NASKAH DRAMA BARABAH KARYA MOTINGGO BUSYE (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN)

NASKAH DRAMA BARABAH KARYA MOTINGGO BUSYE (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN) SKRIPSI

Oleh : CAHYO UTOMO

K1203018

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

commit to user

NASKAH DRAMA BARABAH KARYA MOTINGGO BUSYE (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN)

Oleh: CAHYO UTOMO NIM K 1203018

Skripsi Ditulis untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan

Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

commit to user

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Swandono, M. Hum. Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd. NIP 194709191968061001

NIP 195405201985031002

commit to user

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan

Pada hari : Tanggal : 2011

Tim Penguji Skripsi: Nama Terang Tanda Tangan

Ketua

: Drs. Slamet Mulyono, M. Pd.

Sekretaris

: Dra. Sumarwati, M.Pd.

Anggota I

: Drs. Swandono, M. Hum.

Anggota II

: Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd.

Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,

Prof. Dr. M. Furqon H., M.Pd. NIP 196007271987021001

commit to user

ABSTRAK CAHYO UTOMO. K1203018. NASKAH DRAMA BARABAH KARYA MOTINGGO BUSYE (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI

PENDIDIKAN). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret, April 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai pendidikan dan mendeskripsikan sosiologi sastra yang terdapat dalam naskah drama Barabah karya Motinggo Busye. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik untuk mengetahui sosiologi sastra dan nilai pendidikan yang terdapat dalam naskah drama Barabah karya Motinggo Busye. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah naskah drama Barabah karya Motinggo Busye, kumpulan novel Nyonya dan Nyonya karya Motinggo Busye, buku-buku materi tentang drama dan sosiologi sastra, data wawancara dengan sastrawan sebagai bahan perbandingan, dan data digital dari internet yang sesuai dengan pokok bahasan penelitian. Peneliti juga melihat secara langsung pertunjukan drama naskah Barabah karya Motinggo Busye ini untuk mendapatkan gambaran secara lebih jelas dengan tujuan dapat digunakan sebagai pendukung data penelitian. Pelaksanaan penelitian dilakukan dimulai dengan meneliti struktur naskah drama Barabah yang meliputi plot, penokohan, setting, tema, dan terakhir adalah dialog karena ini merupakan ciri khas dari karya sastra drama. Peneliti kemudian mengkaji sosiologi sastra dengan didasarkan pada teori yang ada untuk mengetahui strukturalisme genetik pengarang dan naskah drama. Hasil dari pengkajian strukturalisme genetik ini nantinya dapat menentukan sosiologi sastra naskah drama Barabah. Hasil yang didapatkan adalah historiografi pengarang dan peristiwa sosial yang terjadi saat naskah drama dibuat sangat mempengaruhi pemikiran pengarang dalam menciptakan karya sastra. Peneliti kemudian mengkaji nilai pendidikan berdasarkan teori yang mendukung untuk menentukan nilai pendidikan apa saja yang terdapat pada naskah drama Barabah. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa naskah drama Barabah karya Motinggo Busye mempunyai struktur yang utuh dan kuat dalam menjalin sebuah cerita. Tokoh-tokoh yang dimunculkan juga dapat mewakili keutuhan cerita. Homologi yang dapat diambil adalah bahwa sebuah struktur sosial dan pandangan dunia pengarang sangat mempengaruhi lahirnya sebuah karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Dalam naskah drama Barabah karya Motinggo Busye ini, sangat ditekankan beberapa permasalahan tentang ketuaan, kejantanan, obsesi regenerasi, dan kesenjangan ekonomi.

commit to user

ABSTRACT CAHYO UTOMO. K1203018. DRAMA WORKS ON PAPER BARABAH MOTINGGO BUSYE (SOCIOLOGY LITERATURE REVIEW AND

EDUCATIONAL VALUE). Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education.

The purpose of this study was to describe and analyze the sociology of literary and educational value inherent in a play Barabah Motinggo Busye work. This research uses descriptive analytical method to determine the sociology of literature and educational values inherent in a play Barabah Motinggo Busye work. Source of data used in this research is the work of playwright Barabah Motinggo Busye, a collection of novels Nyonya dan Nyonya Motinggo Busye works, books, materials on the drama and sociology of literature, data interviews with writers as comparative material, and digital data from the internet in accordance with subject of research. Researchers also saw firsthand the work of a play script Barabah Motinggo Busye this to get the picture more clearly with the purpose to be used as supporting research data. The research was carried begins by examining the structure of the play Barabah that includes plot, character, setting, theme, and the last is the dialogue because this is typical of literary drama. The researcher then examines the sociology of literature to be based on the theory that there is to know the genetic structuralism author and playwright. Results from the study of genetic structuralism was later able to determine the sociology literature plays Barabah. The results obtained are the author's historiography and social events that occur when a play is made greatly affects author's thinking in creating works of literature. Researchers then assess the value of education based on the theory that support to determine what educational value there is in a play Barabah . Based on the results of this study concluded that the playwright's work Barabah Motinggo Busye and their structure intact and strong in establishing a story. The characters who appear also to represent the whole story. Homology that can be drawn is that a social structure and worldview of the author greatly affect the birth of a literary work produced by the author. In the playwright's work Barabah Motinggo Busye this, it is emphasized several issues about aging, masculinity, obsession regeneration, and economic inequality.

commit to user

MOTTO

“Hapuslah air mata Anda dengan sikap berbaik sangka kepada Allah SWT, Tuhan Anda. Usirlah semua kesusahan dan kesedihan Anda dengan mengingat nikmat- nikmat Allah SWT yang telah dilimpahkan kepada Anda.” (DR. ‘Aidh Bin ‘Abdullah Al-Qarni)

commit to user

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya sederhana ini sebagai sayang, cinta, dan terima kasihku teruntuk:

1. Bapak dan Ibu tercinta yang tak pernah lelah untuk terus menyalakan pelita kasih sayang dan perhatian yang tulus dalam setiap pijakan langkah-langkahku.

2. Kakak-kakak dan keponakan tersayang yang penuh perhatian.

3. Keluarga besar yang telah mendoakanku.

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat diatasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. M. Furqon H., M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin penyusunan skripsi;

2. Drs. Suparno, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP UNS yang telah memberikan izin penyusunan skripsi;

3. Drs. Slamet Mulyono, M.Pd., selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan izin penyusunan skripsi kepada penulis;

4. Drs. Swandono, M.Hum. dan Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd., selaku Pembimbing yang telah membimbing penulis selama ini dengan penuh perhatian dan kesabaran;

5. Dra. Suharyanti, M.Hum., selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan studi;

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, khususnya Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan sebagian ilmunya kepada penulis dengan tulus ikhlas selama ini;

7. Sahabat-sahabat terindahku: Irsyad, Dwi, Agung, Randi, Bayu, Alm. Riza (banyak pengalaman bersama kalian), Tri, Widya, Amel, Elen, Wati dan Esty, yang telah menggoreskan cerita indah dan makna hidup dalam sebagian perjalananku;

commit to user

8. Rekan-rekan Bastind ’03 yang telah banyak menorehkan kenangan manis yang tak terlupakan;

9. Berbagai pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu. Semoga kebaikan-kebaikan semua pihak mendapatkan imbalan dari Allah SWT, Amien.

Surakarta, April 2011

Penulis

commit to user

c. Pembahasan ....................................................................... 116

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ………………………. 125

A. Simpulan ...................................................................................... 125

B. Implikasi ...................................................................................... 127

C. Saran ........................................................................................... 128 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Alur Kerangka Berpikir .................................................................

44

Gambar 2: Flow Model of Analysis .................................................................

49

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian yang akan diteliti adalah meneliti sebuah karya sastra, yaitu naskah drama di mana drama adalah salah satu karya sastra yang menggunakan dialog sebagai ciri utamanya. Sastra merupakan kegiatan kreatif dan imajinatif. Rene Wellek dan Austin Warren (1993: 3) berpendapat bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Nyoman Kutha Ratna (2003: 61) berpendapat bahwa proses kreativitas adalah pernyataan pikiran, perasaan, dan kehendak, yang ditujukan kepada orang lain. Sastra sebagai kegiatan kreatif jelas tidak akan luput dari segala aspek yang melingkupinya baik aspek yang berasal dari luar maupun dari dalam diri pengarang tersebut. Pikiran, perasaan, dan kehendak yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca pastilah melalui media yang dipahami semua orang, dalam hal ini bahasa merupakan medium yang digunakannya.

Karya sastra tidak hanya sekadar hasil dari proses imajinasi seseorang tanpa ada inspirasi yang melatarbelakanginya. Kehidupan individu maupun sosial pengarang suatu karya sastra cukup berpengaruh terhadap karya sastra yang dihasilkannya. Karya sastra di samping memiliki unsur otonom juga tidak bisa lepas dari unsur ekstrinsik.

Karya sastra adalah struktur tanda yang bermakna. Makna yang tersirat dalam sebuah karya sastra adalah pemaparan buah pikir, pendapat, dan pandangannya tentang hidup dan kehidupan. Karya sastra yang berbentuk lakon dapat menggambarkan peristiwa berdasarkan imajinasi pengarang dengan maksud dapat memahami jalan ceritanya menurut kemampuan pembaca. Karya sastra drama menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan ide-ide, pikiran, dan gagasan yang bersumber dari kehidupan masyarakat sekitarnya. Pembaca merasa terlibat secara langsung dalam jalan cerita. Karya sastra drama juga merupakan

commit to user

pengarang sebagai proses kreativitas. Di tengah masyarakat yang luas dan beraneka ragam kreativitasnya, segala ide akan mengalir dan selalu hadir dalam penciptaan karya sastra khususnya sastra drama. Karya-karya sastra lahir dipengaruhi oleh suasana lingkungan hidupnya. Untuk memperoleh dunia pemikiran yang berbeda dan manghasilkan karya sastra yang baik, seorang seniman harus mempunyai kemampuan untuk membuat jarak dengan bahan-bahan yang akan digarapnya.

Menurut Sapardi Djoko Damono di dalam jurnal ilmiah Toddopuli tentang esainya yang berjudul “Ke Mana Perkembangan Sastra Kita” beliau menuliskan:

Sementara kita suka membicarakan masa depan sastra yang tampaknya semakin suram, sebenarnya diam-diam banyak di antara kita yang mengakui bahwa sastra tetap saja dihasilkan manusia kapan pun, dalam suasana dan keadaan apa pun. Tentu ada beberapa alasan mengapa kita memprihatinkan nasib sastra di masa depan: minat baca yang rendah, tekanan dari berbagai lembaga masyarakat, perhatian dunia terhadap teknologi, sistem pendidikan yang tidak mengacuhkan ilmu kemanusiaan, dan sebagainya. Keadaan semacam itu dianggap tidak bisa membantu tumbuhnya kesusastraan, dan oleh karenanya kita, kadang-kadang dengan semangat berlebihan, sering mengajukan usul untuk meningkatkan minat baca masyarakat, melonggarkan tekanan dan memberikan kebebasan menulis bagi sastrawan, memberikan ruang gerak tidak hanya bagi perkembangan teknologi tetapi juga kesenian, memberikan porsi yang lebih besar kepada pendidikan kesenian di sekolah, dan sebagainya.

Kita pun tahu bahwa karya sastra penting bisa lahir di mana pun dalam kondisi sosial politik macam apa pun. Dr. Zhivago ditulis oleh Boris Pasternak di masa rezim Komunis yang konon sangat represif masih berkuasa di Rusia; The Old Man and the Sea ditulis oleh Ernest Hemingway dalam masyarakat yang konon berpandangan liberal; Gitanjali ditulis oleh Rabindranath Tagore di negeri yang masih dalam cengkeraman penjajah; drama-drama Wole Soyinka ditulis di dunia ketiga yang penuh gejolak politik dan sosial, Nigeria.

Drama atau yang ada di dalam masyarakat juga disebut teater, akhir-akhir ini sedang dalam puncak kemerosotan, sampai pada tingkat inferioritas yang benar-benar mengenaskan. Teater di Indonesia, entah dengan kata sifat atau keterangan apapun sesudahnya, belakangan ini menampilkan wajah yang

commit to user

hampir tanpa etos dan vitalitas kreatif sama sekali (Herman J. Waluyo, 2002:32).

Seorang pengarang atau pencipta karya sastra merupakan seorang individu yang juga tidak lepas dari suatu sistem masyarakat yang dianutnya. Pemahaman karya sastra tidak bisa mengesampingkan bagaimana atau apa yang menjadi dasar bagi pengarang untuk melakukan proses kreativitas tersebut, sehingga dapat tercipta suatu karya sastra.

Karya sastra merupakan media dokumentasi yang merangkum gejala- gejala yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau latar belakang sosial budaya dengan analisis dalam kehidupan masyarakat, cara hidup, komunikasi dalam kelompok-kelompok, perbedaan status personal, sopan santun, adat istiadat, konvensi lokal, hubungan kekerabatan dalam masyarakat dan sampai pada item terkecil (Herman J. Waluyo, 1997:62). Karya sastra adalah dokumen sosial, yang di dalamnya dikisahkan manusia dengan berbagai problem (Herman J. Waluyo 1997:58). Dokumentasi merupakan rekaman suatu kejadian, dalam suatu kondisi sosial tertentu. Kondisi sosial yang pernah dialami pengarang baik secara langsung maupun tidak langsung akan turut terangkum dalam karya sastra. Membaca karya sastra dapat mengkaji hal-hal seperti: sosiologi, psikologi, adat istiadat, moral, budi pekerti, agama, tuntunan masyarakat, dan tingkah laku manusia di suatu masa. Banyak pengetahuan yang dapat diperoleh melalui karya sastra.

Karya sastra drama memiliki dan menggunakan media dokumentasi yang sangat beragam. Di dalam sebuah drama, dapat ditemukan gejala-gejala yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau latar belakang sosial budaya dengan analisis dalam kehidupan masyarakat, cara hidup, komunikasi dalam kelompok- kelompok, perbedaan status personal, sopan santun, adat istiadat, konvensi lokal, hubungan kekerabatan dalam masyarakat dan bahkan sampai pada item terkecil sekalipun.

Perkembangan karya sastra seiring dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan dengan berbagai perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Perubahan itu sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam

commit to user

manusia dengan segala kondisi yang menyertainya. Pemaknaan teks sastra yang mengabaikan pengarang sebagai pemberi dan pencipta makna akan berbahaya karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita, dan juga norma-norma yang dipegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial tertentu. Pencapaian pemahaman karya sastra yang utuh juga akan sulit dicapai tanpa memahami unsur di luar karya sastra khususnya unsur yang turut memanifestasi lahirnya karya sastra. Dalam hal ini, keberadaan pengarang atau pencipta karya sastra tidak mungkin dikesampingkan.

Struktur luar atau unsur-unsur ekstrinsik dianggap sebagai bagian dari keseluruhan struktur yang membangun sebuah karya sastra. Unsur-unsur tersebut meliputi bidang-bidang yang sangat luas dan beragam, menyangkut hampir segala aspek kehidupan yang diyakini berpengaruh terhadap keberadaan sebuah karya sastra. Pemahaman terhadap unsur-unsur ekstrinsik ini akan membantu pemahaman makna karya sastra yang bersangkutan. Unsur ekstrinsik ini antara lain biografi pengarang, aspek psikologi, aspek sosiologi, dan aspek filsafat yang dipengaruhi keberadaan sebuah karya sastra dalam hal ini drama.

Drama sebagai salah satu genre sastra, akhir-akhir ini kurang diminati telaahnya oleh para kritikus maupun pengkaji sastra. Hal ini terlihat dalam beberapa media publikasi sebagian besar memuat kajian sastra, terutama sastra genre novel dan cerpen. Memang tidak dapat disangkal bahwa kebanyakan pengkajian drama berbentuk penyajian pementasan, hal tersebut memang wajar apabila mengingat bahwa muara akhir dari penciptaan drama adalah sebuah pementasan. Namun perlu diperhatikan bahwa permulaan dari penyajian drama adalah telaah naskah drama sebagai sesuatu yang bersifat tekstual walaupun dalam bentuk dialog atau percakapan tertulis.

Telaah naskah drama sebagai teks sangat diperlukan sebelum mengolah lebih jauh lagi menjadi sebuah pementasan. Seorang penulis khususnya naskah drama telah memasukkan semua yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui naskah drama, seperti amanat, tema yang diangkat, masalah yang ingin

commit to user

yang telah terjun ke masyarakat pembaca adalah sesuatu yang bebas, dalam arti semua pemaknaan maupun penafsiran diserahkan sepenuhnya kepada pembaca. Di satu pihak, sastra sebagai sesuatu yang otonom, tetapi di pihak yang lain perlu untuk mencoba menelaah sastra melalui pengarang karya sastra tersebut selaku pencipta karya itu. Oleh karena itu, penafsiran pembaca karya tersebut tidak akan terlalu jauh dari apa yang diharapkan oleh pengarang.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah struktur naskah drama Barabah karya Motinggo Busye?

2. Bagaimanakah sosiologi sastra yang terdapat dalam naskah drama Barabah karya Motinggo Busye?

3. Nilai pendidikan apa saja yang terdapat dalam naskah drama Barabah karya Motinggo Busye?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan struktur naskah drama Barabah karya Motinggo Busye

2. Mendeskripsikan sosiologi sastra yang terdapat dalam naskah drama Barabah karya Motinggo Busye

3. Mendeskripsikan nilai pendidikan yang terdapat dalam naskah drama Barabah karya Motinggo Busye

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

a. Memberi sumbangan bagi penelitian sastra khususnya dalam pengkajian naskah drama sebagai salah satu genre sastra.

commit to user

pendidikan khususnya naskah drama yang nantinya dapat diterapkan atau menjadi referensi untuk meneliti dan mengkaji naskah drama yang lain.

c. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan penerapan ranah ilmu sastra serta studi tentang karya sastra.

2. Manfaat Praktis

a. Membantu pembaca atau penikmat sastra dalam menginterpretasikan naskah drama Barabah karya Motinggo Busye sehingga pemaknaan terhadap karya sastra akan lebih terarah.

b. Menambah perbendaharaan tentang kajian terhadap naskah drama terutama pengkajian nilai sosiologi sastra dan nilai pendidikan yang merupakan salah satu materi ajar pada Pembelajaran Drama.

commit to user

BAB II LANDASAN TEORETIS DAN KERANGKA BERPIKIR

Menurut jurnal ilmiah internasional Panggung dengan karya ilmiah di dalamnya yang berjudul “Kekerasan dalam Cerpen-cerpen Koran Pilihan Kompas 1992-1999” oleh Harris Effendi Thahar disebutkan bahwa sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian, maka pendekatan sastra dilihat dari dokumen sosio budaya dan pendekatan struktural genetik adalah dua hal yang menjadi satu. Hal itu disebabkan karena kedua pendekatan itu saling tumpang tindih, dengan kata lain, karya sastra sebagai dokumen sosio budaya akan dilihat dari dua sisi, yakni sisi intrinsik dan ekstrinsik. Sapardi Djoko Damono (1978) menyimpulkan bahwa ada dua macam kecenderungan telaah sastra secara sosiologis atau yang disebut sebagai pendekatan sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa karya sastra merupakan cerminan proses sosial-ekonomis belaka. Jadi pendekatan teks dianggap tidak utama yang cuma merupakan gejala kedua (ephiphenomenon). Kedua, pendekatan yang mengutamakan pendekatan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam pendekatan sosiologi sastra model ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian digunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala yang ada di luar karya sastra tersebut.

Pendekatan kedua model tersebut di atas sejalan dengan pendekatan struktural genetik. Oleh karena itu, dalam proses analisis sosial budaya karya sastra drama Barabah karya Motinggo Busye, akan digunakan pendekatan ini yaitu melalui pendekatan strukturalisme genetik untuk mengetahui sosial budaya naskah drama yang nantinya dijadikan sebagai acuan untuk menganalisis sosiologi sastra. Peneliti melakukan telaah struktur sosial yang terdapat dalam naskah untuk dapat memudahkan menganalisis sosiologi sastra sehingga peneliti mendapatkan acuan untuk mendeskripsikan sosiologi sastra naskah drama Barabah karya Motinggo Busye.

commit to user

A. Tinjauan Pustaka

1. Hakikat Strukturalisme Genetik

a. Pengertian Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik dapat dikatakan bagian dari sosiologi sastra, sebab dalam pendekatan strukturalisme genetik ini dikaji pula suatu struktur masyarakat yang turut memanifestasi lahirnya suatu karya sastra. Sosiologi sastra yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann mencoba untuk menyatukan analisis struktural dengan materialisme historis dan dialektik (Sapardi Djoko Damono, 1979:43). Pernyataan di atas jelas bahwa strukturalisme genetik tetap mempertahankan suatu struktur karya sastra, yang sebelumnya merupakan tradisi kaum strukturalisme. Namun tetap mengkaji historis yang terkandung pada kata “genetik”.

Peletak dasar strukturalisme genetik adalah Taine, dan kemudian muncul tokoh dari Perancis yang bernama Lucien Goldmann. Strukturalisme genetik (genetic structuralism) adalah cabang penelitian sastra yang tak murni dan merupakan bentuk penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya (Suwardi Endraswara, 2003: 55). Dalam penelitian ini, hal-hal yang disuguhkan tidak hanya struktur otonom dalam karya sastra, tetapi lebih menekankan asal-usul karya sastra.

Strukturalisme genetik mempunyai latar belakang yang sama dengan lahirnya strukturalisme dinamik yaitu lahir sebagai reaksi terhadap stagnasi yang terjadi pada analisis terhadap karya sastra oleh kaum strukturalis. Strukturalisme genetik berkembang atas dasar perbaikan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik dan juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 121). Strukturalisme genetik melibatkan struktur sosial dalam analisisnya.

Strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Goldmann, merupakan salah satu teori Marxis yang dikaitkan dengan nilai-nilai struktur (Nyoman Kutha Ratna, 2005: 165). Dalam menganalisis karya sastra, strukturalisme genetik tetap mempertahankan struktur, sebab Lucien Goldmann sebagai pencetus teori ini

commit to user

tidak dapat lepas dari pengkajian strukturnya. Berbeda dengan aliran Marxis yang tidak dapat menerima keberadaan struktur dalam karya sastra, namun dia tetap menganut aliran Marxis sebab dia juga berpandangan bahwa sastra juga mencerminkan masyarakat, sehingga dia termasuk para-Marxis. Selain itu Goldmann dalam analisisnya juga menggunakan metode dialektika dengan memperbarui konsep dari Hegel, oleh sebab itulah dia juga disebut neo-Hegelian.

Terry Eagleton mengatakan bahwa Goldmann memilih istilah strukturalisme genetik, karena Goldmann lebih tertarik pada struktur kategori yang ada dalam suatu dunia visi, dan kurang tertarik pada isinya, memilih genetik karena ia sangat tertarik untuk memahami bagaimana struktur mental tersebut diproduksi secara historis (2002: 58-59). Pernyataan Terry Eagleton terlihat bahwa penekanan dalam analisis strukturalisme genetik dari Goldmann lebih menekankan pada suatu visi yang membawa pengarang pada suatu karya yang diciptakannya. Namun, visi tersebut tidak semata-mata dikupas dari karya itu secara otonom, tetapi juga melibatkan pengkajian unsur genetik karya sastra tersebut.

Goldmann dalam rangka memberikan keseimbangan antara unsur yang ada dalam karya sastra dengan ketergantungannya terhadap unsur di luar sastra yaitu masyarakat, tidak secara langsung menghubungkan antara karya dengan struktur sosial melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial yang dominan (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 122). Hubungan antara karya dengan struktur sosial yang ditawarkan Goldmann dalam strukturalisme genetiknya bukan hubungan secara langsung, tetapi dimediasi oleh pandangan dunia pengarang dari suatu kelas sosial.

Goldmann berpandangan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur, akan tetapi struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan (Faruk, 1994: 12). Berangkat dari teori itulah Goldmann kemudian memunculkan beberapa kategori yang saling bertalian satu sama lain untuk menopang teorinya

commit to user

subjek transindividual (intersubjektif), pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan. Kategori-kategori itulah yang nantinya dijadikan dasar dalam menganalisis sebuah karya sastra dalam kaca mata strukturalisme genetik.

b. Unsur-unsur Strukturalisme Genetik

1) Fakta Kemanusiaan

Goldmann, menganggap bahwa fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna, semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan inspirasinya, dalam hal ini pengarang (Suwardi Endraswara, 2003: 55). Faruk juga mengemukakan hal yang senada dengan Goldmann bahwa fakta kemanusiaan adalah segala aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan (1994 : 12). Fakta yang dimaksud oleh Faruk di atas dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun bentuk-bentuk kreasi kultural seperti seni musik, seni patung, seni filsafat, seni rupa, dan seni sastra.

Menurut Piaget, manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal-balik yang saling bertentangan tetapi yang sekaligus saling isi-mengisi (Faruk, 1994 : 13). Proses yang dimaksud di atas adalah proses asimilasi dan akomodasi. Manusia memang mempunyai sisi dimana dia selalu berusaha untuk mengasimilasikan lingkungan sekitarnya ke dalam skema pikiran dan tindakannya. Namun, di tengah perkembangannya, manusia juga akan menghadapi kendala-kendala yang menghambat atau dipengaruhi proses asimilasi, sehingga pada akhirnya ia tidak lagi berusaha melakukan asimilasi terhadap lingkungannya melainkan mengakomodasikan dirinya pada struktur lingkungan tersebut. Drama sebagai karya dari manusia tidak akan lepas dari manifestasi fakta-fakta yang terjadi di sekitar pengarang.

2) Subjek Kolektif atau Subjek Transindividual

Subjek dari fakta kemanusiaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu subjek individual dan subjek kolektif. Subjek individual merupakan subjek fakta individual (libidinal), sedangkan subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial

commit to user

besar merupakan fakta sosial (historis) (Faruk, 1994 : 14-15). Fakta-fakta sosial seperti di atas tidak dapat dilakukan atau diciptakan hanya oleh individu dengan dorongan libidonya. Goldmann berpendapat “yang dapat menciptakan fakta-fakta sosial (historis) hanya subjek transindividual, subjek transindividual adalah subjek yang mengatasi individu, yang di dalamnya individu hanya merupakan bagian” (Faruk, 1994 :15). Jadi jelas bahwa subjek kolektif merupakan subjek yang telah mampu mengatasi dirinya dan mampu membawa unsur-unsur sosial dalam dirinya sehingga individu di dalamnya hanya merupakan bagian.

Lebih lanjut Goldmann berpendapat bahwa transindividual menampilkan pikiran-pikiran individu tetapi dengan struktur mental kelompok dan dunia transindividual adalah dunia yang dihuni bersama-sama dengan individu yang lain (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 125). Subjek yang demikian itulah yang akan menjadi subjek dalam karya-karya sastra besar. Subjek kolektif itu dapat berupa kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial, dan sebagainya. Nyoman Kutha Ratna juga berpendapat bahwa dalam strukturalisme genetik subjek transindividual merupakan energi untuk membangun pandangan dunia (2006: 125). Jadi pandangan dunia tersebut nantinya akan lahir dari suatu subjek kolektif atau transindividual bukan dari subjek individual (libidial) .

3) Pandangan Dunia

Nyoman Kutha Ratna mengatakan bahwa pandangan dunia merupakan masalah pokok dalam strukturalisme genetik (2006: 125). Pandangan dunia ini diartikan suatu struktur global yang bermakna, suatu pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap maknanya dengan segala kerumitan dan keutuhannya (Sapardi Djoko Damono, 1979: 44). Pemahaman seorang pengarang terhadap dunia akan tercermin dalam karyanya sebagai kesadaran kolektif.

Pandangan dunia, bagi Goldmann, bukanlah merupakan fakta empiris yang langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial di hadapan suatu kelompok sosial yang lain (Sapardi Djoko Damono, 1979: 44). Menurut visi sosiologi sastra, karya sastra juga terdiri atas isi; seperti ide dan pikiran, pesan dan tujuan, tema dan

commit to user

sastra, yang secara ringkas dalam analisis strukturalisme genetik disebut sebagai pandangan dunia (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 196). Jadi apabila dikaitkan dengan teori yang lain pandangan dunia inilah yang membedakan antara teori strukturalisme genetik dengan teori-teori yang lain dalam wilayah kajian sastra. Menurut Goldmann:

“pandangan dunia merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan- perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain” (Faruk, 1988: 74).

Faruk, dalam hubungannya dengan pandangan dunia berpendapat bahwa pandangan dunia tidak lepas dari proses strukturasi, yaitu konsep aktivitas ketegorial dari pikiran atau perasaan suatu subjek tertentu (1988: 74). Menurut Goldmann (Suwardi Endraswara, 2003:57), karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Senada dengan Suwardi Endraswara, Terry Eagleton juga mengatakan “Goldmann berusaha mengulas struktur sebuah teks sastra dengan tujuan mengetahui sampai sejauh mana teks itu mewujudkan struktur pemikiran (atau “visi dunia”, world vision) dari kelompok atau kelas sosial dari mana pengarang berasal” (2002: 57).

Goldmann juga menjelaskan bahwa pandangan dunia sebagai ekspresi psikis melalui hubungan dialektis kolektivitas tertentu dengan lingkungan sosial dan fisik serta terjadi dalam periode bersejarah yang panjang (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 126). Berangkat dari pendapat Goldmann, Nyoman Kutha Ratna juga berpendapat bahwa konsep-konsep yang mendasari pendangan dunia harus digali melalui dan di dalam kesadaran kelompok yang bersangkutan dengan melibatkan indikator sistem kepercayaan, sejarah intelektual, dan sejarah kebudayaan secara keseluruhan (2006: 126). Jadi pengkajian terhadap pandangan dunia yang mendasari lahirnya suatu karya harus dipahami melalui kesadaran kelompok yang bersangkutan dengan karya tersebut.

commit to user

manifestasi medium dengan struktur formalnya, melainkan juga isi, ide, amanat, dan sejumlah pesan yang lain, sesuai dengan pandangan dunianya masing-masing (2003: 75). Pendapat tersebut jelas memperlihatkan bahwa kreativitas seni tidak hanya dimediasi oleh struktur formal dari karya sastra tersebut namun juga suatu pandangan dunia, isi, ide, amanat, dan sejumlah pesan lainnya, yang dapat dikatakan turut memberi ruh dalam karya sastra tersebut.

Melalui analisis pandangan dunia strukturalisme genetik dianggap mampu memberikan pemahaman yang berbeda sebagaimana kelas-kelas sosial berperan dalam menampilkan sebuah karya sastra (Nyoman Kutha Ratna, 2005: 164). Dalam sebuah karya sastra akan tercermin suatu kelas-kelas sosial yang akan menjadi energi atau ruh dari karya sastra tersebut.

Goldmann percaya bahwa ada homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama (Faruk,1994 : 15). Namun hubungan tersebut tidak sebagai hubungan determinasi langsung namun dimediasi oleh apa yang disebut sebagai pandangan dunia atau ideologi.

Berdasar pada pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikan oleh pengarang karya sastra itu. Lebih lanjut lagi pendekatan ini mempunyai pandangan bahwa pemahaman terhadap suatu karya sastra tidak akan dapat utuh apabila totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja.

Goldmann juga berpendapat bahwa pandangan dunia selalu terbayang dalam karya sastra yang agung, adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi objektif), abstraksi itu akan tercapai bentuknya yang konkret dalam karya sastra (Suwardi Endraswara, 2003: 57). Dalam karya sastra akan terkandung bagaimana pandangan dunia pengarang, walaupun tidak selalu dalam bentuk tersurat.

commit to user

kata dasar human yang berarti manusia. Manusia mendapat posisi sentral, dengan kata lain segala permasalahan yang muncul akan dirujuk pada manusia itu sendiri sebagai penentu suatu nilai. Humanisme berpandangan bahwa individu sebagai sumber terakhir suatu nilai dalam kehidupan. Makna humanisme dalam kamus filsafat yang berarti menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi; menganggap individu sebagai sumber nilai terakhir (Lorens Bagus, 2005: 225). Makna tersebut menerangkan bahwa humanisme itu sendiri merupakan sesuatu pola pikir, yang menempatkan manusia sebagai sumber nilai paling tinggi dan terakhir. Ketika suatu masalah dihadapkan pada sisi humanisme, berarti masalah tersebut akan berhadapan dengan sisi-sisi dari manusia itu sendiri yang merupakan sumber nilai terakhir.

Humanisme menjadi salah satu pilihan dalam memandang suatu persoalan yang muncul di sekitar kehidupan manusia itu sendiri. Manusia mendapatkan tempat posisi sebagai penentu suatu nilai-nilai yang lahir di dalam masyarakatnya. Hubungannya dengan karya sastra, humanisme sering mendasari kelahiran suatu karya. Kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan sisi-sisi kemanusiaan, sering menjadi pemicu lahirnya suatu karya sastra, yang terkandung dalam pandangan dunia pengarang sebagai pencipta karya sastra.

4) Struktur Naskah

Goldmann berpendapat, pertama bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner, kedua bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunianya itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek- objek, dan relasi-relasi secara imajiner (Faruk, 1994: 17). Pendapat tersebut jelas terlihat bahwa karya sastra sebagai produk suatu kreativitas dia tidak bisa lepas dari suatu struktur yang mewadahi kreativitas dan imajinasi serta pandangan dunianya.

Faruk mengatakan bahwa karya sastra merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif, sehingga karya sastra mempunyai sturktur yang koheren dan padu (1994: 18). Struktur tersebut tercipta dari adanya suatu kehidupan yang diciptakan

commit to user

objek di sekitarnya yang turut memperkuat karya sastra tersebut. Objek-objek yang lahir tersebut akan sesuai dengan konvensi unsur-unsur intrinsik yang pada dasarnya sudah dipahami atau dikuasai oleh pengarang. Unsur-unsur intrinsik tersebut seperti alur, latar atau setting, pesan, tema, amanat dan sebagainya sesuai dengan genre karya sastranya.

Faruk menyimpulkan bahwa Goldmann mempunyai konsep struktur tematik, dengan pusat perhatiannya adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya (1994: 17). Struktur tematik mencoba menempatkan tokoh sebagai sentral pemahaman terhadap suatu struktur dalam karya sastra. Pendapat tersebut dapat ditangkap bahwa setiap unsur yang ada dalam suatu struktur karya sastra mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain. Pemilihan tokoh sebagai sentral tersebut dapat berterima mengingat penciptaan suatu tokoh dalam karya sastra pastilah akan diiringi lahirnya tokoh maupun objek lain untuk memperkuat tokoh tersebut.

Penciptaan sebuah karya sastra pastilah akan diikuti dengan lahirnya suatu struktur. Suatu struktur yang diciptakan oleh pengarang tidak lepas dari kemampuan pengarang dalam mentransformasikan apa yang terjadi dalam kehidupan nyata, khususnya yang dialami oleh pengarang, sehingga dapat memanifestasi munculnya imajinasi dan kreativitas. Oleh karena itu, suatu struktur yang ada dalam karya sastra dapat dikaji homologinya dengan struktur sosial yang turut memanifestasi lahirnya suatu karya. Struktur yang tercipta dalam karya sastra jelas tidak akan lepas dari suatu struktur sosial yang dianut atau dipahami pengarang.

Struktur naskah itu sendiri akan sangat berpengaruh pada penceritaan yang dimunculkan. Pada akhirnya akan menentukan bagaimana kondisi strukturnya dalam mendukung penceritaan. Pengukuran kadar baik buruknya atau kuat dan lemahnya suatu struktur naskah akan terlihat dari unsur-unsur yang mendukung di dalamnya. Menurut Aristoteles ada empat hal yang berpengaruh terhadap kualitas suatu struktur penceritaan yaitu keteraturan atau susunan plot yang masuk akal, ruang lingkup yang cukup luas, kesatuan dan keterkaitan plot (A. Teeuw, 1984:

commit to user

dari suatu struktur naratif. Mengenai struktur teks atau karya akan dibahas lebih lengkap dalam pembahasan mengenai drama. Drama sendiri mempunyai suatu konvensi sastranya sendiri yang berbeda dengan konvensi sastra genre yang lain. Unsur- unsur yang terkandung dalam struktur drama seperti tema, plot, amanat, dan sebagainya akan dibahas pada bagian selajutnya.

5) Struktur Sosial

Seperti halnya masyarakat, karya sastra adalah suatu totalitas, setiap karya sastra adalah suatu keutuhan yang hidup, yang dapat dipahami lewat anasirnya (Sapardi Djoko Damono, 1979: 43). Pendapat tersebut mengisyaratkan suatu telaah sastra dengan melibatkan unsur-unsur yang turut membentuk atau melahirkan kasya sastra. Telaah terhadap struktur sosial dimana karya itu lahir, sangat diperlukan untuk lebih memahami karya sastra tersebut.

Soleman B. Taneko berpendapat bahwa struktur sosial adalah jalinan antar unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah atau norma-norma sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial (1993: 47). Senada dengan Soleman B. Taneko, Soerjono Soekanto juga berpendapat bahwa struktur sosial diartikan sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan (1984: 112). Pendapat di atas menjelaskan bahwa struktur sosial mencakup atau terdiri dari unsur-unsur sosial yang saling berkaitan atau berhubungan satu dengan yang lainnya. Hubungan tersebut terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu.

Radcliffe-Brown (Soerjono Soekanto, 1984: 110) menyatakan bahwa, struktur sosial merupakan kenyataan empiris yang ada pada suatu saat tertentu, sedangkan bentuk struktural merupakan suatu abstraksi dari kenyataan yang dilakukan oleh peneliti dan menyangkut jangka waktu tertentu. Struktur yang biasanya diangkat oleh peneliti terhadap suatu struktur sosial suatu masyarakat merupakan suatu struktur pada suatu kurun waktu tertentu. Radcliffe-Brown berpendapat suatu struktur sosial merupakan aspek non-prosesual dari sistem sosial, isinya adalah keadaan statis dari sistem sosial yang bersangkutan dan dia

commit to user

individu-individu pada saat tertentu (Soerjono Soekanto, 1984: 109). Mengenai unsur-unsur struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat, Soleman B Taneko berpendapat ada empat unsur yaitu: a) kelompok-kelompok sosial; b) lembaga-lembaga sosial atau institusi sosial; c) kaidah-kaidah atau norma-norma sosial; d) lapisan-lapisan sosial atau stratifikasi sosial (1993: 47).

a) Kelompok-kelompok Sosial

Kelompok sosial merupakan perwujudan dari pergaulan hidup atau kehidupan bersama (Soleman B. Taneko, 1993: 49). Terbentuknya suatu kelompok-kelompok sosial bermula dari pergaulan yang terjadi antar individu pada suatu waktu dan tempat tertentu. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa suatu kumpulan manusia dapat disebut sebagai kelompok sosial, apabila memenuhi persyaratan tertentu, antara lain:

1) Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa ia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan.

2) Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan yang lainnya dalam kelompok itu.

3) Ada suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat.

4) Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku. Persyaratan di atas, jadi jelas bahwa tidak semua kumpulan manusia merupakan kelompok sosial. Hanya kumpulan-kumpulan manusia yang memenuhi persyaratan di ataslah yang dapat disebut kelompok sosial. Adapun bentuk-bentuk kelompok sosial yaitu keluarga, organisasi di berbagai lapangan kehidupan (ekonomi, politik, kesenian, keagamaan) dan masyarakat-masyarakat setempat (ketetanggaan, desa, kota dan sebagainya) (Soleman B. Taneko, 1993: 51-52). Menurut Freedmann (Soleman B. Taneko, 1993: 52), terdapat lima fila dan sub tipe kelompok, yaitu: (1) primary groups; (2) communities; (3) associations ; (4) society; (5) ephemeral groups.

Konsepsi tentang primary group diletakkan oleh Charles H. Cooley (Soleman B Taneko, 1993: 54). Cooley mengatakan bahwa primary group ini

commit to user

dalam keadaan intim (sekali). Dalam hal ini Cooley mencontohkan “family, the play groups of the children, neighborhood or community ”. Berbeda dengan Cooley, Roucek and Wareen berpandangan bahwa “barangkali keluargalah yang penting dalam aspek ini” (Soleman B. Taneko, 1993: 54). Secara sederhana primary group ini kita sederajatkan atau samakan dengan keluarga.

Mengenai association atau assosiasi, Soleman B. Taneko mengatakan bahwa assosiasi merupakan badan organisatoris yang khusus diadakan oleh manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (1993: 55). Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa assosiasi ini dapat muncul dalam berbagai lapangan kehidupan manusia, dalam usaha untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik. Assosiasi ini lebih cenderung pada formal group atau formal sifatnya karena mempunyai sasaran yang tegas dan susunan yang resmi (Soleman

B. Taneko, 1993: 57). Pada akhirnya semua individu yang ada di dalamnya tersatukan oleh kesamaan sasaran yang terwadahi oleh susunan yang rapi.

Community atau komunitas merupakan suatu kelompok yang dapat dinyatakan sebagai “masyarakat setempat”, suatu kelompok yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu dengan batas-batas tertentu pula, di mana kelompok itu dapat memenuhi kebutuhan hidup dan dilingkupi oleh perasaan kelompok serta interaksi yang lebih besar di antara para anggotanya (Soleman B. Taneko, 1993: 59-60). Mengenai besar kecilnya suatu komunitas akan ditentukan atas dasar wilayah maupun atas dasar kuantitas anggotanya. Koentjaraningrat memberikan suatu kriteria tentang suatu komunitas kecil, yaitu: (1) komunitas kecil adalah kelompok-kelompok di mana warga-warganya masih saling kenal- mengenal dan saling bergaul dalam frekuensi kurang atau berlebihan; (2) karena sifatnya kecil itu juga, maka di antara bagian-bagian dan kelompok-kelompok khusus di dalamnya tidak ada aneka warna yang besar; (3) komunitas kecil adalah pola kelompok di mana manusia dapat menghayati sebagian besar dari lapangan kehidupan secara bulat (Soleman B. Taneko, 1993: 60-61). Kriteria tersebut juga dapat diaplikasikan untuk acuan pada kelompok yang besar karena berlaku pula kebalikannya.

commit to user

Norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat tumbuh di dalam sistem kebudayaan yang dianut oleh masyarakat tersebut. Norma-norma sosial merupakan wujud konkret dari nilai-nilai atau boleh jadi merupakan pedoman yang mana berisikan suatu keharusan, kebolehan, dan suatu larangan (Soleman B. Taneko, 1993: 66). Lebih lanjut dikatakan bahwa norma-norma itu dapat dianggap sebagai suatu konsep yang menyangkut semua keteraturan sosial yang berhubungan dengan evaluasi dari objek-objek, individu-individu, tindakan- tindakan dan gagasan-gagasan. Durkheim juga menyatakan bahwa norma-norma sosial itu adalah sesuatu yang berada di luar individu, membatasi dan mengendalikan tingkah laku mereka (Soleman B. Taneko, 1993: 67). Keberadaan sebuah norma akan mendesak individu yang ada dalam suatu sistem tersebut untuk menjalankan norma-norma yang sudah dibuat. Pada akhirnya norma-norma tersebut akan dijadikan patokan terhadap perilaku-perilaku yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat tersebut.

c) Lembaga-lembaga Sosial