Abdul Aziz Muchammad Syariah dan Tafsir al Quran Elaborasi Maqashid dlm Tafsir Ibn Asyur

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam

oleh:

Abdul Aziz Muchammad NIM: 06.2.00.1.14.08.0069

Pembimbing:

Dr. Yusuf Rahman, MA KONSENTRASI ULÛM AL-QUR’ÂN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama

: Abdul Aziz Muchammad

NIM : 06.2.00.1.14.08.0069 Tempat, Tanggal Lahir : Surabaya, 04 Pebruari 1979

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Syari'ah dan

Tafsîr al-Qur’ân: Elaborasi Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr”

ini benar-benar merupakan karya asli saya kecuali kutipan-kutipan yang saya sebutkan sumbernya. Segala kesalahan dan kekurangan di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya dengan konsekuensi pencabutan gelar.

Jakarta, 18 Desember 2008

Abdul Aziz Muchammad

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis saudara Abdul Aziz Muchammad NIM: 06.2.00.1.14.08.0069

yang berjudul “Syari'ah dan Tafsîr al-Qur’ân :“ Elaborasi

Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr” telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk diajukan ke Sidang Ujian Tesis.

Jakarta, 18 Desember 2008

Pembimbing

Dr. Yusuf Rahman, MA

PENGESAHAN

Tesis saudara Abdul Aziz Muchammad NIM: 06.2.00.1.14.08.0069 yang berjudul “Syari'ah dan Tafsîr al- Qur’ân :“ Elaborasi Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr” yang

diujikan pada tanggal 27 Desember 2008, dan telah diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

Jakarta, 30 Desember 2008

1. Dr. Yusuf Rahman, MA 1………………….. Pembimbing/Ketua/Merangkap Penguji

2. Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA 2………………….. Penguji I

3. Dr. Asep Saepuddin Jahar 3…………………. Penguji II

PEDOMAN TRANSLITERASI DAN TRANSLASI

A. Konsonan

ب = b = th

ت = t = zh

ث = ts = ‘

ج = j = gh ح = h

B. Vokal

ــُـــ = u Vokal Panjang

Vokal Tunggal :

ــَـــ = a

ــِـــ = I

Vokal Rangkap :

ْﻲـَــ = ay

ْﻮـَــ = aw

C. Lain-lain

- Transliterasi syaddah atau tasydîd ( ّ ) dilakukan dengan menggandakan huruf yang sama.

- Transliterasi ta` marbûthah ( ة ) adalah “h”, termasuk ketika ia diikuti oleh kata

sandang “al” ( لا ), kecuali dalam transliterasi ayat al-Qur`an.

- Nama-nama dan kata-kata yang telah ada versi populernya dalam tulisan latin,

pada umumnya, akan ditulis berdasarkan versi populer tersebut.

D. Translasi

- Kecuali terjemahan al-Qur`an, dan kecuali dinyatakan sebaliknya, seluruh terjemahan dalam tesis ini adalah milik penulis.

- Untuk terjemahan al-Qur`an, penulis mengutip Mushaf al-Qur`an Terjemah,

Departemen Agama RI, edisi tahun 2006, dengan beberapa penyesuaian.

ABSTRAK

Tesis ini membuktikan bahwa penafsiran dengan menggunakan Maqâshid al-Qur’ân akan membuahkan tafsiran makna lafadz secara elastis. Karena ia merujuk kepada keumuman dakwah, kandungannya mesti bisa dipahami oleh orang-orang yang hidup di masa penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kesimpulan diatas menguatkan gagasan Rasyîd Ridhâ dalam al-Wahyu al-Muhammady [Maktabah al-Islami], sebagaimana kedua gurunya Muhammad ‘Abduh dan al-Afghâni yang mewajibkan penerapan maqâshid al-Qur’ân dalam penafsiran [sebagaimana ditulis oleh al-Daghamin dalam karyanya manhaj al- Ta’amul ma’a al-Qur’ân fî fikri Syeikh Muhammad Rasyîd Ridhâ.

Belakangan Muhammad Izzat Darwaza juga meformulasikan Maqâshid al-Qur’an dengan istilah al-Usus wa al-Wasa’il [pokok- pokok/ fundamental dan instrumen].

Fokus utama penelitian ini bersumber dari prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan oleh Ibn ‘Âsyûr dalam dua buah karyanya, Maqâshid al-Syarî’ah al- Islâmiyyah dan al-Tahrîr wa al-Tanwîr. Penelitian ini juga berupaya untuk melakukan penilaian terhadap prinsip-prinsip tersebut berdasarkan kriteria rigiditas dan ortodoksi penafsiran kontemporer.

Pendekatan struktural (analysis structure) digunakan diletakkan dalam kerangka yang bersifat historis dan komparatif_“historis” karena penelitian ini juga mengkaji kondisi-kondisi psikologis, sosial, politik, dan intelektual yang memengaruhi pemikiran Ibn ‘Âsyûr, dan “komparatif” karena ia mencoba membandingkan pemikiran Ibn ‘Âsyûr itu dengan al-Syâtibî seputar Maqâshid dan prinsip-prinsip tafsirnya.

Penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa gagasan Ibn ‘Âsyûr sering digunakan untuk menggugat tekstualisme/rigiditas dalam tafsir. Selain itu, hasrat untuk mencari legitimasi dari masa lalu demi kepentingan masa kini bisa menyebabkan distorsi pada sejarah. Pembacaan terhadap karya-karya Ibn ‘Âsyûr melalui konteks sosial dan intelektual pada zamannya menyiratkan dugaan bahwa karya-karya tersebut sebetulnya diajukan sebagai kritik sosial-keagamaan bagi masyarakat Tunisia pada khususnya, dan masyarakat muslim dunia secara makro.

ABSTRACT

This Thesis proves that interpretation by using Maqâshid al- Qur’ân will produce exegesis [lafadz] in elastic meaning. Because, Maqâshid al-Qur`ân refers to generally principle of missionary endeavors [‘umûm al-da’wah]. Consequently, al-Qur`ân must contain things that can be comprehended [understanding] by life people in a period of science and technology spreading.

The Conclusion above strengthen of Rasyîd Ridhâ idea’s in al- Wahyu al-Muhammady, as the same manner as both his teachers; Mohammed ‘Abduh and al-Afghâni. They oblige applying Maqâshid al-Qur’ân in interpretation [as the same manner as written by al-

Daghamin in his works of manhaj al-Ta’amul ma’a al-Qur’ân fî fikri Syeikh Mohammed Rasyîd Ridhâ. Latter Mohammed Izzat Darwaza also formulates Maqâshid al-Qur’an with the basic

specifics/fundamental media and instrument [al-Usus wa al- Wasa’il].

Concerning the source of interpretation principles that formulated by Ibn ‘Asyûr in two unit [of] his works there are; Maqâshid al-Syarî’ah al Islâmiyyah and al-Tahrîr wa al-Tanwîr. This Research also copes to conduct assessment to principles referred [as] base criteria of rigidities and orthodoxy contemporary interpretation.

Structural Approach (analysis structure) in this research puts down in framework that has character of historical and comparability_“historical” because this research also assesses psychological set of circumstances, social, politics, and intellectual that influence idea of Ibn ‘Asyûr, and “comparability” because he tries to compare idea Ibn ‘Asyûr between/with al-Syâtibî around Maqâshid and his principles of interpretation/exegesis.

Finally, This research proves that Ibn ‘Âsyûr’s ideas are frequently used to criticize orthodoxy in Quran exegesis. And also the contention of this study that

those criticisms can, perhaps, be adopted completely only if Ibn ‘Âsyûr himself is overstepped. In addition, the desire to seek legitimacy from the past for the sake of the present time can cause distortions in history. The reading of Ibn 'Âsyûr’s works suggestion through his social and intellectual context in the period that indicate and implies that those works are proposed primarily as suspected papers are actually filed as a criticism of social-religious society for Tunisia especially, and the world community as a whole.

KATA PENGANTAR

Tesis ini berutang kepada banyak orang yang tidak seluruhnya bisa disebutkan di sini. Kepada mereka semua, penulis menghaturkan terima kasih, penghargaan, serta permohonan maaf setulus-tulusnya. Pertama, Dr. Yusuf Rahman yang telah membimbing penulis selama melakukan penelitian. Kritik, saran, dan bantuannya membuat penulisan tesis ini menjadi sesuatu yang menghibur dan menggairahkan. Juga Dr. Fuad Djabali dan Prof. Suwito Dengan cara masing-masing, mereka telah

membantu rencana penulisan tesis ini menjadi sedikit lebih “distingtif” dengan beberapa kali “work in progress” .

Bahan-bahan penulisan tesis ini diperoleh dari pelbagai sumber di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, terutama di perpustakaan-perpustakaan UIN Jakarta dan Yogyakarta, PSQ Jakarta, Iman Jama’ Jakarta. Tesis ini rasanya tidak akan selesai sesuai harapan tanpa kemudahan akses yang diberikan oleh seluruh staf dan pegawai di perpustakaan-perpustakaan tersebut. Secara personal, penulis ingin berterimakasih kepada Syukron, pegawai Perpustakaan Pascasarjana UIN Jakarta, untuk segala bantuan dan keramahannya. Juga kepada teman-teman Ulûmul Qur’ân yang banyak memberi atensi dan motivasi semangat dan bantuan literatur-literatur yang mereka berikan, pinjamkan, atau kirimkan.

Ada momen-momen tertentu ketika penulisan tesis ini terasa melelahkan dan menjemukan, terutama saat-saat ketika ia seakan-akan tiba pada sebuah cul-de-sac. Tetapi selalu ada sesuatu yang membuat semua itu menjadi tertanggungkan: kehadiran Ibuku Hj. Achmada Sholichah yang dengan tabah dan sabar dalam membimbing putra putrinya sepeningal ayah sebagai Single Parent yang tak kenal patah arang/semangat, selalu memotivasi dan mendo’aakanku setiap saat dalam meraih asa dan ridho-Nya, semoga segala kebaikannya dilipatgandakan oleh Allah Ta’âla dan mendapat ridho-Nya sebagai bekal menuju kebahagiaan Akhirat, amin. Tidak lupa penulis persembahkan al-Fâtihah kepada (almaghfurlah) H.M. Hidayat

Tauhid ayah saya sendiri, tujuh tahun yang lalu telah menghadap Ilahi Rabbi semoga segala amal kebaikan dilipatgandakan dan dosa-dosanya diampuni Allah ’Azza wa Jalla, semoga dikumpulkan kelak bersama orang-orang saleh. Untuk saudara- saudaraku Mas Rosyid, Mbak Sita, adikku Isa dan Anis yang selalu memberikan motivasi, semoga semuanya diberi kelancaran dalam segala hal atas motivasinya kepada penulis. Yang selalu mendampingiku dan mendoakanku setiap saat istriku tercinta; Yayuk Rachmawati dan anakku Salfa Salsabila Nadya Aziz, tetanggaku baik di kost, maupun di rumah terima kasihku kepada kalian semuanya.

Bagian-bagian tertentu dari tesis ini dirumuskan, dipertajam, diperbaiki, dan disempurnakan berdasarkan inspirasi, diskusi, saran, serta kritik dari beberapa pihak. Selain Pak Yusuf, Pak Fuad Djabali, dan Pak Muchis Hanafi, dan mereka yang telah disebutkan di atas.

Dalam satu dan lain hal, tesis ini juga harus dipandang sebagai bagian dari proses “perjalanan intelektual” penulis selama masa studi di Program Khusus Ulûm al-Qur’ân Beasiswa Depag, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Karena itu, penulis juga ingin berterima kasih kepada Prof. Dr. Quraish Shihab, Dr. Muchlis Hanafi, Dr. Sahabuddin, Prof. Dr. Zainun Kamal, Prof.Dr. Suwito, MA, Dr. Lutfi Fathullah, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Dr. Fuad Jabali, Prof. Dr. Salman Harun, Dr. Uka Tjandrasasmita, Prof. Dr. Matsna HS,MA, Prof. Dr. Tajuddin, Dr. Yusuf Rahman, Dr. Romlah, Dr. Faizah Ali Syibramalisi, serta untuk kuliah-kuliah yang inspiratif dan mencerahkan.

Terakhir, guru-guruku mulai dari waktu kecil sampai sekarang yang namanya sudah hampir lupa semuanya semoga ilmu yang mereka berikan bermanfaat kelak. Semoga Allah memperkenankan doa yang seetiap kita panjatkan dan semoga Allah selalu mencurahkan Rahmat dan ridho-Nya untuk mereka dan kita semua khususnya pembaca dan penyempurna tesis ini, amin.

Ciputat, 18 Desember 2008

BAB III FORMULASI MAQÂSHID DAN PRINSIP-PRINSIP TAFSÎR IBN ‘ÂSYÛR …………………………………………………………….. 79

A. Prinsip-prinsip dasar penafsiran Ibn ‘Âsyur ...................................79

B. Maqâshid al-ashliyyah dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr.............................107

1) Memperbaiki dan mengajarkan akidah..................................107

2) Penanaman dasar akhlak........................................................109

3) Menetapkan hukum-hukum syariat [Umum dan Khusus].....110

4) Strategi Pemberdayaan Umat (siyâsah al- ummah)................111

5) Maqâshid

al-ashliyyah al-Qasas al-Qur’ân

6) Pengajaran Syari’at sesuai dengan perkembangan zaman.....113

7) Motivasi dan ancaman [al-targhîb wa al- tarhîb]................. .114

8) I’jâz

al-Qur’ân sebagai bukti risalah

Kenabian.................... 114

C. Maqâshid al-Qur’ân/asliyyah dan urgensitasnya bagi ilmu al-Qur’ân .................................................................... 117

BAB IV APLIKASI MAQÂSHID DALAM PENAFSIRAN DAN RESPON AKADEMIK .................................................................................... ...123

A. Aplikasi Maqâshid al-asliyah pada ayat-ayat Hukum...................126

1) Perintah Shalat dan zakat dalam surah al- Baqarah................133

2) Perintah Puasa dan Hikmahnya dalam surah al- Baqarah .....145

B. Respon akademik terhadap gagasan Maqâshid dan penafsiran Ibn ‘Âsyûr............................................................150

C. Ibn ‘Âsyûr dan ortodoksi penafsiran Kontemporer........................154

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 160

A. Kesimpulan ……………………………………………………....160

B. Saran-saran ……………………………………………………....163

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 164

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Kajian Maqâshid pada umumnya mengikuti pada bagian kajian ilmu ushûl (fiqh), dan syarî’ah. Seperti halnya al-Syâtibî (730 H/1388 M), 1 dia membangun

kembali kerangka sistematika ilmu ushûl (fiqh) yang konvensional dari arsitek sebelumnya yaitu Al-Syâfi'i (w.204 H). 2 Kemudian al-Syâtibî menambahkan bahwa

“Dasar dan tujuan diletakkannya syari’at tidak lain, yaitu untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. 3 Ruang lingkup Maqâshid Syarî’ah mencakup semua

hukum publik, individual, kesehatan, bahkan kesopanan serta moral dan akhlak. 4

Kemaslahatan disini dipahami sebagai bentuk kemanfaatan yang dikehendaki Allah yang Maha Bijak (Al-Hakîm) bagi hambanya [umat manusia] agar senantiasa

1 Nama lengkapnya adalah Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsa ibn Muhammad al-Lakhmi al-Garnati al-Syâtibî . Lihat lebih lanjut Khayr al-Dîn al-Dzirikli, Al-A‘lâm: Qâmus Tarâjim li Asyhâr al-Rijâl wa

al-Nisâ` min al-‘Arâb wa al-Musta‘ribin wa al-Mustâsyriqîn, vol. 1 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, cet. 9, 1990), hal. 75. Bandingkan dengan ‘Umar Ridhâ Kahhalah, Mu‘jam al-Mu`âllifin: Tarâjim Musânnifi al-Kutub al-‘Arâbiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1957), hal. 118. . Sementara itu, ‘Abd al-Muta‘âlî al-Sa‘îdî bahkan membandingkan jasa al-Syâthibî dalam perumusan maqâshid al-syarî‘ah dengan jasa al-Syâfi‘î dalam perumusan ushul fiqh. Lihat Hammâdî al-‘Ubaydî, Al-Syâthibî wa Maqâshid al-Syarî‘ah, hal. 132.

2 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut

merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26

3 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut

merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26

4 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut

merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26 merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26

Selain itu, ketika Fahmi Huwaydi menyatakan bahwa pembacaan yang benar (al-qirâ`ah al-shahîhah) terhadap al-Qur`ân harus mempertimbangkan aspek Maqâshid al-Syarî’ah, selain aspek bahasa, dia menyandarkan pendapatnya itu kepada pandangan ‘Abdullah Darrâz dalam pengantar untuk kitab al-Muwâfaqât,

karya al-Syâtibi. 6 Al-Syâtibî (1388 M) tidak saja menandai pergeseran disiplin keilmuan di bidang

7 ushul fiqh, melainkan juga di bidang tafsir dan hermeneutika al-Qur`ân. Ia menjadikan penyangganya (Maqâshid al-syarî’ah) kokoh serta mencapai kemapanan

secara integral, hal tersebut terbukti bahwa substansi teori al-Syâtibî mampu memberikan pemahaman kepada kita tentang konstruksi intelektual mengenai hukum

modern. 8

5 Lihat lebih lanjut uraian Sa'id Ramadhân Al Bûty dalam Dhawâbit al-Maslahâh fi syarî’ah Islâmiyah (Mu’assasah Risalah, 1987) hal. 27-28, bandingkan dengan pandangan Mahmûd Syaltût

dalam Islam 'Aqîdatan wa Syarî’atan , dar-el Syuruq 1975, hal. 496. Lihat juga Abd. Salam 'Arif mengeksplorasi pandangan hukum Syaltut dalam pembaruan pemikiran hukum Islam (pembaruan dan fakta), LESFI Yoyakarta, cet-1 2003, hlm 177-181, lihat, Al-Qaradhâwi, Dirâsah fî fiqhi Maqâshid al syarî’ah bayna al Maqâshid al kulliyah wa al-nushus al juzyiyyah ( Kairo, Dar al Syuruq cet I 2006 ) hal 19-20

6 Lihat Fahmi Huwaydi, Al-Qur`ân wa al-Sultân (Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 5, 2002), hal. 53- 56.

7 Lihat dalam David Johnston, “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Usul al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2, Juni 2004, hal. 252-253. Lihat

juga uraian Wael B. Hallaq tentang gagasan al-Syâtibî , A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushûl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 206. ‘Âbid al-Jâbiri menyatakan bahwa al-Syâtibî telah memodifikasi atas asumsi-asumsi dasar epistemologi bayâni—sebuah epistemologi yang salah satu proyek teoretisnya adalah penetapan aturan-aturan interpretasi bagi al-Qur`an, al-khitâb al-mubin. Lihat Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Bunyah al-‘Aql al- ‘Arabi: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhûm al-Ma‘rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Dar al-Bayda`, cet. 7, 2000), hal. 534-536.

8 Ahmad Al Râis ūny, ia menegaskan bahwa al-Syâtibî belum memberikan definisi Maqâshid syarî’ah secara jelas, sehingga Raisuny mengadopsi pandangan Ibnu ‘Âsyûr, dengan penyematan gelar

“al-Mu‘allim al-Tsâni”. Lebih lanjut lihat Nazhâriyyah ……..hlm 17-18. Gagasan al-Syâtibî terlihat jelas dalam hal perumusan konsep Maqâshid al-syarî’ah yang kemudian menisbatkan gelar “al- Mu‘âllim al-awwâl”, Abdullah Darraz, “Muqaddimah”, dalam al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât fi Ushûl al- Syarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), hal. 5; mengatakan “Hujjah min hujaj al-syarî’ah wa ‘alam min a‘lâm Maqâshidihâ” kepadanya. lihat juga Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 139. Lihat al-Syâtibî , Al-Muwâfaqât fi Ushûl

Maqâshid al-Syarî’ah yang dibangun al-Syatibi sebagaimana disebut ‘Âbid al- Jâbiri sebagai “I’âdah ta’shîl al-ushûl” (peletakan kembali dasar-dasar ilmu ushûl), kemudian pandangan ini diadopsi oleh muridnya yaitu ‘Abdul Majîd Turkiy, yang mengataan bahwa pendasarannya [ilmu ushul] sebagai pondasi titik awal

bertumpunya dasar metodologi dalam [beristinbath] hukum. 9 Berkaitan dengan pendasaran ilmu (ushûl) inilah Ibnu ‘Âsyûr mulai

mengelaborasi gagasan pendahulunya yang kemudian ia sebut dengan “pendasaran Ilmu Maqâshid al-Syarî’ah.” Hal ini disinyalir, bahwa teori yang diusung Ibn ‘Âsyûr berusaha menggali dan menemukan cara pandang sejarah secara ilmiah dan metodologis yang digunakan untuk penelitian dan peletakan dasar ilmu Maqâshid al- Syarî’ah yang komprehensif. Ibn ‘Âsyûr melihat bahwa kajian ilmu Maqâshid al-

Syarî’ah ini memilki perbedaan yang signifikan dengan kajian ilmu ushul. 10 Menurutnya muara kajian [ilmu ushul] tidak kembali pada esensi dan Hikmah

al-tasyrî’, namun ia hanya berputar pada permasalahan istinbath hukum dari nash sharîh melalui kaidah-kaidah yang digunakan pakar hukum (fuqahâ’) dalam beristinbath hokum, dari atau melalui cabang-cabang (furû’) maupun sifat-sifat (‘illat) hukum yang disarikan dari Al-Qur’ân, sebagai kajian untuk

al-Syarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), (Tahqîq 'Abdullah Darrâz), dalam “Muqaddimah”, hal. 5. Bandingkan, ‘Abid al-Jâbiri, dengan menyebut apa yang dilakukan al-Syâtibî dalam al-Muwâfaqât sebagai i‘âdah tâ`sil al-usul (pendasaran kembali ilmu usul fiqh). Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazhâr (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994), cet. 4, hal. 547. Istilah ta`sil al-usul itu sebetulnya berasal dari al-Syâtibî sendiri. Lihat al-Syâtibî , Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hal. 70. Bandingkan pula dengan Maribel Fierro, “Al-Shatibi”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003).

9 Lihat Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, 2001. hal. 86-95 10 Lihat Abdul Majîd Turkî Manâzharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, oleh

Abdul al-Shabûr Syâhin, Beirut Dâr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994, hal. 361,484. lihat Maqâshid al-Syarîah al-Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 96-99. baca juga Abdul Azîz bin ‘Ali Abd ar- Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-Wathaniyyah atsna al-Nasyr, hal. 41-43.

menginterpretasikan lafadz-lafadz yang diyakini sebagai kehendak Tuhan (tentunya sebatas kemampuan seorang Fâqih dalam berijtihad). 11

Kajian ilmiah yang dilakukan Ibn ‘Âsyûr (1878-1973 M) mengenai ilmu Maqâshid al-Syarî’ah memiliki korelasi/hubungan erat dengan penelitian lain, keduanya disinyalir mempunyai muara dan esensi tujuan yang sama, yaitu penelitian tentang ”Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami” (ushûl an-Nizhâm al-Ijtimâ’î fi al-Islam/The rule of Islamic Civilization). Ibn ‘Âsyûr menyatakan bahwa pemerhati penelitian tentang tema besar ini membutuhkan kaidah-kaidah yang luas, rinci dan mendetail dari kaidah-kaidah ushul fiqh yang ada selama ini. Menurutnya; perihal-perihal yang ditampakkan lebih luas dan elastis yang tidak hanya sekedar mengaplikasikan kaidah-kaidah syarî’ah untuk menyelesaikan problematika hukum di masyarakat, ia juga mengkonversikan dan mengelaborasikannya dengan qiyâs, sebagaimana disinyalir memiliki persamaan muatan teori. Dengan menyingkap rahasia (hikmah) dibalik (tasyrî’) tersebut, maka konsep yang dihasilkan dari kajian Maqâshid ini tidak hanya sebagai sebuah wacana atau paradigma dalam bingkai

kajian yang hampa [utopis]. 12 Sejatinya cara pandang Ibn ‘Âsyur (1878-1973 M), tentang nilai (ilmu

Maqâshid) ini adalah mengulangi kembali pakar pendahulunya. Ahmad Raisûny menulis; bahwa Ibn ‘Âsyûr mengulangi kembali peletakkan ilmu Maqâshid sebagai disiplin ilmu yang mandiri, pandangan ini dikuatkan oleh Abdul Azîz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam karyanya ‘Ilm Maqâshid al-Syâri.

Tentunya dengan mengelaborasi cara pandang ilmiah dan metodologis guna menjadikan intisari kajian sebagai dasar ilmu ushul fiqh, kemudian

11 Abdul al-Shabûr Syâhin Manâzharat fî ushûl al-Syarî’ah, hal. 361,484. lihat Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al

Islâmiyah, 2001. hal. 96-99. baca juga Abdul Azîz bin ‘Ali, ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43. 12 Abdul Azîz bin ‘Ali,‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43. Lihat juga Muhammad Thâhir Ibn

‘Âsyûr, ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam, al-Syirkah al-Tûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr al- Wathaniyah lilkitab (al-Jazâir), 1985, hal. 21. Bandingkan dengan al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 90-91.

diimplementasikan pada kurikulum-kurikulum belajar mengajar pada Madrasah- madrasah atau lembaga-lembaga pendidikan, sampai-sampai mereka (pengarang buku) menjumpainya dengan rasa jemu, semantara siswa yang belajar (ilmu ushûl fiqh) juga semakin bosan (dengan materi ini), kecuali mereka yang dianugrahi Allah

kesabaran dalam mengkajinya secara terus menerus. 13 Adapun tujuan yang hendak dicapai (dari kajian ilmu ushûl) pada pengajaran

tingkat perguruan tinggi “kulliyyah Islam”; diharapkan mampu menyingkap petunjuk jalan yang ditempuh para Mujtahid (dalam berijtihad), mereka senantiasa menjaga stabilitas hukum syarî’ah berjalan sesuai dengan rule (neraca syari’at) dan sunnatullah. Sehingga keniscayaan upaya (para mujtahid) sampai pada tingkat

kedudukan yang disebut Ibn ‘Âsyûr sebagai ﺔﻨْﻴِﻔَﺴﻟا نﺎَّﺑُﺮﻟ ﺲْﻴﻃﺎﻨﻐﻤ ﻟا ةﺮْﺑ ِإ (Ibrah al- Maghnâtîs lirubbâni al-Safînah) 14

Keberadaan Syari’ah dan pemberlakuan hukum-hukum syarî’ah pada abad pertama hijriah ini masih dipertanyakan/dimentahkan oleh sarjana hukum barat seperti Joseph Shacht dalam tesisnya, ia menyimpulkan kegelisahan pandangannya ini dengan menyatakan bahwa; Nabi Muhammad saw. tidak mempunyai otoritas atas hukum-hukum adat yang telah ada pada saat itu, demikian halnya hadits. Menurutnya, hadits baru muncul pada awal abad kedua hijriah. Dan pondasi hukum Islam dalam pandangannya baru diletakkan oleh para pakar Hukum Islam yang

diangkat pada masa pemerintahan Khalifah Umayyah. 15

13 Lihat Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al Islâmiyah, al-Syirkah al-Tûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr al-Wathaniyah lilkitâb (al-Jazâir), 1979, hal. 165. lihat juga tahqîq dirâsah al-Mâisâwî

dalam Maqâshid al Syarî’ah 2001. hal. 90-91 dan 128-129. Abdul Azîz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43

14 Lihat Ibn ‘Âsyûr, ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam hal. 21. lihat juga Al-Mâisâwî dalam Maqâshid al-Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 90-91.

15 Bertumpu pada ide-ide pendahulunya C.Snouck Hurgronje dan Ignaz Goldziher, Joseph Shacht mengeksplorasi pandangannya dalam bukunya An Introduction to Islamic Law,

(oxford:clarendon, 1964) hal.23-27. lihat juga ulasan Faisar Ananda Arfa dalam, sejarah pembentukan Hukum Islam, Pustaka Firdaus cet. Pertama 1996 hlm 5-27. dalam hal yang sama sarjana barat yang mendukung keberadaan hukum Islam pada awal hijriah diantaranya, M.M. al-Azami, Noel J. Coulson. SD. Goitein, dan Wael B. Hallaq. Lihat artikel Goitein yang diulas oleh Faisar dalam buku yang sama, 34-53.

Dalam konteks ini, Joseph Shact mengadopsi pandangannya ini dari Ignaz Goldziher. 16 Ia bertolak dari pandangan bahwa kehidupan dengan segala

problematika yang bertautan dengannya (ketika itu), nyaris tidak terdapat/ditemukan persoalan yang signifikan pada masa hidup Nabi Muhammad saw. Terutama persoalan yang menyangkut maksud/tujuan dan kandungan hukumnya, Muhammad - shallawwah ‘alaih wasallam dengan segala otoritasnya sebagai mubayyin langsung

memberikan penjelasan secara rinci dan mendetail. 17 Bagaimanapun juga pandangan tesis Joseph Shact diatas perlu diuji dan

dibuktikan melalui literatur-literatur yang berkenaan dengan sejarah, tentunya dengan data autentik pedoman hidup Al-Qur’ân dan Hadits, serta kajian kepustakaan yang

komprehensif, dalam penelitian ini penulis mencoba membuktikannya melalui konstruksi teori ‘ilm Maqâshid dan prinsip-prinsip penafsiran Ibn ‘Âsyur (1973 M), selanjutnya perdebatan ini akan penulis uraikan pada sub judul seputar Maqâshid dan pembacaan al-Qur’ân di bab dua.

Ahmad Raisuny memetakan dalam disertasinya, bahwa Maqâshid al-Syarî’ah telah dilakukan (ditelaah) oleh Al-Turmudzî (Abad III), Abu Mansur al-Mâturidî ( w. 333 H), Abu Bakar Al-Qâffal ( w.365 H ), Abu Bakar Al-Abhâry (w.375 H) al- Baqillânî (w.403 H) dilanjutkan Imâm Al-Haramain [al-Juwaini] (w.478 H), Imam Al Ghazali (w.505 H), Al Râzî (w.606 H), Saifuddin Al-Âmidy (w.631 H), Ibn Hâjib (646H) Izzuddin Abdul al-Salâm ( 660H), al- Baidhâwî (w.685 H) Al-Asnawi (772H) Ibn al-Subkî (w.771 H), kemudian disinyalir mencapai kemapanan pada masa al- Syâtibî. Pandangan ini didukung data dari ‘Abdur Rahmân Kaylâni, namun lanjutnya, mereka baru meletakkan (Maqâshid) pada tataran sebagai sub kajian dari ilmu

ushul/Syarî’ah. 18

16 Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, terj. ‘Abd al-Halîm al-Najjâr (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1955), hal. 73.

17 Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd, al-Falsafah al-Qur’âniyyah (Mesir; Lajnah Bayân al-‘Arabi, 1974), hal. 27.

18 Ahmad Al Raisyûni, Nazhâriyyah ... hal 40-68. bandingkan dengan tulisan ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-Kaylânî, Qawâ‘id al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâthibî ‘Ardlan wa Dirâsatan wa

Berangkat dari data diatas, penulis meyakini urgensi teori/konsep Maqâshid yang diusung Ibnu Âsyûr (1878-1973 M) akan nampak dan terlihat dalam peletakan Dasar-dasar Ilmu Maqâshid al-Syarî’ah. Sebagaimana ditekankan bahwa ia merupakan segala makna dan tujuan hukum (Tajâwuz al-Manhâ al-Tajzî’iy fî tafahhumi Ahkâm al-Syarî’ah bimurâtabihâ al-muhtalifah) yang diletakkan dalam pelbagai kondisi Tasyri’, secara makro dalam pelestariannya, diaplikasikan dan dimplementasikan secara khusus/partikular [tajzî’iy] sesuai neraca hukum syariat. Secara Inheren tujuan umum dan sifat-sifat syarî’ah yang luas dapat

terimplementasikan secara menyeluruh, tidak hanya problematika yang berkaitan dengan masalah hukum melainkan segala problematika kehidupan didalamnya

(dunia). 19 Selanjutnya kajian diatas akan penulis sajikan dan paparkan uraian tentang

teori, konsep Ibnu ‘Âsyûr tentang formulasi Maqâshid dan prinsip-prinsip komplementer dalam penafsiran Al-Qur’ân pada bab tiga. 20

Setelah mengelaborasi teori dan konsep pendahulunya, Ibn Âsyûr juga mengkritisi prinsip-prinsip tafsir al-Syâtibî (730 H/1388 M) dalam Muwâfaqât nya mengenai tiga hal: pertama, status al-Qur`ân sebagai substansi ajaran Islam (kulliyyah al-syarî’ah); kedua, status al-Qur`ân sebagai kitab berbahasa Arab; serta ketiga, status al-Qur`ân sebagai kitab yang diturunkan kepada seorang rasul yang ummî dan di tengah bangsa Arab yang juga ummî.

Tahlîlan (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000), hal. 14. lihat juga, ‘Abid al-Jâbiri dengan menyebutkan apa yang dilakukan al-Syâtibî dalam al-Muwâfaqât sebagai i‘âdah tâ`shîl al-ushûl (pendasaran kembali ilmu usul fiqh). Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazâr (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al- ‘Arabiyyah, 1994), hal. 57. Istilah ta`sil al-Ushûl itu sebetulnya berasal dari al-Syâtibî sendiri. Lihat al-Syâtibî , Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hal. 70. Bandingkan pula dengan Maribel Fierro, “Al-Shatibi”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). Bandingkan dengan tesis Ismaîl Hasani Nazhâriyyah al Maqâshid ind Imâm Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, dalam penerbit yang sama hal. 60-73.

19 Baca kembali Ibn ‘Âsyûr dalam, Maqâshid syarî’ah, 1979. hal. 51. lihat juga versi tahqîq Al- Maisawi, 2001, hal. 96-97.

20 Lihat Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” Dâr-el Tunîsiyah linnasar. [T. th. hal. 38-46

Senada dengan Abid al-Jabiri, pengarang al-Tahrîr wa al-Tanwîr [Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr] mengcounter pandangan diatas, karena pandangan tersebut dapat dibawa ke titik ekstrem untuk menyatakan bahwa petunjuk al-Qur`ân hanya diperuntukkan kepada bangsa Arab abad 7 Masehi. Selanjutnya ia menambahkan bahwa ada hikmah-hikmah (hikmah al-Tasyrî’) di balik pilihan Allah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur`ân. Walaupun demikian, kenyataan bahwa al-Qur`ân diturunkan kepada bangsa Arab itu tidak berarti hukum-hukum syari’at hanya diperuntukkan bagi mereka atau untuk kepentingan-kepentingan

mereka belaka, namun sebaliknya ia bersifat umum [general] dan abadi [berkesinambungan], dan al-Qur`ân sebagai mukjizat baik dari segi bahasa dan makna (lafdzan wa ma’nan) yang autentitas dan relevansinya diuji sepanjang masa,

dengan demikian ketidak sesuaian (kebenaran anggapan) tersebut akan tertolak.” 21 Delapan tujuan dasar (al-Maqâshid al-asliyyah) yang dirumuskan Ibn ‘Âsyûr

(1878-1973 M) kemudian disebut sebagai prinsip tafsirnya yaitu; pertama, mengajarkan dan memperbaiki akidah; kedua, mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia; ketiga, menetapkan hukum-hukum syariat; keempat, menunjukkan jalan kebenaran kepada umat Islam (Siyâsah al-Ummah); kelima, memberikan pelajaran dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu; keenam, pengajaran syari’at sesuai dengan perkembangan zaman; ketujuh, al-Targhîb wa al-Tarhîb; kedelapan,

membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad shallawwâh ‘alaih wasallam. 22

Sering dikatakan bahwa kajian tentang penafsiran tidak dapat dilepaskan dari subyektifitas interpretasi dari penafsir dalam penafsirannya sampai akhir zaman. Hal ini disebabkan muatan-muatan bahasa/lafal-lafal yang terdapat dalam Al-Qur’an sangat kaya makna sehingga digambarkan dalam surah al-Kahfi [18:109-110];

21 Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th., vol. 1 [T. th. vol. 1] hal. 39.

22 Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah, hal. 39-41. lihat juga uraian Quraish Shihab, bahwa penolakan al- Syâtibî terhadap tafsir saintifik merupakan antitesis dari pandangan al-Ghazâli tentang al-Qur`ân yang

mencakup seluruh jenis ilmu pengetahuan. Kedua pandangan tersebut, menurut Quraish Shihab, sama- sama berlebihan dan “sukar dipahami”. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, cet. 19, 1999), hal. 102.

$uΖ÷∞Å_ öθs9uρ ’În1u‘ àM≈yϑÎ=x. y‰xΖs? βr& Ÿ≅ö7s% ãóst6ø9$# y‰ÏuΖs9 ’În1u‘ ÏM≈yϑÎ=s3Ïj9 #YŠ#y‰ÏΒ ãóst7ø9$# tβ%x. öθ©9 ≅è% u!$s)Ï9 (#θã_ötƒ tβ%x. yϑsù ( Ó‰Ïn≡uρ ×µ≈s9Î) öΝä3ßγ≈s9Î) !$yϑ¯Ρr& ¥’n<Î) #yrθムö/ä3è=÷WÏiΒ ×|³o0 O$tΡr& !$yϑ¯ΡÎ) ö≅è% ∩⊇⊃∪ #YŠy‰tΒ Ï&Î#÷WÏϑÎ/ ∩⊇⊇⊃∪ #J‰tnr& ÿϵÎn/u‘ ÍοyŠ$t7ÏèÎ/ õ8Îô³ç„ Ÿωuρ $[sÎ=≈|¹ WξuΚtã ö≅yϑ÷èu‹ù=sù ϵÎn/u‘

Pandangan Ahmad Ibn Hanbal sejalan yang menyatakan bahwa tafsir (penafsiran) tidak memiliki pijakan ( ﻞﺻأ ﺎﻬﻟ ﺲﻴﻟ ) karena ia tak mengenal henti, ia seperti Malâhim dan Maghazî. 23

Sebagai catatan bahwa manusia dalam menafsirkan kalimat-kalimat Allah hanya bisa sampai pada derajat pemahaman yang relatif dan tidak sampai pada posisi absolut. Karenanya pesan Tuhan-pun tidak dipahami sama dari waktu kewaktu, melainkan ia senantiasa dipahami selaras dengan realitas, kondisi sosial yang seiring dengan berlalunya zaman, selaras dengan kebutuhan umat sebagai konsumennya. Yang pada gilirannya menempatkan Exegesis sebagai disiplin keilmuan yang tidak mengenal kering. Penggemar dan peneliti tafsir telah benyak menunjukkan pelbagai model interpretasi semenjak awal kemunculan disiplin ilmu tersebut sampai ke era

kontemporer. 24 Upaya pembacaan kritis terhadap teks keagamaan (Al-Qur’ân) tanpa didasari

Greget dengan kemampuan pemahaman akan khazanah klasik (at-turarts) secara maksimal merupakan sesuatu yang ahistoris. Disamping itu dalam wilayah teks keagamaan dan teladan salaf al-Shâlih masih menjadi sebuah keniscayaan, maka dari sinilah timbul celah-celah interpretasi dan pendefinisian dari interpretasi satu kepada yang lain. Munculnya ortodoksi (selanjutnya disebut rigiditas) adalah sesuatu yang

23 Jalâl al-Dîn Al-Suyûti, al-Itqân fî Ulûm al-Qur’ân, hal. 87. 24 Lihat karya-karya kontemporer seperti adz-Dzahabi al-Tafsir wa al-Mufassirûn, Amin al-

Khuli dengan Manâhij al-Tajdîd fî al-nahw wa al-balâghah wa al-tafsîr wa al-adab (cairo 1976), Hassan Hanafi dengan Manâhij tafsir wa Mashâlih al-Ummah dalam al-Dîn wa al-Tsawra: al-Yamîn wa al-yasar fî al-fikr al-dînî (cairo 1989), Ignaz Goldziher, J.JG. Jansen dengan The Interpretation of the Qur’an in Modern Egypt, (Leiden, E.J. Brill, 1974), John Wansbrough dengan Qur’anic Studies: Sources an Methods of sriptural Interpretation (oxford University Press 1977). Lihat lebih lanjut dalam Jurnal studi Al-Qur’ân (PSQ) vol. 1 Januari 2006, hal. 79-83 Khuli dengan Manâhij al-Tajdîd fî al-nahw wa al-balâghah wa al-tafsîr wa al-adab (cairo 1976), Hassan Hanafi dengan Manâhij tafsir wa Mashâlih al-Ummah dalam al-Dîn wa al-Tsawra: al-Yamîn wa al-yasar fî al-fikr al-dînî (cairo 1989), Ignaz Goldziher, J.JG. Jansen dengan The Interpretation of the Qur’an in Modern Egypt, (Leiden, E.J. Brill, 1974), John Wansbrough dengan Qur’anic Studies: Sources an Methods of sriptural Interpretation (oxford University Press 1977). Lihat lebih lanjut dalam Jurnal studi Al-Qur’ân (PSQ) vol. 1 Januari 2006, hal. 79-83

mainded] untuk menentukan kriteria rigiditas tersebut. 25 Tetapi kita bisa dengan cukup aman menggunakan konsep Rigiditas/ortodoksi

ini dalam kajian tafsir berdasarkan alasan-alasan berikut; Pertama, Rigiditas penafsiran yang dipahami sebagai sebuah konsep ternyata dapat ditemukan dalam karya para pemikir muslim awal, terutama di bidang teologi

dan heresiografi. 26 Dalam konteks ini, rigiditas dipahami dalam kerangka pembedaan antara “yang benar” dan “yang salah”. Kajian tafsir pun tidak luput dari kategorisasi

diatas. Sebagaimana dapat dilihat dengan jelas, literatur-literatur tafsir dan ‘Ulûm al- Qur`ân dipenuhi oleh kriteria-kriteria serta contoh-contoh “deviasi” dalam penafsiran. Hal tersebut menyiratkan adanya sebuah konsep tentang ortodoksi dalam

tafsir. 27 Kedua, proses standardisasi dalam disiplin keilmuan selalu berlangsung sampai

pemapanan ilmu yang dimaksud. 28 Dalam disiplin keilmuan tafsir misalnya, kecenderungan yang sama juga terjadi. Prinsip-prinsip, metode-metode serta

terminologi-terminologi tafsir dan ‘Ulûm al-Qur`ân telah mengalami proses pemapanan yang berlangsung sekian lama, yang mapan serta yang standar kemudian

25 Karena tidak adanya sebuah institusi dalam Islam yang bisa membuat sebuah doktrin menjadi resmi dan ortodoks, maka Montgomery Watt lebih suka menggunakan istilah “pandangan mayoritas”

(the view of the main body) atau “pandangan Sunni” (the Sunnite view). Lihat W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hal. 268.

26 Jika ortodoksi dipahami sebagai upaya untuk membedakan antara keyakinan yang benar dan keyakinan yang salah, maka orang-orang seperti al-Asy‘ari, al-Ghazali, al-Syahrastanî dan lain-lain

pernah mencoba mendefinisikan parameter keislaman yang “benar” dan mengkategorikan sikap-sikap yang bertentangan dengannya sebagai pola keberagamaan yang “salah”. Parameter itu kemudian menjadi acuan dasar untuk memapankan ortodoksi Sunni serta menegaskan heterodoksi kelompok- kelompok lain di luarnya, seperti Syi‘ah, Muktazilah, Khawarij dan lain-lain. Lihat Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004), hal. 77-78.

27 Lihat buku yang berjudul Al-Isrâiliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadits Majma’ Buhuts al- Islâmiyyah, terj. Didin Hafidhuddîn, diterbitkan oleh Litera antar Nusa, cet.1 1989.

28 Ortodoksi adalah sebuah fenomena yang tidak saja terjadi dalam bidang agama, tetapi juga terjadi dalam banyak disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi. Lihat Ursula Günther,

“Mohammed Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), hal. 142.

menjadi arus-utama dan dianut oleh mayoritas ulama tafsir. Setiap pemikiran yang berbeda dari mainstream tersebut cenderung dianggap sebagai penyimpangan dari pemahaman yang sudah mapan tersebut.

Persoalannya, mungkinkah kriteria ortodoksi/rigiditas sebuah tafsir itu didefinisikan dan dibatasi? Atas dasar apa serta mengapa sebuah teori penafsiran bisa dikategorikan rigid dan bukan heterodoks/elastis? Para fuqahâ belum menggunakan konsep Maqâshid penafsiran? Bagaimana mungkin kita membatasi sebuah teritori banyak orang, dengan pendapat masing-masing yang berbeda-beda, ingin dianggap

sebagai bagian darinya? Berhadapan dengan problem-problem di atas, penelitian ini meyakini bahwa adalah mungkin untuk membatasi dan mendefinisikan struktur dasar penafsiran yang rigid seperti pembatasan terhadap ortodoksi Sunni yang dilakukan oleh Norman

Calder misalnya, dalam artikelnya, “The Limits of Islamic Orthodoxy”. 29 Hanya saja, mesti diupayakan bahwa pembatasan itu, pertama; bersifat general

dan elastis; “general” dalam arti bahwa ia dituntut untuk mencari prinsip-prinsip yang relatif permanen dan tidak berubah dari masa ke masa; “elastis” dalam arti bahwa ia tidak dirumuskan berdasarkan asumsi yang rigid bahwa ortodoksi dibangun sekali dan untuk selamanya serta tidak pula berpretensi untuk menengahi atau mereduksi perdebatan-perdebatan yang mengemuka dalam kajian tafsir sepanjang beberapa abad lamanya. Kedua; pembatasan itu juga diusahakan untuk lebih bersifat sosiologis daripada normatif. Artinya, ia digunakan sekedar untuk menjawab pertanyaan mengapa sebuah teori atau pandangan dalam tafsir diterima oleh komunitas mufassir sementara teori atau pandangan lain ditolak.

Dengan cara yang sama, kriteria elastisitas tersebut berfungsi menjadi basis untuk menganalisa mengapa Ibnu ’Âsyûr dalam hal ini penting. Apresiasi terhadap karya dengan cara proporsional dari sudut pandang sebuah tafsir yang elastis, sementara di sisi lain, pendapat-pendapatnya juga digunakan untuk mendukung dan

29 Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hal. 66-86.

menjustifikasi penafsiran yang rigid. Ketiga; demi menghindari simplifikasi yang berlebihan, upaya penilaian terhadap metode tafsir Ibnu ’Âsyur akan dilakukan kepada masing-masing bagiannya untuk menghasilkan kesimpulan bahwa, prinsip- prinsip Maqâshid dalam tafsir Ibn ’Âsyur bertentangan atau tidak sesuai dengan struktur ortodoksi/penafsiran yang rigid.

Norman Calder menambahkan; dalam penelitian tidak ada satu pun karya di bidang tafsir yang bisa dianggap memberi kata akhir bagi apa yang disebut ortodoksi /rigiditas penafsiran. Karena itu, penelitian ini tidak mencoba melacak rigiditas tafsir

melalui pandangan atau karya seorang ulama tertentu, melainkan melalui pembatasan terhadap struktur dasar ortodoksi, dari mana unsur-unsur deviasi dari rigiditas itu bisa

dinilai. 30 Bertolak dari asumsi tersebut, penelitian ini juga memilih untuk tidak terlalu

memusatkan perhatiannya kepada relasi antara rigiditas penafsiran dan elastisitas tafsir, melainkan kepada proses diskursif yang berlangsung di antara para ulama’ tafsir. Dan karena belum ada satu pun literatur yang menguraikan struktur dasar rigiditas dalam tafsir secara utuh dan sistematis, maka struktur tersebut akan digali, terutama, dari literatur-literatur tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân, berdasarkan kerangka

teori yang akan diuraikan pada bagian mendatang. 31 Sebuah penafsiran rigid agak sulit dibatasi, karenanya penelitian ini memilih

untuk mendefinisikan rigiditas dengan memotret perdebatan para teolog kelompok- kelompok Syi‘ah, Muktazilah, dan Khawârij. Pendekatan semacam ini dilakukan juga oleh, misalnya, Wael B. Hallaq dalam karyanya, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh —yang dimaksudnya dengan “Sunni Usûl al-

30 Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hal. 69-71. 31 Literatur-literatur tafsir dan ‘Ulûm al-Qur`ân juga meliputi karya-karya tentang “heresiografi”, perdebatan, serta tipologi tafsir (seperti al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm karya al-Dzahabi, Ikhtilaf al-Mufassirîn: Asbâbuhû wa Dhawâbituhû, Madzâhib al- Mufassirîn, dan lain-lain), serta karya-karya tentang kaidah dan aturan tafsir (seperti al-Qawâ‘id al- Hisân li Tafsîr al-Qur`ân, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, dan lain-lain).

Fiqh” adalah ushûl fiqh yang dikembangkan oleh sebuah kelompok mayoritas (Sunni) di luar Syi‘ah. 32

Sering dikatakan bahwa upaya memahami Al-Qur’ân sebatas kemampuan manusia (tafsir) terus berkembang, dan klaim atas otoritas tafsir sampai hari ini masih terbuka. Hanya saja prasyarat bagi mufasir sebelum menafsirkan al-Qur’ân diperlukan kematangan pemahaman, dasar-dasar ilmu yang berkaitan dengan Maqâshid Al-Qur’ân secara komprehensif merupakan suatu kelaziman, disamping kaidah-kaidah penafsiran dan tujuannya harus dikuasai. Konteks merupakan bagian

yang tidak dapat ditinggalkan guna mewujudkan elaborasi dan elastisitas makna secara komprehensif. Konsep dan metode Maqâshid yang ditawarkan dalam

penelitian ini diyakini penulis mampu menjawab problematika tersebut. 33 Disiplin ilmu-ilmu tafsir sudah dimulai pada zaman Rasulullah, kemudian baru

pada akhir abad kedua Hijriah, 34 dan mulai bermunculan tulisan-tulisan yang mengarah kepada perumusan kaidah-kaidah tafsir al-Qur`ân dalam bentuknya yang

sederhana, seperti al-Asybah wa al-Nazhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm, karya Muqâtil ibn Sulayman (w. 150 H.); Ma‘ânî al-Qur`ân, karya al-Farrâ`(w. 207 H.); serta Majâz

al-Qur`ân, karya Abu ‘Ubaydah Ma‘mar ibn al-Mutsannâ (w. 215 H.). 35 Tetapi orang

32 Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, hal. 7 33 Disinyalir oleh Mahmud Syahatah bahwa Rasyîd Ridhâ (murid ‘Abduh dan juga guru dari

Ibn ‘âsyur) menggunakan Maqâshid al-Qur’an dalam penafsiran sebagaimana kedua gurunya al- Afghâni dan Muhammad ‘Abduh, Lihat Abdullah Mahmud Syahatah, dalam karyanya manhaj al- Imâm Muhammad Abduh fi tafsir al-Qur’ân al-karim (Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah alfunûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963, hal. 33. dan karyanya yang berjudul ahdâf kulli sûrah wa maqâsiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah al-Mishriyyah, 1986), hal. 93-94. dalam buku yang terakhir yang disebut Mahmud Syahatah mulai menggunakan Istilah untuk tujuan-tujuan pokok Al- Qur’ân antara lain Maqâshid, ahdâf, fikrah ‘Ammah mabâdi’, yang selanjutnya ia lebih cenderung memakai istilah ahdâf sebagaimana judul bukunya.

34 ‘Abid al-Jâbiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi, hal. 16. lihat juga Khalid ibn ‘Utsman al-Sabt, Qawâ‘id al-Tafsîr Jam‘ân wa Dirâsatan (Kairo: Dar Ibn ‘Affan, 1421 H.), hal. 42; dan Khalid ‘Abd

al-Rahman al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qâwa‘iduhu, (Beirut: Dar al-Nafais, cet. 2, 1986), hal. 32-33. 35 Al-Jâbiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi, hal. 16-17. Dengan karyanya di atas, Muqatil ibn

Sulayman dianggap sebagai salah seorang yang paling awal menulis karya di bidang ‘ulûm Al Qur'ân. Ulama-ulama belakangan, seperti al-Zarkasyi dan al-Suyuti, mengutip banyak hal dari karyanya itu. Lihat ‘Abdullah Mahmud Syahatah, “Muqâtil ibn Sulayman: Dirâsah ‘an al-Mu`allif” dalam Muqatil Sulayman dianggap sebagai salah seorang yang paling awal menulis karya di bidang ‘ulûm Al Qur'ân. Ulama-ulama belakangan, seperti al-Zarkasyi dan al-Suyuti, mengutip banyak hal dari karyanya itu. Lihat ‘Abdullah Mahmud Syahatah, “Muqâtil ibn Sulayman: Dirâsah ‘an al-Mu`allif” dalam Muqatil

Risâlah. 36 Luay Shâfiy mengadaptasi pandangan Syaikh Mahdi Syamsuddin sebagaimana

dipaparkan pertanyaan; bagaimana agar Al-Qur’ân (sebagai wahyu langit) membumi. Luay Shafiy menggunakan pendekatan dua metodologi yang di pandang saling melengkapi guna menjawab pertanyaan diatas. Pertama; metode istinbath (deduksi) yang dibangun oleh Imam Al-Syafi’I (w.204 H) yang selama ini digunakan dalam

perkembangan metode Ijtihad dalam Ushul fiqh dan fiqh, metode ini merupakan “metodologi nushûshiyyah” yang formulasi hukumnya berkembang seiring dengan peradaban zaman dan keilmuan umat bertumpu pada rasionalitas (akal), didasari pada perspektif Al-Qur’ân (dalil naqli) secara berangsur-angsur menghantarkan pada pandangan (kaidah-kaidah) para Fuqahâ’, yang jika ditarik pada titik ekstrem dapat berimplikasinya pada penafsiran rigid dan kemudian menghasilkan konsep hukum yang kaku. Kedua; ia mengemukakan metode qiyâs-nya dari pandangan partikular menuju pada pandangan general (al-intiqâl min al-nadhri juzî’iy ilâ nadhri al-kulliy) dengan formulasi Maqâshid Al-Qur’ân untuk mencapai elaborasi dan elastisitas

makna teks, selanjutnya pemahaman metode ini biasanya digunakan oleh mujtahid. 37

ibn Sulayman, Al-Asybah wa al-Nazhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: Al-Hay`ah al-Misriyyah al- ‘Ammah li al-Kitab, cet. 2, 1994), hal. 77.

36 Khalid Al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, hal. 35. Khalid ibn ‘Utsman al-Sabt menambahkan Ahkâm al-Qur`ân sebagai karya lain al-Syafi‘i yang memuat kaidah-kaidah interpretasi

al-Qur`an. Lihat Khalid al-Sabt, Qawâ‘id al-Tafsîr, hal. 42. Al-Jâbiri bahkan menyebut al-Syafi‘i dengan al-Risâlah-nya sebagai “peletak pertama aturan-aturan tafsir al-khitâb al-bayâni dan perintis terbesar (al-musyarri‘ al-akbar) bagi nalar Arab.” Lihat al-Jâbiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbî, hal. 17.

37 Luay Shofiy, Kinerja akal, min al- nadhrâh tajzi'iyyah ilâ al- Ru'yâh al-Takâmuliyyah (dari yang partikular menuju yang general), Dar el Fikr, Damaskus, 1419 H / 1998 M, hal. 195. lihat juga,

Hammadi al-‘Ubaydi, Al-Syâtibî wa Maqâshid al-Syarî’ah (Tripoli: Kulliyyah al-Da‘wah al- Islâmiyyah, 1992), hal. 12-13.

Norman Calder menyatakan, 38 bahwa metode yang digunakan seorang mufassir dapat dianggap lebih penting dari produk tafsir yang dihasilkan, karena perbedaa

interpretasi tersebut lahir terutama akibat perbedaan metode yang digunakan oleh masing-masing mufassir. 39 Penjelasan diatas dimaksudkan untuk membangun