ANALISIS MUSIBAH DALAM AL-QUR’AN

BAB IV ANALISIS MUSIBAH DALAM AL-QUR’AN

A. Sikap Menghadapi Musibah Setiap manusia yang hidup di dunia akan mengalami hal yang sama, baik beriman maupun kafir terhadap Allah, yakni akan mengalami berbagai macam musibah. Perbedaannya adalah bagaimana mereka dapat memahami hakekat musibah itu sendiri

kemudian bagaimana mensikapinya. 222 Sebagai orang yang beriman kepada Allah dan ketentuan-ketentuan-Nya, mereka tahu bahwa

musibah apapun yang menimpanya adalah bagian dari Qadha dan Qadar-Nya. Seperti firman-Nya dalam al-Qur'an surah al-Hadîd [57]; ayat 22,

(Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah).

Al-Syaukâni menafsirkan musibah dalam ayat tersebut di atas, bahwa segala sesuatu menimpa hamba-hamba Allah itu sudah tercatat lebih dahulu dan sudah tetap dalam Umm al-Kitab (Lauh al- Mahfûzd ). Kemudian beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa musibah ada dua kategori; pertama, musibah yang terjadi di bumi seperti kemarau panjang, banjir, gempa dan agin ribut dan lain-lain, kedua,

222 Syaikh Sa'id bin 'Ali bin Wahft al-Qahthâni, Penyejuk Hati di Tengah Panasnya Musibah (terjemahan), (Jakarta:Pustaka al-Tibyan, 2008), hlm 1 222 Syaikh Sa'id bin 'Ali bin Wahft al-Qahthâni, Penyejuk Hati di Tengah Panasnya Musibah (terjemahan), (Jakarta:Pustaka al-Tibyan, 2008), hlm 1

Kedua macam musibah tersebut di atas, baik musibah yang terjadi di bumi berupa bencana alam maupun yang terjadi pada diri manusia itu sendiri pada dasarnya adalah sama, yakni berakibat pada penderitaan jiwa. Kemarau panjang, banjir, gempa dan agin ribut dan sebagainya ketika menimpa jiwa juga mengakibatkan manusia mengalami kesusahan, mereka dapat kelaparan, terserang penyakit atau bahkan meninggal oleh bencana alam tersebut.

Untuk dapat mensikapi macam-macam musibah tersebut di atas, supaya tidak terjadi kekeliruan, siapapun orangnya terlebih

dahulu harus mengetahui secara benar tujuan dari diturunkannya musibah kepada manusia. Apakah musibah itu berbentuk ujian, peringatan atau hukuman (azab)? Dari pola ini, maka dapat diformat secara sistematis bagaimana mensikapi musibah dengan benar.

1. Mesikapi Musibah dalam Bentuk Ujian Musibah dalam bentuk ujian, apabila dilihat dari sebab- musababnya adalah bukan dari kesalahan atau perbuatan dosa manusia. Tetapi murni dari Allah swt. untuk mengetahui kebenaran dari

pernyataan orang-orang yang sudah menyatakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Ankabût [29]: 2 dan 3 berikut;

ْﺪ َﻘَﻟَو . َنﻮ ُﻨَﺘْﻔُﯾ ﺎ َﻟ ْﻢ ُھَو ﺎ ﱠﻨَﻣاَء اﻮ ُﻟﻮُﻘَﯾ ْنَأ اﻮ ُﻛَﺮْﺘُﯾ ْنَأ ُسﺎ ﱠﻨﻟا َﺐِﺴَﺣَأ ﱠﻦَﻤَﻠْﻌَﯿ َﻟَو اﻮُﻗَﺪ َﺻ َﻦﯾِﺬ ﱠﻟا ُﮫ ﱠﻠﻟا ﱠﻦَﻤَﻠْﻌَﯿ َﻠَﻓ ْﻢِﮭِﻠْﺒ َﻗ ْﻦ ِﻣ َﻦﯾِﺬ ﱠﻟا ﺎ ﱠﻨَﺘَﻓ ( ٣ - ٢ : تﻮﺒﻜﻧﻷا ) َﻦﯿِﺑِذﺎَﻜْﻟا

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji

223 Al-Syakâni, Fath al-Qadîr al-Jâmi' baina fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min Ilm al-Tafsîr Juz V , (Biarut: Dar al-Fikr, tt), hlm 176.

lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.

Musibah juga ditimpakan untuk dapat mengetahui kafasitas keimanan manusia sehingga dapat diketahui siapa yang mau berkorban dalam perjuangan di jalan Allah dan siapa yang dapat bersabar dalam menghadapi musibah, kemudian siapa yang buruk amalnya diantara manusia. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Muhammad [47] ayat

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.

Oleh sebab itu musibah dalam bentuk ujian ini, kadarnya sangat bergantung pada kadar keimanan dan kemampuan yang dimiliki si penerima musibah. Karena Alllah tidak pernah memberikan sesuatu beban kepada seseorang, kecuali ada dalam batas kemampuannya. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qurán dalam surah al-Baqarah [2]: ayat 286 berikut:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Menurut salah satu pendapat seorang mufassir yang dimaksud kemampuan dalam ayat di atas bukan pada Menurut salah satu pendapat seorang mufassir yang dimaksud kemampuan dalam ayat di atas bukan pada

buruknya. 224 Karena apabila yang kedua yakni menerima akibat dari perbuatan buruk atau kesalahan atau dosa-dosa

yang telah dilakukannya manusia tidak akan mampu lagi untuk memikulnya atau menolaknya. Hukuman atau azab Allah swt. adalah sangat keras, sebab itu Jibril as. menyuruh kepda Nabi Muhammad saw. berdo'a kepada Allah, kemudian

Nabipun berdo'antara "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".

Dengan demikian orang yang paling banyak mendapatkan musibah dalam bentuk ujian adalah orang yang paling tinggi kadar keimannya, dalam hal ini adalah para Nabi dan para Rasul Allah swt. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Al-Turmudzi dalam kitab al- Sunannya;

224 Al-Thabâri, Jâmi' al-Bayân min Ta'w î l Ayi Al-Qur'an Juz III, (Bairut:Dar Al- Fikr, 1405 H), hlm. 425

Dari Mush á d bin Sa'ad dari bapaknya berkata, saya bertanya, "Ya Rasulullah! Manusia yang mana yang paling berat ujiannya?" Beliau menjawab, "Para Nabi, kemudian orang- orang yang setingkat (iman dan amalnya), lalu orang-orang yang setingkat. Seorang laki-laki akan diuji sesuai dengan tingkat keagamaannya, lalu jika agamanya itu kuat maka ujiannya akan berat. Dan jika keyakinan agamanya itu lemah maka

dengan tingkat keagamaannya. Ujian itu akan terus-menerus menimpa

seoarang hamba Allah swt. sehingga ia tidak lagi berbuat kesalahan di muka bumi" (H.R. Turmudzi)

Lalu bagaimana manusia mensikapi musibah dalam bentuk ujian ini? Al-Qur'an menjelaskan sikap manusia dalam menghadapi musibah, terbagi menjadi empat tingkatan sebagai berikut:

Pertama, marah. Tingkatan manusia yang paling buruk ketika menghadapi musibah adalah sikap marah baik dengan hatinya seperti benci terhadap Rabbnya dan marah terhadap taqdir-Nya yang menimpa atasnya. Allah berfirman dalam surah al-Nisâ' [4]: 78 berikut:

dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah".

Al-Qurthûbi menjelaskan bahwa ayat ini sangat terkait dengan sikap orang-orang munafik yang apabila mereka mendapatkan nikmat, maka mereka mengatakan ini dari Allah swt. dan kalau mendapatkan keburukan dan kesulitan mereka menimpakan kesalahan kepada Nabi Muhammad saw. dan

kaum muslimin. 225 Padahal semua musibah hakekatnya datang dari Allah swt.

Sikap marah, kesal dan kesedihan yang berlebih-lebihan ketika ditimpa musibah, dengan menampakkan melalui

lisannya seperti menyeru dengan kecelakaan, kebinasaan dan yang sejenisnya. Atau marah dengan anggota badannya seperti

menampar

saku baju, menarik-narik (menjambak) rambut, membenturkan kepala ke tembok dan yang sejenisnya adalah dilarang oleh Rasulullah saw. sebaggaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh beberapa Iman Bukhari, Imam Muslim dan juga yang lainnya, melalui Abdullah Ibn. Mas'ûd sebagai berikut:

pipi,

merobek

Dari Abdillah ra., berkata; Rasulullah saw. bersabda: "Bukan termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar pipinya sendiri, menyobeki saku pakaiannya, dan meratap dengan ratapan orang-orang jahiliyah"

225 Al-Qurthubi, Al-Jâmi'li Ahkâm... Juz V, hlm. 284. lihat surah al-Isra' [17]: 83, Fussilat [41]:49,

226 Hadis ini diriwayatkan dalam kitab Shahih Bukhari hadis no. 1212. Shahih Muslim hadis no. 920, Sunan al-Turmudzi, hadis no. 920, Sunan al-Nasaí, hadis no.

1827,1829,1841, sunan Ibn Majah hdis no. 1573 dan Musnad Imam Ahmad hadis no. 2476,2902,2997,4131,4198

Kadang-kadang sikap marah mereka terhadap musibah yang menimpanya, juga sampai kepada tingkat kekufuran. 227

Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Hajj [22]: 11;

Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.

Mereka jika ditimpa fitnah yakni kesulitan dalam urusan dunia dan segala sesuatu yang dapat menyebabkan penderitaan dunia, maka ia akan berbalik ke belakang yakni keluar dari agama Islam. Mereka beranggapan bahwa setelah memeluk agama Islam hidup mereka di dunia selalu mendapatkan

berbagai macam kesulitan dan penderitaan 228 . Dengan musibah menyebabkan mereka menjadi kafir.

Kedua, sabar. Al-Qurán menegaskan mensikapi musibah dalam bentuk ujian harus disikapi dengan sabar, mengucapkan kalimat istirjâ' dan berdoá untuk mendapatkan ganti yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah [2] ayat 155 – 156;

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,

227 http://www.ahlussunnah-jakarta.com/buletin_detil.php?id=41 228 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur â n al-Azh î m I, (Bairut: Dar al-Fikr, 1401 H), hlm. 21.

mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun")

Orang-orang yang sabar adalah orang-orang yang tetap konsisten dengan hukum-hukum Allah dalam menghadapi musibah. Mereka itu apabila ditimpa musibah mengucapkan kalimat, "Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji`ûn " (Sesungguhnya kami milik Allah swt. hamba yang dimiliki dan sesungguhnya

kami pasti akan kembali di akhirat".) 229 Sungguh beruntung umat Muhammad saw. dengan ajaran

kalimat istirjâ' ini, sebab ajaran tersebut tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya. 230 Seperti diriwayatkan dari

Umu Salamah Ia berkata saya mendengar Nabi saw. bersabda, "Tidak ada seorang muslim yang ditimpa musibah lalu ia mengucapkan apa yang diperintahkan oleh Allah swt. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun, Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah ini dan gantikan bagiku yang lebih baik darinya kecuali Allah swt. akan menggantikan yang lebih baik

darinya yakni mengabulkan do'anya 231 . Kalimat istirjâ' tersebut di atas memiliki dua prinsip

keimanan yang sangat mendasar bagi seseorang yang ditimpa musibah. 232 Pertama, seorang hamba memastikan bahwa

dirinya,

anak-anaknya sesungguhnya adalah milik Allah swt. semata. Sesungguhnya semuanya dijadikan oleh Allah sebgai pinjaman kepadanya.

229 Al-Baghâwi, Ma’âlim al-Tanz î l Juz I, (Bairut: Dar al-Ma'rifah, 1987) cet. Ke 2 hlm 130.

230 Al-Qurthubi, Al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân Juz II, (Kairo: Dar al-Nasyr, 1372H) cet. Ke 2 hlm 176.

231 Al-Qurthubi, Al-Jâmi' ...Juz II, hlm. 175 232 Imam Ibn Muhammad al-Manbanji, Tasliyah Ahl al-Musha'ib, Edisi Terjemah:

Saifudin Zuhri, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005) cet. Ke 1, hlm. 23

Jika Dia mengambil semua itu darinya, maka Dia seperti seorang yang meminjamkan sesuatu barang dan mengambilnya kembali dari pihak yang meminjamnya. Prinsip ini mejuga memastikan bahwa dirinya diliputi oleh dua ketiadaan, yakni ketiadaan sebelumnya dan ketiadaan sesudahnya. Sementara itu apa yang dimilikinya saat ini hanyalah barang pinjaman untuk jangka waktu yang pendek. Lagi pula ia bukanlah yang menciptakan dirinya dari ketiadaan hingga menjadi miliknya yang sejati. Juga ia bukanlah pihak yang menjaganya dari

berbagai penyakit setelah keberadaannya, karena ia tahu tidak memiliki pengaruh dan sama sekali tidak mempunyai hak

kepemilikan yang sebenarnya. Kedua, adanya kesadaran bahwa tempat kembali seorang hamba dan persinggahan terakhirnya hanyalah Allah swt. semata, sebagai Pelindungnya yang sejati. Kelak suatu saat - entah kapan – ia pasti akan meninggalkan dunia ini dan akan datang mengahadap Tuhannya di hari kiamat secara individu, sebgaimana Tuhan menciptakannya pertama kali dalam keadaan tanpa keluarga, harta dan kerabat. Dan ia akan datang kepada Tuhannya dengan membawa segenap kebajikan dan keburukannya. Jika memang demikian halnya kondisi awal dan akhir seorang hamba, maka mengapa ia harus merasa gembira dengan anaknya, hartanya, dan berbagai kesenangan duniawi lainnya, atau dia harus merasa sedih atas sesuatu yang hilang? Dengan demikian pemikiran seorang hamba tentang awal dan akhir perjalanannya akan menjadi terapi besar bagi hamba yang tertimpa musibah.

Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa sikap sabar dalam menghadapi musibah, terkadang menjadi bias maknanya – Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa sikap sabar dalam menghadapi musibah, terkadang menjadi bias maknanya –

Allah swt. berfirman dalam surah Âli Imrân [7]: ayat 146 sebagai berikut:

Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.

Ditegaskan dalam ayat di atas bahwa Allah swt. mencintai orang-orang yang sabar. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tiga ciri utama, yaitu: tidak lemah, tidak mengeluh capai dan tidak menyerah dalam mensikapi setiap bencana yang menimpanya ketika berjuang di jalan Allah. Kesabaran seseorang dalam menghadapi musibah ujian terbesar yakni mempertahankan agama dituntut untuk tidak menyerah sampai titik darah penghabisan, sekalipun harus mengorbankan jiwa . Sebagaimana diperintahkan oleh Allah swt. dalam surah Âli Imrân [3] ayat 200 sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.

Menurut salah satu pendapat sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Jarîr, ayat di atas merupakan perintah yang dialamatkan kepada orang-orang yang beriman untuk dapat sabar dalam mempertahankan agama Allah swt, lalu menambah kesabarannya dalam menanti janji Allah untuk mereka, dan tetap dalam kersabaran samapai titik darah penghabisan ketika menghadapi musibah peperangan di jalan

Allah. 233 Ketiga, ridha. Apabila seseorang ditimpa musibah, lalu

dinasihatkan untuk bersabar wajarlah nasehat tersebut diterima dengan mudah. Lalu bagaimana apabila dinasihatkan untuk menerima musibah tersebut dengan ikhlas dan ridha, kiranya sulit untuk diterima – apa lagi musibah tersebut terjadi bukan atas kesalahannya, tapi justru setelah ia berkorban untuk ketaatannya kepada Allah swt. – kecuali bagi orang-orang yang beriman kepada qadha dan qadar Allah swt. lagi mengetahui bahwa musibah tersebut adalah bentuk ujian untuk meningkatkan derajatnya. Sebagaimana berfirman-Nya dalam surah al-Taghâbun [64]: 11;

233 Al-Thabâri, Jâmi'' al-Bayân .... Juz IV, hlm. 221

Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Menurut Álqamah dari Ábdillah bahwa firman yang menyatakan "barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya " adalah

orang yang apabila ditimpa musibah dia ridha dan mengetahui benar bahwasannya musibah yang menimpanya itu datangnya

dari Allah swt. 234 Siapa yang ditimpa musibah lalu dia mengetahui

bahwasannya musibah itu adalah bagian dari qadha dan qadar- Nya kemudian dia bersabar dan tetap berusaha untuk menerima dengan ikhlas dan ridha ketetentuan tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk dalam hatinya dan juga akan menggantikan apa yang hilang dari urusan dunianya. Dia akan terang hatinya, mempunyai keyakinan yang benar dan bisa jadi apa yang dulu hilang akan digantikan dengan yang lebih baik

darinya 235 . Dan ini lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu dua perkara

tadi (ada dan tidak adanya musibah) di sisinya adalah sama ketika dinisbahkan/disandarkan terhadap qadha dan qadar (taqdir/ketentuan Allah) walaupun bisa jadi dia bersedih karena musibah tersebut, Karena sesungguhnya dia adalah seseorang yang sedang berjalan dalam qadha dan qadar,

234 Shahih Bukhari dalam kitab Tafsîr al-Qurán 235 Ibn Katsîr, Tafsîr .... , hlm. 376 234 Shahih Bukhari dalam kitab Tafsîr al-Qurán 235 Ibn Katsîr, Tafsîr .... , hlm. 376

Keempat, bersyukur. Ini adalah derajat yang paling tinggi, yaitu dia bersyukur kepada Allah atas musibah yang

menimpanya dan jadilah dia termasuk dalam golongan hamba- hamba Allah yang bersyukur ketika dia melihat bahwa di sana terdapat musibah yang lebih besar darinya, dan bahwasanya musibah-musibah dunia lebih ringan daripada musibah- musibah agama, dan bahwasanya 'azab dunia lebih ringan daripada 'azab akhirat, dan bahwasanya musibah ini adalah sebab agar dihapuskannya dosa-dosanya, dan kadang-kadang untuk menambah kebaikannya, maka dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut.

Allah berfirman dalam surah al-Syûrâ [42]:30

(Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).

Ayat tersebut di atas ketika diturunkan, Rasulullah saw. bersabda, "Demi Dzat yang Menggenggam Jiwa Muhammad, Ayat tersebut di atas ketika diturunkan, Rasulullah saw. bersabda, "Demi Dzat yang Menggenggam Jiwa Muhammad,

itu". 236 Kemudian Ikrimah ra. juga menjelaskan - terkait dengan ayat ini - bahwa bencana apapun yang menimpa

seorang hamba yang disebabkan oleh perbuatan dosanya, apabila Allah swt. hendak menganpuninya atau hendak mengangkat derajatnya maka ditimpakan padanya musibah, dan dengan musibah itulah seorang hamba dapat memperoleh

ampunan dari dosa-dosanya serta terangkat derajatnya 237 . Rasulullah saw. bersabda:

Dari 'Aisyah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda "Tidaklah seorang mukmin ditimpa tersusuk duri atau lebih berat dari itu kecuali Allah akan mengangkat derajatnya atau menghapuskan kesalahannya." (HR. Muslim)

2. Mesikapi Musibah dalam Bentuk Peringatan Musibah dalam bentuk peringatan terjadi menimpa manusia adalah akibat kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh umat manusia. Allah swt. menimpakan musibah dalam bentuk ini dengan tujuan supaya mereka dapat segera menyadari kesalahannya dan kembali ke jalan yang benar. Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qurán surah al-Rum [30] ayat 41 sebagai berikut;

236 Al-Baghâwi, Ma’âlim ... Juz IV, hlm. 128 237 Al-Baghâwi, Ma’âlim ... Juz IV, Ibid

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Perbuatan-perbuatan manusia yang enggan melakukan perintah Allah swt. dan senang melanggar larangan-Nya, seperti menabur fitnah, menggunduli hutan, membuang sampah di sungai, menguji-coba senjata berat, memburu binatang secara membabi buta dan lain-lainnya akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang luar biasa dampaknya terhadap siklus alam, yang pada gilirannya berakibat pada datangnya bala bencana yang bertubi-tubi yang terjadi di daratan dan di lautan, tempat tinggal dan tempat umat manusia mencari nafkah. Sehingga di satu tempat terkena banjir bandang di belahan bumi lain kekeringan, tanah lingsor, kebakaran hutan, banjir air laut (rob), kecelakaan transportasi darat, laut dan udara, perampokan, pembunuhan mutilasi, perang dan seterusnya, sehingga hampir setiap menit menjadi sajian yang memilukan hati terutama bagi yang terkait dengan musibah tersebut. Musibah bala bencana seperti itu dijadikan oleh Allah swt. agar menjadi pelajaran bagi umat manusia sehingga mereka dapat kembali ke jalan yang benar. Jalan yang mengakibatkan kemaslahatan dan jalan yang mendapat ridha Allah swt.

Jalan terbaik mensikapi musibah dalam bentuk peringatan adalah dengan cara menerimanya secara ikhlas, lalu Jalan terbaik mensikapi musibah dalam bentuk peringatan adalah dengan cara menerimanya secara ikhlas, lalu

Muhasabah (introspeksi) pada jiwa ada dua macam: pertama, muhasabah sebelum beramal, yaitu hendaknya seseorang menahan diri dari keinginan dan tekadnya untuk beramal, tidak terburu-buru berbuat hingga jelas baginya bahwa jika ia mengamalkannya akan lebih baik daripada meninggalkannya. Kedua, muhasabah setelah beramal, ini terbagi lagi dalam tiga bentuk: (1). Muhasabah pada amal

ketaatan yang ia tidak memenuhi hak Allah padanya, di mana ia tidak melakukannya sebagaimana semestinya. Hak Allah

Subhanahu wa Ta'ala pada sebuah amal ketaatan ada enam: ikhlas dalam beramal, niat baik kepada Allah, mengikuti Rasulullah saw., berbuat baik padanya, mengakui nikmat Allah, menyaksikan adanya kekurangan pada dirinya dalam beramal. Setelah itu semua maka ia memuhasabah dirinya, apakah ia memenuhi hak-hak itu dan apakah ia melakukannya ketika melakukan ketaatan itu? (2). Muhasabah jiwa dalam setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan. (3). Muhasabah jiwa dalam perkara yang mubah atau yang biasa. Mengapa ia melakukannya? Apakah ia niatkan karena Allah dan negeri akhirat, sehingga ia beruntung? Atau ia inginkan dengannya dunia dan balasannya

yang cepat sehingga ia kehilangan keberuntungan itu? 238 Adapun pokok-pokok materi muhasabah adalah pada

amalan wajib, kalau ia ingat ada kekurangan pada dirinya maka segera menutupinya, mungkin dengan meng-qadha atau

238 http://www.ahlussunnah-jakarta.com/buletin_detil.php?id=26 238 http://www.ahlussunnah-jakarta.com/buletin_detil.php?id=26

dilakukan oleh kedua tangannya, dan pada perkara yang didengar oleh kedua telinganya; apa yang engkau niatkan

dengan ini? Demi siapa engkau melakukannya? Bagaimana engkau melakukannya?

Kemudian setelah mengetahui kesalahan-kesalahannya segera bertaubat (kembali) pada jalan yang benar dengan

taubat al-Nashûha 239 , yakni tabat dengan sebenar-benar taubat. Selanjutnya memperbanyak membaca istighfar. Sebab musibah

dalam bentuk peringatan merupakan akibat kesalahan ataupun kelalaian yang telah diperbuat oleh manusia. Allah swt. melalui kasih sayang-Nya bermaksud mengembalikan mereka pada jalan yang benar. Dan bagi orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah swt. (muslim), niscaya Dia akan menghapuskan dosa-dosanya.

Rasulullah saw. bersabda:

239 http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=284878&kat_id=49 (Minggu, 04 Maret 2007, Peringatan atau Azab? Oleh Oleh : KH Didin Hafidhuddin )

Sesungguhnya 'Aisyah ra. – Istri rasulullah saw. – berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim kecuali Allah akan hapuskan (dosanya) karena musibahnya tersebut, sampai pun duri yang

menusuknya 240 ." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Bertaubat dan banyak beristighfar kepada Allah swt. adalah jalan yang paling tepat, bagi seseorang atau suatu kaum

yang ditimpa musibah dalam bentuk peringatan atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Sebab kebahagian dan kenikmatan pasti akan deberikan sebagai balasan bagi orang yang telah berbuat kebaikan dan sebaliknya beban penderitaan dan kepedihan akan ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat

kesalahan. 241 Taubat berarti kembali ke jalan yang benar. Kembali kepada jalan Allah swt. yang memiliki qadha dan

qadar

taubatan nashûha . Sebagaimana perintah-Nya dalam surah alTahrim [66]: 8,

dengan

semurni-murninya,

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya

240 Dalam Shahih Bukhari hadis ini disebutkan sekali yakni tedapat dalam kitab al- Mardha, bab Ma Ja'a fi Kafarat al-Maradh, hadis nomor:5209, sementara dalam Shahih

Muslim disebutkan sampai emam kali, terdapat dalam kitab Al-Birru wa al-Shilah wa al- Adab, hadis nomor 4664 – 4669.

241 ﺖﺒﺴﺘﻛﺍ ﺎﻣ ﺎﻬﻴﻠﻋﻭ ﺖﺒﺴﻛ ﺎﻣ ﺎ ﳍ (surah al-Baqarah [2]: 286) 241 ﺖﺒﺴﺘﻛﺍ ﺎﻣ ﺎﻬﻴﻠﻋﻭ ﺖﺒﺴﻛ ﺎﻣ ﺎ ﳍ (surah al-Baqarah [2]: 286)

Taubat nashûha yang dimaksud dalam ayat di atas adalah taubat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Taubat yang telah memenuhi syarat-syaratnya, yakni meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha melakukan perbuatan baik untuk mengganti keburukan yang

telah dilakukannya. 242 Dengan bertaubat kembali kepada ketakwaan kepada Allah swt. dan memprerbanyak membaca istighfar, maka Allah

swt. akan memberikan berkah dan rahmat-Nya kepada mereka. Sebaliknya apabila mereka tidak malah mendustakan kebenaran-kebenaran dari ayat-ayat-Nya, maka peringatan tersebut akan berlanjut menjadi azab yang pedih. Allah swt. berfirman dalam surah al-'Arâf [7]: 96 sebagai berikut;

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Dibukanya berkah Allah swt. dari langit dan bumi dapat diartinya sebagai diangkatnya semua bentuk bala bencana dan digantikannya dengan berbagai karunia nikmat. Dari langit Dia

242 Dr. Fadhl Ilahi, http://www.assunnah.or.id/artikel/masalah/55taubat.php 242 Dr. Fadhl Ilahi, http://www.assunnah.or.id/artikel/masalah/55taubat.php

bertaubat dan bertakwa kepada-Nya. Dengan banyak membaca istighfar, maka akan mengalir

juga berkah dan rahmat Allah swt., kemudahan-kemudahan dalam menjalani hidup di dunia yang fana ini. Seperti dinyatakan dalam firman-Nya sebagai berikut:

ْﻢُﻜْﯿ َﻠَﻋ َءﺎَﻤﱠﺴ ﻟا ِﻞ ِﺳْﺮُﯾ . اًرﺎ ﱠﻔَﻏ َنﺎ َﻛ ُﮫ ﱠﻧِإ ْﻢ ُﻜﱠﺑَر اوُﺮِﻔْﻐَﺘ ْﺳا ُﺖ ْﻠُﻘَﻓ ْﻢ ُﻜَﻟ ْﻞ َﻌْﺠَﯾَو ٍتﺎ ﱠﻨَﺟ ْﻢ ُﻜَﻟ ْﻞ َﻌْﺠَﯾَو َﻦﯿ ِﻨَﺑَو ٍلاَﻮْﻣَﺄِﺑ ْﻢُﻛْدِﺪْﻤُﯾَو . اًراَرْﺪِﻣ ( ١٢ - ١٠ : حﻮﻧ ) اًرﺎَﮭْﻧَأ

maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, --sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun--, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai.

3. Mensikapi Musibah dalam Bentuk Hukuman (Azab) Musibah dalam bentuk hukuman atau azab dapat terjadi di dunia dan di akhirat. Untuk hal yang ke dua, yakni musibah dalam bentuk azab Allah swt. dijelaskan dalam surah al- Qashash [28]: ayat 47 sebgai berikut:

Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan jadilah kami termasuk orang-orang mu'min"

Musibah dalam bentuk siksaan dan azab di atas ditimpakan kepada orang-orang kafir yang disebabkan oleh

apa yang mereka kerjakan sewaktu hidup di dunia seperti kemusyrikan 243 dan kemaksiatan-kemaksiatan lainnya.

Musibah dalam arti azab tersebut akan terjadi di akhirat dimana pengaduan mereka sudah tidak ada lagi gunanya.

Adapun musibah dalam bentuk azab yang disegerakan, yakni terjadi di dunia, seperti sudah dijelaskan dalam bab II, akan menimpa umat manusia apabila bentuk-bentuk kemaksiatan telah merajalela di dalam suatu bangsa. Azab yang disegerakan ini akan menimpa umat manusia secara menyeluruh termasuk kaum muslimin. Sebagaimana firman Allah swt.,

Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.

243 Al-Baghâwi, Ma’âlim ... Juz III, hlm. 448, Al-Syakâniy, Fath al-Qadîr al- Jâmi'' Baina al-Riwayah wa al-Dirayah fi 'Ilmi al-TafsîrJuz IV , (Bairut: Dar al-Fikr, tt)

Hlm. 176, al-Qurthubi, Al-Jâmi' ... Juz IIIX, hlm. 292.

Fitnah yang berarti azab atau siksaan dalam ayat tersebut tidak hanya menimpa orang-orang yang berbuat kezhaliman tetapi juga menimpa orang-orang yang beriman. Sayyid Quthb menjelaskan bahwa sebab terjadinya siksaan yang juga menimpa orang-orang yang beriman tersebut adalah karena mereka tidak lagi melakukan amar makruf nahi

mungkar 244 yang menjadi kewajiban bagi setiap muslim. Lalu bagaimana mensikapi musibah dalam bentuk azab

ini? Sebagai seorang muslim yang taat dan istiqamah dalam beragama, ia harus dapat menerima ketentuan-ketentuan Allah

swt. dengan ikhlas. Dan ia juga harus tetap mensikapi musibah ini seperti halnya mensikapi musibah-musibah dalam bentuk ujian dan peringatan yang sudah dijelaskan sebelumnya dengan ditambahkan tetap bersabar untuk melakukan amar makruf nahi mungkar yang menjadi kewajibannya. Karena dengan alasan apapun Ia tidak dibenarkan meninggalkan kampung halamannya untuk lari dari perjuangan menegakkan agama Allah swt. ia harus tetap berjuang dan mengharapkan pertolongan dan rahmat-Nya. Karena Orang-orang shaleh, taat beribadah dan istiqamah dalam agamanya yang terdapat pada kaum (bangsa) yang ditimpa azab Allah swt. yang disegerakan, juga turut ditimpa bencana, tetapi kemudian mereka akan

mendapatkan ampunan dan keridhaan dari-Nya. 245

B. Menaggulangi Musibah

244 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil… Jilid V, hlm. 172 245 Seperti sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ummu

Salamah isteri Nabi saw. VI/ 304 atau no.26122.

Perlu diperhatikan sebelumnya bahwa kapan akan terjadinya suatu musibah adalah suatu perkara yang ghaib, yang mengetahuinya hanyalah Allah swt. Siapapun tidak akan bisa memprediksikan tentang apa-apa yang akan terjadi besok secara pasti, karena ilmu pengetahuan mengenai hal itu hanya milik-Nya. Sebagai contoh seorang yang mengalami kecelakan kendaraan di hari Senin apakah ia bisa mengetahui sehari sebelum terjadi kecelakaan tersebut? Jangankan untuk perhitungan perhari, hitungan perjam pun manusia tidak akan dapat memprediksi apa yang akan terjadi setelahnya.

Sesungguhnya hanya di sisi Allah pengetahuan tentang hari kiamat dan Dialah yang menurunkan hujan dan di sisi-Nyalah ilmunya dan

mengetahui apa yang ada di dalam rahim manusia dan tiada seorangpun yang bisa mengetahui apa yang akan ia usahakan besok

dan tidak seorangpun bisa mengetahui di bumi mana ia akan mati. 246

Disisi lain, manusia telah diberi kebebasan dan kemampuan oleh Allah untuk berikhtiyar yakni memilih dan menentukan pilihan- pilihan yang terbaik baginya, termasuk memilih dan mengambil bagian-bagian yang baik yakni karunia Allah berupa nikmat dan menanggulangi musibah dengan cara mempelajari sebab-musabab terjadinya. Kemudian setelah mengetahui sebab musababnya dalam batas kemampuan yang dimilikinya, ia dapat melakukan tindakan- tindakan yang dapat mencegah terjadinya musibah tersebut. Atau kalau bisa merubah musibah menjadi nikmat, seperti halnya semboyan Ciputra Group "merubah tantangan jadi peluang". Bukan berarti ia lari dari takdir Allah, tetapi mencari dan memilih takdir- takdir Allah yang lain yang dirasa tidak memberatkan atau lebih menyenangkan hatinya. Kemudian setelah kerja keras, berikhtiyar

246 Luqmân [31]: 24 246 Luqmân [31]: 24

Seperti dijelaskan dalam bab II, bahwa musibah dipandang dari tujuan ditimpakannya kepada umat manusia terbagi dalam tiga bentuk, yaitu musibah sebagai ujian, musibah sebagai peringatan dan musibah sebagai hukuman atau azab. Atas dasar klasifikasi tersebut dapat dianalisis bagaimana umat manusia dapat menanggulangi musibah yang menimpanya. Karena dari klasifikasi itu dapat

diketahui sebab-musabab dari terjadinya musibah tersebut. Manusia memang tidak boleh mendahului kehendak Allah untuk menentukan

apa yang akan terjadi. Tetapi setidaknya pengetahuan tentang sebab- musabab terjadinya musibah yang menimpanya dapat dijadikan sebagai data untuk memprediksi kira-kira apa yang bakal terjadi berdasarkan sunnatullah yang ada di sekitarnya.

Secara umum hidup manusia di muka bumi ini sedang menjalani ujian 247 dan akan terus diuji dengan dua materi ujian, bisa berupa

kebaikan (nikmat) bisa juga keburukan (musibah). Allah berfirman,

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.

Ayat di atas menunjukkan tentang kepastian yang akan dialami oleh setiap jiwa yang hidup di dunia ini bahwa mereka akan merasakan pengalaman mati. Dan akan diuji dengan ujian yang menyenangkan dan memberatkannya. Kedua-duanya merupakan

247 Al-Kahfi [18]:7 247 Al-Kahfi [18]:7

penilaian tersebut disertai balasan dan ganjaran sesuai dengan amalan mereka. 249

Tentunya setiap manusia akan lebih senang apabila dikaruniakan nikmat dibanding dengan ditimpakan musibah. Meskipun pada

hakekatnya keduanya merupakan ujian, yang sama-sama beratnya. 250 Sehingga wajar apabila manusia berkeinginan untuk dapat

menanggulangi musibah dalam hidupnya. Bukan berarti ia lari dari takdir Allah, tetapi mencari dan memilih takdir-takdir Allah yang

lain yang dirasa tidak memberatkan atau lebih menyenangkan hatinya.

Jika ujian Allah dalam bentuk musibah yang ditimpakan kepada manusia dianalogikan dengan pelajar dalam menghadapi ujian kenaikan kelas atau ujian akhir untuk menentukan kelulusannya, maka seorang tidak berhak untuk mengetahui materi ujian dalam bentuk apa yang akan diujikan. Akan tetapi ia berhak mengetahui secara umum materi apa saja yang akan diujikan sesuai dengan tingkatan kelasnya. Selanjutnya ia dapat mempelajari dengan cermat materi ujian secara keseluruhan dan ia siap menghadapi setiap materi ujian yang hendak disajikan. Sehingga ia tidak melakukan kesalahan- kesalahan yang berarti, ia lulus dengan mudah tanpa harus mendapatkan peringatan dari pengawas apalagi hukuman.

Sebagai misal musibah kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud. Seperti dijelaskan dalam surah Âli Imrân [3]: 165 sebagai berikut,

248 Ibn Katsîr, Tafsîr ...Juz III., hlm. 179. 249 M. Quraish Shiahab, Tafsîr Al-Misbah … Vol 9. hlm. 451 250 Surah Al-Anbiyâ' [21]: 35

(Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata: "Dari mana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.)

Menurut Al-Maraghiy, penyebab kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud adalah kedurhakaan mereka orang-orang

munafik terhadap Rasulnya, yakni: pertama , sesungguhnya Rasulullah saw. sebelumnya pernah mengatakan, mashlahat hanyalah tetap diam di madinah. Untuk itu janganlah kalian keluar ke Uhud akan tetapi kalian tetap membangkang dan bersikeras untuk keluar dari madinah menuju Uhud. Menurut pendapat Rasulluh saw. kaum muslimin hendaknya tetap diam di Madinah. Apabila kaum musyrikin memasuki Madinah kaum muslimin baru memeranginya di jalan-jalan di mulut gang, dan di sudut-sudut kota Madinah. Kemudian kaum wanita dan anak-anak melempari kaum musrikin dari atas rumah dengan batu Kedua, sesungguhnya kalian merasa prustasi dan lemah dalam berpendapat. Ketiga, sesungguhnya kalian saling bertentangan dan telah terjadi perang mulut antar kalian sebelum perang Uhud meletus. Keempat, sesungguhnya kalian telah menentang Rasulullah saw. dan kalian berani meninggalkan posisi yang telah diperintahkan agar kalian tetap di dalamnya, dalam kondisi bagaimanapun, untuk menjaga punggung kaum muslimin

dengan anak panah 251 .

251 Al-Maraghi, Tafsîr al-Qur'ân al-Azdim Juz 5, edisi terjemah (Semarang: CV. Toha Putra, tt) hlm. 221

Memang, harus diyakini bahwa musibah apapun yang menimpa kaum muslimin adalah atas sepengetahuan Allah swt., seperti

dijelaskan dalam ayat sesudahnya yakni surah Âli Imrân ayat 166 252 . Karena musibah tersebut dapat menjadi peringatan bagi kaum

muslimin supaya dapat memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Akan tetapi perlu digaris bawahi Allah swt. mengatakan

ِﺪ ْﻨِﻋ ْﻦ ِﻣ َﻮ ُھ ْﻞ ُﻗ ْﻢ ُﻜِﺴ ُﻔْﻧَأ (Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri). Artinya jika kaum muslimin pada waktu itu tetap taat kepada Allah swt. dan

Rasul-Nya. Kemudian memahami ilmu dengan benar mengenai taktik

perang yang disampaikan oleh Rasulullah niscaya mereka tidak akan melakukan kesalahan seperti dijelaskan oleh Al-Maraghi. Sehingga atas izin Allah swt. pula mereka kaum muslimin akan memperoleh kemenangan seperti yang terjadi dalam perang Badar.

Dalam musibah kekalahan perang Uhud di atas yang menyebabkan dirampasnya harta benda kaum muslimin oleh orang- orang kafir, pengniayaan dan bahkan meninggalnya jiwa orang-orang yang taat kepada Allah swt. dan rasul-Nya adalah merupakan ujian dalam memperthankan dan mengangkat kalimat-kalit Allah swt. sehingga pengorbanan mereka akan diganti oleh Allah swt. dengan

surga 253 . Dan bagi mereka yang melakukan kesalahan-kesalahan, musibah kekalahan perang Uhud tersebut dapat menjadi peringatan

dan pelajaran yang berarti sehingga mereka dapat bertaubat dan memperbaikiki kesalahan-kesalahannya. Dengan kekalahan ini mereka dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga untuk kejayaan umat Islam selanjutnya. Sehingga kaum muslimin setelah itu dapat menanggulangi musibah kekalahan perang dengan

252 ( ١٦٦ : ناﺮ ﻤﻋ لآ ) ِﮫ ﱠﻠﻟا ِنْذِﺈ ِﺒَﻓ ِنﺎ َﻌْﻤَﺠْﻟا ﻰَﻘَﺘْﻟا َمْﻮَﯾ ْﻢُﻜَﺑﺎَﺻَأ ﺎَﻣَو (Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah swt.)

253 Surah al-Taubah [9]: 111 253 Surah al-Taubah [9]: 111

Contoh yang lain seperti musibah kemarau panjang yang dapat menyebabkan kekurangan bahan makanan dalam kisah Yusuf as. 254

Dimulai dari mimpi seorang raja yang dalam mimpinya ia melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Kemudian raja mencari tahu tentang ta`bir mimpinya itu mereka yang dianggap tahu. Akan tetapi

jawaban mereka bahwa mimpi Raja itu adalah mimpi-mimpi yang kosong yang tidak dapat dita`birkan. Sehingga akhirnya mimpi raja

itu dapat dita'wilkan oleh Nabi Yusuf as. Beliau menta'wilkan dengan "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur." Setelah itu Nabi Yusuf as. diangkat menjadi bendaharawan negara (Mesir); karena beliau adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan. Ta'wil mimpi yang diberikan oleh Nabi Yusuf as. ternyata benar, kemudian penanggulangan yang dilakukan pemerintah Negri Mesir pada saat itu berhasil sehingga negri tersebut tidak tertimpa musibah kelaparan. Bahkan pada waktu itu negri Mesir dapat membantu negri- negri tetangganya.

254 Surah Yusuf [12]: 42 – 56

Lagi musibah yang sangat dahsyat, yang dapat menghancurkan suatu kaum, seperti musibah gempa bumi dan sunami yang terjadi hari Minggu, 26 Desember 2004. Musibah ini, dalam hitungan detik dapat menyapu dan meluluh-lantahkan daratan yang begitu luas yang meliputi Aceh dan Pulau Nias (Indonesia), Srilangka, Tailan, dan lain-lainnya. Ratusan ribu orang meninggal seketika, kerugian materi dan immateri yang tidak dapat dihitung lagi. Musibah ini termasuk dalam kategori apa? Ujian, peringatan atau azab. Mungkinkan musibah tersebut sudah masuk dalam kategori azab? Wallahu 'alam.

Apabila dilihat dari fakta yang ada, dimana masih ada beberapa bangungan yang utuh seperti masjid dan banyak orang yang masih

selamat dari maut, kemudian dianalogikan dengan kejadian-kejadian yang dialami oleh Nabi-nabi dan umatnya terdahulu kiranya tidak terlalu salah kalau dimasukkan dalam kategori musibah dalam bentuk azab. Karena azab yang ditimpakan pada umat-umat sebelum Nabi Muhammad saw. juga mengecualikan para Nabi dan umatnya yang taat kepada Allah dan rasulnya. Nabi Nuh as. didustakan oleh umatnya, lalu Allah azab mereka tetapi Allah menyelamatkan beliau

dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera. 255 Begitupun terhadap umat Nabi Hûd as. yang dimusnahkan oleh Allah sebab

mereka mendustakan ayat-ayat-Nya, dengan Rahmat-Nya Dia selamatkan Nabi Hûd as. dan orang-orang yang ada bersamanya. 256

Dan seterusnya. Musibah yang dahsyat pada masa umat Nabi Muahammad saw. bisa jadi merupakan azab yang disegerakan di dunia yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang zhalim, sebagaimana firman Allah.

255 Surah al-'Arâf [7]: 64 256 Surah al-'Arâf [7]: 72

Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.

Dalam surah al-Anfâl [8]: 25 di atas fitnah berarti azab atau siksaan. Azab atau siksaan tersebut tidak hanya menimpa orang- orang yang berbuat kezhaliman tetapi juga menimpa orang-orang yang beriman. Sayyid Qutub menjelaskan bahwa sebab terjadinya

siksaan yang juga menimpa orang-orang yang beriman tersebut adalah karena mereka tidak lagi melakukan amar makruf nahi

mungkar 257 yang menjadi kewajiban bagi setiap muslim. Namun demikian bagi orang-orang yang shaleh dan taat beribadah,

tertimpanya mereka dalam bala bencana yang sampai menimbulkan kematianpun bukanlah merupakan azab Allah swt. baginya. Hal ini justru hakekatnya merupakan bentuk kasih sayang Allah swt. yang diberikan kepadanya supaya mereka dapat kembali kepada-Nya dengan membawa Iman dan Islam. Dan mendapatkan kebahagiaan yang abadi di sisi-Nya karena terhitung sebagai syahid.

Musibah-musibah dalam bentuk azab yang terjadi pada umat- umat terdahulu dengan musibah-musiabah dahsyat yang terjadi akhir- akhir ini apabila dilihat dari sebab-musababnya terdapat kesamaan- kesamaan yaitu karena perbuatan ma`shiat, dosa serta pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah, lebih-lebih karena jauhnya mereka dari Tauhid serta tersebar luasnya berbagai perbuatan syirik di banyak negara-negara Islam. Hal inilah yang menyebabkan

257 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil… Jilid V, hlm. 172 257 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil… Jilid V, hlm. 172

Sebab itu tindakan preventip atau penanggulangan yang bisa dilakukan supaya musibah yang akan menimpa manusia dapat diminimalisir, sudah semestinya manusia untuk meninggalkan perbuatan ma`shiat, dosa serta pelanggaran terhadap perintah- perintah Allah, miningkatkan iman kepada-Nya dan meninggalkan jauh-jauh perbuatan syirik. Manusia jangan lagi melakukan kesalahan-kesalahan dalam menjalani ujian hidup di dunia ini.

Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan oleh manusia terkait dengan kesalahan yang sering dilakukan, sengaja atau tidak sengaja,

yaitu; pertama, dorongan-dorongan hawa nafsu yang dapat mengalahkan iman. Kedua, kurangnya ilmu pengetahuan terkait dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Dan ketiga, kurangnya pengalaman-pengalaman hidup yang dapat dijadikan pelajaran atau

pertimbangan dalam melakukan suatu pekerjaan. 259 Sebab itu, manusia diwajibkan untuk mencari ilmu dimana adanya dan kapan

saja sampai ia meninggal. Antara iman dan ilmu terkait dengan amal perbautan manusia sangat menentukan diangkat dan dijatuhkannya derajat seseorang, dan Allah mengangkat derajat seseorang itu disebabkan karena keimanan dan ilmu yang dikuasainya. Sebagaimana firman-Nya,

258 Abul Mundzir Dzul Akmal as Salafiy Lc, Sebab-sebab T erj adi nya Mus i bah dan C ar a Mengat as i nya ,

http://qurandigital.com/menu.php?mod=artikel&id=8 259 Prof. Dr. Aziz Dahlan, MA, Kenapa Manusia Sering Salah? (Khutbah Jum'at

di Masjid Fathullah UIN Syahid Jakarta, Jum'at, 10 Mei 2008) di Masjid Fathullah UIN Syahid Jakarta, Jum'at, 10 Mei 2008)

Seseorang yang beriman tetapi tidak cukup penguasan ilmunya, seringakali

ketidaktahuannya. Seseorang yang berilmu tetapi tidak beriman perbuatannya akan selalu dikuasai oleh hawa nafsunya yang selalu menyuruh pada kejahatan. Apabila manusia ingin selalu benar perbuatannya maka kedua-duanya iman dan ilmu harus berjalan beriringan, manusia harus bertakwa kepada Allah swt.

Dengan keimanan yang kokoh, kemudian istiqamah yakni teguh pendirian dan tetap beramal saleh berdasarkan pengetahuan yang benar, meningkatkan ketakwaannya kepada Allah, niscaya ia akan dimudahkan dalam semua urusannya. Sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Thalaq [65]: 4,

Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

Menurut Muqathil bahwa orang yang bertakwa kepada Allah swt. dengan mengamalkan perintah-perintah Allah swt. dan menjauhkan diri dari perbuatan bermaksiat. Maka dia akan dimudahkan baginya dalam memperoleh jalan ketaatan kepada Allah

swt. 260 Ini dapat ditafsirkan bahwa seorang yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt. akan selalu mendapatkan karunia berupa

kemudahan-kemudahan dalam menjalani setiap ujian.

260 Al-Qurthubi, Al-Jâmi' ...juz IIIV, hlm. 162

Orang yang beriman apabila bertakwa kepada Allah swt. akan selalu mendapat petunjuk kebenaran, dihapuskan kejahatan- kejahatannya dan diampuni dosa-dosanya, Allah swt. berfirman,

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu.

C. Hikmah Musibah Dari bencana dan musibah yang kerap kali menimpa manusia,

sudah pasti mengandung hikmah yang banyak. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa datang. Sebab itu sebagai orang yang beriman dan bertakwa harus selalu bersabar dan ridha untuk menerima setiap ketentuan yang Allah kehendaki. Karena Dialah yang Maha Mengetahui dan yang Maha Menguasai lagi Maha Bijaksana. Segala sesuatu yang ditimpakan kepada orang-orang yang beriman, sudah pasti hal yang terbaik baginya. Di puncak gunung, atau di tanah lapang, atau dimanapun juga, bukanlah tempat yang aman untuk berlindung. Dan tidak ada jaminan bagi manusia untuk dapat selamat dari bencana, kecuali jika Allah swt. menghendaki. Hanya Allah-lah pelindung orang-orang yang beriman. Dialah

pelindung yang paling utama 261 . Dan untuk dapat mengetahi hikmah dari berbagai macam dan

bentuk musibah seperti yang telah dibahas dalam bab II, dapat dianalisa dari sudut pandang perbuatan manusia yang terkait dengan

261 Lihat surah Âli Imrân (3):68, al-An'âm (6):51 261 Lihat surah Âli Imrân (3):68, al-An'âm (6):51

1. Mendapat Petunjuk Apabila musibah menimpa seseorang yang beriman yang saleh, diamana ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan dosa atau maksiat kepada Allah swt., maka dapat diartikan bahwa musibah itu adalah ujian yang diberikan oleh Allah kepadanya. Siapa yang mengimani bahwa musibah yang menimpanya itu adalah dari Allah, kemudian dia mensikapinya dengan sabar dan ridha dalam menerimanya, maka dia akan mendapat petunjuk agama yang benar.

Allah swt. berfirman,

Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Kejadian apapun yang menimpa manusia di dunia ini merupakan ketentuan-ketentuan dan kehendak Allah, dan semuanya terjadi atas pengetahuannya. 262 Siapa yang beriman

dengan hal tersebut lalu ia bersabar dengan mengucapkan kalimat istirjâ' "Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji`ûn " (Sesungguhnya kami milik Allah swt. hamba yang dimiliki dan sesungguhnya kami pasti akan kembali di akhirat) kemudian menerimanya dengan ridha niscaya hatinya akan

262 Ibn Katsîr, Tafsîr ...Juz IV, hlm. 376 262 Ibn Katsîr, Tafsîr ...Juz IV, hlm. 376

Hidayah kebenaran, pemahaman yang mendalam tentang agama yang benar adalah karunia yang paling tinggi yang dapat menjadikan seseorang memiliki kedudukan yang tinggi, baik di sisi Allah maupun sesama makhluk-Nya. Karena hidayah merupakan pangkal dari semua kenikmatan, merupakan jaminan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Ia

pada hakekatnya adalah petunjuk fitrah manusia kepada fitrah Allah swt. yang mengatur gerak manusia dan gerak alam semesta menuju kepada-Nya. 265

Sebaliknya musibah terbesar bagi seorang hamba adalah apabila hidayah agamanya terancam lepas dari pegangannya, sehingga ia terfitnah dan meninggal tidak dengan membawa kalimat tauhid. Kemudian ia menjadi lebih hina bahkan lebih hina dari binatang ternak. Karena matanya, telinganya dan hatinya tidak dapat mengerti dengan hidayah kebenaran. Allah berfirman dalam surah al-'Arâf [7]: 179;

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan

263 Shahih Bukhari dalam kitab Tafsîr al-Qurán 264 Surah al-Baqarah [2]: 157 265 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil… Jilid I, hlm. 31

Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

2. Memperoleh Pahala Seorang mukmin, apabila ditimpa musibah lalu ia tetap taat kepada Allah swt. dan rasul-Nya, istiqamah dalam keimanannya dengan selalu bertakwa dan meningkatkan amal salehnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang besar. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imrânn [3]: 172

((Yaitu) orang-orang yang menta`ati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar )

Dan siapa yang tetap dapat bersabar dalam menjalankan perintah Allah swt. meskipun berada dalam tempaan musibah, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang tiada batas. Firman Allah swt. ,

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Sayyid Quthb menjelaskan bahwa Allah swt. adalah pencipta manusia. Dia mengetahui bahwa berhijrah dari kampong halaman sungguh sulit, melepaskan diri dari jeratan- jeratan itu merupakan perkara yang berat, meninggalkan sesuatu yang telah digandrungi, sarana rezeki, dan tantangan Sayyid Quthb menjelaskan bahwa Allah swt. adalah pencipta manusia. Dia mengetahui bahwa berhijrah dari kampong halaman sungguh sulit, melepaskan diri dari jeratan- jeratan itu merupakan perkara yang berat, meninggalkan sesuatu yang telah digandrungi, sarana rezeki, dan tantangan

di sisi-Nya tanpa batas. 266 Pahala yang sangat besar yang digambarkan tidak sanggup lagi untuk dihitungnya dengan

angka yang biasa digunakan untuk menghitung manusia. 267 Tetapi menurut Ibn Taimiyah, perlu diingat bahwa

musibah yang mendatangkan pahala adalah musibah yang disebabkan oleh amal saleh seperti derita musibah yang

muncul akibat dari jihad, amar ma'ruf nahi munkar dan hal semacamnya. Karena manusia diberi pahala oleh Allah swt.

berdasarkan perbuatannya dan apa yang lair dari perbuatannya itu jika ia mampu menanggungnya. 268 Seorang pejuang yang

maju ke medan laga, tentunya sudah mengetahui semua kemungkinan yang bakal menimpanya. Bisa jadi harta bendanya dirampas, disiksa atau bahkan jiwa yang berada di dalam raganya melayang karena terbunuh. Allah swt. berfirman,

Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh.

266 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil… Jilid X, hlm. 71 267 Al-Syakâni, Fath al-Qadîr ... IV, hlm. 454 268 Imam Ibn Muhammad al-Manbanji, Tasliyah …, hlm. 279

Allah swt. mencatat semua musibah yang diderita oleh orang yang berangkat berjihad di jalan-Nya sebagai amal saleh. Amal yang akan memberikan manfaat baginya dalam kehidupan dunia, yakni ketenangan hidup maupun akhirat yaitu surga yang dijanjikan bagi mereka yang berani mengorbankan jiwa dan raganya di jalan Allah swt., sebagaimana firman-Nya:

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.

3. Menghapus Dosa Sebagai manusia yang sering kali mengalami kelalaian dalam menjalankan tugas hidupnya sebagai seorang hamba Allah swt., musibah dapat menjadi penolong baginya untuk mengurangi dan menghapus dosa-sosanya di dunia sehingga kelak menghadap Allah swt. sudah diampuni dosa-dosanya. Firman Allah swt.,

Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu ).

Musibah apapun yang menimpa manusia berupa penyakit, hukuman, atau ujian di dunia ini yang disebabkan oleh perbuatan tangannya sendiri yakni perbuatan dosa dan aniaya yang telah dilakukannya, maka Allah swt. akan memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahannya di

dunia. 269 Selanjunya Ikrimah ra. berkata, "Bencana apapun yang menimpa seorang hamba itu disebabkan oleh perbuatan

dosanya. Dan Allah swt. hendak menganpuninya melalui musibah itu, atau Dia hendak mengangkat derajatnya dengan musibah itu, dan dengan musibah itulah seorang hamba dapat

memperoleh ampunan dari dosa-dosanya" 270 Dengan adanya musibah, maka dosa perbuatan seseorang

itu sebagian besar akan dimaafkan di dunia. Rasulullah saw. menjelaskan dengan hadisnya sebagai berikut:

Dari Á isyah istri Nabi saw. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, "Musibah (apapun) hinggga tertusuk duri yang menimpa seorang mukmin itu pasti akan dipotong atau menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya"

269 Ibn. Katsîr, Tafsîr ....Juz IV, hlm. 117 270 Al-Baghâwi, Ma’âlim ... Juz IV, hlm. 128

271 Hadist no. 4668 bab ( ﺎ ﻬﹸﻛﺎﺸﻳ ِﺔﹶﻛﻮﺸﻟﺍ ﻰ ﺘﺣ ﻚِﻟﹶﺫ ِﻮﺤﻧ ﻭﹶﺃ ٍﻥﺰﺣ ﻭﹶﺃ ٍﺽﺮﻣ ﻦِﻣ ﻪﺒﻴِﺼﻳ ﺎ ﻤﻴِﻓ ِﻦِﻣﺆﻤﹾﻟﺍ ِﺏﺍﻮﹶﺛ ﺏﺎﺑ ), dan redaksi yang sedikit berbeda dalam Shahih Muslim pada hadis no. 4664, 4665, 4667

dan 4669.

Dan juga hadis dari Áisyah,

(Dari Á isyah ra.. berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Jika seorang hamba banyak dosanya dan belum cukup amalnya untuk menutupi dosa-dosa tersebut, maka dia akan diuji oelh Allah swt. berupa kesedihan (musibah) supaya dosa-dosanya dapat terhapuskan).

Sebab itu musibah harus diterima dengan ikhlas dan ridha sebagai bagian dari kehendak Allah swt. yang Maha Tahu dan

Maha Pengampun. Melalui musibah yang menimpa hakekatnya justru memberikan keringanan kepedihan dan kenistaan yang tiada bandingnya kelak di akhirat. Dengan musibah yang menimpa mereka di dunia akan menghapuskan dosa-dosanya dan mereka dapat terbebaskan dari siksa api neraka yang sangat panas di akhirat.

272 Hadis no. 24077 (hadis gharib)