PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) PENDERITA TUBERKULOSIS PARU BERDASARKAN GAMBARAN RADIOLOGI FOTO POLOS DADA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) PENDERITA TUBERKULOSIS PARU BERDASARKAN GAMBARAN RADIOLOGI FOTO POLOS DADA

SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Dika Ambar Kusuma G0008010 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan peneliti juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta,

2011

Dika Ambar Kusuma NIM. G0008010

ABSTRAK

Dika Ambar Kusuma, G0008010, 2011, Perbedaan Nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Gambaran Radiologi Foto Polos Dada, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tujuan Penelitian

: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya

perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) penderita tuberkulosis paru berdasarkan gambaran radiologi foto polos dada.

Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian diambil dari poliklinik paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan poliklinik tuberkulosis BBKPM pada bulan Juli sampai Agustus 2011. Sampel penelitian adalah 96 orang. Setiap sampel diukur nilai faal parunya dengan menggunakan Vitalograph Peak Flow Meter . Analisis data dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis.

Hasil Penelitian

: Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase nilai APE

pada kelompok dengan lesi luas (far advanced lesion) lebih rendah daripada persentase nilai APE pada kelompok dengan lesi minimal (minimal lesion) dan kelompok dengan lesi sedang (moderate advanced lesion) dengan nilai p = 0.000.

Simpulan Penelitian : Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) penderita tuberkulosis paru berdasarkan gambaran radiologi foto polos dada, dimana semakin luas lesi radiologis maka akan semakin rendah nilai persentase APE pasien.

Kata kunci : Arus Puncak Ekspirasi (APE), Tuberkulosis, Radiologi Dada

Dika Ambar Kusuma, G0008010, 2011. The Difference of Peak Expiratory Flow (PEF) Values on Tuberculosis Patient Based on Plain Chest Radiography, Medical Faculty, Sebelas Maret University of Surakarta.

Objective

: The aim of this research is to know the difference of Peak

Expiratory Flow (PEF) values on tuberculosis patient based on plain chest radiography.

Method

: The type of the study is observational analytic with cross

sectional approach. The subject of the study is taken from Public District hospital at Dr. Moewardi Surakarta and BBPKPM on July until August 2011. The amount of this study sample is 96 people (consist of 32 far advanced lesion patient, 32 moderate advanced lesion patient, and 32 minimal lesion patient). Each sample is measured by Vitalograph Peak Flow Meter. The analysis of the data is by using Kruskal-Wallis test.

Result

: The result of this research shows that PEF’s percentage of patient

with far advanced lesion is lower than patient with minimal and moderate advanced lesion ( p = 0.000 ).

Conclusion : It can be concluded that there is the difference of Peak Expiratory Flow (PEF) values on tuberculosis patient based on plain chest radiography. The heavier radiological lesion is the lower PEF’s percentage of the tuberkulosis patient will be.

Keyword

: Peak Expiratory Flow’s (PEF), Tuberculosis, Plain Chest … Radiography

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, atas segala karunia yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul Perbedaan Nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Gambaran Radiologi Foto Polos Dada ini diajukan dalam rangka melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu yaitu:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp. PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes selaku ketua Tim Skripsi beserta staff.

3. Prof. Dr. Suradi, dr, Sp.P (K) MARS selaku Pembimbing Utama atas segala kesabaran, keramahan, dan pengertian serta masukan, nasihat, semangat, dan meluangkan waktu memberi bantuan dalam penulisan skripsi ini.

4. Harsini, dr., Sp.P selaku Pembimbing Pendamping atas semua saran yang berharga, bantuan, serta motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dr. Eddy Surjanto, dr., Sp.P (K) selaku Penguji Utama yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi.

6. Nur Hafidha Hikmayani, dr., MClinEpid selaku Anggota Penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi.

7. Bapak dan Ibu tercinta serta adikku tersayang Andre atas dukungan dan doa yang mengalir di setiap waktu. Kalianlah inspirasi dan semangat dalam hidupku.

8. Kepala BBKPM Surakarta beserta staff atas izin melakukan penelitian di Poliklinik Tuberkulosis BBKPM Surakarta.

9. Staff SMF Paru RSUD Dr. Moewardi atas bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Septina Hestiningrum, Femi Dwi Aldini, Annisa Hidayati, Yohana Endrasari, Septianingrum Kartika Nugraha, Dessy Candramaya Sari, teman-teman asisten mikrobiologi, dan semua teman-teman pendidikan dokter 2008 atas dukungan serta semangatnya.

11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas bantuannya, sehingga skripsi ini dapat selesai. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak

terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua.

Surakarta, Oktober 2011

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ……………………………………………………………….vi DAFTAR ISI ……………………………………………………………..vii DAFTAR TABEL …………………………………………………………x DAFTAR G AMBAR ……………………………………………………..xii DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..xiii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……………………….………1

B. Rumusan Masalah ……………………………..………3

C. Tujuan Penelitian ……………………………………...3

D. Manfaat Penelitian ……………………………………..3 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka……………………………………….5

1. Tuberkulosis …………………………………...5

2. Faal Paru ……………………………….……..18

3. Hubungan antara Luas Lesi Radiologis dengan Arus Puncak Ekspirasi (APE) Penderita Tuberkulosis ………………….……30

B. Kerangka Pemikiran …………………………………32

C. Hipotesis………………………………………………32 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian…………………………………………33

B. Lokasi Penelitian ……………………………………...33

C. Subjek Penelitian ……………………………………...33

D. Teknik Sampling ……………………………………...34

G. Definisi Operasional Variabel…………………………..36

H. Instrumentasi Penelitian………………………………...38

I. Cara Kerja ……………………………………………....39 J. Teknik Analisis Data……………………………………41 BAB IV

HASIL PENELITIAN ………………………………………42 BAB V

PEMBAHASAN …………………………………………….53 BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN …………………………………57

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………60 LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.

Distribusi Pasien Tuberkulosis Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD Dr. Moewardi dan BBKPM Surakarta ………………………………. 43

Tabel 2.

Distribusi Pasien Tuberkulosis Berdasarkan

Usia di RSUD Dr.Moewardi dan BBKPM Surakarta ……………………………………….. 43

Tabel 3.

Distribusi Pasien Tuberkulosis Berdasarkan Tinggi Badan di RSUD Dr. Moewardi dan BBKPM Surakarta…………………………….... 44

Tabel 4.

Distribusi Pasien Tuberkulosis Berdasarkan Berat Badan di RSUD Dr. Moewardi dan BBKPM Surakarta ……………………………… 45

Tabel 5.

Distribusi Pasien Tuberkulosis Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) di RSUD Dr. Moewardi dan BBKPM Surakarta ………… 46

Tabel 6.

Distribusi Pasien Tuberkulosis Berdasarkan Tingkat Pendidikan di RSUD Dr. Moewardi dan BBKPM Surakarta ………....

Tabel 7.

Distribusi Pasien Tuberkulosis Berdasarkan Pekerjaan di RSUD Dr. Moewardi dan BBKPM Surakarta ……………………………..

Derajat Obstruksi dan Luas Lesi Radiologis di RSUD Dr. Moewardi dan BBKPM Surakarta ………………………...

49

Tabel 9.

Distribusi Pasien Tuberkulosis Berdasarkan Persentase APE di RSUD Dr. Moewardi dan BBKPM Surakarta ……………………………..

50

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema Volume Paru ………………………………. 20 Gambar 2. Volume Paru dalam Keadaan Normal, Restriksi,

dan Obstruksi ……………………………………… 21

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Persetujuan Lampiran 2. Formulir Persetujuan Lampiran 3. Nilai Normal APE (L/Dtk) Wanita Indonesia Berdasarkan Tim

IPP Tahun 1992 Lampiran 4. Nilai Normal APE (L/Dtk) Pria Indonesia Berdasarkan Tim IPP

Tahun 1992

Lampiran 5. Data Nilai APE Responden

Lampiran 6. Perhitungan Statistik

Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Data di RSUD Dr. Moewardi

Lampiran 8. Surat Keterangan Selesai Penelitian di RSUD Dr. Moewardi

Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Data di BBKPM

Lampiran 10. Ethical Clearance

Lampiran 11. Foto Penelitian

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi kronik yang kebanyakan menyerang paru (Kondratieva,2008). Saat ini sekitar 2 miliar manusia atau sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis (Susanto et al., 2010). Global Tuberculosis Control Report 2010 menyebutkan bahwa prevalensi tuberkulosis tahun 2009 adalah 14 juta orang (WHO, 2010). Sampai saat ini penderita TB di Indonesia adalah terbesar ke-3 di dunia setelah China dan India (WHO, 2010). Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus (Bahar & Amin, 2007). Berdasarkan penelitian pada mencit, infeksi diawali dengan inhalasi kuman Mycobacterium tuberculosis yang kemudian memicu perkembangan imunitas seluler didapat dan multiplikasi bakteri serta kerusakan jaringan yang berubah menjadi infeksi kronik persisten (Banaiee et al., 2006).

Menurut American Thoracic Society, diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam Menurut American Thoracic Society, diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam

Salah satu pemeriksaan faal paru adalah pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi (APE). Arus Puncak Ekspirasi (APE) merupakan jumlah aliran udara maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa dalam waktu tertentu setelah inspirasi maksimum terlebih dahulu (Jain et al., 1998). Pengukuran dengan peak flow meter merupakan pemeriksaan yang sangat sederhana yang dapat mendeteksi secara dini adanya penurunan fungsi paru (PDPI, 2006). Pemeriksaan ini sangat ideal untuk pengawasan obstruksi jalan napas karena pengukuran yang mudah, biaya murah dan menggunakan alat ukur yang mudah dibawa (Jain et al., 1998).

Proses infeksi yang terjadi pada tuberkulosis meninggalkan jaringan parut pada tempat yang terjadi peradangan (Wilson, 2006). Proses ini akan membentuk daerah fibrosis di paru yang mengalami peradangan sehingga dapat mengurangi jumlah total jaringan paru fungsional (Guyton & Hall, 2008). Selain itu, terjadi reaksi radang nonspesifik yang luas karena tertariknya netrofil ke dalam parenkim paru oleh makrofag aktif sehingga

(Banaiee et al., 2006). Kerusakan jaringan paru ini bersifat permanen sehingga mengakibatkan gangguan faal paru.

Berdasarkan tinjauan di atas maka peneliti ingin menentukan perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) penderita tuberkulosis paru berdasarkan gambaran radiologi foto polos dada.

B. Perumusan Masalah

Adakah perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) penderita tuberkulosis paru berdasarkan gambaran radiologi foto polos dada?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui ada tidaknya perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) penderita tuberkulosis paru berdasarkan gambaran radiologi foto polos dada.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis Memberikan bukti-bukti ilmiah tentang ada tidaknya perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) penderita tuberkulosis paru berdasarkan gambaran radiologi foto polos dada.

2. Manfaat praktis Menambah pengetahuan tenaga medis, khususnya dokter tentang perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) penderita tuberkulosis paru berdasarkan gambaran radiologi foto polos dada, 2. Manfaat praktis Menambah pengetahuan tenaga medis, khususnya dokter tentang perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) penderita tuberkulosis paru berdasarkan gambaran radiologi foto polos dada,

LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Tuberkulosis

a. Pengertian

Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis kompleks (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

b. Penyebab

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding Mycobacterium tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60 %). Penyusun utama dinding sel Mycobacterium tuberculosis adalah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycrobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60-C90) yang dihubungkan dengan arabinolaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding yang kompleks tersebut Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding Mycobacterium tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60 %). Penyusun utama dinding sel Mycobacterium tuberculosis adalah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycrobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60-C90) yang dihubungkan dengan arabinolaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding yang kompleks tersebut

c. Cara penularan

Proses terjadinya infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis bisanya secara inhalasi sehingga tuberkulosis paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya (Bahar & Amin, 2007). Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya, makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak makin menular pasien tersebut (Bahar & Amin, 2007).

d. Patogenesis

Mycobacterium tuberculosis menyebabkan tuberkulosis dan merupakan pathogen yang potensial bagi manusia (Jawetz et al., 2005). Infeksi Mycobacterium tuberculosis dimulai ketika droplet

rentan terhadap penyakit melakukan penetrasi beberapa mycobacteria ke dalam alveoli paru (Kondratieva, 2008). Mycobacteria kemudian di absorbsi oleh makrofag alveolar di alveoli dan mulai menjadi parasit intraseluler (Kondratieva, 2008). Selama beberapa hari atau minggu, basil tumbuh secara lambat membelah diri di dalam makrofag. Jika makrofag tersebut pecah maka monosit di dalam aliran darah akan ditarik menuju tempat tersebut dan memakan basil-basil yang dikeluarkan oleh makrofag yang pecah. Pada stadium awal ini, infeksi biasanya asimtomatis (Sutomo et al., 2004).

Dua sampai empat minggu setelah infeksi, terdapat respon dari tubuh inang terhadap pertumbuhan basil-basil, yaitu respon kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan respon Cell Mediated Immunity (CMI), yang mengaktifkan makrofag yang mampu membunuh serta memakan basil tersebut. Pembentukan imunitas spesifik dan pengumpulan sejumlah besar makrofag yang diaktifkan (activated macrofag) pada tempat lesi primer akan membentuk tuberkel (Gohn focus). Imunitas spesifik ini akan membatasi makrofag yang tidak teraktivasi dan membentuk nekrosis perkejuan di mana basil tidak mudah lagi untuk bermultiplikasi. Meskipun demikian, basil-basil ini dapat bertahan hidup dalam keadaan tidur (dormant). Populasi tuberkel (Gohn Dua sampai empat minggu setelah infeksi, terdapat respon dari tubuh inang terhadap pertumbuhan basil-basil, yaitu respon kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan respon Cell Mediated Immunity (CMI), yang mengaktifkan makrofag yang mampu membunuh serta memakan basil tersebut. Pembentukan imunitas spesifik dan pengumpulan sejumlah besar makrofag yang diaktifkan (activated macrofag) pada tempat lesi primer akan membentuk tuberkel (Gohn focus). Imunitas spesifik ini akan membatasi makrofag yang tidak teraktivasi dan membentuk nekrosis perkejuan di mana basil tidak mudah lagi untuk bermultiplikasi. Meskipun demikian, basil-basil ini dapat bertahan hidup dalam keadaan tidur (dormant). Populasi tuberkel (Gohn

Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi di berbagai organ. Proses peradangan dapat meluas dengan cara (Alsagaff & Mukty, 2008):

1) Penyebaran langsung Mycobacterium tuberculosis ke daerah

sekitarnya.

2) Penyebaran Mycobacterium tuberculosis melalui saluran pernapasan (bronkogenik, duktal, canalicular dissemination).

3) Penyebaran tuberkulosis melalui saluran limfe. Penyebaran inilah yang bertanggung jawab terhadap proses di pleura yang biasa dikenal dengan pleuritis tuberkulosis.

4) Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier yang terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam vaskuler dan tersebar ke organ- 4) Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier yang terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam vaskuler dan tersebar ke organ-

a) Proses tersebut berasal dari paru dan telah meluas sampai menembus vena pulmonalis yang menyebabkan basil tuberkulosis ikut aliran darah ke tempat lain.

b) Basil tuberkulosis berasal dari kelenjar mediastinum yang

pecah.

c) Penyebaran yang berasal dari tuberkulosis ekstra pulmoner. Penyebaran hematogen inilah yang juga bertanggung jawab terhadap terjadinya meningitis tuberkulosis (Alsagaff & Mukty, 2008).

e. Gejala

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).

1) Gejala respiratorik:

a) batuk > 2 minggu

b) batuk darah

c) sesak napas

d) nyeri dada d) nyeri dada

2) Gejala sistemik

a) Demam

b) gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

3) Gejala tuberkulosis ekstraparu

Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

1) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Tempat keadaan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru (Bahar & Amin, 2007). Perkusi yang redup dan auskultasi suara bronkhial akan didapatkan bila dicurigai ada infiltrat yang agak luas. Selain itu, akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring (Bahar & Amin, 2007).

2) Pemeriksaan Laboratorium

a) Pemeriksaan Darah

Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer, gama globulin meningkat, dan kadar

Mukty, 2008).

b) Pemeriksaan sputum

Pemeriksaan ini sangat penting karena dengan ditemukannya kuman Bakteri Tahan Asam (BTA), diagnosis sudah dapat dipastikan. Cara pengumpulan dahak 3 kali (SPS) : sewaktu, pagi, dan sewaktu atau setiap pagi 3 kali berturut-turut. Pemeriksaan sputum dapat dilakukan dengan cara:

(1) Mikroskopis

Mikroskopis biasa dengan pewarnaan Ziehl- Nielsen dapat dilakukan untuk identifikasi Bakteri Tahan Asam (BTA), di mana bakteri akan terbagi menjadi 2 golongan yaitu bakteri tahan asam dan bakteri tidak tahan asam. Bakteri Tahan Asam (BTA) adalah bakteri yang pada pengecatan Ziehl-Nielsen tetap mengikat warna pertama, tidak luntur oleh asam dan alkohol, sehingga tidak mampu mengikat warna kedua. Di bawah mikroskop tampak bakteri berwarna merah dengan dasar biru muda. Bakteri tidak tahan asam adalah bakteri yang pada pewarnaan Ziehl- Nielsen warna pertma yang diberikan dilunturkan oleh asam dan alkohol sehingga bakteri akan mengikat Mikroskopis biasa dengan pewarnaan Ziehl- Nielsen dapat dilakukan untuk identifikasi Bakteri Tahan Asam (BTA), di mana bakteri akan terbagi menjadi 2 golongan yaitu bakteri tahan asam dan bakteri tidak tahan asam. Bakteri Tahan Asam (BTA) adalah bakteri yang pada pengecatan Ziehl-Nielsen tetap mengikat warna pertama, tidak luntur oleh asam dan alkohol, sehingga tidak mampu mengikat warna kedua. Di bawah mikroskop tampak bakteri berwarna merah dengan dasar biru muda. Bakteri tidak tahan asam adalah bakteri yang pada pewarnaan Ziehl- Nielsen warna pertma yang diberikan dilunturkan oleh asam dan alkohol sehingga bakteri akan mengikat

Selain itu, juga bisa dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis fluoresens dengan pewarnaan auramin-rhodamin (khusus untuk screening) (Hiswani, 2010).

Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan adalah bila:

(a) Tiga kali positif atau dua kali positif, satu kali

negatif berarti BTA positif. (b) Satu kali positif, dua kali negatif maka pemeriksaan diulang tiga kali kemudian bila didapatkan hasil satu kali positif dan dua kali negatif berarti BTA positif.

(c) Tiga kali negatif berarti BTA negatif (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2006).

dengan skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease ):

(a) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang,

disebut negatif. (b) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan. (c) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang

disebut + (1+). (d) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang

disebut ++ (2+). (e) Ditemukan >10 BTA alam 1 lapang pandang disebut +++ (3+) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

(2) Kultur

Pemeriksaan kultur kuman Mycobacterium tuberculosis dengan metode konvensional adalah dengan cara Egg base media seperti : Lowenstein- Jensen, Ogawa, Kudoh dan Agar base media seperti Middle brook. Koloni kuman akan tampak setelah 4-6 minggu penanaman sputum dalam medium biakan. Bila setelah 8 minggu penanaman koloni kuman tidak juga nampak, kultur dinyatakan negatif (Bahar & Pemeriksaan kultur kuman Mycobacterium tuberculosis dengan metode konvensional adalah dengan cara Egg base media seperti : Lowenstein- Jensen, Ogawa, Kudoh dan Agar base media seperti Middle brook. Koloni kuman akan tampak setelah 4-6 minggu penanaman sputum dalam medium biakan. Bila setelah 8 minggu penanaman koloni kuman tidak juga nampak, kultur dinyatakan negatif (Bahar &

bromide serta melihat pigmen yang timbul (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

c) Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Gambaran radiologis akan tampak bercak-bercak seperti awan dengan batas-batas yang tidak tegas saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumoni. Bayangan akan terlihat bulatan dengan batas yang tegas yang dikenal dengan lesi tuberkuloma bila lesi sudah diliputi jaringan ikat (Bahar & Amin, 2007). Lesi yang terbentuk kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis kemudian lama-lama dinding menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis. Lesi yang terbentuk kalsifikasi bayangannya tampak sebagai sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi (Bahar & Amin, 2007).

Tuberculosis

Association ,

berdasarkan luasnya, tuberkulosis paru dinyatakan sebagai berikut (Alsagaff & Mukty, 2008):

(1) Minimal lesion

Luas sarang-sarang yang kelihatan tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh garis media, apeks dan iga-iga depan, sarang-sarang soliter dapat berada di mana saja tidak harus berada dalam daerah tersebut. Tidak ditemukan adanya kavitas.

(2) Moderately advanced tuberculosis

Luas sarang-sarang yang bersifat bercak- bercak tidak melebihi luas satu paru, sedangkan bila ada kavitas tidak melebihi 4 cm. Kalau sifat bayangan sarang-sarang berupa awan-awan yang menjelma menjadi daerah konsolidasi yang homogen luasnya tidak boleh melebihi luas 1 lobus.

(3) Far advanced tuberculosis

Luas daerah yang dihinggapi oleh sarang- sarang lebih daripada kalsifikasi kedua di atas, atau bila ada kavitas maka diameter keseluruhan semua lubang lebih dari 4 cm.

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang paru, tidak termasuk pleura. Berdasarkan sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti (Bahar & Amin, 2007):

1) Pembagian secara patologis

a) Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)

b) Tuberkulosis post-primer (adult tuberculosis)

2) Pembagian secara aktivitas radiologis : tuberkulosis paru (Koch Pulmonum) aktif, non aktif, dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).

3) Pembagian secara radiologis (luas lesi)

a) Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi 1 lobus paru.

b) Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.

c) Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately advanced tuberculosis (Bahar & Amin, 2007).

kategori:

1) Kategori I, ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif

dan kasus baru dengan bentuk TB berat.

2) Kategori II ditujukan terhadap kasus kambuh dan kasus gagal

dengan sputum BTA positif.

3) Kategori III ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas dan kasus tuberkulosis ekstra paru selain dari yang disebut di kategori I

4) Kategori IV ditujukan terhadap tuberkulosis kronik (Bahar &

Amin, 2007).

2. Faal Paru

Paru adalah satu-satunya organ tubuh yang berhubungan dengan lingkungan di luar tubuh, yaitu melalui sistem pernapasan (Antaruddin, 2003). Tujuan dari pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan membuang karbondioksida (Guyton & Hall, 2008). Pemeriksaan faal paru bertujuan untuk mengukur kemampuan paru dalam tiga tahap respirasi meliputi pemeriksaan ventilasi, difusi, dan perfusi. Hasil pemeriksaan itu digunakan untuk menilai status kesehatan atau fungsi paru individu yang diperiksa (Yunus et al., 2003). Tes fungsi paru merupakan metode objektif untuk menilai perubahan fungsional pada pasien yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit paru (Wilson, 2006). Data dari tes fungsi paru memperlihatkan hubungan pola fungsional Paru adalah satu-satunya organ tubuh yang berhubungan dengan lingkungan di luar tubuh, yaitu melalui sistem pernapasan (Antaruddin, 2003). Tujuan dari pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan membuang karbondioksida (Guyton & Hall, 2008). Pemeriksaan faal paru bertujuan untuk mengukur kemampuan paru dalam tiga tahap respirasi meliputi pemeriksaan ventilasi, difusi, dan perfusi. Hasil pemeriksaan itu digunakan untuk menilai status kesehatan atau fungsi paru individu yang diperiksa (Yunus et al., 2003). Tes fungsi paru merupakan metode objektif untuk menilai perubahan fungsional pada pasien yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit paru (Wilson, 2006). Data dari tes fungsi paru memperlihatkan hubungan pola fungsional

a. Volume tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi setiap kali bernapas normal. Besarnya kira-kira 500 ml pada laki-laki dewasa.

b. Volume cadangan inspirasi adalah volume udara ekstra yang dapat diinspirasi setelah dan di atas volume tidal normal bila dilakukan inspirasi kuat. Biasanya mencapai 3000 ml.

c. Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara ekstra maksimal yang dapat diekspirasi melalui ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi tidal normal. Jumlah normalnya adalah sekitar 10 ml.

d. Volume residu adalah volume udara yang masih tetap berada dalam paru setelah ekspirasi maksimal. Besarnya kira-kira 1200 ml.

Kadang-kadang perlu menyatukan dua atau lebih volume paru untuk menguraikan peristiwa-peristiwa dalam siklus paru. Kombinasi ini disebut kapasitas paru. Kapasitas paru yang penting antara lain (Guyton & Hall, 2008):

a. Kapasitas inspirasi adalah jumlah udara yang dapat dihirup oleh seseorang, dimulai dengan ekspirasi normal dan pengembangan paru sampai jumlah maksimum. Besarnya sama dengan volume tidal a. Kapasitas inspirasi adalah jumlah udara yang dapat dihirup oleh seseorang, dimulai dengan ekspirasi normal dan pengembangan paru sampai jumlah maksimum. Besarnya sama dengan volume tidal

c. Kapasitas vital adalah jumlah udara maksimum yang dapat diekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal. Besarnya sama dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume tidal dan volume cadangan ekspirasi yang jumlahnya sekitar 4600 ml.

d. Kapasitas paru total adalah volume maksimum yang dapat mengembangkan paru sebesar mungkin dengan inspirasi sekuat mungkin. Besarnya sama dengan kapasitas vital ditambah volume residu yang jumlahnya sekitar 5800 ml.

e. Air trapping adalah selisih antara kapasitas vital dan kapasitas vital paksa.

Gambar 1. Skema Volume Paru (Yunus, 1993)

Vital Capacity = Kapasitas Vital (KV)

Inspiratory Reserve Volume = Volume Cadangan Inspirasi (VCI)

Tidal Volume = Volume Tidal (VT)

Expiratory Reserve Volume = Volume Cadangan Ekspirasi (VCE)

Gambar 2. Volume Paru dalam Keadaan Normal, Restriksi, dan

Obstruksi (Yunus, 1993)

Keterangan gambar:

Total Lung Capacity (TLC) = Kapasitas Paru Total (KPT)

Residual Volume (RV) = Volume Residu (VR)

Functional Residual Capacity (FRC) = Kapasitas Residu Fungsional

(KRF) (KRF)

a. Kapasitas vitas paksa / Forced Vital Capacity (FVC) adalah pengukuran kapasitas vital yang didapat pada ekspirasi yang dilakukan secepat dan sekuat mungkin. Volume udara ini dalam keadaan normal nilainya kurang lebih sama dengan VC, tetapi mungkin sangat berkurang pada pasien obstruksi saluran napas karena penumpukan dini saluran napas yang kecil dan akibat udara yang terperangkap.

b. Volume ekspirasi paksa / Forced Expiratory Volume (FEV) adalah volume udara yang dapat diekspirasi dalam waktu standar selama tindakan FVC. Biasanya FEV diukur selama detik pertama ekspirasi

yang dipaksakan (FEV 1 ). FEV merupakan petunjuk yang berharga untuk mengetahui adanya gangguan kapasitas ventilasi dan nilai yang kurang dari 1L selama detik pertama menunjukkan adanya gangguan fungsi berat.

FEV sebaiknya selalu dihubungkan dengan FVC atau VC. Individu normal dapat menghembuskan napas sekitar 80 % dari kapasitas vitalnya dalam satu detik, dinyatakan sebagai FEV 1 /FVC. Tidak banyak perbedaan FEV sebaiknya selalu dihubungkan dengan FVC atau VC. Individu normal dapat menghembuskan napas sekitar 80 % dari kapasitas vitalnya dalam satu detik, dinyatakan sebagai FEV 1 /FVC. Tidak banyak perbedaan

perlambatan aliran udara ekspirasi sehingga terjadi penurunan FEV 1 yang lebih besar dibandingkan VC sehingga FEV 1 /FVC kurang dari 80 % (Antaruddin, 2008; Wilson, 2006). Sedangkan pada penyakit restriktif terjadi gangguan pengembangan paru sehingga FEV 1 dan FVC atau VC mengalami penurunan dengan perbandingan yang kurang lebih sama sehingga perbandingan FEV 1 /FVC tetap sekitar 80 % atau lebih (Antaruddin, 2003; Wilson, 2006). Selain itu dapat pula terjadi kelainan kombinasi antara obstruktif dan restriktif (bentuk campuran), hal ini juga karena proses patologi yang mengurangi volume paru, kapasitas vital, dan

aliran, yang juga melibatkan saluran napas. Rendahnya FEV 1 /FVC merupakan suatu indikasi obstruktif saluran napas dan kecilnya volume paru merupakan suatu indikasi restrikif. Beberapa kerusakan dapat menghasilkan bentuk campuran obstruktif dan restriktif, seperti penyakit parenkim paru yang melibatkan fibrosis pada saluran napas sehingga terjadi obstruktif, misalnya pada penyakit tuberkulosis paru (Antaruddin, 2003).

Jumlah aliran terbanyak (flow maksimal) yang dihasilkan oleh sejumlah volume tertentu disebut Arus Puncak Ekspirasi/APE (Peak

menggunakan peak flow meter atau dapat juga menggunakan spirometer dengan satuan liter per detik. Pemeriksaan PEFR/APE bertujuan untuk mengukur secara objektif arus udara pada saluran napas besar (Rasmin et al. , 2001), sehingga dapat dipakai untuk mengetahui kenaikan tahanan saluran napas, yang memberikan gambaran tentang obstruksi saluran napas (Rahmatullah, 1999). PEFR/APE dapat bertahan selama 10 milidetik pada eksiprasi paksa yang dimulai dari inflasi paru secara maksimal (Gathmyr, 2002). PEFR/APE yang baik atau meningkat menunjukkan bahwa bronchial tube (paru) juga baik, artinya proses pernapasan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya tahanan pada saat mengeluarkan napas (ekpirasi) (Gathmyr, 2002). Apabila bronchial tube mengecil, PEFR/APE akan turun.

Nilai APE prediksi adalah nilai APE yang seharusnya pada individu sesuai dengan jenis kelamin, usia, dan tinggi badan (Chan, 2006). Nilai APE prediksi didapat berdasarkan usia, tinggi badan, jenis kelamin, ras, serta batasan normal variability diurnal berdasarkan literatur (PDPI, 2006). Indikasi pemeriksaan APE:

a. Menegakkan diagnosis asma kerja dan pengukuran harus dilakukan

secara serial, pagi dan sore setiap hari selama dua minggu.

b. Pasien asma dan PPOK dalam keadaan stabil untuk mendapatkan nilai dasar.

Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SPOT) yang mengalami eksaserbasi akut sesudah pemberian obat bronkodilator.

d. Mendapatkan variasi harian arus udara pada saluran napas pasien asma dan nilai terbaik dengan cara pemeriksaan APE serial pagi dan sore hari setiap hari selama 2-3 minggu.

e. Monitor Arus Puncak Ekpirasi (APE). Ada 3 macam nilai persentase APE, yaitu:

a. APE sesaat. Nilai ini didapatkan dari nilai tiupan pada waktu yang tidak tertentu dan dapat kapan saja. Persentase APE ini berguna untuk:

1) Mengetahui adanya obstruksi pada saat itu.

2) Mengetahui derajat obstruksi bila telah diketahui nilai standar

normalnya.

b. APE tertinggi. Nilai ini didapatkan dari hasil tiupan APE tertinggi setelah melakukan evaluasi tiupan sehari 2 kali, pagi dan sore hari pukul 06.00 WIB dan pukul 20.00 WIB selama 2 minggu pada keadaan asma stabil. Persentase nilai APE tertinggi digunakan sebagai standar persentase APE seseorang.

c. APE variasi harian. Nilai ini didapatkan dari hasil tiupan APE selama

2 minggu. Variasi harian ini berguna untuk mengetahui nilai tertinggi standar normal seseorang (Pradjnaparamita, 1997).

a. Menurut Alsagaff dan Mangunnegoro (1993)

1) Untuk menilai seseorang normal atau tidak adalah dengan cara membandingkan Arus Puncak Ekpirasi (APE) subjek dengan nilai prediksi (nilai normal) yang diperoleh tim IPP (Indonesian Pneumobile Project) 1992.

2) Besarnya perbedaan ditentukan berdasarkan rekomendasi ATS (American Thoracic Society) yaitu 1,644 SEE (Standards Error Equation) dianggap abnormal.

b. Menurut Rasmin et al., 2001:

1) Obstruksi : < 80 % nilai dugaan atau pada orang dewasa jika didapatkan nilai APE < 200 L/menit.

2) Obstruksi akut : < 80 % dari nilai terbaik.

3) APE variasi harian= Nilai tertinggi- nilai terendah x 100 % nilai tertinggi Jika didapatkan nilai > 15 % maka dianggap obstruksi saluran

napas yang ada belum terkontrol.

c. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011):

1) Derajat I Obstruksi Ringan : APE ≥ 80 %

2) Derajat II Obstruksi Sedang : 50 % < APE < 80 %

3) Derajat III Obstruksi Berat : 30 % < APE < 50 %

4) Derajat IV Obstruksi Sangat Berat : APE < 30 % 4) Derajat IV Obstruksi Sangat Berat : APE < 30 %

Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE):

a. Faktor Host

1) Jenis kelamin

Sesudah usia pubertas anak laki-laki menunjukkan kapasitas Arus Puncak Ekpirasi (APE) yang lebih besar daripada perempuan. Kapasitas vital rata-rata pria dewasa muda lebih kurang 4,6 liter dan perempuan muda kurang lebih 3,1 liter, meskipun nilai-nilai ini jauh lebih besar pada beberapa orang dengan berat badan sama (Antaruddin, 2003)

2) Usia

Arus Puncak Ekpirasi (APE) sejak masa kanak- kanak bertambah atau meningkat volumenya dan mencapai maksimal pada usia 19-21 tahun, setelah usia itu nilai Arus Puncak Ekpirasi (APE) terus menurun sesuai dengan bertambahnya usia (Yunus, 1993). Pada keadaan normal, nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) berbanding terbalik dengan usia (Dikutip dari Widiyanti, 2008).

Pada orang-orang kulit hitam, hasil Arus Puncak Ekpirasi (APE)nya harus dikoreksi dengan 0,85 di mana sebagai referensinya adalah orang kulit putih. Salah satu alasannya adalah bahwa ukuran thoraks kulit hitam lebih kecil daripada orang kulit putih. Indonesia terdiri atas banyak suku bangsa belum ada data-data antropometris yang dapat menerangkan adanya perbedaan anatomis rongga dada yang tentunya juga akan mempengaruhi Arus Puncak Ekpirasi (APE)nya. Meskipun secata biologis, kemungkinan ada perbedaan Arus Puncak Ekpirasi (APE) masing-masing suku bangsa di Indonesia (Alsagaff dan Mangunnegoro, 1993).

4) Tinggi badan

Tinggi badan mempunyai korelasi positif dengan APE artinya bertambah tinggi seseorang, APE akan bertambah besar (Alsagaff dan Mangunnegoro, 1993).

5) Kebiasaan merokok

Merokok faktor utama yang dapat mempercepat penurunan Arus Puncak Ekpirasi (APE). Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur jalan napas maupun parenkim paru. Perubahan struktur jalan napas besar berupa hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus.

dari inflamasi ringan sampai penyempitan dan obstruksi jalan napas karena proses inflamasi, hiperplasia sel goblet dan penumpukan sekret intraluminar (Antaruddin, 2003).

b. Faktor Lingkungan

1) Asap rokok

Asap rokok dapat mengakibatkan rusaknya epitel bronkus yang kehilangan silia dan gangguan transport mukosilier, hipertrofi dan hipersekresi sel-sel goblet terjadi pada kelenjar jalan napas (Aditama, 1999).

2) Polusi udara

Polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan fungsi tubuh, termasuk gangguan Arus Puncak Ekpirasi (APE) (Yunus, 1998)

3) Nutrisi

Salah satu akibat kekurangan asupan gizi/nutrisi dapat menurunkan sistem imunitas dan antibodi sehingga orang menjadi mudah terserang infeksi dan juga berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap benda asing (Almatsier, 2002)

Walaupun lingkungan pekerjaan disebut sebagai faktor resiko PPOK akan tetapi perannya kurang kuat dibanding akibat dari asap rokok. Namun, apabila faktor lingkungan pekerjaan dikombinasikan dengan asap rokok akan menimbulkan efek sinergis yang besar (Amin, 2006).

5) Obat-obatan pelega napas

Obat pelega napas atau bronkodilator terdiri atas golongan adrenergik, metilsantin, dan antikolinergik. Golongan

adrenergik

dapat

menimbulkan efek bronkodilatasi dengan menstimulasi reseptor β2 yang

terdapat pada permukaan dinding sel otot polos saluran napas, biasa disebut dengan agonis β2. Golongan antikolinergik menghambat peningkatan tonus kolinergik yang terjadi selama reflex bronkokonstriksi (Bektilestari, 2008).

3. Hubungan antara Luas Lesi Radiologis dengan Faal Paru Penderita Tuberkulosis

Infeksi yang diawali dengan inhalasi kuman Mycobacterium tuberculosis memicu perkembangan imunitas seluler didapat dan multiplikasi bakteri serta kerusakan jaringan yang meninggalkan jaringan parut pada tempat yang terjadi peradangan (Banaiee et al.,

2008). Selain itu, terjadi reaksi radang nonspesifik yang luas karena tertariknya netrofil ke dalam parenkim paru oleh makrofag aktif sehingga beban proteolitik meningkat yang akhirnya akan merusak matriks alveoli (Banaiee et al., 2006). Keadaan ini menyebabkan:

a. Peningkatan “kerja” pada bagian otot pernapasan yang berfungsi untuk ventilasi paru dan berkurangnya kapasitas vital dan kapasitas pernapasan.

b. Berkurangnya luas permukaan membran pernapasan total dan peningkatan ketebalan membran pernapasan, hal ini menyebabkan penurunan kapasitas difusi paru secara progresif.

c. Kelainan rasio ventilasi-perfusi dalam paru sehingga mengurangi difusi oksigen dan karbondioksida paru secara keseluruhan (Guyton & Hall, 2008).

Kerusakan jaringan paru ini bersifat permanen sehingga terjadi berbagai kelainan faal paru terutama kaitannya dengan fungsi ventilasi paru yaitu obstruksi (Antaruddin, 2003).

C. HIPOTESIS

Terdapat perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) penderita tuberkulosis paru berdasarkan gambaran radiologi foto polos dada.

Host

Infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis

Kerusakan jaringan paru

Fibrosis (sikatriks)

Kerusakan matriks alveoli

Kelainan faal paru

Obstruksi

Luas lesi radiologis

Minimal lession

Moderate advance lession

Far advance lession

Resistensi jalan napas

Nilai APE

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di BBKPM Surakarta dan di RSUD Dr. Moewardi.

C. Subjek Penelitian

Populasi yang diteliti adalah penderita yang didiagnosis tuberkulosis. Kriteria inklusi:

1. Penderita tuberkulosis yang sedang mengalami pengobatan dalam fase lanjutan di BBKPM Surakarta dan di RSUD Dr. Moewardi.

2. Penderita berusia 15-70 tahun.

3. Penderita mempunyai tinggi badan antara 150-172 cm.

4. Penderita mampu melakukan uji Arus Puncak Ekpirasi (APE).

5. Penderita mempunyai gambaran radiologi positif tuberkulosis paru.

6. Bersedia ikut penelitian yang dinyatakan dengan informed consent. Kriteria eksklusi:

1. Terdapat diagnosis penyakit paru kronik selain tuberkulosis paru seperti

asma bronchial, PPOK, pneumotoraks, dan penebalan pleura.

mempengaruhi hasil uji Arus Puncak Ekpirasi (APE).

3. Dalam keadaan eksaserbasi akut atau mengalami infeksi saluran nafas dalam 4 minggu sebelum penelitian.

4. Terdapat penyakit jantung.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Metode ini merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2005; Arief, 2003).

= jumlah sampel Zα = nilai distribusi normal standar untuk uji dua sisi pada tingkat

kemaknaan α

P = perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan pada populasi, p = 0.253 (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2010)

=1 – p = 1-0,253 = 0.747

d = presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi populasi (Arief, 2003)

Zα². p. q

n= d²

Jumlah sampel yang dibutuhkan untuk tiap kelompok adalah 32 orang. Pada penelitian ini terdapat 3 kelompok berdasarkan luas lesi radiologis sehingga sampel keseluruhan yang dibutuhkan adalah 96 orang.

E. Rancangan Penelitian

Populasi

Purposive sampling

Sampel: Pasien TB

Uji faal paru

Ukur APE

Uji statistik

Foto thoraks

Luas lesi radiologi

Minimal lession Moderate advance lession

Far advance

lession

Persentase nilai APE

1. Variabel bebas : Luas lesi radiologis penderita tuberkulosis.

2. Variabel terikat : Nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE).

3. Variabel luar

a. Terkendali : jenis kelamin, usia, tinggi badan, teknik mengerjakan.

b. Tak terkendali: imunitas/kekebalan.

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Luas lesi radiologis penderita tuberkulosis. Definisi : Besarnya kerusakan yang tampak pada foto rontgen

thorak PA yang dinilai menurut klasifikasi dari American Thoracic Society yang dinyatakan sebagai berikut (Alsagaff & Mukty, 2008):

a. Minimal Lesion

Luas sarang-sarang yang kelihatan tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh garis media, apeks dan iga-iga depan, sarang-sarang soliter dapat berada di mana saja tidak harus berada dalam daerah tersebut. Tidak ditemukan adanya kavitas.

b. Moderately Advanced Tuberculosis Luas sarang-sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru, b. Moderately Advanced Tuberculosis Luas sarang-sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru,

c. Far Advanced Tuberculosis

Luas daerah yang dihinggapi oleh sarang-sarang lebih daripada kalsifikasi kedua di atas, atau bila ada kavitas maka diameter keseluruhan semua lubang lebih dari 4 cm.

Alat ukur

: foto rontgen toraks.

Skala pengukuran : skala ordinal.

2. Variabel terikat : Persentase nilai Arus Puncak Ekspirasi. Definisi : Persentase nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) adalah perbandingan antara nilai APE responden dengan nilai APE prediksi yang dinyatakan dalam satuan persen (%). Nilai APE prediksi

didapatkan

berdasarkan hasil penelitian Tim Indonesian Pneumobile Project 1992.

Alat ukur

: Vitalograph Peak Flowmeter

Skala pengukuran : skala rasio.

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan:

1) Jenis kelamin Jenis kelamin penderita tuberkulosis yang digunakan dalam penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan.

2) Usia Usia penderita tuberkulosis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15-70 tahun.

3) Tinggi badan Pengukuran tinggi badan diperlukan untuk menentukan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) prediksi berdasarkan nilai yang diperoleh tim IPP (Indonesian Pneumobile Project) 1992.

4) Teknik mengerjakan Teknik mengerjakan uji Arus Puncak Ekpirasi (APE) adalah dengan Pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi (APE).

b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan:

1) Imunitas/kekebalan

Imunitas/kekebalan tiap-tiap penderita tuberkulosis berbeda- beda.

H. Instrumentasi Penelitian