AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA DALAM PERSPEKTIF TOSHIHIKO IZUTSU TESIS

TOSHIHIKO IZUTSU TESIS

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Agama dalam

Bidang Pendidikan Bahasa Arab

Oleh:

FATHURRAHMAN

NIM. 07.2.00.1.13.08.0040

Pembimbing: Dr. Yusuf Rahman, M.A.

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2010

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, nama

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis dengan judul: “Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu ‖ adalah benar merupakan hasil karya saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 25 Pebruari 2010 Penulis,

Fathurrahman

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul ―Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu ‖ yang ditulis oleh:

telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk dibawa ke sidang ujian/penilaian tesis.

Jakarta, 25 Pebruari 2010 Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, M.A.

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Tesis dengan judul ―Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu ‖ yang ditulis oleh Fathurrahman, NIM. 07.2.00.1.13.08.0040, telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Senin, tanggal 8 Maret 2010, dan telah diperbaiki sesuai saran dan rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

TIM PENGUJI

Ketua Sidang/Penguji, Pembimbing/Penguji,

Dr. Udjang Tholib, M.A. Dr. Yusuf Rahman, M.A. Tanggal: _______ 2010

Tanggal: _______ 2010

Penguji I,

Penguji II,

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A. Prof. Dr. Suwito, M.A. Tanggal: _______ 2010

Tanggal: _______ 2010

ABSTRAK

Tesis ini membuktikan bahwa menjadi Muslim bukanlah merupakan syarat utama bagi seseorang untuk dapat mengkaji al- Qur‘an. Kesimpulan tesis ini pada dasarnya menolak pendapat yang menyatakan bahwa non-Muslim tidak boleh mengkaji al- Qur‘an. Pendapat ini dikemukakan oleh Mu ẖammad Nabîl Ghanâim, Dirâsât fî al-Tafsîr, (1987), Khâlid ʻAbd al-Rahmân al- ʻAk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ ʻiduhu, (1986), dan ‗Abd al-Hay al-Farmâwî, al- Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhû ʻî: Dirâsah Manhajîyah Maudhuʻîyah, (1977). Sebaliknya, tesis ini mendukung gagasan tentang kemungkinan bagi setiap orang dapat mengkaji al- Qur‘an tanpa dibatasi oleh agamanya, apakah ia Muslim atau bukan. Pendapat ini dikemukakan oleh Mu ẖammad Amîn al-Khûli, Manâhij al- Tajdîd fî al-Na ẖwi wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adâb, (1961) dan Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (1993).

Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah karya- karya Toshihiko Izutsu tentang kajian al- Qur‘an, yaitu: God and Man in the Koran:

Semantics of the Koranic Weltanschauung , (2002), dan Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (2002). Sedangkan sumber sekunder di antaranya adalah: Ahmad

Sahidah, Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam dalam al- Qur‟ān menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu , (http://www.ahmadsahidah.blogspot.com), dan karya-karya yang berkenaan dengan kajian al- Qur‘an. Dalam pengumpulan data, penulis menempuh teknik studi literatur dan pencarian di internet. Sifat penelitian ini adalah deskriptif- analitis, yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk memberikan gambaran sekaligus mengeksplorasi secara mendalam pandangan dan pendekatan Toshihiko Izutsu dalam mengkaji al- Qur‘an. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tekstual, yakni menyelami pemikiran seorang tokoh melalui karya-karyanya guna menangkap nuansa makna dan pengertian yang dimaksud secara khas sehingga tercapai suatu pemahaman yang benar. Penulis juga menempuh langkah komparatif, dengan membandingkan pandangan dan pendekatan Toshihiko Izutsu dengan sarjana-sarjana lain baik Muslim maupun non-Muslim seputar objek pembahasan guna menangkap sisi persamaan dan perbedaannya.

ABSTRACT

This thesis proves that to be a Muslim is not the main criteria to study al-

Qur‘ân.

Basically, the conclusion of this thesis refuses the statement of Mu ẖammad Nabîl Ghanâim, Dirâsât fî al-Tafsîr, (1987), Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, Ushûl al- Tafsîr wa Qawâ ʻiduhu, (1986), and ‗Abd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al- Maudhû ʻî: Dirâsah Manhajîyah Maudhuʻîyah, (1977), who state that non-Muslim does not have authority to study the Holy Book. On the other side, this thesis strengthens the statement of Mu ẖammad Amin al-Khûlî on Manâhij al-Tajdîd fî al- Na ẖwi wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adâb, (1961) and Nashr Hâmid Abû Zaid on Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (1993), who suggest that everyone who are interested in studying al- Qur‘ân can study the Holy Book without seeing to his or her religion.

The principal sources in this research are Toshihiko Izutsu‘s books on the Quranic studies, i.e.: ―God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung ”, and ―Ethico-Religious Concepts in the al-Qur‟an”, whereas the secondary sources of the research are Ahmad Sahidah ‗s article, Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam dalam al- Qur‟ān menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu, (http://www.ahmadsahidah.blogspot.com), and other books that have a correlation with this study. In collecting some data, the writer uses literary research and access to the internet. This research is a descriptive analysis that describes and explore deeply the view and approach of Toshihiko Izutsu ‘s study in al-Qur‘ân. The writer uses the textual approach in understanding Toshihiko Izutsu ‘s ideas that are written in his books in order to get the meaning that he intended. The writer also uses comparative approach, that compares view and approach between Toshihiko Izutsu and some scholars (Muslim or non-Muslim) to find their similarities and differences.

God and Man in the Koran : Semantics ―ToshihikoIzutsu Ethico-Reliius Concepts in the

of of the Koranic Weltanschanung (2002), Qur‟an (2002)

Hubungan Allah, Manusia, Alam dalam al- Qur‟an Menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu ( http://www.ahmadsahidah.blogspot.com )

Analisis Deskriptif Toshihiko Izutsu Toshihiko Izutsu

UNGKAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur terpanjatkan kehadirat Allah SWT., Rabb al- „Âlamîn, karena tatkala penulis berada dalam kondisi sulit selalu saja ada kemudahan yang Dia berikan melalui orang-orang terpilih-Nya. Demikian juga, shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tesis ini banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dukungan, dana, bimbingan, arahan, dan masukan. Oleh karena itu, penulis merasa wajib berterima kasih kepada jajaran Departemen Agama selaku pihak pemberi beasiswa, Kepala MAN Mandah, Bapak Said Sulaiman Daud, S.Pd.I. yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program beasiswa ini, dan rekan-rekan guru dan pegawai di MAN Mandah yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.

Kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A.; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A.; dan para Deputi Direktur, yaitu: Prof. Dr. Suwito, M.A.; Dr. Fu‘ad Jabali, M.A.; dan Dr. Udjang Tholib, M.A., serta seluruh staf pengajarnya, penulis ucapkan terima kasih atas perkenannya untuk studi di lembaga ini dan atas kuliah-kuliah yang inspiratif dan mencerahkan.

Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pembimbing, yaitu Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A. yang dengan penuh kesabaran memberikan arahan kepada penulis di tengah-tengah kesibukannya sebagai Dosen tetap Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Penanggung jawab Program Khusus serta Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sujud ta „zhîm untuk Ayahanda M. Asrori (al-Marẖûm) dan Ibunda Rusmini, yang dengan penuh kesabaran mendidik penulis dari kecil hingga dewasa, mengajari untuk mencintai ilmu pengetahuan, dan senantiasa mendo‘akan penulis supaya menjadi pribadi yang baik dan berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Juga kepada

Ayahanda Suroto, S.Ag., M.A. dan Ibunda Siti Asiyah, A.Ma., yang dengan ikhlas memberikan semangat, perhatian, dan dorongan baik moril maupun materil kepada penulis. Kepada adik-adik penulis, Ahmad Rifa‘i beserta istri, Ahmad Tarmuji, dan Lilik Jauharotul Wastiyah, terima kasih telah memberikan perhatian dan semangat dalam menyelesaikan studi ini.

Di samping itu juga, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat Studi al- Qur‘an (PSQ) Jakarta, dan Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta atas pelayanannya, baik dalam bentuk peminjaman maupun fotokopi data-data yang penulis butuhkan, semoga bantuannya mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Kepada sahabat-sahabatku peserta program beasiswa Departemen Agama angkatan 2007 dari PBA dan PAI di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah yang selalu memberikan semangat dan waktu berdiskusi untuk segera menyelesaikan Program Magister terutama dalam penulisan tesis ini dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini tanpa bisa disebutkan satu persatu.

Wa bi al khusûs , penghargaan yang paling istimewa penulis sampaikan kepada isteri tercinta, Leni Rohani Afifah, S.Pd.I, dan putri kami, Ghaida Aurellia Nabila, atas pengertian, kesabaran, dukungan, dan pengorbanannya demi studi suami dan bapaknya, sehingga rela ditinggalkan bahkan ketika proses persalinan sekalipun. Kepada mereka karya ilmiah ini penulis dedikasikan.

Akhirnya, jazâ‟akum Allah aẖsana al-jazâ‟.

Jakarta, 20 Pebruari 2010

Fathurrahman

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN

A. Konsonan Huruf

Keterangan Arab

Nama

Huruf Latin

Alîf

Tidak dilambangkan

Be

Bâ‟

B, b

Ta‟

T, t

Te

Tsâ‟

Ts, ts

Te dan Es

Jîm

J, j

Je Ha (dengan garis di

H â‟

H, ẖ

bawah)

Kha‟

Dâl

D, d

Dzâl

Dz, dz

De dan Zet

Râ‟

R, r

Er

Zây

Z, z

Zet

Sîn

S, s

Es

Syîn

Sy, sy

Es dan Ye

Shâd

Sh, sh

Es dan Ha

Dhâd

Dh, dh

De dan Ha

Thâ‟

Th, th

Te dan Ha

Zhâ‟

Zh, zh

Zet dan Ha

„Ain

koma terbalik di atas

Ghain

Fâ‟

F, f

Qâf

Q, q

Ki

Kâf

K, k

Ka

Lâm

L, l

El

Mîm

M, m

Em

Nûn

N, n

En

Wâw

Hâ‟

H, h

Lâm alîf

Lâ, lâ

El dan A

Hamzah

Apostrof

Yâ‟

Y, y

Ye

B. Vokal

1. Vokal Pendek

Tanda

Nama

Huruf Latin

2. Vokal Panjang

Tanda

Nama

Huruf Latin

Keterangan

Fathah dan Alîf

a dan topi di atas

Kasrah dan Yâ‟

i dan topi di atas

Dhammah dan Wâw

u dan topi di atas

3. Vokal Rangkap

Tanda

Nama

Huruf Latin

Keterangan

Fathah dan Yâ‟

ai

a dan i

Fathah dan Wâw

au

a dan u

C. Lain-lain

 Tâ‟ al-Marbûthah dilambangkan dengan /h/, sedangkan tâ‟ yang menunjukkan jama‟ mu‟annats sâlim dilambangkan dengan /t/.  Syaddah atau tasydîd dilakukan dengan menggandakan huruf yang sama.

 Kata sandang ― ‖ ditransliterasikan dengan ―al‖ diikuti dengan tanda penghubung, baik ketika bertemu dengan huruf qamariyah maupun dengan huruf syamsiyah.

 Nama-nama atau kata yang telah ada versi populernya dalam tulisan latin, pada umumnya, akan ditulis berdasarkan versi populer tersebut.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kajian mengenai al- Qur‘an tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim, tapi juga oleh kalangan non-Muslim. Akan tetapi kelompok yang disebutkan terakhir tidak memandang al- Qur‘an sebagaimana kelompok pertama. Mayoritas kaum Muslim meyakini bahwa al- Qur‘an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad melalui perantaraan Jibril, kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara mutawâtir, yang tertulis dalam mushaf dan membacanya

dianggap ibadah. 1 Keyakinan demikian pada gilirannya menimbulkan ketertarikan dalam diri kaum Muslim tersebut untuk memahami kandungan al- Qur‘an, sehingga melahirkan karya melimpah yang terhimpun dalam kitab-kitab tafsir. 2 Sementara non-Muslim pada umumnya memandang al- Qur‘an bukanlah firman Tuhan, tapi sebagai ucapan Muhammad. 3 Pandangan yang secara diametral sangat bertentangan

1 Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974), h. 1-2; Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen and Unwin

Ltd., 1984), h. 42. 2 Salah satu indikatornya adalah penelitian yang dilakukan oleh Fuat Sezgin, Geschichte des

Arabischen Schriftums, yang menunjukan banyaknya karya tafsir, baik yang telah dianotasi dan diterbitkan, maupun yang masih berupa manuskrip, dalam khazanah intelektual Islam klasik. Lihat Nur Kholis Setiawan, ―Al-Qur‘an dalam Kesarjanaan Klasik dan Kontemporer; Keniscayaan Geisteswissenschaften ,‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 1, Januari 2006, h. 79. Lihat juga, Mu ẖammad Husain Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I-III, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000). Berkenaan dengan hal ini, Stefan Wild mengatakan bahwa sejarah kajian al- Qur‘an yang selalu menduduki peringkat utama, adalah sejarah penafsiran umat Islam terhadap al- Qur‘an. Lihat, Stefan Wild, ―Kata Pengantar‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), h. xxiii.

3 Charles J. Adams mengatakan: ―Virtually all western scholarship, almost without stopping to consider, considers Muhammad and his teaching to be the result of historical and personality

factors rather than of divine activity .‖ Charles J. Adams, ―Islam‖ dalam A Reader‟s Guide to the Great Religious , (New York: The Free Press, 1975), h. 414. Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997), h.

28. Pandangan demikian timbul karena didasarkan atas pra-anggapan Kristen bahwa wahyu (kitab suci) Kristen didasarkan atas kesaksian-kesaksian manusia yang bermacam-macam dan tidak langsung.

dengan keyakinan umat Muslim ini mendasari penelitian-penelitian terhadap al- Qur‘an yang mereka lakukan.

Ketertarikan umat Muslim untuk mengkaji al- Qur‘an tentu saja tidak menimbulkan keheranan, karena al- Qur‘an adalah kitab suci dan pedoman hidup mereka, sehingga merupakan suatu kewajaran jika mereka mencurahkan segenap perhatian untuk memahami ajaran-ajarannya untuk membimbing diri mereka dalam menempuh kehidupan yang sesuai dengan tuntunan kitab suci tersebut. Sebaliknya, ketertarikan non-Muslim terhadap al- Qur‘an sering mengundang tanda tanya. Apa motivasi yang mendorong mereka mendedikasikan hidupnya untuk menggeluti al- Qur‘an, sementara dalam hati mereka tidak ada keyakinan terhadap al-Qur‘an dan ajaran-ajarannya sebagai berasal dari Tuhan.

Kajian non Muslim terhadap al- Qur‘an telah muncul sejak awal, yakni sejak kitab suci tersebut diwahyukan kepada Muhammad. Hal tersebut, menurut Andrew Rippin, secara diakui oleh al- Qur‘an sendiri, yakni ketika al-Qur‘an mengklasifikasi manusia kepada dua kelompok: orang-orang yang menerima ajaran-ajaran kitab suci tersebut dan orang-orang yang menolaknya. Pilihan terhadap sikap itu tentu

didasarkan atas pengetahuan mengenai kitab suci tersebut. 4 Kajian al- Qur‘an oleh non-Muslim terus berlanjut, dan sejak abad

pertengahan aktivitas ini tidak bisa dipisahkan dari orientalisme. 5 Orientalisme ini memiliki akar historis sejak adanya polemik keagamaan antara kaum Yahudi dan

Lihat Maurice Bucaille, Bibel, al- Qur‟an, dan Sains Modern, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 18.

4 Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘an‖, dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟an, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h.

236-237. 5 Joesoef Sou‘yb memberikan definisi orientalisme sebagai suatu paham atau aliran yang

berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya. Lebih jauh ia juga mendefinisikan orientalisme dalam arti sempit sebagai kegiatan penyelidikan ahli-ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam. Lihat Joesoef Sou‘yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. III, h. 1-2. Sementara Edward W. Said memahami orientalisme sebagai suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pangalaman manusia Barat Eropa. Lihat Edward W. Said, Orientalisme , terj. Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 2001), Cet. IV, h. 2.

Kristen dengan kaum Muslim pada masa awal. Polemik ini berlangsung bersamaan dengan makin meluasnya kekuasaan kekhalifahan Islam ke Suriah, Yerusalem, dan Mesir di belahan Timur, dan sampai ke Afrika Utara, Spanyol, dan Sicilia di belahan Barat. Pada masa tersebut perdebatan teologis antara masing-masing pemuka agama sering berlangsung. Perdebatan tersebut meniscayakan para pemuka agama Yahudi dan Kristen memiliki pengatahuan tertentu mengenai doktrin Islam, meskipun dengan tujuan untuk menolaknya. Pandangan bahwa Islam adalah ―bentuk lain‖ atau penyimpangan dari Kristen tumbuh dari adanya polemik keagamaan tersebut. Hal ini,

misalnya, dapat ditemukan dalam gagasan Yohanes dari Damaskus (650-754), 6 yang bekerja sebagai pegawai dalam pemerintahan Bani Umayah. Ia adalah teolog Kristen

pertama yang menaruh perhatian besar dalam mengkaji Islam. Dalam satu kesempatan ia menyatakan bahwa Islam memang meyakini adanya Tuhan, tetapi secara bersamaan Islam juga menolak kebenaran tertentu dalam agama Kristen, dan karena penolakan tersebut, maka seluruh doktrin agama Islam menjadi tidak

bermakna. 7 Dengan demikian, pada fase yang masih tergolong awal telah ada usaha untuk mengkaji Islam oleh sarjana-sarjana non-Muslim, meskipun dalam bentuk yang

masih sangat kabur. Orientalisme mulai menemukan fokusnya yang lebih jelas pada abad ke-11, tepatnya seiring dengan pecahnya perang Salib (1096-1291). Akibat perang Salib,

kelompok intelektual di Barat mulai menaruh perhatian terhadap Islam. 8 Aktivitas

6 Seorang sarjana dari gereja Yunani. Ayahnya menjadi kepala keuangan pada dinasti Umayah dan ia sendiri pernah menjadi Perdana Menteri di dinasti tersebut. Setelah itu ia mulai

menarik diri dan menulis berbagai karya yang bersifat polemik antara Islam dan Kristen. Lihat Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II, (Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1988), h. 6. 7 Ichsan Ali F auzi, ―Pandangan Barat,‖ dalam Taufik Abdullah, dkk. (eds.), Ensiklopedi

Tematis Dunia Islam , Vol. 7, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 236. 8 Menurut Joesoef Sou‘yb, perang Salib merupakan salah satu faktor yang mendorong

pertumbuhan dan perkembangan orientalisme. Faktor-faktor lainnya adalah persentuhan antara Barat dengan perguruan tinggi di dunia Islam, penyalinan manuskrip-manuskrip atau naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-13 M. sampai dengan masa renaissance di Eropa pada abad ke-14 M., dan perkembangan kekuasaan maritim pihak Barat terutama pengaruh perlawatan Marco Polo (1254-1324) ke Tiongkok yang pada akhirnya mewariskan sebuah karya berjudul The Travels of pertumbuhan dan perkembangan orientalisme. Faktor-faktor lainnya adalah persentuhan antara Barat dengan perguruan tinggi di dunia Islam, penyalinan manuskrip-manuskrip atau naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-13 M. sampai dengan masa renaissance di Eropa pada abad ke-14 M., dan perkembangan kekuasaan maritim pihak Barat terutama pengaruh perlawatan Marco Polo (1254-1324) ke Tiongkok yang pada akhirnya mewariskan sebuah karya berjudul The Travels of

Legis Saracenorum quem Alcoran Vocant (Kitab Hukum Islam yang disebut al- Qur‘an), merupakan terjemahan al-Qur‘an yang pertama dan dijadikan sumber utama oleh para pendeta, pastor, dan misionaris selama 600 tahun ketika merujuk kepada al-

Qur‘an. 10 Dari terjemahan bahasa Latin inilah kemudian al- Qur‘an diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. 11

Di sisi lain perang Salib juga menimbulkan kesalahpahaman Barat terhadap Islam. Hal ini dapat dipahami karena dalam suasana konflik perang, dengan sendirinya akan sulit melahirkan pandangan yang positif satu sama lain. Kesalahpahaman Barat, yang menimbulkan pandangan negatif terhadap Islam, dicirikan oleh tiga hal, yaitu: Pertama, memandang Timur sebagai bangsa dan agama inferior. Islam, menurut mereka, adalah agama teror, agama permusuhan, dan kaum Muslim sebagai gerombolan orang Barbar yang patut dibenci. Karena itu, Islam bagi

Barat merupakan trauma. 12 Mereka menggambarkan Muhammad dalam persepsi yang sangat negatif. Richard C. Martin mencatat bahwa pada saat itu banyak beredar

cerita yang melukiskan Muhammad sebagai tuhan bagi orang Islam, pendusta,

Marco Polo . Faktor-faktor ini masing-masing tidaklah berdiri sendiri, melainkan saling mendukung dan saling berkaitan satu sama lain. Lihat Joesoef Sou‘yb, Orientalisme dan Islam, h. 36-37. 9

Kegiatan ini diprakarsai oleh Peter yang Agung (Petrus Venerabilis, 1094-1156) – kepala biara induk di Cluny (Perancis) – ketika mengunjungi Toledo (Spanyol) sekitar tahun 1141-1142. Di sana dia menghimpun, membiayai, dan menugaskan sejumlah orang untuk menghasilkan karya-karya yang berkenaan dengan Islam. Lihat W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), h. 173.

10 Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al- Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 20.

11 Terjemahan ke dalam bahasa Jerman dilakukan oleh Schweigger di Nurenburg (Bavaria) pada tahun 1616, terjemahan ke dalam bahasa Perancis dilakukan oleh Du Ryer yang diterbitkan di

Paris pada tahun 1647, dan terjemahan ke dalam bahasa Rusia diterbitkan di St. Petersburg pada tahun 1776. Pembahasan selengkapnya, lihat W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 173-186.

12 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 18.

penggemar wanita, orang Kristen yang murtad, tukang sihir, dan lain sebagainya. 13 Sementara W. Montgomery Watt mengemukakan persepsi sarjana-sarjana Barat abad

ke-19 yang negatif terhadap Muhammad, antara lain: Gustav Weil (1808-1889) menganggap Muhammad menderita penyakit epilepsi (penyakit ayan), Alloys Sprenger (1813-1893) mengatakan Muhammad mengidap penyakit histeria, Willian Muir (1819-1905) mengatakan bahwa ketika di Mekah Muhammad adalah seorang rasul yang sebenarnya dan memiliki jiwa yang tinggi tetapi setelah di Madinah dia

mulai tergoda rayuan setan untuk memperoleh keberhasilan duniawi. 14 Kedua , sikap apologis. Sikap ini terkait erat dengan pandangan mereka

terhadap Timur, terutama Islam, sebagai inferior. Sikap apologis bertujuan untuk menyerang keyakinan dasar Islam dan untuk memperkuat kedudukan agama Kristen. Orang Barat menyebut Islam dengan ―Muhammadanisme‖ bertolak dari pandangan Kristen tentang Kristus sebagai basis dogma Kristen. 15 Pemberian nama ―Muhammadanism‖ tersebut untuk menumbuhkan kesan bahwa Islam adalah ciptaan Muhammad, bukan agama yang diturunkan oleh Allah. Karel A. Steenbrink menjelaskan bahwa penulis-penulis Barat pada abad pertengahan sampai dengan abad ke-18 menulis tentang Islam bukan untuk memberikan informasi yang sebenarnya mengenai Islam, akan tetapi untuk menanamkan misinformasi dengan maksud untuk

memperkuat keyakinan agama Kristen yang mereka anut. 16 Ketiga , memandang Islam sebagai salah satu sekte Yahudi atau Kristen yang

sesat. 17 Pandangan tersebut bermula dari persepsi Yohanes dari Damaskus. Sebagaimana telah dikemukakan di muka, dia memandang Islam tidak lain adalah

13 Richard C. Martin, ―Islamic Studies,‖ dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World , Vol. 2, (New York, Oxford: Oxford University Press,

1995), h. 325-331. 14 W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Edinbrugh: University Press,

1970), h. 17. 15 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

16 Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II, h. 16. 17 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

bid ‘ah (heresy) Kristen. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Peter yang Agung (abad ke-12 M.), John Wycliffe (abad ke-14 M.), dan beberapa sarjana Barat yang lain di abad pertengahan. Mereka melihat bahwa dalam Islam banyak terdapat kebenaran yang juga terdapat dalam Kristen, tetapi karena keyakinan Islam menolak ajaran Tritunggal, maka hal ini menjadi sebab penolakan mereka untuk mengakui

Islam sebagai kebenaran; mereka memandang Islam sebagai bid‘ah Kristen saja. 18 Kesalahpahaman pandangan Barat terhadap Islam ini dalam perkembangan

selanjutnya, menurut C. Cahen, menimbulkan usaha misionaris. 19 Karena memandang Islam secara negatif, maka dengan sendirinya sarjana-

sarjana Barat juga memandang negatif terhadap al- Qur‘an. Peter yang Agung dan Martin Luther (1483-1546) menyatakan bahwa al- Qur‘an tidak lain adalah buatan

setan. 20 Ricoldo da Monte Croce (+1243-1320), seorang biarawan Dominikus, di samping memandang al- Qur‘an adalah karya setan juga mengklaim bahwa banyak terjadi penyimpangan terjadi dalam sejarah al- Qur‘an, susunan al-Qur‘an tidak sistematis karena tidak ada kronologi waktu, tidak ada periodisasi raja-raja, susunan kisahnya tidak teratur, subyek pembahasannya tidak memiliki relevansi antara yang satu dengan yang lainnya, dan logikanya tidak bersusun. Ricoldo da Monte Croce menyimpulkan pandangannya bahwa, pertama, al- Qur‘an hanyalah kumpulan bid‘ah- bid‘ah lama yang telah dibantah sebelumnya oleh otoritas Gereja; kedua, karena Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak memprediksi sebelumnya, maka al-Qu r‘an tidak boleh diterima sebagai ―hukum Tuhan‖; ketiga, gaya bahasa al-Qur‘an tidak sesuai untuk disebut sebagai ―Kitab suci‖; keempat, klaim al-Qur‘an yang berasal dari Tuhan tidak memiliki basis di dalam tradisi Bibel; kelima, al- Qur‘an penuh dengan berbagai kontradisi internal; keenam, kebenaran al- Qur‘an tidak dibuktikan dengan

18 Norman Daniel, Islam and the West: The Making of An Image, (Edinburgh: University Press, 1966), h. 184,

19 Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif) , h. 17.

20 Lihat Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al- Qur‟an: Kajian Kritis, h. 25-33.

mukjizat; ketujuh, al- Qur‘an bertentangan dengan akal; kedelapan, al-Qur‘an mengajarkan kekerasan; kesembilan, sejarah al- Qur‘an tidak menentu; dan terakhir, peristiwa 21 mi„râj adalah fiksi murni dan dibuat-buat.

Pandangan sarjana-sarjana non-Muslim terhadap Islam tidak selamanya negatif. Di penghujung abad ke-16 sampai dengan abad ke-18, yang sering disebut sebagai abad pencerahan (enlightment ages), mulai terjadi pergeseran dalam cara pandang mereka. Kesan negatif yang tadinya mendominasi karya-karya mereka, mulai berkurang. Contoh konkrit dari fenomena ini adalah munculnya tokoh semacam Count de Boulainvilliers yang mengatakan bahwa Islam bukan agama yang salah; Islam bukan agama yang palsu. Ia juga menulis sebuah biografi Muhammad, di

mana ia memuji kepribadian Muhammad dan Islam. 22 Akan tetapi hingga abad ke-20, bahkan sampai abad ke-21 ini, masih terdapat corak prasangka dalam kajian-kajian

Islam yang dilakukan oleh orientalis. Karel A. Steenbrink menjelaskan bahwa bagaimana pun juga, konfrontasi politik antara Barat dan Islam membawa pengaruh besar terhadap ilmuwan Barat dalam mempelajari dunia Timur, khususnya mengenai agama dan umat Islam. Ilmuwan Barat tersebut tidak bisa dipisahkan dari latar belakang sosial-politiknya. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai pengawal kolonial atau masuk ke dalam dinas gereja Kristen dalam usaha penyebara agama Kristen. Tetapi ada juga ilmuwan yang hanya tinggal di universitasnya, tidak terlihat dalam kegiatan politik praktis, akan tetapi tulisan-tulisan mereka sering sukar diterima oleh pembaca Muslim karena adanya prasangka tadi. Prasangka yang mencampuri tulisan-tulisan mereka dapat diklasifikasi kepada tiga macam, yaitu: (1)

prasangka historisme, (2) prasangka Kristen, dan (3) prasangka superioritas ras. 23

21 Hartmut Bobzin, ―A Treasury of Heresies: Christian Polemics against the Koran‖ dalam Stefan Wild (ed.),

22 The Qur‟ān as Text, (Leiden: E.J. Brill, 1996), h. 166. W. Montgomery Watt, ―Studi Islam oleh para Orientalis,‖ diterjemahkan dari ―The Study of

Islam by Orientalist,” oleh Alef Theria Wasim, dalam al-Jami‟ah, No. 53, 1997, h. 37. 23 Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II, h. 16-20.

Kajian-kajian mereka terhadap Islam yang dicampuri dengan prasangka- prasangka tersebut pada gilirannya mendapat reaksi ―perlawanan‖ dan penolakan dari sarjana-sarjana Muslim, di antaranya yang dilakukan oleh A ẖmad al-Sanhaji (w. 1235) dengan al-Ajwibah al- Fakhirah „an As‟ilah al-Fajirah dan ibn Taimiyah, al- Jawâb al-Sa ẖîẖ li Man Baddala Dîn al-Masîẖ, sebagai jawaban terhadap sarjana Kristen Ortodoks Yunani, Paulus al-Rahib dari Antioch yang menulis Risâlah ilâ

A ẖad al-Muslimûn. Di abad modern, sikap serupa ditunjukkan oleh Muẖammad ‗Abduh dengan bukunya al-Islâm wa al-Nashrâniyah ma„a al-„Ilm wa al-Madâniyah, Jamâl al-Dîn al-Afghâni, al- Radd „alâ al-Dahriyîn, Ameer Ali, The Spirit of Islam, dan lain sebagainya. 24 Penulis juga mencatat bahwa Parvez Manzoor menyatakan bahwa studi al- Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat, apapun manfaat dan gunanya, merupakan proyek yang lahir dari kedengkian yang dipelihara dalam kefrustasian dan disusui dalam kedendaman, yaitu kedengkian penguasa terhadap kaum yang lemah, frustasi ―rational‖ terhadap ―superstitious‖, dan dendam “orthodoxy‖ terhadap ―non- conformist 25 ‖.

Sinyalemen bahwa kajian Islam oleh sarjana-sarjana Barat tidak bisa dipisahkan dari latar belakang sosial-politiknya dapat dikatakan mendekati kebenaran, ketika Fazlur Rahman, dalam pendahuluan bukunya – Major Themes of the Qur‟an, menyebutkan tipologi kajian orientalis tentang al-Qur‘an. Menurutnya, ada tiga tipe, yaitu: pertama, kajian yang berusaha untuk membuktikan adanya pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen terhadap al- Qur‘an; kedua, kajian yang menekankan pada pembahasan sejarah dan kronologi turunnya al- Qur‘an; dan terakhir 26 , kajian tentang tema-tema tertentu dari al- Qur‘an.

24 Lihat A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970), h. 17- 19.

25 Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.), dalam Jurnal Studi al-

26 Fazlur Rahman, Tema Pokok al- Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 45. Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit

Pustaka, 1996), Cet. II, h. x-xi.

Sampai di sini terlihat bahwa umat Muslim pada umumnya merasa keberatan bila non-Muslim, melakukan kajian terhadap al- Qur‘an. Keberatan ini tidaklah secara serta merta karena gerakan orientalisme. Secara historis, menurut Hartmut Bobzin, berdasarkan apa yang disebut dengan pe rjanjian ‗Umar ibn Khattâb, non-Muslim dulu dilarang untuk mengajarkan al- 27 Qur‘an kepada anak-anak mereka. Keberatan umat

Muslim semakin diperparah oleh pendekatan dan metode yang mereka pergunakan. Pendekatan dan metode tersebut dinilai ―sekuler‖ dan dianggap dapat menggoyang kemapanan „Ulûm al-Qur‟ân yang sekian abad lamanya eksis di dunia Islam sebagai sebentuk metodologi penafsiran kitab suci. Dalam konteks Asia Tenggara (khususnya

Indonesia dan Malaysia), sarjana-sarjana seperti Adian Husaini, Adnin Armas, Hamid Fahmi Zarkasyi, Nasruddin Baidan, Syamsuddin Arif, dan Wan Mohd. Nor Wan

Daud, 28

dapat dikategorikan dalam kelompok ini. 29 Pandangan demikian menemukan relevansinya dengan pandangan yang telah

dimapankan oleh kelompok ulama konservatif sejak periode pertengahan. 30 Bagi

27 Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, Vol. 4, h. 235-253. Lihat juga Andrew Rippin, ―Western

Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to the Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 237.

28 Tulisan-tulisan mereka dapat dilihat misalnya: 1) Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal , (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 288-333, dan

―Problem Teks Bible dan Hermeneutika,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Tahun I, No. 1, Maret 2004, h. 7-15; 2) Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al- Qur‟an; Kajian Kritis , (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 35-

80, dan ―Tafsir al-Qur‘an atau Hermeneutika al- Qur‘an,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, h. 38-45; 3) Hamid Fahmi Zarkasyi, ―Menguak Nilai di Balik Hermeneutika,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA , h. 16- 29; 4) Nashruddin Baidan, ―Tinjauan Kritis terhadap Konsep Hermeneutika,‖ dalam Esensia, Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin , Vol. 2, No. 2, Juli 2001, h. 165-180; 5) Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran , (Jakarta: Gema Insani, 2008), Cet. I, h. 176-184; dan 6) Wan Mohd. Nor Wan Daud, ―Tafsir sebagai Metode Ilmiah,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, h. 55.

29 Andrew Rippin, sebagaimana dikutip oleh Yusuf Rahman, melihat pandangan kebanyakan umat Islam yang berpendapat bahwa setiap penggunaan metode kritis terhadap al- Qur‘an (juga tradisi-

tradisi Islam lainya) sebagai serangan dari pihak luar. Lihat Yusuf Rahman, ―Al-Tafsîr al-Adabî fî al- Qur‘ân: A Study of Amîn al-Khûlî‘s and Muhammad Khalaf Allâh‘s Approach to the Qur‘âan‖, dalam jurnal Mimbar Agama & Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002.

30 Anwar Mujahidin, ―Antropologi al-Qur‘an (Dekonstruksi Nalar Bayani menuju Fiqh al- Qur‟ân) dalam Amin Abdullah, dkk., Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi

(Sebuah Antologi) , (Yogyakarta: Penerbit SUKA Press, 2007), h. 129.

sarjana-sarjana Muslim ini, mendekati al- Qur‘an dengan menghadirkan ilmu-ilmu bahasa, hukum, sastra, termasuk filsafat sebagai ilmu bantu dalam menyingkap makna al- Qur‘an adalah karya yang dilarang (ẖarâm) yang berarti mengikutinya juga ẖarâm. Hal tersebut dikarenakan ketepatan dan kebenaran suatu pendapat tidak

meyakinkan dan hanya bersifat dugaan dan perkiraan semata. Orang yang mengatakan sesuatu tentang agama Allah menurut dugaan semata berarti ia telah

mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak ia ketahui. 31 A ẖmad Taqî al-Dîn ibn Taimiyah juga secara tegas mengklaim bahwa sebab-sebab kesesatan dalam

penafsiran al- 32 Qur‘an adalah adanya interaksi dengan para filosof.

Lebih lanjut pendekatan dan metode yang dianggap ―sekuler‖ tersebut meniscayakan posisi al- 33 Qur‘an sebagai teks (nashsh). Sebagai sebuah teks, menurut

Andrew Rippin, al- Qur‘an harus dipandang sejajar dengan karya-karya lain. 34 Penolakan ini sebagaimana direpresentasikan oleh Mohammed Abu Musa dengan pernyataannya bahwa dalam sejarah Islam terma teks tidak pernah digunakan untuk merujuk kepada al- Qur‘an, dan tidak ada ulama yang menganggap al-Qur‘an sebagai sebuah teks. Istilah teks, menurutnya, hanya dipakai oleh para orientalis dalam

berhubungan dengan al- 35 Qur‘an. Memang bagi sarjana-sarjana Muslim tersebut, al-

31 Lihat , Mannâ‘ al-Qaththân, Mabâ ẖ its fi ʻ Ulûm al- Qur‟ân, (Riyad: Mansyûrâh al-ʻAshr al- Hadîts, 1973), h. 352.

32 ʻAbd al-Raẖmân ibn Muẖammad ibn Qâsim al-ʻÂshim al-Najdi, Majmu ʻ al-Fatawâ Syaikh al-Islâm A ẖ mad ibn Taimiyah , (T.t.: T.Pn., 1398 H.), Juz XIII, Kitab Muqaddimah al-Tafsîr, h. 206.

33 Nashsh dimaksud di sini berbeda dengan pemahaman al-Syâfi ʻî ataupun al-Zamakhsyarî, yaitu statemen Ilahiah yang tidak memerlukan interpretasi (ijtihâd). Baca Mu ẖammad ibn Idrîs al-

Syâfi ʻî, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Mu ẖ ammad ibn Idrîs al- Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir (ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979), h. 14, 21.

34 Andrew Rippin, ―The Qur‘an as Literature; Perils, Pitfalls and Prospects‖, British Society for Middle Eastern Studies Bulletin 10 , 1 (1983); 40, sebagaimana dikutip oleh Yusuf Rahman, ―Al-

Tafsîr al-Adabî fî al- Qur‘ân: A Study of Amîn al-Khûlî‘s and Muhammad Khalaf Allâh‘s Approach to the Qur‘ân‖, dalam jurnal Mimbar Agama & Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 130. 35

Mohammed Abu Musa mengatakan: ―Dari keseluruhan sejarah Islam tidak ada seorangpun yang menggunakannya ketika merujuk kata-kata al- Qur‘an selain apa yang Tuhan sendiri gunakan

dalam al- Qur‘an. Tidak satupun ulama yang pernah menghubungkan al-Qur‘an dengan teks, semoga Tuhan memafkan akan hal ini, karena demikianlah cara orang orientalis Eropa (bukan Islam atau Arab) berhubungan dengan al- Qur‘an.‖ Mohammed Abu Musa, al-Tashwîr al-Bayânî: Dirâsah Tahlîliyyah li al-Masâil al-Bayân [Figures of Speech: an Analytical Study of Aspects of Retoric], Edisi kedua, (Kairo: t.p., 1980), sebagaimana dikutip oleh Nashr Hâmid Abû Zaid, Al- Qur‟an, Hermeneutika, dan

Qur‘an adalah al-Qur‘an adalah firman Tuhan (verbum Dei), 36 bukan kreasi Jibril atau Nabi Muhammad, apalagi para Sahabat, yang disampaikan kepada Nabi

Muhammad melalui perantaraan seorang utusan, yaitu malaikat Jibril, kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara mutawâtir, maka al-

Qur‘an sebagaimana yang tertulis dalam mushẖaf adalah sama seperti yang diterima oleh Nabi, sehingga tidak dapat disejajarkan dengan teks-teks lain.

Padahal apabila diperhatikan dengan sikap terbuka, tanpa kecurigaan akan motif-motif yang tersembunyi, kajian non-Muslim dapat membuka horizon baru

dalam kajian al- 37 Qur‘an. Untuk tujuan demikian, maka dalam tesis ini akan dilakukan penelurusan terhadap pendekatan dan karya-karya Toshihiko Izutsu (1914-

1993), seorang sarjana Jepang penganut Zen Budhism, tentang al- Qur‘an, yaitu: Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an dan God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung. Dalam Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, 38 Toshihiko Izutsu membahas konsep pemikiran tentang etika dalam al- Qur‘an. Menurutnya, konsep pemikiran tentang etika dalam al- Qur‘an dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok: Pertama, pembahasan yang menunjukkan dan menguraikan sifat-sifat Tuhan. Kelompok konsep ini kemudian dikembangkan oleh ahli-ahli teologi menjadi teori tentang sifat-sifat Tuhan; Kedua, pembahasan yang menjelaskan berbagai aspek sikap fundamental manusia terhadap Tuhan. Kelompok konsep ini menyangkut hubungan etik dasar antara manusia dan Tuhan; dan Ketiga, pembahasan yang menunjukkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan tingkah laku yang menjadi milik

Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutika Al- Qur‟an, (terj.), (Bandung: RQiS, 2003), h. 86.

36 Definisi-definisi Al- Qur‘an secara umum menggambarkan hal ini. Di antaranya adalah definisi yang diberikan oleh Mu ẖammad ʻAlî al-Shâbunî, al-Tibyân fî ʻ Ulûm al- Qur‟ân, (Beirut: ʻÂlam

al-Kutûb, 1985), Cet. I, h. 8, dan al-Zarqânî, Manâhil al- ʻ Irfân fi ʻ Ulûm al- Qur‟ân, Juz I, h. 16. 37 Machasin, ―Kata Pengantar‖, dalam Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia;

Pendekatan Semantik terhadap Al- Qur‟an, terj. Agus Fahri Husein, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), Cet. I, h. xiii.

38 Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran . Toshihiko Izutsu, Ethico- Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal:

McGill- Queen‘s University Press, 2002), h. iv.

dan hidup dalam masyarakat Islam. Konsep ini berhubungan dengan sikap etik antara seorang manusia dengan sesamanya yang hidup dalam masyarakat yang sama. 39

Dari tiga konsep al- Qur‘an tentang etika tersebut, Toshihiko Izutsu memfokuskan diri pada pembahasan mengenai konsep kedua saja. Ini bukan berarti bahwa ia meninggalkan sama sekali dua konsep yang lain, karena – menurutnya – ketiga kelompok konsep tersebut tidak berdiri secara terpisah, namun memiliki hubungan yang sangat erat. Hal itu disebabkan karena pandangan dunia al- Qur‘an pada dasarnya bersifat teosentris.

Kelompok kedua konsep al- Qur‘an mengenai etika pada akhirnya dapat dibagi lagi menjadi dua konsep dasar yang antara keduanya memiliki perbedaan yang sangat nyata, yaitu: pertama, keyakinan mutlak terhadap Tuhan; dan kedua, ketakutan yang sungguh-sungguh kepadanya. Dua konsep ini, yang disebut Toshihiko Izutsu sebagai saling berlawanan, merupakan refleksi dari keyakinan manusia terhadap sifat-sifat Tuhan, yang menurutnya terbagi dalam dua kelompok yang juga saling berlawanan, yaitu: kebaikannya yang tak terbatas, Maha Pengasih, Maha Memelihara, dan pada sisi lain: kemurkaan-Nya, sifat membalas Nya, dan menyiksa mereka yang tidak

patuh terhadap-Nya. 40 Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al- Qur‘an adalah: God and

Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung. 41 Dalam buku ini, Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al- Qur‘an tentang

relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al- Qur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan-hamba, dan etik. Secara umum relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, bahwa Tuhan adalah sumber wujud. Ia adalah pencipta segala yang ada, termasuk manusia. Dengan demikian, secara ontologis, relasi antara Tuhan dengan manusia

39 Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico- 40 Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17. Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico- Religious Concepts in the Qur‟an, h. 18. God and Man in

the Qur‟an, h. 78. 41 Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas Keio.

adalah relasi antara pencipta dan makhluk. Kedua, antara Tuhan (pencipta) dan manusia (makhluk) senantiasa terdapat jalinan komunikasi. Jalinan ini memiliki dua bentuk, yaitu: bersifat verbal atau linguistik, dan non linguistik. Komunikasi linguistik dilakukan melalui penggunaan bahasa yang dipahami oleh kedua belah pihak. Sementara komunikasi non linguistik mengambil bentuk penggunaan tanda- tanda alam oleh Tuhan, dan isyarat atau gerakan tubuh oleh manusia. Baik dalam komunikasi linguistik maupun non linguistik, inisiatif pada umumnya diambil oleh Tuhan, sedangkan manusia pada dasarnya hanya melakukan respon atau tanggapan terhadap inisiatif yang dilakukan oleh Tuhan. Ketiga, karena Tuhan adalah pencipta dan pemelihara manusia, maka manusia harus tunduk dan mengabdi kepada-Nya dengan sepenuh hati, sebagaimana seorang hamba mengabdi kepada tuannya. Dengan demikian relasi ini dapat digambarkan sebagai relasi tuan-hamba. Dan keempat, menurut konsep al- Qur‘an, Tuhan bersifat etik dan tindakannya terhadap manusia dilakukan dengan cara yang etik. Sifat dan tindakan Tuhan tersebut membawa kepada pengertian yang sangat penting bahwa manusia diharapkan untuk memiliki sifat etik

dan merespon tindakan Tuhan dengan cara yang etik pula. 42 Relasi etik ini juga dibahas secara panjang lebar dalam buku pertama yang disebutkan di atas.

Adapun pemilihan terhadap Toshihiko Izutsu, karena: Pertama, Tokoh merupakan sosok intelektual yang dikenal memiliki pengetahuan yang baik tentang Islam. Bahkan menurut Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang

mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. 43 Selain itu, Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius

tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan serius pertama antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara pemikiran Islam

42 Toshihiko Izutsu,

43 God and Man in the Qur‟an, h. 127-268.

http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

dan Timur Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern. 44 Sebagai pelengkap kecemerlangannya, ia menguasai lebih dari tiga puluh bahasa dunia termasuk Yahudi,

Persia, Cina, Turki, Sansekerta, dan Arab, serta beberapa bahasa Eropa modern. 45 Kedua , ia merupakan sarjana non Muslim yang dengan metode dan

pendekatan yang dipakainya – kalau dipandang dengan sikap tebuka, tanpa kecurigaan akan tujuan-tujuan negatif yang tersembuyi – dapat membuka cakrawala baru atau mengingatkan lagi pada khazanah yang selama ini terlupakan. Di antara sebabnya, menurut Machasin, karena kalangan non Muslim (outsiders) relatif dapat bersikap lebih netral terhadap data-data historis yang tersimpan dalam karya-karya

kaum Muslim sendiri. 46 Berdasarkan alasan-alasan tersebut, penulis memandang bahwa penelitian

terhadap pandangan dan pemikiran Toshihiko Izutsu dalam kaitannya dengan al- Qur‘an adalah menarik dan laik untuk dilakukan. 47 Supaya penelitian ini memiliki

arah dan obyek yang jelas da n sistematis, maka penulis memberi judul: ―AL- QUR‘AN DAN TAFSIRNYA DALAM PERSPEKTIF TOSHIHIKO IZUTSU‖.

44 http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 45 http://www.worldwisdom.com/public/authors/Toshihiko-Izutsu.aspx . Diakses 3 Mei 2009. 46 Machasin, ―Kata Pengantar‖ untuk edisi terjemahan bahasa Indonesia dalam Toshihiko

Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein, dkk., Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al- Qur‟an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. xiii.

47 Penelitian (Arab = al-bahts, al-dirâsah; Inggris = research, study) merupakan instrumen atau media untuk memperoleh dan menemukan kebenaran ilmiah. Posisi penelitian dalam dunia

keilmuan sangat penting karena ilmu dapat berkembang jika diteliti secara ilmiah, terus-menerus, terprogram, dan komprehensif. Menurut David Nunan, penelitian adalah aktivitas akademik yang melibatkan proses dan produk inquiry (penemuan), investigation (investigasi), dan evalusi (termasuk pengujian) suatu asumsi atau hipotesis untuk memperoleh kebenaran dan solusi terhadap suatu persoalan. David Nunan, Research Methods in Language Learning, (New York: the Press Syndicate of the University of Cambridge, 1992), h. 2.

B. Permasalahan

1. Identifikasi masalah Permasalahan yang mungkin diteliti dari judul penulis tetapkan dalam tulisan

ini adalah: Bagaimana al- Qur‘an dalam pandangan Toshihiko Izutsu?; Apa motif yang melatarbelakangi ketertarikan Toshihiko Izutsu terhadap studi al- Qur‘an?; Pendekatan apa yang digunakan Toshihiko Izutsu dalam mengkaji al- Qur‘an?; Apa sajakah perspektif baru yang diusulkan Toshihko Izutsu dalam metode penafsirannya?; Sampai sejauhmana orisinilitas metode analisis semantik Toshihiko Izutsu dibandingkan para ahli semantik sebelumnya?; Apa yang mendasari terbentuknya metode analisis semantik Toshihiko Izutsu dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?; Apakah metode analisis semantik Toshihiko Izutsu representatif

untuk menjelaskan pandangan dunia al- Qur‘an? dan, Adakah pengaruh metode analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu terhadap kajian-kajian al- Qur‘an di Indonesia?

2. Pembatasan masalah Mengingat luasnya ruang lingkup obyek kajian, maka dalam tesis ini penulis

membatasi permasalahan pada dua bagian: 1) Al- Qur‘an dalam pandangan Toshihiko Izutsu; dan 2) Metode analisis semantik Toshihiko Izutsu dan penerapannya dalam penafsiran al- Qur‘an.

3. Rumusan masalah Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka pokok masalah dalam

penelitian ini adalah: ―Bagaimanakah pemikiran Toshihiko Izutsu tentang al-Qur‘an dan metode penafsirannya?‖ Pertanyaan pokok ini secara lebih terinci, terurai dalam pertanyaan-pertanyaan kunci berikut: bagaimanakah al- Qur‘an dalam pandangan Toshihiko Izutsu?; dan apakah metode yang digunakannya memadai dalam mengungkap kandungan al- Qur‘an?