tabel...xiii

Daftar grafik...xiii

Daftar singkatan...xiv

B A B I PENDAHULUAN 1.Latar Belakang ...………... 1

2.Perumusan Masalah ………...3

3.Hipotesa………... 3

4. Kerangka Teori... 4

5.Tujuan Penelitian………...5

6.Manfaat Penelitian………... 5

B A B II TINJAUAN PUSTAKA 1.Karsinoma Nasofaring... 6

2. Gejala Umum Karsinoma Nasofaring... 7

3.Penyebab Karsinoma Nasofaring...9

4.Virus Epstein Barr...10


(11)

6. Gambaran Infeksi Virus Epstein Barr ...12

1. Infeksi Laten... 13

1.1. Protein laten EBV dan Fungsi...14

1.1. 1.EBNA-1...15

1.1 2. EBNA-2...16

1.1.3. EBNA-3A, 3B, 3C...17

1.1.4. LMP-1………...17

1.1.5. LMP-2A dan LMP-2B……… ...19

2.Infeksi Lisis………...21

7. Hubungan Infeksi Virus Epsteinbarr dengan Karsinoma Nasofaring….21 8. Epidemiologi Infeksi Vrus Epsteinbarr...23

9. Epidemiologi Karsinoma Nasopharing...24


(12)

B A B III METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis Penelitian...26

2. Tempat dan Waktu Penelitian...26

3. Sampel Peneltian...26

4. Besar Sampel...27

5. Kerangka Kerja...29

6. Prosedur Pemeriksaan Serologi EBV...29

6.1. Alat dan Bahan...30

7. Cara Kerja...31

8. Analisa Data ... 34

B A B IV HASIL PENELITIAN...35

B A B V PEMBAHASAN...41

B A B VI KESIMPULAN DAN SARAN...45

DAFTAR PUSTAKA...47

DAFTAR LAMPIRAN...51


(13)

DAFTAR GAMBAR

NO Gambar Halaman

I Daerah nasofaring 7

II Siklus EBV 13

III EBNA-1 16

IV LMP-1 19

V LMP-2A 20

VI Sampel yang diperiksa 33

VII Well Plate ELISA 33

DAFTAR TABEL

No TEKS Halaman

I Distribusi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan histopatologi

35 II Hubungan Konsentrasi EBNA-1 dengan karsinoma nasofaring 36 III Hubungan EBNA-1 dengan karsinoma nasofaring berdasarkan

histopatologi

37 IV Distribusi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan jenis

kelamin

39 V Distribusi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan umur

dan jenis kelamin

40

DAFTAR GRAFIK

No TEKS Halaman

I Distribusi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan histopatologi

36 II Hubungan Konsentrasi EBNA-1 dengan karsinoma nasofaring 37 III Hubungan EBNA-1 dengan karsinoma nasofaring berdasarkan

histopatologi

38 IV Distribusi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan jenis

kelamin


(14)

DAFTAR SINGKATAN EBV : Epsteinbarr-virus

IgG, IgA :Jenis immunoglobulin (Ig) EBNA : Ebstein-barr Nuklear Antibodi LMP : Laten Membran Protein

KNF : Karsinoma Nasofaring WHO : World Health Organization

EGFR : Epidermal Growth Factor Receptor MHC : Major Histocompatibility Complex. LCLs : Lymfoblastoid Cell Lines.

MHC : Molekul Histocompatibilty

STAT : Signal Transducers and Activators of Transcriptions MAPK : Mitogen Activated Protein Kinase.


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No TEKS Halaman

Lampiran 1 Data pasien penderita karsinoma nasofaring yang diperiksa keberadaan EBNA-1

52

Lampiran 2 Data kontrol yang diperiksa keberadaan EBNA-1

53

Lampiran 3 Crostabulasi 54


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Karsinoma nasofaring disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang

penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma

nasofaring ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit

memakan sayur dan buah segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu,

asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar dan asap dupa (kemenyan). Faktor

genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma nasofaring (Zachreni et al, 2002). Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya

keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada

penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu

yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus

di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan

LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita

karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum

semua pasien karsinoma nasofaring (Mungerson et al, 2003).Selain itu dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku Indian asli bahwa EBV

DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai


(17)

Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga

dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini (Obernder

et al, 1989). Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear

yang berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya,

mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita

karsinoma nasofaring. Jadi oleh karena diduga eratnya hubungan antara antibodi

anti EBV dan faktor genetik dengan terjadinya karsinoma nasofaring maka pada

penelitian ini juga melakukan pemeriksaan serologi yaitu antibodi anti EBV

(EBNA-1) pada pasien-pasien yang telah didiagnosa menderita karsinoma

nasofaring melalui pemeriksaan histopatologi sebelumnya dan pasien yang

diperiksa ini adalah pasien dengan etnis Batak dengan tujuan untuk mengetahui

apakah karsinoma nasofaring pada etnis Batak juga disebabkan oleh infeksi EBV.

Karsinoma nasofaring sangat sulit didiagnosa, hal ini mungkin disebabkan

karena letaknya sangat tersembunyi dan juga pada keadaan dini pasien tidak

datang untuk berobat. Biasanya pasien baru datang berobat, bila gejala telah

mengganggu dan tumor tersebut telah mengadakan infiltrasi serta metastase pada

pembuluh limfe sevikal. Hal ini merupakan keadaan lanjut dan biasanya prognosis

yang jelek (Zachreni,1999; Amstrong, 2000). Pemeriksaan terhadap karsinoma

nasofaring dilakukan dengan cara anamnesa penderita dan disertai dengan

pemeriksaan nasofaringoskopi, radiologi, histopatologi, immunohistokimia, dan

juga pemeriksaan serologi dengan menggunakan tehnik Enzyme Linked


(18)

Karena beberapa penelitian telah membuktikan bahwa di dalam serum penderita

karsinoma nasofaring dijumpai EBNA-1 maka sebaiknya pasien yang mempunyai

gejala yang mengarah ke karsinoma nasofaring dianjurkan untuk melakukan

pemeriksaan serologi yaitu antibodi anti EBV (EBNA-1).

Penderita karsinoma nasofaring tersebar di seluruh dunia dan terdapat

daerah endemik di China Selatan. Jenis karsinoma ini merupakan bentuk

keganasan ketiga yang dijumpai pada pria dengan insidensi di China Selatan

berkisar antara 15-50% pertahun (Chan et al, 2002). Di Indonesia karsinoma nasofaring paling banyak dijumpai diantara tumor ganas di bidang THT dan usia

terbanyak yang menderita adalah usia 40 tahun keatas (Munir, 2006).Prevalensi

karsinoma nasofaring di Indonesia sebesar 4,7/100.000 penduduk pertahun

(Soetjipto,1989). Di bagian THT RSUD Dr. Sutomo (selama tahun 2000-2001)

poliklinik onkologi melaporkan penderita baru karsinoma nasofaring berjumlah

623 orang, laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan perempuan (Li,2002).

Di bagian THT RSUP H.Adam Malik, selama 1991-1996 mendapat kasus 160

tumor ganas, 94 kasus (58,81%) merupakan karsinoma nasofaring


(19)

1.2. Perumusan Masalah

Adapun masalah dalam penelitian ini yang ingin diketahui adalah sejauh

mana hubungan antara antibodi anti EBV EBNA-1 dalam serum penderita dengan

karsinoma nasofaring pada etnis Batak.

Hipotesa

Yang menjadi hipotesa pada penelitian ini adalah terdapatnya hubungan

antara antibodi anti EBV EBNA-1 dalam serum penderita dengan karsinoma


(20)

Kerangka Teori

Non Makanan (debu, asap rokok, uap zat kimia,asap kayu bakar,asap kemenyan)

Karsinoma Nasofaring EBV

Genetik

- EBNA-1

- EBNA-2

Makanan (ikan asin )

- LMP-1

- LMP-2A


(21)

1.3. Tujuan Penelitian 1. Umum:

Mengetahui hubungan antara antibodi anti EBV EBNA-1 dalam serum

dengan karsinoma nasofaring yang didiagnosa secara histopatologi.

2. khusus :

A. Untuk mengetahui keberadaan antibodi anti EBV (EBNA-1) dari

penderita karsinoma nasofaring dan untuk mengetahui keberadaan

antibodi anti EBV (EBNA-1) dari orang sehat sebagai pembanding.

B. Untuk mengetahui karakteristik penderita Karsinoma nasofaring dari

segi usia.

C. Untuk mengetahui distribusi histopatologi karsinoma nasofaring.

D. Untuk mengetahui hubungan histopatologi karsinoma nasofaring dengan

keberadaan EBNA-1.

1.4. Manfaat Penelitian

A. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk memahami sejauh

mana peran pemeriksaan kadar antibodi terhadap antigen EBV (EBNA-1).

B. Dapat digunakan untuk mengetahui penyebab karsinoma nasofaring.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasopharing (KNF) adalah merupakan tumor ganas yang

berasal dari epitel nasofaring. Lokasi yang paling sering adalah pada fossa

Rosenmuller. Tumor ini juga dapat dijumpai pada dinding lateral di depan tuba

Eustakhius, di atap nasofaring dan di daerah tuba Eustakhius sendiri (Beasley,

1987). Secara histopatologi World Health Organization (WHO) membagi

karsinoma nasofaring atas tiga tipe. WHO tipe 1 yaitu karsinoma sel skuamous

dengan keratinisasi, WHO tipe 2 yaitu karsinoma nasofaring tanpa keratinisasi

dan WHO tipe 3 yaitu karsinoma nasofaring tanpa differensiasi (Bambang, 1988).

Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,

belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Dinding anterior

berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi,

sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Dinding

posterior nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os

sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang

retrofaring, fasia pre vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral

nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior

dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan

menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu


(23)

Rosenmuller. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang

dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding

postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena

adanya jaringan adenoid (Beasley,1987). Gejala yang yang ditimbulkan oleh

karsinoma nasofaring berkaitan dengan letak dan posisi tumor pada rongga

nasofaring ini.

Gambar 2.1 . Daerah nasofaring (dikutip dari Myers,1989)

2.2. Gejala Umum Penderita Karsinoma Nasofaring

Tanda atau gejala dini karsinoma nasofaring adalah berupa gejala yang

kita jumpai pada telinga, gejala yang kita jumpai pada hidung dan juga gejala


(24)

Tanda ataupun gejala yang dijumpai pada telinga adalah oklusi tuba

eustakhiius. Pada keadaan ini pasien mengeluh rasa penuh pada telinga, rasa

berdengung dan kadang-kadang juga disertai dengan gangguan pendengaran.

Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dari karsionoma nasofaring. Selain

itu juga dijumpai gejala otitis media serosa sampai perforasi dengan gangguan

pendengaran (Soetjipto, 1989).

Gejala yang timbul pada hidung dapat berupa epistaksis. Pada keadaan ini

dinding tumor biasanya rapuh sehingga apabila terjadi iritasi ringan dapat terjadi

perdarahan. Keluar darah biasanya berulang-ulang, dimana jumlahnya sedikit

bercampur ingus, sehingga berwarna merah jambu. Dapat juga terjadi sumbatan

pada hidung yang disebabkan oleh pertumbuhan tumor ke dalam rongga

nasofaring dan menutupi koana. Biasanya gejalanya menyerupai pilek khronis,

gangguan penciuman dan adanya ingus yang kental (Bambang, 1988).

Gejala yang diakibatkan oleh tumor yang mengadakan infiltrasi berupa

benjolan pada leher, di mana benjolan ini tidak dirasakan nyeri dan biasanya

diabaikan oleh penderita. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus,

menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada

otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi dan

merupakan gejala utama yang mendorong penderita datang berobat ke dokter

(Simanjuntak, 2004).

Sel- sel kanker dapat bermetastase melalui aliran getah bening atau darah,


(25)

adalah tulang (femur), hati dan paru-paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan

prognosis sangat buruk (Soetjipto, 1989).

2.3. Penyebab Karsinoma Nasofaring

Penyebab timbulnya karsinoma nasofaring adalah multifaktor,

diantaranya adalah infeksi oleh virus epsteinbarr, overekspresi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) dan pengaruh dari nitrosamin terhadap DNA, sedangkan faktor genetik (ras dan keturunan) disebutkan sebagai faktor risiko untuk

terjadinya karsinoma nasofaring (Thomson, 2004).

Nitrosamin merupakan zat karsinogenik, dibentuk dari nitrit, sering

dijumpai di dalam makanan yang diawetkan atau yang diasinkan. Nitrosamin

disebut sebagai karsinogenik karena nitrosamin dapat merusak rantai DNA.

Nitrosamin tersebut dapat mengubah pasangan basa pada rantai DNA, karena

nitrosamin dapat mentransfer gugus methyl atau gugus ethyl kepada ikatan fosfat

atau basa pada rantai DNA. Biasanya pasangan basa yang sering mendapat gugus

methyl ataupun gugus ethyl tersebut adalah guanin sehingga terbentuk senyawa

nitrosoguanin.

EGFR merupakan suatu glikoprotein yang mempunyai aktivitas intrinsik

kinase. EGFR ini mempunyai tiga daerah fungsional, yaitu yang pertama daerah

glikosilat terletak di luar sel tempat EGF (Epidermal Growth Factor) berikatan, kedua daerah transmembran merupakan daerah yang pendek dan yang ketiga

daerah sitoplasmik merupakan tempat aktivitas dari tirosin kinase. EGF berikatan


(26)

(James, 1988). Aktivasi dan phosforilasi dari tirosin kinase ini akan

mengakibatkan growth factor dan berbagai onkogen menstimulasi pertumbuhan

dan proliferasi sel, sehingga sel tidak mengalami apoptosis (James,2003). Pada sel

kanker ekspresi dari molekul EGFR sering meningkat, karsinoma nasofaring juga

terjadi overekspresi dari molekul EGFR terutama pada karsinoma nasofaring sel

skuamous (Watson, 1988).

Adapun pada penelitian ini lebih memfokuskan pada karsinoma nasofaring

yang disebabkan oleh virus Epsteinbarr.

2.4. Virus Epstein - Barr

Seperti telah diterangkan di atas, salah satu penyebab dari karsinoma

nasofaring ini adalah infeksi dari virus Epsteinbarr. Denis Burkit (1958)

menguraikan kanker primer yang menyerang anak–anak yang terjadi pada daerah

khusus di Afrika. Burkit yakin bahwa ada suatu virus yang berhubungan dengan

terjadinya kanker ini, karena melihat distribusi kasus dari segi geografis dan iklim

Virus epstein-barr (EBV) diidentifikasi pertama kali tahun 1964 oleh

Antony Epstein, Achong dan Yvone Barr pada cell line dari spesimen Burkit’s lymphoma dengan menggunakan mikroskop elektron. Kemudian ditemukan Burkit bahwa serum penderita dengan limfoma, mempunyai titer antibodi lebih

tinggi terhadap EBV dibandingkan dengan kontrol tanpa limfoma (Thomson et al, 2004).

Infeksi primer oleh virus epstein-barr terjadi pada masa anak-anak,


(27)

virus epsteinbarr setelah menginfeksi akan hidup secara menetap di dalam sel

host. Virus Epsteinbarr merupakan penyebab kanker pada manusia misalnya

karsinoma nasofaring, Burkitt lymphoma, Hodgkin’s disease, limfoma dan kanker lambung (Thomson et al, 2004). Untuk lebih memahami virus ini, berikut diterangkan lebih lanjut mengenai seluk beluk virus EBV tersebut.

2.5. Gambaran Molekular Dari Virus Epstein-Barr

Berdasarkan struktur dan sifat imunologinya virus Epsteinbarr

digolongkan ke dalam famili human herpes virus, subfamili gamma herpesvirus dan genus lymphokryptovirus. EBV dimasukkan dalam genus tersebut karena mempunyai kemampuan untuk menginfeksi dan menetap di sel limfosit hostnya

serta menginduksi proliferasi sel yang terinfeksi secara laten (Paul, 2001).

Struktur virus epsteinbarr adalah toroid, dengan panjang 184-kb, nukleokapsid,

protein tegument dan envelop di bagian luarnya. Protein envelop yang paling

banyak adalah bp 350/220. Genom EBV berupa DNA berbentuk linear dan double stranded dan dapat mengkode kurang lebih 100 macam protein. Kapsid dibentuk dari kulit protein (C protein) yang ikosahedral. Kapsid ini dikelilingi oleh lapisan

lipid yang saling berdekatan dan mengandung tiga protein (E1, E2 dan E3). Di

dalam kapsid terdapat nukleokapsid dengan 162 kapsomer, tiap-tiap kapsomer

terdiri dari protein. Tegumen terdapat di luar nukleokapsid merupakan lapisan

amorpis dengan struktur yang fibrous. Tegumen ini berada diantara nukleokapsid

dan envelope. Di luar permukaan envelope mengandung banyak spike yang terdiri dari glikoprotein (Thomson et al, 2004).


(28)

EBV dapat berbentuk linear pada virion yang matur dan bentuk episomal

sirkuler pada sel yang terinfeksi secara laten. Waktu EBV menginfeksi sel, maka

DNA sel akan menjadi bentuk episome sirkuler dengan sejumlah pengulangan

pada terminal, tergantung dari jumlah pengulangan terminal dalam gen induk. Jika

infeksi meluas, maka terjadi infeksi laten tetapi tidak terjadi replikasi (Abdelmajid

et al, 2005).

2.6. Gambaran Infeksi Virus Epstein-Barr

EBV menginfeksi hanya dua bagian tipe sel utama yaitu sel epitel kelenjar

saliva dan sel darah putih jenis sel limfosit B. Infeksi EBV pertama berkembang

di dalam kelenjar saliva. Jumlah virus yang banyak dilepas di dalam saliva, dan

dapat menyebar dari satu orang ke yang lainnya. Infeksi di dalam sel B

mengakibatkan virus berproliferasi. Proses proliferasi sel virus ini dikontrol oleh

sistem imun sel T sitotoksik (CTL). Ini dapat mengakibatkan infeksi

mononukleosis (IM) yang biasanya terjadi pada dewasa muda. Jika respon imun

bekerja tidak baik, maka pada individu yang terinfeksi dengan EBV ini

merupakan resiko untuk terbentuknya sel kanker (Margaret, 2001).

A. Siklus Hidup EBV

Pengetahuan mengenai siklus hidup EBV penting untuk lebih mengerti

dan mengetahui gejala klinis serta diagnostik EBV. Setelah masuk ke dalam tubuh

melalui kontak saliva virus epsteinbarr akan menginfeksi sel B dan akan


(29)

hidupnya di dalam sel B. EBV seperti golongan virus herpes lainnya

menghasilkan infeksi yang lisis dan juga dapat menetap di dalam tubuh yang

terinfeksi dengan menginfeksi secara laten (Damania B,2004). (gambar 1).

Gambar 2.2 . Siklus EBV (dikutip Eleni-Kyriaki, 2004)

1. Infeksi laten

Infeksi berasal dari kontak saliva, di mana EBV akan menginfeksi sel

limfosit B dan akan menghasilkan sejumlah protein laten yaitu EBNA-1,

EBNA-2, EBNA-3 dan tiga protein membrane yaitu LMP-1, LMP-2A dan


(30)

Infeksi EBV pada sel B dimulai dengan penyerangan virus membran

dengan 350/220 bp yang mengandung glikoprotein terhadap komplemen reseptor

(molekul CD21) limfosit. Sebagai ko-reseptor masuknya EBV ke dalam sel B

adalah Major Histocompatibility Complex (MHC) molekul kelas II. Setelah penyerangan ini kompleks CD21 menjadi cross link, mentrigger sinyal aktivasi yang diduga untuk mempersiapkan sel yang terinfeksi EBV. EBV yang berikatan

dengan CD21 segera mengaktifkan tirosin kinase lck dan memobilisasi kalsium. Hal ini akan diikuti oleh meningkatnya sintesis dari mRNA, pembentukan sel

blast, adhesi sel homotypik dan ekspresi CD23 ke permukaan sel limfosit kemudian akan dihasilkan interleukin (IL)–6. Genom virus kemudian menjadi

tidak mempunyai penutup (uncoating) dan akan menuju nukleus yang merupakan

tempat virus bersirkulasi. Sirkulasi dan ekspresi dari W promoter memulai

cascade untuk mengekspresikan protein EBNA dan dua protein membran laten (LMP). Christian et al 2000 menyatakan bahwa gen virus yang diekspresikan ini untuk mempertahankan genom virus tetap hidup di dalam sel limfosit B dan di

dalam sel limfosit B virus epsteinbarr dapat hidup secara laten untuk

kelangsungan hidupnya (latensi II) dan juga dapat hidup secara persisten

(latensi I).

B. Protein laten EBV dan fungsinya

Infeksi khronik EBV di dalam limfosit B secara reguler akan meningkat


(31)

bertujuan untuk memperoleh sel-sel yang bertahan hidup terus menerus secara in

vitro yang disebut dengan lymfoblastoid cell lines (Paul, 2001).

Setiap sel di dalam LCL akan membawa kopi yang multiple dari ekstra

khromosom virus DNA yang sirkuler (episome) dan menghasilkan protein laten,

termasuk antigen nuklear (EBNA) yang terdiri dari EBNA-1, 2 , 3A dan 3C dan

protein membran laten (LMP-1, 2A dan 2B). Di dalam sel limfosit, EBV

mengadakan proliferasi (laten III) dan dapat hidup secara persisten (Toni et al, 2004).

1. EBNA-1

EBNA-1 merupakan suatu protein yang berikatan dengan DNA yang

dibutuhkan untuk proses proliferasi dan mempertahankan genom EBV yang

episome, fungsi ini dicapai melalui pengikatan EBNA-1 dengan Orip (plasmid origin) replikasi virus. EBNA-1 mengandung 641 asam amino, dengan

pengulangan untaian protein glisin – glisin – alanin (Gly – Gly – Ala).

Pengulangan ini merupakan cis acting inhibitor dari MHC klas I sehingga keberadaannya akan terbatas dan akan muncul fungsi inhibisi processing antigen

melalui jalur ubiquitin– proteasom. Dengan adanya EBNA-1 ini mengakibatkan

CD8 inefektif sebagai respons CD+8 - T cells yang terjadi terhadap target sel


(32)

Gambar 2.3 . EBNA-1 (dikutip dari Bochkarev et al)

2. EBNA-2

EBNA-2 merupakan suatu koaktivator transkripsi yang mengkordinasi

ekspresi gen virus dalam infeksi latensi III dan juga sebagai transaktivasi pada gen

sel yang memainkan pengaturan dalam mempertahankan virus epsteinbarr dalam

sel. EBNA-2 merupakan protein laten yang dideteksi setelah terinfeksi dengan

virus epstein-barr. EBNA-2 secara primer mengatur ekspresi virus dan gen sel

yaitu CD23 (marker yang terdapat pada permukaan sel B setelah aktivasi sel B),

c-myc (proto-oncogen sel) dan EBNA C promoter virus. Regulasi ini dicapai tidak dengan pengikatan DNA secara langsung tetapi oleh pengikatan faktor

transkripsi lainnya (Cp berikatan dengan faktor I), yang akan membawa

transkripsi yang kuat pada domain EBNA-2 mendekati promoter C (Cp). Efek

dari aktivasi transkripsi EBNA-2 tidak dibatasi oleh interaksi dengan Cp berikatan

faktor I. Pengikatan Cp dengan faktor II meningkatkan kemampuan dalam


(33)

berinteraksi dengan faktor transkripsi lainnya termasuk jalur sinyal notch

(Thomson, 2004).

3. EBNA-3A, 3B dan 3C

EBNA-3A, 3B dan 3C merupakan regulator transkripsi, dimana EBNA-3A

dan 3C penting sebagai transformasi dalam sel B. Ketiga EBNA ini berinteraksi

dengan Cp yang berikatan dengan faktor I. Cp berikatan dengan faktor I termasuk

jalur sinyal notch dan mengekspresikan secara berlebih notch protein yang diobservasi di dalam sel T pada kasus keganasan (Thomson, 2004).

4. LMP – 1

LMP-1 salah satu antigen dari EBV yang diekspresikan pada fase laten

dari EBV. LMP–1 merupakan protein membran integral dengan enam segmen

hidrofobik, mempunyai gugus COOH terminal di dalam sitoplasma. Ada empat

jalur sinyal yang diindikasikan sebagai fungsi dari LMP-1 yaitu NF–kB,

JNK/AP-1, p38/MAPK dan JAK/STAT. Di dalam gugus C terminal dari LMP-1

mempunyai dua daerah yang aktif, disebut CTAR 1 dan CTAR 2 (C-terminal

activating region 1 dan 2). CTAR 1 berlokasi di daerah proksimal dari membran

(asam amino 186 – 231) dan penting sebagai mediator EBV untuk transformasi

primer di dalam sel B. CTAR2 (asam amino 351–386) berlokasi di daerah ekstrim

C terminal dari LMP-1 dan dibutuhkan untuk pertumbuhan EBV di dalam sel

dalam waktu yang lama.(Xu Jingwu et al, 2000). LMP-1 mempunyai kemampuan dalam menginduksi EGFR merupakan suatu reseptor tyrosine kinase yang


(34)

terbentuknya sel kanker karena dapat mencegah kematian dari sel (apoptosis)

(Curran, 2001).

Aktivasi dari transkripsi faktor NF-kB (nukleus faktor) merupakan

indikasi pertama yang penting bagi penyimpangan sinyal sel dari LMP-1. CTAR 1

dan CTAR 2 dapat mengaktifkan NF-kB secara independen. Sekitar 70-80% dari

CTAR 2 dari LMP-1 merupakan mediator yang mengaktifkan NF-kB melalui

interaksinya dengan Tumor Nekrosis Factor Reseptor (TNFR) associated death domain protein (TRADD). Sedangkan sisanya 20-30% dari LMP-1 sebagai mediator aktivasi NF-kB dicapai melalui CTAR 1 dengan interaksi dengan

beberapa TNFR associated factor (TRAFs) (Damania, 2004). LMP-1 mengaktifkan JNK (c-Jun N terminal kinase) cascade yang dikenal juga sebagai

stress aktivasi protein kinase (SAPK) cascade melalui CTAR 2, di mana aktivasi jalur p38/MAPK di mediator oleh CTAR1 dan CTAR 2. Pengulangan yang

mengandung prolin dengan 33 bp C terminal dari LMP-1 bersama dengan

pengulangan dengan sekitarnya merupakan mediator yang mengaktifkan janus

kinase 3 (JAK3). LMP-1 secara langsung berhubungan dengan terjadinya

oncogenesis karena LMP–1 mempunyai kemampuan menginhibisi terjadinya apoptosis dan dapat meningkatkan konsentrasi Bcl2 (Munz et al, 2000).


(35)

Gambar 2.4. LMP-1 (dikutip dari Damania, 2004)

5. LMP–2A dan LMP–2B

LMP-2 terdri atas LMP–2A dan LMP–2B. Struktur LMP-2A dan 2B

mirip, keduanya mempunyai 12 domain transmembran dan 27 asam amino

sitoplasma pada gugus C terminal. LMP-2A mempunyai 119 asam amino pada

gugus N terminal di dalam sitoplasma. LMP–2A dikode di dalam exon 1, tapi

LMP–2B tidak. Gugus NH2 terminal LMP-2A berada di dalam sitoplasmik dan

mengandung immunoreseptor tirosin. LMP–2 ini merupakan modifikasi EBV di

dalam perkembangan sel B untuk mempertahankan latensi EBV di dalam sumsum

tulang. LMP-2A dan 2B penting sebagai transformasi sel B (Thomson, 2004).


(36)

protein tirosine kinase (PTKs) sama dengan Syk, keduanya merupakan mediator penting sebagai sinyal transduksi untuk BCR. Hubungan LMP-2A dengan tirosin

kinase ini penting untuk menghambat BCR yang menstimulasi mobilisasi

kalsium, fosforilasi tirosin dan aktivasi infeksi lisis dari EBV di dalam sel B.

Ekspresi LMP-2A mengakibatkan perubahan perkembangan sel B, yang diikuti

oleh sinyal BCR yang negative pada sel B untuk keluar sumsum tulang dan

bertahan hidup di dalam organ limfoid perifer. LMP-2A mempertahankan latensi

dari virus dengan mencegah aktivasi BCR yang normal, yang merupakan awal

dari replikasi lisis virus, dan ini merupakan jalur untuk menopang hidup didalam

infeksi sel B yang laten (Damania, 2004).

Gambar 2.5. LMP-2A (dikutip dari Damania, 2004)


(37)

Di dalam sel limfosit B, setelah EBV berikatan dengan reseptor CD21,

maka EBV akan masuk ke dalam sel host dan akan mengalami penetrasi secara

komplit. Virus akan keluar dari sel yang mati dan akan menginfeksi sel yang lain.

Di dalam sel tersebut virus mengalami replikasi dan akan dihasilkan genom virus

dengan double strand yang linear, di mana sebelumnya genom virus berbentuk

sirkuler. Fase lisis ini ditandai oleh ekspresi dari transkripsi protein virus yaitu

salah satunya adalah viral capsid antigen (Damania, 2004).

2.7. Hubungan Infeksi Virus Epstein-Barr dengan Karsinoma Nasofaring

Walaupun telah diketahui adanya hubungan yang erat antara infeksi virus

Epsteinbarr dengan karsinoma nasofaring tetapi mekanisme hubungan ini sampai

saat ini belum jelas diketahui. Beberapa hipotesis mengatakan bahwa virus

epsteinbarr sebagai faktor penyebab, dimungkinkan karena kepekaan seseorang

atau adanya interaksi antara faktor lingkungan, genetik dan faktor lainnya yang

bekerja secara harmonis dan bersifat sinergis sehingga menimbulkan karsinoma

nasofaring.

Hubungan antara infeksi virus epsteinbarr dengan karsinoma nasofaring

diperkuat dengan meningkatnya konsentrasi antibodi anti EBV pada pasien

karsinoma nasofaring jenis IgG terhadap kapsid antigen dan antigen awal (Early

antigen). Juga terjadi peningkatan antibodi anti EBV jenis IgA terhadap kapsid

antigen dan antigen awal (Hwee-Ming et al, 1991). Pada serum penderita karsinoma nasofaring didapat reaksi IgG/IgA yang kuat terhadap produk-produk


(38)

setelah terjadi infeksi primer terhadap virus epsteinbarr pada suatu individu maka

sejumlah antibodi terhadap antigen virus diproduksi oleh tubuh (Servi et al, 2005). Dari hasil hampir semua penelitian menyebutkan bahwa karsinoma

nasofaring berhubungan dengan infeksi virus ebstein-barr yaitu karsinoma

nasofaring tipe 2 dan tipe 3 menurut pembagian dari WHO (Krisna, 2004).

Pertumbuhan sel menjadi ganas secara umum dapat dipengaruhi dan

dicetuskan oleh banyak faktor sepert virus, gen, bahan kimia dan faktor fisika.

Secara garis besar antigen tumor dalam kasus keganasan yang diinduksi oleh virus

DNA dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu antigen virus spesifik adalah

antigen yang timbul dari badan atau bagian dari virus itu sendiri dan antigen

bentuk baru (newly formed antigen) adalah antigen yang merupakan hasil

interaksi antara sifat virus dan sel tuan rumah (host).

Menurut sifat biologi virus penyebab tumor dibagi menjadi dua kelompok

utama yaitu virus DNA dan virus RNA. Akibat infeksi virus DNA dapat

menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : infeksi virus DNA tersebut terhadap

sel yang bersesuaian akan menyebabkan kematian sel tersebut dan menyebabkan

replikasi virus secara utuh, sedangkan infeksi virus terhadap sel yang tidak

bersesuaian akan menyebabkan dua kemungkinan yaitu kematian dari virus

sehingga sel kembali normal atau terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel

dan virus akan menyebabkan perubahan sifat sel, perubahan metabolisme sel,

pertambahan laju pertumbuhan sel, pembentukan antigen baru yang sifatnya

berasal dari virus karena DNA virus berinteraksi dengan DNA sel sehingga terjadi


(39)

pada karsinoma nasofaring dihasilkan agent-agent yang merupakan anti apoptosis,

sehingga mencegah kematian sel dan mengakibatkan sel menjadi kanker

(James,2003)

2.8. Epidemiologi Infeksi Virus Epstein-Barr

Infeksi virus Epsteinbarr terhadap manusia mengakibatkan virus akan

tetap bertahan di dalam tubuh yang terinfeksi dan tidak menimbulkan sakit.

Infeksi virus Epsteinbarr hampir terjadi kira-kira 90% populasi di dunia..Biasanya

infeksi dari EBV ini sudah terjadi pada masa kanak-kanak. Penyebaran terutama

melalui transfer saliva, dan biasanya bila menimbulkan gejala dapat sembuh

dengan sendiri EBV-1 dan EBV-2 berbeda di dalam distribusi geografis. EBV-1

lebih sering menginfeksi populasi. Biasanya EBV-2 mendekati prevalensi EBV-1

di New Guinea, di daerah equator Afrika. Endemik Burkitt’s lymphoma yang

terjadi di equator Afrika disebabkan oleh EBV-2. Di Taiwan terjadinya karsinoma

nasofaring disebabkan 85% oleh EBV-1. Pasien dengan penurunan daya tahan

tubuh umumnya dijumpai EBV dengan dua subtype tersebut (Thomson, 2004).

Sebagian besar infeksi primer terjadi pada usia awal, penularannya terjadi

melalui air susu ibu atau air liur dan asimptomatik. Di negara maju infeksi

biasanya terjadi pada usia remaja atau dewasa awal dan pada 50% individu yang

terinfeksi timbul gejala klinis yang disebut infeksi mononukleosis (IM). Virus ini

berkembang biak di oropharing dan hampir semua individu yang seropositif

secara aktif menghasilkan virus di air liurnya. Seperti herpses virus yang lain,


(40)

2.9. Epidemiologi Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring tersebar di seluruh dunia, di mana insidensi

tertinggi ditemukan pada etnis China yang tinggal di China Selatan, Hong Kong,

Taiwan, dan Singapura (Curran, 2006). Insidensi yang menengah terjadi pada

penduduk asli Afrika dan populasi mediteranian, penduduk asli dari Greenland

dan Alaska dan suku melayu dari Singapura dan Malaysia. Insiden yang rendah

ditemukan pada penduduk Amerika dan kulit putih di Eropa dan Jepang (Fachiroh

et al, 2004).

Di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah bagian selatan, KNF yang tidak

terdifferensiasi (undiferentiated) merupakan tumor yang paling banyak

ditemukan, dengan angka kejadian 6,2 pada laki–laki dan 4,6 pada wanita dengan

angka kejadian insidensinya 3,9 per 100.000 per tahun. Di Jogjakarta, karsinoma

nasopharing terdiri dari 21,8 % terjadi pada pria dan 7,9 % pada wanita (Fachiroh

et al, 2004).

Di Medan dilaporkan selama sepuluh tahun (1979-1989) di dapatkan 170

penderita karsinoma nasofaring baru atau 39,6% keganasan di bidang THT,

perbandingan laki-laki dan wanita 3:1, umur termuda 10 tahun dan umur tertua 70


(41)

Hal yang merupakan resiko timbulnya karsinoma nasofaring

1. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan non makanan yang diduga berperan dalam terjadinya

karsinoma nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar,

asap dupa (kemenyan), bahan bakar minyak, cat, vernis, bahan bakar kimia

lainnya, panas industri, panas solar yang terekspos dari luar. Selain itu juga dapat

disebabkan oleh inhalasi berbagai partikel termasuk senyawa formaldehid dan

senyawa hidrokarbon aromatik. Kebiasaan merokok aktif maupun pasif dan

mengkonsumsi alkohol juga disebutkan dapat mengakibatkan karsinoma

nasofaring (Amstrong et al, 2000). 2. Faktor Genetik (Ras dan Keturunan)

Banyak para ahli berpendapat bahwa karsinoma nasofaring ini

berhubungan dengan faktor genetik (keturunan dan ras). Insidensi karsinoma

nasofaring ini tinggi pada orang-orang di China Selatan, baik yang tinggal di

negaranya sendiri ataupun yang telah bermigrasi ke berbagai negara lain. Hal ini

juga dijumpai pada campuran keturunan China. Insidensi yang tinggi ini diduga

bahwa ada faktor genetik yang berperan, di mana pada penderita ini dijumpai

adanya assosiasi NPC dengan Histocompability Locus Antigen (HLA) kelas I dan

II (Hildesheim et al, 2002). Jadi individu yang memiliki HLA jenis ini bila terinfeksi dengan virus epsteinbarr cendrung mengakibatkan terjadinya karsinoma


(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara Cross sectional study

3.2. Tempat dan waktu Penelitian

Sampel diambil dari Departemen THT – KL Rumah Sakit Haji Adam

Malik. Untuk pemeriksaan serologi EBV dilakukan di Laboratorium Spectrum

Medan. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan mulai bulan Februari

sampai April 2007.

3.3. Sampel Penelitian :

Pada penelitian ini digunakan sampel yang sudah didiagnosa dengan

karsinoma nasofaring secara pemeriksaan histopatologi. Serum sampel ini

dikumpulkan oleh staf Departemen THT. Sampel yang dipilih adalah yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi

Semua penderita yang didiagnosa dengan karsinoma nasofaring secara

pemeriksaan histopatologi. Pasien yang dipilih adalah pasien yang berasal dari

suku Batak. Adapun yang dimaksud dengan suku Batak di sini adalah Batak

Toba, Mandailing, Karo, Dairi, Simalungun dan Nias. Umur pasien yang

diambil sebagai sampel di sini tidak dibatasi. Sampel kontrol adalah


(43)

Kriteria ekslusi

Penderita nasofaring dalam keadaan hamil.

3.4. Besar sampel :

Besar sampel dihitung berdasarkan rumus :

n1=n2 (Zg 2 PQ + Zβ P1Q1 + P2Q2 )2

( P1 – P2 )2

Zg = 1,96 Zβ = 0,84

P1 = 0,68 Berdasarkan penelitian sebelumnya Krishna S.M, Serum

P2 = 0,23 EBV DNA as biomarker in Primary Nasopharyngeal

Carcinoma of Indian Origin.

P= P1+P2

2

P= 0,45

Q= 1-P


(44)

Q= 0,55

( 1,96 2 . 0,45 . 0,55 + 0,84 0,68 . 0,32 + 0,23 . 0,77 )2 ( 0,68 – 0,23 )2

n1=n2 = 20

jadi berdasarkan perhitungan rumus di atas dibutuhkan sampel untuk penelitian ini


(45)

3.5. Kerangka kerja

Dugaan karsinoma nasofaring

Histopatologi

(+) karsinoma nasofaring

(-) karsinoma nasofaing

EBNA-1 (-) EBNA-1

(+)

Non karsinoma nasofaring (kontrol)


(46)

3.5. Pada penelitian ini variabel bebasnya (independent) adalah infeksi virus Epstein-barr, sedangkan variabel tergantungnya (dependent) adalah karsinoma

nasofaring. Pada penelitian ini sebagai parameter untuk mengetahui variabel

bebas dilakukan dengan pemeriksaan EBNA-1 di dalam serum pasien karsinoma

nasofaring. Pengukuran EBNA-1 ini dinilai positif bila konsentrasinya di dalam

plasma pasien > 12 U/ml, sedangkan EBNA-1 dinilai negatif bila konsentrasinya

< 8 U/ml.

3.6. Alat-alat dan Bahan 1. Alat :

1. Inkubator general (370C) 2. Lemari pendingin (40C)

3. Satu (1) set mikropipet (1- 1000 ul)

4. Multichannel pipette

5. ELISA washer


(47)

2. Reagensia dan kandungannya :

1. EBNA-1 Antigen

2. 14 ml Ig-A enzim konjugat

3. 2 ml Negative kontrol, 1U/ml.

4. 2 ml Larutan Standard5, 10 U/ml.

5. 2 ml Larutan kontrol positif lemah, 50 U/ml

6. 2 ml Larutan kontrol, 150 U/ml.

7. 60 ml sampel diluent

8. 60 ml larutan buffer pencuci (10X).

9. 14 ml Larutan substrat TBM

10. 14 ml Larutan penghenti (Stop solution).

11. Well plate ELISA.

Reagensia ini diproduksi oleh Indec.

Cat. No : CE – V17A

Lot No : EVA – 117.

3.7. Cara kerja :

1. Sampel diencerkan di dalam sampel diluent yaitu :

a) dengan cara 10 l serum dimasukkan ke dalam 1000 l sampel diluent.

b). Kemudaian 100 l serum yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam

mikrotiter dan diaplikasikan per-well ELISA plate.


(48)

2. Cuci dengan larutan buffer sebanyak tiga kali. Larutan buffer ini diencerkan

10 x dengan cara 90 ml aqua ditambahkan larutan buffer.

3. 100 l enzim konjugate ditambahkan ke dalam setiap well ELISA plate yang

telah dicuci dengan larutan buffer.

4. Inkubasi selama 30 menit.

5. Buang larutan sampel tersebut dengan mencuci memakai larutan buffer.

6.Setelah pencucian tersebut tambahkan 100 l larutan TMB ke dalam well

ELISA plate.

7. Inkubasi plate dalam gelap dan ditutup selama 20 menit.

8. Masukkan 100 l larutan stop TMB untuk menghentikan reaksi yang terjadi

pada well ELISA plate antara antigen dan antibodi.

9.Pembacaan panjang gelombang Intensitas warna diamati dengan pembacaan


(49)

Gambar 3.1. Sampel yang akan diperiksa.


(50)

3.8. Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan uji statistik Chi –

Square test, di mana hasil uji statistik bermakna jika p< 0,005, dengan

mengunakan program SPSS 10.


(51)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini sampel yang diperiksa adalah penderita karsinoma

nasofaring pada etnis Batak yang berobat di RSHAM, di mana yang terbanyak

diteliti adalah jenis karsinoma nasofaring yang undifferensiasi sebanyak 15 kasus

(57,7%), karsinoma sel skuamous keratinisasi sebanyak 8 kasus (30,8%) dan

karsinoma nasofaring tanpa keratinisasi sebanyak 3 kasus (11,5%). Pada

penelitian ini telah dianalisa sebanyak 26 sampel pasien penderita karsinoma

nasofaring dan 20 sampel adalah yang tidak menderita karsinoma nasofaring (atau

orang sehat) sebagai kontrol. Pemeriksaan histopatologi terhadap 26 sampel

menghasilkan data sebagai berikut :

Tabel 4.1. Distribusi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan histopatologis.

Histopatologis Frekwensi Persentase

Karsinoma sel

squamous keratinisasi

8 30,8

Karsinoma nasofaring tanpa keratinisasi

3 11,5

Karsinoma nasofaring undifferensiasi

15 57,7


(52)

0 2 4 6 8 1 0 1 2 1 4 1 6

Frek

SCC NKC UC

Grafik 4.1.Distribusi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan histopatologis.

Tabel 4.2. Hubungan konsentrasi EBNA-1 dengan karsinoma nasofaring

EBNA-1 Pasien (Persentase) Kontrol (Persentase)

(+) 21 (80,8) 0 (0%)

(-) 5 (19,2) 20 (100%)

Jumlah 26 (100) 100%

p<0,05

Dari tabel di atas terlihat bahwa 80,8% sampel karsinoma nasofaring

yang diperiksa mempunyai antibodi anti EBNA-1. Sedangkan 19,2% dari sampel

ini tidak menunjukkan adanya antibodi anti EBNA-1. Pada pemeriksaan terhadap

sampel kontrol yang bukan kasus karsinoma nasofaring ternyata 100% tidak

mempunyai antibodi anti EBNA-1. Hasil analisa data di atas dengan mengunakan


(53)

nasofaring dengan adanya antibodi anti EBNA-1 (p<0,05). Ini berarti bahwa pada

penelitian ini infeksi virus epstein-barr menyebabkan karsinoma nasofaring.

0 5 1 0 1 5 2 0 2 5 EBNA-1 ( + )

EBNA-1 ( -)

KNF Kontrol

Grafik 4.2. Hubungan konsentrasi EBNA-1 dengan karsinoma nasofaring

Tabel 4.3. Hubungan EBNA-1 dengan karsinoma nasofaring berdasarkan histopatologi

Histopatologi Total

Karsinoma nasofaring tanpa keratinisasi Karsinoma nasofaring sel squamous keratinisasi Karsinoma nasofaring undifferensiasi EBNA 1 -

1 1 3 5

+ 2 7 12 21

Total 3 8 15 26

Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 26 kasus karsinoma nasofaring yang


(54)

nasofaring tanpa keratinisasi dari 3 kasus yang diperiksa, 2 kasus mempunyai

antibodi anti EBNA-1, karsinoma nasofaring sel skuamous keratinisasi dari 8

kasus yang diperiksa, 7 kasus mempunyai antibodi anti EBNA-1, sedangkan

karsinoma nasofaring yang tidak terdifferensiasi dari 15 kasus yang diperiksa

yang mempunyai antibodi anti EBNA-1 adalah 12 kasus. Dari hasil analisis data

yang menggunakan uji chi-square diperoleh nilai p> 0,05 yang berarti tidak ada hubungan EBNA-1 dengan karsinoma nasofaring berdasarkan jenis histopatologi.

0

2

4

6

8

10

12

EBNA-1( + )

EBNA-1( - )

SCC

NKC

UC

Grafik 4.3. Hubungan EBNA-1 dengan karsinoma nasofaring berdasarkan histopatologi


(55)

Tabel 4.4. Distribusi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan jenis

kelamin

Jenis kelamin FREKWENSI Persentase

Laki-laki 17 65,4

Perempuan 9 34,6

Total 26 100,0

Dari tabel IV menunjukkan bahwa penderita krsinoma nasofaring yang

diteliti berjenis kelamin laki-laki sebanyak 17 kasus (65,4%). sedangkan jenis

kelamin perempuan sebanyak 9 kasus (34,6%) dari 26 kasus yang diperiksa. Dari

tabel ini terlihat penderita karsinoma nasofaring lebih banyak terjadi pada

laki-laki dibanding perempuan. Sedangkan kontrol yang diperiksa sebanyak 20

sampel, di mana 10 orang berjenis kelamin perempuan dan 10 orang berjenis

kelamin laki-laki

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

Frekw ensi

Laki- laki

Perempuan

Grafik 4.4. Distribusi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin.


(56)

Tabel 4.5. Distribusi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan umur dan jenis kelamin

GOLONGA N UMUR

(TH)

PRIA WANITA JUMLAH PERSENTASE

30-39 4 4 8 30,76

40-49 4 4 8 30,76

50-59 3 0 3 11,53

60-69 2 1 3 11,53

70-79 2 0 2 7,69

Jumlah 17 9 26 100

Dari hasil penelitian ini dijumpai 2 orang laki-laki menderita karsinoma

nasofaring pada usia 70 tahun di mana ini merupakan usia paling tua yang

diperiksa pada penelitian ini, sedangkan usia termuda yang diperiksa pada

penelitian ini adalah 34 tahun. Sampel kontrol yang diperiksa pada penelitian ini

usia termuda 23 tahun dan usia tertua adalah 71 tahun. Berdasarkan atas tabel di

atas di dapati bahwa penderita karsinoma nasofaring dapat terjadi pada usia muda


(57)

BAB V PEMBAHASAN

Pada penelitian ini sebanyak 21 kasus (80,8%) pemeriksaan EBNA-1

menunjukkan nilai yang positif dari 26 kasus yang diperiksa. Distribusi dari

pemeriksaan karsinoma nasofaring tersebut adalah bahwa pada karsinoma

nasofaring yang undifferensiasi dijumpai 12 kasus (57,14% ) mempunyai antibodi

anti EBNA-1 dari 15 kasus yang diperiksa. Pada karsinoma sel squamous

dijumpai 7 kasus (33,33%) mempunyai EBNA-1 yang positif dari 8 kasus yang

diperiksa, sedangkan dari 3 kasus karsinoma keratinisasi menunjukkan 2 kasus

(9,52%) yang antibodi anti EBNA-1 nya. Pemeriksaan terhadap 20 sampel kontrol

menghasilkan 100% tidak mempunyai antibodi anti EBNA-1. Dengan uji statistik

Chi-Square terhadap data-data di atas diperoleh nilai p<0,005, berarti pada

populasi yang diteliti dijumpai hubungan yang bermakna antara antibodi anti EBV

(EBNA-1) dengan karsinoma nasofaring tersebut.

Hal ini sebagaimana telah kita ketahui bahwa infeksi virus epstein-barr

merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya karsinoma nasofaring, di mana

umumnya infeksi virus epstein-barr ini sudah terjadi sewaktu masa anak-anak.

Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar

saliva dan sel limfosit. Infeksi virus epstein-barr di limfosit dimulai dengan

penyerangan virus dengan komplemen reseptor (molekul CD21) pada membran

sel yang mengakibatkan terbentuknya genom virus yang baru (uncoating).

Kemudian genom virus tersbut akan menuju nukleus. Kemudian genom virus


(58)

bersirkulasi. Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan

beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus

epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang

meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi

normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus

sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi

transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. (James, 2003).

Di samping itu dengan adanya faktor kebiasaan sering mengkomsumsi makanan

yang diasinkan, peranan lingkungan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia dan

juga faktor gen merupakan faktor resiko untuk terjadinya karsinoma nasofaring

(Zachreni et al 2002)

Hasil penelitian ini sejalan/sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Krisna terhadap karsinoma nasofaring, di mana dijumpai 20 kasus (69%) dari 29

kasus yang diperiksa menunjukkan adanya virus epstein-barr di dalam jaringan

penderita dengan pemeriksaan PCR dan dijumpai 15 dari 20 kasus yang diperiksa

dijumpai adanya antibodi anti EBNA-1 di dalam serum penderita tersebut.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zachreni juga dijumpai adanya

hubungan Virus Epstein-barr dengan karsinoma nasofaring, di mana pada

penelitiannya dijumpai sebanyak 56,66% jaringan penderita karsinoma nasofaring

terdapat virus Epstein-barr yang diperiksa secara immunohistokimia.

Dengan demikian hasil penelitian ini menguatkan hasil-hasil penelitian

sebelumnya yaitu terdapat hubungan yang erat dan bermakna antara infeksi virus


(59)

Fachiroh dkk (2004) menyebutkan bahwa karsinoma nasofaring yang tidak

terdifferensiasi 100% berhubungan dengan infeksi virus epstein-barr, tetapi pada

penelitian ini, karsinoma nasofaring yang tidak terdifferensiasi ada yang tidak

dijumpai keberadaan EBNA-1 di dalam serum plasma.

Pada penelitian ini didapati penderita karsinoma nasofaring pada

kelompok 30- 39 dan 40 - 49 sebanyak 30,76% , kelompok umur 50 – 59 dan 60 –

69 sebanyak 11,53% sedangkan kelompok umur 70 – 79 sebanyak 7,69%, pada

penelitian ini dijumpai umur yang termuda pada usia 34 tahun sedangkan umur

yang tertua dijumpai pada usia 79 tahun. Penelitian Zachreni (1999) terhadap

penderita karsinoma nasofaring, penderita terbanyak pada usia 50-59 tahun (40%).

Lutan di Medan (1979) usia termuda dijumpai adalah 10 tahun dan tertua pada

usia 79 tahun. Penelitian Adenan (1994) di Medan umur termuda 13 tahun sedang

tertua pada usia 76 tahun (Adnan,1996), juga pernah dilaporkan di Semarang usia

termuda terkena karsinoma nasofaring adalah usia 4 tahun , di Jakarta dilaporkan

usia termuda 8 tahun, Palembang dan Bandung pada usia 13 tahun

(Djojodiharjo,1986). Jadi ternyata usia seseorang tidak menentukan kapan

kemungkinan untuk menderita karsinoma nasofaring.

Perbandingan laki-laki dan perempuan pada penelitian ini dijumpai

sebanyak 17 (65,4%) kasus karsinoma adalah berjenis kelamin laki-laki,

sedangkan perempuan dijumpai sebanyak 9 (34,6%) ksus. Perbandingan pria dan

wanita pada penelitian Lutan (1979) di Medan mendapatkan 3:1, Sastrowijoto


(60)

penelitian menyebutkan bahwa penderita karsinoma nasofaring lebih banyak pada


(61)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Dijumpai adanya hubungan yang bermakna antara antibodi anti

Epsteinbarr virus (EBNA-1) dengan karsinoma nasofaring pada

pasien etnis Batak.

2. Gambaran histopatologi yang diteliti pada penelitian ini yang

terbanyak adalah karsinoma nasofaring yang undifferensiasi

(57,7%).

3. Karsinoma nasofaring pada penelitian ini terbanyak pada usia

30-49 tahun.

4. Tidak dijumpai adanya hubungan yang bermakna keberadaan


(62)

Saran

1. Meskipun sudah signifikan bahwa infeksi virus epstein-barr sebagai

penyebab karsinoma nasofaring tetapi perlu dilakukan pemeriksaan

lagi untuk mengetahui penyebab pasti bahwa infeksi virus epstein-barr

mengakibatkan karsinoma nasofaring dengan melakukan pemeriksaan

PCR atau dengan binatang percobaan.

2. Semua pasien yang diduga karsinoma nasofaring dilakukan

pemeriksaan EBNA-1, karena dapat membantu menguatkan diagnosa

karsinoma nasofaring, di mana ini berguna untuk mengetahui bahwa

karsinoma tersebut disebabkan oleh virus epsteinbarr atau karena


(63)

KEPUSTAKAAN

Adnan A,1996, Beberapa Aspek karsinoma nasofaring bag. THT FK USU RSUP.H.Adam Malik Medan,Tesis.

Allan hildesheim et al,2002, Association of HLA Class I and II Alleles and Extended Haplotypes With Nasopharyngeal Carcinoma in Taiwan . JNCI Cancer Sperctrum, vol.94, No.23, 1780-1789.

Armstrong R.W., Imrey P.B., Lyc M.S., Armstrong M.J., Yu M.C., Sani S., 2000,

Nasopharyngeal carcinoma in Malaysian Chinese: occupational

exposures to particles, formaldhyde and heat. International Journal of Epidemiology.29:991-8.

Asroel H.A,2002, Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring, Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga. Universitas Sumatera Utara. Digitized by USU digital library.

Bouvier G., Hergenhahn M., Polack A., Bornkamm G.W., 1995, The G.de and Bartsch H, Characterization of macromolecular lignins as Epstein – Barr virus inducer in foodstuff associated with nasopharyngeal carcinoma risk.. 16: 1879-1885

Bochkarev et al, 1996 Se muestra la estructura cristalina del EBNA1 unida al ADN. La región azul representa la parte central de la proteína, con los anillos dorados que representan las regiones adyacentes heleicodales alfa , que también contactan con el ADN. Cell 84:791

Bambang S.S. 1997, Asean Otorhinolaryngology- Head and Neck Surgery Journal Vol.1 No.1..W.H.O classification of the nasopharyngeal carcinoma in North Central Java.

Beasley P.In Scott Brown’s Otolaryngology Basic science1978,5 th Ed.Butterworth, London, Boston, Dublin, Singapora, Sidney, Toronto, Melborne, ,245-271, Anatomy of the pharynx and oesophagus.

Chan A.T.C., Teo P.M.L., Johnson P.J., 2002, Nasopharyngeal carcinoma. Annals of Oncology 13: 1007-1015.

Curran .A, Laverty F.S, Campbell D, Macdiarmid J and Wilson J.B. 2006

Damania, B. 2004. Human Gammanherpesviruses: EBV and HHV-8. Fields Virology, 4th edition, Chapters 74,75 and 82. Nature Rev Microbiol 2:656


(64)

Djojodiharjo B, 1986, Karsinoma Nasofaring Pada Anak. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah, Konas VIII Perhati, Ujung Pandang, 6-9 Juli, hal. 110-115

Fachiroh J., Schouten T., Hariwiyanto B., Paramita D.K., Harijadi A., Haryana S.M., Ng. Mun.H., and Middeldorp J.M. 2004. Molecular Diversity of Epstein-Barr Virus IgG and IgA antibody Responses in Nasopharyngeal carcinoma: a comparison of Indonesian, Chinese, and European Subjects.JID. 190 : 53-62

Gulley .M.L. 2001 Molecular Diagnosis of Epstein-Barr Virus Related Diseases. Journal of Molecular Diagnostics,; 3 (1).

Henle, G. and Henle, W. Epstein Barr virus specific IgA serum antibodies as an outstanding feature of nasopharyngeal carcinomal. Int J cancer 17: 1, 1976.

Infectious mononucleosis and Epstein–Barr virus,2004 Eleni-Kyriaki. Reviews in Molecular Medicine ; http:// www.expertreviews.org.

Huang D.P., Ho, J.H., Henle, W and Henle, G. Demonstration of Epstein-Barr Virus associated nuclear antigen in nasopharyngeal carcinoma from fresh biopsies. Int. J Cancer 14: 580, 1974.

James D.Watson,et al, Molecular Biology of The Gene,fourth edition. Some DNA Repair Enzymes Recognize and Reverse Specific Products of DNA Damage : Photolyase and 06- Methylguanine Methyltrasnferase, page 346.

Krishna S.M., James S, Kattoor J and Balaram P, 2004. Serum EBV DNA as a Biomarker in Primary Nasopharyngeal Carcinoma of Indian Origin. Jpn J Clin Oncol. 34 (6) : 307-311

Longnecker, 1998 R Pathogenesis of Epstein-Barr virus. In Human Tumor Viruses. (McCance, D., ed),pp. 133 – 174, ASM Press .

Lutan R. Blood- Groups and Nasopharyngeal Carcinoma, Departement of otolarynglogy North Sumatra University School of Medicine Dr. Pirngadi Hospital, Medan – Indonesia, 1988.

Lukito J.S., Patologi karsinoma nasofaring, Majalah Kedokteran Nusantara, Vol.XXXIV, No.2-3, FK USU Medan, Juli- September,1994, 606-611.

Li P, Ai P, Chen L, Yang Y,Li Z, Zhang H. Analysis on clinical data of 677 death cases with nasopharyngeal carcinoma. Lin Chuang Er Bi Yan Hou Ke


(65)

Ming Cheng H., Ting Foong Y., Kook Sam C., Prasad U and Dillner J., 1991Epstein-Barr Virus Nuclear Antigen 1 Linear Epitopes That Are Reactive with Immunglobulin A (IgA) or IgG in Sera from Nasopharyngeal Carcinoma Patients or from Healthy Donors.Journal of Clinical Microbiology . 29:2180-2186.

Myers EN, Suen JY,1989 Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill Livngstone, h .495-507.

Mungerson M.S., Ikeda M., Lev.L., Longnecker R., and Portis T., 2003. Identification of latent membrane protein 2A (LMP2A) specific targets for treatment and eradication of Epstein-Barr virus (EBV) – associated diseases. JAC, 200;, 52: 152-154.

Munir D. Beberapa Aspek Karsinoma Nasofaring pada Suku Batak di medan dan sekitarnya. The Journal Of Medical School University of Sumatera Utara, 2006; Vol.39 (3) : 223 – 226.

McKee R.James, Gene Information,Biochemistry, The Molecular Basis of Life, Third Edition, Chapter 18, page. 654.

Munz C., Bickham L.K., Subklewe M.,Tsang L.M., Charoudi A., Kurilla G.M., et al . 2000. Human CD4 T lymfocytes Consistently Respond to Latent Epstein-barr Virus Nuclear antigen 1. The Journal of Experimental Medicine 2000 ; 191:1-29.

Oberender,H.,Nowak,R., Donvier,B.E., Venka,V., Tetrin,W. and Kankel, N. EBV specific antibodies in patients with nasopharyngeal carcinoma. Laryngorhinologie 68: 181, 1989.

Paul G.Murray, Lawrence S. Young, 2003. Epstein-Barr virus infection: basis of malignancy and potential for therapy. Cambridge University Press ISSN, 2001; 1462-3994

Portis T., Ikeda M., Longnecker R., 2004 Epstein-Barr virus LMP2A : regulating cellular ubiquitination processes for maintenance of viral latency?,TRENDS in Immunology vol.8

Ralf D. Hess. 2004. Routine Epstein – Barr Virus Diagnostic from the Laboratory Prespective : Still Challenging after 35 Years. Minireview. JCM 42:3381-3387.

Simanjuntak A, 2002, Tesis. Distribusi Golongan Darah Penderita Karsinoma Nasofaring Dan Non Karsinoma Nasofaring Menurut Jenis Kelamin, FK USU, Medan.


(66)

Stevens S.J. C, Verkuijlen S.AW.M., Hariwiyanto B., Harijadi, Fachiroh J., Paramita.D.K., et al. , 2005. Diagnostic Value of Measuring Epstein – Barr Virus (EBV) DNA Load and Carcinoma-Specific Viral mRNA in Relation to Anti-EBV Immunoglobulin A (IgA) and IgG Antibody Levels in Blood of Nasopharyngeal Carcinoma Patients in Indonesia. Journal of Clinical Microbiology 43 : 3066-3073.

Soetjipto D,1989 Karsinoma nasofaring. Dalam : Tumor telinga, hidung dan tenggorok. Diagnosis dan penatalaksanaan, Balai Penerbit FK UI, Jakarta,71-84.

Thomson M.P., Kurzrock R., 2004. Epstein-Barr Virus and Cancer. Clinical Cancer Research 10 : 803-821.

Watson D.James et al, 1988. The Genetic Basis of cancer, Molecular Biology of The Gene, Fouth edition, Chapter 26, hal. 1042-1043

Xu J.,Ahmad A, D’Addario M., Knafo L., Jones J.F., Prasad U., Dolcetti R., Vaccher E., Menezes J., 2000 Analysis Significance Anti-Latent Membrane Protein-1 Antibodies in the Sera of Patients with EBV- Associated Diseases. The American Association of Immunologists..

Yang X., Diehl S., Pfeiffer R., Chen C.J., Hsu W.L., Dosemeici M.,et al., 2005. Evaluation of Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in Taiwan, Cancer Research 14: 900-905.

Zachreni I., Delyuzar, 1999,Tesis. Hubungan Virus Epstein Barr dengan Karsinoma Nasofaring secara Immunohistokimia, FK USU, Medan.


(67)

Lampiran 1. Data pasien penderita karsinoma nasofaring yang diperiksa keberadaan EBNA-1

NO Pasien Kadar EBNA-1

(U/ml)

Jenis NPC Jenis kelamin

Umur (tahun)

1 D32 81,9 UC PR 39 2 D33 57,4 UC LK 34

3 D34 40,1 UC PR 60

4 D35 44,9 SCC LK 45

5 D36 0 UC PR 43

6 D37 33,3 UC LK 36

7 D38 0 NKC LK 70

8 D39 33,6 SCC LK 60

9 D40 22,5 NKC LK 50

10 D41 64,7 SCC LK 70 11 D42 144,4 UC PR 38

12 D43 82,1 NKC PR 46

13 D44 57,5 SCC LK 60

14 D45 40 UC PR 45

15 D46 33,0 UC LK 63 16 D47 7,9 UC PR 37 17 D48 93,3 UC PR 40

18 D49 0 UC LK 59

19 D50 54,1 SCC LK 53 20 D51 20,9 UC LK 35 21 D52 103,7 UC LK 47 22 D53 48,9 UC PR 34 23 D54 45,7 SCC LK 42 24 D55 54,1 SCC LK 37

25 D56 0 SCC LK 47

26 D57 56,7 UC LK 57

Catatan :

Konsentrasi >12 U/ml : Positive Konsentrasi 8-12 U/ml : boderline Konsentrasi < 8 U/ml : Negative


(68)

Lampiran 2. Data kontrol yang diperiksa keberadaan EBNA-1.

No Kontrol Konsentrasi EBNA-1 Umur (tahun) Jenis Kelamin

1 K4 0 66 Perempuan

2 K5 0 59 Laki-laki

3 K6 0 62 Perempuan

4 K7 0 67 Perempuan

5 K8 0 71 Perempuan

6 K10 0 42 Perempuan

7 K11 0 42 Perempuan

8 K18 0 43 Laki-laki

9 K27 0 24 Perempuan

10 K28 0 23 Perempuan

11 K31 0 45 Perempuan

12 K41 0 40 Perempuan

13 K51 0 35 Laki-laki

14 K53 0 37 Laki-laki

15 K54 0 40 Laki-laki

16 K55 0 55 Laki-laki

17 K63 0 31 Laki-laki

18 K67 0 33 Laki-laki

19 K85 0 31 Laki-laki


(69)

EBVKEL * KLPK Crosstabulation

5 20 25

19.2% 100.0% 54.3%

21 0 21

80.8% .0% 45.7%

26 20 46

100.0% 100.0% 100.0% Count

% within KLPK Count % within KLPK Count % within KLPK negatif positif EBVKEL Total kasus kontrol KLPK Total Chi-Square Tests

29.723b 1 .000

26.557 1 .000

37.965 1 .000

.000 .000

29.077 1 .000

46 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.13.

b.

HISTO

3 11.5 11.5 11.5

8 30.8 30.8 42.3

15 57.7 57.7 100.0

26 100.0 100.0

NKC SCC UC Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Descriptive Statistics

26 ,0 144,4 46,950 34,8355 26

EBNA

Valid N (listwise)


(70)

Lampiran 4


(1)

Ming Cheng H., Ting Foong Y., Kook Sam C., Prasad U and Dillner J., 1991Epstein-Barr Virus Nuclear Antigen 1 Linear Epitopes That Are Reactive with Immunglobulin A (IgA) or IgG in Sera from Nasopharyngeal Carcinoma Patients or from Healthy Donors.Journal of Clinical Microbiology . 29:2180-2186.

Myers EN, Suen JY,1989 Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill Livngstone, h .495-507.

Mungerson M.S., Ikeda M., Lev.L., Longnecker R., and Portis T., 2003. Identification of latent membrane protein 2A (LMP2A) specific targets for treatment and eradication of Epstein-Barr virus (EBV) – associated diseases. JAC, 200;, 52: 152-154.

Munir D. Beberapa Aspek Karsinoma Nasofaring pada Suku Batak di medan dan sekitarnya. The Journal Of Medical School University of Sumatera Utara, 2006; Vol.39 (3) : 223 – 226.

McKee R.James, Gene Information,Biochemistry, The Molecular Basis of Life, Third Edition, Chapter 18, page. 654.

Munz C., Bickham L.K., Subklewe M.,Tsang L.M., Charoudi A., Kurilla G.M., et al . 2000. Human CD4 T lymfocytes Consistently Respond to Latent Epstein-barr Virus Nuclear antigen 1. The Journal of Experimental Medicine 2000 ; 191:1-29.

Oberender,H.,Nowak,R., Donvier,B.E., Venka,V., Tetrin,W. and Kankel, N. EBV specific antibodies in patients with nasopharyngeal carcinoma. Laryngorhinologie 68: 181, 1989.

Paul G.Murray, Lawrence S. Young, 2003. Epstein-Barr virus infection: basis of malignancy and potential for therapy. Cambridge University Press ISSN, 2001; 1462-3994

Portis T., Ikeda M., Longnecker R., 2004 Epstein-Barr virus LMP2A : regulating cellular ubiquitination processes for maintenance of viral latency?,TRENDS in Immunology vol.8


(2)

Stevens S.J. C, Verkuijlen S.AW.M., Hariwiyanto B., Harijadi, Fachiroh J., Paramita.D.K., et al. , 2005. Diagnostic Value of Measuring Epstein – Barr Virus (EBV) DNA Load and Carcinoma-Specific Viral mRNA in Relation to Anti-EBV Immunoglobulin A (IgA) and IgG Antibody Levels in Blood of Nasopharyngeal Carcinoma Patients in Indonesia. Journal of Clinical Microbiology 43 : 3066-3073.

Soetjipto D,1989 Karsinoma nasofaring. Dalam : Tumor telinga, hidung dan tenggorok. Diagnosis dan penatalaksanaan, Balai Penerbit FK UI, Jakarta,71-84.

Thomson M.P., Kurzrock R., 2004. Epstein-Barr Virus and Cancer. Clinical Cancer Research 10 : 803-821.

Watson D.James et al, 1988. The Genetic Basis of cancer, Molecular Biology of The Gene, Fouth edition, Chapter 26, hal. 1042-1043

Xu J.,Ahmad A, D’Addario M., Knafo L., Jones J.F., Prasad U., Dolcetti R., Vaccher E., Menezes J., 2000 Analysis Significance Anti-Latent Membrane Protein-1 Antibodies in the Sera of Patients with EBV- Associated Diseases. The American Association of Immunologists.. Yang X., Diehl S., Pfeiffer R., Chen C.J., Hsu W.L., Dosemeici M.,et al., 2005.

Evaluation of Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in Taiwan, Cancer Research 14: 900-905.

Zachreni I., Delyuzar, 1999,Tesis. Hubungan Virus Epstein Barr dengan Karsinoma Nasofaring secara Immunohistokimia, FK USU, Medan.


(3)

Lampiran 1. Data pasien penderita karsinoma nasofaring yang diperiksa keberadaan EBNA-1

NO Pasien Kadar EBNA-1

(U/ml)

Jenis NPC Jenis kelamin

Umur (tahun)

1 D32 81,9 UC PR 39 2 D33 57,4 UC LK 34

3 D34 40,1 UC PR 60

4 D35 44,9 SCC LK 45

5 D36 0 UC PR 43

6 D37 33,3 UC LK 36

7 D38 0 NKC LK 70

8 D39 33,6 SCC LK 60

9 D40 22,5 NKC LK 50

10 D41 64,7 SCC LK 70 11 D42 144,4 UC PR 38

12 D43 82,1 NKC PR 46

13 D44 57,5 SCC LK 60

14 D45 40 UC PR 45

15 D46 33,0 UC LK 63 16 D47 7,9 UC PR 37 17 D48 93,3 UC PR 40

18 D49 0 UC LK 59

19 D50 54,1 SCC LK 53 20 D51 20,9 UC LK 35 21 D52 103,7 UC LK 47 22 D53 48,9 UC PR 34 23 D54 45,7 SCC LK 42 24 D55 54,1 SCC LK 37

25 D56 0 SCC LK 47

26 D57 56,7 UC LK 57 Catatan :

Konsentrasi >12 U/ml : Positive Konsentrasi 8-12 U/ml : boderline Konsentrasi < 8 U/ml : Negative


(4)

Lampiran 2. Data kontrol yang diperiksa keberadaan EBNA-1.

No Kontrol Konsentrasi EBNA-1 Umur (tahun) Jenis Kelamin

1 K4 0 66 Perempuan

2 K5 0 59 Laki-laki

3 K6 0 62 Perempuan

4 K7 0 67 Perempuan

5 K8 0 71 Perempuan

6 K10 0 42 Perempuan

7 K11 0 42 Perempuan

8 K18 0 43 Laki-laki

9 K27 0 24 Perempuan

10 K28 0 23 Perempuan

11 K31 0 45 Perempuan

12 K41 0 40 Perempuan

13 K51 0 35 Laki-laki

14 K53 0 37 Laki-laki

15 K54 0 40 Laki-laki

16 K55 0 55 Laki-laki

17 K63 0 31 Laki-laki

18 K67 0 33 Laki-laki

19 K85 0 31 Laki-laki


(5)

EBVKEL * KLPK Crosstabulation

5 20 25

19.2% 100.0% 54.3%

21 0 21

80.8% .0% 45.7%

26 20 46

100.0% 100.0% 100.0% Count

% within KLPK Count % within KLPK Count % within KLPK negatif positif EBVKEL Total kasus kontrol KLPK Total Chi-Square Tests

29.723b 1 .000

26.557 1 .000

37.965 1 .000

.000 .000

29.077 1 .000

46 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.13.

b.

HISTO

3 11.5 11.5 11.5

8 30.8 30.8 42.3

15 57.7 57.7 100.0

26 100.0 100.0

NKC SCC UC Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Descriptive Statistics

26 ,0 144,4 46,950 34,8355 26

EBNA

Valid N (listwise)


(6)

Lampiran 4