Unsur-unsur Strukturalisme Genetik

(1) Keluarga

Soleman B. Taneko berpendapat bahwa keluarga merupakan pusat kehidupan secara individual, di mana di dalamnya terdapat hubungan yang intim dalam derajat yang tinggi (1993: 75). Pola pola pelamaran, perkawinan, pemeliharaan anak dan juga pemenuhan kebutuhan pangan terdapat atau terjadi pada lembaga tingkat ini yaitu keluarga. Keluarga juga mempunyai fungsi pengasuhan terhadap anak, tidak hanya itu keluarga juga bertanggung jawab atas kesehatan, kesejahteraan anak dan sebagainya sampai individu atau anak tersebut dapat mandiri. Selain itu keluarga juga mempunyai fungsi menetapkan status suatu individu. Suatu keluarga pastilah mempunyai suatu status dalam masyarakat baik yang diperoleh dari keturunan maupun usaha sendiri dalam masyarakat.

Status yang ada tersebut pastinya akan berpengaruh juga pada keturunan dalam keluarga tersebut dalam hal ini terutama pada anak-anaknya. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt menyatakan beberapa fungsi keluarga yaitu fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomis (1999: 274-279).

Struktur dalam keluarga terbentuk atas dasar pertalian darah atau atas dasar perkawinan (Soleman B. Taneko, 1993: 76). Lebih luas lagi Paul B. Horton dan Chester L. Hunt menyatakan bahwa suatu keluarga mungkin merupakan: (1) suatu kelompok yang mempunyai nenek moyang yang sama; (2) suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah atau perkawinan; (3) pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak; (4) pasangan tanpa nikah yang mempunyai anak; dan (5) satu orang dengan beberapa anak (1999: 267). Pendapat di atas jelas bahwa suatu

commit to user

namun tanpa kehadiran salah satu dari itu juga dapat terbentuk suatu keluarga. Jadi dari pendapat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt di atas dapat pula kita jadikan dasar mengenai struktur keluarga yang mungkin ada dalam suatu keluarga.

(2) Institusi Pemerintah

Institusi pemerintah merupakan institusi yang mempunyai kewenangan untuk memelihara ketertiban, menjalankan administrasi peradilan dan melindungi warga masyarakat dari bahaya luar (Soleman B. Taneko, 1993: 77). Institusi ini terdapat pola-pola yang dalam menjalankannya diperlukan suatu organisasi yang lebih spesifik yang disebut negara. Institusi pemerintah ini mempunyai wewenang yang cukup kuat, dan merupakan organisasi kekuasaan dari negara yang mempunyai kekuasaan dari institusi lain.

Kaitannya dengan pemerintah Paul B. Horton dan Chester L. Hunt berpendapat, kekuasaan diartikan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk mengendalikan proses pengambilan keputusan (1999: 379). Kekuasaan akan terlihat fungsinya dalam hal pengambilan keputusan di masyarakat, dan individu atau kelompok yang mampu mengendalikan proses pengambilan kekuasaan, dialah yang mempunyai kekuasaan lebih atas apa yang terjadi selanjutnya.

Mengenai struktur institusi pemerintah ini, Soleman B. Taneko menyatakan, secara sederhana struktur pemerintahan mungkin hanya terdiri dari kepala suku yang bersifat turun temurun dengan keputusan atau ketetapannya ditegakan oleh masyarakat secara keseluruhan atau mungkin oleh sejumlah fungsionaris yang ditunjuk dengan kewajiban atau tugas untuk membentuk undang-undang, menegakkannya, menyelesaikan perselisihan, menetapkan perang dan sebagainya (1993: 79). Walaupun secara sederhana sturktrur pemerintahan seperti dikatakan di atas, namun kita juga dapat melihat perbedaan dari struktur pemerintahan yang ada pada berbagai negara modern.

Monarki absolut, struktur pemerintah dikepalai oleh seorang raja yaitu orang-orang yang mempunyai kekuasaan tertinggi terhadap semua subjek.

commit to user

pemerintahan, namun kekuasaan tertinggi ditentukan oleh sutu aturan dasar yang sering disebut undang-undang dasar. Republik, unsur yang penting dalam struktur pemerintahannya adalah badan kedaulatan yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada mereka.

Suatu negara demokrasi, apa saja strukturnya asal kekuasaan negara terletak di tangan pertimbangan dari rakyat dan slogan yang berbunyi “pemerintahan mendapat persetujuan bersama untuk memerintah” (Soleman B. Taneko, 1993: 80). Di Indonesia, struktur pemerintahannya menganut pemerintahan republik dan menganut asas demokrasi, jadi secara ringkas ada badan kedaulatan rakyat, namun kekuasaan ada di tangan rakyat melalui badan tersebut.

(3) Institusi Ekonomi

Institusi ekonomi ruang lingkupnya berkutat sekitar produksi, distribusi dan konsumsi dari barang-barang dan jasa. Masyarakat membangun institusi ini akibat semakin kompleksnya kebutuhan hidup secara material. Diadakannya institusi ini untuk menjalankan beberapa fungsi ekonomi sehingga masyarakat akan terbantu dengan adanya institusi tersebut. Beberapa masyarakat mengadakan pemisahan badan organisasi untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi ekonomi, akan tetapi dalam masyarakat yang lain fungsi ekonomi mungkin hanya dijalankan oleh keluarga, klan atau masyarakat setempat (seperti desa) (Soleman

B. Taneko, 1993: 81). Jadi tidak semua masyarakat membangun suatu institusi khusus untuk menjalankan suatu fungsi ekonomi, sebab ada juga yang sudah cukup dengan dijalankannya fungsi ekonomi oleh suatu keluarga atau desa.

Struktur institusi ekonomi dapat dikatakan sangat sederhana dengan sedikit anggota dan melibatkan sedikit pembagian kerja dengan sedikit organisasi permanen yang dibangun guna menjalankan fungsi khusus (Soleman B. Taneko, 1993: 82). Hal ini disebabkan karena orientasi dari institusi ini adalah untuk memudahkan menjalankan pola-pola kebutuhan ekonomi, jadi banyak sedikitnya orang atau anggota yang ada dalam institusi tersebut tidaklah selalu membuat institusi ini lebih efektif.

commit to user

Soleman B. Taneko berpendapat bahwa institusi religi merupakan institusi yang banyak dan bervariasi dai dalam masyarakat, tetapi biasanya terpusat pada suatu pola yang telah mapan dan perilaku mengenai bagaimana mereka melakukan hubungan dengan supernatural (1993: 83). Institusi ini termasuk di dalamnya adalah lembaga agama. Agama merupakan sesuatu yang acapkali sering didefinisikan sebagai tanggapan teratur terhadap unsur supranatural (Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1999: 326). Tidak semua masyarakat mempunyai atau menganut suatu agama, namun mereka tetap mempunyai suatu sistem ritual atau kepercayaan yang serupa dan agama yang didasarkan atas unsur supernatural.

Institusi religi seringkali berfungsi untuk memberikan dasar bagi perilaku yang ajeg dalam masyarakat (Soleman B. Taneko, 1993: 84). Agama memiliki suatu aturan-aturan hidup bagi para penganutnya sehingga terjadi keajegan perilaku para pengikutnya. Sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan juga ada dalam institusi religi atau agama, hal inilah yang nantinya juga akan membatasi perilaku anggotanya sehingga terjadi suatu kondisi yang diharapkan oleh institusi ini.

d) Stratifikasi Sosial

Soerjono Soekanto menyatakan stratifikasi sosial merupakan suatu jenis diferensiasi sosial yang terkait dengan pengertian akan adanya jenjang secara bertingkat, yang nantinya akan memunculkan strata tertentu (1984: 247). Max Weber menganggap, bahwa kelas-kelas bukan merupakan kelompok-kelompok sosial, akan tetapi merupakan agregasi orang-orang yang mempunyai peluang- peluang hidup yang sama (Soerjono Soekanto, 1984: 251). Suatu stratifikasi atau kelas sosial akan terlihat suatu pola hidup yang sama dari anggota-anggotanya. Stratifikasi sosial secara tidaka langsung akan mengumpulkan orang-orang yang mempunyai peluang-peluang kehidupan yang sama dipandang dari sudut ekonomis.

Dimensi-dimensi kehidupan yang sering dijadikan sebagai ukuran atau kriteria yakni dimensi ekomoni, sosial dan politis. Dimensi-dimensi tersebut memang dipandang paling mempunyai kekuatan untuk membedakan anggotanya

commit to user

orang miskin, dimensi sosial ada orang yang terpandang ada juga orang-orang terlupakan, dimensi politis ada aristokrat ada juga ploretar. Parson menyatakan bahwa stratifikasi sosial diperlukan dan juga dikehendaki pada suatu masyarakat kompleks yang berorientasi pada kemajuan (Soerjono Soekanto, 1984: 259). Hal tersebut bertolak bahwa dengan adanya suatu stratifikasi sosial sesuatu yang lain akan dapat ditentukan, seperti penentuan alokasi imbalan serta hubungan dengan posisi-posisi,dan sebagainya.

2. Hakikat Drama

a. Pengertian Drama

Kata drama berasal dari bahasa Greek, dari kata dran yang berarti berbuat, to act atau to do (Henry Guntur Tarigan, 1993 : 69). Ada juga yang mengatakan bahwa kata drama berasal dari bahasa Yunani atau Greek “draomai” yang berarti : berbuat, berlaku, bertindak, atau bereaksi. Namun, dari dua kata itu mengacu pada referensi makna yang sama. Kedua pengertian drama di atas, mengutamakan perbuatan, gerak, yang merupakan inti hakikat setiap karangan yang bersifat drama.

Dalam Dictionary of World Literature kata “drama” dapat ditafsirkan dalam berbagai pengertian (Henry Guntur Tarigan, 1993 : 71). Dalam arti yang amat luas, drama mencakup setiap jenis pertunjukan tiruan perbuatan, mulai dari produksi “Hamlet”, komedi, pantomime ataupun upacara keagamaan orang primitif. Lebih khusus lagi, mengarah pada suatu lakon yang ditulis agar dapat diinterpretasikan oleh para aktor; lebih menjurus lagi, drama menunjuk pada lakon realis yang sama sekali tidak bermaksud sebagai keagungan yang tragis, tetapi tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori komedi. Atar Semi dalam bukunya juga berpendapat bahwa drama adalah perasaan manusia yang beraksi di depan mata kita, yang berarti aksi dari suatu perasaan yang mendasari keseluruhan drama (1993 :156). Lebih lanjut lagi ia juga mengatakan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan.

commit to user

drama adalah salah satu cabang seni sastra; (2) drama dapat berbentuk prosa atau puisi, (3) drama mementingkan dialog, gerak, perbuatan; (4) drama adalah suatu lakon yang dipentaskan di atas panggung; (5) drama adalah seni yang menggarap lakon-lakon mulai sejak penulisannya hingga pementasannya; (6) drama membutuhkan ruang, waktu, dan audiens; (7) drama adalah hidup yang disajikan dalam gerak; (8) drama adalah sejumlah kejadian yang memikat dan menarik hati (1993: 75). Atar Semi juga mengemukakan pendapatnya mengenai karakteristik drama yaitu: (1) drama mempunyai tiga dimensi, yakni dimensi sastra, gerakan, dan ujaran; (2) drama memberikan pengaruh emosional yang lebih kuat dibanding karya sastra yang lain; (3) pengalaman yang dapat diingat dengan menonton drama lebih lama diingat dibanding sastra yang lain; (4) drama mempunyai banyak keterbatasan dibanding karya sastra lain, seperti keterbatasan untuk memunculkan suatu objek sesuai dengan imajinasi yang diinginkan, dan sebagainya yang berhubungan dengan pementasan khususnya (1993: 158).

b. Pengertian Naskah Drama

Perkembangan seni lakon ini khususnya di Indonesia istilah drama mengalami pengaruh dalam pengertiannya. Pertama yaitu drama sebagai text play atau repertoire (naskah), dan kedua, drama sebagai theatre atau performance. Atar Semi juga berpendapat bahwa drama pada umumnya mempunyai dua aspek yakni aspek cerita sebagai bagian dari sastra, yang kedua adalah aspek pementasan yang berhubungan dengan seni lakon atau seni teater (1993 : 157).

Pembuatan sebuah naskah drama memang akan selalu berorientasi pada pementasan, jadi dalam pembuatannya akan selalu memperhatikan aspek-aspek pementasan. Penelitian ini akan lebih mengulas drama sebagai text play (naskah drama) atau drama ditinjau dari aspek ceritanya sebagai bagian dari sastra yang mengangkat fenomena-fenomena di masyarakat.

Adapun mengenai batasan mengenai naskah drama menurut Henry Guntur Tarigan yaitu (1) drama sebagai repertoire atau naskah adalah hasil sastra milik pribadi, yaitu milik penulis drama tersebut; (2) text play masih memerlukan pembaca soliter ; (3) text play masih memerlukan penggarapan yang baik dan

commit to user

yang digali dari kehidupan (Herman J. Waluyo, 2002: 7). Jadi orientasi dari teks drama juga berawal dari konflik manusia yang dituangkan dalam tulisan dengan manifestasi imajinasi pengarangnya sehingga dengan sedemikian rupa dapat diwujudkan menjadi suatu pementasan.

Pengkajian terhadap drama ataupun naskah drama khususnya terhadap struktur yang membangun akan bermuara pada hal yang sama, dengan pengertian pada pengkajian naskah drama atau drama yang sama. Pada naskah yang sama, antara struktur yang terkandung dalam naskah dengan yang berbentuk pementasan sebagian besar cenderung sama bahkan sama. Adapun perbedaan itu lebih disebabkan pada hal-hal yang cenderung teknis atau aplikasi di lapangan. sehingga selanjutnya istilah naskah drama dalam pengkajian ini akan disebut dengan “drama” saja, tanpa kata naskah drama di depannya.

c. Unsur-unsur Drama

Unsur-unsur dalam drama terdapat dua jenis yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Pembahasan unsur drama ini lebih menekankan pada unsur intrinsik, sedangkan unsur ekstrinsik lebih pada pengkajian strukturalisme genetik yang telah dipaparkan sebelumnya. Secara garis besar struktur naskah drama ada enam bagian penting yaitu plot atau kerangka cerita, penokohan atau perwatakan, dialog atau percakapan, setting atau landasan, tema atau nada dasar cerita, dan amanat atau pesan pengarang (Herman J. Waluyo, 2002: 6-28). Lebih lanjut lagi akan dipaparkan satu persatu struktur tersebut.

1) Plot

Plot sering juga disebut alur. Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan (Herman J. Waluyo, 2002: 8). Atar Semi juga berpendapat bahwa alur dalam sebuah pertunjukan (drama) sama dengan alur novel atau cerita pendek, yaitu rentetan peristiwa dari awal sampai akhir (1993 : 161). Boulton juga mengatakan bahwa plot juga berarti seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan mengetahui kejadian yang akan datang (Herman J. Waluyo, 2002: 145).

commit to user

kekhususan itu ditimbulkan oleh karakteristik drama itu sendiri, yaitu: (1) alur drama mestilah merupakan alur yang dapat dilakukan oleh manusia biasa di muka publik penonton, (2) alur drama mesti jelas, bila tidak, akan sukar sekali diikuti penonton, (3) alur drama mestilah sederhana dan singkat, dalam arti ia tidak boleh berputar-putar ke mana-mana, tetapi terpusat pada suatu peristiwa tertentu (Atar Semi, 1993 :161-162).

Atar Semi juga mengatakan secara garis besar, alur drama yaitu: (1) klasifikasi atau introduksi, yakni pengenalan terhadap tokoh-tokoh dan permulaan konflik; (2) konflik, yakni munculnya suatu problem; (3) komplikasi, yakni munculnya persoalan-persoalan baru yang membuat permasalahan menjadi semakin rumit; (4) penyelesaian (denoument), yakni persoalan atau permasalahan sudah mulai ada pemecahan atau penyelesaiannya. Senada dengan Atar Semi, Gustaf Freytag memberikan unsur-unsur plot lebih lengkap meliputi hal-hal berikut ini: (1) exposition atau pelukisan awal, yakni pengenalan tokoh; (2) komplikasi atau pertikaian awal; (3) klimaks atau titik puncak cerita; (4) resolusi atau penyelesaian atau falling action; (5) catastrophe atau denoument atau keputusan (Herman J. Waluyo, 2002 : 8). Lebih sederhana dari dua pendapat di atas, Henry Guntur Tarigan berpendapat bahwa alur dalam drama terdiri dari eksposisi (permulaan), komplikasi (pertengahan), dan resolusi atau denoument (akhir atau ending).

Berangkat dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot dalam drama terdiri dari: (1) klasifikasi atau eksposisi; (2) konflik atau pertikaian awal; (3) komplikasi; (4) klimaks atau titik puncak cerita; dan (5) penyelesaian atau denoument. Namun, secara urutan tidak menutup kemungkinan untuk berubah yang akan berimbas pada jenis pengaluran.

2) Penokohan

Penokohan dan perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama yaitu tokoh atau suatu peran. Henry Guntur Tarigan mengatakan bahwa sang dramawan haruslah dapat memotret para pelakunya dengan tepat dan jelas untuk menghidupkan impresi

commit to user

samping, jenis dan warna dialog akan menggambarkan watak tokoh itu (Herman J. Waluyo, 2002 : 14). Mengkaji sebuah cerita tentu tidak terlepas dari tokoh, karena tokoh merupakan unsur yang penting dalam sebuah cerita. Tokoh cerita menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Burhan Nurgiyantoro, 2002:165).

Berdasar kutipan tersebut dapat diketahui antara seorang tokoh dan kualitas pribadinya memiliki kaitan yang erat dalam penerimaan pembaca. Berawal dari perbedaan-perbedaan karakter dan kepentingan tokoh inilah, selanjutnya menjadi penyebab konflik dalam sebuah cerita. Menurut Jones, Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Burhan Nurgiyantoro, 1998:165).

Pengenalan tokoh dalam suatu cerita, menurut Jakob Sumardjo dan Saini K. M. (1994:65), ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk memahami karakter tokoh-tokoh dalam cerita, yaitu : (1) melalui apa yang diperbuatnya; (2) melalui ucapan-ucapannya; (3) melalui gambaran fisik tokoh; (4) melalui pikiran- pikirannya; (5) melalui penerangan langsung dari pengarang.

Penokohan yang baik adalah yang dapat menggambarkan tokoh-tokoh dan mengembangkan watak dari tokoh-tokoh tersebut yang mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat. Perkembangannya haruslah wajar dan dapat diterima berdasarkan hubungan kausalitas. Penggambaran perwatakan dari tokoh-tokoh cerita disebut sebagai penokohan.

Ada beberapa jenis tokoh yang terdapat dalam drama. Henry Guntur Tarigan mengatakan ada empat jenis tokoh dalam drama yaitu the foil atau tokoh pembantu; the type character atau tokoh serba bisa; the static character atau tokoh statis; dan the character who developes in the course of the play atau tokoh berkembang (1993:77). Lebih lengkap lagi Herman J. Waluyo membagi beberapa jenis tokoh dengan kriteria tertentu. Pertama, berdasarkan perannya terhadap jalan cerita, ada beberapa jenis tokoh yaitu tokoh protagonis (tokoh pendukung cerita),

commit to user

Pembagian yang kedua berdasarkan perannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat jenis tokoh sebagai berikut: (1) tokoh sentral yakni tokoh yang paling menentukan gerak lakon; (2) tokoh utama yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral, dapat juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral, dapat juga disebut tokoh tritagonis; (3) tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap tau tambahan dalam mata rantai cerita (2002:14).

Perwatakan adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa seorang tokoh dalam lakon drama (Asul Wiyanto, 2004: 27). Watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak dimensional), dan penggambaran itu berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial (fisiologis, psikologis, dan sosiologis) (Herman J. Waluyo, 2002 : 17). Yang termasuk dalam keadaan fisik tokoh adalah: umur, jenis kelamin, ciri- ciri tubuh, cacat jasmaniah, ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan, tinggi/pendek, kurus/gemuk, suka senyum/cemberut, dan sebagainya. Keadaan psikis meliputi watak, kegemaran, mentalitas, standar moral, tempramen, ambisi, kompleks psikologi yang dialami, keadaan emosinya dan sebagainya. Keadaan sosiologis meliputi jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, ideologi, dan sebagainya.

3) Setting

Setting sering juga disebut latar cerita. Asul Wiyanto berpendapat bahwa setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu adegan (2004: 28). Hampir senada dengan Asul Wiyanto, Herman J. Waluyo berpendapat bahwa setting biasanya meliputi tiga dimensi, yaitu : tempat, ruang, dan waktu (2002 : 23). W.H. Hudson menyatakan bahwa setting adalah kesekuruhan lingkungan cerita yang meliputi adapt istiadat, kebiasaan, dan pandangan hidup (Herman J. Waluyo, 2002 : 198). Adapun mengenai fungsi setting, Montaque dan Henshaw menyatakan tiga fungsi setting, yakni mempertegas watak pelaku; memberikan tekanan pada tema cerita; dan memperjelas tema yang disampaikan. Mengkaji sebuah karya fiksi, latar pada hakikatnya memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 216 ) mengatakan bahwa latar merupakan tumpuan yang mengarah pada pengertian tempat, hubungan

commit to user

diceritakan. Pendapat di atas sejalan dengan Burhan Nurgiyantoro (2002: 227), unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu (1) latar tempat, yaitu mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat disebut pula sebagai latar fisik (physical setting); (2) latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (3) latar sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, tradisi, cara berpikir dan bersikap, pandangan hidup, keyakinan, dan status sosial.

Penggambaran setting seringkali juga berkaitan dengan alam pikiran penulis (Herman J. Waluyo, 2002: 200). Jadi imajinasi penulis atau pengarang karya sastra sangat menentukan bagaimana atau apa yang akan menjadi latar atu setting dari imajinasi yang dihasilkannya. Dalam drama khususnya pengimajinasian setting yang mungkin dalam arti dapat diwujudkan dalam pentas haruslah diperhatikan oleh penulis naskah drama. Penggambaran setting paling tidak menggambarkan dua dimensi yaitu tempat ruang dan waktu.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa latar adalah suatu keadaan atau suasana yang memberi gambaran peristiwa dalam cerita, termasuk di dalamnya waktu, ruang atau tempat, dan suasana. Unsur-unsur dalam latar, seperti waktu, ruang dan suasana, saling mendukung dalam membentuk satu kondisi yang mendukung cerita secara keseluruhan.

4) Tema

Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema berhubungan dengan premis dari drama tersebut yang berhubungan pula dengan nada dasar dari sebuah drama dan sudut pandangan yang dikemukakan oleh pengarangnya (Herman J. Waluyo, 2002: 24). Mengenai premis, beliau juga

commit to user

menentukan arah tujuan lakon yang merupakan landasan bagi pola konstruksi lakon. Pada buku yang lain Herman J. Waluyo juga mengatakan bahwa tema adalah masalah hakiki manusia (2002: 142). Tema berhubungan dengan faktor yang ada dalam diri pengarang, sehingga aliran dan filsafat yang dimiliki pengarang akan mendasari pemikiran pengarang dalam membuat suatu naskah drama.

Asul Wiyanto berpendapat bahwa tema adalah pikiran pokok yang mendasari lakon drama (2004: 23). Dibandingkan dengan pendapat Herman J. Waluyo yang menggunakan premis untuk mewakili sebuah nada dasar cerita sedangkan Asul Wiyanto lebih memilih menggunakan pikiran pokok. Namun, pada dasarnya mereka menuju pada suatu definisi yang sama yaitu suatu garis besar cerita yang menjiwai setiap unsur yang ada dalam karya sastra. Lebih lanjut lagi Asul Wiyanto mengemukakan bahwa tema ini biasanya lebih dikhususkan lagi menjadi topik. Topik sendiri berbeda dengan tema, topik adalah sesuatu yang lebih khusus daripada tema (Asul Wiyanto, 2004: 23).

Beragam aliran yang biasanya mendasari pengarang dalam membuat naskah drama, seperti aliran klasik (dialog panjang dan sajak berirama), aliran romantik (isi drama cenderung fantastis dan seringkali tidak logis), aliran realisme (cenderung melukiskan apa adanya), aliran ekspresionisme, dan aliran eksistensialisme. Seorang pengarang yang baik adalah ynag mampu menemukan tema hakiki manusia. Kejelian seorang pengarang dalam menangkap apa-apa yang ada atau sedang bermasalah dalam masyarakat akan terlihat dalam karyanya.

5) Dialog

Kekhasan dari genre sastra ini adalah media dialog atau percakapan yang digunakan dalam penyampaiannya. Ciri khas suau drama adalah naskah itu berbentuk cakapan atau dialog (Herman J. Waluyo, 2002: 20). Lebih lanjut lagi Herman J. Waluyo juga berpendapat bahwa ragam bahasa dalam dialog tokoh- tokoh drama adalah bahasa yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis (2002: 20). Senada dengan Herman J. Waluyo, Atar Semi juga berpendapat bahwa

commit to user

kenyataan sehari-hari (1993: 164). Atar Semi juga mengemukakan beberapa fungsi dialog yaitu: merupakan wadah penyampaian informasi kepada penonton; menjelaskan ide-ide pokok, menjelaskan watak dan perasaan pemain, dialog memberi tuntunan alur kepada penonton, dialog menggambarkan tema dan gagasan pengarang, dialog mengatur suasana dan tempo permainan. Penjelasan di atas, menjelaskan bahwa kedudukan dialog dalam drama sangat penting mengingat segala sesuatu yang terjadi dalam drama didominasi oleh dialog. Seorang pengarang drama yang sudah berpengalaman akan mampu memadukan unsur estetis dan unsur komunikatif itu, selain itu naskah drama juga harus dibayangkan irama dan dialog juga harus hidup, artinya mewakili tokoh yang dibawakan (Herman J. Waluyo, 2002: 22).

Pendapat di atas menjelaskan bahwa kedudukan sebuah naskah sangat penting dalam genre sastra ini. Baik buruk sebuah naskah akan sangat berpengaruh terhadap hasil sebuah pentas dari naskah tersebut. Kualitas dari penulisan naskah akan sangat terlihat dengan melihat bagaimana dan apa-apa yang terkandung di dalamnya, apakah sudah mencakup keseluruhan unsur yang harus dimiliki sebuah naskah atau belum.

3. Hakikat Sosiologi Sastra

a. Pengertian Sastra

Rene Wellek dan Austin Warren memberikan pengertian sastra sebagai berikut: “Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-

teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif kehidupan manusia.” (Rene Wellek dan Austin Warren, 1993: 109)

Jakob Sumardjo (1982: 12) berpendapat bahwa sastra merupakan produk masyarakat yang berada di tengah-tengah masyarakat karena dibentuk oleh

commit to user

rasional masyarakat. Bertalian dengan istilah sastra, Atar Semi (1988: 8) menjelaskan sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Jakob Sumardjo dan Saini K. M. (1994: 3) menjelaskan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Sastra yang baik, kata Kayam bukanlah tiruan langsung kehidupan. Novel seperti sering diucapkan para ahli sastra, tidaklah memberikan rumus- rumus berharga bagi intelek, tetapi lebih menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial dan psikoogis mendorong kemampuan pikiran untuk merenung, bermimpi, membawa pikiran ke semua macam situasi dan dibentuk oleh pengalaman-pengalaman imajinatif. Novel membantu kita membentuk sikap yang umum terhadap kehidupan. Melalui karya sastra yang menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial dan psikologis itu orang dapat lebih cepat mencapai kemantapan bersikap, yang terjelma dalam perilaku dan pertimbangan pikiran yang dewasa. Dengan memasuki “segala macam situasi” dalam karya sastra, orang pun akan dapat menempatkan diri pada kehidupan yang lebih luas daripada

situasi

dirinya

yang nyata. (http://www.geocities.com/paris/perc/2713/esai 4.html)

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sastra adalah merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia atau kemanusiaan.

b. Pengertian Sosiologi

Soerjono Soekanto (1990: 4) merumuskan “secara etimologis sosiologi berasal dari bahasa Latin socius yang berarti kawan dan logos dari kata Yunani yang berarti ilmu”. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan:

Secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang di sekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, sosiologi terutama menelaah gejala-gejala di masyarakat seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan

commit to user

mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala abnormal atau gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial. (Soerjono Soekanto, 1993: 395)

Dalam sosiologi novel, ilmu sosiologi berhubungan dengan suatu seni. Adalah benar, fiksi naratif termasuk dalam bahasa dan membentuk karakternya sendiri paling banyak dari bahasa itu; bentuk dan isi novel mengambil lebih dekat fenomena sosial dibanding bentuk kesenian lain kecuali, film mungkin; novel seringkali terlihat punya hubungan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah manusia (Sapardi Djoko Damono 1979: 71).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat serta gejala-gejala sosial yang terdapat di dalam masyarakat.

c. Pengertian Sosiologi Sastra

Secara etimologis, sosiologi berasal dari kata Latin socius yang berarti “kawan” dan logos dari kata Yunani yang berarti “kata” atau “berbicara”. Dan sosiologi berarti, “berbicara mengenai masyarakat” (Soerjono Soekanto, 1984: 4). Selanjutnya Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1974: 29) menyatakan sebagai berikut.

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah- kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok- kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadinya perubahan-perubahan di dalam struktur sosial.

Jadi, sosiologi dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya dan hubungan-hubungan antara orang-orang dalam masyarakat tadi. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dan masyarakat, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya

commit to user

(pengarang) untuk dinikmati dan dimanfaatkan juga oleh masyarakat. Dalam hal ini, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama.

Perbedaan antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Akibatnya hasil penelitian bidang sosiologi cenderung sama, sedangkan penelitian terhadap sastra cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan orang-seorang (Sapardi Djoko Damono, 1979: 7). Rahmat Djoko Pradopo (1989:

47) mengatakan bahwa, “Pendekatan sosiologi sastra selalu mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Maka dalam memahami permasalahan di dalam karya sastra secara sosiologi sastra mau tidak mau akan berhubungan dengan permasalahan yang nyata di dalam struktur masyarakat”.

Swingewood mendeskripsikan berbeda mengenai masalah sosiologi sastra tersebut. Ia mengklasifikasikannya sebagai berikut.

a. Sosiologi dan sastra yang membicarakan tentang tiga pendekatan. Pertama, melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencerminkan waktu zaman. Kedua, melihat segi penghasil karya sastra terutama kedudukan sosial pengarang. Ketiga, melihat tanggapan atau penerimaan masyarakat terhadap karya sastra.

b. Teori-teori sosial tentang sastra. Hal ini berhubungan dengan latar belakang sosial yang menimbulkan atau melahirkan suatu karya sastra.

c. Sastra dan strukturalisme. Hal ini berhubungan dengan teori strukturalisme.

d. Persoalan metode yang membicarakan metode positif dan metode dialektik. Metode positif tidak mengadakan penelitian terhadap karya sastra yang digunakan sebagai data. Dalam hal ini karya sastra yang dianggap sebagai dokumen yang mencatat unsur sosio budaya, sedangkan metode dialektik hanya menggunakan karya yang bernilai sastra. Yang berhubungan dengan sosio budaya bukan setiap unsurnya, tetapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan (dalam Umar Yunus, 1986: 1-2).

Dari sekian banyak telaah sosiologi terhadap sastra, dapat disimpulkan oleh Sapardi Djoko Damono menjadi dua kecenderungan utama, yakni:

commit to user

merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra itu sendiri. Jelas bahwa dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap utama, ia hanya merupakan epiphenomenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.

Lebih jauh lagi, Sapardi Djoko Damono (1979: 19) menyatakan bahwa : Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi

kemasyarakatan oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda dengan pengertian sosiosastra, pendekatan sosiologi, atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra. Pendekatan sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan, masing- masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoretis tertentu, tetapi semua pendekatan itu menunjukkan suatu ciri kesamaan, yaitu mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial, yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Gambaran yang jelas tentang hubungan timbal balik antara ketiga anasir itu sangat penting artinya bagi peningkatan pemahaman dan penghargaan manusia terhadap sastra itu sendiri.

4. Hakikat Nilai Pendidikan

a. Pengertian Pendidikan

Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa; “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Sejalan dengan rumusan pendidikan di atas dijelaskan bahwa pendidikan pada hakikatnya suatu kegiatan yang secara sadar dan sengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak sehingga

commit to user

dicita-citakan dan berlangsung terus-menerus (Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 1991:70).

Soedomo Hadi (2003:18) mengatakan bahwa pendidikan adalah bantuan atau tuntunan yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak didik dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan yang dilakukan. Pendidikan mencakup pengalaman, pengertian, dan penyesuaian diri dari pihak terdidik terhadap rangsangan yang diberikan kepadanya menuju arah pertumbuhan dan perkembangan.

Berdasar dari beberapa pendapat tentang pendidikan yang telah disampaikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah usaha sadar, terencana, terus-menerus, serta penuh tanggung jawab yang merupakan proses pengubahan sikap dan tingkah laku agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya dalam usaha pendewasaan melalui upaya pengajaran dan latihan.

b. Nilai Pendidikan dalam Drama

Realitas dalam karya sastra yang baik sebagai hasil imajinasi dan kreativitas pengarang terkadang dapat memberikan pengalaman total kepada pembaca. Dengan kreativitas dan kepekaan rasa, seorang dramawan bukan saja mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita, melainkan juga mampu memberikan pandangan yang berhubungan dengan renungan tentang agama, filsafat, serta beraneka ragam pengalaman tentang problema hidup dan kehidupan. Bermacam-macam wawasan itu disampaikan dramawan lewat rangkaian kejadian, tingkah laku dan perwatakan para tokoh, ataupun komentar yang diberikan dramawan tersebut. Dengan adanya bermacam-macam wawasan yang dikandung dalam karya sastra, pada dasarnya suatu karya sastra yang bermutu atau berbobot akan selalu mengandung bermacam nilai didik tentang kehidupan yang bermanfaat bagi pembaca atau penikmat karya sastra.

Nilai-nilai pendidikan sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Setiap karya sastra yang baik (termasuk drama) selalu mengungkapkan nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi penikmatnya. Nilai pendidikan yang dimaksud dapat

commit to user

ini sesuai dengan pernyataan Herman J. Waluyo (1990: 27) bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama.

Makna nilai dalam sastra menurut Herman J. Waluyo, (1997: 28) adalah “kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan seseorang”. Hal ini berarti bahwa dengan adanya berbagai wawasan yang dikandung dalam karya sastra, pada dasarnya menunjukkan bahwa suatu karya sastra tersebut akan selalu mengandung bermacam-macam nilai kehidupan yang akan sangat bermanfaat bagi penikmatnya.

Nilai yang terdapat dalam karya sastra sangat bergantung pada persepsi dan pengertian yang diperoleh penikmat atau pembacanya. Mereka perlu menyadari bahwa tidak semua karya sastra dengan mudah dapat diambil nilai pendidikannya. Nilai yang terdapat dalam karya sastra dapat diperoleh dengan mudah jika karya yang dibaca atau dinikmatinya tersebut mampu menyentuh jiwa penikmatnya.

Kehadiran karya sastra sebagai hasil cipta sastrawan tidak saja lahir dari fenomena-fenomena kehidupan nyata, tetapi datang dari kesadaran bahwa karya sastra sebagai sesuatu yang imajinatif dan fiktif. Di samping itu juga adanya pengembangan ekspresi sehingga tercipta karya sastra. Seorang sastrawan dalam menciptakan keindahan juga berkeinginan untuk menyampaikan pikiran, pendapat, dan saran terhadap sesuatu. Apa yang hendak disampaikan sastrawan tersebut merupakan nilai-nilai pendidikan.

Berdasar pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) atau merupakan sesuatu yang positif yang berguna dalam kehidupan manusia dan pantas untuk dimiliki tiap manusia. Dalam pengertian ini nilai adalah sesuatu yang berhubungan dengan etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), estetika (indah dan jelek).

commit to user

(dalam hal ini drama). Nilai pendidikan itu di antaranya adalah yang berhubungan dengan moral, agama, budaya, dan sosial.

1. Nilai Pendidikan Moral

Penikmat sastra sering menjumpai karya sastra yang menyampaikan cerita-cerita dan kisah-kisah yang penuh dengan nilai didik. Karya sastra demikian itu sungguh potensial untuk digunakan sebagai sarana mengajarkan budi pekerti yang luhur dan teladan-teladan terpuji. Moral merupakan laku perbuatan manusia dipandang dari nilai-nilai baik dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebiasaan di mana individu berada (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 319). Pendidikan moral memungkinkan manusia memilih secara bijaksana yang benar dan yang salah atau tidak benar. Pesan-pesan moral dapat disampaikan pengarang secara langsung dan bisa pula tidak secara langsung. Makin besar kesadaran manusia tentang baik dan buruk itu, maka makin besar moralitasnya. Pendidikan besar sekali pengaruhnya atas perkembangan moralitas. Seseorang yang makin terang pengetahuannya tentang sesuatu yang baik dan yang tidak baik, akan mudah mengadakan pilihan.

Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra juga bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika dan budi pekerti. Nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat-istiadat seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata krama yang menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila.

2. Nilai Pendidikan Agama

Agama adalah hal yang mutlak dalam kehidupan manusia sehingga dari pendidikan ini diharapkan dapat terbentuk manusia religius. Mangunwijaya (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 327) menyatakan:

“Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan hukum-hukum resmi, religius, di pihak lain melihat aspek yang di lubuk hati, riak getar nurani, totalitas ke dalam pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi”

commit to user

menyangkut moral, etika, dan kewajiban. Hal ini menunjukkan adanya sifat edukatif (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 317). Dasar dari pendidikan agama adalah hakikat makhluk yang beragama. Tujuan pendidikan keagamaan adalah membentuk manusia yang beragama atau pribadi yang religius. Di samping itu, sesuai Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia, pendidikan keagamaan merupakan segi utama yang mendasari semua segi pendidikan lainnya. Norma-norma pendidikan kesusilaan maupun pendidikan kemsyarakatan atau sosial, sebagian besar bersumber dari agama.

3. Nilai Pendidikan Adat / Budaya

Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam suatu cerita dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.

Cerita (dalam hal ini drama) sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat memberikan gambaran yang jelas tentang sistem nilai atau sistem budaya masyarakat pada suatu tempat dalam suatu masa. Nilai-nilai itu mengungkapkan perbuatan yang dipuji atau dicela, pandangan hidup manusia yang dianut atau yang dijauhi, dan hal-hal apa yang dijunjung tinggi.

Lebih jauh Koentjaraningrat (1985: 10-11) mengatakan bahwa : “Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap, wujud itu

disebut adat tata kelakuan. Suatu contoh dari adat yang memiliki nilai sosial budaya yang tinggi adalah gotong-royong. Konsepsi bahwa hal itu bernilai tinggi ialah bila manusia itu suka berkerja sama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang benar”.

commit to user

Kata “sosial” berasal dari bahasa Latin socio yang berarti “menjadikan teman”, kata socio juga berarti suatu petunjuk umum ke arah kehidupan bersama manusia dalam masyarakat. (Prent, Suparlan, dkk dalam Tirto Suwondo, 1994: 128). Sosial dapat juga diartikan sebagai hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat atau kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial.

Pendapat lain dikemukakan oleh Arifin L. Bertrand (dalam Munandar Soelaeman, 1998: 9) bahwa nilai sosial adalah suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan, atau orang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial karena tidak dapat lepas dalam hubungannya dengan manusia lain. Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan kelompok dalam ikatan kekeluargaan antara individu satu dengan lainnya. Bertolak dari beberapa pengertian nilai sosial di atas dapat disimpulkan bahwa nilai sosial adalah suatu aspek-aspek budaya yang disertai kesadaran emosi terhadap objek untuk memperoleh makna atau penghargaan.

Karya sastra juga mengungkapkan nilai pendidikan sosial. Dengan membaca banyak karya sastra, diharapkan perasaan pembaca lebih peka terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan, lebih dalam penghayatan sosialitasnya, sehingga lebih mencintai keadilan dan kebenaran. Suatu naskah drama akan dapat lebih dirasakan jika sudah dipentaskan, walaupun hanya dengan membacanya saja kita juga sudah dapat mengetahui nilai sosial yang dimaksud dari drama tersebut.

B. Penelitian yang Relevan

Ada dua penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian dari Indri Wulandari Sukoco dengan judul “Kajian Sosiologi Sastra Novel Supernova

1 dan Supernova 2.1 karya Dewi ‘Dee’ Lestari”, dan penelitian dari Titik Sudiatmi dengan judul “Ideologi Pendidikan dalam Novel Jalan Menikung karya Umar Kayam (Sebuah Telaah dengan Pendekatan Sosiologi Sastra)”. Berikut akan

commit to user

penelitian ini.

1) Penelitian dari Indri Wulandari Sukoco dengan judul “Kajian Sosiologi Sastra Novel Supernova 1 dan Supernova 2.1 karya Dewi ‘Dee’ Lestari”, menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Hasil penelitian adalah problem sosial budaya masyarakat. Masyarakat yang ditampilkan dalam novel Supernova adalah masyarakat modern di kota Jakarta. Novel Supernova 1 menampilkan potret kehidupan kaum homo seksual. Kaum gay yang ditampilkan adalah mereka yang berasal dari golongan terpelajar, kaum intelektual yang bersekolah di universitas terkenal di luar negeri, dan golongan masyarakat yang memiliki status sosial tinggi. Novel Supernova 1 juga menampilkan kehidupan masyarakat modern di kota Jakarta dengan pelbagai sifat khas yang dimiliki.

Novel Supernova 2.1 menghadirkan kehidupan punk lengkap dengan ciri khas yang dimiliki, yaitu cara berpakaian, cara hidup, dan kebiasaan mereka. Komunitas punk hidup berkelompok dalam punk scane, bergaya pakaian khas, penganut asas kebebasan, anti kemapanan. Meskipun tidak semuanya, tetapi mereka identik dengan rokok, minuman alkohol, judi, narkoba dan seks bebas. Anggota komunitas punk hidup mandiri dengan mengamen, menindik, membuat fanzine , dan terkadang menjadi bandar ganja. Novel Supernova 2.1 juga menghadirkan punkers yang beraliran straightedge, yaitu suatu aliran dalam punk yang tidak melakukan kebiasaan buruk para punkers pada umumnya dan tetap berpegang teguh pada ajaran spiritual yang diyakininya.

Kritik sosial budaya yang ditampilkan dalam novel Supernova menyangkut problem masyarakat modern yang sangat kompleks. Problem tersebut di antaranya : masalah narkoba, pelacuran yang telah menguasai berbagai bidang kehidupan, penyelewengan seksualitas, problem rumah tangga yang sudah sangat parah, eksploitasi anak yang dilakukan oleh orang tuanya, kesulitan ekonomi, dan kerusuhan sosial yang terjadi pada masyarakat modern karena kejenuhan terhadap penderitaan yang mereka alami dan keinginan untuk menaikkan status sosialnya.

commit to user

“Ideologi Pendidikan dalam Novel Jalan Menikung karya Umar Kayam (Sebuah Telaah dengan Pendekatan Sosiologi Sastra)” yang menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, dalam novel Jalan Menikung karya Umar Kayam terdapat sejumlah ideologi pendidikan yang dapat digunakan sebagai sarana pendidikan itu sendiri. Ideologi-ideologi pendidikan yang ada adalah: (1) ideologi pendidikan politik/kekuasaan, (2) ideologi pendidikan agama/religius, dan (3) ideologi pendidikan kebudayaan.

Kedua, novel Jalan Menikung ini dapat dipergunakan sebagai bahan pembelajaran sastra di tingkat mahasiswa. Model pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran apresiasi sastra. Dalam kegiatan apresiasi terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan setelah itu penerapannya.

Dalam penelitian tersebut, juga ditemukan nilai-nilai yang terdapat dalam novel Jalan Menikung yang dikaitkan juga dengan sosiologi sastra yaitu nilai pendidikan politik, nilai pendidikan agama, dan nilai pendidikan kebudayaan. Hal ini relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang juga melakukan penelitian tentang nilai pendidikan dan sosiologi sastra, hanya berbeda media yang diteliti, yaitu antara naskah drama dengan novel.

C. Kerangka Berpikir

Karya sastra dalam hal ini naskah drama dalam proses penciptaannya menuju suatu karya yang agung, tak lepas dari unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra. Unsur-unsur ekstrinsik meliputi: latar belakang pengarang dan latar belakang sosial budaya yang menginspirasi pengarangnya dalam memproses suatu karya sastra. Namun, sesuai dengan pendekatan yang diambil oleh peneliti yaitu strukturalisme genetik, meyakini bahwa terdapat hubungan antara unsur intrinsik dengan ekstrinsik suatu karya. Hubungan tersebut tidak secara langsung terjadi tetapi termediasi oleh pengarang, dan lebih jauh lagi pandangan dunia pengarang.

commit to user

atau kolektif. Pandangan dunia pengarang merupakan poin penting dalam pengkajian dengan pendekatan strukturalisme genetik. Hal inilah yang membedakan kajian dengan pendekatan strukturalisme genetik dengan pendekatan yang lain.

Hubungannya dengan tinjauan sosiologis dalam penelitian naskah drama Barabah ini adalah akan dijelaskan tentang pandangan dunia pengarang, latar sosial budaya karya sastra, serta penokohan dan hubungan antar tokoh dalam drama. Dari setiap kejadian atau peristiwa yang terjadi sehari-hari, dapat ditemukan nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai kehidupan tersebut juga ditemukan melalui karakter-karakter tokoh atau penjelasan langsung dari pengarang.

Untuk mempermudah pemahaman kerangka berpikir dari penelitian ini, akan digambarkan bagan kerangka berpikir.

Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir

Struktur Naskah

Nilai Pendidikan

Kesimpulan

Prosa Drama

Puisi

Pandangan Dunia Pengarang

Karya sastra

Naskah Drama Barabah

Sosiologi Sastra

commit to user

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Peneliltian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan objek kajiannya adalah karya sastra berupa naskah drama. Objek penelitian ini adalah naskah drama Barabah karya Motinggo Busye. Penelitian ini tidak terikat oleh tempat dan waktu yang khusus. Penelitian ini dapat dilakukan kapan saja tanpa harus terpancang pada satu tempat dan waktu tertentu.

Penelitian ini dilakukan selama sembilan bulan, yakni awal September 2010 sampai Mei 2011. Adapun bagan distribusi waktu sebagai berikut:

Tabel : Distribusi Waktu Penelitian

A. Pengajuan judul

XX

B. Pengajuan proposal

XX

C. Pengumpulan data

XX XX

D. Analisis data

XX

E. Penulisan laporan

XX XX XX XX XX

B. Metode dan Pendekatan

Metode merupakan cara untuk mencapai tujuan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi. Analisis isi adalah strategi untuk menangkap pesan karya sastra (Suwardi Endraswara, 2003: 161). Metode analisis isi adalah suatu metode yang bertujuan untuk mengkaji apa yang terkandung dalam karya sastra baik secara isi maupun bentuknya. Bentuk dan strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk deskriptif, yakni: mendeskripsikan, menggambarkan, atau melukiskan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, dan hubungan kausal fenomena yang diselidiki.

45

Waktu

commit to user

wilayah pendekatan ini berhubungan dengan aspek-aspek yang akan diungkap dalam penelitian. Pendekatan sering disebut juga model penelitian (Suwardi Endraswara, 2003: 8). Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme genetik. Prinsip dasar model ini adalah adanya pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikannya ke dalam totalitas.

C. Data dan Sumber Data

Data adalah semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam (dalam arti luas) yang harus dicari atau dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti (Edi Subroto, 1992: 34). Dalam hal ini peneliti mencari data-data pada beberapa sumber data yang sudah ditentukan untuk digunakan sebagai sumber acuan penelitian. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen berupa naskah drama Barabah karya Motinggo Busye, buku novel yang memuat prosa Perempuan itu Bernama Barabah dan biografi pengarang, jurnal penelitian internasional yang relevan dengan penelitian, buku-buku teori tentang sosiologi sastra, strukturalisme genetik, teori drama dan sastra pada umumnya, pendapat dari informan sebagai sastrawan yang digunakan untuk perbandingan, dan data yang diunduh dari internet untuk mendukung penelitian.

D. Teknik Sampling

Cara pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yang bertalian dengan purpose atau tujuan tertentu. Menurut

H. B. Sutopo (2002: 56) teknik sampling purposive sampling merupakan pengambilan cuplikan atau sampel didasarkan atas pertimbangan tertentu dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data-data baik dari dokumen tertulis maupun dari situs internet yang memuat informasi tentang penelitian yang bersangkutan.

commit to user

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah analysis document (analisis dokumen). Secara sederhana, langkah penelitian strukturalisme genetik ini meliputi:

1. Menggandakan naskah drama Barabah yang digunakan sebagai sumber utama penelitian, kemudian membandingkan dengan prosa Perempuan itu Bernama Barabah yang merupakan tindak lanjut dari karya sastra drama Barabah.

2. Mencari buku-buku teori tentang sosiologi sastra, strukturalisme genetik, drama sebagai karya sastra, jurnal penelitian internasional yang sesuai dengan penelitian kemudian menentukan teori dari buku dan dokumen tersebut yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian.

3. Mewawancarai sastrawan yang merupakan kritikus sastra untuk meminta pendapat tentang naskah drama Barabah sebagai bahan perbandingan untuk menghindari subjektifitas penelitian.

4. Mengkaji struktur naskah drama Barabah untuk menentukan unsur intrinsik naskah drama.

5. Mengkaji nilai pendidikan pada naskah drama Barabah berupa pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada masyarakat.

6. Mengkaji struktur sosial masyarakat pengarang untuk mengetahui sosiologi sastra pada naskah drama Barabah.

7. Menentukan homologi untuk mendapatkan kesimpulan dari teori, data dan hasil kajian yang telah dilakukan.

F. Teknik Uji Validitas Data

Keabsahan data dapat dijamin dengan teknik trianggulasi. Menurut Lexy J. Moleong, triangulasi merupakan suatu teknik pemeriksaan keabsahan data yang berfungsi sebagai pembanding atau pengecek terhadap data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data (1995: 178)

Penelitian ini digunakan triangulasi metode dan triangulasi teori. Triangulasi metode dilakukan dengan penggunaan metode yang berbeda untuk diterapkan pada objek yang sama. Contoh dari penelitian yang menggunakan

commit to user

diteliti dengan menggunakan cara yang berbeda, misalnya dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra, psikologi sastra, strukturalisme genetik dan pendekatan historis. Triangulasi teori digunakan untuk pengecekan data dengan teori lain yang relevan. Dalam hal ini uji validitas data yang dilakukan yaitu dengan membandingkan penelitian tentang drama yang menggunakan teori berbeda yaitu pendekatan psikologi sastra, strukturalisme genetik dan pendekatan historis untuk mendapatkan perbandingan teori tentang penelitian drama.

Triangulasi metode dan teori ini diterapkan peneliti dalam penelitian naskah drama Barabah yaitu dengan cara membandingkan metode dan teori yang digunakan penelitian drama lain yang menggunakan pendekatan berbeda. Berdasar dari perbandingan inilah dilakukan pengecekan untuk mencari validitas sumber data yang digunakan dalam penelitian naskah drama Barabah.

G. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang diambil dari penelitian ini adalah analisis mengalir atau flow model of analysis, yang terdiri dari empat komponen, yaitu:

1. Pengumpulan Data Merupakan proses awal penelitian dengan mengumpulkan data seakurat dan sedetail mungkin.

2. Reduksi Data Merupakan proses penyelesaian, penyederhanaan, dan abstraksi data yang ada dalam catatan yang didapat dari sumber data penelitian.

3. Sajian Data Melalui suatu sajian data, peneliti akan mengerti apa yang akan terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis maupun tindakan berdasarkan penelitian tersebut.

4. Penarikan Simpulan Proses penarikan kesimpulan bersifat terbuka dan skeptis, jadi kesimpulan masih bersifat sementara dan tidak menutup kemungkinan akan muncul kesimpulan berikutnya secara eksplisit dan berlandasan kuat.

commit to user

dengan bagan sebagai berikut:

Pengumpulan data

Reduksi Data

Pra

Pasca

Sajian Data

Analisis

Pasca

Penarikan Kesimpulan

Pasca Gambar 2. Flow Model of Analysis (Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1995: 18)

H. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

a. Mengumpulkan data sesuai dengan cara pengumpulan data yang telah direncanakan dari sumber-sumber yang digunakan.

b. Mengelompokan data yang terkumpul yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan

c. Menuliskan data-data yang telah terkumpul dan telah dikelompokkan ke dalam laporan penelitian.

2. Analisis Data

a. Menganalisis naskah drama Barabah karya Motinggo Busye sebagai objek penelitian

b. Menganalisis informasi dari pengarang dan karya-karyanya yang relevan

c. Menuliskan kesimpulan akhir dari analisis secara keseluruhan

3. Menyusun Laporan Penelitian

a. Menulis laporan lengkap

b. Meneliti kesatuan laporan

c. Memperbanyak laporan