METODE TOSHIHIKO IZUTSU DALAM PENAFSIRAN AL- QUR‘AN DAN MEKANISME PENERAPANNYA

BAB IV METODE TOSHIHIKO IZUTSU DALAM PENAFSIRAN AL- QUR‘AN DAN MEKANISME PENERAPANNYA

Metode merupakan sarana yang terpenting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini Norman Calder menulis, 273 bahwa metode yang digunakan

seorang penafsir dapat dianggap lebih penting daripada produk penafsiran yang dia hasilkan, bahwa perbedaan interpretasi lahir terutama akibat perbedaan metode yang

digunakan oleh masing-masing penafsir. 274 Dalam tradisi penafsiran al- Qur‘an, setidaknya ada empat metode yang biasa digunakan oleh penafsir, yaitu: pertama,

metode global (tharîqah ijmâlî); kedua, metode analitis (tharîqah ta ẖlilî); ketiga, metode tematik ( tharîqah maudhû„î); dan kempat, metode perbandingan (tharîqah muqârin ). Pada bab ini, penulis akan menguraikan metode yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu, yaitu metode semantik dan mekanisme penerapannya dalam penafsiran al- Qur‘an. Selanjutnya, untuk melihat distingsi metode semantik Toshihiko Izutsu tersebut, akan dikomparasikan terutama dengan metode tematik. Hal ini karena terdapat kemiripan antara keduanya, terlebih apabila dilihat dari judul karya-karya Toshihiko Izutsu tentang kajian al- Qur‘an, dan oleh sebagian orang metode semantik Toshihiko Izutsu dianggap sebagai metode tematik. 275

273 Lihat Norman Calder, ―Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a genre, illustrated with reference to the story of Abraham‖, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A.

Shareef [eds.], Approaches to the Qur‟an, (London dan New York: Routledge, 1993), h. 106.

274 Yusuf Rahman, ―The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: The Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur‟an‖, (Disertasi pada Institute of Islamic Studies, McGill

University, 2001), h. 105-106; juga dal am ―The Qur‘ān in Egypt III: Naṣr Abū Zayd‘s Literary Approach‖, dalam Khaleel Mohammad dan Andrew Rippin (ed.), Coming Terms with the Qur‟an: A Volume in Honor of Professor Issa Boullata , McGill University, (North Haledon: Islamic Publication International, t.th.,), h. 228.

275 Lihat misalnya disertasi Ahmad Sahidah, ―Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam dalam al- Qur‘ān Menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu‖, di Universiti Sains Malaysia. Dalam Bab I, ia

mengatakan bahwa ―penafsiran Izutsu, iaitu kaedah semantik, dikategorikan sebagai tafsir maudu‗i yang berusaha untuk menangkap konsep al- Qur‘ān tentang sesuatu yang bersifat khusus seperti

D. Konsep-konsep Metodologis Penafsiran

1. Semantik sebagai Metode Analisis Pandangan Dunia al-Qur‘an Semantik merupakan salah satu cabang dari linguistik yang dipandang sebagai

puncak dari studi bahasa. Terma semantik atau dalam bahasa Inggrisnya semantics secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu sema dalam bentuk nominanya yang berarti ‗tanda‘ atau dalam bentuk verba semaino yang artinya ‗menandai‘ atau ‗melambangkan‘. 276 Kata ini disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda dengan hal yang ditandainya.

Jadi, semantik merupakan bidang studi linguistik yang obyek penelitiannya adalah makna bahasa. 277 Dalam bahasa Arab kajian ini disebut „Ilm al-Dalâlah. Selain

semantik, ada istilah lain yang digunakan untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari tanda atau lambang seperti semiotika, semiologi, semasiologi, sememik, maupun semik. Namun, istilah semantik lebih sering digunakan dalam studi linguistik karena istilah-istilah lainnya itu mempunyai cakupan obyek yang lebih luas, yakni mencakup makna tanda atau lambang pada umumnya seperti rambu-rambu lalu-lintas, tanda dalam ilmu matematika, kode morse, dan lain-lain. Sedangkan semantik hanya mencakup makna atau arti yang

berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal. 278

keadilan, kebahagian dan kepimpinan.‖ Selanjutnya dalam Bab III, ia menegaskan kembali pernyataannya dengan menulis ―Model pentafsiran lain adalah tematik, sebuah cara yang digunakan Toshihiko Izutsu dalam mengkaji al- Qur‘ān.‖ http://ahmadsahidah.blogspot.com . Diakses pada tanggal

7 Juli 2009. 276 Istilah ini sendiri muncul pada tahun 1894 yang diprakarsai dan dipopulerkan pertama kali

oleh ‗American Philologial Association‘ Yang kemudian dipakai untuk ilmu bahasa yang mempelajari makna. Lihat, Muhammad Ali al-Khûl ḭ, A Dictionary Of Theoretical Linguistics: English - Arabic, (Beirut: Library Du Liban, 1982), Cet. I, h. 250 dan 367, Harimuti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), Edisi III, Cet. V, h. 193.

Lihat, A ẖmad Mukhtâr ‗Umar, „Ilm al-Dilâlah, (Kuwait: Maktabah Dâr al-‗Arûbah li Nasyr wa al-Ta uzî‗, 1982), h. 11. J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), Cet. II, h. 13. Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 284.

Lihat, Abdul Chaer, Pengantar Linguistik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet. III, h. 3.

Kajian semantik secara sistematis baru mulai marak ketika Chomsky dengan buku keduanya Aspect of the Theory of Syntax, terbit pertama kali pada tahun 1965,

memberi perhatian terhadap kajian semantik. 279 Namun pada dasarnya kajian terhadap makna ini sudah ada sejak dahulu sebagaimana yang dilakukan oleh para

filosof Yunani. Aristoteles (384 280 – 322 SM.), misalnya, sudah menggunakan istilah makna untuk mendefinisikan kata, menurutnya kata adalah satuan terkecil yang

mengandung makna, yaitu makna referensial yang hadir dalam kata itu sendiri secara otonom dan makna yang hadir sebagai akibat dari proses gramatika.

Di dunia Arab, studi mengenai makna ini sudah dimulai sejak abad kedua hijriyah dengan disusunnya kamus oleh al-Khalîl ibn A ẖmad al-Farahidî (w. 175 H.) yang diberi nama kitab al- 281 „Ain. Abû ‗Ubaidah (110-203 H.) menyusun kitab

Gharîb al-Qur`ân 282 pertama. Aktivitas ini pada periode berikutnya diikuti dengan

279 Lihat, Noam Chomsky, Aspects of Theory of Syntax, (Cambridge: The MIT Press, 1972), h. 1 – 2.

Aristoteles (384 – 322 SM.) ahli bahasa dan filosof Yunani, karyanya antara lain Peri Hermeias mengandung pembahasan tentang asal-usul bahasa; tentang peradaban antara anoma ‗subjek atau kata benda‘ dan rhema ‗predikat atau kata kerja‘ juga syndesmos ‗predikat‘ dan lain lain. Lihat, Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 17.

Diberi nama demikian karana sesuai dengan kata pertama dari urutan entrinya yang disusun berdasarkan urutan makhraj bunyi dari halq (tenggorokan) sampai kebibir, dengan urutan sebagai berikut:

Pada sistematika penyusunan entri kamus ini, terdapat beberapa pengecualian dari prinsip awalnya (di atas); seperti peletakan entri (kitab) al-waw, al-alif, al-ya` dan al-hamzah di bagian akhir. Sebenarnya, apabila al- Khalîl mengikuti prinsip pertamanya saja, maka mu‘jam tersebut akan dimulai dengan kitab al-Hamz, baru al-Hâ`, namun pada identifikaasi awal ia menemukan karakter Hamzah sebagai, lambang bunyi yang seringkali berubah, seperti pada proses al-tashîl (mempermudah pengucapan) dan al-hadzf (pembuangan). Sedangkan al-Hâ`memiliki karakter bunyi hembusan yang tidak bersuara, oleh karena itu maka ia beralih pada posisi ke-3 yakni al- „Ain. Nama lengkap al- Khalil, Abû ‗Abd al-Raẖmân al-Khalîl ibn Aẖmad al-Farahidî al-Azdî. al-Khalîl adalah orang pertama menulis kamus dalam bahasa Arab dengan bukunya ―al-„Ain‖, yang dicetak pertama tahun 1985 di Bagdad. Ia juga peletak ilm ‗Arûḍ dan Qawâfî, ia wafat di Baṣraḥ 175 H. Lihat, http://www.mawsoah.net , http: //www.zaza@alwarraq.com , diakses, 13 Maret 2008. Al-Khalîl ibn

A ẖmad al-Farâḥidî, Kitâb al-„Ain, Taẖqîq: Mahdî al-Maẖzumî dan Ibrâhîm al-Samirrâî, pengantar oleh A ẖmad ‗Abd al-Gafûr ‗Aththâr, (Baghdad: Dâr Mauqi‘al-Warrâq, 1985), h. 5-11 dan Aẖmad Mukhtâr ‗Umar, al-Bahs al-Lughawi „ind al-Arab, (Kairo: Dâr al-Miṣhr li al-Thabâʻah, 1985), h. 131- 132.

Nama lengkapnya H afiz Abû ‗Ubaidah Ma‘mar ibn al-Matsnâ al-Tamîmî al-Bashrî. Banyak linguis dan mufassir Arab yang mengikuti langkah Abû ʻUbaidah menyusun Garîb al-Qur`ân; sebagaimana yang dilakukan al-Sudusî, Ibn Qutaibah, Abû ʻAbd al-Raẖmân al-Yazidî, Muẖammad ibn

penyusunan kitab tatabahasa Arab yang dipelopori oleh Sîbawai ḥ (148-188 H.) dengan menyusun al-Kitâb, yang tidak hanya memuat materi morfologi dan sintaksis,

namun juga fonologi dan sastra. 283

Setelah itu munculah para linguis yang menekuni kajian makna bahasa Arab dengan berbagai sistematika penyusunan entri, sumber, metode dan objek bahasannya. Usaha para linguis Arab itu mengambil berbagai teknik dan bentuk kajian bahasa, antara lain: Pertama, membedakan makna kata-kata kepada makna

hakiki dan majâzî. Ini dilakukan al-Zamakhsyarî (467-538 H.) 284 dalam kamusnya Asâs al-Balâghah . Usaha al-Zamakhsyarî ini tercatat sebagai pola baru yang belum

dilakukan ahli bahasa sebelumnya; 285 Kedua, teknik rolling huruf asal yang mungkin dan makna dasar yang dimiliki bentuk kata yang tersusun dari huruf-huruf tersebut.

Umpamanya dari huruf akan terbentuk enam kata yaitu:

dan bagaimana urutannya dalam kata, maka kata- 286 kata itu mengandung arti dasar ―kuat‖ dan ―keras‖; Ketiga, menghubungkan

Salâm al- Jumahî, Abî Ja‘far al-Thabarî, Abî ‗Ubaid al-Qâsim, Muẖammad ibn Dinâr, Abû Bakr ibn al- Anbari dan Abû H ayyan. Lihat, Mauqi‘ Ya‘sûb, Mu‟jam al-Mathbû‟ât, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî, 1982), Jilid 1, h. 322, Shiddîq ibn Hasan al-Qunûjî, Abjad al- „Ulûm li Wasyi al-Marqûm Fi Bayân

A ẖ wâl al- „Ulûm, Jilid 2, (Beirut: Dâr al-Kutûb al-‗Ilmîyyah, 1978), h. 502, dan Mauqi‘ Ya‘sûb, al-

Fihrasat , Jilid 1, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî, 1979), h. 37.

283 Mu ẖammad ‗Ali Sulthânî, ketika men-ta ẖ qîq Syar ẖ al-Kitâb Sîbawaih mengklasifikasikan materi al-Kitâb dalam empat kelompok ilmu tersebut. Lihat, Abî Mu ẖammad Yûsuf ibn Abî Sa‘îd al-

Sairafî, Syar ẖ Abyât Sibawaih , Ta ẖqîq: Muẖammad ʻAli Sulthâniî (Suriah: Dâr al-‗Ashâma, 2001), h. 445 – 464.

Tentang deskripsi dan gambaran sistematika yang ditempuh al-Zamakhsyarî dalam pembahasan bukunya itu. Lihat, al-Babanî, Hidâyat al- „Ûrifîn, (Mesir: Dâr Mauqi‘ al-Warrâq, 1979), Jilid 2, h. 160 dan Edward Phandek, Iktifâ al- Qunû‟ Bimâ Hua Mathbû‟, (Mesir: Dâr Mauqi‘ al- Warrâq, 1979), h. 114.

285 Sebagai contoh dari rangkaian huruf

dirangkaikan makna hakiki dan majâz sebagai

berikut:

Lihat, Abû al-Qâsim Ma ẖmûd ibn ‗Umar ibn Aẖmad al-Zamakhsyarî, Asâs al-Balâgah, Jilid 2, (Kairo:

Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1973), Cet. II, h. 138.

Dikalangan linguis dan leksikolog yang mengakui teknik rolling sendiri menyatakan, bahwa tidak semua kata yang diperoleh dari teknik rolling terpakai dalam keseharian ataupun karya

makna lafzhîyah dengan tuntutan siyâq atau ẖâl lughawî kalimat, upaya ini dilakukan oleh ‗Abd al-Qâḥir al-Jurjânî (wafat 476 H) sebagai bentuk ketidakpuasan dengan makna nahwî yang terkesan kaku dan terbatas, ia menyusun bukunya Asrâr al-

Balâgah yang memperkenalkan „ilm al-Ma‟ânî dan al-Bayân. Oleh karena itu, para linguis menyebutnya sebagai pelopor madrasah al- 287 Ma‟nâ dalam bahasa Arab. Di

samping ketiga jenis kajian ini, banyak kajian-kajian lain yang disumbangkan para linguis Arab untuk memahami al-Qur`an, hadis dan buku-buku berbahasa Arab, yang kemudian dikembangkan dan diinovasi oleh generasi berikunya.

Adanya perhatian terhadap studi mengenai makna muncul seiring dengan adanya kesadaran para ahli bahasa dalam memahami ayat-ayat al-Qur`an disamping juga dalam rangka menjaga kemurnian bahasa Arab. Berbagai kajian tentang bahasa Arab, baik kajian tentang sistem bunyi, kajian bentuk kata, struktur kalimat, kajian sistem makna (dalâlah), ataupun kajian tentang uslûb dan ragam kalimat atas dasar kontekstual, pada mulanya hanya dimaksudkan untuk pengabdian kepada agama, yaitu untuk menggali isi kandungan al-Qur`an, mencegah kesalahan membacanya dan memahami hadis Rasul yang menjadi sumber hukum Islam dan konstitusi dasar bagi

kaum muslimin. 288

tulis komunitas Arab; oleh karena itu setelah kata dikembangkan dengan teknik tersebut, kemudian diidentifikasi kata yang mu ḥmal, agar ada kejelasan mengenai kata yang terpakai. Lihat materi tentang Isytiqâq al-Akbar, Ibn Jinnî, al-Khashâish, Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1983),

h. 136. 287 ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî (wafat 471) dikenal sebagai ahli gramatikal Arab, dia belajar dari

‗Ali al-Fârisî pemegang riwayat al-Kitâb (karya Sibawaih), ia juga dikenal sebagai pelatak ‗ilm al- Bayân disebabkan ketidakpuasannya pada konsep makna nahwî khususnya ketika ia memberikan makna pada ayat al- Qur‘an, sebagaimana ketidakpuasan Chomsky pada konsep strukturalis De Sausure dan al- Ma‘ânî yang kemudian dikembangkan oleh al-Sakâkî. Lihat, Mauqi‘ Ya‘sûb, Mu‟jam al- Mathbû‟ât, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî, 1982), Jilid 1, h. 681, ‗Abd al-Qâhir al-Jurjanî, Asrâr al- Balâghah , (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982), h. 1, dan http://www.ArabicEncyclopedia.com . Diakses, 13 Maret 2008.

Hal ini dirasakan urgen dilaksanakan karena tuntutan masyarakat muslim yang mulai banyak bergaul dengan non-Arab yang berpengaruh pada pergeseran kemurnian bahasa Arab dan mulai adanya problem dalam pemahaman terhadap al- Qur‘an. Bahkan ada banyak kasus lahn pada masa sahabat dan tabi‟în awal yang menuntut para ahli bahasa Arab mereka meletakkan dasar-dasar kaidah bahasa Arab. Seperti kasus juru tulis Abû Mûsâ al- Asy‘arî jaman ‗Umar ra., kasus yang dijumpai Abû al-Aswâd al- Dualî, kasus yang ‗Amr ibn al-‗Alâ dan kasus-kasus lainnya, Lihat, ‗Abd al-Karîm Mu ẖammad al-As‘ad, al-Wasîth Fi Târîkh al-Nahw al-„Arabî, (Riyaḍ: Dâr al-Syawq, 1992),

Oleh karena itu kajian agama Islam erat sekali hubungannya dengan bahasa Arab, dan agama menjadi motivasi para pakar bahasa Arab untuk memberikan perhatian besar terhadap usaha penghimpunan bukti-bukti kebahasaan dan membuat kaidah-kaidah bahasa, sehingga kebanyakan pakar linguistik Arab adalah juga orang- orang yang ahli dalam bidang agama, seperti dalam bidang tafsir, hadis, teologi dan fiqh. Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa di antara bentuk praktis usaha para linguis Arab menghimpun ungkapan Arab serta analisis makna yang terkandung dalam kata atau ungkapan suatu ayat, untuk memahami dan menggali hukum-hukum dari al-Qur`an, agar dapat membantu orang-orang yang ingin memahami al-Qur`an

dan hadis Nabi serta buku-buku lainnya. 289 Kajian semantik, sebagai satu disiplin dalam linguistik, dalam penafsiran al-

Qur‘an telah mulai dilakukan oleh Muqâtil ibn Sulaimân (w. 150 H./767 M.) dengan karyanya yang berjudul al-Asybâh wa al-Nadzâir fi al- Qur‟ân al-Karîm dan Tafsîr Muqâtil ibn Sulaimân 290 . Muqâtil ibn Sulaimân menegaskan bahwa setiap kata dalam al- Qur‘an di samping memiliki makna yang definite, juga memiliki beberapa

h. 23-25; al-Qifthî, Inbâh al- Ruwât „âlâ Anbaâh al-Nuhât, Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1979), Cet. 2, h. 319.

Untuk mendapatkan arti yang tepat dan menetapkan suatu kaidah kebahasaan terhadap kata dalam ayat al-Qur`an umpamanya, mereka tidak segan-segan untuk mengadakan perjalanan jauh pergi ke daerah pedalaman jazîrah Arab yang bahasa Arabnya dinggap masih murni, terhindar dari pengaruh bahasa lain. Lihat, Hadzr Mûsa ‗Ali Maẖmûd, al-Nahw wa al-Nuhhât: al-Madâris wa al- Khashâish , (Kairo: Dâr ‗Alam al-Kutûb, t.t.), h. 46-55, dan Tammâm Hassan, al-Ushûl: Dirâsah Istimûlojiah li al-Fikr al- Lughwi „inda al-„Arab, (Kairo: Dâr ‗Âlam al-Kutub, 2000), h. 31-37. Tokoh linguis aliran Kûfî, al-Kisâî (wafat 198 H.) pernah bertanya kepada al-Khalîl ibn A ẖmad: ―Dari mana anda memperoleh ilmu bahasa ini? al-Khalîl menjawab, pedalaman Hijâz, Najd dan Tihâmah. Kemudian al-Kissâî keluar menuju pedalaman jazîrah Arab, dan baru kembali setelah menghabiskan kurang lebih lima belas botol tinta untuk mencatat tentang bahasa, selain yang telah dihafalnya. Lihat, Ramadhân ‗Abd al-Tawwâb, Fushûl fi Fiqh al-„Arabîyyah, (Kairo: Maktabah al-Kanji, 1979), h. 230. Mu ṣṭafȃ ‗Abd al-‘Azȋz al-Sanjarjȋ, al-Madz ȃḥ ib al-Nahwiyah , (Jeddah: al-Fash ȋliyah, 1988), h. 38. Nama lengkap al-Kisâî adalah Abu al-H asan ‗Ali ibn al-Hamzah al-Kissâî, lahir di Kufah, belajar gramatikal Arab dengan Mu‘az al-Harra‘, penulis pertama buku-buku gramatikal Arab dari aliran Kûfî, namun karya-karyanya tidak bertahan sampai sekarang. Lihat, Mu ẖammad al-Tanthawî, Nasy`ah al- Na ẖ w wa al-Tarîkh Asyhuri al-Nuhât , (Kairo: Dâr al-Manâr, 1991), h. 70.

M. Nur Kholis Setiawan, Al- Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), h. 169-170. Dan penulis yang sama, Pemikiran Progressif dalam Kajian Al- Qur‟an, (Jakarta: Kencana, 2008),h. 120.

alternatif makna lainnya. 291 Berkenaan dengan adanya kemungkinan makna ini, Muqâtil menyatakan bahwa ―seseorang belum bisa dikatakan menguasai al-Qur‘an

sebelum ia menyadari dan mengenal pelbagai dimensi yang dimiliki al- Qur‘an tersebut.‖ 292

Selain Muqâtil, sarjana yang melakukan hal senada adalah Hârun ibn Mûsa (w. 170 H./786 M.) dalam karyanya al-Wujûh wa al-Nadzâir fi al- Qur‟ân al- Karîm 293 . Demikian juga al-Jâhiz dapat dikategorikan kelompok ini dengan pelbagai karya yang ditulisnya seperti al-Bayân wa al-Tabyîn, al-Hayawân, al- Bukhalâ‟, al- Utsmâniyyah 294 , Rasâil al-Jâhiz, dan lain-lainnya. Tokoh lain yang juga

mendiskusikan aspek makna adalah Ibn Qutaibah (w. 276 H./898 M.) dengan

291 Salah satu contohnya adalah kata ―yad‖ yang memiliki makna dasar atau leksikal ―tangan‖. Menurut Muqâtil, dalam konteks pembicaraan ayat, kata tersebut bisa memiliki tiga alternatif makna,

yaitu: i) tangan secara fisik sebagai anggota tubuh, seperti dalam al- A‘râf (7): 108, wa naza ʻ a yadahû fa idza hiya baydhâu li al-nâzhirîn ; ii) kedermawanan, seperti dalam al-Isra (17): 29, wa lâ taj ʻ al yadaka maghlûlatan ilâ ʻ unuqika wa lâ tabsuthha kulla al-basthi fa taq ʻ uda maluman mahsûran , juga dalam al-Mâidah (5): 64, wa qâlat al-yahûdu yad Allah maghlûlatan; iii) aktifitas atau perbuatan, seperti dalam Yâsîn (36): 35, li ya‟kulû min tsamarihî wa mâ „amilathu aidîhim afalâ yasykurûn, serta

al-Hajj (22): 10, dzâlika bi mâ qaddamat yadâk. Muqâtil, al-Asybâh wa al-Nadzâir fi al- Qur‟ân al- Karîm, (ed.), ʻAbd Allah Maẖmûd Syihata, (Kairo: al-Hay‘ah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitâb,

1975), h. 321-322, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, Al- Qur‟an Kitab Sastra Terbesar , h. 170-171. Dan penulis yang sama, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qu 292 r‟an, h. 121.

Nashr Hâmid Abû Zaid, al-Ittijâh al- „Aqli fi al-Tafsîr: Dirâsah fi Qadiyah al-Majâz inda al- Mu‟tazilah, (Kairo: al-Markaz al-Thaqafî al-‗Arabî, 1997), h. 98.

M. Nur Kholis Setiawan, Al- Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 172. Dan penulis yang sama, Pemikiran Progressif dalam Kajian al- Qur‟an, h. 122.

Dalam Rasâil, Jilid III, h. 347-349, al-Jâ ẖizh, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, mendiskuskan beberapa contoh atau representasi ―nuansa makna‖ yang berbilang dari

kosakata. Salah satunya yang menonjol adalah nafkh al-rûh dalam al- Nisâ‘ (4):171; al-Sajdah (32):9; Shâd (38):72; al-Ta ẖrîm (66):12. Al-Qur‘an meyebutkan kata ini dalam konteks yang berbeda-beda, yang oleh al-Jâ ẖizh diistilahkan dengan ―ruang semantis‖ yang bisa mempengaruhi makna tersebut. Pertama , al- Qur‘an menyebutkan kata ini dalam al-Nisâ‘ (4): 171; Kedua, dalam al-Sajdah (32):9; Shâd (38):72; al-Ta ẖrîm (66):12. Menurut al-Jâẖizh, kata al-rûh ketika dirangkai dengan kata ―Tuhan‖ berarti jiwa dan dzat Tuhan. Kata ini juga berarti al- Qur‘an itu sendiri, khususnya dalam konteks al- Syura (42):52, wa kadzâlika au ẖ ainâ ilaika rû ẖ an min amrinâ , dan al-Qadr (97):4, tanazzal al- malâikatu wa al-rû ẖ fî hâ . Meskipun kata tersebut oleh para mufassir dipahami sebagai jiwa dan ruh, bagi al-Jâhiz kata dalam konteks dua ayat tersebut tetap diartikan sebagai al- Qur‘an. Karena jiwa dalam kedua ayat tersebut bukan sembarang jiwa, melainkan memiliki aspek yang dalam dari wahyu yakni ruh Tuhan. Lihat, M. Nur Kholis Setiawan, Al- Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 173. Juga tulisannya dalam, Pemikiran Progressif dalam Kajian al- Qur‟an, h. 123-124.

karyanya yang berjudul 295 Ta‟wîl Musykil al-Qur‟ân. Ia tidak saja mengulas kosakata, akan tetapi juga sintaksis. Hal ini menunjukkan bahwa ia menekankan peranan

penting konteks dalam pemaknaan. 296

Kesibukan para ahli dan pengkaji al- Qur‘an dalam kurun waktu paruh pertama abad kedua hijrah ini menandakan pengembangan yang berarti dalam stadium embrional penafsiran al- Qur‘an, terutama dengan metode analisis semantik. Pada satu sisi, perhatian demikian pada masa awal, menjadi salah satu pelecut perhatian beberapa sarjana di era modern dan kontemporer untuk mengkaji al- Qur‘an dengan metode analisis yang sama.

Salah satu sarjana yang menggunakan metode analisis semantik dalam kajian al- Qur‘an adalah Toshihiko Izutsu. Namun ia memandang bahwa semantik bukanlah analisis sederhana terhadap struktur bentuk kata maupun kajian terhadap makna asli (makna denotatif) yang melekat pada bentuk kata tersebut atau analisis etimologis, tetapi sebagai suatu kajian analitis terhadap istilah-istilah kunci dari suatu bahasa dengan maksud untuk akhirnya menangkap pandangan dunia (weltanschauung) dari orang-orang yang menggunakan bahasa itu tidak hanya sebagai alat untuk berbicara dan berpikir, namun lebih penting lagi sebagai alat untuk menangkap dan

menerjemahkan dunia yang mengelilinginya. 297 Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa semantik dalam pengertian seperti itu adalah sejenis weltanschauunglehre, sebuah

kajian terhadap sifat dan struktur pandangan dunia suatu bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya yang signifikan, dengan menggunakan alat analisis metodologis terhadap konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya

sendiri dan telah mengkristal ke dalam kata-kata kunci bahasa itu. 298

295 M. Nur Kholis Setiawan, Al- Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 174. Juga tulisannya dalam, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-

Qur‟an, h. 124.

Lihat M. Nur Kholis Setiawan, Al- Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 174. Juga tulisannya dalam, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-

Qur‟an, h. 124.

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung , (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), h. 3. 298 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 3.

Dari paparan ini Toshihiko Izutsu tampaknya setuju dengan hipotesis Edward Sapir (1884-1939), salah seorang tokoh Strukturalisme, 299 yang menyatakan bahwa

bahasa, budaya, dan kepribadian adalah satu kesatuan utuh. Bahasa adalah sarana apresiasi perilaku dan pengalaman manusia, karena pengalaman dapat

diinterpretasikan oleh adat kebiasaan bahasa. 300 Dengan demikian, maka bahasa – menurut Edward Sapir – merupakan alat untuk mengungkapkan ide atau gagasan.

Hipotesis ini kemudian diperkuat oleh Hans Georg Gadamer (1900-1960) yang menyatakan bahwa bahasa adalah produk kekuatan mental manusia, dan setiap

bahasa dengan kekuatan linguistiknya merupakan wadah akal-budi manusia. 301

Bahasa memiliki hubungan dua arah dengan realitas sosial. Di satu pihak bahasa dapat menjadi cermin bagi keadaan di sekelilingnya, namun di lain pihak ia juga dapat membentuk realitas sosial itu sendiri. Kemampuan bahasa untuk membentuk realitas sosial, juga diungkapkan bahwa semua bahasa memiliki power untuk mengkonstruksi. Oleh karena itu, bahasa bukan semata-mata alat komunikasi atau sebuah sistem kode atau nilai yang sewenang-wenang menunjuk pada satu realitas yang monolitik. Secara sosial, ia lebih dikonstruksi dan direkonstruksi dalam setting sosial tertentu, daripada tertata menurut hukum dan kaedah secara ilmiah universal. Martin Heidegger (1889-1976) pernah mengungkapkan bahwa dalam

bahasalah bersemayam ―sang ada‖. 302 Oleh karena itu, sebagai representasi dari hubungan-hubungan sosial tertentu, simbol-simbol bahasa senantiasa membentuk

subjek-subjek, strategi-strategi, dan tema-tema wacana tertentu.

Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai sebuah struktur berikut unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun struktur tersebut dipandang lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis daripada sekadar susunan benda-benda. Oleh karena itu, masing-masing unsur hanya akan bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur yang lain di dalam struktur. Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e- Library, 2004), h. 6-7.

Lihat Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech, (New York: Harcourt Brace, 1921), h. 13.

301 Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Continuum, 1989), 2 nd Revision, h. 439.

W.J. Richardson, Martin Heidegger: Through Phenomenology to Thought. (The Hague: Nijhoff, 1964), h. 320-330.

Dari uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa semantik merupakan sebuah bidang kajian yang luas dan berkembang secara terus-menerus. Kalau dalam perkembangan awal semantik hanya berkaitan dengan makna sebuah teks, maka semantik modern juga menaruh perhatian pada hubungan bahasa dan pikiran.

2. Istilah-istilah Kunci dan Weltanschauung Toshihiko Izutsu mengaitkan metode semantik dengan weltanschauung. 303

Secara sederhana, term ini sering diartikan sebagai filsafat hidup atau prinsip hidup. Setiap agama (kepercayaan), bangsa, dan kebudayaan, bahkan setiap orang mempunyai weltanscahuung masing-masing. Pada tataran wacana ilmiah, term ini dimaknai secara lebih kompleks. Menurut Ninian Smart, weltanschauung adalah kepercayaan, perasaan, dan apa saja yang terdapat dalam pikiran orang yang

berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. 304 Sementara Thomas F. Wall memaknai weltanschauung sebagai sistem kepercayaan

asasi manusia yang integral mengenai hakikat dirinya sendiri, realitas yang mengelilinginya, dan makna eksistensi. 305 Pengertian-pengertian ini menunjukkan

bahwa weltanschauung merupakan sumber kekuatan bagi keberlangsungan atau perubahan sosial dan moral, sekaligus merupakan landasan bagi pemahaman realitas dan aktifitas ilmiah.

Dalam khazanah keilmuan Islam klasik, term khusus untuk pengertian weltanscahauung , yang merupakan kata lain dari woldview, belum ada. Hal ini, menurut Fazlur Rahman, karena permasalahan ini belum pernah dirumuskan secara

Merupakan istilah Jerman untuk menyebut pandangan dunia. Term ini sinonim dengan worlview dalam bahasa Inggris. Edwin Hung menyamakannya dengan paradigma. Lihat Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives , (Belmont: Wardsworth Publishing Company, 1997), h. 368.

Ninian Smart, Worldview; Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York: Charles Sibner‘s Son, t.th.), h.1-2. 305 Thomas F. Wall, Thinking Critically about Philosophical Problem: A Modern Introduction , (Belmont: Wadsworth Thompson Learning, 2001), h. 532.

sistematis dalam sejarah Islam. 306 Para sarjana Muslim abad ke-20 menggunakan istilah yang berbeda untuk menunjuk kepada pengertian weltanschauung ini. Maulana

al-Maududi mengistilahkannya dengan Islâmi Nazariat (Islamic Vision), 307 Sayyid Quthb menggunakan istilah al-Tasawwur al-Islâmî (Islamic Vision), 308 Mu ẖammad Athif al-Zain menyebutnya dengan al- 309 Mabda‟ al-Islami (Islamic Principle), sementara Naquib al-Attas menamakannya Ru‟yât al-Islâm li al-Wujûd (Islamic Vision 310 ). Meskipun istilah yang dipakai berbeda-beda, pada dasarnya para sarjana

tersebut memiliki semangat yang sama, yaitu untuk menunjukkan bahwa Islam mempunyai cara pandang sendiri terhadap segala sesuatu. Penggunaan kata sifat ―Islam‖ menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya umum dan netral.

Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, dari perspektif Islam, sebuah ―pandangan dunia‖ tidak hanya pandangan akal terhadap dunia fisik dan keterlibatan manusia secara historis, sosial, politik, dan budaya di dalamnya. Ia tidak berdasarkan pada spekulasi filsafat yang dirumuskan terutama dari penyelidikan terhadap data pengalaman dan penginderaan semata, karena semua itu terbatas dalam dunia materi saja. Pandangan dunia menurut Islam berhubungan dengan aspek alam akhirat. Segala sesuatu dalam Islam pada akhirnya difokuskan pada aspek akhirat, tanpa

mengabaikan aspek dunia. 311 Pandangan Syed Naquib al-Attas ini sejalan dengan Toshihiko Izutsu. Weltanschauung al- Qur‘an yang ingin diungkap Toshihiko Izutsu

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 3-4.

Maulana al-Maududi, The Process of Islamic Revolution, (Lahore: t.p., 1967), h. 14 dan 41. 308 Sayyid Quthb, Muqawwamât al-Tasawwur al-Islâmî, (t.tp: Dâr al-Syurûq, t.th.), h. 41. 309 Mu 310

ẖammad Athif al-Zain, al-Insân, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnân, 1989), h. 13. Syed Naquib al- Attas, ―Islamic Philosophy: An Intoduction‖ dalam Journal of Islamic Philosophy 1 (2005), h. 12. Diakses dari http;//www.pdcnet.org/pdf/jip1-Naquib%20al-Attas.pdf pada

tanggal 10 Agustus 2009. Tulisannya yang lebih lengkap terdapat dalam, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam , (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 2.

Syed Naquib al- Attas, ―Islamic Philosophy: An Intoduction‖, h. 11; Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam , h. 1.

tidak hanya berkisar pada realitas yang tampak saja, namun juga realitas yang tidak tampak.

Uraian di atas, selain menunjukkan keterpengaruhan Toshihiko Izutsu oleh hipotesis Edward Sapir, juga semakin memperjelas pengertian semantik yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu. Semantik dimaksud adalah sejenis ontologi yang konkrit, hidup, dan dinamis, bukan semacam ontologi yang sistematis-statis yang merupakan hasil pemikiran seorang filosof. Menurut Toshihiko Izutsu, analisis semantik akan membentuk sebuah ontologi wujud (being) dan eksistensi pada tingkat konkrit sebagaimana tercermin dalam ayat-ayat al- Qur‘an. Tujuannya adalah untuk memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari al- Qur‘an dengan penelaahan analitis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang tampaknya memainkan peran yang menentukan dalam pembentukan weltanschauung

al- 312 Qur‘an. Jadi, semantik yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu tidak hanya untuk memahami makna, tetapi sekaligus budaya yang terkandung dalam bahasa itu.

Menurut Toshihiko Izutsu, hal ini merupakan bukan pekerjaan yang mudah. Kata-kata atau konsep-konsep dalam al- Qur‘an tidak sederhana. Kedudukannya masing-masing saling terpisah, tetapi memiliki ketergantungan yang sangat kuat antara satu dengan yang lain, dan makna konkret dihasilkan dari seluruh sistem yang

saling berhubungan tersebut. 313 Sebenarnya, menurut Toshihiko Izutsu, ada cara yang lebih mudah untuk

memahami makna sebuah kata asing, yaitu dengan menerjemahkan kata tersebut ke dalam bahasa orang itu sendiri. 314 Dengan cara ini, kata Arab ―kâfir‖ dapat dijelaskan

312 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 3.

Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 4.

Kata terjemah secara etimologis berasal dari bahasa Arab (tarjamah), yang artinya: (a) menerangkan dan menjelaskan (bayyanahu wa wadhdha ẖ ahu ); (2) memindahkan makna kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain (naql al-kalâm min lughah ilâ ukhrâ); (3) biografi seseorang (sîratuhu wa ẖ ayâtuhu ). Majma‗ al-Lughah al-‗Arabiyah Mesir, al-Mu„jam al-Wasîth, (Istambul: al-Maktabah al- Islâmiyah, t.th), h. 83. Hans Wehr, Mu„jam al-Lughah al-„Arabiyah al-Mu„âshirah: „Arabiy – Inkliziy, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1980), Cet. III, h. 93. Mu ẖammad ibn Abî Bakr al-Râzî menambahkan bahwa kata ini juga berarti menerangkan kalimat dengan bahasa lain (fassara al-kalâm bi lisân âkhar). Mu ẖammad ibn Abî Bakr al-Râzî, Mukhtâr al-Shi ẖ â ẖ , (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), h. 108. Sementara

bahwa ia memiliki makna yang sama dengan kata Inggris ―misbeliever‖, ‖dzâlim‖ sama dengan ―evildoer‖, ―zhand‖ sama dengan ―sin‖, dan seterusnya. Namun dalam penilaian Toshihiko Izutsu, cara ini kurang dapat diandalkan. 315 Memang tidak ada

kata dari dua bahasa yang berbeda yang benar-benar memiliki muatan makna yang sama (sinonim), karena – sebagaimana telah dikemukakan di depan – setiap bahasa lahir dari pola pikir yang berbeda dalam memandang dunia. Dan ini merupakan salah

satu problem yang mendasar dalam penerjemahan. 316 Penerjemahan kata-kata asing ke dalam padanannya dalam bahasa sasaran, menurut Toshihiko Izutsu, hanyalah

merupakan sebuah langkah pertama untuk mempelajari bahasa asing. 317 Supaya tidak terjadi eliminasi dalam memahami konsep weltanschauung al-

Qur‘an, Toshihiko Izutsu berusaha untuk membiarkan al-Qur‘an menjelaskan konsepnya sendiri dan berbicara untuk dirinya sendiri. 318 Caranya adalah dengan mengumpulkan semua kata-kata penting yang mewakili konsep-konsep penting

menurut Mu ẖammad Enani, kata ini mencakup semua hal yang terkait dengan penerjemahan, seperti proses penerjemahan ( „amaliyah al-tarjamah) dan teks yang diterjemahkan (al-nashsh al-mutarjam). Mu ẖammad Enani, Nazhariyah al-Tarjamah al-Haditsah: Madkhal ilâ Dirâsât al-Tarjamah, (Kairo: Longman, 2003), h. 5. Adapun secara terminologis, menerjemah berarti mengganti materi tekstual dalam suatu bahasa dengan materi tekstual yang padan dalam bahasa lain. J.C. Catford, Linguistic Theory of Translation , (Oxford: Oxford University Press, 1969), h. 20. Lihat juga Eugene A. Nida dan Charles S. Taber, Theory and Practice of Translation, (Leiden: E.J. Brill, 1982), h. 12.

Toshihiko Izutsu, Ethico- Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal: McGill-Queen‘s University Press, 2002), h. 24. 316 Secara umum, problem penerjemahan dapat dibagi dua, yaitu: pertama, berkaitan dengan

kosakata, dan kedua, berkaitan dengan susunan kalimat. Lihat Mu ẖammad Enani, Fann al-Tarjamah, (Beirut: Maktabah Lubnân Nasyirûn,), Cet. VII, h. 4.

Dalam pengajaran bahasa asing, terdapat banyak cara atau metode yang dikembangkan. Salah satunya adalah metode terjemah. Metode ini dalam prakteknya dikombinasikan dengan pengajaran tatabahasa, sehingga disebut dengan metode tatabahasa-terjemah (grammar-translation method ). Lihat Rusydi A ẖmad Thu‗aimah, Ta„lîm al-„Arabiyah li Ghair al-Nâthiqîna bi hâ: Manâhijuhu wa Asâlibuhu , (Rabath: ISESCO, 1989), h. 127- 129. Shalâh ‗Abd al-Majîd al-‗Arabî, Ta„allum al-Lughât al-Hayyah wa Ta„lîmuhâ: Baina al-Nazharîyah wa al-Tathbîq, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1981), h. 40-

41. Nâyif Kharmâ dan ‗Alî Hajjâj, al-Lughât al-Ajnabîyah: Ta„îmuhâ wa Ta„allumhâ, (Kuwait: al-Majlis al-Wathanî li al-Tsaqâfah wa al-Funûn wa al-Âdâb, 1988), h. 169-172. Jack C. Richards dan Theodore S. Rodgers, Approaches and Methods in Language Theaching, (New York: Cambridge University Press, 1992), h. 3-5. Sri Utari Subyakto Nababan, Metodologi Pengajaran Bahasa , (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 11-14. Dan Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 43-44.

318 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 4.

seperti Allah, Islâm, nabî, îmân, kâfir, dan lain sebagainya, lalu menelaah makna kata-kata itu dalam konteks al- Qur‘an. Kata-kata penting ini, oleh Toshihiko Izutsu, disebut sebagai istilah-istilah kunci. Konsep ini menunjukkan bahwa tidak semua kata-kata dalam suatu kosakata memiliki nilai yang sama dalam pembentukan struktur dasar konsepsi ontologis yang didasari kosakata tersebut.

Istilah-istilah kunci merupakan pola umum kosakata yang mewakili kata-kata yang menjadi anggotanya. Istilah-istilah kunci tersebut memiliki hubungan antara satu dengan yang lain sebagai suatu hubungan yang sangat kompleks dan memiliki

arah yang beragam. 319 Berdasarkan eksposisi ini, sekarang dapat diketahui bahwa kosakata dalam pengertian ini bukanlah semata-mata jumlah totalitas kata dari suatu

bahasa, dan bukan pula sekedar kumpulan acak sejumlah besar kata tersebut yang dikumpulkan tanpa aturan dan prinsip yang masing-masing berdiri sendiri tanpa ada

hubungan dengan kata-kata yang lain. 320 Kosakata adalah struktur multi-strata yang dibentuk secara linguistik oleh kelompok-kelompok istilah-istilah kunci. 321

Istilah-istilah kunci al- Qur‘an yang memainkan peranan yang sangat signifikan dalam penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia kitab suci ini, menurut Toshihiko Izutsu, tidak ada satu pun yang baru, termasuk kata Allah yang sekaligus berfungsi sebagai kata fokus tertinggi sebagaimana akan dikemukakan dalam bagian selanjutnya. Tidak hanya istilah-istilah kunci saja, bahkan semua

kosakata yang digunakan oleh al- 322 Qur‘an berasal dari kosakata pra-al-Qur‘an.

319 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 20. 320 Gambaran umum tentang kosakata pada umumnya adalah khazanah atau perbendaharaan

kata suatu bahasa yang tersusun secara alfabetis. David Grambs, misalnya, mengatakan: ―Vocabulary is a list of words, usually defined and alphabetized, as in dictionary or specialized glossary; complete word stock of language; sum corpus of words used in a sublanguage by group, class, or individual scope of diction;command of words or range of expression. ‖ David Grambs, Words About Words, (New York: Mc. Graw Hill Book Company, 1979), h. 387. 321

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 20.

322 Toshihiko Izutsu menegaskan: ―Since, the Qur‟an is, linguistically, a work of genuine Arabic, it will readily be seen that all the words used in this Scripture have a pre- Qur‟anic or Islamic

background. Many of them came from the rank and file of pre-Islamic Arabic .‖ Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 38-39.

Hanya saja kata-kata tersebut berada dalam sistem konseptual yang berbeda. Al- Qur‘an menggunakan kata-kata tersebut dan mengkombinasikannya dalam suatu kerangka konseptual yang secara total baru, dan dengan demikian belum dikenal pada masa pra-al- Qur‘an.

Kata-kata yang menempati status sebagai istilah-istilah kunci dalam sistem al- Qur‘an, dilihat secara diakronis, memiliki dua tipe: Pertama, kata-kata tersebut berasal dari kata-kata umum yang kedudukannya jauh di bawah tingkatan istilah kunci. Kata taqwâ, misalnya, merupakan kata yang sangat penting dalam al- Qur‘an dan salah satu istilah kuncinya yang paling khas, tempat seluruh bangunan kesalehan dalam al- Qur‘an berpijak. Namun kata ini pada masa pra-al-Qur‘an merupakan kata umum yang mengandung pengertian sebagai suatu bentuk perilaku binatang yang

sangat umum, yakni sikap membela diri disertai dengan rasa takut. 323 Kedua , istilah-istilah kunci al- Qur‘an yang dalam sistem sebelumnya merupakan istilah-istilah kunci juga. Hanya saja struktur semantiknya sudah jauh berubah sebagai akibat dari perobahan sistem tersebut. Contohnya adalah kata karîm. Kata ini merupakan istilah kunci yang sangat penting pada masa jahiliyah, yang berarti kemuliaan garis keturunan, yakni seorang yang mulia semenjak lahir karena silsilahnya yang masyhur dan tak memiliki cela sedikitpun. Kata karîm, dalam konsepsi jahiliyah juga bermakna seseorang yang memiliki sifat dermawan yang luar biasa, yang menurut konsep sekarang sifat tersebut dikategorikan sebagai pemborosan. Dalam konsep al- Qur‘an, muatan makna kata ini harus mengalami perubahan drastis karena harus diletakkan dalam hubungan yang dekat dengan

taqwâ 324 . Untuk dapat menentukan kata-kata mana dari sekian banyak kata dalam al-

Qur‘an yang patut disebut sebagai istilah-istilah kunci, maka seorang penafsir harus memiliki gambaran skematik umum terlebih dahulu terhadap seluruh obyek yang

323 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 39.

Q.S. al-Hujurât (49): 13

akan ditafsirkan. Untuk mendapatkan gambaran skematik umum ini, seorang penafsir disarankan untuk memahami al- Qur‘an secara langsung tanpa didahului oleh pembacaan-pembacaan terhadap pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh

sarjana-sarjana Muslim dalam rangka memahami dan menafsirkan kitab suci ini. 325

3. Makna Dasar dan Makna Relasional Suatu tanda linguistik (dalam hal ini kata) memiliki dua sisi (two-sided sign) yang tidak dapat dipisahkan, yaitu: signifie (signified: Inggris) yang merupakan konsep, pikiran, atau gambaran mental; dan signifiant (signifier: Inggris) yang merupakan citra akustik atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran

kita. 326 Untuk kemudahan dalam tulisan ini, signifie disamakan dengan makna, dan signifiant dengan kata. Hubungan antara kata dan makna ini bukan merupakan

hubungan yang kaku, dalam arti satu kata tidak hanya memiliki satu macam makna. 327 Di antara ragam makna yang dimiliki oleh satu kata adalah makna denotatif dan makna konotatif. 328

Menurut Toshihiko Izutsu, setiap kata memiliki makna dasar dan makna relasional. 329 Makna dasar merupakan kandungan unsur semantik yang tetap ada pada

bentuk kata tersebut di manapun ia diletakkan dan bagaimanapun ia digunakan. Sementara makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi

khusus dan dalam bidang khusus pula. 330 Dari pengertian ini, makna dasar dapat

325 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 75. 326 Menurut Ferdinand de Saussure, bahasa (dalam hal ini kata) merupakan signé linguistique

(tanda linguistik) yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifiant (penanda, citra akustis, al-dâl ) dan signifié (petanda, konsep, al-madlûl). Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), 146-147.

327 Abdul Chaer menghimpun tiga belas ragam makna yang dikenal dalam semantik, yaitu: (1) makna leksikal, (2) makna gramatikal, (3) makna kontekstual, (4) makna referensial, (5) makna

non-referensial, (6) makna denotatif, (7) makna konotatif, (8) makna konseptual, (9) makna asiosiatif, (10) makna kata, (11) makna istilah, (12) makna idiom, dan (13) makna peribahasa. Lihat Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 289-297.

328 A ẖmad Mukhtar ‗Umar, „Ilm al-Dilâlah, h. 37.

329 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 11-16.

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 12-13.

disamakan dengan makna leksikal, sementara makna relasional hampir mendekati makna kontekstual.

Toshihiko Izutsu menggambarkan distingsi kedua makna ini dengan mengambil contoh kata ―kitâb‖. Kata ini memiliki makna dasar ―buku‖, namun dalam konteks al- Qur‘an kata ―kitâb‖ memperoleh makna yang luar biasa pentingnya sebagai isyarat konsep religius yang sangat khusus yang dilingkupi oleh cahaya kesucian. Ini dilihat dari kenyataan bahwa kata ―kitâb‖ terletak dalam hubungan yang sangat dekat dengan wahyu Ilahi, atau konsep-konsep yang cukup beragam yang

merujuk langsung pada wahyu. 331 Jadi, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, suatu kata ketika digunakan dalam

kalimat atau suatu konsep tertentu maka ia memiliki makna baru yang diperoleh dari posisi dan hubungannya dengan kata-kata lain dalam struktur kalimat atau konsep tersebut. Kata ―kitâb‖ dalam konsep al-Qur‘an bermakna al-Qur‘an itu sendiri karena ia berhubungan erat dengan kata-kata Allah, wahyu, tanzîl, dan nabî. 332 Dan bisa juga

dimaknai sebagai Taurat atau Injil ketika ia, selain berhubungan erat dengan kata-kata Allah , wahyu, tanzîl, dan nabî, berhubungan dengan kata ahl. Sehingga ahl al-kitâb

dapat dipahami sebagai masyarakat yang memiliki Taurat atau Injil. 333

331 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 11.

Daniel A. Madigan menyatakan bahwa makna kitâb dalam al- Qur‘an bukan merujuk kepada sebuah mush ẖ af ataupun buku. Dalam pandangannya, al- Qur‘an bukanlah sebuah buku yang umumnya diterima dengan makna mush ẖ af tertutup (closed corpus). Ia lebih merupakan simbol dari sebuah proses keterlibatan Tuhan dan manusia yang berkesinambungan, suatu keterlibatan yang kaya dan beragam, namun langsung dan spesifik di dalam ucapannya yang hal tersebut tidak akan dapat dipahami di dalam sebuah kanon yang tetap atau terbatas di antara dua sampul. Daniel A. Madigan, T

he Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s Scripture, (New Jersey: Princeton University Press, 2001), h. 165.

Menurut Fazlur Rahman, perkataan kitâb sering dipergunakan al- Qur‘an bukan dengan pengertian kitab suci tertentu, tetapi sebagai istilah umum yang mempunyai pengertian keseluruhan wahyu-wahyu Tuhan. Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al- Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), h. 235. Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya, al-Manar, menegaskan bahwa di luar kalangan Yahudi dan Kristen juga terdapat ahli kitab. Ia menyebutkan tidak hanya kaum Majusi dan Sabiin saja sebagai ahli kitab, tetapi juga Hindu, Budha, dan Konfusius. Ini disebabkan karena kaum Majusi dan Sabiin berada dekat dengan mereka di Irak dan Bahrain. Selain itu, orang memang belum pernah melakukan perjalanan ke India, Jepang, dan Cina, sehingga mereka belum mengetahui golongan-golongan yang lain. Dalam hal ini, tujuan ayat suci sebenarnya sudah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal oleh orang-orang Arab, sehingga tidak perlu

Oleh karena itu, menurut Toshihiko Izutsu, kata-kata dalam al- Qur‘an harus dipahami dalam kaitannya dengan kata-kata lain yang mengelilinginya. Dengan kata lain, makna relasional memiliki kedudukan yang lebih penting dari pada makna dasarnya. Bahkan makna yang dibangun dari relasi antar kata itu dapat menghilangkan makna dasarnya. Peristiwa seperti ini menandai lahirnya sebuah kata baru. Dalam hal ini, Toshihiko Izutsu mencontohkan transformasi semantik kata kerja kafara dalam al- Qur‘an. Kafara memiliki makna dasar ―tidak berterima kasih‖ atas pemberian orang lain, baik pemberian itu berupa jasa ataupun materi. Dengan demikian, kafara merupakan lawan dari syakara yang berarti ―berterima kasih‖. Namun dalam konteks teologi Islam, kata ini bermakna ―tidak percaya‖ kepada Allah. Dengan demikian, kata ini merupakan lawan dari ―âmana‖ yang artinya ―percaya‖. Kata kafara dalam pengertian dasarnya tetap digunakan oleh orang Arab Muslim

maupun non-Muslim, dan tetap begitu sejak masa pra-Islam hingga sekarang. 334

Transformasi semantik kafara dari ―tidak berterima kasih‖ kepada ―tidak percaya‖ tejadi secara gradual dan makna baru yang dimilikinya sesungguhnya tidaklah lepas sama sekali dari makna dasarnya. Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa kafara dalam konteks teologi pertama bermakna ―tidak berterima kasih‖, tapi tidak dalam pengertian berterima kasih terhadap kebaikan orang lain. Tidak berterima kasih di sini adalah kepada kebaikan-kebaikan Allah atau apa saja yang dianggap baik menurut Allah. Dalam pandangan Islam, Allah-lah yang menciptakan manusia, memeliharanya, dan mencukupi segala kebutuhannya. Oleh karena itu adalah wajar jika Allah menyuruh manusia supaya berterima kasih kepada-Nya. Akan tetapi karena Allah tidak mewujud dalam materi, dan oleh karenanya tidak dapat dilihat, maka ada kelompok manusia yang tidak mematuhi perintah tersebut. Di sini kita dapat melihat

pergeseran makna kafara 335 dari ―tidak berterima kasih‖ menjadi ―tidak percaya‖.

keterangan asing. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Vol. VI, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 188.

334 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 14.

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 14-15.

E. Mekanisme Penerapan Metode Semantik terhadap al-Qur‘an Perumusan pandangan dunia al- Qur‘an, menurut Fazlur Rahman, sangat urgen karena dimensi metafisis ini merupakan latar belakang bagi elaborasi yang koheren

atas pesan-pesan al- 336 Qur‘an dalam berbagai bidang. Pada kesempatan lain Fazlur Rahman mengatakan bahwa dalam merumuskan pandangan dunia al- Qur‘an, langkah

yang harus dilakukan adalah menafsirkan ayat-ayat al- Qur‘an yang berkaitan dengan Tuhan, hubungan Tuhan dengan alam dan manusia, dan peran-Nya dalam sejarah

manusia dan masyarakat. 337 Dengan menggunakan pendekatan semantik, Toshihiko Izutsu memperoleh kesan bahwa al- Qur‘an merupakan sebuah sistem multi-strata

besar yang berada pada sejumlah oposisi konseptual mendasar, di mana masing- masing konsep tersebut merupakan sebuah medan semantik khusus. Dengan kata lain, berdasarkan sudut pandang semantik, pandangan dunia al- Qur‘an dapat digambarkan sebagai sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip pertentangan konseptual. Pertentangan tersebut dibentuk oleh: Pertama, hubungan fundamental antara Tuhan dan manusia; Kedua, pembagian tempat hidup manusia yang terdiri dari alam ghaib ( „âlam al-ghaib) dan alam nyata („âlam al-syahadah); dan Ketiga, konsep kehidupan dunia (al-dunyâ) dan akhirat (al-âkhirah). 338

1. Konsep Allah Pandangan dunia atau weltanschauung al- Qur‘an, menurut Toshihiko Izutsu,

pada dasarnya bersifat teosentris. Gambaran tentang Tuhan meliputi seluruh sistem al- Qur‘an. Dan dengan demikian, dalam sistem ini, konsep Tuhan menguasai dan memaksakan pengaruhnya secara mendalam pada struktur semantik kata-kata kunci. Atas pertimbangan inilah Toshihiko Izutsu membahas secara khusus konsep Allah ini

336 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, h. 143. 337 Fazlur Rahman, ―Islam: Challenges and Opporunities,‖ sebagaimana dikutip oleh Ahmad

Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al- Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), Cet. II, h. 137.

338 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 75-89.

dalam 339 God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung, sebelum membicarakan secara terperinci mengenai hubungan Tuhan dan manusia.

Toshihiko Izutsu menyatakan bahwa konsep Tuhan dalam weltanschauung al- Qur‘an berbeda dengan konsep Tuhan dalam filsafat Yunani. Tuhan dalam filsafat Yunani hidup dalam kemuliaan-Nya, mencukupi diri-Nya sendiri dengan kesunyian dan jauh dari manusia. Sementara Tuhan dalam weltanschauung al- Qur‘an melibatkan diri-Nya secara mendalam dalam urusan manusia, tidak hanya ketika

dalam kehidupan dunia ini, tapi juga dalam kehidupan akhirat kelak. 340 Pernyataan ini memiliki alur yang sejalan dengan pendapat Fazlur Rahman. Menurut Fazlur

Rahman, keberadaan Tuhan dalam pandangan al- Qur‘an sesungguhnya bersifat fungsional. Artinya, Dia adalah Pencipta dan Pemelihara alam semesta dan manusia, terutama Dia-lah yang memberi petunjuk kepada manusia dan yang akan mengadili manusia kelak, baik secara individu maupun kolektif, dengan keadilan yang penuh

rahmat. 341 Dengan kata lain, konsep Tuhan adalah fungsional. Yakni, Tuhan dibutuhkan bukan karena siapa Dia atau bagaimana Dia, tetapi karena apa yang Dia

lakukan. 342 Pengamatan yang cermat terhadap al- Qur‘an akan mengungkapkan bahwa al-

Qur‘an menghubungkan seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan: mulai dari hujan sampai ke proses jatuh-bangunnya bangsa-bangsa, dari kemenangan dan kekalahan dalam perang dan damai sampai ke revolusi yang teratur dari benda-benda kosmos, semuanya dikembalikan kepada Tuhan. Salah satu fungsi utama dari adanya gagasan tentang Tuhan, tandas Fazlur Rahman, adalah menjelaskan keteraturan alam semesta. Keteraturan ini dapat dilihat dari tidak adanya pelanggaran hukum dalam jagat raya dan seluruh kosmos merupakan kesatuan yang organis. Sementara alam

339 Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, Bab IV, h. 100-124. 340 Toshihiko Izutsu, 341

God and Man in the Qur‟an, h. 100.

Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur

‘an, h. 1.

Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, peny. Taufik Adnan Amal, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VI, h. 91.

menurut al- Qur‘an merupakan sebuah tatanan (kosmos) yang berkembang dan dinamis. Ia diciptakan bukan untuk suatu permainan yang sia-sia, tetapi harus ditanggapi secara serius. Manusia harus mempelajari hukum-hukumnya, yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan, dan menjadikannya sebagai arena bagi

aktifitas manusia yang punya tujuan. 343

Tuhan dalam al- 344 Qur‘an dikenal dengan nama Allah. Kata ini, menurut Toshihiko Izutsu, bukanlah nama yang asing dan aneh bagi orang-orang Arab pada

masa pra-al- Qur‘an, tapi sudah dikenal luas, bukan saja di lingkungan Yahudi-Kristen yang monoteistik, tetapi juga di kalangan orang-orang nomaden murni. 345 Sebagai

buktinya, kata tersebut sudah digunakan dalam puisi-puisi pra-Islam, gabungan nama- nama orang, dan tulisan-tulisan kuno. 346 Bahkan Toshihiko Izutsu menandaskan

bahwa tanpa bantuan literatur non-al- Qur‘an sekalipun, dalam arti hanya dengan mengandalkan informasi dari al- Qur‘an semata, dapat diketahui bahwa konsep Allah tidak hanya ada dalam pandangan religius orang-orang Arab pra-Islam, bahkan lebih dari itu konsep tersebut sudah memiliki struktur makna batin tersendiri di kalangan

orang-orang Arab pra-Islam tersebut. 347 Pandangan ini menegaskan apa yang telah dikemukakannya di depan, bahwa dalam penyusunan struktur konseptual dasar

pandangan dunia al- Qur‘an tidak ada satu pun kata yang baru, termasuk kata Allah itu sendiri.

343 Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, h. 69.

Kata Allah menurut al-Râghib al-Asfahânî, diderivasi dari kata ilâh . Kata ―ilâh‖ ini dibuang huruf depannya, yaitu hamzah, lalu diberi artikel definitif (alif-lâm ) menjadi ―Allah‖. Kata bentukan baru ini menjadi istilah khusus untuk menyebut Tuhan yang Esa, yang menciptakan dan memelihara alam semesta serta satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah. Lihat al-Râghib al- Asfahâni, Mu

ʻ jam Mufradât Alfâdz al- Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-ʻIlmîyah, 2004), h. 28. Perlu diketahui bahwa, menurut Ali Mufrodi, para sejarawan Muslim tidak memberi

prediket kepada orang-orang Arab pra-Islam itu dengan sebutan paganism, tetapi orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang mengakui Allah sebagai Tuhan tetapi juga memuja berhala-berhala. Mereka berkeyakinan bahwa menyembah berhala itu bukan menyembah wujudnya, tetapi hal tersebut dimaksudkan sebagai perantara untuk menyembah Tuhan. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab , (Jakarta: Logos, 1997), h. 9.

346 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 5.

Toshihiko Izutsu, God and Man in th e Qur‟an, h. 106.

Berdasarkan fakta tersebut, maka – menurut Toshihiko Izutsu – perlu dielaborasi apakah konsep al- Qur‘an tentang Allah merupakan kelanjutan dari konsep pra-al- Qur‘an, ataukah merepresentasikan konsep yang sama sekali terputus dari konsep sebelumnya? Adakah kaitan esensial antara dua konsep tentang Tuhan yang ditandai dengan satu nama yang sama? Atau apakah ia merupakan sebuah persoalan

tentang sebuah kata biasa yang digunakan untuk dua obyek yang berbeda? 348 Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Toshihiko Izutsu menelusuri secara

historis sikap orang-orang Arab ketika al- Qur‘an pertama kali menggunakan nama Allah ini. Ketika al- Qur‘an menyebut kata Allah, timbul perdebatan hangat antara orang-orang Muslim dan kafir tentang hakikat kata ini. Dari sudut pandang semantik, peristiwa ini mengindikasikan bahwa ada dasar pemahaman yang sama antara kedua belah pihak. Sebab kalau tidak ada kesamaan, tentu tidak akan ada perdebatan. Kesamaan dasar pemahaman tersebut dibangun oleh adanya unsur-unsur umum yang melekat pada kata Allah tersebut. Unsur-unsur umum itu dapat diketahui berdasarkan pembedaan metodologis antara makna dasar dan makna relasional.

Makna dasar kata ―Allah‖ dapat dibandingkan dengan kata Yunani ho theos, yang biasanya bera rti ―Tuhan‖. Pada aras makna ini, kata tersebut dikenal oleh semua suku Arab pada masa pra Islam sebagai dewa lokal, karena masing-masing suku pada masa itu memiliki tuhan atau dewa lokal yang dikenali dengan nama diri. Orang Arab utara (Hijaz dan sekitarnya) memiliki tiga dewi, yaitu: al-Lat, al-Uzzâ, dan Manât yang dianggap sebagai anak-anak perempuan dewa agung (banât Allah). Kabilah Kinanah yang mempunyai hubungan intim dengan kabilah Quraisy baik dalam masalah politik maupun dalam soal pertalian darah, menyembah binatang aldoraban dan dewi al-Uzzâ yang dilambangkan sebagai sebuah pohon di Nakhla. Kabilah Hawazin yang berdiam di sebelah tenggara kota Mekah menyembah dewi al-Lat yang bertempat di Thaif dan dewi Manat yang dilambangkan sebagai sebuah batu di jalan

348 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 101.

kabilah antara Mekah dan Syiria. 349 Sedangkan orang-orang Arab selatan percaya kepada dewi bulan yang berpasangan dengan dewi matahari. Perkawinan antara

keduanya melahirkan Venus. Mereka menyembah sanam (adalah patung dalam bentuk manusia yang terbuat dari logam dan kayu), watan (patung yang terbuat dari batu), dan nusub (merupakan sesembahan dalam bentuk batu karang yang dianggap

berasal dari langit). 350 Makna dasar ini merupakan salah satu garis penghubung antara dua konsepsi tentang Tuhan dalam sistem Arab pra-Islam dengan sistem al- Qur‘an.

Hubungan lain didapat dari pengembangan makna relasional. Pemahaman tentang makna relasional kata Allah di kalangan orang-orang Arab pra-Islam perlu dibedakan ke dalam beberapa kasus yang berbeda, yaitu: Pertama , konsep Allah menurut orang-orang Arab musyrik. Masyarakat Arab pra-al- Qur‘an telah mengenal konsep Allah sebagai Pencipta dunia; Yang menurunkan hujan, atau dalam pengertian yang lebih umum, Allah sebagai Pemberi hidup terhadap segala sesuatu yang ada di bumi; Dalam keadaan tertentu, Allah diyakini sebagai Yang wajib ditaati; Tuhan Maha Agung yang mengawasi kesucian sumpah; Pendiri beberapa kebiasaan keagamaan lama; dan Penguasa Ka‘bah. Dalam al-Qur‘an ditemukan terdapat banyak bagian yang menginformasikan hal tersebut. 351 Fakta ini

tentunya cukup mengejutkan, karena konsep demikian memiliki kedekatan dengan konsep al- Qur‘an. Akan tetapi kondisi ini tidak sampai membawa mereka kepada monoteisme murni. Mereka tetap menyembah dewa-dewa yang mereka percayai dapat menghubungkan mereka dengan Allah, dalam kapasitasnya sebagai Tuhan Ka‘bah di Mekah. Jadi dalam konsep masyarakat Arab pra-Islam, hierarki politeisme tertinggi tampaknya diberikan kepada Allah. 352 Konsepsi ini tampak dengan sangat

349 Syed Ameer Ali, Api Islam, terj. H.B. Jassin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 83. 350 Muhammad Husein Haekaal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1984), h. 14. 351 Lihat Q.S. al- Nisâ‘ (4): 139; Q.S. al-Mu‘minûn (23): 86-89; Q.S. al-‗Ankabût (29): 61, 63,

dan 65; Q.S. Luqmân (31): 32; dan Q.S. al-Quraisy (106): 1-3. 352 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 5.

jelas diungkap dalam al- 353 Qur‘an. Al- Qur‘an juga merekam bahwa ide yang mendasari adanya tuhan-tuhan lain di samping Tuhan yang maha tinggi adalah

qurbân , yang secara harfiah berarti sarana pendekatan, yaitu pengambil hati dan perantara. 354 Hal yang sama dilontarkan oleh W. Montgomery Watt. Ia menuturkan

bahwa kedudukan Allah dalam sistem kepercayaan masyarakat Arab pra-Islam sebagai the High God, sementara dewi-dewi sebagai the lesser deities yang berfungsi

sebagai perantara dalam menyembah Allah. 355 Kedua , konsep Allah menurut orang-orang Yahudi dan Kristen. Pada masa

itu, masyarakat Arab tinggal di lingkungan yang dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan

Kristen yang besar. 358 Kerajaan Bizantium, kerajaan Abyssina, dinasti

Ghassaniyah, 360 dan dinasti Lakhmid, semua merupakan kerajaan-kerajaan Kristen. 353

Dalam Q.S. al-Zumar (39): 3, sejuml ah orang musyrik berkata: ―Kami hanya menyembah mereka (tuhan-

tuhan lain) karena mereka membuat kami lebih dekat kepada Allah.‖ Q.S. al-Ahqâf (46): 28. 355 W. Montgomery Watt, ―The Qur‘an and the Belief in a High God‖, dalam Publications of

the Nederlands Institute of Archeology and Arabic Studies in Cairo , No. 4, (Leiden: E.J. Brill, 1981), h. 329, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif) , (Semarang: Dina Utama, 1997), h. 172.

356 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 111-112.

Kerajaan Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur, dengan ibukota Konstantinopel, merupakan bekas Imperium Romawi di masa klasik. Pada permulaan abad ke-7, wilayah imperium ini telah meliputi Asia kecil, Syria, Mesir, dan bagian tenggara Eropa hingga Danube. Pulau-pulau di laut Tengah dan sebagian daerah Italia serta sejumlah kecil wilayah di pesisir Afrika Utara juga berada di bawah kekuasaannya. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al- Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 11.

Kerajaan yang beribukota di Aksum dan beragama Kristen mazhab Monofisit ini merupakan agen Kerajaan Bizantium yang bertugas menghalau segala ancaman dari Kekaisaran Persia. Ali Sodiqin, Antropologi al- Qur‟an: Model Dialektika wahyu dan Budaya, (Yogyakarta: Ar- Ruzz Media, 2008), h. 36. Sekitar abad ke-6 sampai dengan abad ke-7 sedang terjadi persaingan kekuasaan di Timur Tengah antara Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Persia. Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qu r‟an, h. 11.

Kerajaan ini berfungsi sebagai pos luar Kerajaan Romawi Timur di Arab untuk membendung serangan orang-orang Arab Badui. Sebagaimana kerajaan Abyssina, kerajaan ini juga menganut Kristen mazhab Monofisit. Ali Sodiqin, Antropologi al- Qur‟an: Model Dialektika wahyu dan Budaya , h. 36. Mazhab Monofisit memandang Yesus hanya memiliki satu hakikat, yaitu: manusia – Tuhan. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, catatan punggung, h. 51. 360

Kerajaan ini merupakan wakil Kekaisaran Persia di A rab. Didirikan oleh ‗Amr ibn ‗Adi ib Nashr ibn Rabi‘ah ibn Lakhm. Kerajaan ini disebut juga Nasrid, berdiri pada pertengahan abad ke-3 M. Aliran Kristen yang berkembang di wilayah ini adalah Nestorian, yaitu suatu aliran yang memandang bahwa Yesus adalah benar-benar Tuhan tetapi dilahirkan sebagai manusia dari rahim perawan Maria. Dengan demikian, pribadi Yesus menyatukan dalam dirinya dua hakikat: manusia dan

Bahkan orang-orang Arab sendiri ada yang beragama Kristen. Di Hijaz ada dua kabilah yang masuk Kristen, yaitu: kabilah Judham dan kabilah Udhra. Di kota

Mekah agama Kristen dianut secara individual, bukan dalam satu kabilah. 361 Penganut Kristen di Mekah adalah orang- orang dari klan Banû Asad ibn ‗Abd al-

Uzzâ. 362 Kristen masuk ke Arab utara melalui perantaraan kerajaan Nabatean yang

dimulai pada masa apostelik. Nabatean membawahi wilayah Damaskus, tempat St. Paulus menerima Kristen. Kelompok-kelompok Kristen telah berada di Arab barat laut pada abad ke-3 M. Ketika kaisar Konstantin menerima agama Kristen, penyiaran Kristen semakin berkembang di daerah perbatasan imperium Romawi. Kaisar Konstantin bahkan mengutus para pekabar Injil ke beberapa wilayah, antara lain

Theophillus – seorang pekabar Injil berkebangsaan India – untuk mengabarkan Injil ke wilayah Himyar (Arab selatan). 363

Mengenai Yahudi, sejumlah suku Yahudi telah menetap di Arab. Mereka bertempat tinggal di Yatsrib (Madinah), Khaibar, Fadak, T aimâ‘, dan Wadî al-Qurra. Meskipun di Mekah secara praktis tidak tampak orang-orang Yahudi, ide-ide dan

konsep Yahudi telah akrab dengan masyarakat Mekah. 364 Tidak diketahui secara pasti sejak kapan agama ini masuk ke jazirah Arab. Menurut Alfred Guillaume ada tiga

kemungkinan waktu agama Yahudi masuk ke jazirah Arab, yaitu: Pertama, abad ke-8 SM. Pada abad ini diketahui telah ada orang Yahudi di Arab, yaitu pada masa kejatuhan Samaria tahun 721 SM. Tetapi dugaan ini tidak begitu kuat, karena hampir dapat dipastikan bahwa koloni militer di Aswan, sebelah utara Mesir, didirikan setelah kejatuhan Samaria. Kedua, abad ke-6 SM. Abad ini ditandai dengan

Tuhan. Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 168.

361 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 168.

362 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 112.

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 168. 364 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 112.

penyebaran secara besar-besaran orang Yahudi di berbagai wilayah. Di abad ini terdapat perkampungan Yahudi yang besar di Mesopotamia. Ketiga, abad ke-1 dan ke-2 SM. Yaitu ketika kerajaan Romawi begitu keras menekan orang-orang Yahudi di Palestina, kemudian orang-orang Yahudi ini diterima dengan baik oleh masyarakat

Arab. Kemungkinan yang ketiga ini oleh Alfred Guillaume dianggap lebih tepat. 365 Orang-orang Kristen dan Yahudi juga mengenal kata Allah sebagai Tuhan

mereka. 366 Kedua agama yang merupakan agama wahyu ini memiliki kepercayaan monoteistik yang diwarisi dari Ibrahim, yaitu mengakui dan menyembah Allah

sebagai Tuhan yang Esa. Meskipun dalam doktrin Kristen, 367 Allah menyatakan atau memperkenalkan diri-Nya sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus, 368 namun menurut

rumusan ajaran Kristen, keyakinan yang demikian tidak boleh disebut dengan politeisme, tetapi harus dikatakan sebagai suatu model dari monoteisme. Sebab oknum kedua (Putra) dan oknum ketiga (Roh Kudus) merupakan bagian dari Allah sang Bapa. Atau dengan istilah lain, bahwa ketiganya adalah dalam keesaan atau

keesaan dalam ketigaan. 369

Konsep tentang Allah yang berkembang di Arab pada waktu itu, menurut Toshihiko Izutsu, mempengaruhi kedua belah pihak, yaitu pihak Arab Jahiliyah di

Alfred Guillaume, Islam, (1982), sebgaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 166. Pendapat ini sama dengan Philip K. Hitti. Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: MacMillan & Co., 1958), h. 61.

366 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 104.

Istilah Kristen diambil dari kata kristus, gelar kehormatan keagamaan untuk Yesus, pembawa agama ini. Kata kristus berasal dari bahasa Yunani (khristos) yang berarti diurapi, yaitu digosok dengan minyak suci sebagai suatu upacara konsekrasi atau pensucian. Jadi kata ―Kristen‖ mengandung arti orang yang telah dibaptis dengan perminyakan suci. Dengan pembabtisan tersebut, seseorang telah diakui sah sebagai pengikut Kristus. Lihat C.J. Bleeker, Pertumbuhan Agama-agama Dunia , terj. Barus Siregar, (Bandung: Sumur Bandung, 1964), h. 64. H.M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar , (Jakarta: P.T. Golden Terayon Press, 1997), h. 134.

Keyakinan seperti ini disebut trinitas atau tritunggal, yang berarti ada tiga oknum kekal dalam hakikat Allah yang Esa itu. Tiga oknum ini dapat dikatakan sebagai tiga kepribadian Allah. Ketiga-tiganya tidak dapat dipisahkan, namun dapat dibedakan. Ketiganya adalah kesatuan yang merupakan satu kebenaran yang Esa. Tujuan pembedaan tersebut adalah supaya hamba-Nya mengenal-Nya dan merasakan kedekatan dengan-Nya. Lihat Henry C. Theiessen dan Vermon D. Doerksen, Teologi Sistematika, (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Emas, 1997), Cet. IV, h. 138.

369 H.M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, h. 143.

satu sisi dan pihak Yahudi dan Kristen di sisi lain. 370 Pendapat ini berbeda dengan Philip K. Hitti yang menolak adanya pengaruh Yahudi dan Kristen di Hijaz. Ia

memandang bahwa meskipun wilayah dikelilingi oleh berbagai kebudayaan, peradaban, dan agama, tetapi tidak mampu mengubah peradaban dan agama

penduduk asli Hijaz. 371 Ketiga , Konsep Allah menurut orang-orang hanif. Konsep Allah juga dikenal

dalam agama hanif. Dalam agama hanif ini, Allah adalah Tuhan alam semesta, Pencipta segala sesuatu dan dengan demikian semua makhluk adalah hamba-Nya, Raja langit dan bumi yang Mahabesar yang menguasai rakyat-Nya dengan kekuasaan yang absolut. Konsep demikian dalam agama hanif ini, menurut Toshihiko Izutsu,

dapat ditelusuri dari syair-syair Umayyah ibn Abî Salt. 372 Dengan demikian untuk sementara dapat disimpulkan bahwa beberapa konsep

tentang Allah yang dimiliki oleh orang-orang Arab pra-al- Qur‘an memiliki kedekatan dengan konsep Islam.

370 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 112.

Philip K. Hitti menyatakan: ―… it may be safely stated that al-Hijaz in the century preceding the mission of Muhammad was ringed about with influences intellectual, religious and material, radiating from Byzantine, Syrian (Aremean), Persian, Ghassanid, Lakhmid and Yamanite channels; but it cannot be asserted that al-Hijaz was in such vital contact with the higher civilization of the north as to transform its native cultural aspect. Then too, although Christianity did find a footing in Najran, and Judaism in Yaman and Hijaz, neither seems to have left much of an impresson on the North Arabian mind

.‖ Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 107.

Umayyah ibn Abî Salt merupakan tokoh sastra Jahiliyah yang luar biasa. Ia merupakan salah seorang pemuka suku Tsaqif. Pada jaman Jahiliyah, ia dikabarkan mencari agama monoteistik sejati, menjauh dari semua penyembahan berhala, tapi merupakan pembangkang yang terisolir, tanpa menjadi Yahudi maupun Kristen, sekalipun atmosfir spiritual tempat ia tinggal hampir sepenuhnya Yahudi dan Kristen. Ia dikabarkan mempelajari bahasa Yahudi dan Syiria secara serius dan membaca bagian-bagian dari Kitab suci yang bisa diperoleh dalam kedua bahasa tersebut. Hal ini diperkuat dengan keberadaan sejumlah besar kata-kata Yahudi dan Syiria dalam syair-syairnya yang sangat mengganggu para filologis periode Abbasiyah karena sangat aneh, sehingga Ibn Qutaibah menyatakan bahwa dia merupakan satu-satunya penyair Jahiliyah yang syair-syairnya tidak dapat digunakan sebagai ẖ ujjah dalam menafsirkan al- Qur‘an lantaran banyaknya kata-kata Yahudi dan Syiria dalam syair-syairnya tersebut. Pakaiannya, dalam salah satu hadis, dinyatakan sebagai sarung atau kain yang terbuat dari bulu kasar, sebagai tanda orang yang seluruh waktunya digunakan untuk beribadah. Ia menyatakan bahwa anggur itu haram dan menyebut agama yang dicarinya sebagai al-dîn al- ẖ anîfah (agama hanif) yang dikaitkan dengan Ibrahim dan Ismail. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 118-119.

2. Relasi Allah dan Manusia Relasi antara Tuhan dan manusia, menurut Toshihiko Izutsu, terdiri dari

empat tipe, yaitu: relasi ontologis, relasi komunikatif, relasi tuan-hamba, dan relasi etik. 373

a. Relasi ontologis Salah satu pertanyaan dasar dan selalu mengusik pikiran manusia dalam weltanschauung religius dan filosofis adalah eksistensi manusia. Pertanyaan abadi dan berulang- ulang adalah: ―Dari mana manusia berasal? Apa sumber wujudnya di dunia ini?‖ Menurut konsepsi al-Qur‘an, Allah adalah pencipta manusia. Dialah

sumber wujud yang menganugerahkan eksistensi kepada manusia. Jadi secara ontologis, relasi antara Allah dan manusia adalah relasi antara sang pencipta (khâliq)

dan yang diciptakan (makhlûq). 374 Manusia bukanlah satu-satunya ciptaan Allah. Dalam al- Qur‘an juga

ditegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta: mulai dari malaikat, 376 jin,

langit dan bumi, 379 matahari, bulan, siang dan malam, gunung dan sungai, pohon-pohon, buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan, 380 hingga semua jenis binatang, 381 dan bahkan segala yang ada di alam semesta ini yang tak dapat disebutkan satu persatu. 382 Oleh karena itu kata khalq, khâlik, bâri‟, dan sebagainya dalam al- Qur‘an selalu dikaitkan dengan ―Allah‖.

373 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 77-78.

Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 127.

Q.S. al-Zukhrûf (40): 9. 376 Q.S. al-Ra

ẖmân (55): 15. Q.S. Ibrâhîm (14): 19. 378 Q.S. Fushilat (41): 37.

379 Q.S. al-

Ra‗d (13): 3. Q.S. al-Ra

ẖmân (55): 11-12. Q.S. al-Nûr (24): 45. 382 Q.S. al- An‗am (6): 102.

Konsep Allah sebagai pencipta alam semesta secara umum sudah dikenal oleh masyarakat Arab pra-Islam. Meskipun ada juga beberapa orang penyembah berhala, sebagaimana yang dilansir oleh ayat al- Qur‘an, yang menghubungkan kekuatan penciptaan dengan berhala-berhala, 383 namun pada umumnya, orang-orang Arab

pagan itu menisbatkan segala bentuk aktivitas penciptaan kepada Allah, Tuhan yang maha tinggi. Toshihiko Izutsu membuktikan hal ini dengan adanya syair-syair Arab pra-Islam, misalnya karya Antarah yang menghubungan penciptaan burung dan penciptaan segala sesuatu dengan Tuhan. Bahkan dalam karya penyair serdadu terkenal, Baith ibn Suraim al-Yashkuri, konsepsi tentang Allah sebagai Dzat yang

telah meninggikan langit dan bulan di sana sudah dikenal. 384 Meskipun masyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal konsep penciptaan

Allah, akan tetapi konsep ini hampir-hampir tidak memiliki pengaruh terhadap pola pikir mereka. Artinya, mereka dapat hidup dengan nyaman tanpa menaruh perhatian sama sekali terhadap asal-usul eksistensinya sendiri. Dalam sistem jahiliyah, aktivitas kreatif Allah adalah awal sekaligus akhir intevensi-Nya dalam urusan manusia. Dia tidak menaruh perhatian terhadap makhluk ciptaan-Nya. Manusia, sesudah proses

penciptaannya selesai, dikuasai oleh wujud lain yang disebut dahr. 385 Dahr ini meskipun memiliki beberapa nama lain, yaitu: zamân, „ashr, ayyâm, dan „aud, namun

gagasan yang mendasari konsep dahr selalu sama, ia merupakan tiran yang tidak memiliki belas kasihan dan berdarah dingin. 386 Dahr ini, menurut Helmer Ringgren,

melahirkan sifat fatalism bagi orang Arab. 387 Pandangan ini sejalan dengan W. Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa

menurut orang Arab, keuntungan dan kegagalan dalam usaha mereka sehari-hari

383 Lihat Q.S. al-

Ra‗d (13): 16.

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 128-129. 385 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 131.

Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 132.

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 173.

semata-mata disebabkan oleh dahr tersebut. 388 Dahr bagi orang Arab dipandang sebagai penentu nasib mereka. 389 Dalam hubungannya dengan Q.S. al-Jâtsiyah (45):

24 yang menyebutkan tentang dahr, W. Montgomery Watt berpendapat bahwa ayat tersebut menunjukkan sikap sebagian orang Arab yang tidak percaya kepada kekuasaan Tuhan yang menghidupkan dan mematikan, yang mematikan manusia bukan Tuhan, tetapi dahr tersebut. Kehidupan, menurut mereka, hanya di dunia saja. Mereka tidak percaya kepada adanya kehidupan akhirat. Kemungkinan akan dibangkitkannya manusia dalam kehidupan mendatang sama sekali merupakan konsep yang asing dan berada di luar benak orang Arab. Interpretasi ayat tersebut menurut W. Montgomery Watt adalah bahwa bagi orang Arab, peristiwa-peristiwa alam bukan ditentukan oleh kekuasaan Tuhan, tetapi oleh dahr. Oleh karena itu,

setelah kedatangan Islam banyak ayat al- Qur‘an yang membantah kepercayaan tersebut dan menempatkan Tuhan yang berkuasa dan menentukan hidup dan

kematian manusia. 390 Dengan demikian, orang Arab menerima fakta alami yang terjadi tanpa mengaitkan dengan Allah ataupun kekuatan dewi-dewi. 391

Sikap orang-orang Arab pra-al- Qur‘an yang tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap asal-usul eksistensinya sendiri bertentangan dengan ajaran al- Qur‘an. Menurut al- Qur‘an, seorang Muslim harus selalu menyadari eksistensinya sebagai makhluk. Tanpa adanya kesadaran tersebut, seseorang akan tidak dapat dikatakan Muslim karena ia telah jatuh ke dalam dosa besar, yaitu kesombongan. Menurut sistem Islam, penciptaan Allah menandai awal kekuasaan-Nya terhadap segala

Menurut W. Montgomery Watt, dahr ekuivalen dengan the course of events (jalannya kejadian) atau the spatio-temporal process (proses ruang- waktu). W. Montgomery Watt, ―The Qur‘an and the Belief in a High God‖, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 173. 389

W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, (Oxford: University Press, 1953), h. 26. 390 W. Montgomery W

att, ―The Qur‘an and the Belief in a High God‖, h. 330. Hal ini berbeda dengan Philip K. Hitti yang mengemukakan bahwa nasib manusia ditentukan oleh dewi manâh. Manâh dari kata maniyah (nasib yang ditentukan). Dengan demikian dewi manât merupakan dewi nasib. Lihat Philip K. Hitti, History of Arabs, h. 99.

sesuatu yang diciptakan. Urusan-urusan manusia semuanya dalam pengawasan ketat Allah.

b. Relasi komunikatif Dalam bagian relasi ontologis telah diketahui bahwa Allah adalah pencipta dan manusia adalah yang diciptakan. Antara pencipta dan yang diciptakan terdapat hubungan komunikatif yang bersifat langsung dan bertimbal balik. Komunikasi antara Allah dan manusia terjadi melalui dua cara, yaitu: pertama, melalui penggunaan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak; kedua, melalui penggunaan ―tanda-tanda alam‖ oleh Tuhan dan isyarat-isyarat atau gerakan tubuh

oleh manusia. Dengan demikian komunikasi tipe pertama bersifat linguistik atau verbal, sedang komunikasi tipe kedua bersifat non linguistik atau non verbal. 392

Komunikasi linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk pengiriman wahyu dari Tuhan. Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa wahyu

merupakan perkataan (kalâm) Tuhan. 393 Meskipun ia menyadari bahwa dalam komunikasi model ini terdapat masalah karena keduanya, yaitu Tuhan dan manusia

sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi ini, berada dalam taraf ―eksistensi‘ yang berbeda. Tuhan berada dalam taraf ―eksistensi‖ supra-natural, sementara manusia berada dalam taraf ―eksistensi‖ natural, sehingga tidak ada keseimbangan ontologis antara keduanya. Oleh karena itu secara teoritik, tidak mungkin terjadi pertukaran kata (al-ta ẖawwur), pengajaran (al-ta„lîm), dan juga belajar (al- 394 ta„llum). Problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai dzat yang ghaib

392 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 142.

Hal tersebut didasarkan kepada Q.S. al-Taubah (9): 6 dan Q.S. al-Baqarah (2): 75, yang secara kontekstual mengandung pengertian bahwa perkataan Tuhan mengacu kepada kata-kata yang telah diucapkan atau diwahyukan kepada Nabi. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 165.

394 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 180.

atau supra-natural tentunya menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau non- natural, sebaliknya manusia sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa alamiah atau sistem bahasa natural. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam konteks ini Fazlur Rahman berpendapat bahwa proses pewahyuan bukan merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian inspirasi ke dalam hati

Nabi Muhammad. 395 Problem tersebut, menurut Toshihiko Izutsu, dapat diatasi dengan

mengemukakan teori perantara. Perantara inilah yang menjembatani kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan manusia tersebut. Ia menegaskan bahwa wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan tiga individu. Kondisi ini juga berlaku dalam pewahyuan al- Qur‘an. Dengan kata lain, dalam kesadaran kenabian yang dimiliki Muhammad, selalu ada seseorang, suatu makhluk misterius antara Tuhan dan dirinya yang membawa kata-kata Tuhan ke dalam hatinya. Makhluk ghaib tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain adalah Malaikat Jibril, yang pada periode Mekah disebut sebagai rûh al-quds (roh

suci) dan rûh al-amîn (roh yang dapat dipercaya). 396 Hal inilah yang secara membuat wahyu secara struktural berbeda, bukan saja dengan perkataan manusia pada

umumnya, tapi juga dengan tipe inspirasi verbal lainnya yang bersumber dari jinn. 397 Bila komunikasi linguistik dari Tuhan berupa wahyu, maka dari pihak

manusia berupa doa yang dipanjatkan ke hadirat-Nya. Sama seperti halnya wahyu, problem eksistensi ontologis antara Tuhan dan manusia juga menjadi kendala dalam komunikasi linguistik dari arah bawah ini. Menurut Toshihiko Izutsu, doa dapat menjadi komunikasi dari manusia hanya terjadi dalam situasi yang sangat istimewa, yakni ketika manusia mendapati dirinya berada dalam situasi yang tidak wajar.

395 Fazlur Rahman mengatakan: ―God speaks to no human (i.e. through “sound words”) exept through wahy (i.e. through “idea-words” inspiration), or from behind the veil, or He may send a

messenger (an angel) who speak through wahy … even thus have We inspired you with a spirit of Our command

396 .‖ Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: Chicago University Press, 1979), h. 30-31. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191-192. 397 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189.

Ketika jiwa manusia sedang tidak dalam keadaan sebagaimana hari-harinya, maka ia berada dalam posisi yang dapat mengucapkan kata-kata secara langsung kepada Tuhan. Toshihiko Izutsu menegaskan bahwa hanya dalam situasi demikian saja hati manusia dapat sepenuhnya murni dari semua pikiran keduniaan. Dengan demikian, bahasa yang diucapkan manusia secara spiritual menjadi lebih tinggi, dan doa merupakan percakapan personal yang paling intim antara hati dengan Tuhan. Situasi luar biasa itu pada umumnya disebabkan oleh rasa patuh yang mendalam terhadap

Tuhan atau, yang lazim, karena bahaya kematian yang sudah mendekat. 398 Dengan mengutip al-Kirmani, Toshihiko Izutsu mengatakan bahwa dalam situasi seperti itu

manusia bukan lagi manusia dalam pengertian umum, ia sudah mentransformasikan diri menjadi sesuatu yang berada di atas dirinya. 399

Komunikasi non linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk pengiriman tanda-tanda alam dari Tuhan. Tanda-tanda ini, bagi orang-orang yang mau memperhatikan dan merenungkannya, dapat dilihat setiap saat, karena memang semua yang sering disebut sebagai peristiwa alam, seperti hujan, angin, susunan langit dan bumi, pergantian siang dan malam, dan sebagainya pada dasarnya merupakan tanda-tanda yang menunjukkan kepedulian Tuhan terhadap kehidupan

umat manusia di muka bumi, sekaligus merupakan bukti Ketuhanan-Nya. 400 Sementara dari manusia berupa salat. Tentu saja di dalam salat di samping gerakan-

gerakan tubuh, terdapat unsur-unsur verbal yang berupa kata-kata. 401 Akan tetapi kata-kata di sini tidak sebagaimana dalam doa, yang digunakan untuk menyatakan

ungkapan khusus yang bersifat pribadi. Ungkapan-ungkapan verbal dalam salat

398 Lihat Q.S. Yunus (10): 12 dan 22; juga Q.S. al-

An‗am (6): 40-41.

Toshihiko Izutsu, God and Man i n the Qur‟an, h. 209. 400 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 143.

Menurut Mu ẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‗î, salat terdiri dari perkataan (qaul), perbuatan ( „amal), dan tindakan-tindakan yang dilarang (imsâk). Lihat, al-Syâfiʻî, Aẖmad Muẖammad ibn Idrîs, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Mu ẖ ammad ibn Idrîs al- Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir (ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979), h. 121 .

digunakan secara ritualistik, dalam arti kata-kata yang diucapkan tidak menggambarkan gagasan pribadinya sendiri, tapi bersifat simbol. 402

Komunikasi antara Tuhan dan manusia, baik yang bersifat verbal maupun non-verbal, terjadi atas inisiatif dari Tuhan, sementara manusia pada dasarnya hanya menanggapi apa yang dilakukan Tuhan. Kehendak Tuhan untuk membuka komunikasi langsung antara Dia dan manusia termanifestasi dalam bentuk

pengiriman âyât (tanda-tanda). 403 Âyât Ilahi yang dimaksud dalam al- Qur‘an merupakan pengertian yang umum, yakni meliputi simbol-simbol verbal dan non-

verbal. Dari kedua jenis simbol ini, pesan-pesan Tuhan melalui simbol verbal (wa ẖy) dapat dikatakan lebih jelas, karena pada dasarnya bersifat konseptual dan analitis. Dengan demikian, wa ẖy dapat menyajikan kehendak Tuhan dalam yang mudah dipahami oleh alam pikiran manusia. Sementara dalam simbol non-verbal, kehendak Tuhan termanifestasikan secara global. Dan karena sifatnya yang tidak konseptual, maka pesan-pesan yang dibawa sangat tidak jelas atau kabur. Akan tetapi simbol non- verbal lebih terbuka, dapat diakses oleh siapa saja tanpa perantara, sedang simbol verbal hanya mungkin diketahui oleh umat manuisa melalui seorang perantara, yaitu

Rasul. 404 Respon yang dapat dilakukan manusia terhadap fakta adanya âyât Ilahi ini,

menurut al- Qur‘an, ada dua, yaitu: tashdîq dan takdzîb. Secara harfiah, tashdîq bermakna ―menganggap dan menerima sebagai kebenaran,‖ sementara takdzîb bermakna ―menganggap sebagai kepalsuan.‖ Tashdîq merupakan langkah pertama menuju îmân, sementara takdzîb merupakan inti kekufuran. Di sini terlihat bahwa tashdîq dan takdzîb berada dalam perlawanan konseptual yang tajam. Pertentangan dasar ini lagi-lagi, menurut Toshihiko Izutsu, sebagai persoalan yang sangat penting

402 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 158.

Kata âyah (bentuk tunggal dari âyât), menurut Toshihiko Izutsu, pada masa pra-al- Qur‘an tidak dikenal dalam kosakata Badui, namun dikenal dalam dalam kosakata pedagang, hanya saja tidak pernah digunakan dalam pengertian religius; kata tersebut dipakai dalam pengertian alam, kecuali di kalangan kelompok

ẖanîf. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 144. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 145.

dalam memahami pandangan dunia al- 405 Qur‘an. Berdasarkan hal ini, maka hubungan antara tashdîq dan takdzîb harus dilihat sebagai sumbu yang dikelilingi oleh medan

semantik masing-masing, sehingga dengan demikian setiap istilah kunci dapat ditempatkan pada posisi yang tepat.

Istilah kunci bagi timbulnya tashdîq adalah pemahaman terhadap âyât Ilahi. Tanpa pemahaman terhadap âyât, maka manusia tidak akan dapat menganggap bahwa âyât tersebut berasal dari Tuhan. Aktivitas memahami ini ditunjukan oleh al- Qur‘an dengan kata-kata seperti „aqala, fahima, faqiha, tafakkara, tadzakkara, dan tawassama . Perbuatan manusia untuk memahami tersebut sumbernya terletak pada kemampuan psikologis yang disebut dengan lubb atau qalb (hati). Dengan kata lain, hati bila berfungsi dengan baik merupakan sesuatu yang memungkinkan manusia untuk memahami makna âyât Ilahi. Bagi hati yang semacam ini, maka âyât merupakan simbol dari dua hal yang saling bertentangan. Beberapa âyât melambangkan kebaikan Tuhan, sementara yang lainnya melambangkan kemurkaan Tuhan. Bila manusia menerima karunia Ilahi yang disimbolkan oleh âyât yang melambangkan kebaikan Tuhan sebagai kebenaran, maka hasilnya adalah syukr. Dan jika ia juga menerima âyât yang melambangkan kemurkaan Tuhan, maka hasilnya adalah taqwâ.

c. Relasi Tuan-hamba Dalam sistem al- Qur‘an, Allah adalah penguasa mutlak; satu-satunya Tuhan yang berkuasa di seluruh dunia, sementara manusia adalah hamba ( „abd). Sebagai hamba ( „abd), manusia harus bersikap berserah diri sepenuhnya, merendah, dan menghinakan diri di hadapan-Nya tanpa syarat. 406 Inilah sebabnya, menurut

Di depan telah dikemukakan bahwa berdasarkan analisis semantik terhadap al- Qur‘an, Toshihiko Izutsu memperoleh kesan bahwa al- Qur‘an merupakan sebuah sistem multi-strata besar yang berada pada sejumlah oposisi konseptual mendasar, di mana masing-masing konsep tersebut merupakan sebuah medan semantik khusus. Dengan kata lain, berdasarkan sudut pandang semantik, pandangan dunia al- Qur‘an dapat digambarkan sebagai sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip pertentangan konseptual. Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 75.

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 216.

Toshihiko Izutsu, al- Qur‘an sangat mementingkan kelompok istilah yang memiliki makna kepatuhan mutlak, penyerahan dan kerendahan diri, seperti 407 thâ„ah (patuh),

qunût 409 (setia, berserah diri), khusu„ (penyerahan), tadharru„ (menghinakan diri). 410 Akan tetapi, dari semua istilah-istilah tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, islâm merupakan istilah yang paling penting. 411 Dengan menghubungkan kata islâm 412 dengan kata kerjanya, yaitu aslama, maka islâm dapat dipahami sebagai

tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan sukarela untuk menyerahkan diri kepada kehendak Allah dan memercayakan diri secara penuh kepada-Nya. Pengertian ini diperoleh berdasarkan penggunaannya dalam frase aslama wajhahu li Allâh.

Istilah islâm menjadi sangat penting karena fakta menunjukkan bahwa Tuhan sendiri memilihnya menjadi nama agama baru yang dibawa oleh Muhammad di Arab pada waktu itu. 413 Pandangan ini senada dengan pandangan Wilfred Cantwel Smith yang menyatakan bahwa dari semua nama agama di dunia, istilah islâm merupakan satu-satunya nama agama yang built in (terpasang tetap). Kata islâm terdapat dalam al- Qur‘an, dan orang-orang Muslim teguh menggunakan istilah tersebut untuk mengenalkan sistem keimanannya. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada

masyarakat keagamaan lain. 414 Pandangan kedua tokoh ini menunjukkan bahwa agama Islam bukan Mohammedanism sebagaimana disebut oleh para orientalis.

Penamaan demikian karena dikaitkan dengan pembawanya, yaitu Muhammad,

Ma‘idah (5): 92 Q.S. al-Baqarah (2): 110 409 Q.S. al-Hadîd (57): 16 410 Q.S. al- 411

407 Q.S. al-

An‗am (6): 42 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 217.

Dalam pandangan Arthur Jeffery, kata aslama bukan asli bahasa Arab, tetapi merupakan kata serapan. Pandangan ini tidak disertai dengan penjelasan yang memadai dari bahasa apa kata tersebut diserap. Lihat Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟ân, (Leiden - Boston: Brill, 2007), h. 62.

413 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 218.

Wilfred Cantwel Smith, The Meaning and End of Religion, (New York: The New American Library of the World Literature, 1964), h. 75.

sebagaimana yang terjadi pada agama-agama lain. Nama Islam bukan nama yang lahir berdasarkan tokoh pendirinya atau pada tempat kelahiran tokoh tersebut. 415

Hal lain yang menunjukkan bahwa istilah islâm sangat penting adalah karena ia sebagai pengalaman batin religius yang bersifat personal pada tiap-tiap orang, merupakan peristiwa penting yang menandai titik awal dimulainya penyerahan dan kerendahan diri yang sesungguhnya. Ia menandai titik balik yang menentukan dalam kehidupan seorang manusia. Sementara semua istilah al- Qur‘an lainnya yang bermakna kepatuhan dan penyerahan diri sangat samar dan ambigu. Istilah-istilah tersebut dapat memberikan kesan yang salah tentang kepatuhan dan kerendahan diri sebagai sifat alamiah seseorang. Dalam struktur semantiknya tidak terdapat momentum keputusan eksistensial, momentum lompatan ke dalam bidang kehidupan yang tidak diketahui. Hanya kata islâm yang berimplikasi demikian.

Seorang muslim, menurut pengertian asalnya, adalah orang yang memiliki keberanian untuk melakukan lompatan semacam itu. Baru setelah melakukan lompatan yang pasti, maka konsep semacam kepatuhan, penyerahan, dan kerendahan mulai muncul dan mengandung makna religius yang sesungguhnya. Kata-kata seperti khusu„, tadharru„, dan lain-lain, tidak memiliki makna kerendahan diri yang umum. Tapi semacam kerendahan diri khusus yang muncul dari tindakan pasti dalam islâm.

Analisis semantik terhadap istilah islâm dalam al- Qur‘an oleh Tohihiko Izutsu ini menimbulkan perbedaan dengan penafsiran yang dilakukan sarjana lain. Mu ẖammad Syahrûr – misalnya, dengan mengelaborasi Q.S. al-Baqarah (2): 62, 111, dan 126; Q.S. al- Nisâ‘ (4): 125; Q.S. al-Mâ‘idah (5): 44; Q.S. al-Anbiyâ‘ (21): 108; dan Q.S. Fushshilat (41): 33, islâm menurutnya adalah mengakui adanya Allah, beriman kepada hari Akhir, dan beramal saleh. Sehingga siapa pun yang memiliki ketiga sifat itu disebut sebagai seorang muslim tanpa melihat apakah dia termasuk pengikut Muhammad, pengikut Musa, pengikut Isa, atau umat-umat beragama lain.

Lihat Huston Smith, The Word‟s Religion, (San Fransisco: Harper Publishers, 1991), h. 221-222.

Islâm dengan pengertian inilah yang dimaksud dalam al- Qur‘an sebagai dîn yang diterima oleh Allah. 416

Dalam pandangan Mu ẖammad Syahrûr, islâm bertentangan dengan ijrâm. Kata ijrâm dan turunannya disebutkan dalam al- Qur‘an sebanyak 68 kali. Secara etimologis, kata ijrâm berarti qath„ (memutus/memotong). Dalam kamus hukum, pelaku kejahatan, seperti pencuri, pembunuh, dan perampok disebut sebagai mujrim, karena dengan melakukan pencurian, pembunuhan, dan perampokan, pelakunya berarti ―memutuskan hubungannya dengan masyarakat dan aturan-aturan sosial dan bertindak sesuai dengan hawa nafsunya.‖ Dalam al-Qur‘an, kata tersebut berarti kondisi yang bertolak belakang dengan islâm. Ayat-ayat, seperti Q.S. al-Qashshâsh (28): 78; Q.S. Yâsîn (36): 59; Q.S. al-Rûm (30): 12; Q.S. al-Rahmân (55): 41-43; Q.S. al-Naml (27): 69; dan Q.S. al-Mursalât (77): 18-19, mengaitkan secara sintagmatis kata al-mujrimûn dengan sikap pengingkaran terhadap adanya Tuhan dan hari Akhir. Sementara islâm dalam pandanganToshihiko Izutsu bertentangan dengan

jahiliyah 417 . Namun pada masa pra-al- Qur‘an, term jahiliyah sama sekali tidak mempunyai konotasi religius. Menurut konsepsi pra-Islam, jahl sama sekali tidak

mempunyai kaitan dengan tuhan-tuhan. Konsep ini semata-mata hanya meyangkut hubungan manusia dengan sesamanya. Jahl merupakan sifat pribadi manusia yang

menjadi ciri khas masyarakat Arab pra-Islam. 418 Konsep ini, bersama dengan

416 Mu ẖammad Syahrûr, al-Islâm wa al-Îmân: Mandhûmât al-Qiyam, (Damaskus: al-Ahâlî li al- Thiba‗ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‗, 1996), h. 37-38.

Term jahiliyah ini dalam al- Qur‘an terulang sebanyak empat kali, yaitu dalam Q.S. Âli ‗Imrân (3): 154; Q.S. al-Mâ‘idah (5): 50; Q.S. al-Aẖzâb (33): 33; dan al-Fatẖ (48): 26.Lihat

Mu ẖammad Fu‘âd ‗Abd al-Bâqî, al-Mu

ʻ jam al-Mufahras li Alfâzh al- Qur‟ân al-Karîm, h. 234. Ada berbagai pandangan mengenai keadaan masyarakat Arab pada masa pra-Islam. A ẖmad Amîn menyatakan bahwa keadaan mereka sebagai masyarakat yang diliputi oleh kesombongan, kebanggaan, dan ketidaktahuan. Lihat A ẖmad Amîn, Fajr al-Islam, (Singapura: Sulaiman Mar‘I, 1965 ), h. 76. Hasan Ibâhîm Hasan menyebut mereka sebagai komunitas yang melecehkan fitrah manusia. Mereka adalah masyarakat yang suka berperang, gemar berjudi, mabuk-

mabukan, melakukan seks bebas, memandang hina terhadap wanita, dan lain sebagainya yang merupakan perbuatan amoral. Hasan Ibâhîm Hasan mendasarkan pada informasi yang diklaim merupakan perkataan Ja‗far ibn Abî Thâlib yang mewakili sekelompok sahabat Muhammad ketika Raja Etiopia, Negus, menanyakan alasan mereka meminta perlindungan kepadanya. Hasan Ibâhîm Hasan, Târîkh al-Islâm, Juz I, (Beirut: Dâr al-Jail, 1996), h. 164. Riwayat ini diragukan keasliannya

pasangannya – hilm, begitu lekat dengan psikologi mayarakat Arab ketika itu, sehingga wajar jika kata tersebut seringkali dijumpai dalam puisi-puisi jahiliyah. Dalam al- Qur‘an, jahiliyah merupakan istilah religius dalam pengertian yang negatif, karena merupakan landasan tempat kata kufr. 419 Di sini Toshihiko Izutsu memandang

jahiliyah bukan sebagai fase sejarah yang mendahului Islam, tetapi merupakan sifat yang dapat terjadi dalam diri seseorang yang berupa semangat kebebasan, kesombongan, dan perasaan mulia yang menolak untuk tunduk di hadapan penguasa manapun, baik manusia maupun Tuhan. Pandangan senada dikemukakan oleh sarjana Muslim asal Mesir sekaligus seorang tokoh gerakan al-Ikhwân al-Muslimûn, yaitu

Sayyid Quthb (1906-1966). 420 Jahiliyah , dalam pandangan Sayyid Quthb, bukan merupakan bagian tertentu

dalam suatu masa, tetapi ia adalah suatu kondisi yang bertentangan dengan Islam. 421 Dengan demikian jahiliyah merupakan suatu keadaan yang boleh jadi dapat terjadi kapan saja, baik pada masa lalu, masa sekarang, atau masa akan datang, di setiap masyarakat apa saja, dan di mana saja. Meskipun Toshihiko Izutsu dan Sayyid Quthb sama-sama memandang jahiliyah bukan merupakan suatu periode sejarah, namun

karena di dalamnya tercantum ucapan yang menyebutkan kewajiban untuk berpuasa. Padahal perintah berpuasa baru diterima Muhammad dua tahun sesudah peristiwa hijrah. Lihat Mu ẖammad al-Khudhâri Bîk, Târîkh al- Tasyrî„ al-Islâmî, (Kairo: Mathba‗ah al-Sa‗âdah, 1964), h. 48. Sementara itu Khalîl ‗Abd al-Karîm menolak predikat-predikat keji yang mengilustrasikan fase pra-Islam dan deskripsi bangsa Arab di semenanjung Arabia ketika itu dengan gambaran-gambaran minor, sehingga membentuk image yang kuat bahwa era tersebut merupakan era kegelapan, kebodohan dan kesesatan, sehingga penduduknya tidak lebih dari kelompok orang-orang Barbar yang bengis, irasional, tak berbudaya, dan bermoral bejat. Menurutnya predikat-predikat dan deskripsi semacam ini tidak justru telah mendiskreditkan Islam itu sendiri, karena merupakan kekonyolan ketika al- Qur‘an mengajak berdialog dan berdebat dengan suatu kaum yang berada dalam keadaan yang sedemikian bodoh. Khalîl ‗Abd al-Karîm, Syari‟ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, terj. Kamran As‘ad, (Yogyakarta: LKiS, 1990), h. ix. Pendapat senada dikemukaan oleh H. Lammens, ia mengatakan bahwa orang Arab sebenarnya adalah bangsa yang unggul, bersikap terbuka, memiliki sifat yang tegas dan pemberani. H. Lammens, Islam: Beliefs and Institutions, (New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation, 1979), h. 6.

419 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 223. 420 Uraian selengkapnya mengenai biografi Sayyid Quthb dapat dilihat dalam Shalah ‗Abd al-

Fattaâ ẖ al-Khâlidî, ―Pengantar memahami Tafsir Fî Zhilâl al-Qur‟ân,‖ dalam Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al- Qur‟ân, terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 23-69.

421 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al- Qur‟ân, Vol. VI, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), h. 904.

terdapat perbedaan antara keduanya, Toshihiko Izutsu memandang jahiliyah sebagai sifat personal yang menganggap dirinya mulia sehingga tidak mau tunduk kepada siapa pun, sementara Sayyid Quthb memandangnya sebagai sifat suatu masyarakat, bangsa, atau negara yang tidak melaksanakan hukum Islam.

Pandangan Toshihiko Izutsu maupun Sayyid Quthb tentang jahiliyah berbeda dengan Marshall G.S. Hodgson, A ẖmad Amîn, dan Hasan Ibâhîm Hasan. Marshall G.S. Hodgson memang mula-mula berpendapat bahwa jahiliyah merupakan sebutan untuk orang yang mempunyai sifat keras hati, namun kemudian ia berpendapat bahwa

jahiliyah 422 merupakan suatu masa kebodohan (the time of dark ignorance). Jahiliyah di sini tentu mengacu kepada masa pra-Islam. Dan orang-orang Arab yang hidup pada

masa ini diasumsikan sebagai orang-orang yang jâhil (bodoh). Adapun Toshihiko Izutsu menyebut mereka sebagai ummîyûn (orang-orang yang tidak diberi kitab). Pandangan ini senada dengan Theodore Nöldeke dan Friedrich Schwally yang menyatakan bahwa konsep ummî di dalam al- Qur‘an adalah konsep yang bertentangan dengan ahl al-kitâb. Dengan demikian ummîyûn merupakan sebuah

masyarakat tanpa wahyu. 423 Sementara Joseph Horovitz memandang ummîyûn mempunyai dua pengertian: Pertama, berkenaan dengan Q.S. Âli ‗Imrân (3): 20,

ummîyûn merupakan masyarakat yang tidak diberi kitab ( ummōt hā-ōlām). Kedua, berkenaan dengan Q.S. al-Baqarah (2): 78, ummîyûn merupakan sekelompok Yahudi yang tidak mengikuti Taurat dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan sesuai dengan

hawa nafsu mereka ( 424 „am-ha-āreṣ).

Lebih lanjut Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa jahl pada hakikatnya merupakan sifat cepat marah dan tidak sabar, yang mudah kehilangan kontrol

422 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 171.

Theodore Nöldeke dan Friedich Schwally, Gessichte des Qorāns, sebagaimana dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al- Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 150.

424 Joseph Horovitz, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran, (Hildesheim: Georg Olms Verlagbuchandlung, 1964), h. 46-47.

meskipun dengan provokasi yang sangat kecil. Akibat yang ditimbulkan dari sifat ini adalah tindakan gegabah yang didorong oleh nafsu membabi buta tanpa kendali, tanpa memikirkan akibat buruk dari perbuatan yang dilakukan tersebut. Lawan dari sifat ini adalah hilm, yaitu perilaku tertentu yang didasari oleh kesadaran yang nyata terhadap keunggulan dan kekuatan diri sendiri. Di sini hilm merupakan bentuk ketenangan yang sangat khas yang di dalamnya tersimpan kekuatan yang luar biasa yang termanifestasikan dalam bentuk waqar. Sementara manifestasi dari jahl adalah zulm . Sifat jahl yang sedemikian rupa, sehingga bila dia aktif, maka dapat melemahkan kekuatan akal manusia. Sementara hilm mempunyai pengaruh yang positif terhadap akal. Dalam hal ini, orang Arab mengembangkannya ke arah kemampuan memimpin dan kebijaksanaan politik. W. Montgomery Watt melihat bahwa hilm yang dikembangkan menjadi kebijaksaan politik dan teknik memimpin

inilah yang menjadi landasan kesuksesan usaha perdagangan orang-orang Quraisy. 425 Pandangan Toshihiko Izutsu ini sejalan dengan Ignaz Goldziher yang menyatakan

bahwa dalam bahasa Arab sekarang, istilah jahiliyah memang berarti bodoh, akan tetapi dalam syair-syair pra-Islam istilah tersebut memiliki makna berani, kasar, dan

keras. 426 Namun demikian Toshihiko Izutsu tidak menampik makna jahl sebagai bodoh. Dengan demikian lawan katanya bukan lagi hilm, tetapi „ilm (pengetahuan).

Bahkan ia mengatakan ini merupakan makna jahl yang paling umum menurut bahasa Arab klasik. Hanya saja makna ini merupakan makna yang kalah penting

dibandingkan dengan makna di atas. 427

d. Relasi etik Etika berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh manusia terhadap Tuhan berkaitan dengan perintah dan larangan Tuhan, maupun bagaimana Tuhan

425 W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, h. 10-11. 426 Ignaz Goldziher, Muslim Studies, Vol. I, (London: Allen & Unwin, 1967), h. 11. 427 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 234.

berkehendak terhadap makhluk-Nya. 428 Menurut Toshihiko Izutsu, terdapat tiga kategori yang berbeda mengenai konsep etik di dalam al- Qur‘an, yaitu: pertama,

kategori yang menunjukkan dan menguraikan sifat Tuhan; kedua, kategori yang menjelaskan berbagai macam aspek sifat fundamental manusia terhadap Tuhan; dan ketiga , kategori yang menunjukkan tentang prinsip-prinsip dan aturan tingkah laku

yang menjadi milik dan hidup di dalam masyarakat Islam. 429 Ketiga konsep etika ini pada dasarnya tidak berdiri sendiri, namun memiliki hubungan yang sangat erat.

Kelompok pertama terdiri dari nama-nama Tuhan (al- asmâ‟ al-ẖusnâ), seperti Maha Pemurah, Maha Baik, Maha Adil, atau Maha Agung. Nama-nama ini pada hakikatnya menggambarkan bahwa sifat dan tindakan Tuhan terhadap manusia adalah etik, dan oleh karena itu manusia harus bersikap seperti itu dalam merespon sifat dan tindakan Tuhan tersebut. Implikasi dari sikap etik manusia terhadap Tuhan tercermin dalam etika antar sesama manusia yang hidup dalam masyarakat yang sama.

Relasi etis ini didasarkan pada dua aspek yang bertentangan secara fundamental mengenai konsepsi tentang Tuhan dalam al- Qur‘an. Allah di satu sisi disebutkan sebagai Tuhan yang penuh keadilan dan kebaikan. 430 Dengan kata lain,

Tuhan bertindak kepada manusia dengan tindakan-tindakan yang baik. Namun di sisi lain, Dia disebutkan sebagai Tuhan yang keras, yang akan membalas di Hari Pengadilan dengan balasan yang sangat pedih (shadîd al- „iqâb), Tuhan yang membalas dendam (dhu intiqâm), Tuhan yang kemarahan-Nya (ghadab) akan

Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept in the Qur‟an, (Montreal: McGill-Queen‘s University Press, 2002), h. 3. Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syukri Saleh, mensinyalir bahwa di dalam al- Qur‘an terdapat tiga konsep kunci yang secara simultan membentuk fondasi etika al- Qur‘an dan memberinya etos yang khas. Ketiga konsep ini, kendati berasal dari akar kata bahasa Arab yang berbeda, secara menakjubkan memiliki pengertian yang sama. Pertama, konsep îmân berasal dari kata a-m-n memuat arti pokok aman, bebas dari bahaya dan damai. Kedua, konsep islâm berasal dari kata s-l-m yang mengandung arti aman, integral, dan totalitas. Ketiga, konsep taqwâ berasal dari kata w-q-y, merupakan konsep etika al- Qur‘an yang paling utama, yang berarti takut kepada Allah atau kesalehan, melindungi (diri) dari bahaya, memelihara dari kemusnahan, tersia- siakan, dan disintegrasi. Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al- Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman , h. 142-143.

429 Toshihiko Izutsu, Ethico-

Religious Concept in the Qur‟an, h. 18.

Lihat misalnya, Q.S. al-A ẖzâb (33): 1; dan Q.S. al-Fâthir (35): 2.

melemparkan siapa saja ke dalam kebinasaan. 431 Pandangan al- Qur‘an yang menunjukkan dua aspek yang secara fundamental bertentangan satu sama lain –

menurut Toshihiko Izutsu – sangat sulit dipahami oleh logika orang-orang awam, bahkan para pemikir pun menghadapi kesulitan untuk mempertemukan kedua aspek tersebut satu sama lain, akan tetapi bagi orang-orang yang saleh dan beriman hal ini

tidak menjadi problem. 432

Aspek Allah sebagai Tuhan yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pengampun kepada manusia ini disebutkan dalam al- Qur‘an dengan kata kunci seperti ni„mah (kenikmatan), fadl (kemurahan hati), rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan sebagainya. Menurut Toshihiko Izutsu, fakta yang menunjukkan bahwa Tuhan bersifat demikian dan menunjukkan semua kebaikan dalam bentuk âyât ini hendaknya menentukan respon yang benar di pihak manusia. Respon tersebut adalah syukr atau rasa terima kasih atas karunia yang telah dianugerahkan Tuhan. Rasa terima kasih ini hanya mungkin timbul bila manusia

sudah mengerti makna âyât tersebut. 433 Konsep syukr sesungguhnya telah mengakar kuat pada masa jahiliyah. Hal ini

ditunjukkan oleh sajak karya seorang penyair dari suku Hudzail, syukr bermakna sebagai ungkapan terima kasih terhadap pemberian ( 434 ni„mah) orang lain. Dan

konsep ini sangat mudah dipahami menggunakan logika sederhana, yakni bila seseorang menunjukkan kemurahan, dalam pengertian menganugerahkan ni„mah kepada anda, maka reaksi wajar yang harus anda tunjukkan adalah berterima kasih. Ini dapat dikatakan sebagai aturan moral dasar dalam hubungan antar sesama manusia. Akan tetapi, respon manusia terhadap ni„mah tidaklah tunggal. Manusia kadang kala bahkan sering mengingkari (kufr) atau menyikapi ni„mah dengan tidak

431 Lihat misalnya, Q.S. al-

Mâ‘idah (5): 2; dan Q.S. Thâhâ (20): 81.

Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 254-255.

Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 255.

Toshihiko Izutsu, God and Man i n the Qur‟an, h. 256-257.

berterima kasih. 435 Tidak berterima kasih terhadap anugerah atau ni„mah yang telah diterima tentu saja merupakan reaksi alternatif yang menyalahi aturan moral dasar.

Dengan demikian, makna dasar syukr adalah respon positif manusia terhadap kebaikan yang diperlihatkan orang lain. Lawannya adalah kufr, yang makna dasarnya adalah tidak berterima kasih.

Al- Qur‘an menaikkan struktur semantik respon manusia terhadap ni„mah ke dalam tingkatan religius, yakni meletakkannya dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Sehingga ni„mah di sini merupakan karunia Ilahi yang direspon oleh manusia dengan sikap positif (syukr) maupun sikap negatif (kufr). Sehingga sangat wajar bila konsep syukr ini kemudian berkembang ke arah ―percaya‖ (îman), sementara kufr sebagai lawannya berkembang ke arah ―tidak percaya‖. Perlu dicatat

di sini bahwa, menurut Toshihiko Izutsu, transformasi semantik kufr dari ―tidak

be rterima kasih‖ kepada ―tidak percaya‖ terjadi secara lebih menyeluruh apabila dibandingkan dengan transformasi semantik syukr dari ―berterima kasih‖ kepada ―percaya‖. Hal ini karena pada kasus syukr, terdapat kata îman yang menghalangi syukr ini menempati posisi semantik ―percaya‖. Sementara pada kasus kufr, tidak terdapat pra-eksistensi kata seperti itu, sehingga kufr dapat dikatakan muncul dan menempati posisi yang kosong. Dengan demikian, kufr dalam pengertian religius

berada pada posisi yang bertentangan secara diametral dengan îman. 436

Aspek Tuhan yang keras, Tuhan yang akan membalas di Hari Pengadilan

dengan balasan yang sangat pedih (shadîd al- „iqâb), Tuhan yang membalas dendam (dzû intiqâm), Tuhan yang kemarahan-Nya (ghadab) akan melemparkan siapa saja ke dalam kebinasaan hendaknya menjadikan manusia tidak menolak untuk berserah diri ke hadapan Tuhan dan tidak lalai dalam hidupnya. Penekanan mutlak terhadap penyerahan diri dan kesungguhan dalam hidup yang berdasarkan kesadaran tentang

435 Lihat misalnya, Q.S. al-Zukhruf (43): 15; dan Q.S. al-

‗Âdiyât (100): 6. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 257-258.

Hari Pengadilan yang akan datang ini, menurut Toshihiko Izutsu, merupakan makna asli taqwâ. 437

Sebagaimana kata syukr, kata taqwâ ini juga telah dikenal pada masa jahiliyah. Hal ini ditunjukkan oleh kata kerja ittaqâ yang merupakan salah satu kata

favorit dalam syair-syair pra-Islam. 438 Hanya saja pada masa jahiliyah, kata ini tidak dipergunakan dalam pengertian religius, kecuali mungkin di lingkungan khusus,

yakni di lingkungan orang-orang ẖanîf dan orang-orang yang secara nyata telah terpengaruh oleh ajaran Yahudi. Dalam konsepsi jahiliyah, kata kerja ittaqâ bermakna menjaga diri dari bahaya yang mengancam keselamatan dengan sesuatu,

baik berupa benda ataupun makhluk hidup. 439 Dengan demikian, kata kerja ittaqâ dalam konsepsi jahiliyah digunakan dalam pengertian fisik atau material, atau paling

tinggi diterapkan dalam konteks moral. Sementara dalam kasus al- Qur‘an, istilah ittaqâ hampir selalu muncul dalam konteks religius.

F. Perbandingan antara Metode Semantik Toshihiko Izutsu dengan Metode-metode lain dalam Penafsiran al- Qur‘an

Dalam usahanya untuk memahami weltanschauung al- Qur‘an, Toshihiko Izutsu tidak menafsirkan seluruh ayat al- Qur‘an, namun hanya konsep-konsep tertentu dari al- Qur‘an yang menggambarkan pandangan dunia Kitab Suci ini. Hal ini tercermin dari judul bukunya yang berkenaan dengan kajian al- Qur‘an. Yang pertama yaitu, Ethico- Religious Concepts in the Qur‟an, yang terbit untuk pertama kalinya pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran. 440

Berdasarkan analisis terhadap Q.S. al- Mâ‘idah (5): 2, taqwâ merupakan konsep eskatologis, yang maknanya adalah ―takut kepada siksaan Ilahi di akhirat.‖ Dari makna yang asli ini kemudian muncul makna ―ketakutan yang patuh (kepada Allah),‖ kemudian akhirnya ―ketaatan‖ saja. Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 259.

Di antaranya adalah syair karya Antarah dan Zuhair. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 261-162. 439 Toshihiko Izutsu,

God and Man in the Qur‟an, h. 260-261.

Menurut Toshihiko Izutsu, konsep pemikiran tentang etika dalam al- Qur‘an dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok: Pertama, pembahasan yang menunjukkan dan menguraikan sifat- sifat Tuhan. Kelompok konsep ini kemudian dikembangkan oleh ahli-ahli teologi menjadi teori tentang

Dalam buku ini, Toshihiko Izutsu menjelaskan konsep al- Qur‘an menyangkut hubungan etik dasar antara manusia dan Tuhan. Hubungan ini terdiri dari dua konsep dasar yang antara keduanya memiliki perbedaan yang sangat nyata, yaitu: pertama, keyakinan mutlak terhadap Tuhan; dan kedua, ketakutan yang sungguh-sungguh kepadanya. Dua konsep ini merupakan refleksi dari keyakinan manusia terhadap sifat-sifat Tuhan, yang menurut Toshihiko Izutsu terbagi dalam dua kelompok yang juga saling berlawanan, yaitu: kebaikannya yang tak terbatas, Maha Pengasih, Maha Memelihara, dan pada sisi lain: kemurkaan-Nya, sifat membalas Nya, dan menyiksa

mereka yang tidak patuh terhadap-Nya. 441 Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al- Qur‘an adalah: God and

Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas Keio. Dari judul buku ini, jelas Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al- Qur‘an tentang relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al- Qur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan- hamba, dan etik. 442

Penafsiran yang hanya mengambil konsep atau tema tertentu dari al- Qur‘an, dalam tradisi kesarjanaan Muslim dikenal dengan Tafsir Tematik (al-tafsîr al-

maudhû 443 ʻî). Menurut beberapa sarjana Muslim, seperti Mushthafâ Muslim, ʻAbd al-

sifat-sifat Tuhan; Kedua, pembahasan yang menjelaskan berbagai aspek sikap fundamental manusia terhadap Tuhan. Kelompok konsep ini menyangkut hubungan etik dasar antara manusia dan Tuhan; dan Ketiga, pembahasan yang menunjukkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan tingkah laku yang menjadi milik dan hidup dalam masyarakat Islam. Konsep ini berhubungan dengan sikap etik antara seorang manusia dengan sesamanya yang hidup dalam masyarakat yang sama.Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico- Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17.

441 Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico- Religious Concepts in the Qur‟an, h. 18. Juga dalam, God and Man in the Qur‟an, h. 78. 442

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 127-268. 443 ‗Abd Hayy al-Farmawî mengemukakan ada empat metode yang biasa digunakan dalam

penafsiran al- Qur‘an, yaitu: pertama, metode global (tharîqah ijmâlî); kedua, metode analitis (tharîqah ta ẖ lilî ); ketiga, metode perbandingan (tharîqah muqârin); dan kempat, metode tematik (tharîqah maudhû„î). Abd Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû„î: Dirâsah Manhajîyah Maudhû„îyah, (Kairo: Mathb‗ah al-Hadhârah al-‗Arabiyah, 1997), h. 23. Metode global (tharîqah ijmâlî ) adalah penafsiran dengan mengemukakan arti dan maksud ayat secara singkat mengikuti urutan

Sattâr, dan Shala ẖ ʻAbd al-Fattâẖ al-Khâlidî, praktek penafsiran al-Qur‘an secara tematik telah dimulai sejak jaman Nabi Muhammad. Sementara Ziyad al-Daghâmîn menyatakan tidak setuju terhadap pendapat yang dikemukakan oleh tiga sarjana tersebut. Menurutnya tafsir yang ada pada jaman Nabi tidak mengindikasikan adanya bentuk kesatuan tema dalam seluruh al- Qur‘an atau dalam satu surat. Namun hanya mengumpulkan berbagai ayat yang mengandung satu tema tertentu. Ia berpendapat bahwa sarjana pertama yang menggunakan tafsir tematik adalah ʻUmar ibn Baẖr al- Jâhizh (w. 255 H.). 444

Pemikiran dasar dari metode tematik diarahkan pada kajian pesan al- Qur‘an secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat atau surat

al- 445 Qur‘an menjadi kesatuan yang utuh dan saling berkaitan. Metode ini muncul

mushaf. Metode analitis (tharîqah ta ẖ lilî ) yaitu tafsir dengan mengurutkan ayat dari surat pertama dalam al- Qur‘an sampai surat terakhir dari berbagai aspeknya, seperti aspek na ẖ wu, balâghah , i„jâz, munâsabah dan sebagainya. Tafsir model ini akan dengan teliti merujuk riwayat Nabi, sahabat, ataupun cerita-cerita pra-Islam bahkan israiliyat. Metode tafsir perbandingan (tharîqah muqârin) adalah membandingkan beberapa penafsiran yang ada. Dengan metode ini diharapkan akan ditemukan kecenderungan dari para penafsir dalam menafsirkan suatu ayat. Metode ini juga digunakan untuk membahas ayat-ayat yang memiliki redaksi kata yang sama namun berbicara tentang topik yang berbeda atau sebaliknya, dengan topik yang sama dengan redaksi yang berbeda. Metode tematik ( tharîqah maudhû„î) adalah tafsir secara tematik, artinya penafsir mengambil tema-tema tertentu yang

dihubungkan dengan ayat sebagai penjelas.

444 Ziyâd Khalîl Mu ẖammad al-Daghâmîn, Manhajîyah al-Ba ẖ ts fî Tafsîr al-Maudhû ʻ î li al- Qur‟ân al-Karîm, (Amman: Dâr al-Basyir, 1995), h. 15. Sementara menurut Mannâʻ al-Qaththân,

penafsiran ayat al- Qur‘an secara tematis ini, meski berbeda dalam sistematika penyajian, sebenarnya telah dirintis dalam sejarah, misalnya: Majâz al- Qur‟ân oleh Abû ‗Ubaidah (w. 210/824), Mufradât al- Qur‟ân oleh Râghib al-Isfahânî (w.502/1108), Ibn Qayyîm al-Jauzîyah (w. 751 H.) menulis tentang sumpah dalam al- Qur‘an dalam karyanya al-Tibyân fi Aqsâm al-Qur‟ân, dan sebagainya. Lihat Mannâʻ al-Qaththân, Mabâ

ẖ its fi ʻ Ulûm al- Qur‟ân, (Riyad: Mansyûrah al-ʻAshr al-Hadîts, 1973), h. 342. Ide tentang keterpaduan ayat-ayat al- Qur‘an dan keserasiannya sebenarnya bukanlah hal baru. Orang yang pertama kali memperkenalkan ide ini adalah Abû Bakr al-Naisâbûrî (w. 324 H.) dan

telah dibuktikan oleh banyak pakar, antara lain oleh al-Syâthibî melalui penafsirannya atas Q.S. al- Mu‘minûn (23). Ia mengatakan bahwa ―tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian dari suatu suatu pembicaraan kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu kesatuan kata menurut etimologi, bukannya menurut maksud pembicaraannya. Kalau arti itu tidak dipahami, maka ia harus segera kembali memperhatikan seluruh pembicaraan‖. Tokoh utama yang mendiskusikan keserasian ayat-ayat al- Qur‘an adalah Ibrâhîm ibn ‗Umar al-Biqâʻî (w. 808 H.) dalam karyanya Nazm al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwâr yang dipublikasikan dalam 22 jilid. Ide ini juga dibuktikan oleh Mu ẖammad ‗Abduh dalam Tafsîr al-Manâr. Dalam tafsirnya tersebut, ‗Abduh meletakkan keserasian ayat sebagai satu faktor penting dalam menetapkan arti dan sebagai pijakan dalam mengevaluasi pandangan yang berbea-beda. Selain itu, ide ini juga diterapkan dalam penafsiran

dari konsep ―al-qur‟ân yufassiru baʻdhuhu baʻdha‖ (sebagian ayat al-Qur‘an menafsirkan ayat yang lain).

Metode tematik mulai menemukan bentuknya yang jelas ketika pada akhir 60- an, Ahmad Sayyid al-Kûmî, salah seorang guru besar dan ketua jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar sampai tahun 1981menggulirkan gagasan untuk menampilkan penafsiran pesan al- Qur‘an secara menyeluruh dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat atau surat al- Qur‘an menjadi kesatuan yang utuh dan saling berkaitan. Ide tersebut tidak lain adalah kelanjutan dari metode

Mahmûd Syaltût (1893-1962), 446 dalam karyanya Tafsîr al- Qur‟ân al-Karîm: al-Ajza„ al- 447 „Asyarah al-Ûlâ (terbit pada tahun 1960). Rintisan Ahmad Sayyid al-Kûmî ini

mendapat sambutan hangat dari koleganya, terutama yang ditandai oleh kehadiran beberapa karya ilmiah yang mengimplementasikan metode tersebut, di antaranya al- Futûhât al-Rabbânîyah fî al-Tafsîr al- Maudhû‟î li al-Âyât al-Qur‟ânîyah (2 jilid) karya al-Husaini Abû Far ẖah, dan al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû‟î (1977) karya ‗Abd al-Hayy al-Farmâwî. 448 Metode ini tidak hanya dipopulerkan di kalangan penafsir Sunni, tetapi juga di kalangan penafsir Syi‘ah, di mana dalam pengembangan

ayat-ayat yang kurang mendapat perhatian para penafsir terdahulu. Lihat M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar , (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 27.

446 Dalam bukunya, Min Hudâ al- Qur‟ân, Mahmûd Syaltût secara khusus mengangkat sebuah sub judul tentang ―Metode yang ideal dalam menafsirkan al-Qur‘an‖. Dalam sub judul ini, ia

menyebutkan bahwa ada dua metode dalam menafsirkan al- Qur‘an, yaitu: Pertama, penafsiran al- Qur‘an berdasarkan urutan surat dalam al-Qur‘an. Dalam hal ini penafsir menafsirkan kosakatanya, menjalin kaitan ayat, dan menjelaskan makna-makna yang ditunjukkannya; Kedua, penafsiran ayat- ayat yang berkenaan dengan topik tertentu. Dalam hal ini penafsir mengoleksi ayat-ayat yang dapat diletakkan di bawah satu topik, kemudian menganalisa dan memahami makna-maknanya, menjelaskan hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain sehingga dapat ditemukan suatu hikmah tertentu dan menerangkan tujuan ayat-ayat yang ada dalam topik tersebut. menurut Syaltût, metode yang terakhir ini merupakan metode yang ideal, terutama bagi penafsir yang ingin menginformasikan tentang kandungan al- Qur‘an yang memiliki nuansa hidayah terhadap berbagai peristiwa yang dialami manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Lihat, Mahmûd Syaltût, Min Hudâ al- Qur‟ân, (Kairo: Dâr al-Kâtib al-‗Arabî li al-Thibâʻah wa al-Nasyr, t.t.), h. 322-324. 447

Mahmûd Syaltût dalam karyanya ini tidak mengomentari teks kata perkata, melainkan memfokuskan perhatian pada kata-kata kunci. Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt , (Leiden: E.J. Brill, 1974), h. 14.

448 M. Quraish Shihab, Membumikan al- Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat , (Bandung: Mizan, 1992), h. 74 dan 114.

metode ini, tokoh sekaliber Muhammad Baqir al-Sadr (w. 1980 M), seorang ulama Syi‘ah terkemuka asal Irak, tidak dapat diabaikan begitu saja. 449

Secara umum, metode tematik ini memiliki dua bentuk kajian, yaitu: Pertama, pembahasan mengenai satu surat al- Qur‘an secara utuh dan menyeluruh dengan menjelaskan maksudnya yang umum dan spesifik, menerangkan kaitan antara berbagai persoalan yang dimuatnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang utuh dan cermat. Dalam hal ini, penafsir hanya menyampaikan pesan yang dikandung dalam satu surat itu saja, dan biasanya kandungan pesan tersebut tersirat dari nama

surat yang ditafsirkan. 450 Kedua, mengumpulkan sejumlah ayat dari berbagai surat yang membahas satu

persoalan tertentu yang sama, lalu ayat-ayat itu disusun berdasarkan urutan kronologis pewahyuan dan diletakkan di bawah satu topik bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara tematik. Bentuk ini lahir atas kesadaran para pakar al- Qur‘an bahwa menafsirkan pesan yang dimuat dalam satu ayat saja acapkali tidak menyelesaikan persoalan. Bukan tidak mungkin pesan-pesan yang dikandung pada surat tersebut juga diutarakan pada surat-surat al- Qur‘an lainnya, sehingga tidak ada salahnya untuk menghimpun surat lain yang memuat pesan yang senada. 451

Dari kedua bentuk kajian di atas, ulama kontemporer cenderung mempopuler kan istilah ―tafsîr maudhû‟î" terhadap bentuk kedua dengan

Di antara tulisannya yang membahas tentang tafsir tematik adalah al-Madrasah al- Qur‟ânîyah: al-Sunan al-Târîkhîyah fî al-Qur‟ân al-Karîm dan al-Tafsîr al-Maudhû ʻ î wa al-Tafsîr al- Tajzi‟î fî al-Qur‟ân al-Karîm.

Contoh tafsir tematik bentuk ini adalah Nahw Tafsîr Maudhû ʻ î li Suwâr al- Qur‟ân al- Karîm , karya Mu ẖammad al-Ghazalî yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Akhmad Syaikho dan Ervan Nurtawab dengan judul Menikmati Jamuan Allah: Inti Pesan Quran dari Tema ke Tema , 3 Jilid, (Jakarta: P.T. Serambi Ilmu Semesta, 2007).

451 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al- Qur‟an, h. xii-xiii. Muhammad Quraish Shihab mencontohkan bahwa mengkaji satu atau dua ayat tidak memberikan jawaban tuntas. Jika seseorang

hanya mengkaji ayat tentang larangan atas orang-orang yang mendirikan salat dalam keadaan mabuk sampai menyadari apa yang mereka ucapkan (Q.S. al-Nisâ (4): 3), maka ia mungkin mengira bahwa minuman keras hanya dilarang menjelang pelaksanaan salat. Namun, apabila disajikan kepadanya seluruh ayat yang terkait (dalam surat yang berbeda-beda) dengan minuman keras, maka akan tergambar proses pemahaman sampai pada putusan akhir tentang minuman keras tersebut.

mendefinisikannya sebagai metode yang ―menghimpun ayat-ayat al-Qur‘an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian si penafsir mulai memberikan keterangan dan mengambil kesimpulan‖. 452 Sementara bentuk pertama, oleh Shalâ ẖ ‗Abd al-Fattâẖ al-Khâlidî, disebut sebagai ―al- tafsîr al-maudhi‟î‖. 453

Prosedur penafsiran al-Qur ‘an dengan metode tematik dapat dirinci sebagai berikut: Pertama, menentukan bahasan al- Qur‘an yang akan diteliti secara tematik; Kedua , melacak dan mengoleksi ayat-ayat sesuai topik yang diangkat; Ketiga, menata ayat-ayat tersebut secara kronologis (sebab turunnya), mendahulukan ayat makkîyah dari madanîyah, dan disertai dengan pengetahuan tentang latar belakang turunnya ayat; Keempat, mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut; Kelima, menyusun tema bahasan dalam kerangka yang sistematis; Keenam, melengkapi bahasan dengan hadits-hadits terkait; Ketujuh, mempelajari ayat-ayat itu secara tematik dan komprehensif dengan cara mengkoleksi ayat-ayat yang membuat makna yang sama, mengkompromikan pengertian yang umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, menyinkronkan ayat-ayat yang tampak kontradiktif, menjelaskan nâsikh dan mansûkh, sehingga semuanya memadu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau

pemaksaan dalam penafsiran. 454

452 ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhû ʻ î: Dirâsah Manhajîyah Maudhu ʻ îyah , h. 52.

Shalâ ẖ ‗Abd al-Fattâẖ al-Khâlidî, al-Tafsîr al-Maudhû‟î Baina al-Nadzarîyah wa al- Tathbîq: Dirâsah Nadzarîyah wa Tathbîqîyah Murfaqah bi Namâzhij wa Lathâ‟if al-Tafsîr al- Maudhû‟î, (Oman: Dâr al-Nafâ‘is li al-Nasyr wa al-Tauzîʻ, 1997), h. 40. 454

ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhû ʻ î , h. 61-62. M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, ed. Azyumardi Azra, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 193-194. Meskipun tidak semua prosedur ini diikuti, tetapi paling tidak ada kesepakatan untuk membahas

persoalan berdasarkan tema yang diangkat. Sebagai ilustrasi, dapat dikemukakan dua contoh prosedur yang disajikan al-Farmâwî dengan analisis yan g berbeda. Ketika mengkaji topik ―Memelihara Anak Yatim Piatu Menurut al- Qur‘an al-Karim‖, terlebih dahulu ia mengutarakan pemeliharaan anak yatim dan hartanya berdasarkan ayat-ayat periode Mekah, kemudian ia melanjutkan kajian tentang pembinaan moral dan pendidikan anak-anak yatim, perihal harta mereka, dan perintah menyantuni dan menyayangi mereka berdasarkan ayat-ayat periode Madinah. Sementara ketika mengkaji topik ―Ummiyah Bangsa Arab Menurut al-Qur‘an al-Karim‖, ia membahas konsep ummiyah dalam al-

Di antara karya tafsir yag menjadi representasi metode ini adalah al- Mar‟ah fi al-Quran dan al-Insân fi al- Qur‟an karya ‗Abbâs Mahmûd al-Aqqâd, al-Ribâ fî al- Qur‟ân al-Karîm karya Abu al-‗Alâ al-Maudûdî (W. 1979 M), al-Washâyâ al-Asyar karya Mahmûd Syaltût, Major Themes of the Qur‟an karya Fazlur Rahman (w. 1408/1988), Wawasan al- Qur‟an karya M. Qurash Shihab, al-‟Aqidah fi al-Qur‟ân al-Karîm karya M. Abû Zahrah dan Washâyâ Sûrat al-Isrâ karya ‗Abd al-Hayy al- Farmâwî. Perlu dicatat bahwa semua karya ini ada yang menerapkan sistematika metode tematik secara utuh, ada yang hanya sebagian, dan ada pula yang tidak memakainya sama sekali.

Di Indonesia, metode penafsiran ini semakin digemari oleh para peminat studi Al- Qur‘an, utamanya pada dasawarsa 1990-an. Beberapa karya tafsir, umumnya lahir dari kepentingan akademik, menunjukkan hal ini, di antaranya adalah: Pertama, Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al- Qur‟an; Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik 455 , (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), menelusuri terma-

terma yang secara langsung menunjuk pada konsep kekafiran dengan pelbagai variasi makna dan konteknya: juhûd, inkâr, dan nakr, il ẖâd, syirk, serta terma-terma yang secara tidak langsung menunjuk kepada kekafiran: fusûq, dzulm, ijrâm, ʻisyan, dzalal, ghayy , isrâf, i ʻtidâ‟, fasâd, ghaflat, kizhb, istikbâr, dan takabbur.

Qur ‘an dengan menghimpun semua ayat-ayat yang terkait, kemudian memaparkan pengertian ummi menurut bahasa, dilanjutkan dengan batasan pengertian ummiyah menurut bangsa Arab dan terakhir ia mengemukakan pendapat ahli tentang konsep ummiyah bangsa Arab tersebut, dan mengritik pendapat tersebut sejauh yang dipahaminya. Berdasarkan hal ini, pada satu sisi, al-Farmâwî menafsirkan satu persoalan (pemeliharaan anak yatim) berdasarkan pada perkembangan konsep menyangkut pemeliharaan dan pembinaan anak yatim serta hartanya pada ayat-ayat periode Mekah dan Madinah. Dan pada sisi lain, ia menafsirkan persoalan ummiyah dengan mengacu pada pemahaman arti yang berkembang dalam al- Qur‘an, bahasa, dan pemahaman bangsa Arab, serta pendapat ahli terkait. Lihat ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhû ʻ î , h. 81-103. 455

Buku ini berasal dari disertasi Harifuddin Cawidu di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diujikan pada tanggal 27 Maret 1989, dengan promotor M. Quraish Shihab dan Nurcholish Madjid.

Kedua , Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia menurut Al-Qu r‟an; Suatu Kajian Tafsir Tematik 456 , (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), menelusuri terma-

terma yang dipakai Al- Qur‘an yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Ada enam kata kunci yang dianalisis: al- fi‟l, al-ʻamal, al-saʻyu, al-shanʻu, al-iqtiraf, dan al- jarah . Kata-kata tersebut, menurut Jalaluddin Rahman, merupakan kata-kata yang searti dengan kata kasb. Ia juga mengungkap hubungan antara kata kasb dengan kata- kata lain yang searti tersebut.

Ketiga , Muhammad Ghalib Mattalo, Ahl al-Kitâb, Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1998), 457 menganalisis pandangan Al- Qur‘an tentang Ahl al-

Kitâb . Ia menguraikan terma-terma yang mengarah kepada pemahaman tentang Ahl al-Kitâb dengan merajut seluruh medan semantiknya, baik terma-terma yang sepadan maupun yang tidak secara langsung menunjuk Ahl al-Kitâb.

Keempat , Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al- Qur‟an, (Jakarta: Paramadina, 1999), 458 menganalisis kata-kata kunci yang

mengungkapkan makna tentang identitas jender yang dipakai Al- Qur‘an dan medan semantiknya. Kata-kata kunci dimaksud adalah; al-rajul, al- nisâ‟, al-dzakar, dan al- untsâ 459 , dan juga al-zauj, al-zaujah, al-ab dan al-umm sebagai gelas status yang berhubungan dengan jenis kelamin, 460 untuk menemukan pandangan dunia Al- Qur‘an

tentang relasi laki-laki dan perempuan secara utuh. Kelima , Delami, Analisis Semantik terhadap Ayat-ayat Jender, (Tesis: PPs UIN Jakarta, 2007), membahas ayat-ayat jender dengan menggunakan pendekatan semantik dan terfokus pada beberapa ayat yang banyak menjadi sorotan bagi para

456 Buku ini berasal dari disertasi Jalaluddin Rahman di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dipromotori oleh M. Quraish Shihab dan Agustiar.

457 Sama dengan tiga buku yang telah disebutkan sebelumnya, buku ini berasal dari disertasi Muhammad Ghalib Mattalo di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1997).

458 Buku ini pada mulanya adalah disertasi Nasaruddin Umar di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul Perspektif Jender dalam al- Qur‟an, di bawah bimbingan M. Quraish Shihab dan

John Hendrik Meuleman.

Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif al- Qur‟an, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 159-160. 460 Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 173-191.

mufassir kontemporer dan para pemerhati jender. Dalam penelitiannya, Delami menemukan bahwa ayat-ayat tentang penciptaan manusia pertama, poligami, kepemimpinan dalam rumah tangga, dan pakaian perempuan dalam penafsirannya tidak terdapat bias jender. Bahkan, menurut pandangannya, yang menonjol dari ayat- ayat tersebut adalah pembelaan terhadap hak-hak perempuan.

Berdasarkan uraian ini, sekarang dapat diketahui perbedaan antara metode semantik Toshihiko Izutsu dengan metode tematik. Perbedaan tersebut tampak pada prosedur kerja dan tujuan yang hendak dicapai. Akan tetapi baik metode Toshihiko Izutsu maupun metode tematik merupakan proses penafsiran yang sama-sama terfokus teks, dan tidak menekankan pada pembacaan realitas. Penafsiran yang terfokus pada teks cenderung untuk memaksa realitas takluk kepada teks jika ada kesenjangan antara keduanya. Untuk saat sekarang, produk penafsiran demikian dirasa kurang menggairahkan, mengingat materi yang diajarkan tidak banyak berorientasi pada kebutuhan, meminjam istilah Fazlur Rahman, tidak selaras dengan tantangan modernitas. Dengan kata lain, penafsiran yang terfokus pada teks kurang sejalan dengan kebutuhan modern akan tafsir yang dapat merespon problem-problem baru yang muncul dari perubahan-perubahan politik, sosial, dan kultural dalam masyarakat Muslim yang disebabkan oleh pengaruh peradaban Barat. Menurut Rotraud Wielandt, problem krusial yang harus segera dicarikan jalan keluarnya adalah kesesuaian pandangan dunia al- Qur‘an dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan modern dan permasalahan tatanan politik dan sosial yang didasarkan atas prinsip-prinsip al- Qur‘an yang mungkin membuat umat Muslim dapat menghilangkan beban dominasi Barat. 461

Rumusan-rumusan metode tafsir yang lebih menekankan kepada realitas datang dari sarjana-sarjana Muslim yang pada umumnya pernah mengecap

461 Rotraud Wielandt, ―Exegesis of the Qur‘ān: Early Modern and Contemporary‖, dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur‟ān, Vol. 2, (Leiden-Boston-Köln: Brill, 2002), h.

pendidikan Barat, di antaranya adalah Fazlur Rahman (1919-1988) 462 dengan double movement -nya. Menurut Fazlur Rahman, dalam, Islam and Modernity, untuk dapat

menjawab berbagai problem kontemporer, seorang penafsir harus melakukan dua langkah, yaitu: pertama, memahami makna suatu pernyataan (ayat) dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan tersebut merupakan jawabannya; kedua , menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik dan menyatakannya sebagai

pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum. 463 Setelah mengetahui apa yang menjadi ―ideal moral‖ dari ayat itulah seorang penafsir dapat

menyelesaikan problem kontemporer tersebut. Selain Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun (lahir di Kabilia, Aljazair, pada

tanggal 2 Januari 1928) 464 termasuk dalam jajaran sarjana yang lebih menekankan 462

Pada tahun 1946, Fazlur Rahman nekat berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya pada program doktor di Universitas Oxford, karena pendidikan yang diperolehnya di Pakistan dirasa sangat tidak memuaskan dirinya. Ia prihatin melihat realitas pendidikan di negaranya yang kurang bermutu serta tidak mampu merangsang nalar kreatif-kritis. Keputusannya tersebut merupakan awal sikap kontroversi dari Fazlur Rahman. Karena, merupakan suatu yang dipandang ganjil oleh ulama- ulama Pakistan jika seseorang pelajar yang beragama Islam belajar Islam ke Barat. Bahkan lebih dari itu apapun bentuk sikap cenderung ke Barat dinilai negatif oleh para Ulama Pakistan, sekalipun sikap tertentu ditempuh demi kebaikan dan kemajuan umat Islam. Studinya rampung pada tahun 1950 dengan disertasi berjudul Avicenna‟s Psychology, yang merupakan sub bahasan yang dimuat dalam Kitâb al-Najât , karya Ibn Sina (w. 428/1037) di bawah bimbingan S. Van den Berg dan H.A.R. Gibb. Namun setelah menamatkan studinya, Fazlur Rahman tidak langsung kembali ke tanah airnya. Ia menyempatkan diri untuk menyambut tawaran mengajar di Universitas Durham, Inggris, untuk beberapa tahun (1950-1958). Setelah itu, tidak kurang dari tiga tahun (1958-1961), ia mengajar di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada. Fazlur Rahman, Islam and

Modernity, Transformation of an Intellectual , h. 81-82.

Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al- Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman , h. 131-132. 464 Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Mohammed Arkoun

melanjukan studi tentang bahasa dansastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta member kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Mohammed Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut. Mohammed Arkoun menulis desertasi doktor mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada abad

X M yang menekuni kedokteran dan filsafat. Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai berbagai bidang ilmu dan menekuni persamaan dan perbedaan antara Islam dengan tradisi pemikiran Yunani. Semenjak menjadi dosen di Universitas Sorbonne tersebut, Mohammed Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi

penafsiran yang berangkat dari realitas. Ia menawarkan metode penafsiran dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial. Muhammed Arkoun menilai bahwa perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan belum diterima sepenuhnya di kalangan kaum Muslim, sehingga wacana ilmu-ilmu dalam Islam bernuansa kering dan terkesan melangit. Penilaian ini mengantarkannya menggunakan pendekatan dan metodologi ilmu-ilmu sosial, seperti: antropologi, sosiologi, sejarah, linguistik, dan filsafat untuk

menafsirkan ayat-ayat al- 465 Qur‘an. Sarjana lain yang juga menganjurkan penafsiran yang memperhatikan realitas

adalah Nashr Hâmid Abû Zaid (lahir di Thantha, Mesir, pada 10 Juli 1943). 466 Dengan meminjam hermeneutika E.D. Hirsch dalam merumuskan metode penafsiran

al- Qur‘an, Nashr Hâmid Abû Zaid membagi makna al-Qur‘an menjadi dua, yaitu: makna obyektif dan makna signifikansi. 467 Menurutnya, secara umum, kosakata al- Qur‘an mengambil dua unsur makna, yaitu: pertama, makna obyektif atau makna awal, yang terdiri dari dua bentuk: historis dan metaforik; dan kedua, unsur signifikansi, yakni level kata yang maknanya dapat diperluas ke dalam kultur yang

berbeda dari kultur awal. 468 Setelah makna obyektif atau makna awal kosakata al- Qur‘an ditemukan, maka dilanjutkan pada upaya mengaitkan al-Qur‘an dengan

realitas kekinian supaya al- Qur‘an dapat memberikan jawaban atas persoalan yang dihadapi. Inilah unsur kedua makna al- Qur‘an yang dalam pandangan Nashr Hâmid Abû Zaid disebut dengan signifikansi.

keilmuan Perancis. Sulhani Hermawan, ―Mohammed Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam‖,

dalam jurnal Dinika, Vol. 3 No. 1, January 2004, h. 103.

Contoh lebih jelasnya dapat dibaca, Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur‟an, terj. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), h. 35. 466 Pada tahun 1975-1977, Nashr Hâmid Abû Zaid mendapat beasiswa dari Ford Foundation

Fellowship untuk studi di Universitas Amerika, Kairo. Hal yang sama diraihnya pada tahun 1978 sampai 1980 di Center for Middle East Studies, Universitas Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat. Di Universitas Pennsylvania, Philadelphia, inilah ia mulai mengenal teori-teori hermeneutika. Lihat Nashr Hâmid Abû Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam, (Westport: Greenwood Publishing Group, 2004), h. 57.

467 Lihat Nashr Hâmid Abû Zaid, Naqd Khitâb al-Dînî, (Kairo: Sîna li al-Nasyr, 1994), Cet. II, h. 220.

468 Nashr Hâmid Abû Zaid, Naqd Khitâb al-Dînî, h. 210.

Akan tetapi apa yang telah dilakukan Toshihiko Izutsu tidak sepenuhnya dapat dikatakan sia-sia sama sekali. Penafsirannya, meminjam klasifikasi ayat al- Qur‘an Asghar Ali Engineer, memang tidak dalam domain ayat-ayat al-Qur‘an yang mengandung statemen kontekstual. 469 Studi Toshihiko Izutsu patut diapresiasi, ia

telah menunjukkan bahwa studi ilmiah terhadap kitab suci tidaklah mengurangi kesuciannya atau melecehkannya, justru menjadikan pembaca bisa memahaminya lebih baik.

Asghar Ali Engineer mengharuskan pemilahan antara ayat-ayat al- Qur‘an yang mengandung statemen normatif dan statemen kontekstual dalam menawarkan suatu pendekatan terhadap al- Qur‘an. Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Farah Ciciek Assegaf, (Yogyakarta: LSSPA, 1994), h. 16.