Sistem Pakar Hama dan Penyakit Tanaman R (3)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Pakar

2.1.1. Pengertian Sistem

Sistem adalah Menurut Fatta (2007 : 3) sistem dapat diartikan sebagai suatu kumpulan atau himpunan dari unsur atau vaiabel-variabel yang saling terorganisi, saling berinteraksi dan saling bergantung satu sama lain. Sedangkan menurut Kusrini (2007 : 5) kata sistem mempunyai beberapa pengertian, tergantung dari sudut pandang mana kata tersebut didefinisikan. Secara garis besar ada dua kelompok pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan sistem yang lebih menekankan pada elemen-elemen atau kelompoknua, yang dalam hal ini sistem itu didefinisikan se bagai “suatu jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan

suatu aturan tertentu”.

2. Pendekatan sistem sebagai jaringan kerja dari prosedur, yang lebih menekankan urutan operasi di dalam sistem. Prosedur ( procedure )

didefinisikan oleh Richard F Neushl sebagai “ urutan operasi kerja (tulis- menulis) yang biasanya melibatkan beberapa orang di dalam satu atau lebih departemen yang diterapkan untuk menjamin penanganan yang seragam dari transaksi bisnis yang terjadi.

Pendekatan sistem yang lebih menekankan pada elemen-elemen atau komponennya mendefinisikan sistem sebagai “sekumpulan elemen yang saling

terkait atau terpadu yang dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan”. Dengan demikian di dalam suatu sistem, komponen-komponen ini tidak dapat berdiri sendiri-sendiri, tetapi sebaliknya, saling berhubungan hingga membentuk satu kesatuan sehingga tujuan sistem itu dapat tercapai.

2.1.2. Karakteristik Sistem

Sistem mempunyai beberapa karakteristik atau sifat-sifat tertentu, antara lain:

1. Komponen Sistem ( Component ) Suatu sistem terdiri dari sejumlah komponen yang salikng berinteraksi, yang saling bekerja sama membentuk suatu komponen sistem atau bagian-bagian dari sistem.

2. Batasan Sistem ( Boundary ) Merupakan daerah yang membatasi suatu sistem dengan sistem yang lain atau dengan lingkungan kerjanya.

3. Subsistem Bagian-bagian dari sistem yang beraktivitas dan berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan dengan sasarannya masing-masing.

4. Lingkungan Luar Sistem ( Environment ) Suatu sistem yang ada di luar dari batas sistem yang dipengaruhi oleh operasi sistem.

5. Penghubung Sistem ( Interface ) Media penghubung antara suatu subsistem dengan subsistem lain. Adanya penghubung ini memungkinkan berbagai sumber daya mengalir dari suatu subsistem ke subsistem lainnya.

6. Masukan Sistem ( Input ) Energi yang masuk ke dalam sistem, berupa perawatan dan sinyal. Masukan perawatan adalah energi yangn dimasukan supaya sistem tersebut dapat berinteraksi.

7. Keluaran Sistem ( Output ) Hasil energi yang diolah dan diklasifikasikan menjadi keluaran yang berguna dan sisa pembuangan.

8. Pengolahan Sistem ( Process ) Suatu sistem dapat mempunyai suatu bagian pengolah yang akan mengubah masukan menjadi keluaran.

9. Sasaran Sistem ( Object ) Tujuan yang ingin dicapai oleh sistem, akan dikatakan berhasil apabila mengenai sasasran atau tujuan.

2.1.3. Klasifikasi Sistem

Sistem dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut:

1. Sistem abstrak ( Abstract System ) dan sistem fisik ( physical system ). Sistem abstrak adalah suatu sistem yang berupa pemikiran atau ide-ide yang tidak tampak secara fisik Sedangkan sistem fisik adalah sistem yang ada secara fisik.

2. Sistem alamiah ( natural system ) dan sistem buatan manusia ( human made ). Sistem alamiah adalah sistem yang terjadi melalui proses alam Sedangkan sistem buatan adalah sistem yang dirancang oleh manusia.

3. Sistem tertentu ( deterministic system ) dan sistem tak tentu ( probabilistic system ). Sistem tertentu adalah suatu sistem dapat diprediksi secara tepat, Sedangkan sistem tak tentu adalah sistem yang kondisi masa depannya tidak dapat diprediksi.

4. Sistem tertutup ( closed system ) dan sistem terbuka ( open system ) Sistem tertutup adalah sistem yang tidak terpengaruh oleh lingkungan luar atau otomatis, Sedangkan sistem terbuka adalah sistem yang berhubungan dan terpengaruh oleh lingkungan luarnya.

2.1.4. Pengertian Pakar

Seorang ahli (pakar) adalah seseorang yang mampu menjelaskan suatu tanggapan, mempelajari hal-hal baru seputar topik permasalahan, menyusun kembali pengetahuan jika dipandang perlu, memecahkan masalah dengan cepat dan tepat (Arahmi, 2005). Sedangkan menurut Kusrini (2008 : 3) pakar yang dimaksud dalam sistem pakar adalah seorang yang mempunyai keahlian khusus yang dapat menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh orang awam. Seorang pakar memiliki keahlian sebagai berikut :

1. Dapat mengenali ( recognizing ) dan merumuskan masalah

2. Menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat

3. Menjelaskan solusi

4. Belajar dari pengalaman

5. Restrukturisasi pengetahuan

6. Menentukan relevansi atau hubungan

7. Memahami batas kemampuan Kepakaran merupakan pemahaman yang luas dari tugas atau pengatahuan

spesifik yang diperoleh dari pelatihan, membaca dan pengalaman. Jenis-jenis pengetahuan yang dimiliki dalam kepakaran adalah sebagai berikut:

1. Teori-teori dari permasalahan

2. Aturan dan prosedur yang mengacu pada area permasalahan

3. Aturan ( heuristik ) yang harus dikerjakan pada situasi yang terjadi

4. Strategi global untuk menyelesaikan berbagai jenis masalah

5. Meta-knowledge (pengetahuan tentang pengetahuan)

6. Fakta-fakta Pemilihan seseorang sebagai seorang pakar ( domain expert ) hendaknya

memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Orang yang memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah khusus dengan cara-cara yang superior dibanding kebanyakan

2. Memiliki pengetahuan kepakaran

3. Memiliki keterampilan problem-solving yang efesien

4. Dapat mengomunikasikan pengetahuan

5. Dapat menyediakan waktu

6. Dapat bekerja sama

2.1.5. Pengertian Sistem Pakar

Sistem pakar adalah suatu sistem komputer yang berbasis pengetahuan ( Knowledge-Based System ) terpadu yang memiliki kemampuan untuk memecahkan berbagai masalah dalam bidang tertentu secara cerdas dan efektif sebagaimana layaknya pakar. Istilah sistem pakar seringkali juga disebut dengan Knowledge-Based System (KBS) atau Knowledge-Based Espert System. Sistem pakar menurut Kusrini (2006 : 11) adalah sistem berbasis komputer yang menggunakan pengetahuan, fakta dan teknik penalaran dalam memecahkan masalah yang biasanya hanya dapat dipecahkan oleh seorang pakar dalam bidang tersebut.

2.1.6. Pemakai Sistem Pakar

Sistem pakar dapat digunakan oleh :

1. Orang awam yang bukan pakar untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah

2. Pakar sebagai asisten yang berpengalaman

3. Memperbanyak atau menyebarkan sumber pengetahuan yang semakin langka.

Sistem pakar merupakan program yang dapat menggantikan keberadaan seorang pakar. Alasan mengapa expert system (ES) dikembangkan untuk menggantikan seorang pakar:

1. Dapat menyediakan kepakaran setiap waktu dan di berbagai lokasi.

2. Secara otomatis mengerhakan tugas-tugas rutin yang membutuhkan seorang pakar.

3. Seorang pakar akan pensiun atau pergi.

4. Menghadirkan / mengguanakan jasa seorang pakar memerlukan biaya yang mahal.

5. Kepakaran dibutuhkan juga pada lingkungan yang tidak bersahabat ( hostile environment ).

2.1.7. Ciri-ciri Sistem Pakar

Adapun ciri-ciri suatu sistem dapat dikatakan sebagai sistem pakar adalah sebagai berikut:

1. Terbatas pada bidang yang spesifik.

2. Dapat memberikan penalaran untuk data-data yang tidak lengkap atau tidak pasti.

3. Dapat mengemukakan rangkaian alasan yang diberikannya dengan cara yang dapat dipahami

4. Berdasarkan pada rule atau kaidah tertentu

5. Dirancang untuk dapat dikembangkan secara bertahap

6. Output- nya bersifat nasihat atau anjuran

7. Output tergantung dari dialog dengan user

8. Knowledge base dan inference engine terpisah

2.1.8. Keuntungan Pemakaian Sistem Pakar

Keuntungan dari pemakaian sistem pakar atau expert system adalah sebagai berikut:

1. Membuat seorang yang awam dapat bekerja seperti layaknya seorang pakar

2. Dapat bekerja dengan informasi yang tidak lengkap atau pasti

3. Meningkatkan output dan produktivitas. Expert system atau sistem pakar dapat bekerja lebih cepat dari manusia. Keuntungan ini berarti mengurangi jumlah pekerja yang dibutuhkan dan akhirnya akan mereduksi biaya

4. Meningkatkan kualitas

5. ES menyediakan nasihat yang konsisten dan dapat mengurangi tingkat kesalahan

6. Membuat peralatan yang kompleks lebih mudah dioperasikan karena ES dapat melatih pekerja yang tidak berpengealaman

7. Handal ( reliability )

8. ES tidak dapat lelah atau bosan, juga konsisten dalam memberi jawaban dan selalu memberikan perhatian penuh

9. Memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang kompleks

10. Memungkinkan pemindahan pengetahuan ke lokasi yang jauh serta memperluas jangkauan seorang pakar, dapat diperoleh dan dipakai dimana saja. Merupakan arsip yang terpercaya dari sebuah keahlian sehingga user seolah-olah berkonsultasi langsung dengan sang pakar meskipun mungkin sang pakar sudah pensiun.

2.1.9. Arsitektur Sistem Pakar

Sistem pakar memiliki beberapa komponen utama, yaitu antarmuka pengguna ( user interface ), basis data sistem ( expert system database ), fasilitas akuisisi pengetahuan ( knowledge acquisition facility ), dan mekanisme inferensi ( inference mechanism ). Antar muka pengguna adalah perangkat lunak yang menyediakan media komunikasi antara pengguna dengan sistem.

Sedangkan basis data sistem pakar berisi pengetahuan setingkat pakar pada subyek tertentu. Berisi pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami, merumuskan, dan menyelesaikan masalah. Basis data ini terdiri dari dua elemen dasar, yaitu:

1. Fakta, situasi masalah dan teori terkait

2. Heuristik khusus atau rules yang langsung menggunakan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah khusus.

Fasilitas akuisisi pengetahuan merupakan perangkat lunak yang menyediakan fasilitas dialog antar pakar dengan sistem. Fasilitas akuisisi ini digunakan untuk memasukan fakta-fakta dan kaidah-kaidah sesuai dengan perkembangan ilmu. Meliputi proses pengumpulan, pemindahan, dan perubahan kemampuan pemecahan masalah seorang pakar atau sumber pengetahuan terdokumentasi.

Mekanisme inferensi merupakan perangkat lunak yang melakukan penalaran dengan menggunakan pengetahuan yang ada untuk menghasilkan suatu kesimpulan atau hasil akhir.

2.1.10. Orang yang Terlibat dalam Sistem Pakar

Untuk memahami perancangan sistem pakar, perlu dipahami mengenai siapa saja yang berinteraksi dengan sistem. Mereka adalah

1. Pakar ( domain expert ) adalah seorang ahli yang dapat menyelesaikan masalah yang sedang diusahakan untuk dipecahkan oleh sistem

2. Pembangun pengetahuan ( knowledge engineer ) adalah seorang yang menerjemahkan pengetahuan seorang pakar dalam bentuk deklaratif sehingga dapat digunakan oleh sistem pakar

3. Pengguna ( user ) adalah seseorang yang berkonsultasi dengan sistem untuk mendapatkan saran yang disediakan oleh pakar

4. Pembangun sistem ( software engineer ) adalah seseorang yang membuat antarmuka pengguna, merancang bentuk basis pengetahuan secara deklaratif dan mengimplementasikan mesin inferensi

2.1.11. Representasi Pengetahuan

Representasi pengetahuan merupakan metode yang digunakan untuk mengodekan pengetahuan dalam sebuah sistem pakar yang berbasis pengetahuan. Pereprentasian dimaksudkan untuk menangkap sifat-sifat penting problema dan membuat informasi ini dapat diakses oleh prosedur pemecahan problema.

Pengetahuan dapat direpresentasikan dalam bentuk yang sederhana atau kompleks, tergantung dari masalahnya. Beberapa model representasi pengetahuan yang penting adalah:

1. Logika ( logic )

2. Jaringan semantik ( semantic nets )

3. Object-Atributte-Value (OAV)

4. Bingkai ( frame )

5. Kaidah produksi ( production rule )

2.1.12. Inferensi

Inferensi merupakan proses untuk menghasilkan informasi dari fakta yang diketahui atau diasumsikan. Inferensi adalah konklusi logis ( logical conclusion ) atau implikasi berdasarkan informasi yang tersedia. Dalam sistem pakar, proses inferensi dilakukan dalam suatu modul yang disebut inference engine (Mesin Inferensi). Ada dua metode inferensi yang penting dalam sistem pakar, yaitu runut maju ( forward chaining ) dan runut balit ( backward chaining ).

Runut maju ( forward chaining ) berarti menggunakan himpunan aturan kondisi-aksi. Dalam metode ini, data digunakan untuk menentukan aturan mana yang akan dijalankan, kemudian aturan tersebut dijalankan. Proses menambahkan data ke memori kerja. Proses diulang sampai ditentukan hasil.

JIKA A = 1 DAN B = 2

A=1

D=4 B=2

MAKA C = 3

JIKA C = 3 MAKA D = 4

Gambar 2.1. Runut Maju

Metode inferensi runut maju cocok digunakan untuk menangani masalah pengendalian ( controlling ) dan peramalan ( prognosis ) Runut balit ( backward chaining ) merupakan metode penalaran kebalikan dari runut maju. Dalam runut balik, penalaran dimulai dengan tujuan merunut balik ke jalur yang akan mengarahkan ke tujuan. Gambar 2.2. menunjukkan proses penalaran runut balik.

SUB TUJUAN

ATURAN

TUJUAN

JIKA A = 1 DAN B = 2

A=1

D=4 B=2

MAKA C = 3

JIKA C = 3 MAKA D = 4

Gambar 2.2. Runut Balik

Runut balik disebut juga goal-driven reasoning merupakan cara yang efesien untuk memecahkan masalah yang dimodelkan sebagai masalah pemilihan terstruktur. Tujuan dari inferensi ini adalah mengambil pilihan terbaik dari banyak kemungkinan. Metode inferensi runut balik cocok digunakan untuk memecahkan masalah diagnosis.

2.2. Hama dan Penyakit Tanaman

2.2.1. Pengertian Hama

Sugiyanto (2013 - http://ditjenbun.pertanian.go.id ) menyatakan bahwa hama dalam arti luas adalah semua bentuk gangguan baik pada manusia, temak dan tanaman. Pengertian hama dalam arti sempit yang berkaitan dengan kegiatan budidaya tanaman adalah semua hewan yang merusak tanaman atau hasilnya yang mana aktivitas hidupnya ini dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis.

Adanya pengertian bahwa suatu hewan dalam satu pertanaman belum menimbulkan kerugian secara ekonomis belum dapat disebut sebagai hama. Namun demikian, potensi mereka sebagai hama nantinya perlu dimonitor dalam suatu kegiatan yang disebut pemantauan (monitoring). Secara garis besar, hewan

yang berpotensi menjadi hama adalah dari jenis : serangga, tungau, tikus, burung, atau mamalia besar. Mungkin di suatu daerah hewan tersebut menjadi hama, namun di daerah lain belum tentu menjadi hama, karena tidak merugikan. Pada kondisi tersebut sangat berbeda status suatu hama, sebagai contoh jika ada serangga menyerang habis suatu pertanaman dimana pertanaman tersebut dinilai tidak ekonomis/bukan tanaman budidaya, maka serangga tersebut tidak akan mendapatkan perlakuan pengendalian, bahkan jika serangga tersebut memiliki nilai ekonomi maka serangga tersebut akan banyak dimanfaatkan oleh manusia. Dengan demikian manusia/petani tidak menganggap serangga tersebut menjadi hama. Namun sebaliknya, jika serangga tersebut menyerang lahan pertanian/tanaman budidaya, maka status serangga tersebut akan berubah menjadi hama. Konsep timbulnya hama dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu :

1. Adanya proses pembukaan lahan baru Pembukaan lahan baru akan membuat perubahan pada ekosistem sehingga menjadi tidak seimbang, misalnya terjadinya penurunan populasi atau bahkan musnahnya musuh alami sehingga populasi hama meningkat dan menimbulkan kerusakan. Pembukaan lahan baru akan mengakibatkan kondisi ekosistem pada lahan pertanian menjadi tidak stabil. Selanjutnya apabila penanaman pada lahan tersebut dilakukan secara monokultur akan berpotensi terjadinya dominasi suatu organisme pada ekosistem. Penanaman monokultur akan menyediakan sumber makanan yang sangat berlimpah untuk suatu organisme, sehingga populasi organisme tersebut akan berkembang dengan cepat sementara faktor pembatas seperti musuh alami 1. Adanya proses pembukaan lahan baru Pembukaan lahan baru akan membuat perubahan pada ekosistem sehingga menjadi tidak seimbang, misalnya terjadinya penurunan populasi atau bahkan musnahnya musuh alami sehingga populasi hama meningkat dan menimbulkan kerusakan. Pembukaan lahan baru akan mengakibatkan kondisi ekosistem pada lahan pertanian menjadi tidak stabil. Selanjutnya apabila penanaman pada lahan tersebut dilakukan secara monokultur akan berpotensi terjadinya dominasi suatu organisme pada ekosistem. Penanaman monokultur akan menyediakan sumber makanan yang sangat berlimpah untuk suatu organisme, sehingga populasi organisme tersebut akan berkembang dengan cepat sementara faktor pembatas seperti musuh alami

2. Introduksi tanaman baru ke suatu lokasi Kejadian ini dapat dipahami dari dua arah, yang pertama yaitu tanaman yang diintroduksikan memang tidak membawa hama namun perkembangan yang cepat dari tanaman tersebut dapat merubah status tanaman tersebut menjadi gulma dan keberadaannya menjadi sangat membahayakan bagi tanaman budidaya yang lain seperti kasus introduksi eceng gondok. Yang kedua adalah introduksi tanaman budidaya dengan membawa hama tanaman namun tidak musuh alami hama tersebut tidak ikut terbawa. Pada saat tanaman tersebut dibudidayakan dan hama dapat berkembang dengan balk, maka tindakan pengendalian menjadi sulit dilakukan. Ini sangat penting untuk dipahami sebagai tindakan pencegahan penyebaran hama yang lebih luas. Pimentel (1982) menyatakan bahwa :

a. Pemasukan/introduksi jenis tanaman baru, karena jenis tanaman baru

tidak dapat menahan serangan OPT yang asli di suatu ekosistem

b. Introduksi spesies OPT baru, dalam hal ini spesies serangga/parasit yang tanpa sengaja terbawa masuk ke suatu daerah yang baru dapat berubah statusnya menjadi hama/patogen.

3. Perubahan persepsi manusia Ini juga dapat menentukan status hama, salah satunya dapat diukur dari ambang ekonomi. Hewan dapat berubah statusnya menjadi hama jika populasinya sudah melebihi atau diatas ambang ekonomi, atau tingkat kerusakan yang ditimbulkannya sudah merugikan secara ekonomi. Dengan semakin meningkatnya pemahaman konsumen terhadap kualitas produk, maka pihak produsen akan berusaha memenuhi keinginan konsumen tersebut. Stern, et al . (1959) mengatakan bahwa adanya perubahan lingkungan OPT masuk ke suatu daerah baru, keadaan di daerah baru tersebut sesuai untuk perkembangannya, maka statusnya berubah menjadi “hama”.

2.2.2. Pengertian Penyakit

Penyakit adalah sesuatu yang menyebabkan terjadinya gangguan pada makhluk hidup atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh bakteri, virus atau kelainan sistem faal atau jaringan pada organ tubuh makhluk hidup (kamus bahasa indonesia). Sedangkan sakit adalah situasi dimana proses hidup suatu tanaman menyimpang dari keadaan normal dan menimbulkan kerusakan, sehingga tanaman itu tidak dapat tumbuh dan berkembang biak seperti biasa, bahkan dapat menyebabkan matinya tanaman tersebut. Sedangkan penyakit tanaman adalah penyebab kerusakan pada tanaman selain yang disebabkan oleh hama. Ilmu yang mempelajari penyakit tanaman disebut Pitopatologi (Matnawy, 2012 : 12). Penyakit dapat berupa:

1. Cendawan

2. Bakteri

3. Algae atau ganggang

4. Virus

5. Keadaan fisiologis yang merugikan Pada umumnya, tanaman yang sakit menunjukkan gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas. Gejala adalah perubahan yang ditunjukkan oleh tanaman itu sendiri akibat adanya serangan penyakit. Secara garis besar gejala-gejala ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Gejala yang disebabkan oleh terhambatnya pertumbuhan hingga terhentinya pertumbuhan pada suatu gel. Gejala semacam ini dinamakan hipoplastis .

2. Gejala nekrotis yaitu suatu gejala yang disebabkan oleh adanya kerusakan sel atau matinya sel itu

3. Gejala yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan sel yang berlebihan disebut hiperplastis .

2.2.3. Hama dan Penyakit Pada Tanaman Lada

2.2.3.1. Busuk Pangkal Batang (BPB – Phitophthora caspsici Leonian)

Tanaman lada ( piper ningrum linn) merupakan salah satu komoditas tanaman uang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Nilai devisa yang dihasilkan dari ekspor lada pada tahun 2008 sebesar US $ 185. 701 (Ditjenbun, 2010).

Salah satu kendala dalam usaha tani tanaman lada adalah penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB). Penyakit BPB terdapat hampir di seluruh sentra pertanaman lada di Indonesia meliputi, proinsi Aceh, sumatera barat, lampung, sumatera selatan, bengkulu, jawa barat, jawa timur, kalimantan barat, kalimantan Salah satu kendala dalam usaha tani tanaman lada adalah penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB). Penyakit BPB terdapat hampir di seluruh sentra pertanaman lada di Indonesia meliputi, proinsi Aceh, sumatera barat, lampung, sumatera selatan, bengkulu, jawa barat, jawa timur, kalimantan barat, kalimantan

1. Penggenalan Penyakit

a. Penyebab Penyakit

Penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB) – Lada disebabkan oleh jamur phytophora capsici.

b. Bagian Tanaman yang Terserang

Jamur penyebab penyakit BPB-Lada dapat menyerang semua bagian tanaman lada. Serangan paling berbahaya dan mematikan tanaman apabila jamur menginfeksi pangkal batang / akar tanaman.

c. Gejala

Tanaman yang terserang menunjukkan gejala sebagai berikut:

1) Infeksi pada daun menyebabkan gejala bercak coklat pada bagian tengah atau tepi ujung daun.

2) Pangkal batang membusuk, terjadi perubagan warna pada pangkal batang, semula berwarna cokelat kekuningan, kemudian cokelat kemerahan, cokelat kehitaman, dan akhirnya hitam.

3) Kulit batang terkelupas dan jaringan kayu akan terligat cokelat kehitaman.

4) Serangan pada pangkal batang menyebabkan daun pucuk layu diikuti daun-daun di bawahnya, kemudian gugur atau tetap menggantung.

d. Penyebaran Penyakit

Spora jamur penyebab penyakit dapat menyebar melalui air drainase, percikan air hujan di permukaan tanah, manusia, hewan, alat-alat pertanian, stek tanaman atau bagian tanaman sakit, bibit tanaman terinfeksi dan melalui udara/angin. Selain itu, penyakit BPB juga dapat menyebar melalui kontak akar tanaman sakit dan sehat.

2. Pengendalian Penyakit

a. Pembibitan

1) Kultut Teknis

a) Mengguanakan stek sehat yang bebas patogen (pengambilan stek sebaiknya dilakukan dari tanaman sehat)

b) Tidak mengguanakn tanah dari kebun lada yang pernah terserang penyakit BPB (steril)

c) Mengatur naungan supaya tidak terlalu lembab

d) Membuat saluran drainase untuk menghindari terjadinya genangan air

e) Pada saat pembibitan, ke dalam polybag ditambahkan agens hayati bakteri pseudomonas fluorescens, mycoriza dan jamur trichoderma harzanum.

2) Mekanis

Bibit yang menunjukkan bercak berwarna hitam pada permukaan daun atau batang, segera dicabut dan dimusnahkan (dibakar).

b. Penanaman

1) Kultur Teknis

a) Dianjurkan mengguanakan tiang panjat/tanjar hidup (seperti dari duri jarang/dadap cangkring atau gliricidae )

b) Membuat parit isolasi di sekeliling tanaman terserang (lebar 30 cm, kedalaman 40 cm)

c) Membuat saluran drainase di dalam dan di luar kebun

d) Hindari penanaman lada pada tanah yang sering tergenang air

e) Melakukan sanitasi kebun dan tidak melakukan penyiangan

secara bersih (terbatas disekeliling piringan lada)

f) Melakukan pemupukan berimbang sesuai jenis dan dosis yang dianjurkan

g) Areal kebun bekas serangan penyakit BPB diberakan (tidak ditanami lada) selama ± 2 tahun

h) Menanam tanaman penutup tanah seperti Arachis pintoi .

i) Untuk penanaman di lapangan agar digunakan tiang panjat hidup

2) Mekanis

a) Menghindari penyebaran spora oleh percikan air hujan dengan memangkas sulur tanaman dekat permukaan tanah sampai ketinggian ± 30 cm di atas permukaan tanah a) Menghindari penyebaran spora oleh percikan air hujan dengan memangkas sulur tanaman dekat permukaan tanah sampai ketinggian ± 30 cm di atas permukaan tanah

c) Memangkas fajar hidup secara teratur, pada awal dan menjelang akhir musim hujan

d) Alat-alat pertanian yahng telah dipergunakan di areal yang terserang harus dibersihkan (dicuci dengan sabun) terlebih dahulu sebelum digunakan

3) Biologis

Pemberian agens hayati ( Trichoderma sp.) (dosis 500 kg/ha)

4) Kimiawi

Penyemprotan atu penaburan fingisida sistemik yang berbahan aaktif alumunium fosetil 80% dan pemberian bubur bordo. Peberian fungisida dilakukan pada awal musim hujan danselama musim hujan.

3. Pengendalian Terpadu

Berdasarkan Penelitian Dono Wahyuno 
 (2013) Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika Indonesian Medicinal and Aromatic Crops Research

Institute , usaha mengendalikan BPB lada dengan pendekatan pengendalian terpadu telah dilakukan, dengan mempertimbangan kemudahan untuk dilaksanakan oleh petani lada dan aman bagi lingkungan. Di lapang, varietas lada tahan BPB dan fungisida yang efektif dan murah tidak selalu tersedia. Di sisi lain, banyak tahapan dalam siklus hidup P. capsici, dan beberapa diantaranya peka Institute , usaha mengendalikan BPB lada dengan pendekatan pengendalian terpadu telah dilakukan, dengan mempertimbangan kemudahan untuk dilaksanakan oleh petani lada dan aman bagi lingkungan. Di lapang, varietas lada tahan BPB dan fungisida yang efektif dan murah tidak selalu tersedia. Di sisi lain, banyak tahapan dalam siklus hidup P. capsici, dan beberapa diantaranya peka

a. Strategi yang dikembangkan diarahkan untuk memanfaatkan berbagai potensi yang ada di suatu daerah, dengan tujuan menekan populasi dan mencegah penyebaran Phytophthora. Dengan banyaknya potensi yang dapat digunakan, peran aktif dari petani menjadi sangat penting dalam keberhasilan pengendalian melalui pendekatan PHT.

b. Teknologi yang ada sampai saat ini, perlu didukung dengan sosialisasi yang lebih intensif. Keberhasilan pengendalian dengan PHT selain tergantung pada ketersediaan teknologi, juga pada kemauan petani untuk mengelola kebunnya, dan menambah pengetahuan agar dapat mengambil keputusan terhadap permasalahan yang ada. Perbaikan kemampuan melalui pendamping- an oleh staf atau dinas terkait di masing- masing daerah harus dilakukan secara terus menerus.

c. Di masa mendatang, pengembangan teknologi pengendalian sebaiknya tetap diarahkan untuk mendapatkan teknologi yang ramah lingkungan, murah, dan tidak banyak tergantung pada input dari luar. Sementara itu, pencarian varietas lada yang produktivitasnya tinggi dan tahan penyakit perlu dilanjutkan, selain eksplorasi untuk mendapatkan musuh alami yang lebih efisien, mudah dikembangkan dan sesuai untuk berbagai agroekosistem lada.

2.2.3.2. Hama Penggerek Batang ( Lophobaris piperis )

Kumbang dewasa disebut gagaja atau kumbang moncong, menyerang bunga, buah, pucuk, daun, dan cabang-cabang muda. Kerusakan terberat akibat hama ini adalah serangan larva dengan cara menggerek batang atau cabang tanaman sehingga mengakibat-kan kematian bagian atas batang atau cabang terserang. Daerah sebarannya hampir pada selur uh pertanaman lada di Indonesia. Serangga L. piperis sampai saat ini hanya diketahui dapat hidup dan berkembang biak pada tanaman keluarga Piperaceae, terutama genus Piper yang dikatagorikan sebagai sirih-sirihan. Hampir pada semua genus Piper serangga ini mampu hidup dan berkembang biak walaupun setiap spesies dari anggota genus ini memiliki berbagai tingkat ketahanan yang berbeda terhadap penggerek tersebut. Namun demikian tanaman inang utama yang paling sesuai adalah P. methysticum Forst., dan P. nigrum L. Pada kedua tanaman ini keberhasilan penggerek batang menjadi imago mencapai 75% (Suprapto, 1986).

Penggerek batang meletakkan telur dengan cara melubangi bagian bawah kulit batang atau cabang. Satu kali peletakkan telur berkisar antara 1 - 3 butir. Telur berwarna putih kekuningan. Telur menetas setelah ± 7 hari dan keluar larva yang berwarna putih kotor dan kepala berwarna kuning pucat hingga coklat kekuningan. Panjang larva awal 1 mm dan pada larva akhir 8 mm. Larva akan menjadi pupa yang terbentuk dalam kokon setelah berumur 28 hari. Pupa berwarna putih kotor hingga kekuningan. Pupa terdapat di dalam gerekan selama

19 hari dan kemudian menjadi imago (kumbang). Imago berwarna hitam. Pada kepala terdapat bagian yang memanjang dan disebut rostrum, bentuknya seperti 19 hari dan kemudian menjadi imago (kumbang). Imago berwarna hitam. Pada kepala terdapat bagian yang memanjang dan disebut rostrum, bentuknya seperti

Imago sangat peka terhadap sentuhan dan getaran. Imago berdiam diri tak bergerak seperti mati dan kemudian menjatuhkan diri bila disentuh. Selain itu serangga ini tidak menyukai sinar matahari langsung. Karena itu pada siang hari imago bersembunyi pada tempat-tempat yang terlindungi dari cahaya, misalnya pada tandan buah, ketiak daun, batang utama atau dibalik daun.

Serangga L. piperis hidup dan mampu berkembang biak dengan menyerang hampir semua bagian tanaman lada. Oleh karena itu kelimpahan populasinya di lapangan kurang dipengaruhi oleh keberadaan buah lada sebagai makanan utama serangga dewasa. Berbagai stadium penggerek batang selalu ditemukan pada saat yang sama berupa telur, larva, pupa atau imago. Pada awal musim hujan biasanya ditemukan telur dan larva muda. Pada pertengahan musim hujan ditemukan pupa dan imago. Pada akhir musim hujan ditemukan telur dan larva. Pada musim kemarau, semua stadium jumlahnya sangat rendah (Deciyanto dan Suprapto, 1996).

Gejala serangan imago umum-nya berupa bekas gigitan pada bagian tanaman yang diserang dan menghitamnya bekas gigitan karena pembusukan. Gejala serangan ini dapat dijadikan petunjuk keberadaan imago. Gejala kerusakan akibat serangan imago tersebut biasanya tidak menyebabkan kerugian yang berarti. Kerugian terjadi jika diserang oleh larva penggerek.

Gejala serangan larva berupa layu dan menguningnya tanaman pada bagian atas gerekan yang kemuadian mengering. Bagian yang digerek akan mudah patah. Pada gejala lanjut dapat ditemukan lubang di sekitar bagian tanaman yang terserang, sebagai tempat keluar serangga dewasa. Serangan larva umumnya dimulai pada cabang-cabang buah. Pada populasi tinggi, serangan dapat mencapai batang utama. Sekitar 23% lubang gerekan terdapat pada batang utama dan 77% pada cabang tanaman. Serangan larva penggerek pada satu batang utama dapat mengakibatkan kehilangan hasil sekitar 43,8% atau bahkan tanaman mengalami kematian total bila seluruh batang utama yang terdapat pada bagian paling rendah dari tanaman terserang. Hasil penelitian menunjuk-kan bahwa pada umumnya serangan pada dua cabang buah selalu diikuti dengan serangan larva pada satu batang utama, yang diperkirakan dapat mengakibatkan kehilangan hasil sekitar 16,5%.

2.2.4. Hama dan Penyakit Pada Tanaman Jahe

2.2.4.1. Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri sering ditemukan pada pertanaman jahe terutama di daerah tropis dan sub tropis yang beriklim lembab. Di Indonesia serangan tersebut dapat menyebabkan kehilangan hasil rimpang jahe sampai 90%. Oleh karema itu penyakit layu bakteri merupakan salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman jahe.

1. Gejala

Pada umumnya gejala penyakit mulai muncul pada saat tanaman berumur 3 atau 4 bulan. Gejala penyakit diawali dengan terjadinya daun-daun yang

menguning dan menggulung. Gejala menguning pada daun tersebut pada umumnya dimulai dari bagian tepi dan berkembang keseluruh helaian daun. Selanjutnua seluruh bagian daun menjadi kuning, layu, kering, dan tanaman menjadi mati. Pada bagian pangkal batang yang sakit terlihat adanya garis-garis membujur yang berwarna hitam atau abu-abu yang merupakan jaringan yang rusak. Tanaman yang sakit batangnya akan mudah dicabut dan dilepas dari bagian rimpangnya. Apabila batang ditekan, dari penampang melintangnya akan terlihat adanya eksudat bakteri yang keluar berwarna putih susu yang baunya khas sangat menyengat (Hartani., el al, 2011 : 86).

2. Patogen

Penyebab penyakit layu pada tanaman jahe adalah bakteri R. solanacearum . Menurut Supriadi (1994), R. solanacearum yang menyerang tanaman jahe di Indoneisa termasuk dalam biovar 3 dan ras 4. Di Australia, R. solanacearum biovar 4 pada umumnya menyebabkan kerusakan yang parah dan berkembang sangat cepat, sedangkan biovar 3 umumnya menyebabkan gejala kerusakan lebih ringan. Namun yang menyerang jahe di Malaysia tergolong dalam biovar 1.

3. Diagnosis Penyakit

Di lapangan, penyakit layu bakteri mudah diketahui dengan cara memotong batang tanaman yang terinfeksi dan menekan penampang batangnya. Adanya eksudat bakteri berupa cairan yang berwarna putih susu dan berbau khas yang keluar dari permukaan potongan batang menandakan tanaman sudah terserang layu bakteri. Selain itu, potongan batang juga dapat dimasukkan ke dalam air di dalam gelas transparan. Adanya aliran eksudat bakteri yang keluar dari penampang melintang batang menandakan tanaman sudah terinfeksi layu bakteri.

Dilaboratorium penyakit layu bakteri dapat dideteksi baik dengan metode konvensional yaitu mengisolasi bakteri pada media agar, maupun secara serologi dengan teknik ELISA menggunakan entiserum khusus (Robinson, 1993). Metode ini dapat mendeteksi R solanacearum dalam ekstrak tanaman dan tanah.

Populasibakteri terendah yang dapat dideteksi dengan metode ELISA yaitu 10 4 sel/ml ekstrak tanaman atau tanah. Cara ini lebih praktis dibanding dengan cara

konvensional karena metode ELISA dapat menguji banyak sampel dalam waktu yang lebih singkat. Deteksi patogen juga dapat dilakukan secara molekuler. Cara tersebut lebih cepat dan akurat, namun biayanya cukup mahal dan memerlukan tenaga ahli yang berpengalaman.

4. Epidemiologi Penyakit

Penyakit layu bakteri pertama kali dilaporkan oleh Orian pada tahun 1953 di Mauritania. Selanjutnya penyakit tersebut juga ditemukan di beberapa Negara di Asia, Australia dan Afrika seperti di China, Filiphina, Hawai, India, Indonesia, Malaysia dan Thailand (Hayward, 1986).

Di Indonesia penyakit layu pertamakali dilaporkan pada tahun 1971 di daerah Kuningan, Jawa Barat. Selanjutnya penyakit juga dilaporkan ada di daerah lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Utara.

R. solanacearum merupakan patogen tular tanah. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama di dalam tanah. Penyebaran penyakit di dalam kebun dapat terjadi melalui tanah, akar, air, alat-alat pertanian, R. solanacearum merupakan patogen tular tanah. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama di dalam tanah. Penyebaran penyakit di dalam kebun dapat terjadi melalui tanah, akar, air, alat-alat pertanian,

Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi kemampuan bertahan dari R. solanacearum . Kelembaban tanah yang tinggi dapat meningkatkan populasi bakteri. Sementara kandungan bahan organik tanah yang tinggi akan mengurangi populasinya demikian juga kondisi temperatur yang tinggi. Selain itu adanya tanaman inang pengganti sangat berpengaruh terhadap kemampuan bertahan hidup dari R. solanacearum.

5. Interaksi Dengan Nematoda Dan Lalat Rimpang

R. solanacearum sering berasosiasi dengan nematoda. Serangan penyakit layu akan menjadi lebih berat dengan adanya serangan nematoda (Vilsoni et al. 1979; Hayward 1991). Nematoda akan membuat luka pada akar dan rimpang yang memudahkan bakteri untuk menginfeksi tanaman. Menurut Mustika (1996) dan Nurawan et al. (1993), ada dua jenis nematoda yang sering ditemukan ada pada tanaman jahe yang juga terserang bakteri R. solanacearum di daerah Jawa Barat, Bengkulu, dan Sumatera Utara. Kedua jenis nematoda tersebut adalah Meloidogyne sp. dan Radopholus similis.

Disamping nematoda, lalat rimpang ( Mimegralla coeruleifrons ) juga sering ditemukan pada tanaman jahe yang terserang R. solanacearum . Di India juga dilaporkan bahwa lalat rimpang sering berasosiasi dengan R solanacearum (Jacob 1980). Lalat rimpang tersebut diduga yang membuat luka pada tanaman jahe, sehingga membantu bakteri untuk menginfeksi dan masuk kedalam jaringan tanaman jahe.

6. Penanggulangan Penyakit Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri sangat sulit dikendalikan. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat ekobiologi dari R. solanacearum yang sangat komplek. Berbagai cara pengendalian telah dilakukan, namun hasilnya masih kurang memuaskan. Oleh karena itu cara yang paling bijaksana adalah mencegah timbulnya penyakit di lapangan (pengendalian secara preventif).\

a. Pencegahan Penyakit

Untuk melakukan pencegahan penyakit layu bakteri pada jahe dapat dilakukan beberapa cara, yaitu:

1) Lahan Bekas Patogen

Lahan bebas patogen merupakan persyaratan utama dalam pencegahan terjadinya penyakit layu. Hasil pengamatan di lapang dan analisa di laboratorium menunjukkan bahwa ada beberapa jenis lahan yang berpotensi bebas dari patogen diantaranya adalah lahan bekas sawah beririgasi teknis. R solanacearum bersifat aerobik, sehingga tidak tumbuh pada keadaan kondisi an aerob seperti di lahan sawah.

2) Benih Sehat

Untuk mencegah terjadinya penyakit layu bakteri, maka penanaman benih yang sehat sangat diperlukan. Sortasi benih harus dilakukan sejak awal pada waktu benih masih di lapangan dan sebelum ditanam. Sumber benih harus dari tanaman yang sehat. Rimpang Untuk mencegah terjadinya penyakit layu bakteri, maka penanaman benih yang sehat sangat diperlukan. Sortasi benih harus dilakukan sejak awal pada waktu benih masih di lapangan dan sebelum ditanam. Sumber benih harus dari tanaman yang sehat. Rimpang

3) Tanaman Tahan

Penanaman jenis jahe tahan merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit layu. Namun sampai saat ini belum ada jenis jahe yang tahan terhadap penyakit tersebut. Oleh karena itu penelitian dalam rangka mencari varietas jahe yang tahan sangat diperlukan.

4) Sanitasi

Sanitasi harus dilakukan secara ketat dari awal. Sanitasi tidak efektif apabila dilakukan pada saat serangan sudah meluas dan parah. Tanaman jahe yang terserang di lapang harus segera dicabut dan dimusnahkan dengan cara dibakar. Selanjutnya lubang bekas tanaman yang sakit disiram dengan antibiotik atau ditaburi dengan kapur.

5) Pengelolaan Lingkungan

Penyakit layu akan berkembang dengan baik pada kondisi kebun yang lembab dan panas, sehingga penyakit tersebut sering terjadi di daerah-daerah Tropis humid dan Sub tropis. Untuk mencegah timbulnya penyakit, maka pengelolaan lahan dan lingkungan perlu dilakukan untuk menjaga agar kondisi di kebun tidak terlalu lembab, misalnya dengan mengatur jarak tanam, menyiangi gulma di sekitar tanaman jahe, karena ada beberapa jenis gulma yang bisa menjadi

inang dari R. solanacearum. Selain itu irigasi kebun harus diperhatikan agar lahan mempunyai drainase yang baik. Apabila ada areal yang terinfeksi sebaiknya dibuat selokan yang membatasi dengan areal yang masih sehat untuk mencegah penularan penyakit melalui akar, tanah, dan air. Untuk mencegah masuknya patogen ke daerah yang masih sehat, maka semua pekerjaan di kebun yang dilakukan baik oleh manusia maupun hewan sebaiknya dimulai dari daerah yang masih sehat selanjutnyta berjalan kearah daerah yang sudah terinfeksi. Demikian juga alat-alat pertanian yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum dan setelah digunakan.

b. Pengendalian Penyakit di Lapangan

Apabila pencegahan sudah dilakukan namun penyakit masih timbul di lapangan, maka perlu dilakukan pengendalian. Sampai saat ini belum ada cara pengendalian yang efektif, sehingga pengendalian terpadu merupakan cara yang paling bijaksana untuk dilakukan.

1) Pengendalian Terpadu

Pengendalian terpadu harus dilakukan sesuai dengan jenis tanamannya, jenis patogen, dan pengetahuan mengenai cara bertahan hidup dan penyebaran (ekobiologi) patogennya (Hayward 1986). Untuk tanaman yang menghasilkan umbi seperti kentang, penggunaan varietas tahan sangat diperlukan dengan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang berperanan terhadap potensi inokulum, Pengendalian terpadu harus dilakukan sesuai dengan jenis tanamannya, jenis patogen, dan pengetahuan mengenai cara bertahan hidup dan penyebaran (ekobiologi) patogennya (Hayward 1986). Untuk tanaman yang menghasilkan umbi seperti kentang, penggunaan varietas tahan sangat diperlukan dengan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang berperanan terhadap potensi inokulum,

2) Pemakaian Pestisida

Pengendalian penyakit bisa dilakukan misalnya dengan pestisida baik yang berupa pestisida kimia sintetik maupun pestisida alami. Namun pestisida kimia sintetik sangat mahal, sehingga pemakaian pestisida alami yang efektif, murah dan ramah lingkungan merupakan suatu alternatif yang perlu dianjurkan. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri merupakan bahan alami dari tanaman yang berpotensi untuk digunakan sebagai pestisida nabati.

3) Agensia Hayati

Pupuk kandang yang diperkaya dengan mikroba dekomposer dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman jahe. Menurut Hartati et al. (2009), pemberian pupuk hayati yang berupa pupuk kandang yang diperkaya dengan mikroba dekomposer (Bacillus pantotkenticus dan Trichoderma lactae) dapat mengurangi intensitas serangan penyakit sebesar 54% dibandingkan dengan pemberian pupuk kandang biasa.

2.2.4.2. Bercak Daun

Penyebab gejala bercak daun jahe adalah cendawan parasit tanaman. Pada kondisi tertentu, misalnya kelembaban yang tinggi, atau menanam jahe di daerah yang berlembah sehingga tanaman menjadi agak ternaungi, serangan Penyebab gejala bercak daun jahe adalah cendawan parasit tanaman. Pada kondisi tertentu, misalnya kelembaban yang tinggi, atau menanam jahe di daerah yang berlembah sehingga tanaman menjadi agak ternaungi, serangan

Hasil survey OPT jahe yang dilakukan bersama Ditjen Perlindungan Hortikultura di tiga lokasi di Jawa dan Sumatera tahun 2008, berdasarkan model gejala yang terlihat ada indikasi variasi jenis cendawan yang dominan di tiap lokasi yang dikunjungi (Siswanto et al. 2009). Kondisi lingkungan, umur tanaman dan jenis jahe yang ditanam mempengaruhi kerusakan dan jenis cendawan yang dominan di suatu daerah.

1. Gejala dan Penyebab

a. Phyllosticta sp

Dari empat jenis cendawan tersebut di atas, gejala becak putih yang merata pada permukaan daun dianggap gejala yang paling merusak dan merugikan tanaman. Serangan di awal pertumbuhan dapat menyebabkan produksi turun karena banyak daun yang tidak dapat berfungsi secara optimal. Gejala dapat ditemukan pada daun yang ada di bagian atas hingga di bagian tengah. Infeksi diduga terjadi saat daun baru pada awal membuka penuh. Kobayashi et al. (1993) mendapatkan struktur cendawan yang diidentifikasi sebagai Phyllosticta pada permukaan bagian yang berwarna putih. Siswanto et al. (2009) Dari empat jenis cendawan tersebut di atas, gejala becak putih yang merata pada permukaan daun dianggap gejala yang paling merusak dan merugikan tanaman. Serangan di awal pertumbuhan dapat menyebabkan produksi turun karena banyak daun yang tidak dapat berfungsi secara optimal. Gejala dapat ditemukan pada daun yang ada di bagian atas hingga di bagian tengah. Infeksi diduga terjadi saat daun baru pada awal membuka penuh. Kobayashi et al. (1993) mendapatkan struktur cendawan yang diidentifikasi sebagai Phyllosticta pada permukaan bagian yang berwarna putih. Siswanto et al. (2009)

b. Pyricularia sp

Cendawan Pyricularia sebelumnya tidak dipernah dilaporkan keberadaannya di Indonesia, meskipun sudah pernah dilaporkan di Jepang (Hashioka 1971, Kotani dan Kurata 1992), Thailand (Bussaban et al. 2003) dan Australia (Clark dan Warner 2000). Siswanto et al. (2009) mendapatkan gejala khas Pyricularia yaitu nekrosa dengan bagian tengah berwarna putih dan tepi berwarna cokelat/gelap di Boyolali, Kepahiang dan dan Sukabumi. Sepintas gejala yang ditimbulkan mirip dengan yang ditimbulkan oleh Phyllosticta, tetapi bagian tepi dari jaringan nekrosa yang terserang Pyricularia cenderung berwarna kuning.

c. Cercospora zingiberi

Gejala serangan Cercospora umumnya berupa bercak yang luas denga bagian tepi berwarna kuning pada mulanya. Pada kondisi ideal, yaitu kelembaban dan suhu tinggi, bercak dapat melebar dengan bagian tepi berwarna gelap dan dapat dibedakan dengan bagian yang masih sehat. Pada stadia yang lanjut, terdapat titik-titik warna hitam yang tersebar secara acak pada permukaan jaringan yang mengalami nekrosa (Gambar 1G). Titik-titik tersebut adalah tangkai spora (konidiofor) dan spora (konidia) dari Cercospora. Siswanto et al. (2009) juga melaporkan Gejala serangan Cercospora umumnya berupa bercak yang luas denga bagian tepi berwarna kuning pada mulanya. Pada kondisi ideal, yaitu kelembaban dan suhu tinggi, bercak dapat melebar dengan bagian tepi berwarna gelap dan dapat dibedakan dengan bagian yang masih sehat. Pada stadia yang lanjut, terdapat titik-titik warna hitam yang tersebar secara acak pada permukaan jaringan yang mengalami nekrosa (Gambar 1G). Titik-titik tersebut adalah tangkai spora (konidiofor) dan spora (konidia) dari Cercospora. Siswanto et al. (2009) juga melaporkan

d. Phakopsora elletariae

Phakopsora menyebabkan bercak daun bergaris. Gejala banyak dijumpai pada daun yang telah terbuka, dan tanaman yang tumbuh di tempat yang ternaungi atau rumpun-rumpun jahe yang tumbuh rapat. Phakopsora juga dapat ditemui pada semua pertanaman jahe di Indonesia, tetapi kerusakan yang ditimbulkan tidak sebesar kedua jamur di atas sehingga sering diabaikan dalam pengamatan di lapang. Siswanto et al. (2009) hanya mendapatkan jahe yang terserang Phakopsora di Sukabumi, Jawa Barat dan Kepahiang, Bengkulu; dan tidak dijumpai di Boyolali, Jawa Tengah.

2. Eko-Biologi Cendawan Penyebab Bercak Daun

a. Penyebaran

Cendawan penyebab bercak daun pada jahe disebarkan melalui angin. Lingkungan yang lembab dan berangin merupakan kondisi yang ideal bagi penyebaran konidia melalui udara atau aliran air yang terdapat di permukaan daun. Penyebaran melalui aliran udara merupakan cara yang umum bagi keempat cendawan ini. Lapisan lendir pada permukaan

konidia Phyllosticta merupakan indikasi bahwa ia dapat tersebar melalui aliran air, selain untuk membantu menempel pada permukaan daun. Penyebaran melalui benih rimpang masih berupa dugaan yang didasarkan pada seringnya bercak daun Phyllosticta ditemukan pada tanaman yang masih sangat muda (± 1-2 bulan) di lapang, khususnya di daerah endemik penyakit bercak daun. Penyebaran melalui udara dari sumber-sumber inokulum berupa jaringan tanaman yang telah terinfeksi dan gugur di atas tanah, atau berasal dari lahan lain di sekitar diduga lebih dominan sebagai sumber inokulum di lapang. Phyllosticta dapat bertahan dalam bentuk tubuh buah piknidia yang terbentuk di atas jaringan jahe yang telah terinfeksi. Pyricularia yang ditumbuhkan pada media buatan (Oat Meal Agar) mampu membentuk struktur bertahan sklerotia berbentuk kumpulan/jalinan hifa yang tebal, dan berwarna gelap dan membentuk konidia dalam jumlah banyak setelah ditumbuhkan pada permukaan daun jahe (Wahyuno et al. 2009). Untuk Phakopsora, stadia uredinia dengan urediniospora nya yang berdinding tebal membuat urediniospora cendawan ini mampu bertahan pada kondisi kering untuk waktu yang lama.

b. Kisaran Inang