ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN PATI TAHUN 2000-2009

ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN PATI TAHUN 2000-2009 SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh: AHMAD JUNAIDI

F 0104024

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Sesungguhnya Allah SWT tidak merubah keadaan suatau kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” “Untuk mendapatkan hasil yang berbeda diperlukan cara berpikir dan tindakan yang berbeda pula”

Kupersembahkan karya yang sederhana untuk :

Bapak dan Ibuku tercinta yang telah berjuang untuk membesarkanku Mbah Misri nenekku yang sangat memperhatikanku Kakak, adik dan semua keluarga besarku

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puja serta puji syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya, akhirnya skripsi yang berjudul “Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten Pati Tahun 2000-2009 ” dapat diselesaikan untuk memenuhi syarat dalam pencapaian gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini banyak sekali kendala yang penulis hadapi. Namun, seiring dengan berlalunya waktu serta usaha yang tidak kenal lelah, kendala yang muncul bisa teratasi. Tidak lupa penulis menghaturkan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan bantuannya sehingga skripsi ini bisa diselesaikan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati dan ketulusan yang mendalam penulis menghaturkan terima kasih kepada :

1. Bapak Sumardi, SE, selaku pembimbing yang dengan arif dan bijak telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing dan memberikan masukan yang berarti dalam penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Wisnu Untoro, M.S selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi UNS.

3. Drs. Supriyono, M.Si selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta seluruh staff dan karyawan yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan pelayanan kepada penulis.

6. Keluarga yang senantiasa selalu mendoakan, memberi dorongan dan bimbingan kepada penulis.

7. Titik Purwoningsih yang senantiasa menemaniku di saat suka dan duka, sehat maupun sakit.

8. Teman-teman Ekonomi Pembangunan 2004 terutama kloter rerakhir Bram, Puguh, Ridwan, Catur, Danang,

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu baik secara langsung maupun tidak atas bantuannya kepada penulis hingga terselesaikannya penelitian ini.

Penulis menyadari betul bahwa di dalam penulisan ini masih terdapat kekurangan-kekurangan, yang dikarenakan keterbatasan waktu & pikiran. Semoga skripsi ini bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Saran serta kritik akan penulis terima, sebagai bahan evaluasi bagi penulis.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Surakarta, Januari 2012

Penulis

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).........38

Tabel 3.1 Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah.........57

Tabel 3.2 Uji Statistik Durbin-Watson……………………………………....63 Tabel 4.1

Pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati……………………………...74

Tabel 4.2 Pertumbuhan APBD Kabupaten Pati Tahun 2000-2009………….75

Tabel 4.3

Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten Pati Tahun 2000-2009............................................................................76

Tabel 4.4 Ukuran DDF Kabupaten Pati...........................................................78 Tabel 4.5

Derajat Desentralisasi Fiskal 1 Kabupaten Pati...............................78

Tabel 4.6 Derajat Desentralisasi Fiskal 2 Kabupaten Pati …………………..79

Tabel 4.7 Derajat Desentralisasi Fiskal 3 Kabupaten Pati…………………...80

Tabel 4.8 Upaya Fiskal Kabupaten Pati...........................................................82

Tabel 4.9 Posisi Fiskal Kabupaten Pati……………………………………....83

Tabel 4.10 Kebutuhan Fiskal Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Pati……84

Tabel 4.11 Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Pati……..85

Tabel 4.12 Derajat Otonomi Fiskal Kabupaten Pati………………………..…87

Tabel 4.14 Hasil Regresi Linear ……………………………………………..90

Tabel 4.15 Hasil Uji t-Statistik………………………………………………..92

Tabel 4.16 Hasil Pengujian Mulitkolinearitas………………………………...96

Tabel 4.17 Hasil Uji White Test ……………………………………………...99

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran...........................................................48

Gambar 3.1 Daerah Diterima Dan Daerah Tolak Uji t......................................60

Gambar 3.2 Daerah Diterima Dan Daerah Tolak Uji F.....................................62

Gambar 3.3 daerah terjadi atau tidak terjadi Autokorelasi................................64

Gambar 4.1 Perhitungan Durbin-Watson .............................. ............................89

ABSTRAK ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN PENGARUHNYA TERHADA PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN PATI TAHUN 2000-2009

Ahmad Junaidi

F 0104024

Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui tingkat kemandirian daerah Kabupaten Pati terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah jika diukur dengan rasio kemandirian daerah dengan pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 2) Untuk mengetahui apakah Derajat Desentralisasi Fiskal, Upaya Fiskal, Kebutuhan Fiskal Daerah Kabupaten Pati berpengaruh terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati. Sehubungan dengan hal itu diajukan hipotesis 1) Kabupaten Pati diduga belum mandiri secara keuangan dalam membiayai penyelenggaraan Otonomi Daerah bila di ukur dengan Rasio Kemandirian dan pola hubungannya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. 2) Diduga ada pengaruh yang signifikan antara variabel Derajat Desentralisasi Fiskal, Upaya Fiskal, Kebutuhan Fiskal Daerah Kabupaten Pati terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif dan deskriptif. Penelitian ini merupakan studi mengenai Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya fiskal, Derajat Otonomi Fiskal, Posisi Fiskal serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan PDRB Analisis data yang dilakukan dengan Metode Regresi Kuadrat Terkecil/OLS (ordinary least square) dengan bantuan program komputer Eviews4. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan runtut waktu 2000-2009. Data sekunder ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Bappeda Kabupaten Pati serta instansi-instansi yang terkait dalam penelitian ini.

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari perhitungan t dan F hitung dapat diketahui bahwa variabel Derajat Desentralisasi Fiskal berpengaruh positif tidak signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan PDRB di Kabupaten Pati. Variabel Upaya Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan PDRB di Kabupaten Pati. Secara bersama-sama variabel independen (derajat desentralisasi fiskal, upaya fiskal, kebutuhan fiskal, dan upaya fiskal) berpengaruh signifikan secara statistik terhadap variabel dependen (pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati)

Berdasarkan hasil kesimpulan diajukan beberapa saran yaitu : 1)Mengoptimalkan potensi daerah yang ada untuk meningkatkan PAD, 2)Menyusun program kebijakan dan strategi pengembangan serta menggali objek pungutan pajak baru yang potensial, 3) Mengoptimalkan pemungutan pajak dan retribusi sesuai dengan potensi objektif berdasarkan Perda yang berlaku, 4)Mengadakan studi banding ke daerah lain untuk mendapatkan informasi dan bahan referensi mengenai sumber-sumber PAD dan pengelolaannya.

Kata Kunci: Kemandirian Keuangan Daerah, Pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem desentralisasi, ternyata telah dikenal sejak pemerintahan orde baru, dengan dilaksanakannya UU No. 5 tahun 1974. Pokok- pokok yang terkandung dalam Undang- undang ini antara lain berisi tiga prinsip (Mudrajat Kuncoro, 2004) Pertama, desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua, dekonsentrasi yang berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat - pejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan yang berarti pengkondisian prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah yang memiliki fungsi sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah.

Walaupun diakui konsep desentralisasi tersirat dalam isi UU No 5 tahun 1974 namun pada kenyataannya implementasinya sangat jauh dari konsep. Sentralisasi (kontrol dari pusat) terutama ketergantungan jelas terlihat dari aspek keuangan, dimana pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak untuk mengambil keputusan-keputusan penting. Sistem pemerintahan sentralistik ini, ternyata menyebabkan meningkatnya beban anggaran pusat padahal pada saat ini pemerintah pusat semakin kesulitan mengusahakan biaya pembangunan. Pemerintahan yang sentralistik ini mengakibatkan adanya ketimpangan pendapatan dan pengelolaan keuangan antara pusat dan daerah. Sumber daya yang Walaupun diakui konsep desentralisasi tersirat dalam isi UU No 5 tahun 1974 namun pada kenyataannya implementasinya sangat jauh dari konsep. Sentralisasi (kontrol dari pusat) terutama ketergantungan jelas terlihat dari aspek keuangan, dimana pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak untuk mengambil keputusan-keputusan penting. Sistem pemerintahan sentralistik ini, ternyata menyebabkan meningkatnya beban anggaran pusat padahal pada saat ini pemerintah pusat semakin kesulitan mengusahakan biaya pembangunan. Pemerintahan yang sentralistik ini mengakibatkan adanya ketimpangan pendapatan dan pengelolaan keuangan antara pusat dan daerah. Sumber daya yang

Model pemerintahan top down ini berimplikasi pada tumpang tindih antara rencana dan realisasi di lapangan serta kreativitas pemerintah daerah beserta aparatnya terbatas, hanya bergantung pada pemerintah pusat oleh karena itu lahirlah UU No. 22 dan UU No.25 tahun 1999 antara lain merupakan perwujudan dari pergeseran sistem pemerintahan sentralistik (top down) menuju sistem desentralisasi (bottom up). Dengan adanya UU No. 22 tahun 1999, tentang pemerintahan daerah kepala daerah diberi wewenang yang luas untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat daerahnya sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (UU No. 22 th. 1999 pasal 1, huruf h). Pemberian wewenang yang luas tidak berarti apabila tidak dibarengi dengan pemberian wewenang atas pengelolaan keuangan yang memadai (UU No. 22 Th. 1999, pasal

8 ayat 1 dan 2) Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaran otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan sosial.

Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada pasal 1 ayat 5, “Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

perundang- undangan.”. Berkaitan dengan hal itu peranan pemerintah daerah sangat menentukan berhasilnya pembangunan di daerah, dengan pemilihan strategi perencanaan yang tepat, maka tidak mustahil peran itu akan tercapai. Efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah adalah refleksi dari seberapa besar kewenangan dimiliki dalam menetapkan kebijakan pada tingkat lokal. Apabila keleluasaan dalam menetapkan kebijakann penataan, kelembagaan personal dan sumber - sumber keuangan maka peranan pemerintah daerah akan kuat dan efektif. Keleluasaan tersebut dapat juga berupa kewenangan untuk merumuskan kebutuhan- kebutuhan masyarakat di daerah sekaligus prioritas-prioitas apa yang diperlukan bagi daerah. Namun proses pemindahan otoritas kewenangan itu menjadi sia-sia jika pemerintah daerah tidak didukung secara maksimal baik dari segi sarana atau prasarana. Salah satu permasalahan yang dihadapi kabupaten dalam pelaksanaan otonomi adalah seberapa siap daerah membiayai kepentingannya secara mandiri, seperti yang kita ketahui tujuan dari adanya desentralisasi ini adalah mencapai sasaran pembangunan (Mudrajat Kuncoro, 2004) seperti:

1. Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah.

2. Meningkatkan pendapatan per kapita.

3. Mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Di sisi lain, saat ini kemampuan keuangan beberapa pemerintah daerah masih sangat tergantung pada penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat. Sebenarnya, peranan pemerintah daerah mengelola keuangan daerah sangatlah menentukan berhasil atau tidaknya pemerintah dalam mengelola 3. Mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Di sisi lain, saat ini kemampuan keuangan beberapa pemerintah daerah masih sangat tergantung pada penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat. Sebenarnya, peranan pemerintah daerah mengelola keuangan daerah sangatlah menentukan berhasil atau tidaknya pemerintah dalam mengelola

Dari paparan diatas tampak jelas bahwa faktor kemampuan mengelola keuangan daerah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah. Maka diharapkan kemampuan mengelola keuangan daerah dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah. Kabupaten Pati sebagai bagian integral dari pemerintahan pusat yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Propinsi Jawa Tengah serta didasarkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh, berusaha menyelaraskan diri dengan cita-cita otonomi daerah. maka ditulislah penelitian yang merupakan suatu analisis mengenai pengelolaan kemandirian keuangan daerah dan pengaruhnya terhadap perekonomian (pertumbuhan PDRB) di Kabupaten Pati tahun 2000- 2009. Tentunya banyak segi atau aspek keuangan daerah yang dapat diteliti sehingga dapat diketahui seberapa tingkat kemandirian daerah di Kabupaten Pati itu sendiri. Dalam hal ini, Peneliti memfokuskan pada analisis deskriptif melalui pertumbuhan PAD dan pertumbuhan ekonomi di kabupaten Pati dan juga

Posisi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang seperti telah diutarakan di atas, permasalahan penelitian yang diajukan pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana tingkat kemandirian daerah Kabupaten Pati terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah jika diukur dengan rasio kemandirian daerah dengan pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah?

2. Apakah Derajat Desentralisasi Fiskal, Upaya Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal Daerah Kabupaten Pati berpengaruh terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan penelitian, maka tujuan studi yang ingin dicapai adalah:

1. Mengetahui tingkat kemandirian daerah Kabupaten Pati terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah jika diukur dengan rasio kemandirian daerah dengan pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

2. Untuk mengetahui apakah Derajat Desentralisasi Fiskal, Upaya Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal Daerah Kabupaten Pati berpengaruh terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Dapat dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Pati dalam memaksimalkan potensi daerah sehingga kemandirian daerah otonom dapat tercapai.

2. Memberikan informasi dan bahan referensi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam membahas dan memperdalam masalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

3. Menjadi referensi dan bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah

1. Konsep dan Pengertian

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut) (Lincolin Arsyad, 1999:108). Sedangkan pertumbuhan ekonomi daerah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di daerah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di daerah tersebut (Tarigan, 2004:44).

Pembangunan ekonomi daerah adalah proses. Yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri- industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru.

Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif

Dari definisi diatas jelas bahwa pembangunan ekonomi mempunyai pengertian :

a. Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus-menerus

b. Usaha untuk menaikkan pendapatan perkapita dan,

c. Kenaikan pendapataan perkapita itu harus berlangsung dalam jangka panjang.

d. Perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang (misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya).

2. Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah

Pada hakekatnya teori tentang pertumbuhan dan pembangunan daerah berkisar pada dua hal, yaitu pembahasan yang berkisar tentang metode dalam menganalisis perekonomian suatu daerah dan teori-teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Teori-teori yang mendukung pertumbuhan dan pembangunan daerah diantaranya adalah sebagai berikut.

a. Teori Ekonomi Neo Klasik Teori ini memberikan dua konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu keseimbangan dan mobilitas faktor produksi. Artinya sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiahnya a. Teori Ekonomi Neo Klasik Teori ini memberikan dua konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu keseimbangan dan mobilitas faktor produksi. Artinya sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiahnya

b. Teori Basis Ekonomi Teori ini menyatakan bahwa faktor penentu utama bagi pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah hubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah.

c. Teori Lokasi Para ekonom regional sering mengatakan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi petumbuhan daerah yaitu : lokasi, lokasi dan lokasi. Pernyataan tersebut sangat masuk akal jika dikaitkan dengan pengembangan kawasan industri, perusahaan cenderung untuk meminimumkan biayanya dengan cara memilih lokasi yang memaksimumkan peluangnya untuk mendekati pasar.

d. Teori tempat sentral Teori tempat sentral (central Place theory) menganggap bahwa ada hierarki tempat, setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumber daya (industri dan bahan baku), tempat sentral tersebut merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasajasa bagi penduduk yang mendukungnya. (Lincolin Arsyad, 1999:117).

e. Teori Kausasi kumulatif Kondisi daerah-daerah sekitar kota yang semakin buruk menunjukkan konsep dasar dari tesis kausasi kumulatif (cumulative e. Teori Kausasi kumulatif Kondisi daerah-daerah sekitar kota yang semakin buruk menunjukkan konsep dasar dari tesis kausasi kumulatif (cumulative

f. Model Daya Tarik (attraction) Teori daya tarik industri adalah model pembangunan ekonomi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Teori ekonomi yang mendasarinya adalah bahwa suatu masyarakat dapat memperbaiki posisi pasarnya terhadap industrialiasi melalui pemberian subsidi dan insentif.

g. Teori Harrod-Domar dalam Sistem Regional Teori ini menyatakan agar suatu daerah tumbuh cepat, dikehendaki tingkat tabungan tinggi, impor tinggi, ekspor kecil, serta Capital Output Ratio (COR) kecil. Pertumbuhanyang mantap tergantung pada apakah arus modal dan tenaga kerja interregional bersifat menyeimbang atau tidak.

Teori Harrod-Domar sangat perlu diperhatikan bagi wilayah yang masih terbelakang atau hubungan keluarnya sangat sulit. Hasil produksi kurang layak untuk diekspor karena biaya angkut tinggi, maka peningkatan produksi mengakibatkan produk tidak terserap oleh pasar lokal sehingga merugikan konsumen. Oleh karena itu, lebih baik mengatur pertumbuhan berbagai sektor secara seimbang. dengan demikian pertambahan produksi di satu sektor dapat diserap oleh sektor lain yang tumbuh secara seimbang (Tarigan, 2004:49-50).

3. Pembangunan Daerah

Pada dasarnya Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan merupakan penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan permasalahan pembangunan di daerah. Pembangunan daerah dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional serta untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan daerah bagi masyarakat secara adil dan merata.

Pembangunan daerah dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama, dari segi pembangunan sektoral. Pencapaian sasaran pembangunan nasional dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan sektoral yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral di daerah disesuaikan dengan kondisi dan potensinya. Kedua, dari segi pembangunan wilayah yang meliputi perkotaan dan pedesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi dari wilayah tersebut. Ketiga, pembangunan daerah dilihat dari segi pemerintahannya. Agar tujuan dan usaha pembangunan daerah dapat berhasil dengan baik maka pemerintah daerah perlu berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pembangunan daerah harus dilaksanakan dalam rangka makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggungjawab.

Secara umum pembangunan daerah mempunyai tujuan (Todaro, 2000 : 22-24) :

a. Menciptakan stabilitas perekonomian, yang ditempuh dengan cara menciptakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan bagi pengembangan a. Menciptakan stabilitas perekonomian, yang ditempuh dengan cara menciptakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan bagi pengembangan

b. Mendorong terciptanya lapangan pekerjaan yang berkualitas pada masyarakat, yaitu dengan mengupayakan peningkatan sumber daya manusia yang lebih berkualitas, sehingga akan mampu berperan dalam aktifitas yang lebih produktif.

c. Meningkatkan standar hidup masyarakat, dimana tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi panambahan penyediaan lapangan pekerjaan, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan kualitas kultural, yang semuanya itu akan memperbaiki kesejahteraan materiil maupun non materiil.

d. Mendorong terciptanya diversifikasi ekonomi yang lebih luas, yang diharapkan dapat memperkecil resiko fluktuasi bisnis, di mana dengan adanya basis ekonomi yang kuat maka resiko fluktuasi ekonomi regional/wilayah dapat diperkecil.

e. Meningkatkan ketersediaan dan perluasan distribusi berbagai bahan kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan.

f. Perluasan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial bagi setiap individu serta daerah secara keseluruhan yakni dengan membebaskan mereka dari sikap ketergantungan, yang bukan saja pada orang atau daerah lain, melainkan juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

4. Peran Pemerintah Dalam Pembangunan Daerah

Ada 4 (empat) peran yang dapat diambil oleh pemerintah daerah dalam proses pembangunan ekonomi daerah yaitu sebagai entrepreneur, koordinator, fasilitator, dan stimulator bagi lahirnya inisiatif-inisiatif pembangunan daerahnya (Lincolin Arsyad, 1999: 120)

a. Entrepreneur Dengan perannya sebagai entrepreneur, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menjalankan usaha bisnis. Pemerintah daerah bisa mengembangkan suatu usaha sendiri (BUMD). Aset-aset daerah harus dapat dikelola dengan baik sehingga secara ekonomis menguntungkan.

b. Koordinator Pemerintah daerah bertindak sebagai koordinator untuk menetapkan kebijakan atau mengusulkan strategi-strategi bagi pembangunan di daerahnya. Perluasan dari peranan ini dalam pembangunan ekonomi bisa melibatkan kelompok-kelompok dalam masyarakat dalam proses pengumpulan dan pengevaluasian informasi ekonomi, misalnya tingkat kesempatan kerja , angkatan kerja, pengangguran dan sebagainya. Dalam perannya ini, pemerintah daerah bisa juga melibatkan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dunia usaha, dan masyarakat dalam penyusunan sasaran-sasaran ekonomi, rencana- rencana, dan strategi-strategi.

Pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan melalui perbaikan linkungan attitudinal (perilaku atau budaya masyarakat) di daerahnya. Hal ini akan mempercepat proses pembangunan dan prosedur perencanaan serta pengaturan penetapan daerah (zoning) yang lebih baik.

d. Stimulator Pemerintah daerah dapat menstimulasi penciptaan dan pengembangan usaha melalui tindakan-tindakan khusus yang akan mempengaruhi perusahaan-perusahaan untuk masuk ke daerah tersebut dan menjaga agar perusahaan-perusahaan yang telah ada tetap berada di daerah tersebut. Stimulasi ini dapat dilakukan dengan cara antara lain: pembuatan brosur-brosur, pembangunan kawasan industri, pembuatan outlets untuk industri-industri kecil, membantu idustri-industri kecil melakukan pemerataan (Lincolin Arsyad, 1999: 121).

B. Otonomi Daerah

1. Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi berasal dari bahasa Yunani, Autos yang berarti sendiri dan Nomos yang berarti aturan. Beberapa penulis mengartikan otonomi sebagai zelfwetgeving atau pengundangan sendiri, mengatur atau memerintah sendiri atau pemerintahaan sendiri.

Di dalam negara kesatuan yang menganut Asas Desentralisasi, dikenal adanya struktur Pemerintah Pusat (central government) dan daerah- daerah yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dengan kata lain bahwa daerah-daerah tersebut memiliki hak dan kewajiban, wewenang dan Di dalam negara kesatuan yang menganut Asas Desentralisasi, dikenal adanya struktur Pemerintah Pusat (central government) dan daerah- daerah yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dengan kata lain bahwa daerah-daerah tersebut memiliki hak dan kewajiban, wewenang dan

2. Landasan Hukum Otonomi Daerah

Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, telah dikeluarkan berbagai aturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan di daerah, antara lain:

1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, hanya mengatur pelaksanaan asas desentralisasi.

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang berdasarkan Undang-undang Sementara Republik Indonesia.

3. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 berisi tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, yang bertujuan melancarkan pembangunan dan stabilitas politik serta kesatuan bangsa dan mengatur hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

6. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang diperbaharui dengan Undang- Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Sejalan dengan perlunya dilakukan reformasi di sektor publik, saat ini telah dikeluarkan juga Peraturan Pemerintah untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, antara lain:

1. Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

2. Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

3. Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban

Keuangan

Daerah

dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

4. Peraturan Pemerintah No. 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.

Pertanggungjawaban Kepala Daerah.

6. Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

7. Peraturan Pemerintah No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

8. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.

9. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

3. Maksud dan Tujuan Otonomi Daerah

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanerakagaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasar pencapaian tujuan di atas, maka Pemerintah Daerah mengacu pada prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 32 Tahun Berdasar pencapaian tujuan di atas, maka Pemerintah Daerah mengacu pada prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 32 Tahun

Sejalan dengan prinsip di atas dilaksankan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraanya harus benar-benar sejalan dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Ada dua alasan yang mendasari pemberian otonomi luas dan desentralisasi (Mardiasmo, 2002: 66) yaitu:

a. Intervensi Pemerintah Pusat pada masa lalu yang terlalu besar telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas Pemerintah a. Intervensi Pemerintah Pusat pada masa lalu yang terlalu besar telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas Pemerintah

b. Tuntutan ekonomi muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan di masa mendatang.

Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal, yaitu (Mardiasmo, 2002: 59):

a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

b. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.

c. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Otonomi daerah dengan menggunakan Asas Desentralisasi membawa berbagai kebaikan bagi Negara kita, antara lain (Josef Riwu Kaho dalam Sumadi Agus Prayitno, 2005: 31):

a. Mengurangi menumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.

b. Dalam menghadapi masalah yang mendesak, membutuhkan tindakan yang cepat, di mana daerah tidak perlu menunggu lagi instruksi dari pusat.

c. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksankan.

pengkhususan bagi kepentingan tertentu.

e. Mengurangi kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat.

4. Titik Berat Otonomi Daerah

Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (UU No. 32 Tahun 2004, Bab 1, Pasal 1).

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa titik berat Otonomi Daerah diletakan pada Daerah Kabupaten, sedangkan penjelasannya dikatakan bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat maka titik berat pelaksanaan Otonomi Daerah diletakan pada Daerah kabupaten dengan memandang pentingnya Daerah Kabupaten yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan lebih dapat mengetahui dan memahami aspirasi masyarakat.

Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan menitikberatkan pada Daerah Kabupaten adalah merupakan suatu kebijakan yang harus didukung,

Daerah. Namun hal lain yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah yang menitikberatkan pada Daerah Kabupaten adalah apakah kebijakan ini sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Beberapa pertimbangan yang mendasari penetapan daerah Kabupaten dan Kota sebagai titik berat pelaksanaan Otonomi Daerah adalah (Mudrajad Kuncoro, 1995: 4):

a. Dari dimensi politik, daerah Kabupaten dan Kota kurang memilki fanatisme kedaerahan sehingga resiko separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi masyarakat federasi secara relatif dapat di minimalisasi.

b. Dari dimensi administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan

pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif.

c. Daerah kabupaten dan Kota merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah Kabupaten dan Kota yang lebih mengetahui potensi rakyat di daerahnya.

Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah Kabupaten atau Kota mempunyai beberapa tujuan, yaitu:

a. Untuk memungkinkan Daerah mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah secara kreatif akan membina dan mengembangkan kemampuan organisasi, aparatur dan sumber-sumber keuangannya secara optimal.

pemerintahan, dalam rangka pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan, melalui perluasan jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan publik.

c. Untuk menumbuhkan kemandirian daerah, Pemerintah Daerah dan masyarakat perlu membangun usaha bersama yang mampu memberikan daya saing bagi Daerah dalam pertumbuhannya yang secara nyata berjalan bersama-sama dengan daerah-daerah lain.

d. Untuk dapat mengembangkan mekanisme demokrasi di tingkat Daerah, dengan menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

e. Untuk mendukung pengembangan perekonomian daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki dan perluasan kewenangan birokrasi lokal.

5. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai ketentuan yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2004 dalam penjelasannya mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan menjelaskan bahwa Penyelenggaraan Desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Daerah Otonom. Pembagian urusan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya atau tetap menjadi kewenangan pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Urusan pemerintahan yang dimaksud diantaranya: Penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai ketentuan yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2004 dalam penjelasannya mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan menjelaskan bahwa Penyelenggaraan Desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Daerah Otonom. Pembagian urusan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya atau tetap menjadi kewenangan pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Urusan pemerintahan yang dimaksud diantaranya:

d. Yustisi dan Agama.

e. Urusan tertentu pemerintah yang berskala nasional yang tidak diserahkan kepada daerah. Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dengan daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent selalu ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada yang diserahkan kepada Kabupaten atau Kota.

Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proposional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten/Kota maka disusunlah tiga kriteria dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan yang meliputi (Baban Sobandi et. al, 2006: 104-105):

a. Kriteria Eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak /akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan Kabupaten/Kota. Apabila dampaknya regional maka menjadi kewenangan Provinsi, dan apabila dampaknya nasional maka menjadi kewenangan Pemerintah.

pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani suatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

c. Kriteria Efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, daya, peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila dilaksanakan oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Begitu juga sebaliknya. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar- kecilnya resiko yang harus dihadapi.

Dalam menyelenggarakan otonomi, Daerah mempunyai hak sebagai berikut (UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 21):

a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya

b. Memilih pimpinan daerah b. Memilih pimpinan daerah

e. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah

f. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah

g. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah

h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang- undangan. Selain itu Daerah juga mempunyai kewajiban dalam menyelenggarakan otonomi, yaitu (UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 22):

a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI

b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat

c. Mengembangkan kehidupan demokrasi

d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan

e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan

f. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan sosial

g. Mengembangkan sistem jaminan sosial

h. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah

i. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah j. Mengelola administrasi kependudukan k. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai

dengan kewenangannya.

C. Keuangan Daerah

1. Dimensi Keuangan Daerah

Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Bab 1, Pasal 1, Ayat (5) PP No. 58 Tahun 2005). Selanjutnya pada ayat (7) disebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah.

Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilakukan secara proposional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah.

Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama di dalam menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan, yaitu (Penjelasan Umum UU No. 33 Tahun 2004): Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama di dalam menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan, yaitu (Penjelasan Umum UU No. 33 Tahun 2004):

b. Fungsi Stabilisasi, dimaksudkan bahwa melalui pengelolaan anggaran (APBD), Pemerintah Daerah dapat menciptakan tingkat kesempatan kerja yang memadai, kestabilan tingkat harga, serta pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi.

c. Fungsi Alokasi, berkaitan dengan upaya pemerintah di dalam menyediakan dana bagi kebutuhan masyarakat luas yang tidak mungkin disediakan oleh pihak swasta. Dengan kata lain fungsi alokasi merupakan wujud intervensi pemerintah terhadap kebijakan yang tidak diminati oleh sektor swasta agar terjadi alokasi anggaran yang merata melalui penyediaan barang-barang dan jasa-jasa publik.

Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional secar adil. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat tersebut harus dilakukan berdasarkan prinsip transparasi, partisipasi dan akuntabilitas.

mengelola daerahnya, adalah dilihat dari kemampuan daerah dalam mengelola keuangannya. Hal tersebut dikarenakan faktor keuangan merupakan hal terpenting untuk mengukur kemampuan daerah dalam rangka melaksanakan otonomi. Agar daerah mempunyai pendapatan yang mencukupi, maka daerah diharuskan untuk menggali potensi-potensi daerah secara optimal, sehingga dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan daerah tersebut.

2. Asas Umum Keuangan Daerah

Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Pasal 4, prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah meliputi:

a. Efisien merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu;

b. Ekonomis merupakan perolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah;

c. Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil;

d. Transparan merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas- luasnya tentang keuangan daerah;

e. Bertanggung jawab merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau satuan kerja untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan e. Bertanggung jawab merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau satuan kerja untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan

f. Tertib adalah tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti- bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan;

g. Taat pada peraturan perundang-undangan adalah berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;

h. Keadilan adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya;

i. Kepatuhan adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proposional; j. Manfaat adalah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Selain itu prinsip-prinsip manajemen keuangan daerah harus meliputi (Mardiasmo; 2002: 173 ):

a. Akuntabilitas yang merupakan prinsip pertanggungjawaban publik, yang berarti proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat secara umum. Hal ini berarti perumusan kebijakan beserta cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dengan baik.

b. Konsep Nilai Uang yang merupakan penerapan dari tiga prinsip dalam proses penganggaran, yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Prinsip ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu dengan harga yang paling minimum. Prinsip efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat tersebut b. Konsep Nilai Uang yang merupakan penerapan dari tiga prinsip dalam proses penganggaran, yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Prinsip ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu dengan harga yang paling minimum. Prinsip efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat tersebut

c. Transparasi yang merupakan keterbukaan pemerintah dalam memuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat secara umum. Transparasi pengelolaan keuangan daerah akan mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.

d. Pengendalian yang di mana dilakukan untuk memonitor penerimaan dan pengeluaran daerah, yaitu dengan cara membandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai (target-realisasi). Agar daerah dapat mengetahui dan mengoptimalkan potensi dan keunggulan yang dimilikinya.