Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejah

INDONESIA INTERNATIONAL POLITICAL ECONOMY WEEK 2013

QUO VADIS DEVELOPMENTALISME

Program Globalisasi dan Pembangunan Lokal (Globalization and Local Development/GLD) adalah salah satu dari klaster riset yang dikembangkan di Institute of International Studies (IIS), Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. Program ini adalah bagian dari misi IIS untuk memahami dan mendalami beragam fenomena hubungan internasional,baik secara teoretik maupun praktik. Komplementer dengan empat klaster lainnya, yaitu Program on Peace Building and Radical Violence (PILAR), Humanitarian Action (POHA), Diplomacy and Foreign Policy (DIFO), dan European Studies (EUROS), GLD menawarkan pendekatan yang holistik untuk menangkap keragaman perspektif dan cakupan studi hubungan internasional. Dengan program, misi dan pendekatan semacam itulah institut ini dirancang untuk mengembangkan penelitian-peneltian inovatif dan kolaboratif yang berorientasi pada pemecahan masalah untuk masyarakat dunia yang adil, damai dan beradab -sejalan dengan visi jurusan dan program studi di mana IIS bernaung.

Program on Globalization and Local Development (GLD) is one of the core research clusters developed at the Institute of International Studies (IIS), Department of International Relations, Universitas Gadjah Mada. The program is part of the institute's endeavor towards comprehension of both theoretical and practical dimensions of variety of international relations phenomena. In addition to the other four core research clusters on Peace Building and Radical Violence, Humanitarian Action, Diplomacy and Foreign Policy and European Studies, GLD offers a holistic approach to capture varied perspectives and scope in the study of international relations. Under such programs, mission and approach, the institute is designed to develop innovative, collaborative and problem solving-oriented research for a just, peaceful and civilized global society -in line with the department and academic program's vision under which the institute is established.

Proceeding Papers

INDONESIA INTERNATIONAL POLITICAL ECONOMY WEEK

QUO VADIS DEVELOPMENTALISME Yogyakarta, 7-8 Desember 2013

Editor: Farahdiba Rahma Bachtiar, S. IP.

Institute of International Studies

Proceeding Papers QUO VADIS DEVELOPMENTALISME Pemutakhiran Model dan Praktik Kebijakan Pembangunan Indonesia Pasca-Reformasi

Diterbitkan pada tahun 2013 oleh Institute of International Studies Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilrnu Politik Universitas Gadjah Mada

ISBN 978-602-7804-15-9 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Gedung

Sayap Utara Lantai 5, Jalan Socio Justicia N'o. 1, Bulaksumur Yogyakarta, Indonesia 55281

Tel: +62 274 563362 ext. 115. Fax: +62 274 563362 ext. 116. Email: Iis.ugm@gmail.com. Website: http://iis.fisipol.ugm.ac.id

©2013 Editorial Board

Head of Editorial Board : Dr. Maharani Hapsari. MA Editor

: Drs. Riza Noer Arfani, MA

Managing Editor : Farahdiba Rahma Bachtiar, S.IP. Design & Layout : Muhammad Abie Zaidannas S.

LATAR BELAKANG

Sebagai model dan praktik kebijakan, "developmentalisme" adalah primadona sepanjang lebih dari 30 tahun era pemerintahan Orde Baru Indonesia (1967-1998). Pasca-reformasi, sebagai praktik kebijakan, gagasan-gagasan mengenai pembangunan (yang sebagian besar dilandasi oleh ideologi, semangat dan mentalitas "developmentalisme") masih mewarnai beragam program dan tindakan pemerintah (pusat dan lokal), para pelaku bisnis swasta, organisasi kemasyarakatan dan lembaga-lembaga internasional (yang berkepentingan dengan Indonesia) di bidang-bidang ekonomi, sosial-kemasyarakatan dan politik-keamanan. Lokus utamanya —yaitu ekonomi pasar ( market economy ) baik di tingkat lokal maupun global — tetap menjadi pusat tarik menarik dan pertarungan gagasan dan kepentingan di antara para pemain utamanya tadi.

Dalam ranah pembangunan ekonomi, misalnya, pertarungan gagasan dan kepentingan ditandai dengan perdebatan yang nampak tak berujung antara proteksionisme atau liberalisasi (perdagangan), investasi asing atau pemodal dalam negeri, pengecer modern atau tradisional, pasar modern atau tradisional, pengusaha besar atau kecil, ekonomi liberal atau kerakyatan, dan seterusnya. Di bidang pembangunan sosial-kemasyarakatan juga tak kalah sengit polemiknya: pertumbuhan atau kesejahteraan, pembangunan ekonomi atau pembangunan sosial, pro-pertumbuhan atau pro-kemiskinan, kota atau desa, berbasis merit atau yang berpihak (pada kesetaraan gender, asal usul, dsb.), dan seterusnya.

Dan, akhirnya, pada bidang-bidang yang sensitif secara politik, strategis dalam konteks keamanan dan pertahanan nasional, perdebatan juga berrnuara pada apakah pembangunan seharusnya berorientasi nasional atau tidak (nasionalisme ekonomi versus liberalisme ekonomi), menjunjung kepentingan nasional secara mutlak atau tidak, mengedepankan atau mengutamakan industri-industri yang dianggap strategis atau tidak ( developmental state versus liberal state ) , dan akhirnya apakah demokrasi liberal sebagai sistem politik yang dianggap menopang gagasan dan praktik developmentalisme perlu dipertanyakan efektivitasnya ketika berhadapan dengan isu-isu dan perdebatan tadi.

Bagaimana mengutip tulisan ini: Prasetyo, A.G. (2013). Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan:

Pencarian Model bagi Indonesia, dalam Proceeding Papers Indonesia International Political Economy Week “Quo Vadis Developmentalisme”, 7-8

Desember, 2013, Yogyakarta, 261-286. Yogyakarta: IIS UGM.

Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian Model bagi Indonesia

Antonius Galih Prasetyo

Abstrak: Ekonomi Pancasila merupakan nama yang diberikan untuk merujuk pada sistem ekonomi khas Indonesia. Bersama dengan koperasi, negara kesejahteraan termanifestasikan sebagai penubuhan institusional dari gagasan ekonomi Pancasila. Langkah a wal menuju pada terbentuknya negara kesejahteraan di Indonesia telah dimulai setelah pemerintah menetapkan UU 40/2004 dan UU 24/2011. Kedua produk hukum tersebut mereformasi secara menyeluruh sistem jaminan sosial lama yang bersifat terbatas dan parsial. Meski demikian, ma sih ada hal-hal yang perlu dilakukan sebelum Indonesia benar-benar menyataka n

dirinya sebagai negara kesejahteraan yang sejati. Buruh sebagai “agen tradisional” negara kesejahteraan perlu untuk mengawal proses tersebut dengan

membentuk kerjasama dan aliansi dengan kelompok lain.

Kata-kata kunci: ekonomi Pancasila; negara kesejahteraan; sistem jaminan sosial nasional; buruh; aliansi kelompok

Abstract: Pancasila economy is the name given to refer to the typical Indonesian economic system. Along with cooperation, welfare state are manifested as institutional embodiment of Pancasila economy idea. The first step towa rd the establishment of welfare state in Indonesia bega n after government ratified Law 40/2004 and Law 24/2011. Those two la w products thoroughly reform the old security system which is limited and partial. Nevertheless, there are still some things that need to be done before Indonesia asserts itself as a genuine welfare Abstract: Pancasila economy is the name given to refer to the typical Indonesian economic system. Along with cooperation, welfare state are manifested as institutional embodiment of Pancasila economy idea. The first step towa rd the establishment of welfare state in Indonesia bega n after government ratified Law 40/2004 and Law 24/2011. Those two la w products thoroughly reform the old security system which is limited and partial. Nevertheless, there are still some things that need to be done before Indonesia asserts itself as a genuine welfare

Key words: Pancasila economy; welfare state; national social security system; labour; group alliance

Sebuah negara-bangsa yang merdeka adalah entitas yang hadir menyejarah dengan alasan dan tujuan tertentu. Alasan merupakan raison d’etre dan poin legitimasi yang ditunjuk bangsa tersebut sebagai basis untuk menyatakan haknya untuk muncul sebagai bangsa yang bebas dan berdaulat. Adapun tujuan merupakan kompleks cita-cita yang dirumuskan para pendiri bangsa, untuk kemudian diolah oleh generasi penerus, sebagai horizon di mana segala elemen bangsa mengarahkan gerak perjuangannya secara kolektif.

Dalam penetapan tujuan-tujuan hidup berbangsa dan bernegara, sebuah bangsa merumuskan konsep-konsep distingtif yang diidentifikasi oleh pemimpin dan rakyatnya sebagai kristalisasi dari hasrat dan ikhtiar untuk membumikan apa-apa yang dianggap sebagai ideal. Dasar dan ideologi negara seringkali menjadi payung dan sumber referensi utama untuk pencarian tujuan-tujuan bersama tersebut. Dalam konteks Indonesia, Pancasila berperan sebagai sumber mata air konseptual tersebut sehingga darinyalah kemudian para pendiri bangsa merumuskan model-model tata pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam segala bidang.

Salah satu bidang yang berusaha dibentuk dan ditransformasi melalui nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah ekonomi. Maka kemudian lahirlah konsep dan i stilah ―ekonomi Pancasila‖ yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Apa dan bagaimanakah sesungguhnya yang dimaksud dengan ekonomi Pancasila? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut tanpa ambiguitas. Seperti halnya Pancasila itu sendiri, ekonomi Pancasila merupakan istilah yang dapat ditafsirkan secara jamak dan kreatif. Ekonomi Pancasila lebih merupakan ―filsafat ekonomi‖ khas Indonesia daripada suatu kebijakan dan program yang terumuskan secara pasti, jelas, dan terukur. Istilah tersebut sama Salah satu bidang yang berusaha dibentuk dan ditransformasi melalui nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah ekonomi. Maka kemudian lahirlah konsep dan i stilah ―ekonomi Pancasila‖ yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Apa dan bagaimanakah sesungguhnya yang dimaksud dengan ekonomi Pancasila? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut tanpa ambiguitas. Seperti halnya Pancasila itu sendiri, ekonomi Pancasila merupakan istilah yang dapat ditafsirkan secara jamak dan kreatif. Ekonomi Pancasila lebih merupakan ―filsafat ekonomi‖ khas Indonesia daripada suatu kebijakan dan program yang terumuskan secara pasti, jelas, dan terukur. Istilah tersebut sama

sosialisme. 1 Meskipun di tengah segala kesulitan untuk merumuskan ekonomi Pancasila,

bagaimanapun kajian tentang ekonomi Pancasila dapat dilakukan dengan cara yang tidak arbitrer. Dalam hal ini, tafsiran terhadap ayat-ayat konstitusi dan tulisan dari para penyokong ekonomi Pancasila dapat menjadi sumber yang berharga untuk meraba-raba dan mendiskusikan karakter dan ciri khas dari ekonomi Pancasila. Dalam tulisan ini, ekonomi Pancasila ditafsirkan sebagai gagasan yang memuat imperatif akan berdirinya negara kesejahteraan di negeri ini. Dalam terang ini, pencarian mengenai model dan bentuk dari negara kesejahteraan Indonesia akan selalu menjadi ranah pergulatan yang pelik mengingat para penyelenggara pemerintahan selama ini belum pernah menjalankan amanat untuk membentuk negara kesejahteraan. Setelah membahas hal tersebut, akan ditunjukkan peran penting dari dua undang-undang yang secara optimistis dapat dilihat sebagai langkah awal menuju terbentuknya negara kesejahteraan di Indonesia. Selanjutnya, akan dievaluasi peran dan kekuatan dari kelompok yang selama ini dipercaya sebagai pendorong negara kesejahteraan, berikut tinjuan mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan di masa depan.

Ekonomi Pancasila dan Negara Kesejahteraan

Dalam perbincangan tentang ekonomi Pancasila, salah satu hal yang telah menjadi konsensus umum di antara para penulis, pemikir, dan ekonom yang membicarakan mengenai ekonomi Pancasila adalah bahwa ekonomi ini bertumpu

pada sila kelima Pancasila (―keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia‖) dan terumuskan secara paling jelas dalam konstitusi Pasal 33 UUD 1945, yang

sekaligus merupakan dasar dari demokrasi ekonomi (Soemitro, 1991: 184).

1 Terima kasih kepada Luqman Nul Hakim untuk komentar dan diskusinya tentang poin ini.

Sebelum diamandemen dengan menambahkan dua ayat yang merupakan pendetailan dari ayat asli sehingga pada hemat penulis tidak mengubah roh yang terkandung di dalamnya, Pasal 33 terdiri dari tiga ayat berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Bersama-sama, ketiga ayat tersebut berfungsi sebagai batu sendi yang menginskripsikan bentuk dari ekonomi Pancasila. Untuk memahami bagaimana ketiganya dapat dimaknai dalam kerangka ekonomi Pancasila, perhatian perlu diberikan pada kata-kata kunci yang terdapat di dalamnya. Dalam Pasal 33 ayat 1, kata kuncinya adalah ―asas kekeluargaan‖. Perumus pasal ini, yakni wakil presiden pertama Mohammad Hatta yang juga acapkali disebut dengan Bapak Ekonomi Pancasila dan Bapak Ekonomi Kerakyatan, menjelaskan secara tegas bahwa apa yang dimaksud dengan asas kekeluargaan adalah koperasi. Meski Hatta tidak memasukkannya ke dalam batang tubuh pasal 33, hal itu diuraikannya dalam bagian penjelasan di mana dikemukakan bahwa ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama bentuknya adalah koperasi. Istilah asas kekeluargaan berasal dari Taman Siswa untuk menggambarkan bagaimana guru dan murid-murid hidup sebagai satu keluarga. Maka begitu pulalah hendaknya corak koperasi, satu sama lain harus mencerminkan orang-orang bersaudara sekeluarga (Hatta, 1977: 27). Secara historis, ketertarikan Hatta terhadap koperasi tersebut berakar dari studinya pada tahun 1921-1922 mengenai bentuk usaha masyarakat menengah ke bawah di Inggris, Jerman, dan Swedia (Nasution, 2002: 212) dan kunjungannya ke negara-negara Skandinavia, khususnya Denmark, pada akhir tahun 1930-an (Rahardjo, 2002: 294). Pandangannya mengenai koperasi dapat ditelusuri dari pandangan Perhimpoenan Indonesia tentang ekonomi seperti yang diuraikan Hatta dalam pleidonya di pengadilan Den Haag (Sjahrir, 2002: 246).

Bila dikatakan bahwa asas kekeluargaan menemukan perwujudannya dalam bentuk bangun usaha koperasi, tentu tidak lantas berarti bahwa seluruh penyelenggaraan ekonomi yang dijalankan di suatu negara harus dilakukan melalui

koperasi sebagai institusi yang paling selaras dengan norma ekonomi Pancasila. Tentu ini merupakan hal yang tidak mungkin karena dalam realitasnya, sudah sejak masa awal kemerdekaan, koperasi hidup bersama-sama dengan bangun usaha lainnya seperti perusahaan negara dan perusahaan swasta (baik besar, menengah, maupun kecil). Di antara berbagai bangun usaha tersebut, peranan perekonomian rakyat kecil dialokasikan pada koperasi, dengan harapan berangsur-angsur meningkat ke atas, artinya koperasi mendapatkan peranan membangun dari bawah (Monoarfa, 2002: 290). Asas kekeluargaan dengan demikian lebih tepat dipahami sebagai semangat dan spirit daripada sebagai bentuk institusional yang baku (Mubyarto, 1980: 82; Mubyarto, 1981: 147). Hatta sendiri meyakini bahwa asas kekeluargaan tidak hanya dapat diterapkan pada koperasi, melainkan juga dapat diterapkan pada perusahaan negara (BUMN) dan swasta. Meski demikian, koperasi tetap memegang peranan yang istimewa dalam keseluruhan usaha ekonomi nasional. Dia merupakan sokoguru dari perekonomian Indonesia, artinya semua bentuk usaha lain hendaknya menjadikan prinsip dan nilai-nilai koperasi sebagai model idealnya.

Sementara itu, ayat 2 dan 3 dari Pasal 33 UUD 1945 pada dasarnya merupakan dua ayat yang secara bersama menubuhkan prinsip sosialisme dalam ekonomi Ind onesia. Prinsip sosialisme ini hadir dalam pernyataan ―cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara‖ dan ―bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.‖ Ini artinya, dalam ekonomi Pancasila hak milik

pribadi tidak diberikan secara sebebas-bebasnya. Barang-barang publik yang vital bagi kepentingan orang banyak, berikut sumber daya alam dalam rupa bumi dan air berikut kekayaan yang terkandung di dalamnya, hanya boleh dikuasai dan dikelola oleh negara dalam rangka untuk mewujudkan ―sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.‖ Rumusan demikian memberikan tilikan yang jelas mengenai posisi dari hak milik pribadi: pendakuan atasnya hanya berlaku untuk barang-barang yang tidak menyentuh kepentingan orang banyak, dan penggunaan serta pemanfaatannya hendaknya disertai dengan tanggung jawab, yakni tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.

Gabungan dari dua pokok tersebut, yakni menyerahkan cabang produksi dan sumber daya yang penting bagi orang banyak ke tangan negara sembari tetap mengakui hak miliki pribadi, memberikan karakterisasi yang khusus pada bangunan ekonomi Pancasila. Dia bukanlah sosialisme dalam pengertiannya yang murni negara-negara komunis dan sosialis sekaligus juga bukan kapitalisme yang menyerahkan jalannya perekonomian sepenuhnya pada pasar dan norma hak milik pribadi. Sistem ekonomi Pancasila adalah, sebagaimana dituliskan salah satu penyokongnya yang paling militan, sistem ekonomi campuran yang mengandung pada dirinya ciri-ciri positif dari kedua sistem yang kita kenal (kapitalis-liberal dan sosialis-komunis) tetapi menolak ciri-cirinya yang negatif (Mubyarto, 1980: 84).

Dalam tataran global, sistem campuran atau jalan tengah tersebut telah banyak dimanifestasikan oleh berbagai negara di dunia dalam suatu format yang disebut dengan negara kesejahteraan ( welfare state ). Negara kesejahteraan merupakan negara yang pemerintahnya menjalankan serangkaian program untuk melindungi rakyatnya dari kerugian akibat risiko kehidupan, memberikan bantuan bagi yang membutuhkan, dan mendorong konsumsi atas pelayanan tertentu seperti pendidikan, perumahan, dan perawatan anak. Berbagai program tersebut sengaja diciptakan untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu, di antaranya menyediakan rasa keamanan bagi semua warga dan mengurangi kemiskinan (Pestieau, 2006: 4). Selain berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang menyejahterakan dan memberi rasa aman warganya, konsep negara kesejahteraan juga bersinggungan erat dengan nilai-nilai kewarganegaraan modern seperti kebebasan, toleransi, persaudaraan, kemakmuran, dan otonomi (Shiratori, 1986: 195)

Dalam gambaran besarnya, ekonomi Pancasila memang dapat dipahami dan dimaknai sebagai negara kesejahteraan. Ini bukan merupakan pembacaan yang ahistoris atau retrospektif karena sudah sejak masa-masa persiapan kemerdekaan, para pendiri bangsa mencita-citakan terbentuknya sebuah negara kesejahteraan di Indonesia. Cita-cita itu lalu kemudian diterjemahkan ke dalam sila kelima Pancasila dan beberapa pasal dalam konstitusi, di antaranya Pasal 27, 31, 33, dan

34. Prinsip negara kesejahteraan diterima secara bulat, baik oleh anggora BPUPKI maupun anggota PPKI yang bersidang pada 18 Agustus 1945 (Latif, 2011: 584).

Di antara para perintis kemerdekaan, Sutan Sjahrir merupakan tokoh pertama yang mengonsepsikan cita-cita Indonesia merdeka sebagai negara kesejahteraan. Dalam artikelnya di Daulat Ra’jat (1931-1934) , Sjahrir menuliskan berbagai bentuk jaminan sosial yang wajib diadakan negara untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial seperti standar penghidupan minimum, pensiun bagi orangtua, uang pengganti ongkos berobat, ekstra gaji bagi buruh yang mendapat kecelakaan, dan lain-lain (Latif, 2011: 526-527). Bung Hatta juga pernah melontarkan gagasan mengenai negara kesejahteraan, yang diistilahkannya sebagai negara pengurus. Dalam hal ini, dia kerap merujuk pada praktik yang berkembang di negara-negara Skandinavia. Adapun Muhammad Yamin merujuknya kepada tradisi negara kesejahteraan di Jerman seperti tertuang dalam Konstitusi Weimar tahun 1919 (Latif, 2011: 581).

Model Negara Kesejahteraan Indonesia

Negara kesejahteraan tidaklah tunggal. Terdapat berbagai model dan format negara kesejahteraan yang dijalankan berbagai negara di belahan dunia. Bagaimana format negara kesejahteraan yang ada di suatu negara akan sangat ditentukan oleh konteks historis, struktur sosial, dan ideologi politik dominan yang tergelarkan di negara tersebut. Meskipun sudah sejak pendiriannya Indonesia dicita-citakan sebagai negara kesejahteraan, namun sampai saat ini pemerintah belum pernah menerapkannya secara nyata. Apabila keadaan ini akan diubah, Indonesia butuh untuk belajar dari best practices yang ada sekaligus mencari model yang tepat. Untuk mengetahui model negara kesejahteraan yang paling tepat tersebut, dibutuhkan pengetahuan teoretis mengenai model-model negara kesejahteraan.

Dengan memperhatikan aransemen di antara institusi negara, pasar, dan keluarga, Esping-Andersen mengidentifikasi adanya tiga model, atau yang dia

sebut sebagai ―rezim‖, dari negara kesejahteraan (Esping-Andersen, 1990: 26-28). Masing-masing dari model tersebut memiliki derajat dekomodifikasi dan cakupan penerima manfaat yang berbeda. Yang pertama adalah negara kesejahteraan liberal. Ini merupakan negara kesejahteraan yang memberikan manfaat sosial bagi warganya secara minimum. Hanya mereka yang memenuhi syarat yang berhak sebut sebagai ―rezim‖, dari negara kesejahteraan (Esping-Andersen, 1990: 26-28). Masing-masing dari model tersebut memiliki derajat dekomodifikasi dan cakupan penerima manfaat yang berbeda. Yang pertama adalah negara kesejahteraan liberal. Ini merupakan negara kesejahteraan yang memberikan manfaat sosial bagi warganya secara minimum. Hanya mereka yang memenuhi syarat yang berhak

Rezim kedua disebut denga negara kesejahteraan konservatif atau korporatis. Yang menjadi perhatian utama dari negara kesejahteraan ini adalah pemeliharaan perbedaan status di antara warganya. Dengan kata lain, hak yang dimiliki warga tidak sama antara satu dengan lainnya karena hal itu bergantung pada status dan posisi kelas yang dimilikinya. Dalam negara ini, obsesi liberal akan efisiensi pasar dan komodifikasi dikesampingkan. Negara bersedia untuk menggantikan pasar sebagai penyedia kesejahteraan bagi warganya. Namun paradoksnya, karena negara menjamin preservasi diferensiasi sosial, dampak dari redistribusi menjadi tidak terlalu berarti atau dirasakan. Selain itu, ciri lain dari negara kesejahteraan korporatis adalah penekanannya pada prinsip subsidiaritas. Negara hanya melayani kebutuhan warga yang tidak dapat disediakan secara mandiri oleh keluarga. Pamrih terselubung dari pendekatan ini adalah demi mempertahankan struktur keluarga tradisional. Negara yang menerapkan model ini misalnya Austria, Perancis, Jerman, dan Italia.

Rezim yang ketiga adalah negara kesejahteraan sosial demokratis. Model ini menerapkan prinsip dekomodifikasi dan pemberian hak sosial secara maksimum. Penerima manfaat dari model ini adalah seluruh warga, dan jenis manfaat yang diberikan bersifat komprehensif dengan standar yang tinggi. Tidak ada dualisme antara negara dan pasar atau antara kelas menengah dengan kelas pekerja. Negara kesejahteraan sosial demokratis berusaha menciptakan kesetaraan sosial yang menyejahterakan semua, sehingga tercipta solidaritas yang kuat di antara warga. Semua kelompok dan golongan dilayani dalam satu sistem asuransi nasional.

Selain melalui pemberlakuan pajak progresif, kunci untuk mempertahankan sistem ini adalah dengan mendorong dan menjamin diciptakannya kesempatan kerja yang penuh ( full employment ). Hak atas pekerjaan mendapatkan status yang sama dengan hak atas perlindungan sosial. Dalam beberapa hal, keberlangsungan dari sistem ini sesungguhnya hanya akan terjamin apabila sebanyak mungkin warga bekerja (sehingga dia dapat ditarik pajak yang besar) dan sesedikit mungkin yang bergantung pada jaminan negara. Esping-Andersen mencatat bahwa dalam kenyataannya tidak ada negara yang menerapkan model ini secara murni, meskipun beberapa negara Skandinavia terlihat paling mendekati.

Kita dapat membaca dan mengontekstualkan cita-cita negara kesejahteraan Indonesia sebagaimana termuat dalam pandangan para pendiri bangsa dan tersurat dalam rumusan dasar negara dan pasal-pasal konstitusi dalam kerangka tiga model di atas. Dalam hal itu, model negara kesejahteraan apakah yang secara normatif layak untuk diperjuangkan di Indonesia? Menurut Yudi Latif, negara kesejahteraan yang ideal untuk diterapkan di Indonesia adalah campuran dari dua rezim negara kesejahteraan sebagaimana dipaparkan di atas.

(N)egara kesejahteraan ala Indonesia tampaknya ingin memadukan antara peran ekstensif negara dalam usaha kesejahteraan sosial —seperti pada model ― universal welfare state ‖ ala negara-negara Skandinavia—dengan

jaminan sosial secara tersegmentasi dengan disertai jejaring kekeluargaan —seperti pada model ― social insurance welfare state ‖ ala negara-negara yang relatif konservatif di Eropa. Kecenderungan yang pertama tercermin pada pasal 33 UUD 1945, adapun kecenderungan yang kedua tercermin pada pasal 34 (Latif, 2011: 582).

Argumen Yudi Latif di atas cukup menarik dan meyakinkan. Tetapi mungkin persoalan yang krusial bagi Indonesia bukanlah soal memilih salah satu, atau campuran, dari model-model negara kesejahteraan yang ada untuk kemudian diterapkan secara persis di Indonesia. Alasan untuk itu karena Indonesia memiliki konteks historis, sosial, dan politik yang berbeda dengan negara-negara lainnya sehingga penerapan negara kesejahteraan di negeri ini tidak bisa serta-merta meniru apa yang sudah terjadi di negara lain. Diskusi Esping-Andersen mengenai tiga rezim negara kesejahteraan adalah hasil pengamatannya atas negara-negara industri maju di Barat yang tentu kondisinya sangat berbeda dengan Indonesia. Seperti dikualifikasi oleh Latif sendiri, gagasan negara kesejahteraan yang dijiwai Argumen Yudi Latif di atas cukup menarik dan meyakinkan. Tetapi mungkin persoalan yang krusial bagi Indonesia bukanlah soal memilih salah satu, atau campuran, dari model-model negara kesejahteraan yang ada untuk kemudian diterapkan secara persis di Indonesia. Alasan untuk itu karena Indonesia memiliki konteks historis, sosial, dan politik yang berbeda dengan negara-negara lainnya sehingga penerapan negara kesejahteraan di negeri ini tidak bisa serta-merta meniru apa yang sudah terjadi di negara lain. Diskusi Esping-Andersen mengenai tiga rezim negara kesejahteraan adalah hasil pengamatannya atas negara-negara industri maju di Barat yang tentu kondisinya sangat berbeda dengan Indonesia. Seperti dikualifikasi oleh Latif sendiri, gagasan negara kesejahteraan yang dijiwai

Namun lebih daripada segalanya, diskusi tentang model negara kesejahteraan Indonesia tidak bisa ditetapkan secara aksiomatis untuk kemudian tinggal diimani sebagai bagian dari realitas. Faktanya sampai sekarang ini penyelenggara negara belum pernah menerapkan negara kesejahteraan dengan sungguh-sungguh melalui penciptaan kebijakan yang sistemik. Untuk itu, ekonomi Pancasila tidak bisa dikembangkan hanya dengan cara refleksi dan teorisasi semata. Teorisasi dan pengkajian normatif mengenai ekonomi Pancasila haruslah ditunjang dan diikuti dengan eksperimen empiris (Mubyarto dan Boediono, 1981: 6). Di sinilah pentingnya usaha untuk melakukan peninjauan terhadap upaya-upaya yang pernah dilakukan pemerintah, yakni sejauh mana pemerintah bergerak dalam trayek yang tepat demi realisasi negara kesejahteraan. Melalui penelusuran tersebut, normativitas yang terkandung dalam konstitusi akan dapat dijangkarkan kepada struktur kemungkinan yang meletak di hadapan negara dan masyarakat Indonesia kontemporer. Dari sana dapat dilakukan penilaian mengenai posisi kita sekarang.

Kebijakan Sosial dan Embrio Menuju Negara Kesejahteraan Indonesia

Salah satu fitur utama dari negara kesejahteraan adalah kebijakan sosial. Setiap negara kesejahteraan selalu menerapkan kebijakan-kebijakan sosial untuk menunjang sistemnya, meskipun tidak bisa dikatakan sebaliknya bahwa setiap negara yang memiliki kebijakan sosial secara otomatis pasti merupakan negara kesejahteraan (Triwibowo dan Bahagijo, 2006: 8). Kebijakan sosial merupakan instrumen kebijakan yang digunakan untuk memastikan bahwa warganegara mendapatkan akses terhadap pelayanan sosial dasar seperti layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sebagainya. Kebijakan sosial berperan sebagai komplemen dari kebijakan ekonomi dan kebijakan sektoral lainnya (Triwibowo dan Subono, 2009: 5).

Salah satu bentuk dari kebijakan sosial adalah bantuan sosial merupakan bantuan yang dapat bersifat tunai maupun non tunai ini biasanya ditujukan bagi kelompok miskin dan rentan seperti janda, yatim piatu. Skema pemberiannya bersifat mean-tested , artinya penerimanya harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti yang ditetapkan oleh pemerintah (Triwibowo dan Subono, 2009: 6). Di Indonesia, pemerintah beberapa kali pernah membuat kebijakan dalam bentuk bantuan sosial, misalnya dalam bentuk beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, beras untuk rakyat miskin (raskin), Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada saat krisis ekonomi 1998, dan Bantuan LangsungTunai (BLT) atau BLSM (Bantuan Langsung Tunai Sementara) sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM. Kebijakan sosial yang diberikan dalam skema bantuan sosial biasanya bersifat

ad hoc . Namun demikian, dalam konteks negara kesejahteraan, bantuan sosial

tidaklah mencukupi. Dalam negara kesejahteraan yang sejati, kebijakan sosialnya dibangun melalui pendekatan yang sistemik dan berkelanjutan dalam bentuk jaminan sosial ( social security ). Jaminan sosial merupakan sistem yang diwujudkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan memberikan rasa aman sepanjang hidup manusia melalui penyediaan layanan-layanan untuk menanggulangi risiko-risiko hidup seperti sakit, kecelakaan, menganggur, pensiun, kematian, dan sebagainya. Masing-masing negara kesejahteraan memiliki mekanisme penggalian sumber dana yang berbeda untuk menjalankan sistem jaminan sosialnya, entah apakah itu melalui asuransi, tabungan, pajak, atau kombinasi di antara berbagai mekanisme yang ada (Sulastomo, 2008: 5-7)

Indonesia sebenarnya telah menginisiasi kebijakan jaminan sosial sejak lama. Pada masa awal kemerdekaan, telah diterbitkan peraturan mengenai jaminan kesehatan di bawah Peraturan Menteri Perburuhan No. 48/1953 yang kemudian diamandemen menjadi Peraturan Menteri Perburuhan No. 57/1957. Peraturan ini menjadi landasan dari diberikannya bentuk-bentuk tunjangan bagi pekerja seperti jasa di poliklinik, santunan selama sakit, hamil, melahirkan, dan kematian. Di tahun 1964, jaminan kesehatan direvisi dalam Peraturan Menteri Perburuhan No. 3/1964. Kemudian, pada masa pemerintahan Orba ketika Soeharto menjadi presiden, peraturan-peraturan terdahulu tentang jaminan sosial direvisi menjadi

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 3/1967. Lalu dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun periode 1974-1979, pemerintah menargetkan untuk memperluas dan meningkatkan distribusi jaminan sosial. Sejak saat itulah kemudian dibentuk perusahaan-perusahaan umum yang memberikan jaminan sosial bagi warganegara berdasarkan pekerjaannya. Pada tahun 1977 dibentuk Astek (berubah menjadi Jamsostek pada 1992) yang melayani pekerja formal sektor swasta, Taspen di tahun 1963 untuk jaminan hari tua pegawai negeri, Asabri untuk jaminan hari tua personel militer, dan Askes di tahun 1968 yang memberikan jaminan kesehatan bagi pegawai negeri dan personel militer (Wisnu, 2012: 100-102; Raper, 2008: 47).

Ciri utama dari kebijakan jaminan sosial yang diberlakukan pada masa Orba, yang sebagiannya masih berlanjut hingga saat ini, adalah sifatnya yang parsial dan instrumental, yakni untuk mendukung tujuan pertumbuhan ekonomi. Hanya sebagian kecil warganegara yang terlindungi dan menerima manfaat dari jaminan sosial. Mereka merupakan golongan yang dipandang penting bagi negara seperti PNS, pekerja swasta formal, dan militer. Sementara untuk asuransi yang berbasis privat, hanya kelas menengahlah yang mempunyai kemampuan untuk mengaksesnya. Adapun sebagian besar warganegara lainnya, misalnya mereka yang bekerja di sektor informal, pertanian, pekerja musiman, dan pengangguran, sama sekali tidak terlindungi (Triwibowo dan Subono, 2009: 16-17).

Dalam beberapa hal, kebijakan di masa Orba ini paralel dengan yang dilakukan oleh negara-negara industri Asia Timur, terutama sejak Perang Dunia II sampai dengan tahun 1980-an. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan membentuk corak negara kesejahteraan yang dalam literatur disebut sebagai negara kesejahteraan produktivis atau developmentalis. Dalam model negara kesejahteraan ini, kebijakan kesejahteraan sosial ditempatkan di bawah orientasi pertumbuhan ekonomi. Penyediaan jaminan sosial tidak didasarkan pada prinsip kesetaraan sosial atau redistribusi ekonomi, namun lebih pada investasi modal SDM demi produktivitas ekonomi. Untuk itu negara hanya memberikan jaminan kesejahteraan bagi sekelompok kecil pekerja yang bekerja di dalam sektor-sektor yang berperan penting dalam menggenjot pertumbuhan seperti pegawai negeri, personel militer, pekerja industri besar, dan guru. Sementara bagi Dalam beberapa hal, kebijakan di masa Orba ini paralel dengan yang dilakukan oleh negara-negara industri Asia Timur, terutama sejak Perang Dunia II sampai dengan tahun 1980-an. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan membentuk corak negara kesejahteraan yang dalam literatur disebut sebagai negara kesejahteraan produktivis atau developmentalis. Dalam model negara kesejahteraan ini, kebijakan kesejahteraan sosial ditempatkan di bawah orientasi pertumbuhan ekonomi. Penyediaan jaminan sosial tidak didasarkan pada prinsip kesetaraan sosial atau redistribusi ekonomi, namun lebih pada investasi modal SDM demi produktivitas ekonomi. Untuk itu negara hanya memberikan jaminan kesejahteraan bagi sekelompok kecil pekerja yang bekerja di dalam sektor-sektor yang berperan penting dalam menggenjot pertumbuhan seperti pegawai negeri, personel militer, pekerja industri besar, dan guru. Sementara bagi

Setelah krisis melanda Indonesia pada 1997 yang diikuti dengan pergantian rezim dan proses demokratisasi setahun sesudahnya, semakin disadari bahwa skema kebijakan sosial yang ada di Indonesia tidak mencukupi, baik bila dilihat dari jumlah peserta, cakupan dan kualitas manfaat, maupun tata kelola. Untuk itu, mulai dilakukan reformasi kebijakan dalam rangka untuk membangun sistem jaminan sosial yang lebih bersifat sistemis dan inklusif. Legitimasi untuk melakukan reformasi tersebut mendapatkan penguatan melalui amandemen UUD 1945 Pasal 28H ayat 3 (―Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat‖) dan Pasal 34 ayat 2 (―Negara mengembangkan sistem jaminan sosial

bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan mart abat kemanusiaan‖). MPR juga telah menetapkan Ketetapan MPR-RI No. X/MPR-RI/2001 yang mengamanatkan presiden membentuk sistem jaminan sosial yang terpadu dan komprehensif.

Sebagai tindak lanjut terhadap amanat konstitusi tersebut, pemerintah kemudian membentuk Tim Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada Maret 2001 yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Tim SJSN pada April 2002 dengan tugas yang lebih luas, antara lain membuat RUU SJSN dan melaporkannya kepada presiden. Setelah melalui proses perdebatan dan tawar-menawar yang alot, UU 40/2004 tentang SJSN akhirnya disetujui. Substansi jaminan sosial yang disetujui dalam UU SJSN mencakup jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Sebelumnya, diusulkan pula tunjangan pengangguran namun usulan ini akhirnya ditolak (Wisnu, 2012: 111). Demikian juga usulan mengenai tunjangan PHK dimentahkan karena telah terakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan.

Penetapan UU SJSN merupakan momen historis dalam sejarah kebijakan sosial di Indonesia sekaligus merupakan langkah yang penting bagi tercapainya cita-cita negara kesejahteraan di negeri ini. Selain mencakup bantuan yang lebih luas dari skema-skema yang telah ada sebelumnya, SJSN juga bersifat universal. Kini tidak hanya mereka yang bekerja di sektor tertentu saja yang dilindungi, melainkan seluruh warga tanpa memandang profesi maupun penghasilannya. SJSN menganut sistem asuransi sosial sehingga sumber pendanaannya berasal dari iuran penerima manfaat dan pemberi kerja atau pemerintah (bagi PNS). Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu atau tidak mempunyai penghasilan, iurannya akan dibayar oleh pemerintah.

SJSN memberikan jaminan rasa aman bagi seluruh warga sepanjang hidupnya, dari sejak lahir sampai meninggal. Rasa aman itu terwujud karena berbagai ancaman yang berisiko pada turunnya pendapatan, baik yang datang secara tiba-tiba (sakit, kecelakaan) maupun alamiah (pensiun), dijamin tidak akan memberikan pengaruh terhadap kualitas kesejahteraan. Melalui sistem asuransi, SJSN juga akan berperan secara tidak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat dengan cara memobilisasi dana masyarakat untuk membentuk tabungan nasional yang besar. Tabungan tersebut dapat diinvestasikan untuk menghasilkan keuntungan. Dana yang ditempatkan di bank misalnya, diskenariokan dapat menurunkan tingkat bunga sehingga mendorong investasi, dan investasi pada gilirannya akan membuka perluasan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk yang menerima bantuan iuran. Terbentuknya tabungan nasional yang besar juga akan meningkatkan kemampuan keuangan negara untuk membiayai program-program pembangunannya (Sulastomo, 2008: 30-31) sehingga negara tidak perlu lagi berutang. Skenario semacam ini terbukti sukses di Malaysia sehingga negara tersebut terhindarkan dari dampak yang parah dari krisis 1997. Sementara di Jepang, akumulasi dana jaminan sosial digunakan pemerintah untuk dipinjaman ke berbagai negara termasuk Indonesia. Bunga dari pinjaman tersebut kemudian masuk ke dana jaminan sosial (Sulastomo, 2013: 6).

Sebagai lembaga yang berwenang untuk menjalankan dan mengelola SJSN, dibentuk badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS). Untuk itu, setelah melalui proses yang panjang dan berlarut-larut, pada tahun 2011 lalu dibentuklah UU

24/2011 tentang BPJS. Di dalamnya, ditentukan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial nasional akan dijalankan oleh dua BPJS, yakni BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Untuk itu, dua BUMN, yaitu PT Askes dan PT Jamsostek, akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan mulai 1 Januari 2014 dengan status badan hukum publik. BPJS Ketenagakerjaan akan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian bagi pekerja selambatnya 1 Juli 2015. Adapun BPJS Kesehatan bertugas menyelenggarakan jaminan kesehatan per 1 Januari 2014 dengan menerima pelimpahan peserta jaminan kesehatan dari Jamsostek, TNI/Polri, PNS, Jamkesmas, dan Jamkesda. Selain melayani pekerja formal, BPJS Kesehatan juga akan melayani pekerja informal dan penganggur. Bagi mereka yang tidak mampu mengiur, pemerintahlah yang akan mengiuri. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap hingga pada 2019 diharapkan sudah melayani seluruh warganegara. Sementara itu, PT Taspen dan PT Asabri baru akan bertransformasi dan bergabung ke dalam BPJS Ketenagakerjaan paling lambat pada 31 Desember 2029.

Buruh sebagai Agen Penting Negara Kesejahteraan

Lahirnya UU SJSN dan UU BPJS merupakan sinyal yang baik bagi terwujudnya mimpi akan negara kesejahteraan sebagaimana diamanatkan para pendiri bangsa dan konstitusi. Perjuangan lebih lanjut masih dibutuhkan untuk mengawal agar UU tersebut benar-benar diimplementasikan secara efektif dan konsekuen. Selain itu, perjuangan lanjutan juga perlu diarahkan kepada tujuan agar manfaat-manfaat sosial lain yang belum tercakup dalam SJSN dapat dijamin oleh undang-undang. Dalam upaya untuk mengonsolidasikan langkah-langkah yang diperlukan menuju tercapainya negara kesejahteraan yang mapan dan otentik, aktor-aktor kunci perlu untuk terus-menerus menguatkan diri dan menyuarakan tuntutannya. Secara tradisional, salah satu aktor kunci yang dipercaya merupakan penggerak dari terciptanya formasi negara kesejahteraan adalah kaum buruh.

Kondisi buruh di Indonesia mengalami perkembangan yang menarik akhir-akhir ini. Tegaknya rezim Reformasi pada 1998 merupakan titik balik dari gerakan buruh di Indonesia karena sejak saat itu, pendekatan Orba yang memasung Kondisi buruh di Indonesia mengalami perkembangan yang menarik akhir-akhir ini. Tegaknya rezim Reformasi pada 1998 merupakan titik balik dari gerakan buruh di Indonesia karena sejak saat itu, pendekatan Orba yang memasung

Kemudian pada tahun 2003 dilahirkan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebagai sebuah aturan yang memuat secara cukup komprehensif hal-hal yang terkait dengan ketenagakerjaan, UU ini memberikan manfaat positif sekaligus negatif bagi buruh. Di satu sisi, peraturan ini menjadi terobosan besar dalam sejarah kebijakan ketenagakerjaan Indonesia karena melaluinya buruh mendapatkan perlindungan yang jauh lebih memadai dibandingkan era sebelumnya. Standar keamanan dan kesejahteraan pekerja dinaikkan, misalnya melalui berbagai klausul tentang upah minimum provinsi (UMP) pekerja perempuan, prosedur dan kompensasi PHK, dan uang pesangon. Tetapi di sisi lain, peraturan ini juga membawa kerugian bagi buruh karena di dalamnya terkandung logika neoliberal melalui fleksibilisasi pasar kerja melalui introduksi kerja kontrak dan alih daya ( outsourcing ). Dengan introduksi tersebut, banyak perusahaan yang memberhentikan buruh dengan status tetap untuk kemudian direkrut dengan status kontrak atau outsource demi menghindari kewajiban pesangon. Beberapa perusahaan kaya juga membayar pekerjanya di bawah jumlah yang seharusnya dengan berlindung di balik ketentuan UMP (Habibi, 2009: 146).

Kombinasi antara UU 21/2000 dengan UU 13/2003 melemparkan buruh ke dalam suatu paradoks. Kebebasan berserikat relatif dipenuhi namun kebebasan tersebut diiringi dengan fleksibilisasi pasar kerja. Dengan banyaknya buruh dengan status kerja kontrak atau alih daya, ada kekhawatiran bahwa semangat dan motivasi mereka untuk bergabung dalam serikat dan berjuang secara kolektif akan Kombinasi antara UU 21/2000 dengan UU 13/2003 melemparkan buruh ke dalam suatu paradoks. Kebebasan berserikat relatif dipenuhi namun kebebasan tersebut diiringi dengan fleksibilisasi pasar kerja. Dengan banyaknya buruh dengan status kerja kontrak atau alih daya, ada kekhawatiran bahwa semangat dan motivasi mereka untuk bergabung dalam serikat dan berjuang secara kolektif akan

Aksi buruh yang membuahkan keberhasilan terus terjadi padatahun-tahun berikutnya. Tahun 2012 lalu merupakan tahun yang penuh dengan unjuk kekuatan buruh besar-besaran. Habibi mendokumentasikan beberapa peristiwa besar yang terjadi pada tahun itu. Pada tanggal 10 dan 27 Januari, aksi tutup tol terjadi di Serang dan Bekasi dengan melibatkan ribuan buruh yang menuntut kenaikan upah. Pada peringatan Mayday , 80.000-an buruh berdemonstrasi di Ibu Kota. Pada hari itu juga, Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) dideklarasikan, yang menandai bersatunya tiga konfederasi terbesar. Pada bulan Maret-April, buruh melawan yang berefek pada dibatalkannya rencana kenaikan. Pada 3 Oktober 2012, dilangsungkan mogok nasional di 80 kawasan industri yang melibatkan 754 perusahaan di 12 provinsi dan 37 kabupaten/kota. Inilah mogok terbesar di Indonesia setelah masa Soekarno. Ada pula gerakan populer yang disebut dengan ―grebek pabrik‖ pada Mei hingga November 2012 di Bekasi (Habibi, 2013: 21-23).

Selain isu-isu normatif di seputar kenaikan upah minimum, fasilitas kerja, dan penghapusan praktik kerja kontrak/alih daya, gerakan buruh di era Reformasi juga memberikan perhatian yang cukup serius terhadap SJSN. Perhatian buruh yang besar terhadap SJSN tersebut terlihat ketika pada 8 Maret 2010, sekelompok Selain isu-isu normatif di seputar kenaikan upah minimum, fasilitas kerja, dan penghapusan praktik kerja kontrak/alih daya, gerakan buruh di era Reformasi juga memberikan perhatian yang cukup serius terhadap SJSN. Perhatian buruh yang besar terhadap SJSN tersebut terlihat ketika pada 8 Maret 2010, sekelompok

―Mimbar Rakyat Jaminan Sosial‖ yang secara rutin mengadakan roadshow untuk membangun kesadaran publik akan pentingnya pengawasan terhadap proses yang

sedang berlangsung di parlemen (Wisnu, 2012: 136-139). Segala aksi tersebut dan tekanan tersebut merupakan salah satu faktor di balik suksesnya pengesahan UU BPJS pada 28 Oktober 201. Sampai saat ini, KAJS masih aktif melakukan advokasi, yakni dengan mengawal perumusan peraturan-peraturan pelaksanaan

yang terkait dengan SJSN dan BPJS. 2 Misalnya, baru-baru ini mereka menggugat

2 Meski demikian, sikap kalangan buruh mengenai SJSN dan BPJS tidaklah seragam. Pada masa pembahasan RUU SJSN misalnya, proses formulasi di parlemen diwarnai penolakan oleh serikat