NON MUSLIM DAN KAJIAN AL- QUR‘AN

BAB II NON MUSLIM DAN KAJIAN AL- QUR‘AN

Kajian mengenai al- Qur‘an oleh non-Muslim memberikan implikasi yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan umat Muslim. Dalam pandangan penulis, perdebatan tersebut menyangkut pendekatan non-Muslim dalam kajian al- Qur‘an, dan otoritas non-Muslim dalam penafsiran al-Qur‘an. Dalam kaitannya dengan tokoh yang pemikirannya menjadi fokus penelitian ini, kedua isu tersebut menjadi penting untuk diuraikan dalam bab II ini. Namun sebelumnya perlu juga diketengahkan sejarah aktivitas kajian al- Qur‘an oleh non-Muslim agar dapat diketahui pencapaian-pencapaian mereka selama ini.

D. Kajian al-Qur‘an oleh Non-Muslim dalam Lintasan Sejarah Sebagai sebuah Kitab Suci, al- Qur‘an ternyata sangat menarik perhatian tidak saja umat Islam, namun juga non-Muslim. Ketertarikan non-Muslim terhadap al- Qur‘an, menurut Hartmut Bobzin, diawali oleh satu kenyataan bahwa dalam al- Qur‘an banyak ayat yang berkaitan dengan ajaran-ajaran kitab suci umat terdahulu. 53 Di samping hal itu, dalam al- Qur‘an juga terdapat beberapa bagian yang oleh kalangan non-Muslim, terutama umat Kristiani, dianggap mengkritik keyakinan

agama mereka. 54 Untuk membela ajaran mereka, sarjana-sarjana non-Muslim banyak melakukan kajian kitab suci umat Muslim dari pelbagai aspeknya. Debat polemik

mendapat perhatian yang besar. Hal ini membentuk tahapan awal bagi penelitian al- Qur‘an yang lebih obyektif-saintifik, sebuah upaya-upaya yang dimulai pada abad modern. Karya-karya polemik yang menyerang Islam yang ditulis oleh orang-orang Yahudi dan Kristen, dalam pandangan Hartmut Bobzin, tidak menjadikan karakter al-

53 Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen McAuliffe (ed.),

54 Encyclopedia of the Qur‟ān, Vol. 4, (Leiden: E.J. Brill, 2004), h. 235. Lihat Q.S. al- Nisâ‘ (4): 157; Q.S. al-Mâ‘idah (5): 72 dan 73; Q.S. al-Taubah (9): 30 dan 31.

Qur‘an sebagai wahyu Allah sebagai tema terpenting di dalamnya. Tema-tema seperti monoteisme, otentisitas kitab-kitab suci terdahulu, dan bukti-bukti kenabian Muhammad merupakan pokok bahasan dalam perdebatan mereka. Jika mereka menulis tentang al- Qur‘an, maka mereka lebih berhati-hati karena dapat menyentuh sensitivitas kaum Muslim. Maka tidaklah mengejutkan, jika karya-karya orang Yahudi dan Kristen tentang al- 55 Qur‘an pada ketika itu relatif masih sangat sedikit.

Kajian al- Qur‘an oleh non-Muslim sejak abad ke-12 sampai sekarang tampaknya direpresentasikan oleh sarjana-sarjana Barat. Kajian ini dimulai dengan penerjemahan al- Qur‘an ke dalam berbagai bahasa Eropa. Usaha penerjemahan ini, menurut W. Montgomery Watt, dimulai pada pertengahan abad kedua belas. Ketika itu, Peter the Venerable (1094-1156) – kepala biara induk di Cluny (Perancis) – dengan tujuan mempersiapkan orang-orang Eropa berhubungan dengan orang-orang Islam, menghimpun, membiayai, dan menugaskan sejumlah orang untuk menghasilkan karya-karya yang berkenaan dengan Islam. Salah satu hasilnya adalah penerjemahan al- Qur‘an ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton, yang selesai pada tahun 1143. 56 Terjemahan ini, yang diberi nama Liber Legis Saracenorum quem Alcoran Vocant (Kitab Hukum Islam yang disebut al- Qur‘an), merupakan terjemahan al- Qur‘an yang pertama dalam bahasa Latin. Terjemahan al-Qur‘an ini memiliki arti yang luar biasa bagi kaum intelektual dan agamawan di Barat. R.W. Southern, dalam bukunya yang berjudul Western Views of Islam in the Middle Ages, menyatakan bahwa dengan terjemahan tersebut Barat untuk pertama kalinya memiliki instrumen

55 Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, h. 235-253.

56 W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), h. 173. Usaha yang dirintis oleh Peter the Venerable telah memunculkan tradisi pecia,

yaitu tradisi penyalinan manuskrip ke dalam beberapa bagian. Tradisi, yang kemudian melembaga, ini muncul karena kurangnya jumlah orang yang mampu menyalin manuskrip, bukan karena hasrat untuk mencapai keakuratan dalam penyalinan. Franz Rosenthal, Etika Kesarjanaan Muslim, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Mizan, 1996), h. 101.

untuk mempelajari Islam secara serius. 57 Terjemahan Latin tersebut pada gilirannya memiliki pengaruh besar di kalangan sarjana selama beberapa abad. 58 Sebagai sumber utama studi al- Qur‘an, terjemahan Latin itu juga dimanfaatkan oleh sejumlah apolog Kristen seperti Nicholas of Cusa, Dionysius Carthusianus, Juan of Torquemada, Juan

Luis Vives, Marthin Luther, Hugo Grotius, dan lainnya. 59 Terjemahan al- Qur‘an Robert of Ketton dalam bahasa Latin tersebut, menurut

Regis Blachere, mengandung banyak sekali penyimpangan di dalamnya. 60 Hal ini juga disadari oleh Juan dari Segovia (1400-1458). 61 Untuk itu itu, ia pada tahun 1454 berusaha untuk menggarap penerjemahan al- Qur‘an dengan harapan dapat memperbaiki sejumlah kekeliruan dari naskah terjemahan al- Qur‘an Robert of Ketton dengan mencari padanan yang tepat dalam bahasa Latin untuk dapat memindahkan

konsep-konsep al- Qur‘an. Langkah Juan ini didukung oleh Nicholas dari Cusa, yang dalam Cibratio Alcoran (1460) berupaya menyajikan studi filologis dan historis yang memadai atas al- Qur‘an. Meskipun demikian, menurut Samuel Zwemer, terjemahan Robert of Ketton ini menjadi fondasi penerjemahan al- Qur‘an ke dalam bahasa Italia, Jerman, dan Belanda. 62

Pada abad ke-17 muncul berbagai usaha perjemahan al- Qur‘an ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Schweigger berusaha membuat terjemahan al- Qur‘an dalam bahasa Jerman yang dilakukan di Nurenburg (Bavaria) dan selesai pada tahun 1616.

57 ―With this translation, the West had for the first time an instrument for the serious study of Islam .‖ Sebagaimana dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian

Kritis , h. 20. 58 Para pendeta, pastor, dan misionaris selama 600 tahun menjadikan terjemahan Robert of

Ketton sebagai sumber utama ketika merujuk kepada al- Qur‘an. Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al- Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 20.

59 Hartmut Bobzin, ―A Treasury of Heresies: Christian Polemics against the Koran,‖ dalam Stefan Wild (ed.), The Qur‟an as Text, (Leiden: E.J. Brill, 1996), h. 159.

60 Sebagaimana dikutip oleh Mu ẖammad Husain ‗Alî al-Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al- Qur‟âniyah, (Beirut: Dâr al-Muarrikh al-‗Arabi, 1999), h. 64.

61 Lihat Dadan Rusmana, Al- Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 86.

62 Sebagaimana dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al- Qur‟an: Kajian Kritis , h. 20.

Du Ryer membuat terjemahan dalam bahasa Perancis yang diterbitkan di Paris pada tahun 1647. Terjemahan al- Qur‘an pertama ke dalam bahasa Inggris dilakukan oleh Alexander Ross (Skotlandia) pada tahun 1649. Terjemahan ini tidak dilakukan dari teks bahasa Arab, namun bersumber dari terjemahan al- Qur‘an dalam bahasa Perancis yang dilakukan oleh Du Ryer. Ludovicci Maracci (1612-1700), seorang pendeta Italia yang konon mengkaji al- Qur‘an selama 40 tahun, menghasilkan teks al-Qur‘an dari berbagai naskah dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin pada tahun 1698 di Padua. Ia tidak hanya menerjemahkan teks al- Qur‘an, tetapi juga menyelipkan penolakan-penolakan terhadap klaim-klaim al- Qur‘an ke dalam bagian-bagian dari terjemahan tersebut. 63 Hal ini dilakukan untuk membuktikan kelemahan-kelemahan al- Qur‘an. Terjemahan al-Qur‘an oleh Ludovicci Maracci ini dianggap terjemahan yang terbaik di kalangan masyarakat Eropa ketika itu, karena mendukung upaya penciptaan citra negatif terhadap Islam.

Pada abad ke-18, George Sale (1697-1736) menerjemahkan al- Qur‘an ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Alcoran of Mohammad: Translated from the Original Arabic yang terdiri dari dua jilid dan dianggap sebanding dengan terjemahan Ludovicci Maracci. Terjemahan yang muncul di London pada tahun 1734 ini dilengkapi dengan catatan penjelasan dan komentar yang berharga yang didasarkan atas karya tafsir penafsir Muslim terkemuka, al-Baidhâwî (w. 1268). Selain itu,

George Sale juga sering merujuk Injil St. Barnabas. 64 Terjemahan ini juga disertai preliminary discourse yang memberikan penjelasan singkat mengenai Islam,

kenabian Muhammad, dan al- Qur‘an, meskipun masih menunjukan subyektifitas dan dan rivalitas ideologis Barat-Kristennya. Usaha penerjemahan George Sale ini tampaknya diarahkan untuk memperbaiki terjemahan al- Qur‘an Robert of Ketton.

63 Andrew Rippn, ―Western Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h.

239. 64 George Sale, The Koran Interpreted, h. ix-x, sebagaimana dikutip oleh Faried A. Saenong,

―Kesarjanaan al-Qur‘an di Barat,‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 151.

Karya terjemahan ini dimasukkan ke dalam seri ―Chandos Classic‖ serta mendapat pujian dan restu dari Sir E. Denison Ross. Menurut W. Montgomery Watt, terjemahan George Sale ini kemudian dicetak ulang dengan tambahan komentar dari E.M. Wherry. Karya revisi ini berjudul A Comprehensive Commentary on the Qur‟an: Comprising Sale‟s Translation and Preliminary Discourse with Notes and Emendations , yang dicetak di London dan Boston pada tahun 1882-1886. Edisi ini merupakan edisi yang paling memuaskan secara tipografis dibanding edisi-edisi lainnya. Meskipun demikian, catatan-catatan tambahan yang dibuat oleh E.M. Wherry berkualitas rendah dan mengurangi nilai karya George Sale. 65

Karya George Sale ini kemudian diikuti oleh sarjana-sarjana Jerman dan Perancis. Terjemah al- Qur‘an ke dalam bahasa Jerman dilakukan oleh Boysen pada tahun 1773, Wahl pada tahun 1828, dan Ullman pada tahun 1840. Terjemah al- Qur‘an ke dalam bahasa Perancis dilakukan oleh Savary (1750-1788) dengan judul Le Coran, traduit de l‟arabe, accompagné de notes, et précédé d‟un abrégé de la vie de Mahomet , dan diterbitkan pada tahun 1783. Terjemahan ini muncul setelah disiapkan di Mesir di mana ia tinggal dalam kurun waktu 1776-1779. Savary mengaku bahwa ia beruntung dapat menerjemahkan al- Qur‘an ketika ia berada di tengah-tengah masyarakat Muslim. Menurut Norman Daniel, terjemahan Savary ini cukup

bersahabat. 66 Kemudian disusul oleh Kasimiriski pada tahun 1840 yang terbit untuk pada tahun 1841 dan 1857. 67 Salah satu faktor yang menyebabkan Perancis menaruh perhatian kepada penerjemahan al- Qur‘an adalah karena Perancis pada saat itu menduduki Aljazair dan Afrika Utara. Sementara itu, terjemahan dalam bahasa Rusia diterbitkan di St. Petersburg pada tahun 1776.

Pada abad ke-19, kajian al- Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat mengalami banyak kemajuan. Perhatian terhadap al- Qur‘an tidak hanya terbatas pada penerbitan

65 W. Montgomery Watt, Bel

66 l‟s Introduction to the Qur‟an, h. 201.

Norman Daniel, Islam and the West, h. 313-320. 67 Najib al- ‗Aqîqî, al-Musytasyriqûn, sebagaimana dikutip oleh Muẖammad Husain ‗Alî al-

Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al- Qur‟âniyah, h. 66.

teks al- Qur‘an dan terjemahannya. Kemajuan utama dalam kajian al-Qur‘an pada abad ini ditandai dengan usaha-usaha untuk melacak sumber-sumber al- Qur‘an. Abraham Geiger (1810-1874) dengan karyanya Was hat Muhammad aus dem Judenthume Aufgenommen (Apa yang telah diambil Muhammad dari Yahudi). Jejak Abraham Geiger ini baru diikuti setelah hampir setengah abad kemudian oleh Hartwig Hirschfeld (1854-1934) dengan publikasinya pada tahun 1878, Judische Elemente im Koran (Anasir Yahudi dalam al-Q ur‘an), dan Manneval, La Christologie du Koran (Kristologi al- Qur‘an, 1887).

Kemajuan lain juga ditunjukkan oleh sarjana-sarjana yang tertarik dengan kehidupan Muhammad. Gustave Weil (1808-1889) – yang terkenal dengan pendekatan historis-kritis terhadap sejarah Muhammad dalam karyanya, “Mohammed

der Prophet: sein Leben und seine Lehre, ‖ – menulis Historische-critische Einleitung in den Koran (Mukaddimah al- Qur‘an: kritis-historis, 1844), kemudian dilanjutkan oleh Alloys Sprenger (1813-1893) dan William Muir (1819-1905). Alloys Sprenger dan William Muir melakukan risetnya di India, dan menemukan sejumlah sumber orisinil tentang biografi Muhammad.

Penerbitan dan penerjemahan al- Qur‘an pada abad ini masih tetap dilakukan. Gustave Flügel (1802-1870) mempublikasikan al- Qur‘an yang diberi judul Corani Textus Arabicus 68 untuk pertama kali pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman). Ia juga membuat sebuah konkordansi al- Qur‘an pada tahun 1842 dengan judul Concordantie Corani Arabicae 69 . Usaha ini disusul oleh J.M. Rodwell (1808-1900) menerjemahkan al- Qur‘an ke dalam bahasa Inggris berdasarkan teks bahasa Arab yang diedit oleh Gustave Flügel dan menyusunnya bukan menurut susunan tradisional, tetapi menurut kronologinya mulai dari Q.S. al- ‗Alaq (96) hingga Q.S. al-Maidah (5) berdasarkan sejumlah hadits dengan merujuk kepada susunan William Muir dan juga berdasarkan

68 J.J.G Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974) , h. 3.

69 Dadan Rusmana, Al- Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, h. 90.

pertimbangan hati-hati terhadap tema setiap surat dan hubungannya dengan sejarah, peristiwa, dan kehidupan Muhammad. Karyanya ini terbit pertama kali pada tahun

1861. 70 Arthur J. Arberry, dalam The Koran Interpreted (1955), menilai bahwa karya ini jauh sekali dari konteks permusuhan abad XVII. J.M. Rodwell memang tidak ragu

untuk mengatakan bahwa al- Qur‘an adalah karya Muhamamad, akan tetapi estimasinya terhadap karakter Muhammad tidak mengurangi kemurahhatian dan

kekagumannya. 71 Penerjemahan al- Qur‘an ke dalam bahasa Inggris pada abad ini juga

dilakukan oleh E.H. Palmer (1840-1882), yang diterbitkan pada tahun 1880, 72 dengan judul The Qur‟an. Berbeda dengan J.M. Rodwell, ia melakukannya berdasarkan

susunan tradisional surat-surat al- Qur‘an. Menurut catatan A.R. Nykl, ―Notes on E.H. Palmer‘s The Qur‘an,‖ dalam The Journal of American Oriental Society, 56 (1936),

h. 77-84, terjemahan E.H. Palmer ini banyak mengandung kesalahan. 73 Kajian al- Qur‘an di Barat pada abad ini tidak hanya terbatas pada penelitian-

penelitian yang dilakukan oleh kaum intelektualnya secara individu. Pada 1857, Parisian Académie des Inscriptions et Bellers-Letters mengadakan kompetisi

penelitian yang berte 74 ma ―A Critical History of the Text of the Qur‘ān‖. Tema ini menarik perhatian tiga sarjana terkemuka, yaitu: Alloys Sprenger, Michele Amari

(1806-1889), dan Theodore Nöldeke (1836-1930). Sarjana yang terakhir disebutkan

70 W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 178. 71 Sebagaimana dikutip oleh Faried A. Saenong, ―Kesarjanaan al-Qur‘an di Barat,‖ dalam

Jurnal Studi al- Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 153. 72 W. Montgomery Watt,

73 Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 178.

Sebagaimana dikutip oleh Faried A. Saenong, ―Kesarjanaan al-Qur‘an di Barat,‖ dalam Jurnal Studi al-

74 Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 154. Ditetapkan bahwa penelitian tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

pertama , mengkaji bagian-bagian tahapan awal (primitif) dari komposisi al- Qur‘an dan menjelaskan karakteristik bagian-bagaian tersebut; kedua, mengkaji sedalam mungkin bagian-bagian al- Qur‘an itu untuk mencari tahapan-tahapan kehidupan Muhammad yang diceritakan di dalamnya, dengan bantuan karya-karya sejarawan Arab dan para penafsir Muslim yang telah meneliti bidang yang sama; ketiga, mengemukakan berbagai perubahan yang terdapat dalam al- Qur‘an sejak pembawaannya oleh Muhammad sampai resensi definitive yang memberikan bentuk al-Q ur‘an seperti yang ada sekarang; keempat , mengkaji naskah-naskah paling tua untuk mengemukakan karakteristik variasi-variasi yang muncul dari resensi-resensinya. W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 175.

inilah yang memenangkan kompetisi tersebut dengan karyanya Geschichte des Koran (Sejarah al- 75 Qur‘an).

Kecenderungan kajian abad ke-20 belum beranjak dari model kajian-kajian sebelumnya di abad kesembilan belas, meski dengan tekanan dan model yang sedikit berbeda. Hal ini dapat dilihat pada usaha Joseph Horovitz (1874-1931), Jewish Proper Names and Derrivatives in the Koran (Nama Diri Yahudi dan Derivasinya dalam al- Qur‘an), terbit pada tahun 1925 dan dicetak ulang pada tahun 1964; Charles Cutley Torrey (1863-1956), The Jewish Foundation of Islam (Fondasi Yahudi Agama Islam), terbit pada tahun 1933 dan dicetak ulang pada tahun 1967; dan Abraham I. Katsch, Judaism and the Koran (Agama Yahudi dan al- Qur‘an), terbit pada tahun 1962. Kajian-kajian kesarjanaan Yahudi ini mencapai titik kulminasinya yang tragis dengan terbitnya karya John Wansbrough (1928-2002), Quranic Studies: Source and Methods of Scriptural Interpretation (Kajian-kajian al- Qur‘an: Sumber dan Metode Tafsir Kitab Suci), terbit pada tahun 1977.

Tor Andrae (1885-1947), Der Usprung des Islams und das Christentum (Asal- usul Islam dan Kristen, 1926). Tetapi salah satu karya kesarjanaan Kristen yang paling menonjol dan berpengaruh dalam kategori ini adalah yang ditulis oleh Richard Bell (1876-1953), The Origin of Islam in its Christian Environment (Asal-usul Islam dalam Lingkungan Kristennya, 1926).

Wilhelm Rudolf (w. 1978) yang menulis Die Abhängigkeit des Koran von Judenthume und Christentum (Ketergantungan al- Qur‘an dari Yahudi dan Kristen, 1922); Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran (Jejak-

jejak Kebenaran Keimanan Kristiani dalam Islam, Leipzig, 1943); 76 dan D. Masson,

75 W. Montgomery Watt,

76 Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 175.

Joseph Henninger menyatan bahwa Islam tanpa pengaruh dari Perjanjian Lama dan Baru sulit terwujud. Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran, (Leipzig, 1943), h. 1, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, ‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits , h. 3.

Le Coran et la Revelation Judeo-Chretienne (Al- Qur‘an dan Wahyu Yahudi-Kristen, dua jilid, 1958).

Christoph Luxemberg (pseud.) yang telah mempublikasikan karyanya yang berjudul Die Syrio-Aramäische Lesart des Koran: eine Entschüsselung der Koransprache (Qira‘ah Syriak terhadap al-Qur‘an: Memecahkan Teka-teki Bahasa al- Qur‘an). Buku ini, dengan perbedaan-perbedaan seperti yang dituturkan oleh pengarangnya, merupakan babak lanjutan dari model kajian yang telah ditawarkan oleh Abraham Geiger dan sarjana-sarjana lainnya yang berusaha untuk membuktikan keterkaitan bahwa al- Qur‘an bersumber dari ajaran-ajaran kitab-kitab suci sebelumnya. Christoph Luxemberg menganggap bahwa mushhaf al- Qur‘an sekarang merupakan bentuk kesalahan salinan bahasa Arab fush ẖâ dari bahasa Syria-Aramaik (bahasa Aramaik dengan dialek Syria). Oleh karena itu, banyak penerjemahan dan penafsiran kosakata al- Qur‘an yang tidak tepat. Ia juga menyatakan bahwa banyak kata dalam al- Qur‘an yang disalah-artikan oleh kalangan penafsir. Anggapan ini diperoleh dari investigasinya terhadap kosakata al- Qur‘an yang dibandingkan dengan bahasa Syria-Aramaik sebagai lingua franca masyarakat Arab ketika al- Qur‘an ―diturunkan‖. Menurutnya, bahasa Arab fushẖâ merupakan bahasa yang datang kemudian, setelah mantapnya bahasa Syria-Aramaik. 77

Dalam perkembangan terakhir, menurut H.M. Nur Kholis Setiawan, terdapat aspek lain yang turut mewarnai kajian al- Qur‘an dalam kesarjanaan di Barat, yaitu mencari kesepahaman dalam perbedaan tradisi penafsiran kitab suci. Oleh karenanya, tren mencari kelemahan suatu kitab suci dan mencari pengaruh suatu kitab suci terhadap kitab suci lainnya telah ketinggalan jaman. Proyek-proyek prestisius yang sedang dikembangkan adalah bagaimana tradisi penafsiran kitab suci memiliki fungsi

77 M. Nur Kholis Setiawan, ‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al- Qur‟an dan Hadits, (t.tp.:

Nawasea Press, 2007), h. 11. Lihat juga Syamsuddin Arif, ―Al-Qur‘an, Orientalisme, dan Luxemberg,‖ dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005, h. 19.

dalam percaturan intelektial para pengimannya. 78 Namun hal tersebut tidak berarti bahwa proyek riset mengenai sejarah teks dan ortografi al- Qur‘an telah selesai. Sejak

tahun 2006, telah muncul proyek penelitian baru yang disponsori oleh Berlin Brandenburgische Akademie der Wissenschaft, sebuah lembaga riset milik pemerintah Negara bagian Berlin-Brandenburg, menganai edisi kritis teks al-

Qur‘an. 79 Uraian di atas menunjukan bahwa kajian al- Qur‘an dalam kesarjanaan non-

Muslim cukup dinamis dan berkesinambungan. Temuan-temuan pendahulu mereka terus-menerus dielaborasi oleh sarjana-sarjana berikutnya dengan menggunakan berbagai pendekatan dan metode yang berkembang dalam lapangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Pendekatan dan metode demikian meniscayakan al- Qur‘an

diposisikan sebagai teks. Sebagai teks al- Qur‘an dipandang sejajar dengan teks-teks bahasa yang lain.

E. Kategori dan Pendekatan Non-Muslim dalam Kajian Al-Qur‘an Fazlur Rahman, dalam pendahuluan bukunya – Major Themes of the Qur‟an, mencoba memetakan karya-karya sarjana Barat modern dalam studi al- Qur‘an sejak munculnya karya Gustave Flügel ini hingga paruh abad kedua puluh ke dalam tiga kategori: Pertama, kajian yang berusaha untuk membuktikan adanya pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen terhadap al-Q ur‘an; Kedua, kajian yang menekankan pada

78 Salah satunya adalah proyek ―Hermeneutika Yahudi, Kristen, dan Islam sebagai kritik Budaya‖ selama tiga tahun (dari 2002-2004) di Berlin. Tema yang ditawarkan adalah ―Midrash (tradisi

tafsir Yahudi), Exegesis (tradisi tafsir Kriten), dan Tafsîr (Islam). Sedang pada tanggal 3-13 Agustus 2003, dalam rangka proyek yang sama digelar ―International Summer Academy‖ dengan tema yang sama, melibatkan 24 doktor muda dari 14 negara untuk mencari kesepahaman tradisi penafsiran dalam agama. M. Nur Kholis Setiawan, ‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-

Qur‟an dan Hadits, h. 38. M. Nur Kholis Setiawan, ‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al- Qur‟an dan Hadits, h. 38- 39.

pembahasan sejarah dan kronologi turunnya al- Qur‘an; dan Ketiga, kajian tentang tema-tema tertentu dari al- 80 Qur‘an.

Karya kesarjanaan Barat yang memiliki kecenderungan tipe pertama diawali oleh Abraham Geiger (1810-1874), dengan karyanya Was hat Muhammad aus dem Judenthume Aufgenommen (Apa yang telah diambil Muhammad dari Yahudi). Sebuah karya yang ditulisnya dalam rangka mengikuti kompetisi masuk ke

Universitas Bonn pada tahun 1832. 81 Sebagaimana tercermin dari judulnya, karya ini memusatkan pada anasir Yahudi di dalam al- Qur‘an. Karya ini terdiri dari tiga

bagian: Bagian awal dari buku ini mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah Muhammad berniat untuk mengambil dari Yahudi, bisakah Muhammad melakukan niatnya, jika bisa, bagaimana Muhammad melakukannya, dan apa yang sebanding dengan rencana Muhammad untuk mengambil dari Yahudi. Kemudian pada bagian kedua menghadirkan bukti-bukti historis untuk menopang argumen dan jawaban beberapa pertanyaan tersebut. Bagian terakhir merupakan appendix kelengkapan data bagi bagian kedua, sekaligus analisis mendalam untuk memperkuat

asumsi yang dibangun sebagai tesis sekaligus jawaban-jawaban bagian pertama. 82 Temuan yang dihasilkan Abraham Geiger dalam penelitiannya adalah bahwa seluruh

ajaran Muhammad yang tertuang dalam al- Qur‘an sejak awal telah menunjukkan sendiri asal-usul Yahudinya secara transparan: mulai dari sebagian besar kisah para

Nabi, sampai kepada ajaran-ajaran dan aturan-aturan al- 83 Qur‘an. Jejak Abraham Geiger ini baru diikuti setelah hampir setengah abad kemudian oleh Hartwig

Hirschfeld (1854-1934) dengan publikasinya pada tahun 1878, Judische Elemente im

80 Fazlur Rahman, Tema Pokok al- Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), Cet. II, h. x-xi.

81 Lihat Andrew Rippin (ed.), Introduction to the Qur‟an: Style and Contents, (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2001), h. xi.

82 M. Nur Kholis Setiawan, ‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-

Qur‟an dan Hadits, h. 5. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al- Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h.

Koran (Anasir Yahudi dalam al- Qur‘an), yang mengkonfirmasi lebih jauh temuan- temuan pendahulunya tersebut.

Setelah kemunculan dua karya tersebut, sejumlah besar sarjana Barat mulai menaruh perhatian serius terhadap pelacakan asal-usul genetik al- Qur‘an. Terjadi semacam peperangan akademik antara sarjana-sarjana yang memandang al- Qur‘an tidak lebih dari tiruan rentan tradisi Yahudi dan sarjana-sarjana yang menganggap agama Kristen sebagai sumber utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi berupaya keras membuktikan bahwa asal-usul genetik al- Qur‘an secara penuh berasal dari tradisi Yahudi dan bahwa Muhammad merupakan murid seorang Yahudi tertentu. Karya- karya kesarjanaan semacam ini antara lain ditulis oleh Joseph Horovitz (1874-1931), Jewish Proper Names and Derrivatives in the Koran (Nama Diri Yahudi dan

Derivasinya dalam al- Qur‘an), terbit pada tahun 1925 dan dicetak ulang pada tahun 1964; Charles Cutley Torrey (1863-1956), The Jewish Foundation of Islam (Fondasi Yahudi Agama Islam), terbit pada tahun 1933 dan dicetak ulang pada tahun 1967; dan Abraham I. Katsch, Judaism and the Koran (Agama Yahudi dan al- Qur‘an), terbit pada tahun 1962. Kajian-kajian kesarjanaan Yahudi ini mencapai titik kulminasinya yang tragis dengan terbitnya karya John Wansbrough (1928-2002), Quranic Studies: Source and Methods of Scriptural Interpretation (Kajian-kajian al- Qur‘an: Sumber dan Metode Tafsir Kitab Suci), terbit pada tahun 1977. Dalam buku ini John Wansbrough melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa al- Qur‘an merupakan hasil konspirasi antara Muhammad dan pengikut-pengikutnya pada dua

abad pertama Islam yang secara sepenuhnya berada di bawah pengaruh Yahudi. 84 Sementara para sarjana Kristen juga melakukan upaya senada dan berusaha

membuktikan bahwa al- Qur‘an tidak lain merupakan imitasi dari tradisi Kristen dan Muhammad hanyalah seorang pengikut Kristen yang mengajarkan suatu bentuk aneh agama Kristen. Karya kesarjanaan Kristen modern yang awal tentang sumber-sumber

84 John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, (New York: Prometheus Books, 2004), h. 61.

Kristiani al- Qur‘an ditulis oleh Karl Friedrich Gerock, Versuch einer Darstellung der Chronologie des Korans (Upaya Pengungkapan Kronologi al- Qur‘an), terbit pertama kali pada tahun 1839.

Setelah tenggang waktu yang cukup lama, muncul karya-karya kesarjanaan Kristen lainnya tentang topik ini, seperti Manneval, La Christologie du Koran (Kristologi al- Qur‘an, 1887); dan Tor Andrae (1885-1947), Der Usprung des Islams und das Christentum (Asal-usul Islam dan Kristen, 1926). Tetapi salah satu karya kesarjanaan Kristen yang paling menonjol dan berpengaruh dalam kategori ini adalah yang ditulis oleh Richard Bell (1876-1953), The Origin of Islam in its Christian Environment (Asal-usul Islam dalam Lingkungan Kristennya, 1926).

Di samping karya-karya yang menitikberatkan asal-usul al- Qur‘an dalam

salah satu tradisi keagamaan Semit, yakni Yahudi dan Kristen, terdapat pula karya- karya kesarjanaan Barat lainnya yang menekankan pengaruh kedua tradisi keagamaan tersebut secara serempak terhadap kitab suci kaum Muslim. Karya-karya kategori terakhir ini antara lain ditulis oleh Wilhelm Rudolf (w. 1978) yang menulis Die Abhängigkeit des Koran von Judenthume und Christentum (Ketergantungan al- Qur‘an dari Yahudi dan Kristen, 1922); Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran (Jejak-jejak Kebenaran Keimanan Kristiani dalam

Islam, Leipzig, 1943); 85 dan D. Masson, Le Coran et la Revelation Judeo-Chretienne (Al- Qur‘an dan Wahyu Yahudi-Kristen, dua jilid, 1958). Sementara sejumlah sarjana

barat lain, seperti W. Montgomery Watt dan H.A.R Gibb, memperluas gagasan terakhir ini dengan menegaskan bahwa latar belakang kelahiran Islam atau al- Qur‘an adalah mileu Arab, walaupun banyak unsur-unsur Yudeo-Kristiani yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.

85 Joseph Henninger menyatan bahwa Islam tanpa pengaruh dari Perjanjian Lama dan Baru sulit terwujud. Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran, (Leipzig, 1943), h.

1, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, ‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits , h. 3.

Karya kesarjanaan Barat yang dapat dikategorikan tipe kedua adalah Historische-critische Einleitung in den Koran (Mukaddimah al- Qur‘an: kritis- historis) karya Gustav Weil yang diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1844, kemudian Geschichte des Koran (Sejarah al- Qur‘an) oleh Theodore Nöldeke (1836- 1930) yang diterbitkan pada tahun 1860. Buku Geschichte des Koran ini terdiri dari tiga jilid. Jilid pertama disusun oleh Theodore Nöldeke sendiri dan membahas kronologi turunnya surat-surat al- Qur‘an. Jilid kedua ditulis oleh muridnya, Friedrich Schwally (w. 1919), membahas sejarah pengoleksian al- Qur‘an. Jilid ketiga ditulis oleh Gotthelf Bergsträsser (1886-1933) dan Otto Pretzl membahas sejarah variasi

qiraat. 86 Pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh sarjana-sarjana non Muslim

dalam mengkaji Islam, termasuk di dalamnya al- Qur‘an, di antaranya adalah pendekatan sejarah, pendekatan fenomenologi dan pendekatan strukturalisme linguistik.

1. Pendekatan sejarah Pendekatan sejarah yang sangat berperan dalam kajian al- Qur‘an adalah metode kritik sejarah. Metode kritik sejarah merupakan pendekatan kesejarahan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta obyektif secara utuh dan mencari

nilai-nilai (values) tertentu yang terkandung di dalamnya. 87 Fakta dan nilai tersebut ditelusuri dalam sejumlah data sejarah, bukan peristiwa sejarah itu sendiri. Jika data

sejarah disajikan secara kronologis, maka ini disebut pendekatan kesejarahan. Kritik sejarah merupakan metode yang luas. Dalam metode ini tercakup beberapa jenis kritik yang saling terkait, di antaranya kritik teks (textual criticism), kajian filologis (philological study), kritik sastra (literary criticism), kritik bentuk

86 M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, ―Kata Pengantar‖ dalam Orientalisme al- Qur‟an dan Hadits, h. x.

87 W. Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity, (London & New York: Routledge, 1988), h. 68.

(form criticism), dan kritik redaksi (redaction criticism). 88 Sebagai sebuah metode dalam penelitian sejarah Islam, kritik sejarah pertama kali dirintis oleh David S.

Margoliuth (1858-1940), Ignaz Goldziher, Henry Lammens, Joseph Schacht, H.A.R. Gibb, H.J. Coulson, dan lain-lain. Penerapan metode ini terhadap aspek tertentu dalam sejarah Islam menghasilkan beberapa tesa yang menghebohkan masyarakat Muslim yang tradisional minded. Hal inilah yang menyebabkan metode kritik sejarah sama sekali tidak berkembang di kalangan pemikir Muslim sampai dengan pertengahan abad ke-20 M.

Dalam studi al- Qur‘an, sarjana non Muslim yang termasuk pioner dalam menggunakan metode kritik sejarah adalah Abraham Geiger (1870-1874), seorang Rabbi sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman. Karyanya adalah Was hat

Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen? , yang ditulis pada tahun 1833; Gustav Weil (1808-1889), dengan karyanya adalah Historische-Kritische Einletung in der Koran , yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1844; dan Theodor Nöldeke (1836-1930), dengan karyanya Geschichte des Qorans yang diterbitkan pada tahun

1860. 89 Penerapan metode kritik sejarah dalam kajian al- Qur‘an mengantarkan para

orientalis sampai pada kesimpulan bahwa al- Qur‘an adalah ciptaan Muhammad. Ajaran-ajaran al- Qur‘an merupakan jiplakan dari ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen. Metode ini banyak digunakan oleh non Muslim pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20. Selanjutnya mulai paruh kedua abad ke-20, mereka mulai menerapkan pendekatan baru yang disebut dengan pendekatan fenomenologi.

88 Edgar Krentz, The Historical-Critical Method, (Philadelphia: Fortress Press, 1975), h. 48- 54.

89 Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘an‖, dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟an, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h.

239-241.

2. Pendekatan fenomenologi Pendekatan fenomenologi dalam studi agama merupakan pendekatan yang menjadikan agama sebagai obyek studi menurut apa adanya. Dengan kata lain, fenomenologi agama berusaha menjelaskan fenomena keagamaan sebagaimana ditunjukkan oleh agama itu sendiri. Dalam hal ini, kaum fenomenolog agama

mencegah sikap memandang fenomena keagamaan itu menurut visi mereka sendiri. 90 Fenomenologi agama, menurut Ursula King, bertujuan untuk meneliti pola dan

struktur agama atau meneliti esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami

peranan agama dalam sejarah dan kebudayaan manusia. 91 Fenomenologi agama merupakan reaksi terhadap pendekatan sejarah.

Menurut W. Brede Kristensen, pendekatan sejarah tidak dapat memahami karakteristik yang absolut terhadap data-data keagamaan, karena dalam pendekatan sejarah terdapat jarak antara peneliti dan obyek yang diteliti sehingga penelitian tersebut tidak dapat mengidentifikasi data keagamaan sebagaimana yang dihayati

oleh orang-orang yang mengimaninya. 92 Sementara dalam pendekatan fenomenologi, peneliti menyatu dengan obyek yang diteliti. Dalam ungkapan Poespoprodjo, dalam

fenomenologi manusia menyatu dengan dunia. 93 Berbeda dengan pendekatan sejarah, pendekatan fenomenologi mengakui

adanya fenomena supranatural atau transhistoris. Dalam fenomenologi terdapat beberapa karakteristik wahyu, yaitu: a) dari segi asalnya, wahyu dipandang berasal dari Tuhan, nenek-moyang, atau kekuatan mana‘; b) instrumen atau sarananya adalah tanda-tanda yang suci di alam, binatang, tempat suci, mimpi, ekstasi, visi, dan lain-

90 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997), h. 74.

91 Ursula King, ―Historical and Phenomenological Approaches‖, dalam Frank Whaling (ed.), Contemporary Approaches to the Study of Religion , (Berlin, New York, Amsterdam: Mouton

Publishers, 1984), h. 88. 92 Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al- Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah Studi Evaluatif) , h. 75. 93 Poespoprodjo, Interpretasi, (Bandung: Remadja Karya, 1987), h. 69.

lain; c) isi dan tujuannya adalah pendidkan, bantuan, hukum, perintah Tuhan, dan lain-lain; d) penerimanya adalah dukun, tukang sihir, shaman, tukang tenung, nabi,

dan lain-lain; e) efek dan akibatnya menjadi pelajaran dan misi Tuhan. 94 Salah seorang sarjana non-Muslim yang menggunakan pendekatan

fenomenologi dalam kajian al- Qur‘an adalah Charles J. Adams. Al-Qur‘an, menurutnya, adalah wahyu yang diterima Muhammad dari Tuhan. 95 William A.

Graham juga mengkaji al- Qur‘an dengan pendekatan fenonenologi. Ia menganalisis keunikan karakter kitab suci umat Islam dari segi sifat oral al- Qur‘an dan fungsinya sebagai firman Tuhan yang ―diturunkan‖, bukan dalam arti firman Tuhan yang ―tertulis‖ atau ―dibukukan‖. Sebagai firman Tuhan yang ―diturunkan‖, al-Qur‘an memiliki beberapa karakteristik yang khas, yaitu: pertama, al- Qur‘an merupakan

umm al-Kitâb , ia mengakui adanya kitab suci sebelumnya dan menyatakan diri sebagai wahyu Tuhan yang final dan lengkap; kedua, dalam agama-agama Ibrahim (Abrahamic faith), yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, kitab suci menjadi pusat atau sumber peribadatan, kesalehan, dan ketaatan. Namun dalam Islam, al- Qur‘an lebih jelas lagi menjadi pusat transenden keimanan Muslim. Kalau dalam Yahudi, kehadiran Tuhan termanifestaikan dalam hukum Taurat, Kristen dalam pribadi Yesus, maka dalam Islam al- Qur‘an merupakan sarana langsung dalam perjumpaan dengan Tuhan; ketiga, konsep mengenai kitab suci yang dikoleksi dalam satu kitab merupakan ciri khas kitab suci Yahudi dan Kristen, sedang dalam Islam al- Qur‘an merupakan Divine Word; oleh karena itu bentuk primer dan paling otoritatif dari teks

al- 96 Qur‘an adalah bersifat oral, bukan tertulis.

94 Johannes Deninger, ―Revelation‖, dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion , Vol. 11-12, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), h. 356.

95 Cha rles J. Adams, ―Qur‘an,‖ dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 12, (1987), h. 158.

96 William A. Graham, ―Qur‘an as Spoken Word: An Islamic Contribution to the Understanding of Scripture,‖ dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies,

(Tucson: University of Arizona Press, 1985), h. 23-30.

Sarjana lain dari kalangan non-Muslim yang juga menggunakan pendekatan fenomenologi dalam kajian al- Qur‘an adalah Marcel A. Boisard. Menurutnya, al- Qur‘an tidak lain adalah peringatan bagi seluruh umat manusia. Al-Qur‘an merupakan ekspresi terakhir kehendak Tuhan, ia menjamin otentisitas dan kebenaran wahyu sebelumnya, tetapi tidak menjamin keberlakuannya, karena masa berlakunya

telah habis dengan kedatangan Islam. 97 Penggunaan pendekatan fenomenologi dalam studi al- Qur‘an relatif dapat

menghasilkan konklusi yang positif, karena fenomenologi memahami al- Qur‘an berdasarkan data dokumen keagamaan dan data dari penganut agama Islam sendiri.

3. Pendekatan Strukturalisme Linguistik Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai

sebuah struktur berikut unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun struktur tersebut dipandang lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis daripada

sekadar susunan benda-benda. Oleh karena itu, masing-masing unsur hanya akan bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur yang lain di dalam

struktur. 98 Dengan demikian, pelbagai unsur pembangun struktur itu memiliki koherensi atau pertautan yang erat. Mereka tidak otonom satu dengan yang lain,

melainkan menjadi bagian dari situasi yang rumit, dan hanya dengan interaksi itulah ia mendapatkan arti. 99 Strukturalisme linguistik memiliki akar-akarnya dalam

semiologi Saussure, Mazhab Linguistik Praha dan Formalisme Rusia. Pengaruh de Saussure terhadap strukturalisme terletak pada pergeseran orientasi studi linguistiknya dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Dengan pendekatan sinkronik,

97 Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 186-187.

98 Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e-Library, 2004), h. 6-7. 99 Pemahaman strukturalisme demikian serupa dengan konsep nazhm yang dikembangkan ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî yang menyoal hubungan sintagmatis kata di dalam kalimat dan struktur teks yang lebih luas. Kata-kata individual, menurut al-Jurjânî, tidak memiliki nilai distingtif kecuali berada dalam struktur yang lebih luas. Lihat A ẖmad Sayyid Muẖammad ‗Ammâr, Nazhariyyat al-I„Jâz al- Qur‟ânî wa Atsaruhâ fî al-Naqd al-„Arabi al-Qadîm, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‗âshir, 1998), h. 152.

studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya melainkan pada hubungan antarunsurnya. Dalam pendekatan struktural, masalah unsur dan hubungan antarunsur merupakan hal yang krusial.

Sebuah karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari berbagai unsur yang saling berhubungan secara sistemik dan saling menentukan satu sama lain sehingga membentuk sebuah totalitas pada dirinya. Pengertian struktur, menurut Jean

Piaget dalam bukunya Le Structuralisme (1968), 100 adalah ditemukannya kesatuan yang meliputi tiga ide dasar: ide kesatuan (the idea of wholeness), ide transformasi

(the idea of transformation), dan ide pengaturan diri sendiri (the idea of self- regulation ). Ide kesatuan mengandaikan bahwa struktur adalah keseluruhan yang bulat, dan bahwa unsur-unsur pembentuknya tidak mungkin berdiri sendiri di luar struktur. Ide transformasi menyaran pada pemahaman bahwa struktur dimaksud bukanlah sesuatu yang statis melainkan mampu melakukan prosedur-prosedur transformasional. Ide regulasi-diri menunjuk pada kemampuan struktur untuk melakukan proses transformasi tanpa bantuan dari luar, melainkan cukup dengan

dirinya sendiri. 101 Ketiga gagasan dasar dalam sebuah karya sastra demikian mengasumsikan bahwa sebuah teks dapat dipahami cukup melalui berbagai unsur

yang membangunnya, berupa bahasa, ungkapan, dan sistem tanda lain yang tersurat, tanpa memerlukan bantuan lain dari luar dirinya, hal-hal non-bahasa.

Dengan demikian, sebuah karya sastra, menurut kaum strukturalis, adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya, yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan timbal balik dan saling menentukan. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, unsur-unsur tersebut tidak penting bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting

100 Sebagaimana dikutip oleh Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics , (Taylor & Francis e-Library, 2004), h. 5.

101 Rahmad Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cet. VII, 2000), h. 119.

setelah berada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.

Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik karya bersangkutan. Setelah menjelaskan fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, selanjutnya dijelaskan pula bagaimana hubungan antarusur tersebut secara bersama membentuk sebuah totalitas-kemaknaan yang padu. Dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.

Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi antarunsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan juga relasi intertekstual. 102 Analisis mikroteks itu misalnya berupa analisis kata-kata dalam kalimat, atau kalimat-kalimat dalam paragraf atau konteks wacana yang lebih besar. Analisis relasi intertekstual berupa kajian hubungan antarteks, baik dalam satu periode maupun dalam periode- periode yang berbeda.

Pendekatan struktural menawarkan kelebihan bahwa analisis karya sastra tidak lagi membutuhkan berbagai pengetahuan lain sebagai referensi, misalnya referensi sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain —walau harus diakui bahwa hal- hal tersebut dapat memperkaya wawasan dan pemahaman —melainkan ―cukup‖ berbekal kemampuan bahasa, kepekaan sastra dan minat yang intensif. 103

Sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang melakukan studi al- Qur‘an dengan pendekatan struktural belum banyak. Di antara yang sedikit tersebut adalah Toshihiko Izutsu (1914-1933) dan Richards C. Martin. Toshihiko Izutsu menerapkan pendekatan struktural terhadap al- Qur‘an untuk dapat menangkap pandangan dunia

Dick Hartoko dan Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h.136.

A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 139.

Kitab Suci tersebut. Kajiannya tertuang dalam Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an (terbit pertama kali pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran ) dan God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung (terbit pertama kali pada tahun 1964). Sementara Richards

C. Martin menerapkan pendekatan strukturalisme linguistik ini ketika menganalisis Q.S. al- Syu‗arâ‘ (26). Tulisannya berjudul ―Structural Analysis and the Qur‟an: Newer Approaches to the Study of Islamic Text ‖, dimuat dalam Jurnal of the American Academic of the Religion, Vol. XLVII (1979), No. 4. 104

Pemahaman terhadap pendekatan yang digunakan oleh sarjana-sarjana non Muslim dalam kajian al- Qur‘an dirasa perlu bagi umat Muslim, karena hal ini dapat membantu untuk memahami penyebab lahirnya pandangan sarjana-sarjana non

Muslim tersebut terhadap al- Qur‘an. Bila umat Muslim hanya memahami konklusi dan konsep- konsep mereka saja, maka kemungkinan ―ketersinggungan iman‖ dapat terjadi yang pada gilirannya dapat menimbulkan bibit-bibit konflik dan perasaan antipati. Pemahaman terhadap pendekatan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dapat menyelamatkan umat Muslim dari sikap emosional dan menuntutnya untuk berdialog secara sehat.

F. Respon Sarjana Muslim Jika ketertarikan umat Islam terhadap al- Qur‘an dipandang sebagai hal wajar bahkan suatu keharusan, karena al- Qur‘an memang Kitab Suci mereka dan sumber utama ajaran Islam, maka berbeda halnya jika non-Muslim melakukan hal yang sama terhadap Kitab Suci umat Muslim ini. Meskipun aktivitas ini sudah lama dilakukan, namun di kalangan umat Islam sampai saat sekarang masih timbul kecurigaan terhadap kajian-kajian mereka. Tidaklah mengherankan apabila pertanyaan- pertanyaan mengenai keabsahan kajian mereka sering dikemukakan: apakah mereka

Ahmad Zaki Mubarak, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al- Qur‟an Kontemporer “a la” M. Syahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), h. 11.

pantas atau memiliki otoritas untuk mengkaji al- Qur‘an? Apa motif-motif yang mendorong mereka untuk melakukan kajian terhadap al- Qur‘an?

Secara historis, menurut Hartmut Bobzin, berdasarkan apa yang disebut dengan perjanjian ‗Umar ibn Khattâb, non-Muslim dulu dilarang untuk mengajarkan al- Qur‘an kepada anak-anak mereka. Dari sisi ini dapat diambil kesimpulan, bahwa umat Islam pada umumnya tidak tertarik untuk memperbolehkan non-Muslim untuk

mengkaji al- 105 Qur‘an. Kondisi ini kelihatannya terwariskan dalam sebagian kalangan sarjana Muslim hingga sekarang.

Penolakan terhadap aktivitas non-Muslim dalam kajian al- Qur‘an disebabkan oleh kekhawatiran akan dampak motivasi dan tujuan yang tidak baik dari orientalisme kepada Islam. Beberapa studi terhadap kajian al- Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat memang menunjukkan dominannya motivasi dan tujuan dimaksud. Beberapa hasil penelitian terhadap kajian-kajian orientalis seperti yang telah disampaikan oleh Fazlur Rahman dalam Major Themes of The Qur‟an di atas, kemudian oleh Muẖammad Musthafâ al-A ʻzhamî, dalam The History of The Qur‟anic Text: from Revelation to Compilation, a Comparative Study with the Old and New Testaments , yang hampir memastikan bahwa semua orientalis, meskipun dengan kadar yang berbeda, memiliki

motivasi dan tendensi yang berseberangan dengan tradisi Islam, 106 demikian juga dengan Mu ẖammad Husain ʻAlî al-Shaghîr, dalam al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-

Qur‟âniyyah, yang menyebutkan bahwa kajian orientalis terhadap al-Qur‘an, secara khusus, dan kajian terhadap Islam, pada umumnya, didorong oleh motivasi

105 Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, Vol. 4, h. 235-253. Lihat juga Andrew Rippin, ―Western

Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to the Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 237. 106

Mu ẖammad Musthafâ al-Aʻzhamî, The History of The Qur‟anic Text: from Revelation to Compilation, a Comparative Study with the Old and New Testaments , (terj.), (Jakarta: Gema Insani, 2005). h. 335-379.

penyebaran agama, imperialisme dan kolonialisme, di samping motivasi ilmiah, 107 semakin memperkuat kekhawatiran tersebut.

Di samping itu, karena kebanyakan sarjana non-Muslim tidak mengakui al- Qur‘an sebagai firman Allah. Adalah hal yang tidak mengherankan apabila dalam karya sarjana-sarjana non- Muslim ditemukan pernyataan seperti, ―Al-Qur‘an adalah perkataan atau ucapan Muhammad‖, 108 dan ungkapan-ungkapan lain yang senada. Dan karena tidak mengakui al- Qur‘an sebagai firman Allah, mereka juga tidak memperlakukan al- 109 Qur‘an sebagai kitab suci, melainkan sebagai dokumen literer. Yang demikian itu tentu saja melukai perasaan umat Islam karena secara fundamental bertentangan dengan keyakinan umat Islam itu sendiri.

Secara metodologis, kajian Islam oleh non-Muslim memang akan selalu menghadapi resistensi, tantangan dan gugatan. Hal ini karena, seperti yang diungkapkan oleh Abdul Rauf, berdasarkan data sejarah, agak susah – bahkan tidak mungkin 110 – bagi seseorang untuk mempelajari agama orang lain. Fazlur Rahman

mengakui kritik Abdul Rauf tersebut, namun ia menyatakan bahwa hal tersebut hanya berlaku bagi kalangan orientalis dan non-Muslim yang mendekati dan mengapresiasi Islam tanpa didukung oleh pengetahuan yang memadai, namun hanya berdasarkan

atas praduga-praduga. 111 Namun demikian, di tengah arus penolakan tersebut, beberapa sarjana Muslim seperti Mu ẖammad Amîn al-Khûlî (1895-1966) yang

menggemakan bahwa al-Qur ‘an merupakan ―kitab berbahasa Arab yang terhebat dan karya sastra yang terpenting ‖ (kitâb al-„arabiyya al-akbar wa atsaruhâ al-a„al-adabî

Lihat Mu ẖammad Husain ʻAlî al-Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-Qur‟âniyyah, (Beirut: Dâr al-Muarrikh al-

ʻArabi, 1999), Cet. I, h. 13-18.

Lihat H.A.R. Gibb, Mohammadanism: A Historical Survey, (London: Oxford Press, 1950),

h. 35.

Lihat Helmut Gätje, The Qur‟an and Its Exegesis: Selexted Texts with Classical and Modern Muslim Tradition , terj. Alford T. Welch, (London: Routledge & Kegal Paul, 1976), h. 42-43. 110 Muhammad Abdul Rauf, ―Outsider‘s Interpretation of Islam: A Muslim Point of View‖,

dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: The University of Arizona, 1985), h. 185.

111 Fazlur Rahman, ―Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay‖, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, h. 197.

al- 112 a„zham), dan Nashr Hâmid Abû Zaid (l. 1943) dengan pernyataannya bahwa al- Qur‘an adalah ―teks bahasa‖ (nashsh lughawî) sebagaimana teks-teks yang lain yang

disusun oleh manusia, 113 secara terang ingin membuka ruang bagi setiap orang untuk mengkaji al- Qur‘an tanpa melihat latar keagamaannya, apakah ia Muslim atau bukan.

Memang bila dicermati, dalam al- Qur‘an sendiri terdapat perintah yang ditujukan kepada kaum Muslim untuk memberi kesempatan kepada non-Muslim untuk mendengarkan al- Qur‘an, dengan harapan mereka dapat menangkap makna dan pesan-pesannya. 114 Ini berarti terbuka kemungkinan bagi pemahaman yang benar dari

mereka. Dan kenyataan membuktikan adanya orang-orang non-Muslim yang masuk Islam setelah mendengar atau mengkaji al- 115 Qur‘an.

Setiap Muslim harus dapat menerima pendapat yang baik dan benar dari siapa pun, karena Islam sangat terbuka dan mengingatkan bahwa kebenaran harus menjadi milik Muslim dari mana pun sumbernya. Kaum Muslim juga harus dapat menerima kritik yang dilontarkan oleh siapa pun dengan lapang dada, dan mendiskusikannya, lalu menerimanya selama tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip serta rincian ajaran

112 Lihat Mu ẖammad Amîn al-Khûli, Manâhij al-Tajdîd fî al-Na ẖ wi wa al-Balâghah wa al- Tafsîr wa al-Adâb , (Beirut: Dâr al-Ma ʻrifah, 1961), h. 303, dan Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-

Nashsh: Dirâsah fî ʻ Ulûm al- Qur‟ân, (Kairo: al-Haiʻah al-Mishriyah al-ʻÂmmah li al-Kitâb, 1993), h. 12-13.

113 Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh, h. 27-28. Pernyataan Nashr Hâmid Abû Zaid yang kontradiktif dengan keyakinan mayoritas umat Isam ini tentu saja mendapat protes dari kalangan

Ulama, di antaranya adalah seorang guru besar Universitas al-Azhar, Mohammed Abu Musa, yang mengecam pendapatnya dengan mengatakan bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada seorang pun yang menggunakan istilah ―teks‖ ketika merujuk kepada al-Qur‘an selain sebagaimana yang digunakan Tuhan sendiri, seperti âyat dan sûrah. Hanya orientalis yang mengatakan al- Qur‘an adalah teks. Hal ini sebagaimana diakui oleh Nashr Hâmid Abû Zaid dalam, al-Nashsh, al-Shulthah, al-Haqîqah, terj. Dede Iswadi, dkk., (Bandung: RQiS, 2003), h. 86.

114 Baca Q.S. al-Taubah (9): 6.

Sebagai contoh adalah ʻUmar ibn al-Khattâb (w. 24/644) yang memeluk Islam setelah membaca Q.S. Thâhâ (20): 1-2. Labid ibn Rabi ʻa, seorang maestro penyair Arab, yang menggantungkan syair- syair gubahannya di depan pintu Ka‘bah sebagai ajang unjuk kemampuan menggubah syair di kalangan masyarakat Arab, juga masuk Islam setelah membaca beberapa ayat yang digantung di atas pintu Ka‘bah oleh pengikut Nabi Muhammad. Navid Kermani, Gott ist Schön, Das Aesthetische Erleben des Koran , sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur ‟an Kitab Sastra Terbesar , (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), h. 74, 80-81.

agama yang bersifat pasti, karena sebagaimana telah dikemukakan di atas, non- Muslim dapat meraih kebenaran dari bacaannya terhadap ayat-ayat al- Qur‘an.