AL- QUR‘AN DALAM PANDANGAN TOSHIHIKO IZUTSU

BAB III AL- QUR‘AN DALAM PANDANGAN TOSHIHIKO IZUTSU

Sebuah pandangan tidak muncul dalam ruang yang hampa tetapi sangat dipengaruhi oleh subyektifitas dan historitas yang melingkupinya, maka pandangan tersebut harus dipahami melalui usaha pembaca atau penafsir untuk merekonstruksi atau membangun kembali pengalaman mental penulisnya atau mengulang proses

kreatif penulis secara utuh. 116 Demikian juga halnya dengan pandangan Toshihiko Izutsu terhadap al- Qur‘an, sebelum membahasnya lebih detail harus dipahami

terlebih dahulu pribadi tokoh dimaksud. Oleh karena itu, dalam bab ini akan dibahas secara singkat riwayat hidup Toshihiko Izutsu dari sisi pengalamannya sejak kecil, pendidikannya, kecenderungannya, dan karya-karyanya tentang al- Qur‘an.

A. Sketsa Biografis Toshihiko Izutsu Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada tanggal 4 Mei 1914 dan meninggal di

Kamakura pada tanggal 7 Januari 1993. 117 Pendidikan dasar sampai perguruan tinggi diperolehnya di negaranya sendiri, Jepang. Setamat SMA, Toshihiko Izutsu

melanjutkan ke fakultas ekonomi Universitas Keio, Tokyo, tetapi kemudian pindah ke jurusan sastra Inggris karena ingin dibimbing oleh Prof. Junzaburo Nishiwaki. 118

Setelah selesai, ia mengabdikan dirinya menjadi dosen di lembaga ini, dan mengembangkan karir sebagai seorang intelektual yang diakui dunia. Ia mengajar di sini dari tahun 1954 sampai dengan 1968 dan mendapatkan gelar profesor pada tahun 1950. Antara tahun 1962-1968 ia menjadi profesor tamu di Universitas McGill

116 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 135; E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:

Kanisius, 1999), h. 31. 117 http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

118 http://www.iiu.edu.my/irkhs/izutsu/?Who_is_Toshihiko_Izutsu%3F . Diakses 3 Mei 2009.

Montreal Kanada atas permintaan Wilfred Cantwell Smith selaku direktur program kajian Islam di perguruan tinggi tersebut, dan selanjutnya menjadi profesor penuh antara tahun 1969-1975. Setelah lepas dari mengajar di McGill, ia hijrah ke Iran memenuhi undangan Seyyed Hossein Nasr untuk menjadi pengajar di Imperial Iranian Academy of Philosophy antara tahun 1975 sampai dengan 1979. Setelah itu, ia kembali ke tanah airnya dan menjadi profesor emiritus di Universitas Keio hingga

akhir hayatnya. 119 Toshihiko Izutsu berasal dari keluarga yang taat kepada ajaran Zen

Buddhisme, bahkan ayahnya adalah seorang guru Zen. Oleh karena itu ia pun telah dibiasakan untuk mengamalkan ajaran tersebut sejak kecil. Sebagai seorang guru Zen, ayahnya mengajarkan Zen dengan menuliska n kata ―kokoro‖ yang berarti ―pikiran‖ pada sebuah kertas. Tulisan tersebut diberikan kepadanya untuk ditatap pada waktu tertentu setiap hari. Lalu pada suatu ketika, ayahnya memerintahkan untuk menghapus tulisan itu dan memintanya untuk melihat kembali tulisan tersebut di dalam pikiran – bukan kata yang tertera pada kertas – dengan cara memfokuskan perhatian kepada tulisan secara terus menerus. Berikutnya, ayahnya memerintahkan untuk menghapuskan kata yang ada di dalam pikirannya, dan menatap pikiran yang hidup di balik kata yang tertulis. Pengalaman kontemplasi dalam mengamalkan Zen yang telah dilakukan sejak muda tersebut tampaknya turut mempengaruhi cara

berfikir dan pencariannya akan kedalaman pemikiran filsafat dan mistisisme. 120 Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana yang jenius. Ia menguasai banyak

bahasa dunia. 121 Kemampuan ini memungkinkannya untuk melakukan penyelidikan terhadap kebudayaan-kebudayaan dunia dan menjelaskan secara spesifik substansi

berbagai sistem keagamaan dan filsafat melalui bahasa aslinya. Bidang kegiatan penyelidikannya sangat luas, mencakup filsafat Yunani kuno, filsafat Barat abad

119 http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 120 http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

121 http://www.worldwisdom.com/public/authors/Toshihiko-Izutsu.aspx . Diakses 3 Mei 2009.

pertengahan, mistisisme Islam (Arab dan Persia), filsafat Yahudi, filsafat India, pemikiran Konfusianisme, Taoisme China, dan filsafat Zen. Keluasaan pengetahuannya memungkinkan untuk melihat persoalan dari berbagai perpektif,

sehingga dapat melahirkan pandangan yang menyeluruh tentang satu masalah. 122 Sejauh berkenaan dengan kajian Islam, kepentingan karya Toshihiko Izutsu

terletak pada sebuah pemikiran yang dibentuk oleh Zen Buddhisme, Neo- Konfusianisme, dan Shintoisme (yang merupakan unsur-unsur pembentuk kebudayaan klasik Jepang), yang dipertemukan dengan dunia wahyu al- Qur‘an dan pemikiran Islam. Inilah yang membedakannya dengan sarjana-sarjana orientalis yang menghasilkan begitu banyak karya tentang pemikiran Islam yang merupakan hasil dari tradisi yang dibentuk oleh warisan Yahudi dan Kristen. Bagi Seyyed Hossein Nasr, karya Toshihiko Izutsu dalam bidang kajian Islam sesungguhnya menunjukkan betapa pentingnya sebuah pandangan dunia yang dijadikan pijakan oleh seorang sarjana dalam mengkaji dunia intelektual lain dan bagaimana dangkalnya tuduhan- tuduhan yang disampaikan oleh begitu banyak sarjana Barat menurut pengertian mereka, baik disadari atau tidak, merupakan ―alasan‘ yang anti-metafisis, bersifat sekuler, dan rasionalisme Abad Pencerahan. 123

Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. Seyyed Hossein Nasr, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syahidah, ketika menuliskan pengantar dalam Jalâl al-Dîn Ashtiyani (et. al), Consciousness and Reality; Studies in Memory of Toshihiko Izutsu, (Boston: Brill, 2000), menyatakan kekagumannya seraya mengatakan bahwa dengan menggabungkan kepekaan Buddhis, disiplin Jepang tradisional, dan bakat yang luar biasa dalam mempelajari bahasa dan kepintaran filsafat yang meliputi kemampuan analitik dan sintetik, dapat melintasi batas-batas kultural dan intelektual, Toshihiko

122 http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 123 http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

Izutsu dapat dengan mudah memasuki semesta makna yang berbeda dengan wawasan yang hebat. Dia adalah seorang tidak saja ahli dalam bahasa utama tiga peradaban: Timur Jauh, Barat dan Islam, tetapi juga warisan intelektualnya. Ia menulis dengan sangat kompeten tidak hanya tentang Lao-Tse tetapi j uga Ibn ‗Arabi dan Mulla Sadra selain juga para ahli filsafat Barat. 124

.Selain itu, tambah Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan serius pertama antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara pemikiran Islam dan Timur

Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern. 125 Berkaitan dengan bagaimana Toshihiko Izutsu memahami kajian teks-teks

Islam, William C. Chittick memberikan testimoni bahwa hal ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masa kecilnya, yang dipaksa ayahnya untuk

mempraktikkan zazen. 126 Toshihiko merasa sangat tidak nyaman dengan pengalaman ini. Akibatnya, ia memutuskan untuk memasuki sebuah bidang yang sejauh mungkin

dari pendekatan Zen dalam memahami realitas, dan oleh karena itu ia memilih linguistik. Sejak itulah, Toshihiko Izutsu mulai mempelajari beberapa bahasa

asing. 127 Sebagai seorang sarjana yang prolifik dan diakui dunia, Toshihiko Izutsu telah

menghasilkan tidak kurang dari 120 karya tulis, baik yang berbentuk buku maupun

124 http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 125 http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

126 Toshihiko Izutsu dalam Toward A Philosophy of Zen Buddhism, (Tehran: Imperian Iranian Academy of Philosophy, 1977), h. 5, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syahidah, menjelaskan bahwa

zazen ( 坐禅) adalah meditasi yang dilakukan dengan duduk yang dilakukan untuk menenangkan tubuh dan pikiran untuk mencapai pengetahuan tentang hakikat eksistensi dan dengan demikian mendapatkan

pencerahan (satori). http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 127 http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

artikel. 128 Dari sekian banyak tulisan Toshihiko Izutsu, ada dua karya yang patut mendapat perhatian khusus berkenaan dengan kajian al- Qur‘an. Yang pertama yaitu,

Ethico- 129 Religious Concepts in the Qur‟an. Menurut Toshihiko Izutsu, konsep pemikiran tentang etika dalam al- Qur‘an dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok:

Pertama , pembahasan yang menunjukkan dan menguraikan sifat-sifat Tuhan; Kedua, pembahasan yang menjelaskan berbagai aspek sikap fundamental manusia terhadap Tuhan; dan Ketiga, pembahasan yang menunjukkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan

tingkah laku yang menjadi milik dan hidup dalam masyarakat Islam. 130 Dari tiga konsep al- Qur‘an tentang etika tersebut, Toshihiko Izutsu

memfokuskan diri pada pembahasan mengenai konsep kedua saja. Ini bukan berarti bahwa ia meninggalkan sama sekali dua konsep yang lain, karena – menurutnya – ketiga kelompok konsep tersebut tidak berdiri secara terpisah, namun memiliki hubungan yang sangat erat. Hal itu disebabkan karena pandangan dunia al- Qur‘an pada dasarnya bersifat teosentris.

Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al- Qur‘an adalah: God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung. 131 Dari judul buku

ini, jelas Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al- Qur‘an tentang relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al- Qur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan- hamba, dan etik. 132

B. Status al-Qur‘an Menurut Toshihiko Izutsu

128 Untuk lebih rincinya, lihat http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

129 Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran . Toshihiko Izutsu, Ethico- Religious Concepts in the Qur‟an,

(Montreal: McGill-

Queen‘s University Press, 2002), h. iv. Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico- Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17.

Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas Keio.

132 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), h. 127-268.

Pada bab I telah dikemukakan bahwa mayoritas non-Muslim mengingkari al- Qur‘an bersumber dari Allah. Hal ini tercermin dari pandangan pemuka agama Kristen abad pertengahan seperti Peter the Venerable (1094-1156), Martin Luther (1483-1546), dan Ricoldo da Monte Croce (+1243-1320) yang menyatakan bahwa al- Qur‘an tidak lain adalah buatan setan. Pandangan demikian juga menjadi hal yang umum dalam karya sarjana-sarjana al- Qur‘an non-Muslim sampai abad ke-19 dan 20. Willian Muir (1819-1905), Richard Bell (1876-1953), dan John Wansbrough (1928- 2002), sebagai contoh, menunjukkan kecenderungan tersebut. Menurut Willian Muir, kepercayaan akan al-Qu r‘an sebagai firman Tuhan hanya dipropagandakan oleh generasi sesudah Muhammad. Abû Bakr, salah seorang sahabat Muhammad yang utama dan menjadi khalifah pertama setelah Muhammad wafat, yang mula-mula

memperkenalkan al- Qur‘an sebagai firman Tuhan. Ketertarikan Abû Bakr terhadap Muhammad sebagai pribadi yang sederhana dan konsisten yang menyebabkannya mengangkat derajat ucapan Muhammad sebagai firman Tuhan dan menghimpunnya untuk memelihara dari kehilangan. Sikap dan usaha yang sama diteruskan oleh ‗Umar ibn Khattâb untuk melakukan kompilasi dan mendeklarasikan sebagai firman

Tuhan. 133 Hal ini tentu bertentangan secara diametral dengan pandangan umat Muslim. Meskipun di kalangan teolog Muslimnya terdapat perdebatan mengenai

status al- Qur‘an; apakah al-Qur‘an makhluk atau bukan, namun mereka sepakat bahwa al- Qur‘an adalah firman Allah yang disampaikan kepada nabi dan rasul-Nya yang terakhir, yaitu Muhammad. Richard Bell berpendapat bahwa al- Qur‘an dibuat Muhammad berdasarkan ajaran-ajaran yang telah mapan saat itu, termasuk ajaran

Yahudi dan Kristen. 134 Sementara menurut John Wansbrough al- Qur‘an merupakan

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997), h. 97. 134 Contoh pengaruh ajaran Kristen adalah kisah tentang penolakan penyaliban Yesus. Dalam

hal ini Muhamamd mengambil dari salah satu sekte Kristen Syria. Lihat Richard Bell, The Origin of Islam in Its Christian Environment , h. 67-68.

imitasi dari Taurat. 136 Salah satu buktinya adalah pengambilan term setan. Umat Muslimlah, dalam pandangan John Wansbrough, yang menaikkan status dan

kumpulan ucapan (logia) al- 137 Qur‘an kepada derajat kitab suci yang bernilai mutlak. Yang lebih fatal lagi, dengan merujuk kepada Q.S. al- A‗râf (7): 71 dan al-Shaffât

(31): 156, John Wansbrough memberi arti kata al-Kitâb/Kitâb Allâh yang ada dalam al- 138 Qur‘an dengan ketetapan (decree), otoritas (authority), bukan dengan kitab suci.

Keengganannya untuk menyebut al- Qur‘an dengan kitab suci tersebut tampaknya bertujuan untuk melepaskan al- Qur‘an dari jalinan yang transendental, yaitu wahyu Allah. Oleh karena itu dimunculkanlah anggapan akan adanya kata-kata yang disinyalir sebagai tambahan dari Muhammad. John Wansbrough menganggap bahwa kata qul dalam Q.S. al- An‗âm (6): 15, al-Ra‗d (13): 36, dan al-Ankabût (29): 52, yang menunjukkan bahwa Muhammad menerima perintah untuk menyampaikan suatu ayat kepada umatnya, sengaja disisipkan untuk menunjukkan bahwa al- Qur‘an adalah benar wahyu Allah. Keberadaannya justru menghilangkan struktur logis al- Qur‘an, karena tidak sejalan dengan homogenitas gaya bahasanya yang dipandang

berlebihan. 139 Dengan demikian, John Wansbrough melihat atau memperlakukan al- Qur‘an sebagai karya sastra berupa syair atau puisi yang harus konsisten dengan gaya

bahasanya. Dalam keyakinan kaum Muslim, al- Qur‘an memang mengandung nilai

135 John Wansbrough mengatakan: ―That logia once collected and canonized might be granted enhanced status as the inimitable and uncreated world of God would not appear to have been

either logical or necessary. Both qualities how ever may be seen as reflexes af Rabbinic attitudes toward the Mosaic revelation, possibly adobted and modified in the course of the Judeo-Muslim polemic .‖ John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, (New York: Prometheus Books, 2004), h. 78.

136 John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, h. 61.

137 J ohn Wansbrough mengatakan: ―Whatever body of prophetical wisdom might from time to time have been regarded as supplementary to the contents of scripture, it was with an organized

corpus of recognizable logia that the mainstream of Islamic theology was concerned, and not with a source of concealed wisdom for the elect .‖ John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation , h. 61.

138 John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, h. 75-76.

139 John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, h. 67-68.

sastra yang tinggi, yang diakui sendiri oleh bangsa Arab, namun al- Qur‘an bukan sebuah karya sastra yang harus tunduk kepada aturan sastra.

Richard Bell, dalam The Origins of Islam in Its Christian Environment, berusaha keras membuktikan bahwa sumber utama al- Qur‘an adalah doktrin Kristen, meskipun ia juga mengakui kontribusi Yahudi dalam pembentukan doktrin Islam. 140

Pengaruh Kristen memang belum terjadi pada fase awal kenabian, tetapi pada akhir periode Mekah sampai dengan awal periode Madinah. 141 Ia menunjukan salah satu

indikasinya, yaitu Q.S. al-Ikhlâsh (112) yang menurutnya bukan merupakan hasil polemik antara Muhammad dengan orang-orang Kristen, tetapi hasil polemik antara Muhammad dengan orang-orang musyrik yang mempunyai kepercayaan bahwa Allah mempunyai tiga anak perempuan (al-Lât, al-Uzza, dan Manât). Q.S. al- ‗Alaq (96): 1-

5 yang menjelaskan penciptaan manusia dari segumpal darah juga bukan konsep yang diambil dari Bibel, karena dalam Bibel dinyatakan bahwa manusia berasal dari tanah. Konsep yang diambil dari Bibel baru pada ayat-ayat yang muncul kemudian yang menyatakan bahwa manusia berasal dari tanah. Pengaruh Kristen juga dapat dilihat melalui adanya persamaan antara kisah-kisah dalam al- Qur‘an dan Bibel seperti kisah penolakan penyaliban Yesus yang diambil dari salah satu sekte Kristen di Syria. 142

Sementara itu Philip K. Hitti memandang bahwa sumber-sumber al- Qur‘an berasal dari campuran antara Kristen, Yahudi, dan Arab. Argumentasi yang diajukannya adalah bahwa di Hijaz ketika itu telah terdapat sejumlah budak dan pedagang Kristen, dan ada beberapa wilayah yang didiami oleh kaum Yahudi. Di antara isteri-isteri Muhammad ada yang beragama Kristen, yaitu Mariyah al-Qibtiyah, dan ada yang beragama Yahudi, yaitu Shâfiyah. Keadaan ini memungkinkan Muhammad menyerap gagasan-gagasan Yahudi dan Kristen. Selanjutnya karena Muhammad mendapatkan bahan dengan cara tidak langsung, yakni dari cerita-cerita

140 Richard Bell, The Origins of Islam in Its Christian Environment, h. 13-14. 141 W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Quran, (Edinburgh: The University Press,

1991), h. 140. 142 Richard Bell, The Origins of Islam in Its Christian Environment, h. 67-68.

orang, maka dalam al- Qur‘an tercampur-aduk antara wahyu dan kepalsuan. Kepalsuan ini tercermin, misalnya, dalam kisah Yusuf. Istri Potephar, Zulaikhâ, mengundang para wanita Mesir yang mempergunjingkan kisah cintanya dengan Yusuf ke suatu pesta. Ketika Yusuf dipanggil oleh Zulaikhâ untuk tampil di hadapan para wanita tersebut, maka mereka yang ketika itu sedang mengupas buah yang disajikan, tanpa menyadari mengiris tangannya sendiri karena terpana melihat

ketampanan Yusuf. 143 Adapun Toshihiko Izutsu, sarjana yang menjadi fokus kajian ini, berpendapat

bahwa al- 144 Qur‘an adalah wahyu yang berasal dari Tuhan. Pandangannya ini sejalan dengan mayoritas umat Muslim. Bagi umat Muslim al- Qur‘an adalah wahyu Allah

dan Kitab di mana pesan-pesan-Nya kepada manusia terkandung. Ia adalah kalâm Allah yang diwahyukan kepada Nabi melalui Malaikat Jibril. 145 Meskipun ia juga sempat mengatakan bahwa al- Qur‘an secara linguistik adalah sebuah karya asli Arab, 146 namun hal ini tidak berarti Toshihiko Izutsu berpendapat bahwa al- Qur‘an

adalah karya manusia. Pernyataannya lebih tepat dipahami sebagai pengakuannya bahwa bahasa al- Qur‘an adalah murni bahasa Arab, bukan bahasa langit sebagaimana yang dikemukakan oleh Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî dalam Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm, 147 atau bahasa Aramaik dengan dialek Syria (Syrio-

Aramaic ) sebagaimana yang disimpulkan oleh Christoph Luxenberg (pseud.) dalam Die Syrio-Aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschüsselung der

Qur‟ansprache. 148 Oleh karena menggunakan bahasa Arab, maka menurut Toshihiko Izutsu, al- Qur‘an dapat didekati dengan melibatkan berbagai teori dalam lapangan

143 Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: Macmillan Co., 1958), h. 107. 144 Toshihiko Izutsu, 145

God and Man in the Qur‟an, h. 164.

Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen and Unwin Ltd., 1984), h. 42. 146 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 38.

Lihat Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî, Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm, (Riyad: t.p., 1409 H.), Cet. III, h. 13.

148 Dikutip dari Syamsuddin Arif, ―Al-Qur‘an, Orientalisme, dan Luxenberg,‖ dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005, h. 19.

ilmu sosial dan humaniora. 149 Pendapatnya ini mengindikasikan bahwa Toshihiko Izutsu memperlakukan al- Qur‘an sebagai sebuah teks (nashsh). Berikut akan

dielaborasi gagasan-gagasan Toshihiko Izutsu mengenai wahyu, bahasa, dan tekstualitas al- Qur‘an.

1. Al-Qur‘an: Wahyu yang berasal dari Allah Para orientalis menyatakan bahwa wahyu bukan merupakan suatu peristiwa supernatural, tetapi merupakan peristiwa natural. Dengan kata lain, wahyu bukan berasal dari Tuhan, tetapi merupakan ide-ide dalam jiwa yang kemudian disabdakan. William Muir menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai wahyu tidak lain sesungguhnya adalah kata-kata Muhammad sendiri. Kata-kata tersebut dihimpun dari

pengalaman-pengalaman Muhammad. 150 Richard Bell juga menyatakan bahwa wahyu sebagaimana yang digunakan dalam al- Qur‘an adalah sejenis komunikasi dari

suatu ide dengan bisikan (suggestion) atau dorongan (promting) yang cepat melalui kilasan inspirasi. Wahyu demikian diperoleh dengan cara mempraktekkan kehidupan seperti kahin atau tukang tenung (soothsayer), hidup menyepi dan merenung. Argumen yang dikemukakannya adalah Q.S. al-Muzammil (73): 1-8, terutama ayat 6. Ayat ini dipahami Richard Bell sebagai gambaran usaha Muhammad untuk bangun di malam hari dalam rangka mendapatkan wahyu. Dalam suasana tengah malam lebih

hening dan 151 khusyu‟, wahyu lebih mudah didapat. Pernyataan William Muir dan Richard Bell tersebut mengindikasikan bahwa mereka menuduh Muhammad hanya

mengaku mendapat wahyu dari Tuhan. Konsep wahyu itu sendiri, menurut Arthur Jeffery, telah dikenal oleh Muhammad melalui lingkungannya di masa kanak-kanak dan masa muda. Pengetahuan tentang wahyu, ilham, malaikat, kenabian, rasul, dan kitab suci sudah populer dalam masyarakat Arab sebelum atau menjelang kerasulan

149 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 1. 150 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

95. 151 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

95-96.

Muhammad. Ide mengenai wahyu lebih lanjut dipelajari oleh Muhammad melalui kontak dengan ahl al-kitâb. Sementara ajaran mengenai Malaikat Jibril sebagai

pembawa wahyu diambil dari kitab Daniel dan Injil Lukas. 152 Mengapa Muhammad mengaku mendapatkan wahyu dari Tuhan? Karena,

menurut Arthur Jeffery, Muhammad mengumumkan dirinya sebagai nabi. Mengaku sebagai nabi harus mengetahui tentang Tuhan, mempunyai kitab suci, dan perlu bimbingan dari Tuhan, yang semuanya diperoleh melalui wahyu. Dalam hal ini

Muhammad ingin menyerupai nabi-nabi dalam Perjanjian lama. 153 Keinginan Muhammad untuk menjadi nabi, menurut Maxime Rodinson,

karena ada kontradiksi-kontradiksi intern dalam jiwa dan faktor-faktor sosial yang kontradiktif dengan keadaan Muhammad yang mengakibatkan krisis nervous dalam dirinya. 154 Muhammad di satu sisi memiliki pikiran sehat dan tenang. Dalam hidupnya selalu berpikir sebelum mengambil keputusan, melaksanakan kegiatan bisnisnya dengan efisien, mengetahui kapan harus mengulur waktu dan kapan harus memperketat serta kapan harus melakukan tindakan untuk keberhasilan rencananya. Muhammad mampu berdiplomasi dan mampu berpikir yang jelas dan logis. Tetapi di bawah dari apa yang nampak itu terdapat temperamen yang gugup, penuh gairah nafsu agresif, gelisah, tidak sabar, serta mengangankan sesuatu yang tidak mungkin. Keadaan jiwa yang demikian kontradiktif tersebut membawa kepada krisis nervous

yang merupakan kasus patologis. 155

152 Arthur Jeffery , ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195, 197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al- Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah studi evaluatif) , h. 93. Dadan Rusmana, Al- Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 176.

153 Arthur Jeffery, ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195, 197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al- Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah studi evaluatif) , h. 93. 154 Maxime Rodinson menyatakan menggunakan Psikoanalisa Sigmund Freud dalam melihat

kejiwaan Muhammad. Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif) , h. 91.

155 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 91.

Menurut Maxime Rodinson, beberapa sifat Muhammad yang bisa memberikan kebahagiaan walaupun sedikit, misalnya, sikap pasrah terhadap keadaan yang ada. Akan tetapi sifat ini tidak bertahan lama, karena bertentangan dengan sifatnya yang lain, yaitu menginginkan sesuatu di luar dari hal biasa. Hal lain adalah karena ia tidak mempunyai anak laki-laki (anak laki-lakinya, Ibrahim wafat selagi masih kecil). Sebagaimana lazimnya pada masa itu, anak laki-laki menjadi kebanggaan, sementara anak perempuan merupakan bencana. Keadaan ini menyebabkan Muhammad merasa malu, yang oleh Maxime Rodinson diidentikkan dengan kata ―abtar‖ dalam Q.S. al-Kautsar (108): 3. Menurut pemahamannya, ayat tersebut diucapkan oleh Muhammad sebagai kompensasi dari rasa kecewa karena tidak mempunyai anak laki-laki. Di sisi lain, ketidakpuasan Muhammad juga disebabkan oleh tradisi masyarakat Arab yang menganggap pria beristri satu tidak pantas. Sementara itu, Muhammad tidak mungkin memadu Khadijah, istrinya yang

berjasa itu, dengan wanita lain. Keadaan ini juga bisa membawa frustasi. 156 Keadaan lain yang mengakibatkan ketidakpuasan Muhammad adalah karena

famili-famili dan sahabat-sahabat karibnya adalah orang-orang kaya yang lebih cenderung pada politik yang ditunjang oleh kekayaan mereka. Sementara anggota masyarakat lainnya mempunyai kecenderungan pada masalah moral dan intelektual. Muhammad sendiri tidak seperti famili-familinya yang praktisian. Ia adalah seorang idealis yang tidak ofensif. Sementara itu, ia sejak kecil memiliki bakat seperti shaman atau ahli magis yang bisa membuat ramalan-ramalan. Dengan kemampuan tersebut, ia berusaha menarik simpati dari orang banyak dengan membuat ramalan-ramalan untuk perbaikan masyarakatnya. Keadaan ini membuat Muhammad melakukan

pertapaan, kemudian berfatwa, dan lambat-laun menyatakan diri sebagai Nabi. 157 Adapun menurut Arthur Jeffery, yang memotivasi Muhammad untuk mengaku

156 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 91.

157 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 92.

seorang nabi adalah karena masyarakat Arab tidak pernah mempunyai nabi atau rasul dari bangsanya sendiri, sementara konsep kenabian sudah mereka ketahui melalui

tradisi Yahudi dan Kristen. 158 Sementara menurut Toshihiko Izutsu, wahyu yang diperoleh oleh Muhammad

dan nabi-nabi sebelumnya berasal Tuhan. Baginya, fenomena wahyu merupakan fenomena yang sudah dikenal oleh masyarakat Arab pra-Islam sebagaimana terekam

dalam syair-syair Jahiliyah. 159 Dari beberapa contoh penggunaannya dalam syair Jahiliyah, kata ini secara semantik dapat dikelompokkan menjadi tiga persoalan.

Pertama, ia merupakan proses komunikasi. Artinya, proses ini harus melibatkan dua orang, atau harus ada dua orang di arena agar peristiwa yang disebut wahyu benar- benar terwujud. Di sini tidak harus terjadi hubungan timbal balik, hubungan tersebut sepenuhnya merupakan komunikasi unilateral. Orang pertama berperan aktif dengan melakukan tindakan pengiriman kehendak dan pikirannya melalui isyarat kepada orang kedua, sementara orang kedua berperan sebagai penerima informasi dari orang pertama tanpa melakukan tindakan sebaliknya; Kedua, komunikasi tersebut tidak harus verbal. Artinya, media yang digunakan dalam penyampaian informasi tersebut tidak selalu berbentuk bahasa. Meskipun kadang kala menggunakan kata-kata, namun seringkali bersifat non-linguistik; dan Ketiga, komunikasi tersebut dilakukan dengan cara yang misterius, rahasia, dan mengandung hal-hal yang bersifat pribadi. Dalam arti orang pertama menyampaikan informasi dengan sangat jelas kepada orang kedua, sehingga dengan demikian komunikasi tesebut terjadi dengan sempurna, namun karena dilakukan dengan cara yang rahasia, maka komunikasi tersebut tidak dapat

158 Arthur Jeffery , ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195, 197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al- Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah studi evaluatif) , h. 93. 159 Johannes Deninger mendeskripsikan wahyu sebagai ajaran yang berasal dari Tuhan yang

biasanya disampaikan melalui perantaraan malaikat Jibril. Wahyu tersebut menyangkut firman Tuhan, kehendak-Nya yang misterius, pernyataan mengenai hari kemudian, serta perintah-perintah dan hukum-hukum-Nya. Wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad dalam bentuk definitif pada tahun 570-632 M. Lihat Johannes Deninger, ―Revelation‖, dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of

Religion , Vol. 11-12, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), h. 361.

dipahami oleh orang-orang luar. 160 Dengan demikian, makna sentral dari wahyu adalah pemberian informasi. Syarat pemberian informasi ini harus berjalan secara

samar dan tersembunyi. Dengan kata lain, wahyu adalah sebuah hubungan komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi (pesan) secara samar dan rahasia.

Selain itu, konsep wahyu dalam masyarakat Arab pra-Islam terkait dengan puisi dan ramalan yang dianggap datang dari dunia jin yang disampaikan kepada penyair dan peramal melalui proses pewahyuan (wa ẖy, tanzîl). Syair dan ramalan pada saat itu merupakan sumber kebenaran, karena keduanya digubah oleh para penyair dan peramal berdasarkan informasi yang didapat dari jin yang mampu mendengar atau mencuri informasi dari langit. Hal ini, menurut Nashr Hâmid Abû Zaid (l. 10 Juli 1943), merupakan basis kultural fenomena wahyu keagamaan. Karena keyakinan ini, pemikiran Arab juga akrab dengan konsep malaikat ( malâ‟ikah) yang berkomunikasi dengan seorang Nabi. 161 Namun, dalam tahap selanjutnya al- Qur‘an

mendekonstruksi konsep kultural wahyu pra-Islam itu dengan mengatakan bahwa para jin itu kini tidak bisa lagi mencapai langit, karena sebelum mencapainya mereka

telah dilempari bintang berapi oleh para malaikat. 162 Jadi, logika budayanya berarti bahwa syair dan ramalan bukan lagi merupakan sumber kebenaran, karena jin tidak

lagi dapat mencuri informasi dari langit. Dengan demikian, teks al- Qur‘an menyatakan dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran, karena diwahyukan sendiri oleh Allah (bukan dengan cara dicuri) kepada Muhammad melalui Malaikat Jibril.

Berkenaan dengan al- Qur‘an, wahyu, menurut Toshihiko Izutsu, adalah parole 163 (kalâm/perkataan) Tuhan, yang termanifestasi dalam bahasa (lisân) Arab.

160 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 169-178. 161 Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻ Ulûm al- Qur‟ân, (t.tp.: al-Hai‘ah

al-Mishriyyah al-

ʻÂmmâh li al-Kitâb, 1993), h. 38. Q.S. al-Jinn (72): 8-9. 163 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 164.

Pendapatnya tersebut didasarkan kepada Q.S. al-Taubah (9): 6 dan Q.S. al-Baqarah (2): 75, yang secara kontekstual mengandung pengertian bahwa firman Tuhan mengacu kepada kata-kata yang telah diucapkan atau diwahyukan kepada Nabi. Pendapat Toshihiko Izutsu secara linguistik memang cukup kokoh. Dalam kedua ayat

tersebut, yaitu: Q.S. al-Baqarah (2): 75; dan Q.S. al-Taubah (9): 6, 164 kata ―kalâm‖, yang berasal dari akar kata k-l-m, 165 dirangkaikan dengan kata ―Allah‖. Al- Zamakhsyarî (w. 538 H./1143 M.) 166 dan Abû Hayyân al-Andalusî (w. 745 H./1353 M.) 167 juga menginterpretasikannya sebagai wahyu Tuhan.

Sekarang problem sesungguhnya dari persoalan pewahyuan adalah ketika menyingkap tabir Tuhan yang berkomunikasi dengan Muhammad. Jelasnya, Bagaimana menjelaskan eksternalitas wahyu sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan? Apakah Tuhan berkomunikasi (menyampaikan wahyu) kepada Muhammad secara langsung atau melalui perantara (Ruh, Malaikat atau Jibrîl)? Harus disadari memang, situasi komunikasi dalam konteks wahyu al- Qur‘an memang berbeda dengan situasi komunikasi lainnya. Dua sisi komunikasi yang mendasar dalam konteks ini adalah Allah di satu pihak dan Muhammad yang manusiawi di pihak lain.

Menurut penelitian C.H.M. Versteegh, semenjak paruh awal abad kedua hijriah, para ilmuwan bahasa Arab mempergunakan kata ―kalâm‖, ―qaul‖, ―kalimah‖, dan yang senada sebagai istilah-istilah teknis dalam disiplin bahasa dan sastra Arab. Menurut pengertian teori bahasa Arab tersebut, kata ―kalâm‖ diartikan sebagai ungkapan yang memiliki fungsi, atau dengan kata lain, frase yang memiliki fungsi tertentu. Lihat, C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar and Qur‟anic Exgesis in Early Islam , (Leiden: 1993), h. 99-104.

165 Selain dalam kedua ayat tersebut, kasus serupa juga terdapat dalam dan Q.S. al-Fat ẖ (48): 15. Lihat Mu ẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Mu ʻ jam al-Mufahras li Alfâzh al- Qur‟ân al-Karîm, h.

620. 166 Al- Zamakhsyarî mengartikan frase ―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Taubah (9): 6 dengan al-

Qur‘an. Lihat Abû al-Qâsim Maẖmûd ibn ʻUmar ibn Aẖmad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ʻ an H aqâ‟iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ʻ Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al- Ta‟wîl, Jilid III, (Riyad: Maktabah al-ʻAbîkân,

1998), h. 14-15.

Mu ẖammad ibn Yûsuf al-Syahîd bi Abî Hayyân al-Andalusî dalam menafsirkan frase ―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Baqarah (2): 75, terlebih dahulu ia memberikan definisi ―kalâm‖.

Menurutnya, ―kalâm‖ adalah ungkapan yang memberikan petunjuk akan adanya relasi terhadap sesuatu yang dimaui atau dimaksud oleh si pengujar (al-kalâm huwa al-qaul al-dâll ʻ alâ nisbah isnâdîyah maqshûdah li dzâtihâ ). Kemudian ia menegaskan bahwa kata ini berarti wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Lihat Abû Hayyân al- Andalusî, Tafsîr al-Ba ẖ r al-Muhîth , Juz I, (Beirut: dâr al-Kutub al- ʻIlmîyah, 2001), h. 435-439.

Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, komunikasi antara Tuhan dan manusia ini memang mengalami masalah, karena keduanya berada dalam taraf ―eksistensi‘ yang

be rbeda. Tuhan berada dalam taraf ―eksistensi‖ supra-natural, sementara manusia berada dalam taraf ―eksistensi‖ natural, sehingga tidak ada keseimbangan ontologis antara keduanya. 168 Problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai Dzat yang ghaib atau supra-natural tentunya menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau non-natural, sebaliknya manusia sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa alamiah atau sistem bahasa natural.

Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, problem tersebut dapat diatasi dengan adanya perantara yang menjembatani kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan manusia tersebut. Ia menegaskan bahwa wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan tiga individu. Kondisi ini juga berlaku dalam pewahyuan al- Qur‘an. Dengan kata lain, dalam kesadaran kenabian yang dimiliki Muhammad, selalu ada seseorang, suatu makhluk misterius antara Tuhan dan dirinya yang membawa kata-kata Tuhan ke dalam hatinya. Makhluk ghaib tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain adalah Malaikat Jibril, yang pada periode Mekah disebut sebagai rûh al-quds (roh suci) dan

rûh al-amîn 169 (roh yang dapat dipercaya). Hal inilah yang secara membuat wahyu secara struktural berbeda, bukan saja dengan perkataan manusia pada umumnya, tapi

juga dengan tipe inspirasi verbal lainnya yang bersumber dari jinn. 170 Toshihiko Izutsu memperkuat penjelasannya dengan mengutip ayat al- Qur‘an

yang menjelaskan tentang cara pengiriman wahyu. 171 Berdasarkan ayat tersebut, diketahui ada tiga cara Tuhan berkomunikasi secara verbal kepada manusia, yaitu:

pertama , komunikasi misterius; kedua, berbicara dari balik tabir; dan ketiga, melalui

168 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 180. 169 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191-192. 170 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189. 171 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189.

pengiriman seorang utusan. 172 Tipe pertama, menurut Toshihiko Izutsu masih gelap, karena tidak dijelaskan oleh ayat tersebut. Ia menduga kata wahy adalah semacam

komunikasi langsung yang merupakan komunikasi khusus dari Allah yang diberikan kepada Musa sebagai pengecualian dari Nabi-nabi yang lain. 173 Dalam bagian yang

lain ia mengatakan, dari semua Nabi yang disebutkan dalam al- Qur‘an, Musa menempati posisi yang istimewa. Keistimewaannya ditandai oleh Tuhan ―berbicara‖ secara langsung dengannya. 174 Tipe kedua, yang menggunakan ungkapan ―dari balik tabir‖, menegaskan bahwa komunikasi verbal benar-benar telah terjadi dalam keadaan pendengar tidak melihat sama sekali si pembicara. Dalam kasus ini, meskipun tidak melihat siapa-siapa, Muhammad memiliki kesadaran yang jelas bahwa di suatu tempat di dekatnya ada makhluk ghaib yang berbicara kepadanya

dengan cara yang tidak biasa. 175 Untuk menguatkan argumennya, Toshihiko Izutsu mengutip sebuah hadis yang berasal dari ‗Âisyah yang menceritakan bahwa pada suatu kesempatan al-Hârits ibn Hisyâm bertanya kepada Muhammad tentang cara wahy datang. Lalu Muhammad menjelaskan bahwa wahy kadang kala datang seperti

suara gemerincing lonceng (mitsla shalshalah al-jaras). 176 Tipe yang ketiga adalah komunikasi verbal melalui utusan khusus. Dalam kasus ini Muhammad, seperti

ditegaskan oleh s 177 eparuh lanjutan hadis ‗Âisyah, tidak hanya mendengar kata-kata yang diucapkan, tetapi juga melihat pembicara.

Fakta yang sangat penting yang tidak boleh diabaikan, menurut Toshihiko Izutsu, adalah penggunaan kata kerja ―wa„a”. Dalam bagian pertama muncul dalam bentuk perfektif ( wa„aitu ―aku telah mengetahui‖). Ungkapan ini mengandung makna

172 Q.S. al-Syûrâ (42): 51-52. 173 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190. 174 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 174-175. 175 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190. 176 Lebih lanjut dalam hadis tersebut Muhammad menjelaskan bahwa cara ini merupakan cara

yang paling berat. Lihat Abî ‗Abd Allah Muẖammad ibn Ismâ‗îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah ibn Bardizabah al-Bukhârî al- Ja‗fî, Sa ẖ î ẖ al-Bukhârî , Juz I, (Semarang: Penerbit Toha Putra, t.th.), h. 2-3.

177 Lihat Abî ‗Abd Allah Muẖammad ibn Ismâ‗îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah ibn Bardizabah al-Bukhârî al- Ja‗fî, Sa ẖ î ẖ al-Bukhârî , Juz I, h. 3.

bahwa pada saat makhluk ghaib tersebut berbicara, Muhammad tidak memiliki kesadaran untuk mengerti apa yang dibicarakan. Semua yang beliau dengar merupakan suatu misteri. Namun ketika momen tersebut berakhir dan beliau telah kembali kepada kesadaran manusia normal, beliau menyadari bahwa suara tersebut berubah menjadi kata-kata yang jelas maknanya. Sementara pada bagian kedua, kata tersebut muncul dalam bentuk imperfektif ( a„i). Hal ini menunjukan dengan jelas bahwa dalam kasus kedua tersebut Muhammad mendengar kata-kata yang benar-

benar diucapkan. 178 Berdasarkan hal tersebut, Toshihiko Izutsu menyimpulkan bahwa Muhammad bukan saja seorang Nabi yang bertipe auditory tetapi juga bertipe

visual 179 . Hal ini berbeda dengan Tor Andrae. Setelah menganalisis wahyu yang diterima para Nabi yang menurutnya memiliki dua tipe, yaitu: Pertama, wahyu yang

diterima melalui pendengaran (auditory). Dalam bentuk ini, wahyu seperti suara yang berbicara ke telinga ataupun hati seorang nabi. Kedua, wahyu yang diterima melalui penglihatan (visual). Menurut penjelasan ini, wahyu diterima dengan pandangan dan gambaran yang jelas sekali, tetapi biasanya samar-samar. Selanjutnya, Tor Andrae berpendapat, bahwa bentuk wahyu yang diterima oleh Muhammad adalah tipe yang pertama, di mana Jibril secara langsung mendiktekan kepada Muhammad wahyu- wahyu Tuhan yang menyatakan bahwa wahyu yang diterima Muhammad, didiktekan oleh suatu suara yang diatributkan kepada Malaikat Jibril. Dalam keadaan demikian, Muhammad tidak melihat sosok yang menditekan wahyu tersebut. Kesimpulannya,

Tor Andrae memandang Muhammad sebagai Nabi yang hanya bertipe auditory. 180 Teori wahyu sebagai komunikasi verbal dan adanya ―perantara‖ dalam

pewahyuan al- Qur‘an sebagaimana yang dikemukakan Toshihiko Izutsu disanggah oleh Fazlur Rahman. Tegasnya, Fazlur Rahman menolak bahwa wahyu datang

178 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190-191. 179 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191. 180

Sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. II, h. 22. Juga Dadan Rusmana, Al- Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 179.

melalui telinga Nabi Muhammad dan melalui proses eksternal. Proses pewahyuan, menurutnya, bukan merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian

inspirasi ke dalam hati Nabi Muhammad. 181 Ia juga menolak malaikat Jibril sebagai perantara dalam proses pewahyuan. Penggambaran seperti ini biasanya disimbolkan

sebagai proses mekanis perekaman suara. Tentang kehadiran figur malaikat Jibril sebagai agen eksternal, Fazlur Rahman secara tegas dan sejak dini menolaknya. ―Sekalipun ada kisah yang menceritakan kehadirannya,‖ ia menyebutnya, ―Sebagai kisah- 182 kisah yang diadakan di kemudian hari‖ (must be regarded as later fictions).

Penolakan Fazlur Rahman ini didasarkan atas al- Qur‘ân yang tidak menyebutkan malaikat apapun yang diutus untuk menyampaikan wahyu, kecuali kata

yang sering disebut adalah rûh dan rûh al-amîn. 183 Kesangsian Fazlur Rahman terhadap malaikat Jibrîl ini, bisa jadi disebabkan karena adanya pertentangan dengan

ayat-ayat lainnya yang justru lebih banyak menyebutkan bahwa wahyu disampaikan langsung oleh Tuhan kepada para nabi melalui ruh-Nya.

Memang banyak penafsir al- Qur‘an yang menganalogkan ruh tersebut sebagai Malaikat (Jibril). Malaikat sering didefinisikan sebagai makhluk spiritual yang

Sebagaimana Toshihiko Izutsu, Fazlur Rahman dalam menjelaskan pendapatnya juga bersandarkan kepada Q.S. al-Syûrâ (42): 51-52. Namun ia memaham inya sebagai ―God speak to no human (i.e. through “sound words”) exept through wahy (i.e. through “idea-words” inspiration), or from behind the veil, or He may send a messenger (an angel) who speak through wahy … even thus have We inspired you with a spirit of Our command .‖ Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: Chicago University Press, 1979), h. 30-31.

Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur ‘an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), Cet. II, h. 141. Dalam konteks ini tidak ada penjelasan dari Fazlur Rahman mengenai kedudukan hadits-hadits, termasuk di dalamnya hadits qudsi, yang menjelaskan kehadiran Jibril, apakah benar-benar ia menolaknya atau tidak. Pandangan Rahman di atas didasarkan keterangan yang menyebutkan bahwa orang-orang Mekkah berulang kali mendesak agar diturunkan kepada Muhammad. Al- Qur‘ân berulang kali pula menyangkal desakan-desakan tersebut. Keterangan tersebut antara lain disebutkan dalam al- Qur‘ân, antara lain Q.S. al-Syu‗arâ (26): 193, al-Baqarah (2): 97, al- Syûrâ (42): 24, al-Hijr (15): 81, dan lain sebagainya. Keterangan dari ayat-ayat tersebutlah yang menjadi dasar argumen Rahman tentang penolakan Jibril sebagai figur penyampai wahyu.

Bahkan dalam cerita-cerita Nabi-nabi yang lain, Mûsa, Nûh dan Ibrâhîm, Tuhan seperti berbicara langsung kepada mereka. Atau dalam istilah yang cukup populer disebutkan al- Qur‘ân, ―Dia mengirimkan Ruh dari perintah-Nya kepada yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya (Q.S. al- Mu‘min (40): 15). Beberapa Nabi memang mendapat manfaat dari kehadiran Ruh Tuhan ini, yang kepadanya mereka disampaikan wahyu. Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur ‘an, h. 139.

mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Sekalipun kemudian berkembang doktrin teologis tentang pembagian tugas malaikat, itu terjadi di kemudian hari. Fazlur Rahman tidak menolak kalau Ruh Suci yang biasa menjumpai para Nabi ketika menyampaikan wahyu adalah Malaikat. Bisa jadi Ruh Suci itu adalah malaikat yang paling mulia dan paling dekat dengan Tuhan (It is probably that the Spirit is the

highest form of the angelic nature and the closest to God 184 ). Namun penolakan Fazlur Rahman terhadap simbol-simbol atau figur-figur tersebut, harus dianggap

sebagai kekhawatirannya yang justru akan mengaburkan Tuhan sebagai Sang Penyampai wahyu kepada para nabi-Nya. Selain itu, ia juga menolak reiifikasi material (personal) terhadap simbol-simbol spiritual sekedar untuk memberikan

wadah bagi rûh yang menyampaikan wahyu. 185 Patut dicatat, bahwa munculnya figur-figur eksternal penyampai wahyu (di

luar Tuhan dan Muhammad) terjadi di belakang hari. Hal ini merupakan upaya untuk menjembatani kedudukan manusia yang menyejarah dengan Tuhan yang transenden. Karenanya dibutuhkan figur tertentu untuk menjembatani rentang ruang tersebut. Figur tersebut muncul, khususnya Jibrîl, diangkat dari sebuah hadis Nabi yang berjumpa dan berdialog dengannya. Pada satu sisi otentisitas hadits tersebut patut dipertanyakan. Namun di sisi lainnya merupakan keniscayaan historis, di mana umat Islam tengah berupaya membersihkan pengaruh tradisi Judea-Kristiani terhadap eksistensi wahyu. Dalam tradisi Kristen, wahyu (logos) identik dengan tubuh

Kristus. 186 Wahyu (firman Tuhan) identik dengan dirinya, karena wahyu telah me- Logos dalam dirinya, hingga tidak ada pemisahan antara perkataannya dengan Kalam

Tuhan itu sendiri. Islam menolak keidentikkan antara Muhammad dengan wahyu Tuhan. Seluruh perkataan atau tindakan aktual yang dilahirkan olehnya dianggap oleh umat Islam sebagai sunnah (tradisi). Sekalipun seluruh prilaku tersebut mendapat

184 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur ‘an, h. 140.

185 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The Chicago University Press, 1979), h. 1

186 Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 88.

sinaran dari wahyu Tuhan, bagaimanapun keduanya tetap tidak identik. Dan tidak dapat dikatakan bahwa Muhammad adalah Logos Tuhan yang menyejarah, sebagaimana yang dipahami dalam doktrin Kristen.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat Toshihiko Izutsu terhadap proses pewahyuan sejalan dengan mayoritas umat Muslim yang menyatakan bahwa wahyu diturunkan Tuhan melalui perantara Malaikat Jibril. Hal ini memang didukung oleh adanya keterangan (hadîts) yang menyatakan bahwa Muhammad berjumpa dengan Jibrîl dan bercakap-cakap. Bahkan ia pernah memperlihatkan wujud aslinya kepada Muhammad.

2. Bahasa al-Qur‘an Wahyu Tuhan termanifestasi dalam langue (lisân/bahasa), dan bahasa yang

dipilih oleh Allah adalah bahasa Arab. 187 Pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa al- Qur‘an bukan karena superioritas bahasa ini dibanding bahasa-bahasa lain

sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Jalâl al-Dîn al-Suyuthî, 188 tetapi lebih merupakan teknis penyampaian pesan. Penggunaan bahasa Arab untuk al- Qur‘an

adalah wujud khusus dari ketentuan umum bahwa Allah tidak mengutus seorang rasul pun kecuali dalam bahasa kaumnya, 189 yaitu masyarakat Arab yang menjadi audience

langsung seruan rasul itu dalam menjalankan misi sucinya. Dalam hal ini Muhammad merupakan seorang rasul yang diutus kepada masyarakat Arab sebagai audience

187 Karena al- Qur‘an menggunakan bahasa Arab, dalam kalangan masyarakat Muslim timbul pandangan tentang adanya semacam ―kesejajaran‖ antara Islam dan Arab. Pandangan seperti ini dapat

dilihat, misalnya, pada Abû Manshûr al- Tsa‗labî dalam mukaddimah bukunya ―Fiqh al-Lughah al- „Arabiyah,‖ mengatakan bahwa: ―Barang siapa mencintai Allah, dia harus mencintai rasul-Nya, Muhammad. Dan barang siapa mencintai rasul-Nya yang dari Arab itu, dia harus mencintai bangsa Arab. Baran g siapa mencintai bangsa Arab, dia harus mencintai bahasa Arab. … Berupaya memahaminya adalah termasuk kewajiban agama, sebab bahasa Arab adalah merupakan alat dari ilmu pengetahuan dan kunci mendalami agama ….‖ Sebagaimana dikutip oleh Utsman Amîn, Falsafah al- Lughah , (Mesir: Dâr al-Mishriyah li al-

Ta‗lîf wa al-Tarjamah, 1965), h. 22.

Jalâl al- Dîn ‗Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî, al-Muzhhir fî „Ulûm al-Lughah wa Anwâ„ihâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 322. Salah satu keistimewaan bahasa Arab, menurutnya, adalah bahasa sorga. Pandangannya ini didasarkan pada hadis yang menyatakan bahwa bahasa yang dipakai oleh Adam untuk berkomunikasi ketika di sorga. Lihat Jalâl al- Dîn ‗Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî, al-

Muzhhir fî „Ulûm al-Lughah wa Anwâ„ihâ, h. 30-31. Lihat Q.S. Ibrâhîm (14): 4.

langsung, maka al- Qur‘an ―turun‖ menggunakan bahasa Arab. Ia mendasarkan pandangannya atas Q.S. Ibrâhîm (14): 4, Q.S. Yûsuf (22): 2, Q.S. al- Syu‗arâ‘ (26): 193-194, Q.S. Fushilat (41): 44, dan Q.S. al- 190 Syu‗arâ‘ (26): 198-199.

Di sini timbul pertanyaan, siapa yang membahasaarabkan al- Qur‘an. Di kalangan sebagian sarjana Muslim klasik setidaknya terdapat tiga pandangan yang berkembang, yaitu: pertama, al- Qur‘an disampaikan dengan lafadz dan makna. Mekanismenya adalah Jibril menghafalkan al- Qur‘an dari lauẖ al-maẖfûdz dan membawanya ke bumi; kedua, Jibril hanya menyampaikan maknanya secara khusus, lalu Nabi mempelajari dan mengartikulasikannya dengan bahasa Arab. Pendapat ini merujuk kepada literal Q.S. al- Syu‗arâ‘ (26): 193-194; ―nazala bi hi al-rûẖ al-amîn „alâ qalbika‖; ketiga, bahwa Jibril menyampaikan makna kepada Nabi dan mengartikulasikannya ke dalam bahasa Arab. Jibril menyampaikannya dengan bahasa

Arab sebagaimana makhluk yang ada di langit membacanya. 191 Pendapat pertama dapat diartikan bahwa Tuhan mengirimkan pesan kepada Nabi Muhammad dengan

bahasa Arab. Sedang menurut pendapat kedua dan ketiga komunikasi Tuhan tidak menggunakan sarana bahasa manusia, tetapi dengan bahasa langit yang tidak dapat diidentifikasi oleh manusia. Adapun Toshihiko Izutsu, dengan mengaitkan pendapatnya tentang proses pewahyuan di atas, dapat dipahami bahwa Tuhan sendirilah yang membahasaarabkan al- Qur‘an. Pandangannya yang menyatakan bahwa al- Qur‘an diturunkan dalam bahasa Arab lagi-lagi menegaskan bahwa ia sama sekali tidak mempersoalkan otenstisitas kitab suci ini, sementara bagi sarjana lain hal ini menjadi isu yang menarik, baik untuk menunjukkan transendensi al- Qur‘an maupun untuk menunjukkan hal sebaliknya bahwa ia hanya jiplakan dari kitab suci sebelumnya.

190 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 199-201. 191 Lihat Badr al-Dîn Mu ẖammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî,, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân,

ta ẖqîq: Muẖammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm, Juz I, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, t.th.), (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, t.th.), h. 229; Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.), h. 44-45.

Sarjana yang menyatakan bahwa bahasa al- Qur‘an bukan bahasa Arab dengan tujuan untuk menunjukkan transendensi al- Qur‘an adalah Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî. Untuk menguatkan pendapatnya tersebut, ia mengemukakan beberapa contoh mukjizat yang diturunkan kepada utusan-utusan Tuhan sebelum Nabi Muhammad. Nabi Isa, misalnya, yang diberi mukjizat dapat menyembuhkan orang yang sedang sekarat bahkan menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Mukjizat ini meskipun ada kemiripan dengan ilmu kedokteran, namun tidak bisa dikategorikan sebagai ilmu kedokteran. Dalam konteks al- Qur‘an, gaya bahasa (uslûb)-nya yang tidak dapat ditandingi oleh sastra gubahan penyair-penyair Arab, walau pun dapat dipahami oleh orang-orang Arab, menunjukkan bahwa bahasa al-

Qur‘an berbeda dengan bahasa Arab. 192 Sarjana-sarjana yang menyatakan bahasa al- Qur‘an sebagian bukan asli Arab

untuk menunjukkan bahwa al- Qur‘an tidak lain adalah jiplakan dari kitab-kitab sebelumnya, di antaranya, adalah Abraham Geiger (1810-1874), Arthur Jeffery (1893-1959), dan Christoph Luxenberg (nama samaran). Bukti-bukti bahwa bahasa al- Qur‘an tidak otentik bahasa Arab, menurut Abraham Geiger adalah adanya empat belas kosakata al- Qur‘an yang berasal dari bahasa Ibrani atau tradisi Yahudi. Kempat belas kosakata tersebut adalah tâbût, taurâh, jannât „adn, jahannam, aẖbâr, darasa, rabbânî, sabt, sakînah, thâghût, furqân, 193 mâ„ûn, matsânî, dan malakût. Sementara

Arthur Jeffery menghimpun 317 kosakata yang diyakininya bukan asli bahasa Arab. 194 Menurutnya, keberadaan kosakata serapan tersebut meniscayakan bahwa

Muhammad selaku pengemban risalah al- Qur‘an banyak mempelajari fenomena budaya dari bahasa asal kosakata tersebut. 195 Untuk mengukuhkan pandangannya

tersebut, ia juga mengandalkan riwayat tentang ketidaktahuan ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs

ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî, Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm, h. 13. Lihat Abraham Geiger, ―What did Muhamamd Borrow from Judaism?‖ dalam Ibn Warraq (ed.), The Origin of the Koran, (New York: Prometheus Books, 1998), h. 166-172. 194 Lihat Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, (Leiden-Boston: Brill, 2007),

192 Fahd ibn

h. 43-296. 195 Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 2.

– sahabat Nabi yang paling alim yang digelari tarjumân al-Qur‟ân – mengenai makna kosakata tertentu dalam beberapa ayat al- Qur‘an, seperti makna kata fâthir (

) yang terulang sebanyak enam kali dalam al- Qur‘an. ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs baru memahami makna kata tersebut setelah secara tidak sengaja mendengar perkataan salah seorang dari dua orang Arab yang sedang memperebutkan sebidang tanah. Kalimat yang diucapkan oleh salah seorang tersebut adalah ana fathartuhâ (

). 196 Ketidaktahuan seperti ini, menurut Arthur Jeffery, menjadi bukti bahwa kosakata tersebut sebenarnya bukan asli dari bahasa Arab. Selain itu, Arthur Jeffery juga

menyatakan bahwa kosakata yang terkait dengan aksesori, seperti istabraq ( ),

sundus (

), dan abâriq ( ), tidak mungkin dikenal oleh masyarakat Arab yang pada ketika itu kehidupannya masih diselimuti kejahiliahan. 197 Dengan mengutip Jalâl al-Dîn al- Suyûthî, 198 ia mengklasifikasi sebelas bahasa asal kosakata serapan al- Qur‘an, yaitu:

), zanjabîl (

), misk (

), surâdiq (

Ethiopia, Persia, Romawi, India, Syria, Ibrani, Nabathean, Koptik, Turki, Negro, dan Barbar. 199 Dari bahasa-bahasa inilah bahasa Arab mengambil banyak kosakata yang

terkait dengan keagamaan ataupun kebudayaan. Kemudian ia menguraikan kesebelas bahasa tersebut satu persatu untuk membuktikan kedekatan hubungannya dengan bahasa Arab disertai sejumlah contoh kosakata. Arthur Jeffery menyimpulkan bahwa adanya kosakata serapan tersebut dalam al- Qur‘an menunjukkan adanya pengaruh luar, terutama dari ajaran Yahudi dan Nasrani terhadap al- 200 Qur‘an. Christoph

Luxemberg, orientalis berkebangsaan Jerman asal Lebanon yang bernama asli Ephraem Malki, melalui bukunya Die Syrio-Aramäische Lesart des Koran: eine Entschüsselung der Koransprache , menyimpulkan bahwa bahasa al- Qur‘an sebenarnya bukan bahasa Arab, tetapi bahasa Aramaik dengan dialek Syria (Syrio-

196 Arthur Jeffery, The F

oreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 7.

Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 11.

Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al- Itqân fî „Ulûm al-

Qur‟ân, Juz I, h.138-141. 199

Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary

of the Qur‟an, h. 12.

Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 43.

Aramaic ). Oleh karena itu, banyak kosakata dan ungkapan yang semula sering dibaca keliru atau sulit dipahami dapat diatasi dengan merujuk kepada bahasa Syrio-Aramaic yang diyakininya menjadi lingua franca pada saat itu. Ia juga berkesimpulan bahwa ajaran al- Qur‘an banyak mengambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen Syria. 201

Di kalangan sarjana Muslim sendiri masalah kemurnian bahasa Arab al- Qur‘an ini juga sempat menjadi polemik; apakah ia berbahasa Arab secara murni atau ada unsur-unsur bahasa lain di dalamnya. Polemik seputar masalah ini melahirkan dua kelompok mainstream. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa semua kosakata yang ada dalam al- Qur‘an adalah bahasa Arab. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa sebagian kosakata al- Qur‘an merupakan kosakata bahasa asing.

Sarjana-sarjana Muslim yang dapat dikategorikan termasuk dalam kelompok pertama adalah Mu ẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‗î (w. 204/820), Abû ‗Ubaidah (w. 209/825), Mu ẖammad ibn Jarîr al-Thabarî (w. 310/923), Abû al-Husain ibn Fâris al-

Lughawî (w. 395/1004), dan Abû Bakr ibn al-Thayyib al-Bâqillânî (w. 403/1012). 202 Mereka mendasarkan argumentasinya pada ayat-ayat al- Qur‘an yang menyebutkan

bahwa al- 203 Qur‘an diturunkan dengan bahasa Arab. Mereka menuduh orang-orang yang berpendapat bahwa di dalam al- Qur‘an terdapat kosakata tertentu bukan bahasa

Arab sebagai tindakan tergesa-gesa, karena ketidaktahuan terhadap kosakata tersebut lalu mengatakan sebagai bukan bahasa Arab, padahal sesungguhnya ia bahasa Arab. Adalah sebuah kewajaran jika kosakata tertentu dituturkan oleh beberapa orang dari

penutur bahasa yang berbeda. 204 Sementara itu, mereka yang berargumen bahwa di

201 Dikutip dari Syamsuddin Arif, ―Al-Qur‘an, Orientalisme, dan Luxemberg,‖ dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005, h. 19.

202 Badr al-Dîn Mu ẖammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 287; Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al- Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân,

Juz I, h. 136. 203 Lihat Q.S. Yûsuf (12): 2; al- Ra‗d (13): 37; al-Naẖl (16): 103; Thâhâ (20): 113; al-Syu‗arâ

(26): 195; al-Zumar (39): 28; Fushshilat (41): 3 dan 44; al-Syûrâ (42): 3; al-Zukhruf (43): 3; dan al- A ẖqâf (46): 12. 204 A ẖmad Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfiʻî, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Mu ẖ ammad ibn Idrîs al- Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir (ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979), h. 42.

dalam al- Qur‘an terdapat kosakata asing yang menjadikan al-Qur‘an tidak murni berbahasa Arab adalah ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs (w. 68 H.), ‗Ikrimah (w. 105 H.), dan

lain-lain. 205 ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs, ketika ditanya tentang Q.S. al-Muddatstsir (74):

), menjelaskan bahwa kata qaswarah adalah bahasa Ethiopia, yang padanannya dalam bahasa Arab adalah al-asad, dalam bahasa Persia disebut

syîr 206 , dan dalam bahasa Nabathean disebut awiyâ.

Di sisi lain, dalam tradisi kesarjanaan Muslim, kosakata asing dalam al- Qur‘an diistilahkan dengan al-gharîb atau gharîb al-Qur‟ân. Istilah ini mejadi bidang kajian tersendiri dalam disiplin ilmu tafsir yang menafsirkan kosakata yang samar dalam al- Qur‘an. Pembahasan tentang gharîb al-Qur‟ân didasarkan atas ẖadîst Nabi saw, disamping fakta bahwa kaum Muslim generasi awal juga tidak mengetahui

makna beberapa kata dalam al- 207 Qur‘an.

Polemik sekitar kearaban al- Qur‘an ini di kalangan sarjana Muslim hanya membawa implikasi terhadap boleh tidaknya salat menggunakan bahasa selain Arab. Dengan kata lain, tidak sampai pada pendapat bahwa al- Qur‘an berasal dari kitab- kitab lain. Imam al- Syâfi‗î tidak membolehkan salat dengan menggunakan bahasa selain Arab, sementara Imam Abû Hanîfah memperbolehkannya dengan beberapa alasa n, di antaranya adalah riwayat ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd yang pernah membimbing bacaan al- Qur‘an seorang non Arab („ajam). Ketika sampai pada bacaan

pada

[Q.S. al-Dukhân (44): 43-44] orang tersebut

membacanya dengan

, lalu oleh ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd diarahkan untuk

membacanya dengan

. Kemudian ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd mengatakan

bahwa bukan merupakan suatu kesalahan jika seseorang mengganti kata dengan

205 Lihat Badr al-Dîn Mu ẖammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 288.

206 ‗Imâd al-Dîn Abî al-Fidâ‘ Ismâ‗îl ibn Katsîr al-Damsyîqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm, Jilid ẖqîq: Mushthafâ al-Sayid Muẖammad, et. al., (Kairo: Muassasah al-Qurthubah, 2000), h, 190. XIV, Ta 207

Lihat Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al-Itqân fî ʻ Ulûm al- Qur‟ân, Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.), h. 115-133.

, namun yang dimaksud dengan kesalahan adalah jika ayat yang bermakna azab diganti maknanya dengan kasih sayang. 208

Pandangan Toshihiko Izutsu di atas sejalan dengan pandangan sarjana-sarjana Muslim secara umum, sebagaimana direkam oleh Jalâl al-Dîn al-Suyûthi dalam al-

Itqân fî 209 ʻUlûm al-Qur‟ân. Pandangan tersebut mendapat legitimasi dari ayat-ayat al- Qur‘an. Dalam banyak tempat, al-Qur'an sendiri secara tegas mengatakan bahwa

dirinya sebagai ʻarabîy. Hal ini terekam dalam setidaknya ada dalam enam ayat, salah satunya adalah Q.S. Thâhâ (20): 30, ―Kami menurunkan al-Qur‟an dalam bahasa Arab agar kamu memahaminya 210 .‖ Adalah hal yang aneh jika al- Qur‘an tidak

memakai bahasa Arab, karena Nabi Muhammad adalah orang yang lahir, hidup, dan besar dalam kultur dan budaya sosial masyarakat Arab yang bahasa Arab menjadi alat komunikasinya.

3. Tekstualitas al-Qur‘an Teks dapat dipahami sebagai fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa

wacana lisan dalam bentuk tulisan. 211 Toshihiko Izutsu memang tidak menyatakan secara eksplisit bahwa al- Qur‘an yang ada sekarang atau yang tertulis di antara dua

sampul sebagai teks, tetapi dari pernyataannya di atas bahwa al- Qur‘an adalah sebuah karya asli Arab dan pendekatan yang digunakannya dalam mengkaji Kitab Suci ini, maka dapat disimpulkan bahwa ia memperlakukan al- Qur‘an sebagai teks.

Bagi kalangan tertentu dalam Islam, menggunakan istilah ―nashsh‖ untuk menyebut al- Qur‘an akan dianggap aneh, meskipun bagi orang yang hidup di luar tradisi Islam, pernyataan di atas justru biasa-biasa saja dan tidak ada yang istimewa. Bagi mayoritas umat Islam, pernyataan tersebut bertentangan dengan keyakinan yang

‗Ilmiyah, t.th.), Cet. I, h. 527. Lihat Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî ʻ Ulûm al- Qur‟ân, Juz I, h. 127. 210 Ayat-ayat yang lain lihat Q.S. Yûsuf (12): 2; Q.S. al-Zumar (39): 28; Q.S. Fushilat (41): 3;

208 Ibn Qudamah, al-Mughnî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

Q.S. al-Syûra (42): 7; dan Q.S. al-Zukhruf (43): 3. 211 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, h. 131.

selama ini dipegang yaitu bahwa al- 212 Qur‘an adalah firman Tuhan (verbum Dei), bukan kreasi Jibril atau Nabi Muhammad, apalagi para Sahabat. Meskipun dalam

proses penyampaiannya kepada Nabi Muhammad, Allah melibatkan Jibril sebagai perantara, 213 namun Jibril adalah jenis makhluk yang memang dirancang Tuhan

untuk mematuhi semua perintah-Nya. Ia tidak diberi kemampuan untuk menolak dan berpikir. Sehingga merupakan suatu kemustahilan baginya memberikan interpretasi atas kalam Tuhan, apalagi melakukan penyimpangan dalam tugasnya. Dengan demikian kalam Allah tersebut sampai kepada Nabi Muhammad secara verbatim. Dengan kata lain, tidak ada dimensi profan dalam al- Qur‘an, karena seluruh rangkaian huruf dan maknanya bersifat transenden. 214

Untuk memahami teorisasi al- Qur‘an sebagai teks, perlu dielaborasi pandangan Nashr Hâmid Abû Zaid yang merupakan sarjana Muslim yang secara

tegas menyatakan bahwa al- 215 Qur‘an adalah teks bahasa (nashsh lughawî), sebagaimana teks-teks yang lain yang disusun oleh manusia. 216 Menurut Nashr Hâmid Abû Zaid bahwa penyebutan al- Qur‘an sebagai teks berkaitan dengan tiga hal: Pertama , kata ―wahy‖ dalam al-Qur‘an secara semantik setara dengan perkataan Allah (kalâm Allah) dan al-Q ur‘an sebagai sebagai sebuah pesan (al-risâlah). Sebagai

Definisi-definisi al- Qur‘an secara umum menggambarkan hal ini. Di antaranya adalah definisi yang diberikan oleh Mu ẖammad ʻAlî al-Shâbunî, al-Tibyân fî ʻ Ulûm al- Qur‟ân, (Beirut: ʻÂlam al-Kutûb, 1985), h. 8.

Mengenai proses umum penyampaian kalam Tuhan kepada para Nabi-Nya dijelaskan dalam Q.S. al-Syûrâ: 51, yaitu dengan cara: 1) pemberitahuan secara langsung ke dalam hati Nabi; 2) pemberitahuan dari balik tabir; dan 3) melalui perantaraan Jibril. Hal ini didiskusikan lebih lanjut oleh Jalâl al-Dîn

214 ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi dalam al-Itqân fî ʻ Ulûm al- Qur‟ân, h. 45-46.. Keyakinan tersebut mendapatkan pembenaran dari al- Qur‘an. Lihat Q.S. al-Anʻam (6):

114; Hûd (11): 1; dan Fushshilat (41): 1-2. 215 Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî

ʻ Ulûm al- Qur‟ân, h. 27-28. Lagi-lagi harus ditegaskan bahwa hal ini secara serta merta menjadikan orang yang

berpendapat demikian menafikan asal-usul al- Qur‘an yang bersumber dari Allah. Nashr Hâmid Abû Zaid menegskan hal tersebut dengan mengatakan, “… anna al-nushûsh al-dinîyah nushûsh lughawîyah sya‟nuhâ sya‟n ayyah nushûsh ukhrâ fî al-tsaqâfah ….” Nashr Hâmid Abû Zaid, Naqd Khitâb al-Dînî, (Kairo: Sînâ li al-Nahsr, 1992), h. 197. Pernyataan tersebut muncul karena kalam Allah kemudian mewujud dalam bahasa manusia, supaya dapat dipahami oleh manusia yang menjadi sasaran kalam itu. Nashr Hâmid Abû Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections On Islam, (London: Westport, Connectitut, 2004), h. 97.

perkataan dan pesan, al- Qur‘an meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai sebuah ―teks‖. Kedua, urutan tekstual surat dan ayat dalam teks al-Qur‘an tidak sama dengan urutan kronologis pewahyuan. Urutan kronologis pewahyuan (tanjîm) al- Qur‘an merefleksikan historisitas teks, sementara struktur dan urutan yang sekarang merefleksikan tekstualitasnya. Ketiga, al- Qur‘an terdiri dari ayat-ayat yang sangat jelas (âyât mu ẖkamât) yang merupakan induk (backbone) teks dan ayat-ayat yang masih samar (âyât mutasyâbihât) yang harus dipahami berdasarkan ayat-ayat mu ẖkamât. Keberadaan dua macam ayat ini merangsang pembaca bukan hanya untuk mengidentifikasi ayat-ayat mutasyâbihât, namun juga membuatnya menentukan bahwa ayat-ayat mu ẖkamât adalah kunci untuk melakukan penjelasan dan klarifikasi terhadap ayat-ayat mutasyâbihât. 217

Argumen lain yang dapat dikemukakan untuk menunjukkan sifat teks al- Qur‘an adalah dengan menganalisis kata-kata yang merujuk kepada al-Qur‘an, seperti

―qur‟ân”, ―kalâm‖, ―lisân‖, dan ―kitâb‖. Kata ―qur‟ân” dalam al-Qur‘an, menurut Mu ẖammad Muẖammad Abû Lailah, disebut sebanyak enam puluh delapan kali: lima puluh kali dengan menggunakan artikel (al- qur‟ân), dan delapan belas kali tidak menggunakan artikel. Kemudian dari total enam puluh delapan kali tersebut, tiga puluh delapan kali terdapat dalam surat-surat Makkiyah dan sisanya, tiga puluh kali, terdapat dalam surat-surat Madaniyah. 218 Namun, berdasarkan penelusuran terhadap al-Mu ʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm, penulis menemukan bahwa kata ―qur‟ân” disebut sebanyak tujuh puluh kali: lima puluh satu kali dengan menggunakan artikel (al- qur‟ân), tujuh belas kali tanpa artikel (qur‟ân), dan dua kali dikaitkan dengan kata ganti ( 219 qur‟ânah).

Nashr Hâmid Abû Zaid, Al- Qur‟an, Hermeneutika, dan Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutika Al-

Qur‟an, terj. Dede Iswadi, dkk., (Bandung: RQiS, 2003)., h. 91. Mu ẖammad Muẖammad Abû Lailah, al-Qur‟ân al-Karîm min Manzhûr al-Istisyrâqî, (Kairo: Dâr al-Nasyr li al-Jâmi

ʻât, 2002), Cet. I, h. 34.

Lihat, Mu ẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Mu ʻ jam al-Mufahras li Alfâzh al- Qur‟ân al- Karîm , (Kairo: Mathba ʻah Dâr al-Kutûb al-Mishriyyah, 1363 H.), h. 539-540.

Selanjutnya, dari tujuh puluh kali penyebutan itu, beberapa di antaranya menunjukkan bahwa kata ―qur‟ân” dapat dimaknai sebagai sebuah teks. Hal ini terdapat dalam: Pertama, Q.S. Yâsîn (36): 69; Q.S. Qâf (50): 1; Q.S. al-Ra ẖmân (55): 2; Q.S. al-Jinn (72): 1-2; Q.S. al-Wâqi ʻah (56): 77; Q.S. al-Muzammil (73): 4; dan Q.S. al-Burûj (85): 21. Kedu a, kata ―qur‟ân” sebanyak enam belas kali didahului oleh kata tunjuk ―hâdzâ” (hâdzâ al-qur‟ân). 220 Ketiga, dalam enam ayat, yaitu: Q.S. al- Araf (7): 204; Q.S. al-Na ẖl (16): 98; Q.S. al-Isrâ‘ (17): 45 dan 106; Q.S. al- Muzammil (73): 20; Q.S. al- Insyiqâq (84): 21, kata ―qur‟ân” merupakan obyek langsung dari kata kerja ―qara‟a”, sedang di sebuah ayat, yakni Q.S. al-Naml (27):

92, merupakan ob yek kata kerja ―talâ”, dan di sebuah ayat, yakni Q.S. al-Muzammil (73): 4, sebagai obyek dari kata kerja ―rattalâ”, baik qara‟a, talâ, maupun rattala mengandung arti ―membaca‖. Pengertian yang dapat diperoleh dari ayat-ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa al- Qur‘an adalah teks definitif yang dapat dibaca dan bisa dipahami. Hal ini menunjukkan teksutalitas al- Qur‘an.

Selain itu kata ―qur‟ân‖ juga dirangkai dengan ―ʻarabî”, sehingga menjadi ―qur‟ân ʻarabî”. Ungkapan ini bisa ditemukan dalam al-Qur‘an sebanyak enam kali

adalah Q.S. Yûsuf (12): 2; Q.S. Thâhâ (20): 30; Q.S. al-Zumar (39): 28; Q.S. Fushilat (41): 3; Q.S. al-Syûra (42): 7; dan Q.S. al-Zukhruf (43): 3. Ayat-ayat tersebut menekankan bahwa al- Qur‘an diturunkan Tuhan dalam bahasa Arab. Suatu kenyataan yang turut memperkokoh keberadaan al- Qur‘an sebagai teks, meskipun status kearaban al- Qur‘an itu sendiri menimbulkan perdebatan di antara para sarjana Muslim klasik, lantaran di dalam al- 221 Qur‘an terdapat kosakata ―asing‖ (gharîb).

Bukti lain yang menunjukan tektualitas al- Qur‘an adalah ungkapan “kalâm‖ dan ―lisân‖. Kata ―kalâm‖ yang berasal dari akar kata k-l-m dalam al-Qur‘an

220 Lihat Q.S. al-An ʻam (6): 19; Q.S. Yûnus (10): 37; Q.S. Yûsuf (12): 3; Q.S. al-Isrâ‘ (17): 9 41, 88, dan 89 ; Q.S. al-Kahfi (18): 54; Q.S. al-Furqân (25): 30; Q.S. al-Naml (27): 76; Q.S. al-Rûm

(30): 58; Q.S. al- Sabâ‘ (34): 31; Q.S. al-Zumar (39): 27; Q.S. Fushshilat (41): 26; Q.S. al-Zukhruf (43): 31; dan Q.S. al-Hasyr (59): 21.

221 Perdebatan mengenai hal ini direkam dengan sangat baik oleh Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî ʻ Ulûm al- Qur‟ân, Juz I, h. 136.

dirangkaikan dengan kata ―Allah‖, yaitu dalam Q.S. al-Baqarah (2): 75, Q.S. al- Taubah (9): 6, dan Q.S. al-Fat 222 ẖ (48): 15. Dalam Q.S. al-Taubah (9): 6 dan Q.S. al-

Baqarah (2): 75, kata "kalâm ‖ berarti wahyu Tuhan. Hal ini berdasarkan interpretasi para penafsir yang menggunakan analisis filologis gramatikal, seperti al-Zamakhsyarî

(w. 538 H./1143 M.) 224 dan Abû Hayyân al-Andalusî (w. 745 H./1353 M.). Dari paparan tentang ungkapan ―kalâm Allah‖ ini, terlihat dengan jelas bahwa ungkapan

tersebut sangat mendukung identifikasi status al- Qur‘an. Kitab al-Qur‘an yang semula merupakan ungkapan dan sapaan Tuhan kepada umat manusia menjelma menjadi teks bacaan yang memiliki banyak dimensi, di antaranya estetika, susastra atau puitik. Dimensi-dimensi ini mengantarkan penetapan dan upaya untuk memperlakukan al- Qur‘an sebagai teks.

Sedangkan kata ―lisân‖ yang tersambung langsung dengan kata ―arabî‖ menjadi ―lisân arabî‖, disebut dalam al-Qur‘an sebanyak tiga kali dalam tiga

kelompok ayat. 225 Ketiga kelompok ayat tersebut adalah Q.S. al-Na ẖl (16): 103; Q.S. al-Syu ʻarâ‘ (26): 192-195; dan Q.S. al-Ahqâf (46): 12. Ketiga kelompok ayat tersebut

menunjukkan dengan jelas bahwa bahasa al- Qur‘an adalah bahasa Arab yang dipilih Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesan Ilahiyah kepada umat manusia. Kelompok ayat ini juga memiliki relasi yang erat, secara substansial, dengan Q.S. Thâhâ (20):

30, Q.S. Yûsuf (12): 2; Q.S. al-Zumar (39): 28; Q.S. Fushilat (41): 3; Q.S. al-Syûra

Lihat Mu ẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Mu ʻ jam al-Mufahras li Alfâzh al- Qur‟ân al- Karîm , h. 620.

223 Al- Zamakhsyarî mengartikan frase ―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Taubah (9): 6 dengan al- Qur‘an. Lihat al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ʻ an H aqâ‟iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ʻ Uyûn al-Aqâwîl fî

Wujûh al- Ta‟wîl, Jilid III, h. 14-15.

Mu ẖammad ibn Yûsuf al-Syahîd bi Abî Hayyân al-Andalusî dalam menafsirkan frase ―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Baqarah (2): 75, terlebih dahulu ia memberikan definisi ―kalâm‖. Menurut nya, ―kalâm‖ adalah ungkapan yang memberikan petunjuk akan adanya relasi terhadap sesuatu yang dimaui atau dimaksud oleh si pengujar (al-kalâm huwa al-qaul al-dâll ʻ alâ nisbah isnâdîyah maqshûdah li dzâtihâ ). Kemudian ia menegaskan bahwa kata ini berarti wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Lihat Abû Hayyân al- Andalusî, Tafsîr al-Ba ẖ r al-Muhîth , Juz I, h. 435-439.

Lihat Mu ẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Mu ʻ jam al-Mufahras li Alfâzh al- Qur‟ân al- Karîm , h. 647.

(42): 7; dan Q.S. al-Zukhruf (43): 3, yang menyinggung dan mengokohkan bahasa yang dipakai oleh al- Qur‘an.

Kata ―al-kitâb‖, yang merupakan salah satu nama lain dari al-Qur‘an, 226 dalam leksikografi Arab berarti buku atau nama sesuatu yang ditulis. 227 Kata ini disebut dua ratus dua puluh kali dalam al- 228 Qur‘an. Meskipun tidak seluruhnya, penggunaan kata al-kitâb untuk merujuk kepada al- Qur‘an juga menunjukkan tekstualitas al- Qur‘an.

Bukti lain adalah adanya ayat-ayat tantangan (ta ẖaddî) kepada manusia untuk membuat karya yang sebanding dengan al- 229 Qur‘an. Hal ini, menurut M. Quraish

Shihab, 230 menunjukkan bahwa al- Qur‘an menginginkan dirinya diposisikan sejajar dengan karya manusia dan siap diposisikan menang atau kalah. Sebab, agar dapat

dimungkinkan penilaian yang obyektif, maka obyek yang dinilai harus diletakkan dalam posisi sejajar. Dengan demikian, pernyataan bahwa al- Qur‘an sebagai teks bacaan berbahasa Arab menemukan fondasi yang qur‘anik.

Pandangannya yang tidak mengingkari keyakinan umat Muslim terhadap transendensi al- Qur‘an mengantarkan kepada simpulan bahwa Toshihiko Izutsu merupakan sarjana non-Muslim yang dapat dikategorikan menggunakan pendekatan fenomenologi dalam kajian al- Qur‘an, utamanya dalam memandang sumber al- Qur‘an.

226 Salah seorang sarjana Muslim kontemporer, Mu ẖammad Syaẖrûr, berpendapat bahwa al- Q ur‟ân berbeda dengan al-Kitâb, atau al-Qur‟ân merupakan bagian dari al-Kitâb. Lihat Muẖammad

Sya ẖrûr, al-Kitâb wa al-Qur‟ân: Qirâ‟ah Mu ʻ âshirah , (Beirut: Syarikah al-Mathbû ʻah li al-Tauzîʻ wa al-Nasyr, 2000), Cet. VI, h. 57.

227 Lihat Abû al-Fadhl al-Dîn Mu ẖammad ibn Makram ibn Mandzûr, Lisân al-„Arab, (Kairo: Dâr al- Ma‘ârif, t.th.), h. 3816. Daniel A. Madigan menolak jika kata kitâb dalam al-Qur‘an dipahami

sebagai buku, tetapi lebih tepat diartikan sebagai tulisan. Daniel A. Madigan, The Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s Scripture, (New Jersey: Princeton University Press, 2001), h. 82.

Lihat Mu ẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Mu ʻ jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur ‟ân al- Karîm , h. 592-595.

229 Baca Q.S. al-Baqarah (2): 23; Q.S. Yûnus (10): 38; Q.S. Hûd (11): 13; Q.S. al- Isrâ‘ (17): 88; dan Q.S. al-Thûr (52): 33-34.

230 M. Quraish Shihab, ―Orientalisme‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 44.

C. Kecenderungan dan Pendekatan Toshihiko Izutsu dalam Kajian al-Qur‘an Kajian sarjana-sarjana non Muslim terhadap al- Qur‘an pada umumnya banyak menyoroti sisi pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen terhadap al- Qur‘an serta sejarah dan kronologi turunnya al- Qur‘an. Sementara kajian mengenai kandungan al-Qur‘an dapat dikatakan sangat minim. Karya-karya dalam bidang ini, menurut Parvez Manzoor, menempati posisi pinggiran dalam khazanah karya-karya mereka tentang

kajian al- 231 Qur‘an yang sangat melimpah. Hal ini mungkin karena, sebagaimana disinyalir oleh Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun, umat Muslim sendirilah

dalam pandangan kaum intelek non-Muslim tersebut yang harus menggali kandungan al- 232 Qur‘an untuk dapat menerangi hidup mereka.

Adapun Toshihiko Izutsu dengan karyanya God and Man in the Koran: Semantics of the Koran Weltanschauung dan Ethico-Religious Concepts in the Al- Qur‟an berusaha untuk memahami kandungan al-Qur‘an. Usaha semacam ini dalam tradisi umat Islam disebut dengan tafsir, 233 yang dapat dipahami sebagai aktivitas untuk memahami al- 234 Qur‘an.

231 Parvez M anzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dan Studi al-Qur‘an‖, terj. Eva F. Amrullah dan Faried F. Saenong, dalam Jurnal Studi al-

Qur‘an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 59. Fazlur Rahman, Tema Pokok

the Qur‟an, h. xi.

Istilah ini merujuk kepada Q.S. al-Furqân (25): 33. Secara etimologis, tafsir berarti bayân syai‟ wa îdhâ ẖ ihih (menjelaskan) dan kasyf al-mughaththâ (membuka sesuatu yang tertutup). Lihat Musâ‗id ibn Sulaiman ibn Nâshir al-Thayyâr, al-Tafsîr al-Lughawî li al-Qur‟ân al-Karîm, (t.tp.: Dâr Ibn Jauzî, 1422 H.), h. 19. Lihat juga Abû al-Fadhl al-Dîn Mu ẖammad ibn Makram ibn Mandzûr, Lisân al- „Arab, h. 3412. 234

Para sarjana Muslim mengemukakan beragam pendapat mengenai definisi tafsir. Di antaranya Mu ẖammad Husain al-Dzahabî yang mendefinisikan tafsir sebagai penjelasan tentang arti atau maksud firman Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia (sebagai penafsir). Mu ẖammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 14. al-Zarkasyî mendefinisikannya suatu ilmu yang mengantarkan pada pemahaman terhadap Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Mu ẖammad saw., penjelasan makna-maknanya, dan penggalian hukum- hukum dan hikmahnya. Lihat Badr al-Dîn Mu ẖammad ibn ‗Abd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al- Qur‟ân, Juz. I, h. 13. Sementaraal-Zarqânî mengemukakan tiga buah definisi tafsir, yaitu: pertama, tafsir adalah suatu ilmu yang mengkaji al- Qur‘an dari segi indikasi-indikasi yang mengantarkan kepada yang dimaksud Allah sesuai dengan batas kemampuan manusia; kedua, tafsir adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang hal ikhwal al- Qur‘an dari segi sebab turunnya, sanad, tajwîd, lafadz-lafadz, dan makna-makna yang berkaitan dengan lafadz dan hukum-hukumnya; ketiga, tafsir adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara penuturan lafadz-lafadz al- Qur‘an, petunjuk-petunjuknya, hukum-

Sejak awal, umat Muslim memiliki antusiasme yang besar untuk memahami al- Qur‘an. Hal ini karena bagi kaum Muslim, al-Qur‘an di samping sebagai Kitab Suci juga sekaligus sebagai petunjuk. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau disiplin ini menempati urutan teratas dalam sejarah kajian al- Qur‘an.

Penafsiran Toshihiko Izutsu terhadap al- Qur‘an bertujuan untuk menemukan pandangan dunia (weltanschauung) kitab suci ini. Suatu usaha yang menurut Fazlur Rahman belum pernah dilakukan secara sistematis oleh sarjana-sarjana Muslim sendiri sebelumnya. Kegagalan memahami al- Qur‘an sebagai kesatupaduan yang berjalin berkelindan yang menghasilkan suatu weltanschauung yang pasti, telah mengakibatkan terjadinya bencana besar dalam lapangan pemikiran teologi. Paling tidak, hal ini pernah dialami oleh aliran Asy‗ariyah, sebuah aliran teologi Sunni yang dominan selama abad pertengahan, ketika berlangsungnya pengadopsian gagasan- gagasan asing dalam aspek teologi dengan ketiadaan wawasan yang padu tentang

pandangan dunia al- 235 Qur‘an. Untuk memenuhi tujuan tersebut, Toshihiko Izutsu menggunakan pendekatan

strukturalisme linguistik. Pemilihannya terhadap pendekatan ini dapat dilihat dari keyakinannya, bahasa itu tidak hanya sebagai alat untuk berbicara dan berpikir, namun lebih penting lagi sebagai alat untuk menangkap dan menerjemahkan dunia

yang mengelilinginya. 236 Berdasarkan paparan ini, Toshihiko Izutsu mengikuti

hukumnya - baik ketika berdiri sendiri maupun ketika dirangkai dengan yang lainnya, makna-makna yang mungkin dicakupnya, dan hal-hal lain yang menyangkut pengetahuan tentang nasakh, sabâb al- nuzûl , dan aspek-aspek yang jelas seperti cerita dan perumpamaan. Dari ketiga definisi tersebut, al- Zarqânî cenderung memilih definisi yang pertama karena dianggap lebih sederhana dan semua rincian yang ada pada kedua definisi terakhir memerlukan kemampuan manusia untuk meyerapnya. Lihat Mu ẖammad ‗Abd al-‗Adzîm al-Zarqânî, Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, taẖqîq: Badî al-Sayyid al-La ẖẖâm, Jilid II, (t.tp.: Dâr al-Qutaibah, 1998), Cet. II, h. 7-9.

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 3-4.

Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung , h. 3. Toshihiko Izutsu mengatakan: ―Semantics as I understand it is an analytic study of the key-terms of a language with a view to arriving eventually at a conceptual grasp of the „weltanschauung‟ or world-view of the people who use that language as a tool not only of speaking and thinking, but, more important still, of contextualizing and interpreting the word that surrounds them .‖

hipotesis Edward Sapir (1884-1939), salah seorang tokoh Strukturalisme, 237 yang menyatakan bahwa bahasa, budaya, dan kepribadian adalah satu kesatuan utuh.

Bahasa adalah sarana apresiasi perilaku dan pengalaman manusia, karena pengalaman dapat diinterpretasikan oleh adat kebiasaan bahasa. 238 Dengan demikian, maka bahasa

– menurut Edward Sapir – merupakan alat untuk mengungkapkan ide atau gagasan. Hipotesis ini kemudian diperkuat oleh Hans Georg Gadamer (1900-1960) yang menyatakan bahwa bahasa adalah produk kekuatan mental manusia, dan setiap bahasa dengan kekuatan linguistiknya merupakan wadah akal-budi manusia. 239

Pendekatan linguistik ala Saussurian ini tampak lebih nyata apabila diperhatikan penjelasannya mengenai al- Qur‘an sebagaimana telah diuraikan di atas. Al- Qur‘an menurutnya adalah kalâm Tuhan yang termanifestaikan dalam lisân Arab.

Ia menyamakan kalâm dengan parole, sementara lisân dengan langue. 240 Istilah- istilah ini pertama kali digagas oleh Ferdinad de Saussure (1857-1913), 241 salah

seorang tokoh pendiri Strukturalisme yang melakukan diferensiasi terhadap istilah bahasa. Menurut Ferdinand de Saussure, bahasa pada dasarnya memiliki dua aspek, yaitu: parole dan langue. Parole atau tuturan adalah apa yang diwujudkan seseorang ketika menggunakan bahasa dalam percakapan atau ketika menyampaikan pesan

Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai sebuah struktur berikut unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun struktur tersebut dipandang lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis daripada sekadar susunan benda-benda. Oleh karena itu, masing-masing unsur hanya akan bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur yang lain di dalam struktur. Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e- Library, 2004), h. 6-7.

Lihat Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech, (New York: Harcourt Brace, 1921), h. 13.

Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Continuum, 1989), 2 nd Revision, h. 439.

240 Toshihiko Izutsu, God and M

an in the Qur‟an, h. 164.

Seorang sarjana berkebangsaan Swiss yang beberapa waktu pernah mengajar di Paris (Perancis) dan akhirnya menjadi Guru Besar di Jenewa. Selama hidupnya ia sedikit sekali mempublikasikan karyanya. Buku yang membuat namanya terkenal dalam bidang linguistik pada mulanya merupakan tiga seri kuliah tentang linguistik umum yang dikumpulkan dan diterbitkan pada tahun 1916 atau tiga tahun setelah kematiannya oleh tiga orang muridnya, yaitu C.H. Bally, A. Sechehaye, dan A. Riedlinger dan diberi judul Cours de Linguistique Generale. Lihat Ferdinand de Saussure, Cours de Linguistique Generale, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1996), h. 374.

tertentu lewat suara-suara simbolik yang keluar dari mulut. Tuturan ini bersifat individual, sehingga mencerminkan atau menunjukkan kebebasan pribadi seseorang. Dengan demikian, parole atau tuturan merupakan sisi empirik, sisi konkrit dari

bahasa. 242 Langue diartikan sebagai keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa yang memungkinkan para penutur saling

memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat, sehingga memenuhi syarat sebagai fakta sosial. 243 Jadi langue adalah suatu sistem

kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai suatu bahasa, seolah- olah kode-kode tersebut telah disepakati bersama di masa lalu di antara para penutur bahasa tersebut. Langue dan parole memang meskipun berbeda, akan tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya dapat diibaratkan bagai dua sisi mata uang. Oleh karena itu, agar informasi yang ingin disampaikan seseorang mencapai sasarannya atau dimengerti pihak lain maka parole harus diwujudkan dalam sistem langue tertentu. Diabaikannya langue akan membuat pesan yang ingin disampaikan tidak dapat dimengerti atau disalahmengertikan. Dengan kata lain, tanpa adanya langue, tidak aka nada parole. Sebaliknya, tanpa ada parole, langue juga tidak akan diketahui keberadaannya.

Strukturalisme linguistik Toshihiko Izutsu semakin tampak nyata ketika ia juga sangat menekankan pembahasan semantik secara sinkronis terhadap data-data

kebahasaan yang disediakan oleh al- Qur‘an. Meskipun demikian ia juga tidak mengabaikan pembahasan semantik secara diakronis. 244 Menurut Toshihiko Izutsu,

ada tiga alasan diperlukannya kajian historis terhadap istilah-istilah kunci al- Qur‘an, yaitu: pertama, pada umumnya kajian terhadap persoalan tersebut berdasarkan atas

242 Ferdinand de Saussure, Cours de Linguistique Generale, h. 80.

M artin Krampen, ―Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi‖, terj. Lucia Hilman, dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (ed.), Serba-serbi Semiotika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 57.

244 Pembahasan mengenai studi sinkronis dan diakronis terhadap bahasa dapat dilihat, Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Lévi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Kepel Press,

2006), h. 46-47.

dua sudut pandang yang berbeda atau lebih, namun sangat berkaitan erat, dan biasanya berakhir dengan pandangan yang lebih dalam dan lebih komprehensif; kedua , dengan mengikuti mengikuti perkembangan semantik istilah-istilah kunci dalam al- Qur‘an melalui sistem non-al-Qur‘an yang muncul dalam Islam karena perkembangan jaman, maka dapat diketahui keistimewaan makna kata-kata yang ada dalam al- Qur‘an dengan sudut pandang yang baru; terakhir, analisis secara cermat terhadap persoalan kemungkinan dan signifikansi semantik historis, memperlihatkan secara jelas kelebihan dan kekurangan metode dan prinsip-prinsip khas semantik statis, sehingga memungkinkan penggabungan kedua semantik tersebut dengan cara

yang sangat menguntungkan dalam menganalisis struktur kosakata al- 245 Qur‘an. Berdasarkan sudut pandang diakronis, kosakata merupakan sekumpulan kata

yang mengalami pertumbuhan dan perubahan semantik. Beberapa kata dalam kelompok tersebut berhenti tumbuh dalam pengertian tidak dipergunakan lagi oleh masyarakat penuturnya dalam jangka waktu tertentu; sedang kata-kata yang lain dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama. Demikian pula pada masa tertentu muncul kata-kata baru, dan mulai dipergunakan sejak waktu itu. Kemudian apabila arus sejarah kosakata ini dipotong pada suatu periode tertentu, maka akan diperoleh sebuah lintas cross-section, yang dapat digambarkan sebagai permukaan datar yang dibentuk oleh sejumlah kata yang telah mampu bertahan hidup sampai ke titik waktu tertentu. Pada permukaan demikian kata-kata tersebut muncul dalam bentuk jaringan konsep yang rumit, yang memungkinkan untuk diteliti secara

sinkronis. 246 Dan bila untuk keperluan tertentu dibuat potongan-potongan sebanyak yang diinginkan, lalu dibandingkan antara suatu permukaan dengan permukaan yang

245 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 32-33.

Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa kosakata pada permukaan datar pada dasarnya merupakan sesuatu yang artifisial. Kosakata tersebut merupakan kondisi statis yang dihasilkan secara artifisial oleh suatu pukulan dalam arus sejarah terhadap semua kata dalam sebuah bahasa pada suatu titik waktu tertentu. Lintas bagian yang dihasilkan memberikan kesan sebagai sesuatu yang statis. Kondisi statis ini hanya bila dilihat dari aspek makroskopik, sementara dari aspek mikroskopik permukaan tersebut menggelegakkan kehidupan dan gerakan. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 33-34.

lain, maka sesungguhnya hal itu disebut dengan semantik historis atau semantik diakronis. 247

Dengan demikian, semantik diakronis yang dimaksud Toshihiko Izutsu bukanlah analisis historis terhadap kata-kata individual untuk melihat bagaimana kata-kata tersebut berubah maknanya karena perjalanan sejarah, tetapi analisis komparatif terhadap dua atau lebih permukaan statis suatu bahasa. Berkenaan dengan al- Qur‘an, Toshihiko Izutsu membagi permukaan semantik bahasa Arab, yaitu: (1) sebelum turunnya al- Qur‘an; (2) masa turunnya al-Qur‘an; dan (3) setelah turunnya al- 248 Qur‘an, terutama pada periode Abbasyiah. Masing-masing permukaan atau

sistem memiliki keunikan yang membedakan dengan sistem-sistem lainnya. Yang dimaksud dengan sistem sebelum al- Qur‘an tentu saja adalah pandangan dunia orang-

orang Arab sebelum turunnya al- Qur‘an yang secara linguistik termanifestasikan dalam syair-syair jahiliyah. Sementara sistem sesudah al- Qur‘an merupakan sistem pemikiran yang timbul sebagai usaha untuk memahami al- Qur‘an. Sistem ini beragam, antara lain adalah teologi, hukum, filsafat, dan tasawuf.

Perbedaan sistem al- Qur‘an dengan sistem pra-al-Qur‘an adalah bahwa kosakata al- Qur‘an memiliki kata fokus tertinggi yaitu Allah, sementara sistem pra-al- Qur‘an tidak memiliki kata fokus demikian. Konsep ―Allah‖ dalam sistem jahiliyah berdiri sejajar dengan konsep ―âlihah‖ (bentuk jamak dari ilâh), yaitu konsep tentang

politeisme. 249 Dengan demikian, kata ―Allah‖ tidak menempati kedudukan sebagai kata fokus tertinggi, justru ia menempati tempat pinggiran (peripheral) dalam seluruh

sistem konseptual jahiliyah. Demikian pula medan semantik konsep âlihah, terutama

247 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 34-35.

Pembagian ini memiliki kemiripan dengan pembagian yang dilakukan oleh A ẖmad al- Iskandârî dan Mushthafâ ‗Ananî. Keduanya membagi perkembangan bahasa dan sastra Arab ke dalam lima fase perkembangan, yaitu: (1) bahasa Arab pada masa Jahiliyah; (2) bahasa Arab pada masa permulaan Islam; (3) bahasa Arab pada masa dinasti Abbasiyah; (4) bahasa Arab pada masa kekuasaan Turki; dan (5) bahasa Arab pada masa kebangkitan akhir. Lihat A ẖmad al-Iskandârî dan Mushthafâ ‗Ananî, al-Wasîth fî al-Adâb al- ʻ Arab wa Târîkhihi , (Kairo: Dâr al-Ma 249 ʻârîf, t.t.), h. 10.

Agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Arab pra-al- Qur‘an atau pra-Islam adalah politeisme. Lihat Bernard Lewis, The Arab in History, (New York: Oxford University Press Inc., 2002), h. 20.

bila dibandingkan dengan medan penting lainnya yang lebih memiliki kaitan langsung dengan kehidupan kesukuan orang Arab, seperti perasaan mulia, kebajikan sosial dan individual, dan lain sebagainya yang tidak memiliki kaitan langsung

dengan Tuhan dan agama. 250 Berkenaan dengan konsep kata fokus tertinggi tersebut, Toshihiko Izutsu

menyatakan bahwa menurut sistem al- Qur‘an, tidak terdapat satu medan semantik pun yang tidak secara langsung berkaitan dengan dan diatur oleh konsep sentral Allah. Karena sistem bahasa mencerminkan pandangan dunia pemakainya, maka konsekuensi logis dari adanya konsep kata fokus tertinggi tersebut adalah bahwa di dalam pandangan dunia al- Qur‘an terdapat suatu koherensi konseptual yang tidak ditemukan di dalam sistem jahiliyah. Dengan kata lain, pandangan dunia al- Qur‘an dapat disebut sebagai ‗teosentrik‘, sementara pandangan dunia pra-al-Qur‘an bersifat ‗antroposentrik‘. 251

Dalam sistem al- Qur‘an, semua medan semantik – termasuk di dalamnya semua istilah kunci – berada di bawah pengaruh kata fokus sentral dan tertinggi tersebut. Pengaruhnya tidak saja terhadap konsep-konsep yang secara langsung berhubungan dengan agama dan keimanan, tetapi juga semua gagasan moral, bahkan juga konsep-konsep yang mewakili aspek-aspek keduniaan, seperti perkawinan dan

perceraian, warisan, perdagangan, dan lain sebagainya. 252 Sementara itu, perbedaan antara sistem al- Qur‘an dengan sistem sesudahnya

sangat halus. Hal ini, menurut Toshihiko Izutsu, dikarenakan secara linguistik sistem pasca al- Qur‘an sangat tergantung dan berdasarkan pada kosakata al-Qur‘an. Sebagai ilustrasi perbedaan antara kedua sistem ini, dapat diambil pasangan konseptual yang dibentuk oleh kata muslim, mu„min, dan kâfir. Dalam sistem al-Qur‘an, kata muslim merupakan konsep yang terlihat jelas sebagai kata yang berlawanan dengan kata

250 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 38.

Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 37.

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 37-38.

kâfir . Sementara kata mu„min merupakan konsep yang melengkapi kata muslim, kecuali hanya dalam kasus tertentu saja kata islâm (bentuk nominal dari muslim) berada dalam keadaan yang berlawanan dengan kata îman (bentuk nominal dari

mu„min). 253 Perlawanan konseptual yang fundamental antara muslim dan kâfir berlanjut

dalam sistem teologi yang muncul pada periode pasca al- Qur‘an. Hal ini disebabkan, secara semantik, teologi Islam merupakan sistem konseptual yang pada hakikatnya didasarkan pada kosakata al- Qur‘an, maka ia mewarisi seluruh kesatuan kata dan konsep dari al- Qur‘an. Oleh karena itu, secara lahiriah tidak ada perobahan berkenaan dengan pasangan dasar muslim dan kâfir, namun jka ditelisik secara mendalam, telah terjadi pergeseran struktur batin pasangan tersebut dalam sistem yang baru ini.

Pergeseran struktur makna batin ini terjadi dengan munculnya Khârijiyah (sekte Khawârij) di tengah-tengah dunia Islam. 254 Pada dasarnya persoalan tersbut

tidak lagi menyangkut hubungan antara orang-orang Islam dengan orang-orang di luar Islam, tetapi menyangkut perbedaan di dalam batas-batas orang-orang Islam itu sendiri. Menurut pandangan orang-orang Khawârij, seorang Muslim bila telah melakukan dosa besar, maka dia bukan lagi sebagai orang Muslim, tetapi dia harus dianggap sebagai seorang Kâfir yang akan masuk ke dalam neraka, sehingga dibenarkan untuk dibunuh. Konsep dosa besar sendiri merupakan konsep yang fleksibel. Dikatakan demikian karena sangat mudah diarahkan kemana saja, sehingga bisa mencakup apa saja yang tidak disukai seseorang.

253 Lihat Q.S. al-Hujurât (49): 14-15.

Nama Khawârij berasal dari kata kharaja artinya keluar. Nama ini diberikan kepada pengikut- pengikut ‗Alî ibn Abî Thâlib yang pergi meninggalkan barisannya karena tidak setuju dengan sikap ‗Alî ibn Abi Thâlib yang menerima ta ẖ kîm (arbritase) sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan persengketaan tentang khâlifah dengan Muawwiyah ibn Abî Shufyân. Pendapat lain mengatakan bahwa nama demikian berdasarkan Q.S. al- Nisâ‘ (4): 100 yang di dalamnya disebutkan: ―keluar dari rumah lari menuju kepada Allah dan rasul- Nya.‖ Dengan demikian kaum Khawârij memandang dirinya sebagai orang yang keluar dari rumah demi mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, (Jakarta: Yayasan penerbit Universitas Indonesia, 1972), Cet. II, h. 11.

D. Kritik terhadap Toshihiko Izutsu Tafsîr merupakan salah satu ilmu yang dikembangkan di dalam kajian keislaman ( dirāsat al-islamiyyah) selain fiqh, ushul al-fiqh, ushul al-dîn, dan hadîts. Dibandingkan dengan kajian-kajian lain, tafsîr memiliki nilai yang sangat strategis karena memberi jalan pada ilmu lain untuk menemukan rujukan yang sah. Karena demikian pentingnya, maka dalam khazanah pustaka Islam, termuat berbagai kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menafsirkan al- Qur‘an. Dalam Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ ʻiduhu, Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk menyatakan ada lima belas kriteria yang harus dimiliki seorang penafsir al- Qur‘an, yaitu: pertama, memahami hadis dengan baik; kedua, mengetahui bahasa Arab; ketiga, menguasai gramatika bahasa Arab (na ẖw); keempat, menguasai sistem konjugasi bahasa Arab (tashrîf); kelima, menguasai etimologi bahasa Arab (isytiqâq); keenam, ketujuh dan kedelapan , mempunyai kemahiran di dalam ilmu balâghah dan bagian-bagiannya seperti ma‗ânî, bayân, badî‗; kesembilan, menguasai ragam bacaan (qirâ‟ât) al- Qur‘an; kesepuluh, mengerti ilmu tauhîd; kesebelas, mengetahui ushûl al-fiqh; keduabelas , mengerti sebab-sebab turunnya ayat-ayat al- Qur‘an (asbâb al-nuzûl); ketigabelas , memahami kisah-kisah yang ada di dalam al- Qur‘an; keempatbelas, memahami nâsikh dan mansûkh; dan terakhir, mengamalkan apa yang telah

diketahui. 255 Senada dengan hal tersebut, ʻAbd al-Hay al-Farmâwî menyatakan bahwa seorang penafsir harus memenuhi empat syarat: 256 Syarat pertama dan utama adalah

harus benar aqidahnya dan menjalankan sunah Nabi, kemudian benar tujuannya, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah, menggunakan jalur naql (metode tafsîr bi al-

ma‟tsûr), dan menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan dalam penafsiran. 257 Ini

Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ ʻ iduhu , (Beirut: Dâr al-Nafâis, 1986), h. 186-187. 256 ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû ʻ î: Dirâsah Manhajîyah Maudhu ʻ îyah ,

(Kairo: Mathb‗ah al-Hadhârah al-‗Arabiyah, 1997), h. 17-19. Ada lima belas ilmu, yang meliputi linguistik, teologi, ushûl al-fiqh, asbâb al-nuzûl wa al- qashash , al-nâsikh wa l-mansûkh, hukum Islam, hadits, dan ʻ ilm al-mauhibah . Untuk lebih jelasnya,

lihat ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhû ʻ î , h. 19-20.

menunjukkan bahwa penafsiran al- Qur‘an harus dilakukan oleh orang-orang Muslim yang memiliki keahlian-keahlian khusus. Dengan demikian, muslim biasa ( ʻawâm) tidak diperkenankan melakukan pengkajian terhadap kandungan al- Qur‘an, apalagi non-Muslim.

Pendapat-pendapat di atas diperkuat pula oleh Abdullah Saeed. 258 Ia secara tegas menyatakan bahwa non-Muslim tidak memiliki otoritas dalam menafsirkan al-

Qur‘an. Baginya, penafsiran al-Qur‘an merupakan kerja kesalehan yang memerlukan persyaratan-persyaratan khusus. Di antara persyaratan tersebut yang paling utama adalah seorang penafsir harus Muslim dan menjalankan ajaran-ajaran Islam. 259 Jadi, jika ada non-Muslim yang menafsirkan al- Qur‘an, maka penafsirannya dianggap tidak sah. Meskipun dipandang tidak memiliki otoritas, menurut Abdullah Saeed,

non-Muslim dapat menyumbangkan usaha penafsirannya terhadap al- Qur‘an dalam kerangka akademis. 260 Dalam artian penafsiran mereka secara ilmiah dapat diterima,

hanya saja tidak dapat dijadikan landasan dan pegangan amalan bagi umat Islam. Apa yang dikemukakan oleh Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, ʻAbd al-Hay al- Farmâwî, dan Abdullah Saeed di atas merupakan pandangan mainstream kaum Muslim. Pendapat serupa telah digagas oleh para pendahulu dalam kajian al- Qur‘an, misalnya Ibn Jarîr al-Thabarî, 261 yang secara ekplisit juga menyatakan keyakinan

yang benar (Muslim) sebagai syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang pengkaji al- Qur‘an.

Berdasarkan hal tersebut, maka Toshihiko Izutsu tidak memiliki otoritas untuk menafsirkan al- Qur‘an, karena sampai akhir hayatnya ia adalah seorang pemeluk Zen

Abdullah Saeed adalah profesor Kajian Arab dan Islam Sultan Oman dan direktur Pusat Kajian Islam Kontemporer Universitas Melbourne, Australia. Dia telah banyak menulis tentang Islam dan dia juga mengarang dan menjadi editor sejumlah buku, di antaranya Approaches to Qur‟an in Contemporary Indonesia (2005), Freedom of Religion, Aposty and Islam (co-author, 2004), Islam and Political Legimacy (2003), Islam in Australia (2003), dan Islamic Bank and Interest, (1996).

259 Abdullah Saeed, Interpreting the Qu

r‟an, h. 114.

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur‟an, h. 114. 261 Al-Thabarî menyatakan, min shartihi shi ẖẖ ah al-i ʻ tiqâd wa luzûm sunnah al-dîn, fa inna

man kâna maghmûsh ʻ alaihi fî dînihi lâ yu‟tamanu ʻ alâ al-dunyâ fa kaifa ʻ ala al-dîn . Lihat, Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî ʻ Ulûm al- Qur‟ân, Juz 2, h. 176.

Budhism. Namun dengan mencermati seruan Mu ẖammad Amîn al-Khûli (1895- 1966) yang menggemakan bahwa al-Qur ‘an merupakan ―kitab berbahasa Arab yang terhebat dan karya sastra yang terpenting ‖ (kitâb al-„arabiyyah al-akbar wa atsaruhâ al-adabî al- 262 a„zham), dan Nashr Hâmid Abû Zaid (l. 1943) dengan pernyataannya bahwa al- Qur‘an adalah ―teks bahasa‖ (nashsh lughawî) sebagaimana teks-teks yang lain yang disusun oleh manusia, 263 dan perintah al- Qur‘an yang ditujukan kepada

kaum Muslim untuk memberi kesempatan kepada non-Muslim untuk mendengarkan al- 264 Qur‘an, dengan harapan mereka dapat menangkap makna dan pesan-pesannya,

maka apa yang dilakukan oleh Toshihiko Izutsu dapat dipandang sebagai sesuatu yang sah-sah saja.

Selain dipandang tidak memiliki otoritas dalam menafsirkan al- Qur‘an berdasarkan sudut pandang sarjana-sarjana „ulûm al-Qur‟ân, Toshihiko Izutsu juga tidak sepi dari kritik yang dilontarkan oleh sarjana-sarjana kontemporer. Kritik terhadap Toshihiko Izutsu datang dari Fazlur Rahman yang menulis sebuah ulasan

terhadap 265 God and Man in the Qur‟an. Dalam beberapa bagian dari review tersebut, Fazlur Rahman mengkritik Toshihiko Izutsu yang terlalu bercita-cita tinggi untuk

menjelaskan al- Qur‘an atas dasar pencarian ―struktur dasar‖ dan ―konsep-kunci‖ al-

262 Lihat Mu ẖammad Amîn al-Khûli, Manâhij al-Tajdîd fî al-Na ẖ wi wa al-Balâghah wa al- Tafsîr wa al-Adâb , (Beirut: Dâr al-Ma ʻrifah, 1961), h. 303, dan Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-

Nashsh: Dirâsah fî ʻ Ulûm al- Qur‟ân, (Kairo: al-Haiʻah al-Mishriyah al-ʻÂmmah li al-Kitâb, 1993), h. 12-13.

263 Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh, h. 27-28. Pernyataan Nashr Hâmid Abû Zaid yang kontradiktif dengan keyakinan mayoritas umat Isam ini tentu saja mendapat protes dari kalangan

Ulama, di antaranya adalah seorang guru besar Universitas al-Azhar, Mohammed Abu Musa, yang mengecam pendapatnya dengan mengatakan bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada seorang pun yang menggunakan istilah ―teks‖ ketika merujuk kepada al-Qur‘an selain sebagaimana yang digunakan Tuhan sendiri, seperti âyat dan sûrah. Hanya orientalis yang mengatakan al- Qur‘an adalah teks. Hal ini sebagaimana diakui oleh Nashr Hâmid Abû Zaid dalam, Al- Qur‟an, Hermeneutika, dan Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutika Al- Qur‟an, h. 86.

264 Baca Q.S. al-Taubah (9): 6.

Ulasannya dimuat dalam Jurnal Islamic Studies, Juni 1966, Vol. V, No. 2, Islamic Research Institute, Rawalpindi. Dan cantumkan dalam Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. vii-xiv.

Qur‘an. Bagi Fazlur Rahman, tanpa pendekatan sejarah, kita tidak akan dapat berlaku adil terhadap evolusi konsep, khususnya konsep Allah. 266

Kritik lain datang dari Harry Partin. Menurutnya, analisis Toshihiko Izutsu tidak memadai secara historis. Hal ini berdasarkan, pertama, mengabaikan peranan sejarah di dalam mempengaruhi perubahan makna, dan kedua Toshihiko Izutsu tidak menegaskan fakta bahwa surat-surat dalam al- Qur‘ān diturunkan selama masa lebih daripada dua puluh tahun dan beberapa kata yang terdapat di dalam surat-surat awal sangat berbeda maknanya dengan surat-surat terakhir. Dengan kata lain, ada sebuah sejarah semantik di dalam al- Qur‘an itu sendiri. Jelas, pendapat Harry Partin ini makin mengukuhkan kritik Fazlur Rahman terhadap Toshihiko Izutsu. 267

Daniel A. Madigan juga mengkritik Toshihiko Izutsu. Ia keberatan dengan teori makna dasar dan makna relasional yang dikemukakan oleh Toshihiko Izutsu. Premis dari teori tersebut adalah makna yang tepat dari suatu kata ditentukan oleh

posisinya dalam suatu sistem. 268 Pendekatan Toshihiko Izutsu didasarkan atas keyakinan bahwa orang dalam situasi budaya yang berbeda akan menggunakan kata-

kata untuk mengelompokkan dan membagi realitas dengan cara yang beragam. Dengan demikian kebutuhan akan pemetaan bidang semantik masing-masing kata harus benar-benar dieksplorasi. Karena berdasarkan pemetaan dan hubungan dalam bidang semantik, makna berubah seiring waktu. Menurut Daniel A. Madigan, istilah ―makna yang tepat‖ dapat membahayakan. Tidak ada satupun makna yang dapat diklaim sebagai makna al-Quran. Mengutip Wilfred Cantwell Smith, makna Quran

a 269 dalah ―sejarah makna-maknanya‖. Meskipun demikian, beberapa sarjana Muslim memberikan apresiasi yang

positif. Parvez Manzoor, misalnya, sebagai seorang yang sangat keras menentang

266 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. x. 267 http:// www.ahmadsyahidah.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 268 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in th 269

e Qur‟an, h. 13.

Daniel A. Madigan, The Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s Scripture,, h. 80.

kajian al- Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat dengan mengatakan bahwa apapun manfaat dan gunanya, studi al- Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat merupakan proyek yang lahir dari kedengkian yang dipelihara dalam kefrustasian dan disusui dalam

kedendaman, 270 merekomendasikan karya-karya Toshihiko Izutsu bagi sarjana- sarjana Muslim. Dalam pandangannya, sarjana Jepang ini – sebagai orang luar

orientalisme – tidak mewarisi prasangka sejarah atau ketakutan emosional. Oleh karena itu, meskipun karyanya ditopengi oleh metode orientalisme, namun bersinar dengan kilauan yang mempesona. Karya-karyanya sekaligus menyajikan argumentasi yang sangat meyakinkan dalam melawan klaim bahwa kebenaran sebuah kitab suci hanya dapat dicapai oleh mereka yang menjadi insider tradisi suci tersebut. Parvez Manzoor bahkan menganggap metode yang dipergunakan oleh Toshihiko Izutsu,

yaitu membiarkan al- Qur‘an berbicara sendiri, sebagai metode terbaik untuk mengkaji al- 271 Qur‘an.

Demikian juga dengan Seyyed Hossein Nasr. Sebagaimana telah dikemukakan di muka, dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. Selain itu, ia menambahkan bahwa Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan serius pertama antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara pemikiran Islam dan Timur Jauh di dalam konteks

kesarjanaan modern. 272

270 Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.), dalam Jurnal Studi al-

Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 45. Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.), dalam Jurnal Studi al-

Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 59-60. http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

Terlepas dari polemik otoritatif tidaknya Toshihiko Izutsu dalam penafsiran al-Quran dan kritik-kritik yang dilontarkan oleh kalangan akedemisi, pendekatan dan metode yang dipakai oleh Toshihiko Izutsu dapat membuka cakrawala baru dalam studi al- Qur‘an.