LATAR BELAKANG

Perluasan Basis Dukungan sebagai Kunci

Kita telah melihat bahwa buruh telah bertransformasi di era Reformasi, terutama sejak tiga tahun terakhir, menjadi elemen sosial yang menampakkan kekuatan serta pengaruh yang cukup kuat. Mereka juga terbukti mempunyai komitmen yang tinggi untuk merintis berdirinya negara kesejahteraan di Indonesia. Namun demikian, jalan masih panjang dan tantangan yang dihadapi masih banyak. Terdapat setidaknya dua tugas utama yang masih harus dikerjakan agar bangunan negara kesejahteraan Indonesia di masa depan benar-benar bersifat universal dan egaliter. Pertama, memastikan bahwa SJSN dapat diberlakukan secara efektif dan konsekuen. Ini merupakan hal yang vital karena beberapa peraturan pelaksanaan masih banyak yang belum dibuat. Apabila tidak dikawal dengan ketat, ada bahaya bahwa peraturan pelaksanaan tersebut dapat diselundupi ketentuan yang menyimpang dari semangat dan tujuan dasar SJSN. Saat ini saja, ada beberapa peraturan pelaksanaan yang dinilai mengkhianati rumusan awal. Perpres 12/2013 dan PP 101/2012 mengatur BPJS sebagai badan hukum biasa, padahal menurut ketentuan seharusnya berbentuk badan hukum publik (Nashrillah, 2013). Selain itu, apabila seluruh peraturan pelaksanaan telah dibuat dan implementasi mulai dilakukan, pengawalan lebih lanjut juga harus dilakukan untuk memastikan agar pelayanan BPJS dilakukan dengan memuaskan dan didukung oleh tata kelola yang baik. Tidak boleh ada diskriminasi dalam pemberlakuannya, misalnya rumah sakit yang menolak mengobati pasien miskin. Penyiapan fasilitas dan infrastruktur seperti keberadaan rumah sakit dan tenaga medis yang merata juga harus dipastikan.

hal itu pun juga tidaklah mudah dan prospektif. Hal ini karena pembayar pajak baru sekitar 20 juta orang dari sekitar 110 juta angkatan kerja (Thabrany, 2013:6).

Kedua, agar negara kesejahteraan Indonesia benar-benar memiliki karakter yang komprehensif, perlu dilakukan perluasan manfaat-manfaat sosial yang belum tercakup dalam skema SJSN. Masih ada beberapa kebutuhan sosial yang biasanya disediakan oleh negara kesejahteraan universal atau korporatis, namun tidak diakomodasi dalam rancangan negara kesejahteraan Indonesia sebagaimana termuat dalam UU SJSN. Salah satu kebutuhan sosial yang paling mendesak untuk disediakan oleh negara bagi warganya yang membutuhkan adalah rumah. Saat ini, terdapat 15 juta kekurangan rumah ( backlog ) di Indonesia dan setiap tahun kebutuhannya bertambah 800 ribu, sementara pasokan dari pengembang hanya 200 ribu (Grahadyarini, 2013: 17). Hal ini terjadi karena banyak warga miskin yang tidak dapat membeli rumah, terlebih di tengah uang muka rumah yang mahal (meskipun telah disubsidi) dan kenaikan harga lahan yang semakin membumbung. Untuk mengakomodasi kebutuhan akan rumah dan lain-lain yang belum tercakup SJSN, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan. Salah satunya dengan merevisi UU SJSN dan UU BPJS. Namun jika hal ini dirasa terlalu rumit dan memakan waktu, terdapat celah yang dapat dimanfaatkan, yakni dengan memanfaatkan kewenangan pemerintah daerah. Dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 22 ayat 1 huruf h disebutkan, ―Pemda wajib mengembangkan sistem jaminan sosial.‖ Menurut Thabrany, kata ―jaminan sosial‖ dalam UU 32/2004 tersebut bersifat umum dan berbeda dengan makna yang dirumuskan oleh UU SJSN yang bersifat lex specialis . Maka, dapat ditafsirkan bahwa jaminan sosial yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah adalah jenis jaminan sosial yang belum diakomodasi dalam UU SJSN, misalnya pengurusan anak terlantar, lansia, pengangguran, gelandangan, korban bencana alam, dan sebagainya (Thabrany, 2009: 114).

Untuk mengerjakan langkah-langkah lanjutan yang diperlukan demi terwujudnya negara kesejahteraan Indonesia yang universal dan adil, kaum buruh tidak dapat bekerja sendirian. Terdapat beberapa alasan objektif untuk menyatakan bahwa kelompok buruh, meskipun merupakan kekuatan yang penting, tidaklah mencukupi dan niscaya untuk memastikan agar negara mau membentuk negara kesejahteraan. Pertama, tesis bahwa buruh merupakan motor pendorong utama dalam terbentuknya negara kesejahteraan pada dasarnya merupakan mistifikasi.

Dengan melihat sejarah negara-negara kesejahteraan di Eropa selama satu abad (1875-1975), Baldwin menyimpulkan bahwa pembentukan negara kesejahteraan adalah hasil dari tarik-menarik di antara kelompok-kelompok dengan kepentingan berbeda. Ini artinya, kemunculan negara kesejahteraan tidak bisa dibaca secara sederhana dan seragam sebagai hasil dari kemenangan buruh industrial sebagai kaum yang tersisih dalam hierarki sosial terhadap kelas menengah dan elite yang dirugikan oleh redistribusi keuntungan. Memang tekanan dari kelompok-kelompok marjinal memegang peranan penting, namun siapa yang duduk di dalam posisi tersebut bervariasi dalam hal tempat (negara) dan waktu, jadi tidak mesti buruh. Selain itu, tekanan dari bawah juga tidaklah cukup. Dibutuhkan dukungan dari atas untuk membentuk dan menentukan arah negara kesejahteraan suatu negara. Pembentukan negara kesejahteraan di Britania dan Skandinavia misalnya, hanya mungkin teradi karena kelas menengah dan pengusaha ikut bergabung ke dalam proposal negara kesejahteraan setelah mereka menyadari manfaat-manfaat yang dapat diperoleh darinya (Baldwin, 1990: 289-292).

Kedua, buruh sesungguhnya merupakan kelompok elite dalam totalitas kekuatan sosial di negeri ini. Data tahun 2012 menunjukkan, jumlah buruh di Indonesia hanya mencakup 38,13 persen dari total tenaga kerja, naik sedikit dari sebesar 35,52 persen pada tahun 2010 dan 37,7 persen pada tahun 2011 (Achidsti, 2013: 7). Buruh menduduki posisi elite karena pasca krisis, Indonesia mengalami perubahan struktur ketenagakerjaan yang cukup drastis. Pekerja yang pada masa krisis keluar dari desa untuk bekerja di sektor manufaktur dan jasa di kota setelah krisis justru kembali ke sektor-sektor dengan produktivitas rendah seperti agrikultur, transportasi, konstruksi, dan sektor informal. Pertumbuhan lapangan kerja di sektor manufaktur modern berjalan lambat, yang salah satunya juga disebabkan akibat beberapa kebijakan restriktif dalam kaitannya dengan upah minimum dan pesangon yang memberatkan pengusaha (Manning, 2010: 165-169). Dalam kerangka ini, cerita tentang keberhasilan dan naiknya pengaruh buruh di masa Reformasi sesungguhnya merupakan keberhasilan yang semu. Strategi turun ke jalan merupakan simptom dari macetnya institusi-institusi buruh konvensional seperti partai buruh dan dialog bipartit atau tripartit yang fair dan fungsional. Buruh pada kenyataannya belum mampu melembagakan diri menjadi satu Kedua, buruh sesungguhnya merupakan kelompok elite dalam totalitas kekuatan sosial di negeri ini. Data tahun 2012 menunjukkan, jumlah buruh di Indonesia hanya mencakup 38,13 persen dari total tenaga kerja, naik sedikit dari sebesar 35,52 persen pada tahun 2010 dan 37,7 persen pada tahun 2011 (Achidsti, 2013: 7). Buruh menduduki posisi elite karena pasca krisis, Indonesia mengalami perubahan struktur ketenagakerjaan yang cukup drastis. Pekerja yang pada masa krisis keluar dari desa untuk bekerja di sektor manufaktur dan jasa di kota setelah krisis justru kembali ke sektor-sektor dengan produktivitas rendah seperti agrikultur, transportasi, konstruksi, dan sektor informal. Pertumbuhan lapangan kerja di sektor manufaktur modern berjalan lambat, yang salah satunya juga disebabkan akibat beberapa kebijakan restriktif dalam kaitannya dengan upah minimum dan pesangon yang memberatkan pengusaha (Manning, 2010: 165-169). Dalam kerangka ini, cerita tentang keberhasilan dan naiknya pengaruh buruh di masa Reformasi sesungguhnya merupakan keberhasilan yang semu. Strategi turun ke jalan merupakan simptom dari macetnya institusi-institusi buruh konvensional seperti partai buruh dan dialog bipartit atau tripartit yang fair dan fungsional. Buruh pada kenyataannya belum mampu melembagakan diri menjadi satu

Maka apa yang diperlukan untuk menjamin hadirnya negara kesejahteraan Indonesia yang universal dan komprehensif di masa depan adalah dengan meluaskan basis dukungan atas tuntutan negara kesejahteraan. Kelompok buruh harus berkoalisi dengan kelompok-kelompok lain yang berkepentingan terhadap tegaknya negara kesejahteraan, seperti petani, organisasi masyarakat sipil, kelas menengah, partai politik, dan bahkan pengusaha. Apa yang telah dilakukan KAJS merupakan contoh yang baik dari aliansi lintas kelompok, namun itu masih perlu diperluas dan diramifikasi agar kekuatannya semakin besar. Proses tersebut tentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Selama ini, aliansi buruh dengan kelompok-kelompok kelas menengah hanya terbatas dengan sebagian kecil ornop dan aktivis mahasiswa. Secara umum, masyarakat sipil di Indonesia juga ditandai oleh keterpecahan dan ketakteraturan (Hadiz, 2009: 39-41, 52).

Untuk mengikat kelompok-kelompok yang selama ini terpisah, elemen-elemen paling progresif dalam masyarakat perlu merekayasa apa yang disebut teoretisi gerakan sosial kontemporer Laclau dan Mouffe sebagai rantai ekuivalensi ( chain of equivalence ). Dalam pembentukan rantai ekuivalensi, totalitas sosial diorganisir ke dalam blok-blok yang saling bertentangan. Dalam diskursus mengenai negara kesejahteraan, blok-blok itu adalah mereka yang pro akan gagasan negara kesejahteraan dan mereka yang kontra terhadapnya. Untuk memenangkan tuntutannya, rantai ekuivalensi dari pihak pendukung haruslah terdiri atas sebanyak mungkin elemen (disebut dengan posisi subjek) yang disatukan dan dipimpin oleh artikulasi hegemonik yang terbentuk melalui universalisasi dari tuntutan partikular. Untuk itu, sebuah kelompok pelopor, yang diistilahkan dengan nodal point , entah apakah itu buruh atau siapapun juga, perlu maju sebagai representasi dari koalisi dan menyadarkan kelompok-kelompok Untuk mengikat kelompok-kelompok yang selama ini terpisah, elemen-elemen paling progresif dalam masyarakat perlu merekayasa apa yang disebut teoretisi gerakan sosial kontemporer Laclau dan Mouffe sebagai rantai ekuivalensi ( chain of equivalence ). Dalam pembentukan rantai ekuivalensi, totalitas sosial diorganisir ke dalam blok-blok yang saling bertentangan. Dalam diskursus mengenai negara kesejahteraan, blok-blok itu adalah mereka yang pro akan gagasan negara kesejahteraan dan mereka yang kontra terhadapnya. Untuk memenangkan tuntutannya, rantai ekuivalensi dari pihak pendukung haruslah terdiri atas sebanyak mungkin elemen (disebut dengan posisi subjek) yang disatukan dan dipimpin oleh artikulasi hegemonik yang terbentuk melalui universalisasi dari tuntutan partikular. Untuk itu, sebuah kelompok pelopor, yang diistilahkan dengan nodal point , entah apakah itu buruh atau siapapun juga, perlu maju sebagai representasi dari koalisi dan menyadarkan kelompok-kelompok

Kesimpulan

Sebagai sebuah sistem ekonomi yang diaspirasikan dan dicitakan sebagai modus pengelolaan dan operasionalisasi kehidupan ekonomi yang khas Indonesia, ekonomi Pancasila memuat imperatif untuk menjalanan amanat yang terkandung dalam konstitusi dan asa para pendiri bangsa. Selain memberdayakan dan mengembangkan tumbuh kembangnya koperasi sebagai sokoguru perekonomian rakyat, gagasan ekonomi Pancasila juga berselaras dengan ikhtiar pembentukan negara kesejahteraan di negeri ini.

Langkah awal menuju tercapainya negara kesejahteraan Indonesia mendapatkan momen berharganya ketika dua UU penting telah disahkan pemerintah, yakni UU SJSN dan UU BPJS. Melalui kedua UU ini, sistem jaminan sosial lama yang terbatas dan parsial ditransformasikan ke dalam sebuah kerangka nasional yang bersifat sistemik dengan derajat inklusivitas yang lebih tinggi. Manfaat yang lebih lengkap, cakupan kepesertaan yang lebih luas, penubuhan terhadap prinsip-prinsip solidaritas, keadilan, dan kesetaraan, serta potensinya yang tinggi untuk meningkatkan sumber daya nasional merupakan manfaat-manfaat positif dari diberlakukannya SJSN.

Terbitnya UU SJSN dan UU BPJS baru merupakan langkah awal. Masih banyak hal yang harus diselesaikan sebelum Indonesia benar-benar dapat mengklaim dirinya sebagai negara kesejahteraan. Beberapa pekerjaan rumah paling penting adalah membuat peraturan pelaksanaan yang tidak menyimpang dari tujuan dan roh dasar UU, memastikan implementasinya agar berjalan dengan Terbitnya UU SJSN dan UU BPJS baru merupakan langkah awal. Masih banyak hal yang harus diselesaikan sebelum Indonesia benar-benar dapat mengklaim dirinya sebagai negara kesejahteraan. Beberapa pekerjaan rumah paling penting adalah membuat peraturan pelaksanaan yang tidak menyimpang dari tujuan dan roh dasar UU, memastikan implementasinya agar berjalan dengan

Daftar Pustaka

Achidsti, S.A. (2013) Demo Buruh: Isu Elitis Perjuangan Massa. Kongres , Mei, hal. 6-8.

Baldwin, P. (1990) The Politics of Social Solidarity: Class Bases of the European Welfare State 1975-1975 . Cambridge, New York, Melbourne, & Madrid: Cambridge University Press.

Candra, A. (2010) Dinamika Penyusunan Undang-Undang No. 40 Tahun 2002 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) . Yogyakarta: Gava Media dan Jurusan Manajemen & Kebijakan Publik FISIPOL – UGM.

Esping-Andersen, G. (1990) The Three Worlds of Welfare Capitalism . Cambridge: Polity Press.

Grahadyarini, B.M.L. (2013) Kepedulian BUMN. Kompas , 24 Juli, hal. 17. Habibi, M. (2009) Gemuruh Buruh di Tengah Pusaran Neoliberalisme:

Pengadopsian Kebijakan Perburuhan Neoliberal Pasca Orde Baru . Yogyakarta: Gava Media dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL-UGM.

_________. (2012) Buruh dan Transformasi Agraria Indonesia. Basis , No. 05-06, Tahun ke-61, hal. 51-9.

_________. (2013) Politik Jalanan dan Pembentukan Kelas Buruh. Basis , No. 05-06, Tahun ke-62, hal. 20-5.

Hadiz, V.R. (2005) Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto . Jakarta: LP3ES.

Hatta, M. (1977) Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 . Jakarta: Mutiara.

Jamsostek dan Askes agar Kompak. (2013) Kompas , 8 Juli, hal. 20.

Juliawan, B.H. (2011) Street-level Politics: Labour Protests in Post-authoritarian Indonesia. Journal of Contemporary Asia , 41 (3) August, pp. 349-70.

Latif, Y. (2011) Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila . Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Manning, C. (2010) The Political Economy of Reform: Labour after Soeharto. In: Edward Aspinall, E. & Fealy, G. eds. Soeharto’ s New Order and its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch . Canberra: ANU E Press, pp. 151-72.

Monoarfa, S. (2002) Semestinya Hatta Menang. Dalam: Bagun, R. ed. Seratus Tahun Bung Hatta . Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 281-92.

Mubyarto. (1980) Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan: Analisa Trans-Disiplin Dalam Rangka Mendalami Sistem Ekonomi Pancasila . Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika.

________ & Boediono. (1981) Ekonomi Pancasila. Dalam Mubyarto & Boediono. Eds. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, hal. 1-20.

________. (1981) Keadilan Sosial dalam Ekonomi Pancasila. Dalam: Mubyarto & Boediono. eds. Ekonomi Pancasila . Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, hal. 141-48.

Nashrillah, F. (2013) BPJS Tak Sesuai, Buruh Ancam Mogok [Internet]. Tersedia di: <http://m.tempo.co/read/news/2013/08/14/090504295> [Diakses 17 Agustus 2013].

Nasution, A.B. (2002) Jejak Pemikiran Hatta dalam UUD 1945. Dalam: Bagun, R.

ed. Seratus Tahun Bung Hatta . Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 205-16. Peng, I. (2009) Pendalaman Demokrasi dan Perluasan Sistem Kesejahteraan Sosial

di Asia Timur: Refleksi bagi Indonesia dan Negara Berkembang Lain di Asia Tenggara. Dalam: Triwibowo, D. & Subono, N.I. eds. Meretas Arah Kebijakan Sosial Baru Di Indonesia: Lebih dari Sekadar Pengurangan Kemiskinan . Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, hal. 39-83.

Pestieau, P. (2006) The Welfare State in the European Union: Economic and Social Perspectives . New York: Oxford University Press.

Rahardjo, D. (2002) Apa Kabar Koperasi Indonesia. Dalam: Bagun, R. ed. Seratus Tahun Bung Hatta . Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 293-303.

Raper, M. (2008) Negara Tanpa Jaminan Sosial: Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan Indonesia . Jakarta: Trade Union Rights Centre.

Shiratori, R. (1986) The Future of the Welfare State. In: Rose, R. & Shiratori, R. eds. The Welfare State East and West . New York: Oxford University Press, pp. 193-206.

Sjahrir. (2002) Ideologi Hatta: Ideal, Tapi Masih Relevankah Itu? Dalam: Bagun, R. ed. Seratus Tahun Bung Hatta . Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 244-56.

Smith, A.M. (1998) Laclau and Mouffe: The Radical Democratic Imaginary . London & New York: Routledge.

Soemitro, R. (1991) Pengantar Ekonomi dan Ekonomi Pancasila . Bandung: PT Eresco.

Sulastomo. (2008) Sistem Jaminan Sosial Nasional: Sebuah Introduksi . Jakarta: Rajawali Pers.

________. (2013) SJSN, ―Mesin Pembangunan‖. Kompas , 13 Desember 2013, hal.

6. Thabrany, Hasbullah. (2009) Sudah Tiba Waktunya: Urgensi, Konseptualisasi, dan

Operasionalisasi Jaminan Kesehatan Universal di Kota dan Kabupaten di Seluruh Indonesia. Dalam Triwibowo, D. & Subono, N.I. eds. Meretas Arah Kebijakan Sosial Baru Di Indonesia: Lebih dari Sekadar Pengurangan Kemiskinan . Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, hal. 99-127.

_________________. (2013) Jaminan Kesehatan Terancam. Kompa s , 23 Agustus, hal. 6.

Triwibowo, D. & Bahagijo, S. (2006) Mimpi Negara Kesejahteraan . Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa.

____________. & Subono, N.I. (2009) Mengarusutamakan Reformasi Kebijakan Sosial: Tantangan Konsolidasi Demokrasi Indonesia. Dalam: Triwibowo, D. & Subono, N.I. eds. Meretas Arah Kebijakan Sosial Baru Di Indonesia: Lebih dari Sekadar Pengurangan Kemiskina n . Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, hal. 3-35.

Wisnu, D. (2012) Politik Sistem Jaminan Sosial: Menciptakan Rasa Aman dalam Ekonomi Pasar . Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.