Hama dan Penyakit Tanaman

3. Pengendalian

Sifat jamur ini tular udara membuat pengendalian secara individu kurang efektif, karena sumber inokulum (penular) dapat berasal dari tanaman jahe ada di tempat lain. Di lapang secara sepintas jahe merah relatif toleran terhadap serangan patogen penyebab bercak daun baik dari jenis Phyllosticta maupun Pyricularia, tetapi sampai saat ini belum ada varietas jahe yang tahan terhadap bercak daun.

a. Kultur teknis

Tindakan kultur teknis tetap dianjurkan untuk menekan sumber inokulum yang berasal dari salah satu lahan, antara lain: sanitasi dengan membuang sisa-sisa tanaman yang telah terserang, melakukan pemupukan yang benar untuk meningkatkan ketahanan dan mengurangi dampak kerusakan, serta mengatur kelembaban dengan jarak tanam atau mengurangi naungan apabila ada. Tindakan pengolahan tanah Tindakan kultur teknis tetap dianjurkan untuk menekan sumber inokulum yang berasal dari salah satu lahan, antara lain: sanitasi dengan membuang sisa-sisa tanaman yang telah terserang, melakukan pemupukan yang benar untuk meningkatkan ketahanan dan mengurangi dampak kerusakan, serta mengatur kelembaban dengan jarak tanam atau mengurangi naungan apabila ada. Tindakan pengolahan tanah

b. Fungisida

Fungsida bersifat kontak serta fungisida dengan bahan aktif minyak cengkeh dan serai dapur juga efektif saat diuji di laboratorium (Wahyuno et al. 2009). Di lapang, waktu aplikasi dan kemampuan fungisida bertahan pada permukaan daun menjadi krusial dalam keberhasilan pengendalian bercak daun khususnya di daerah dengan curah hujan tinggi. Di beberapa daerah, petani banyak tidak melakukan aplikasi fungsida secara teratur karena mahalnya harga fungisida. Pengetahuan fisiologi tanaman khususnya saat terjadinya pengisian rimpang dan waktu aplikasi sedang dalam tahap evaluasi. Tanaman jahe di bawah usia kurang dari lima bulan merupakan periode yang peka terhadap serangan bercak daun. Di waktu mendatang aplikasi fungsida selain memperhatikan dosis dan interval, juga perlu memperhatikan fisiologi tanaman.

c. Pengendalian Terpadu

Pengendalian terpadu dalam budidaya jahe masih dalam tahap konsep, karena beberapa komponen pengendaliannya masih dalam tahap pengembangan. Hasil skrining yang dilakukan di rumah kaca, sampai saat ini masih belum ada aksesi jahe yang tahan terhadap bercak daun Pyricularia; di lapang tidak ditemukan aksesi jahe yang tahan 100%

terhadap serangan bercak daun. Pemupukan berimbang disertai dengan pemberian K dan Mg yang tinggi juga belum memberi pengaruh yang nyata saat uji dilakukan di lapang. Meskipun pemberian pupuk dengan kadar silikat yang tinggi dilaporkan dapat mengurangi kehilangan hasil pada padi akibat serangan Pyricularia (Rodrigues et al. 2004). Aplikasi fungisida dengan bahan aktif mancozeb mampu menekan kerusakan bercak daun. Pengendalian terpadu yang dapat dianjurkan untuk menekan serangan bercak daun adalah melakukan penanganan dan seleksi benih, melakukan pengolahan tanah untuk membenamkan sisa-sisa daun jahe terserang, mengatur jarak tanam, pemupukan sesuai SOP, sanitasi apabila ada tanaman terserang, monitoring secara rutin dan aplikasi fungisida apabila diperlukan. Greer dan Webster (2001) menganggap tiga komponen penting dalam pengelolaan blast pada padi di California agar berhasil, yaitu a) adanya varietas tahan, b) aplikasi fungisida yang tepat waktu dan c) penanganan sisa-sisa tanaman yang terserang Pyricularia. Long et al. (2001) juga telah membuktikan infestasi biji padi yang telah terinfeksi Pyricularia pada lahan perlakuan dapat meningkatkan jumlah daun yang terserang dan selanjutnya mendukung terjadinya perkembangan epidemi Pyricularia pada lahan tersebut. Tanaman yang lemah, kondisi yang lembab dengan suhu tinggi merupakan kondisi yang ideal bagi Pyricularia untuk bersporulasi, untuk kemudian terbawa angin dan menjadi sumber inokulum bagi terhadap serangan bercak daun. Pemupukan berimbang disertai dengan pemberian K dan Mg yang tinggi juga belum memberi pengaruh yang nyata saat uji dilakukan di lapang. Meskipun pemberian pupuk dengan kadar silikat yang tinggi dilaporkan dapat mengurangi kehilangan hasil pada padi akibat serangan Pyricularia (Rodrigues et al. 2004). Aplikasi fungisida dengan bahan aktif mancozeb mampu menekan kerusakan bercak daun. Pengendalian terpadu yang dapat dianjurkan untuk menekan serangan bercak daun adalah melakukan penanganan dan seleksi benih, melakukan pengolahan tanah untuk membenamkan sisa-sisa daun jahe terserang, mengatur jarak tanam, pemupukan sesuai SOP, sanitasi apabila ada tanaman terserang, monitoring secara rutin dan aplikasi fungisida apabila diperlukan. Greer dan Webster (2001) menganggap tiga komponen penting dalam pengelolaan blast pada padi di California agar berhasil, yaitu a) adanya varietas tahan, b) aplikasi fungisida yang tepat waktu dan c) penanganan sisa-sisa tanaman yang terserang Pyricularia. Long et al. (2001) juga telah membuktikan infestasi biji padi yang telah terinfeksi Pyricularia pada lahan perlakuan dapat meningkatkan jumlah daun yang terserang dan selanjutnya mendukung terjadinya perkembangan epidemi Pyricularia pada lahan tersebut. Tanaman yang lemah, kondisi yang lembab dengan suhu tinggi merupakan kondisi yang ideal bagi Pyricularia untuk bersporulasi, untuk kemudian terbawa angin dan menjadi sumber inokulum bagi

2.2.5. Hama dan Penyakit Pada Tanaman Nilam

2.2.5.1. Budog

Penyakit budok dilaporkan pertama kali berdasarkan tanaman nilam yang terdapat di Aceh, demikian juga dengan istilah budok yang berarti kudis menurut bahasa lokal setempat. Pada awalnya, organisme penyebab penyakit ini diduga dari kelompok virus karena gejala yang nampak mirip dengan tanaman yang terserang virus, yaitu tanaman tumbuh kerdil, daun kecil atau keriting. Gejala roset dapat dijumpai pada tanaman yang telah terinfeksi pada stadia lebih lanjut.

1. Organisme Penyebab

Hasil pengamatan contoh tanaman sakit yang diperoleh dari berbagai tanaman nilam yang dilaporkan terserang budok, struktur bertahan cendawan Synchytrium berbentuk spora bulat, besar dan berdinding tebal konsisten ditemukan permukaan dalam kutil yang terbentuk pada batang maupun daun dari semua contoh tanaman nilam sakit yang diamati (Wahyuno et al. 2007). Hasil pengujian menggunakan penularan buatan memperkuat asumsi di atas, bahwa cendawan Synchytrium merupakan organisme penyebab penyakit budok pada tanaman nilam di Indonesia (Wahyuno dan Sukamto 2010). Synchytrium merupakan kelompok cendawan yang bersifat obligat parasit, yang hanya dapat tumbuh pada jaringan tanaman yang hidup. Tetapi struktur bertahan yang dimiliki Hasil pengamatan contoh tanaman sakit yang diperoleh dari berbagai tanaman nilam yang dilaporkan terserang budok, struktur bertahan cendawan Synchytrium berbentuk spora bulat, besar dan berdinding tebal konsisten ditemukan permukaan dalam kutil yang terbentuk pada batang maupun daun dari semua contoh tanaman nilam sakit yang diamati (Wahyuno et al. 2007). Hasil pengujian menggunakan penularan buatan memperkuat asumsi di atas, bahwa cendawan Synchytrium merupakan organisme penyebab penyakit budok pada tanaman nilam di Indonesia (Wahyuno dan Sukamto 2010). Synchytrium merupakan kelompok cendawan yang bersifat obligat parasit, yang hanya dapat tumbuh pada jaringan tanaman yang hidup. Tetapi struktur bertahan yang dimiliki

2. Gejala

Gejala khas dari penyakit budok adalah adanya kutil berupa benjolan berwarna putih yang banyak terbentuk di permukaan batang atau daun, khususnya yang ada di dekat permukaan tanah. Pada stadia awal, kutil terlihat berwarna putih, dan pada stadia lanjut struktur bertahan S. pogostemonis berupa spora yang sebenarnya merupakan prosorus berwarna kuning terlihat ada di dalam kutil. Jumlah spora istirahat yang terbentuk bervariasi antara 1 - 11 tergantung pada besar ukuran kutil yang terjadi.

Serangan S. pogostemonis dapat terjadi pada semua bagian tanaman yang masih muda, kecuali akar tanaman. Tanaman yang terserang pada awalnya tidak menunjukkan gejala perubahan yang jelas, tetapi seiring dengan waktu daun maupun tunas-tunas baru yang terbentuk pada tanaman yang telah terinfeksi berukuran lebih kecil, tebal dan ruasnya pendek sehingga tanaman terlihat kerdil atau menampakkan gejala roset. Gejala tersebut menyebabkan adanya asumsi di awal pelaporan bahwa penyakit budok disebabkan oleh virus (Sitepu dan Asman 1991; Mustika dan Asman 2004).

Kutil yang ditimbulkan oleh S. pogostemonis memerlukan waktu lebih kurang 1 bulan untuk dapat terlihat dipermukaan batang muda yang ada di dekat permukaan tanah dan telah dibuktikan melalui penularan buatan (Wahyuno dan Sukamto 2010). Nekrosa atau kematian jaringan tidak terbentuk di bagian kutil Kutil yang ditimbulkan oleh S. pogostemonis memerlukan waktu lebih kurang 1 bulan untuk dapat terlihat dipermukaan batang muda yang ada di dekat permukaan tanah dan telah dibuktikan melalui penularan buatan (Wahyuno dan Sukamto 2010). Nekrosa atau kematian jaringan tidak terbentuk di bagian kutil

3. Eko-Biologi

a. Stadia dan Siklus Hidup

Pada tanaman yang telah terserang S. pogostemonis struktur bertahan berupa spora bulat, kuning dan berdinding tebal mudah ditemukan karena jumlahnya yang banyak. Lensa lup sederhana dapat digunakan untuk membantu menemukan struktur tersebut pada gejala yang telah lanjut di lapang untuk mendeteksi keberadaannya. Pengamatan terhadap jaringan tanaman nilam terserang S. pogostemonis pada berbagai stadia gejala akan menunjukkan ada stadia yang lain selain spora istirahat. Wahyuno (2010) mendiskripsikan adanya stadia aseksual dan seksual yang terbentuk pada tanaman nilam terserang S. pogostemonis. Zoospora dapat dihasilkan dari sporangium hasil reproduksi aseksual maupun reproduksi seksual. Pada stadia reproduksi seksual, zoospora terbentuk pada sporangium yang terbentuk di dalam sorus yang keluar dari spora istirahat

b. Penyebaran

Seperti halnya cendawan Synchytrium endobioticum maupun S. psocharpii yang banyak mempunyai spora aktif (zoospora) sebagai penularan utama dari tanaman sakit ke tanaman sehat (EPPO 1999, 2003; Drinkall dan Price 1983). S. pogostemonis juga mempunyai zoospora yang aktif berenang pada cairan air atau media tumbuh yang

menggandung air. Wahyuno dan Sukamto (2010) juga telah berhasil melakukan penularan buatan dengan menggunakan media air sebagai media tumbuh nilam. Zoospora mungkin sangat berperan dalam penyebaran jarak dekat antar sel di dalam tanaman, antar tanaman dalam suatu petak atau dalam luasan terbatas dimana ada air sebagai media perantara. Spora bertahan yang terdapat di dalam jaringan tanaman diduga mempunyai peran yang sangat penting dalam penyebaran S. pogostemonis yang lebih luas dan jauh. Adanya spora bertahan memungkinkan S. pogostemonis terbawa melalui bahan tanaman (benih) atau sisa-sisa tanaman terserang yang tertinggal di tanah ke daerah penanaman nilam yang baru. Pada tanaman kentang, struktur bertahan S. endobioticum mampu bertahan di dalam jaringan tanaman untuk waktu yang lama (EPPO 2003).

c. Lingkungan

Sebagai cendawan obligat parasit S. Pogostemonis sangat tergantung pada kondisi tanaman inang untuk tumbuh dan berkembang. Pada tanaman yang masih hidup, hampir semua stadia S. Pogostemonis dapat ditemukan. Pada jaringan tanaman yang sudah mati hanya spora bertahan yang ditemukan sangat dominan. Selain mempengaruhi siklus dan stadia S. Pogostemonis yang ada, lingkungan berperan penting di dalam penyebaran zoospore khususnya ketersediaaan air baik yang di lapisan partkel tanah maupun yang terdapat pada permukaan tanaman yang berguna untuk menyebar ke bagian lain yang masih sehat.

Lingkungan subur dan cukup air akan membuat tanaman nilam mempunyai pertumbuhan yang baik, demikian juga dengan regenerasi pembentukan tunas-tunas baru. Pada tanaman yang telah terinfeksi S. pogostemonis pembentukan tunas-tunas baru khususnya yang keluar dari permukaan tanah akan menjadikan peluang terjadinya infeksi dan peluang terjadinya perbanyakan inokulum di dalam jaringan tanaman sangat besar. Pengaruh jenis tanah dan kemasamannya belum pernah diteliti terhadap kecepatan penyebaran zoospora pada tanaman nilam di lapang. Hasil pengamatan dan laporan yang disampaikan mengindikasikan bahwa S. pogostemonis telah tersebar luas di Indonesia sehingga diduga peran ketersediaan air/kelengasan tanah dan kondisi tanaman lebih penting bagi penyebaran zoospora dibanding kondisi tanah.

d. Penularan Ke Tanaman Selain Nilam

Sampai saat ini belum ada laporan mengenai S. pogostemonis yang menyerang tanaman selain tanaman nilam. Pada dasarnya, S. pogostemonis merupakan kelompok cendawan yang mempunyai sebaran inang yang terbatas. Dari 200 spesies Synchytrium yang pernah dilaporkan, hanya ada beberapa spesies yang mempunyai kisaran inang lebih dari satu family tanaman, dan sisanya merupakan kelompok yang sebaran inangnya terbatas, termasuk S. endobioticum pada kentang (Agrios 1978) dan S. psocharpii pada kacang (Drinkall dan Price 1986, Karami et al. 2009).

4. Sasaran Pengendalian

Beberapa usaha pengendalian telah dilakukan dan dicobakan di tingkat rumah kaca maupun di lapang dalam skala yang terbatas. Perbaikan SOP (standar operasional prosedur) budidaya nilam yang ada, khususnya dalam seleksi dan penyiapan bahan tanaman untuk perbanyakan (Wahyuno 2010). Harga fungisida sistemik yang relatif mahal, adanya struktur bertahan dari S. pogostemonis yang sulit untuk dikenai fungisida, belum tersedianya varietas nilam yang tahan terhadap S. pogostemonis maupun pola budidaya nilam yang lazim dilakukan oleh petani merupakan pertimbangan bahwa penyediaan bahan tanaman yang sehat merupakan cara yang paling murah untuk mengurangi kerugian hasil akibat serangan S. pogostemonis.

Melakukan rotasi tanaman, memusnahkan tanaman nilam di sekitar yang menunjukkan gejala terkena penyakit budok, dan mengatur lahan sehingga ideal bagi pertumbuhan nilam dan mengatur sistem drainase yang dapat meminimalkan terjadinya penularan ke tanaman di sekitar. Syakir et al. (2008) juga menyarankan melakukan pengolahan tanah, pemberian mulsa untuk mengurangi penyebaran dan aplikasi fungsida serta abu sekam (±10 ton/ha)

Aplikasi fungisida dapat dilakukan untuk menekan perkembangan Synchytrium di lapang. Fungisida yang efektif menekan serangan Synchytrium berbahan aktif Benomyl (Kusnanta 2005, Sukamto 2011); PCNB dan bubur Bordeux juga efektif di India (NEDFI 2007). Aplikasi fungisida menjadi alternatif apabila tanaman yang menunjukkan gejala dijumpai dalam jumlah yang cukup banyak di kebun, selain dilakukan eradikasi di tempat dengan membakar Aplikasi fungisida dapat dilakukan untuk menekan perkembangan Synchytrium di lapang. Fungisida yang efektif menekan serangan Synchytrium berbahan aktif Benomyl (Kusnanta 2005, Sukamto 2011); PCNB dan bubur Bordeux juga efektif di India (NEDFI 2007). Aplikasi fungisida menjadi alternatif apabila tanaman yang menunjukkan gejala dijumpai dalam jumlah yang cukup banyak di kebun, selain dilakukan eradikasi di tempat dengan membakar

Gambar 2.3. Penggunaan fungsida untuk menekan penyakit budok. (B1) Benomil (1 g l-1) , (B2) Benomil (2 g l-1), (K1) Cu-Oksida (1 g l-1), (K2) Cu- Oksida (2 g l-1), (KB) Campuran Benomil dan Cu-Oksida (1:1; masing-masing

0,5 g l-1).

Penggunaan 1% bubur bourdeaux (100 g terusi/copper sulphate + 100 g kapur tohor dalam 10 liter air), dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit budog. Bubur bourdeaux dan fungisida benomil dapat mengendalikan serangan penyakit budok setelah dilakukan tiga kali penyemprotan setiap dua minggu sekali (Gambar 1). Kombinasi pemakaian fungisida disertai aplikasi mikroorganisme juga sedang pengujian di lapang. Penyiapan mikroorganisme yang berguna Penggunaan 1% bubur bourdeaux (100 g terusi/copper sulphate + 100 g kapur tohor dalam 10 liter air), dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit budog. Bubur bourdeaux dan fungisida benomil dapat mengendalikan serangan penyakit budok setelah dilakukan tiga kali penyemprotan setiap dua minggu sekali (Gambar 1). Kombinasi pemakaian fungisida disertai aplikasi mikroorganisme juga sedang pengujian di lapang. Penyiapan mikroorganisme yang berguna

Gambar 2.4. Penggunaan fungsida dan bubur bordeaux untuk menekan

serangan penyakit budok

2.2.5.2. Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan pada tanaman nilam (Pogostemon cablin) dan menjadi salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman nilam di Indonesia. Penyakit tersebut dapat menurunkan produksi yang cukup tinggi yaitu antara 60-95 %. Untuk menghindari kerugian hasil akibat penyakit layu bakteri, maka petani menanam nilam dengan sistem budidaya berpindah-pindah dengan membuka hutan. Cara tersebut secara teori lebih aman untuk menghindari kerugian akibat penyakit, namun cara tersebut akan merusak lingkungan, karena areal hutan primer dan hutan sekunder menjadi berkurang dan setelah ditanami nilam kemudian ditinggalkan dan dibiarkan menjadi ladang alang-alang (Asman et al. 1998).

1. Gejala

Gejala awal dari penyakit layu adalah daun-daun pada cabang tertentu menjadi layu dan selanjutnya diikuti oleh daun daun pada cabang-cabang lainnya. Pada tanaman yang sama sering terjadi kelayuan pada beberapa cabang tertentu, Gejala awal dari penyakit layu adalah daun-daun pada cabang tertentu menjadi layu dan selanjutnya diikuti oleh daun daun pada cabang-cabang lainnya. Pada tanaman yang sama sering terjadi kelayuan pada beberapa cabang tertentu,

2. Diagnosa Penyakit

Di lapangan penyakit layu dapat didiagnosa berdasarkan gejalanya. Diagnosa yang sederhana dapat dilakukan dengan memotong batang tanaman yang terinfeksi selanjutnya penampang batangnya ditekan, maka akan keluar eksudat bakteri yang berupa cairan yang berwarna putih susu yang berbau khas sangat menyengat. Selain itu potongan batang tanaman yang terinfeksi apabila dimasukkan ke dalam air di dalam gelas transparan, akan terlihat adanya aliran eksudat bakteri yang keluar dari potongan batang tersebut.

Di laboratorium penyakit layu bakteri dapat dideteksi dengan metode konvensional yaitu dengan mengisolasi bakteri dari bahan tanaman sakit yang selanjutnya ditumbuhkan pada media agar. Pengamatan di bawah mikroskop terhadap irisan tipis penampang melintang akar atau batangnya akan terlihat adanya masa bakteri yang menyumbat jaringan pembuluh tanaman. Diagnosa juga dapat dilakukan secara serologi dengan teknik ELISA dengan menggunakan antiserum khusus (Robinson 1993). Metode ini dapat mendeteksi bakteri dalam Di laboratorium penyakit layu bakteri dapat dideteksi dengan metode konvensional yaitu dengan mengisolasi bakteri dari bahan tanaman sakit yang selanjutnya ditumbuhkan pada media agar. Pengamatan di bawah mikroskop terhadap irisan tipis penampang melintang akar atau batangnya akan terlihat adanya masa bakteri yang menyumbat jaringan pembuluh tanaman. Diagnosa juga dapat dilakukan secara serologi dengan teknik ELISA dengan menggunakan antiserum khusus (Robinson 1993). Metode ini dapat mendeteksi bakteri dalam

3. Epidemiologi Penyakit

Penyakit layu pertamakali dilaporkan terjadi di pertanaman nilam di Daerah Istimewa Aceh. (Sitepu dan Asman 1989). Selanjutnya penyakit menyebar ke daerah lainnya di Sumatera Barat (Sitepu dan Asman 1998). Pada saat ini penyakit telah ditemukan hampir di semua sentra produksi nilam di NAD, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Tengah dan kalimantan Selatan (Syakir et al. 2008).

Penyakit layu pada nilam bersifat endemik dan cepat menular. Dalam satu areal kebun, apabila satu tanaman sudah terinfeksi maka dalam waktu cepat penyakit akan menular ke tanaman yang lain. Penyebaran penyakit dipercepat oleh kondisi lingkungan yang lembab, curah hujan tinggi, dan drainase yang kurang baik. Penyebaran penyakit di dalam kebun dapat terjadi melalui tanah, akar, aliran air, alat-alat pertanian, hewan, dan pekerja di lapangan. Sementara penyebaran jarak jauh dapat terjadi terutama melalui bibit yang berupa setek batang yang telah terinfeksi.

R. solanacearum merupakan patogen tular tanah. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang cukup lama di dalam tanah. Kondisi R. solanacearum merupakan patogen tular tanah. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang cukup lama di dalam tanah. Kondisi

4. Penanggulanan Penyakit

Seperti halnya penyakit layu bakteri pada tanaman lain, penyakit layu pada tanaman nilam juga sulit dikendalikan secara tuntas. Walaupun berbagai cara pengendalian telah dilakukan, namun hasilnya belum memuaskan. Hal ini dikarenakan sifat-sifat ekobiologi patogennya yang sangat komplek dan kurangnya pengetahuan dan pemahaman petani tentang teknis pengendalian penyakit serta kurangnya modal usahatani (Asman 2000).

Pada umumnya petani menanam bibit yang berupa setek batang yang berasal dari tanaman dari kebunnya sendiri yang mungkin sudah terinfeksi, sehingga kurang adanya seleksi dan jaminan bahwa bibit yang digunakan petani bebas dari patogen. Selain itu karena petani kurang memperhatikan beberapa aspek lain seperti pengadaan bibit, pengolahan tanah, dan teknik budidaya, dan pengendalian penyakit, maka penyakit layu bakteri tetap berkembang dan menyebar (Asman 2000). Oleh karena itu perlu sekali adanya pedoman dan penyuluhan tentang pengenalan penyakit, cara pengamatan yang mudah dan Pada umumnya petani menanam bibit yang berupa setek batang yang berasal dari tanaman dari kebunnya sendiri yang mungkin sudah terinfeksi, sehingga kurang adanya seleksi dan jaminan bahwa bibit yang digunakan petani bebas dari patogen. Selain itu karena petani kurang memperhatikan beberapa aspek lain seperti pengadaan bibit, pengolahan tanah, dan teknik budidaya, dan pengendalian penyakit, maka penyakit layu bakteri tetap berkembang dan menyebar (Asman 2000). Oleh karena itu perlu sekali adanya pedoman dan penyuluhan tentang pengenalan penyakit, cara pengamatan yang mudah dan

Pengendalian penyakit sebaiknya dilakukan secara terpadu. Pengendalian terpadu harus dilakukan sesuai dengan jenis tanaman, jenis patogen, dan pengetahuan mengenai cara bertahan hidup dan penyebaran (ekobiologi) patogennya.

5. Pencegahan Penyakit (Preventif)

Cara yang paling bijaksana untuk mengendalikan penyakit layu adalah dengan mencegah timbulnya penyakit di lapangan, mencegah agar penyakit tidak menular dari satu tanaman ke tanaman lain dan dari daerah satu ke daerah lainnya. Upaya pencegahan penyakit secara preventif dapat dilakukan sejak awal yaitu dari waktu evaluasi untuk kesesuaian lahan tempat penanaman, penentuan bahan tanaman, pemupukan, dan aspek-aspek lain yang dapat mencegah berkembangnya penyakit layu. Observasi kebun juga perlu dilakukan dan sebaiknya dilaksanakan secara rutin, sehingga dapat dilakukan pengendalian secara dini terhadap penyakit –penyakit yang mungkin berpotensi untuk berkembang (Barani 2008). Pengendalian penyakit yang bersifat pencegahan dapat dilakukan dengan memadukan beberapa komponen dengan menggunakan bibit sehat, varietas tahan atau toleran, lahan bebas patogen, melakukan sanitasi dan eradikasi, rotasi dan tumpangsari, serta memperbaiki teknik budidaya dan pengelolaan lingkungan.

a. Bibit Sehat

Tanaman nilam biasa diperbanyak dengan setek batang. Oleh karena itu tanaman yang akan digunakan sebagai sumber bibit harus diseleksi dan Tanaman nilam biasa diperbanyak dengan setek batang. Oleh karena itu tanaman yang akan digunakan sebagai sumber bibit harus diseleksi dan

b. Varietas Tahan atau Toleran

Penanaman varietas nilam tahan merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit layu. Nilam telah lama dibudidayakan di Indonesia, namun sampai saat ini belum tersedia varietas yang benar- benar tahan terhadap penyakit layu bakteri. Oleh karena itu penelitian dalam rangka menghasilkan varietas nilam yang tahan sangat diperlukan. Di Indonesia terdapat 3 jenis nilam yaitu nilam aceh (Pogostemon cablin Benth.), nilam jawa (P. heyneanus Benth), dan nilam sabun (P. Hortensis Becker). Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam aceh paling banyak dibudidayakan di Indonesia, karena mempunyai kadar minyak atsiri yang tinggi. Namun jenis nilam aceh yang biasa dibudidayakan di Indonesia sangat rentan terhadap R. solanacearum dan penyakit lainnya. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor (Balittro) telah melepas 3 varietas nilam aceh yang unggul yaitu varietas Sidikalang,

Tapak Tuan dan Lhoksemauwe (Nuryani 2005). Dari ketiga varietas unggul tersebut, varietas Sidikalang dinyatakan lebih toleran terhadap penyakit layu bakteri dibandingkan dengan varietas lainnya (Nasrun., et al, 2004a). Hadipoentiyanti., et al. (2008) juga telah melakukan penelitian dalam rangka untuk mendapatkan varietas nilam yang tahan terhadap penyakit layu bakteri yang memanfaatkan variasi somaklonal dengan menginduksi kalus dan tunas dengan teknik irradiasi untuk meningkatkan keragaman genetiknya. Dari penelitian ini telah dihasilkan beberapa tunas nilam yang dalam pengujian secara in vitro tahan terhadap substrat R. solanacearum. Tunas-tunas yang tahan diaklimatisasi dan diuji ketahanannya terhadap R. solanaacearum di rumah kaca. Somaklon yang tahan dalam pengujian di rumah kaca selanjutnya diuji ketahanannya di daerah endemik penyakit layu bakteri. Dari beberapa somaklon yang diuji tersebut diharapkan ada somaklon yang tahan terhadap R. Solanacearum.

c. Lahan Bebas Patogen

Tanaman nilam sebaiknya ditanam pada lahan yang masih bebas dari patogen. Beberapa jenis lahan yang mungkin bebas dari patogen diantaranya adalah lahan sawah beririgasi teknis, dimana R solanacearum yang bersifat aerobik tidak mampu hidup pada kondisi an-aerob seperti pada lahan-lahan sawah tersebut. Selain itu lahan yang mungkin bebas patogen adalah lahan bekas hutan dan lahan yang belum Tanaman nilam sebaiknya ditanam pada lahan yang masih bebas dari patogen. Beberapa jenis lahan yang mungkin bebas dari patogen diantaranya adalah lahan sawah beririgasi teknis, dimana R solanacearum yang bersifat aerobik tidak mampu hidup pada kondisi an-aerob seperti pada lahan-lahan sawah tersebut. Selain itu lahan yang mungkin bebas patogen adalah lahan bekas hutan dan lahan yang belum

d. Sanitasi dan Eradikasi

Sanitasi harus dilakukan secara ketat dari awal, karena sanitasi tidak efektif apabila dilakukan pada saat serangan sudah meluas dan parah. Sanitasi sebaiknya dilakukan mulai dari pemilihan lahan dan pengadaan bibit. Apabila ada tanaman nilam yang terserang di lapang harus segera dicabut dan dibongkar. Tanaman yang sakit segera dimusnahkan dengan cara dibakar. Selanjutnya lubang bekas tanaman yang sakit disiram dengan antibiotik atau ditaburi dengan kapur.

e. Rotasi dan Tumpang Sari

Pada saat ini telah banyak dilakukan penanaman nilam pada lahan secara menetap. Namun karena penyakit layu bersifat endemik, maka pada sistem budidaya nilam secara menetap, penyakit layu terjadi lebih parah setelah penanaman yang kedua pada kebun yang telah terkontaminasi. Oleh karena itu penanaman nilam secara berturut-turut pada lahan yang sama sebaiknya dihindari. Pada sistem penanaman secara menetap sebaiknya diterapkan rotasi tanaman atau tumpang sari. Rotasi tanaman dilakukukan untuk mengurangi populasi patogen di dalam tanah. Cara ini berfungsi untu memotong siklus hidup patogen dan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Rotasi tanaman sebaiknya dilakukan setiap Pada saat ini telah banyak dilakukan penanaman nilam pada lahan secara menetap. Namun karena penyakit layu bersifat endemik, maka pada sistem budidaya nilam secara menetap, penyakit layu terjadi lebih parah setelah penanaman yang kedua pada kebun yang telah terkontaminasi. Oleh karena itu penanaman nilam secara berturut-turut pada lahan yang sama sebaiknya dihindari. Pada sistem penanaman secara menetap sebaiknya diterapkan rotasi tanaman atau tumpang sari. Rotasi tanaman dilakukukan untuk mengurangi populasi patogen di dalam tanah. Cara ini berfungsi untu memotong siklus hidup patogen dan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Rotasi tanaman sebaiknya dilakukan setiap

f. Pengelolaan Lahan dan Lingkungan

Untuk mencegah timbulnya penyakit, maka pengelolaan lahan dan lingkungan perlu dilakukan untuk menjaga agar kondisi kebun tidak terlalu lembab, misalnya dengan mengatur jarak tanam, menyiangi gulma di sekitar tanaman nilam dan pemberian mulsa. Hasil penelitian Asman (2000) di Sumatera Barat dan Jawa Barat membuktikan bahwa pemberian mulsa ampas nilam dapat menekan perkembangan penyakit layu sampai 60 %. Pemberian mulsa dan pupuk organik dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan awal dari tanaman dan setelah nilam dipanen. Selain itu pemberian mulsa juga dapat menekan serangan penyakit layu. Irigasi kebun juga harus diperhatikan agar lahan mempunyai drainase yang baik. Apabila ada areal yang terinfeksi, sebaiknya dibuat selokan yang membatasi antara areal tersebut dengan areal yang masih sehat untuk mencegah penularan penyakit melalui akar, tanah, dan air. Untuk mencegah masuknya patogen ke daerah yang masih sehat, maka semua pekerjaan di kebun yang dilakukan baik oleh manusia maupun hewan dimulai dari daerah yang masih sehat selanjutnyta berjalan kearah daerah yang sudah terinfeksi. Demikian juga alat-alat pertanian yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan.

g. Pengendalian Penyakit di Lapang (Kuratif)

Hasil penelitian Asman (2000) di Sumatera Barat dan Jawa Barat membuktikan bahwa perlakuan pestisida campuran menekan penyakit layu sampai 67 %. Hasil penelitian di Pasaman Sumatra Barat menunjukkan bahwa perlakuan pestisida, bakterisida, dan pupuk kandang dapat menekan perkembangan penyakit layu sampai 86 %. Sementara pemberian bakterisida, insektisida, pupuk kandang, abu sekam, dan pupuk buatan dapat menekan serangan penyakit sampai 86,5 %. Selain itu pemberian Agrept pada bibit nilam dapat menekan penyakit layu sebesar 61 %. Hasil penelitian di NAD dan Sumatra Barat juga menunjukkan bahwa penyakit dapat ditekan perkembangannya sampai 60 % dengan cara merendam bibit nilam dalam larutan bakterisida 0,1 % selama 6 jam (Asman dan Sitepu 1994). Pupuk kandang yang diperkaya dengan mikroba dekomposer dapat digunakan sebagai cara alternatif untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman nilam. Menurut Hartati et al. (2008), aplikasi mikroba antagonis (Bacillus sp. dan Pseudomonas fluorescens) saja tidak dapat menurunkan intensitras serangan penyakit layu pada nilam. Namun pemberian pupuk hayati yang berupa pupuk kandang yang diperkaya dengan mikroba dekomposer (Bacillus pantotkenticus dan Trichoderma lactae) dapat mengurangi intensitas serangan penyakit dengan nilai efikasi sebesar 59 %. Demikian juga pemberian pupuk hayati (pupuk kandang + mikroba dekomposer Bacillus pantotkenticus

dan Trichoderma lactae) yang dikombinasikan dengan mikroba antagonis (Bacillus sp dan Pseudomonas fluorescens) dapat mengurangi intensitas serangan penyakit dengan nilai efikasi sebesar 61 %. 78 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam. Aplikasi formula minyak cengkeh juga dapat mengurangi intensitas serangan penyakit layu dengan nilai efikasi sebesar 17 % (Hartati et al. 2008). Hartati et al. (1993a dan 1993b) juga melaporkan bahwa eugenol, minyak dan serbuk cengkeh, serta minyak serai wangi efektif dapat mengendalikan pertumbuhan R. solanacearum pada percobaan secara in vitro.