Keawetan Alami Dan Keterawetan Kayu Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk)

(1)

KEAWETAN ALAMI DAN KETERAWETAN KAYU NANGKA (Artocarpus heterophyllus Lamk)

SKRIPSI

Oleh :

RIKA MANDASYARI

031203033/TEKNOLOGI HASIL HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ABSTRACT

The objection of this research was to know the natural durability effect of Artocarpus heteropyllus Lamk wood of subteran termite’s attack, retention and penetration of borat acid solution, and durabilition of Artocarpus heteropyllus Lamk. After preserving treatment, wood graved for 100 days. Percentation of weight deduction was between 0,02 % - 0,54 %. Artocarpus heteropyllus Lamk can be classified as resistence wood of attaction of subteran termite. The preservative retention value of Artocarpus heteropyllus Lamk wood was between 0,57 - 3,73 kg/m3, and penetration was between 3,03 - 8,75 mm. The highest retention and penetration was show by treatment with concentration 6 % for soaking priod of 72 hours. Retention and penetration, Artocarpus heteropyllus Lamk wood can be classified as intermediately in preserving. The increasing of concentration and soaking priod of borat acid solution can increase retention and penetration borat acid solution also can increase resistence of Artocarpus heteropyllus Lamk wood for subteran termite attaction.

Keywords : Retention, Penetration, Borat Acid, Graveyard, Artocarpus heterophyllus Lamk.


(3)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keawetan alami kayu nangka (Artocarpus hetrophyllus Lamk) terhadap serangan rayap tanah, besarnya retensi dan penetrasi asam borat pada kayu nangka dan mengetahui keterawetan kayu nangka. Setelah dilakukan pengawetan, selanjutnya contoh uji ditanam selama 100 hari. Persentasi kehilangan berat berkisar antara 0,02 % sampai dengan 0,54 %. Kayu nangka dapat diklasifikasikan kedalam kayu yang tahan terhadap serangan rayap tanah. Nilai retensi bahan pengawet asam borat pada kayu nangka berkisar antara 0,57 sampai dengan 3,73 kg/m3, sedangkan penetrasinya berkisar antara 3,03 sampai dengan 8,75 mm.Retensi dan penetrasi tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi asam borat 6 % dengan lama perendaman 72 jam. Dari hasil retensi dan penetrasi, kayu nangka termasuk kayu yang sedang untuk diawetkan. Peningkatan konsentrasi dan lama perendaman asam borat dapat meningkatkan nilai retensi dan penetrasi bahan pengawet asam borat serta semakin tahan terhadap serangan rayap tanah.

Kata kunci : Retensi, Penetrasi, Asam Borat, Uji Kubur, Artocarpus heterophyllus Lamk


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Balai - Sumatera utara pada tanggal 5 Maret 1985 dari Ayah Syarifuddin dan Ibu Kartini. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersudara.

Pada tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Tanjung Balai – Sumatera Utara dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk USU melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Program Studi Teknologi Hasil Hutan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten laboratorium pada Mata Kuliah Pengawetan Kayu dan Hama Penyakit Hasil Hutan. Penulis juga telah melaksanakan PKL di PT. Musi Hutan Persada Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan dan melaksanakan penelitian dengan judul Keawetan Alami dan Keterawetan Kayu Nangka (Atocarpus heterophyllus Lamk) di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan da Hutan Tridarma Unierversitas Sumatera Utara di bawah bimbingan Ibu Ridwanti Batubara, S. Hut, M.P dan Ibu Iwan Risnasari, S.Hut, M. Si.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas berkat dan rahmat Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Aspek penelitian yang telah dilakukan adalah pengawetan kayu dengan judul “Keawetan Alami dan Keterawetan Kayu Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk)’’.

Dalam pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian skripsi penulis banyak mendapat bantuan, dukungan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesarnya kepada:

1. Ayahanda Syarifuddin dan Ibunda Kartini, serta kepada adik-adik dan keluarga tercinta yang telah memberikan kasih sayang dan perhatian yang besar serta doanya untuk keberhasilan penulis.

2. Ibu Ridwanti Batubara, S. Hut, M.P. dan Ibu Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si. selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan, saran dan bantuannya kepada penulis dalam melaksanakan penelitian hingga penyelesaian skripsi.

3. Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M. S selaku Ketua Departemen 4. Teman-teman THH, MNH, BDH 2003 yang tidak dapat dituliskan satu.

persatu

Akhir kata penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Medan, Desember 2007


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ……… i

ABSTRAK ………... ii

RIWAYAT IDUP………. iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ……… v

DAFTAR TABEL ……… vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN………. viii

PENDAHULUAN Latar Belakang…….. ……… 1

Tujuan……... ……… 2

Manfaat Penelitian… ……… 3

Hipotesis…... ……… 3

TINJAUAN PUSTAKA Keawetan Alami ……… 4

Keterawetan……… 6

Aspek Pengawetan Kayu ……… 8

Bahan Pengawet Kayu ...……… 9

Bahan Pengawet Asam Borat………. 10

Metode Pengawetan Kayu ………. 12

Keberhasilan Pengawetan Kayu ……… 13

Retensi ………... 13

Penetrasi ……… 14

Rayap Sebagai Organisme Perusak Kayu ………. 16

Rayap Tanah……….. 20

Kayu Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk)………... 22

METODOLOGI……... ……… 25

Lokasi dan Tempat Penelitian ……… 25

Bahan dan Alat Penelitian… ……… 25

Metode Penelitian…. ……… 26

HASIL DAN PEMBAHASAN Retensi……… 31

Penetrasi………. 34

Uji Kubur……… 38

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan……….. 43

Saran……… 43


(7)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Klasifikasi Keawetan Kayu ……… 5 Tabel 2. Pengaruh Kondisi Lingkungan Terhadap Umur Pakai

Kayu pada Setiap Kelas Keawetan Kayu ……….. 5 Tabel 3. Klasifikasi Ketahanan Papan Terhadap

Serangan Rayap……… 29 Tabel 4.Retensi Rata-rata Bahan Pengawet

Asam Borat pada Kayu Nangka………. 31 Tabel 5. Persyaratan Retensi Bahan Pengawet

untuk Kayu perumahan dan Gedung……….. 32 Tabel 6. Hasil Uji Duncan Retensi Bahan PengawetAsam Borat

pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95% ... 33 Tabel 7. Hasil Uji Jarak Duncan Retensi Bahan Pengawet Asam Borat

pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95%... 34 Tabel 8. Penetrasi Rata-rata Bahan Pengawet

Asam Borat pada Kayu Nangka………. 35 Tabel 9. Hasil Uji Jarak Duncan Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat

pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95%... 37 Tabel 10. Hasil Uji Jarak Duncan Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat

pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95%... 37 Tabel 11. Hasil Ketahanan Kayu Nangka Terhadap


(8)

DAFTAR GAMBAR

Hal

1. Pengukuran Penetrasi……….. 28 2. Grafik Retensi Bahan Pengawet Asam Borat………. 32 3. Grafik Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat……… 36 4. Penandaan Bagian Kayu yang Ditembus Bahan Pengawet………. 37 5. Contoh Uji yang Diserang Rayap Tanah………. 40 6. Rayap Macrotermes gilvus Hagen Kasta Prajurit……… 40 7. Rayap Macrotermes gilvus Hagen Kasta Pekerja……… 41 8. Penanaman Contoh Uji di Sekitar Sarang Rayap Tanah…………. 41


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

1. Kadar air Kayu Sebelum Proses Pengawetan………. 45 2. Hasil Perhitungan Retensi Bahan Pengawet

Asam Borat pada Kayu Nangka……...……… 45 3. Analisis Keragaman Retensi Bahan Pengawet Asam Borat………... 45 4. Hasil Uji Jarak Duncan Retensi Bahan Pengawet

Asam Borat……….. 45 5. Hasil Uji Jarak Duncan Retensi Bahan Pengawet

Asam Borat……….. 46 6. Hasil Perhitungan Penetrasi Bahan Pengawet

Asam Borat pada Kayu Nangka……….. 46 7. Analisis Keragaman Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat………. 46 8. Hasil Uji Jarak Duncan Penetrasisi Bahan Pengawet

Asam Borat……….. 46 9. Hasil Uji Jarak Duncan Penetrasi Bahan Pengawet

Asam Borat……….. 46 10. Data Hasil Ketahanan Kayu Nangka Terhadap Serangan………….. 47 Rayap Tanah selama 100 Hari


(10)

ABSTRACT

The objection of this research was to know the natural durability effect of Artocarpus heteropyllus Lamk wood of subteran termite’s attack, retention and penetration of borat acid solution, and durabilition of Artocarpus heteropyllus Lamk. After preserving treatment, wood graved for 100 days. Percentation of weight deduction was between 0,02 % - 0,54 %. Artocarpus heteropyllus Lamk can be classified as resistence wood of attaction of subteran termite. The preservative retention value of Artocarpus heteropyllus Lamk wood was between 0,57 - 3,73 kg/m3, and penetration was between 3,03 - 8,75 mm. The highest retention and penetration was show by treatment with concentration 6 % for soaking priod of 72 hours. Retention and penetration, Artocarpus heteropyllus Lamk wood can be classified as intermediately in preserving. The increasing of concentration and soaking priod of borat acid solution can increase retention and penetration borat acid solution also can increase resistence of Artocarpus heteropyllus Lamk wood for subteran termite attaction.

Keywords : Retention, Penetration, Borat Acid, Graveyard, Artocarpus heterophyllus Lamk.


(11)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keawetan alami kayu nangka (Artocarpus hetrophyllus Lamk) terhadap serangan rayap tanah, besarnya retensi dan penetrasi asam borat pada kayu nangka dan mengetahui keterawetan kayu nangka. Setelah dilakukan pengawetan, selanjutnya contoh uji ditanam selama 100 hari. Persentasi kehilangan berat berkisar antara 0,02 % sampai dengan 0,54 %. Kayu nangka dapat diklasifikasikan kedalam kayu yang tahan terhadap serangan rayap tanah. Nilai retensi bahan pengawet asam borat pada kayu nangka berkisar antara 0,57 sampai dengan 3,73 kg/m3, sedangkan penetrasinya berkisar antara 3,03 sampai dengan 8,75 mm.Retensi dan penetrasi tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi asam borat 6 % dengan lama perendaman 72 jam. Dari hasil retensi dan penetrasi, kayu nangka termasuk kayu yang sedang untuk diawetkan. Peningkatan konsentrasi dan lama perendaman asam borat dapat meningkatkan nilai retensi dan penetrasi bahan pengawet asam borat serta semakin tahan terhadap serangan rayap tanah.

Kata kunci : Retensi, Penetrasi, Asam Borat, Uji Kubur, Artocarpus heterophyllus Lamk


(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak ribuan tahun yang lalu kayu dikenal orang sebagai bahan (material) yang baik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dahulu kayu digunakan untuk bahan bakar, bahan pembuat rumah dan untuk senjata. Kemajuan teknologi menyebabkan manusia lebih mampu memanfaatkan kayu untuk memenuhi keperluan hidupnya (Ruhendi, 1986). Seiring dengan meningkatnya ilmu di bidang kehutanan sering dilakukan penelitian-penelitian tentang bagaimana pemanfaatan kayu secara maksimal disamping itu juga dilakukan penelitian terhadap kepekaan kayu yang dapat menurunkan kualitas kayu tersebut.

Organisme yang dapat merusak kayu diantaranya serangga, jamur dan bakteri. Namun sampai sekarang ini dilaporkan bahwa rayap merupakan organisme yang paling tinggi dalam merusak kayu di seluruh dunia.

Keawetan kayu merupakan faktor penting dalam penggunaannya, sebab bagaimanapun kuatnya kayu tidak akan berumur panjang apabila keawetannya yang rendah. Menurut Martawijaya (1994) dari 3.132 jenis yang sudah dikelompokkan, hanya sebagian kecil yang mempunyai keawetan yang tinggi, yaitu 14,3 % termasuk kelas awet I dan II. Sisanya terdiri dari jenis kayu yang kurang atau tidak awet yaitu 85,7 % termasuk kelas awet III, IV dan V, sehingga untuk dapat digunakan dengan memuaskan harus diawetkan dahulu.

Pengawetan kayu bertujuan untuk meningkatkan keawetan kayu, sehingga mutu kayu meningkat dan umur pakai lama. Jika pada kayu bangunan perumahan diawetkan frekwensi penggantian dapat ditekan, sehingga menghemat pemakaian


(13)

kayu yang pada gilirannya volume kebutuhan kayu berkurang dan menekan pemanenan kayu dari hutan dan kebutuhan akan kayu dapat dihemat.

Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1998), kriteria yang dipakai untuk menilai hasil pengawetan kayu adalah retensi dan penetrasi bahan pengawet. Retensi adalah banyaknya bahan pengawet murni/tanpa air yang diserap dalam kayu dan dinyatakan dalam kg/m3, sedangkan penetrasi adalah kedalaman penembusan bahan pengawet kayu dinyatakan dalam satuan mm.

Asam borat merupakan jenis bahan pengawet yang larut dalam air. Selain harganya murah bahan pengawet ini banyak ditemukan di pasaran. Asam borat dapat menghambat kerusakan kayu akibat cendawan dan serangga perusak kayu, terutama kumbang bubuk.

Kayu buah-buahan dapat dijadikan sebagai alternatif dalam efisiensi pemanfaatan kayu komersil yang semakin langka. Misalnya kayu nangka yang memiliki potensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, perkakas rumah tangga bahkan menurut Saptono (1999), kayu nangka lebih unggul dari kayu jati dalam pembuatan meubel, konstruksi bangunan, tiang kapal, untuk tiang kuda, kandang sapi dan dayung.

Dari uraian di atas perlu dilakukan penelitian mengenai keawetan alami dan keterawetan kayu nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui keawetan alami kayu nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) terhadap serangan rayap tanah.


(14)

2. Mengetahui besarnya retensi dan penetrasi asam borat pada kayu nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk), dan pengaruh konsentrasi dan lama perendaman terhadap retensi dan penetrasi.

3. Mengetahui keterawetan kayu nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk).

Manfaat Penelitian

1. Tersedianya data keawetan alami dan keterawetan kayu nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk).

2. Memberikan informasi bahwa kayu nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) dapat digunakan sebagai alternatif dalam pemanfaatan kayu dengan keawetan yang lebih tinggi.

Hipotesis Penelitian

1. Semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet dan semakin lama perendaman, maka retensi dan penetrasi meningkat serta semakin tahan terhadap serangan rayap tanah.

2. Keawetan alami kayu berbeda antara kayu yang diawetkan dan yang tidak diawetkan.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Keawetan Alami Kayu

Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi organisme yang bersangkutan (Duljapar, 1996). Menurut Anonim (1998), keawetan alami kayu ini ditentukan oleh ada dan tidaknya zat ekstraktif dan banyak sedikitnya bahan phenol dari zat ekstraktif tersebut yang ditimbun pada dinding sel, selain faktor ketebalan dan kerapatan sel yang menyusunnya.

Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaiannya. Kayu dikatakan awet bila mempunyai umur pakai lama. Kayu berumur pakai lama bila mampu menahan bermacam – macam faktor perusak kayu. Kayu diselidiki keawetannya pada bagian kayu terasnya, sedangkan kayu gubalnya kurang diperhatikan. Pemakaian kayu menentukan pula umur pemakaiannya. Kayu, yang awet dipakai dalam konstruksi atap, belum pasti dapat bertahan lama bila digunakan di laut, ataupun tempat lain yang berhubungan langsung dengan tanah. Demikian pula kayu yang dianggap awet di Eropa, belum tentu awet bila dipakai di Indonesia. Serangga perusak kayu juga berpengaruh besar. Kayu yang mampu menahan serangan rayap tanah belum tentu mampu menahan serangan bubuk. Oleh karena itu tiap-tiap jenis kayu mempunyai keawetan yang berbeda pula (Dumanaw, 1993).

Keawetan kayu menjadi faktor utama penentu penggunaan kayu dalam konstruksi. Bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya tidak akan berarti bila keawetannya rendah. Suatu jenis kayu yang memiliki bentuk dan


(16)

kekuatan yang baik untuk konstruksi bangunan tidak akan bisa dipakai bila kontruksi terebut akan berumur beberapa bulan saja, kecuali bila kayu tersebut diawetkan terlebih dahulu dengan baik. Karena itulah dikenal apa yang disebut dengan kelas pakai, yaitu komposisi antara kelas awet dan kelas kuat, dengan kelas awet dipakai sebagai penentu kelas pakai. Jadi, meskipun suatu jenis kayu memiliki kelas kuat yang tinggi, kelas pakainya akan tetap rendah jika kelas awetnya rendah (Tim Elsppat, 1997).

Suranto (2002), memaparkan bahwa tiap-tiap kelas keawetan itu memberi gambaran tentang umur kayu dalam pemakaian. Secara utuh klasifikasi keawetan kayu dapat dilihat pada Tabel 1. dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap umur pakai kayu pada setiap kelas keawetan kayu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Klasifikasi Keawetan Kayu

Kelas Keawetan Kualifikasi Keawetan Umur Pemakaian Rata-rata (tahun)

1 Sangat awet > 8

2 Awet 5 – 8

3 agak awet 3 – 5

4 tidak awet 1.5 – 3

5 sangat tidak awet < 1.5

Sumber: Suranto (2002).

Tabel 2. Pengaruh Kondisi Lingkungan Terhadap Umur Pakai Kayu pada Setiap Kelas Keawetan Kayu

No Kondisi Umur Pakai (tahun)pada Kelas Keawetan

Pemakaian 1 2 3 4 5

1 Terbuka 8 5 3 Pendek Sangatpendek

2

Dinaungi

saja 20 15 10 Beberapa Pendek

3 Dinaungi Tidak Tidak Sangat Beberapa Pendek dan dicat terbatas terbatas panjang

4 Dinaungi Tidak Tidak Sangat 20 20

dan

dipelihara terbatas terbatas panjang Sumber: Suranto (2002).


(17)

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat juga selain faktor biologis, terdapat faktor lain yang mempengaruhi keawetan kayu. Terlihat jelas pada tempat kayu tersebut dipakai. Kayu yang awet jika dipakai di bawah atap belum tentu akan awet bila dipakai di luar dan berhubungan dengan tanah lembab. Kayu yang dipakai di daerah pegunungan tinggi keawetannya akan berkurang jika dipakai di dataran rendah. Demikian juga kayu yang diawetkan di Amerika Utara belum tentu akan tahan lama jika dipakai di daerah tropis. Keawetan kayu selain dipengaruhi faktor biologis, juga dipengaruhi faktor lain seperti, kandungan zat eksraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang, kecepatan tumbuh dan tempat kayu tersebut dipergunakan (Tim Elsppat, 1997). Hal yang sama ditambahkan oleh Haygreen dan Bowyer (1996), apabila kayu secara alami dapat tahan terhadap serangan cendawan dan serangga disebabkan karena sebagian zat ekstraktif bersifat racun atau paling tidak menolak jamur pembusuk dan serangga. Selain itu menurut Tim Elsppat (1997), faktor suhu, kelembaban udara dan faktor fisik lainnya akan ikut mempengaruhi kegiatan organisme perusak kayu tersebut.

Keterawetan Kayu

Keterawetan merupakan suatu sifat yang dimiliki kayu terhadap mudah tidaknya ditembus bahan pengawet kayu. Keterawetan kayu juga dipengaruhi oleh fakor anatomi kayu berupa rapat tidaknya susunan sel, ada tidaknya timbunan bahan dalam isi sel, besar kecilnya lubang pori dan adanya getah atau saluran damar serta noktah. Kayu yang rapat dan padat keterawetannya tinggi yaitu kelas I contohnya pada kayu ulin dan kayu besi/kayu eboni, kelas II contohnya bangkirai,


(18)

kamper singkil. Kayu-kayu ini memang sudah awet sehingga kurang perlu diawetkan (Anonim, 1994).

Menurut Suranto (2002), keterawetan kayu adalah ukuran yang menggambarkan mudah tidaknya kayu diresapi dan dimasuki bahan pengawet. Kayu yang semakin mudah dimasuki bahan pengawet, dikatakan bahwa kayu itu mempunyai keterawetan tinggi. Sebaliknya kayu yang semakin sukar dimasuki bahan pengawet, disebut sebagai kayu yang mempunyai keterawetan rendah. Dengan demikian, keterawetan kayu menyangkut masalah ketahanan kayu terhadap arus masuknya bahan pengawet ke dalam kayu.

Kayu yang mempunyai derajat keterawetan tinggi berarti kayu itu mudah diawetkan sehingga kayu itu dapat diawetkan dengan hasil memuaskan, meskipun dengan metode sederhana atau pengawetan tanpa tekan. Sebaliknya, kayu yang mempunyai keterawetan rendah, maka kayu tersebut sangat sukar untuk diawetkan dengan proses pengawetan sederhana. Oleh karena itu, kayu demikian harus diawetkan dengan metode pengawetan yang menerapkan proses penghampaan yang kemudian diikuti dengan proses penekanan (Suranto, 2002).

Jenis-jenis kayu yang mempunyai keterawetan hampir sama dapat diawetkan secara bersama-sama dengan menggunakan metode dan skema pengawetan yang sama pula. Namun sayang, kita sulit mendapatkan kayu-kayu yang mempunyai keterawetan sama, apalagi bila kayu itu berasal dari jenis berbeda. Pada umumnya, keterawetan kayu berbeda-beda antara jenis kayu yang satu terhadap jenis kayu yang lain. Keterawetan kayu ditentukan oleh empat hal, yaitu jenis kayu, kondisi kayu yang diawetkan, metode pengawetan dan bahan pengawet yang digunakan dalam proses pengawetan (Suranto, 2002).


(19)

Aspek Pengawetan Kayu

Menurut Hunt dan Garrat (1986), pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan kimia ke dalam kayu dengan tujuan melindungi kayu atau memperpanjang umur pakai kayu. Suranto (2002) mengemukakan bahwa pengawetan kayu adalah suatu usaha yang bertujuan untuk melindungi dan menghindarkan kayu dari berbagai serangan unsur-unsur biologi dan lingkungan yang merusak kayu sehingga umur kayu dalam pemakaiannya menjadi lebih panjang.

Menurut Hunt dan Garrat (1986), ada empat faktor utama yang mempengaruhi hasil pengawetan, yaitu:

1. Jenis kayu, yang ditandai oleh sifat yang melekat pada kayu itu sendiri seperti struktur anatomi, permeabilitas, kerapatan dan sebagainya.

2. Keadaan kayu pada waktu dilakukan pengawetan, antara lain kadar air, bentuk kayu, gubal/teras dan sebagainya.

3. Metode pengawetan yang digunakan. 4. Sifat bahan pengawet yang dipakai.

Beberapa kayu dapat diresapi bahan pengawet dengan mudah, yang lain mungkin cukup mudah mengabsorbsi bahan pengawet, yang lain lagi sangat sukar untuk diawetkan. Dalam beberapa peristiwa sebab yang tepat dari perbedaan-perbedaan dalam peresapan ini tidak jelas. Dalam peristiwa lain variasinya telah diketahui berasosiasi paling tida0k sebagian karena perbedaan anatomi yang nyata antara kayu-kayu yang bersangkutan. Juga sangat mungkin, bahwa sifat-sifat fisika dan kimia kayu memegang peranan yang penting dalam menentukan


(20)

kepekaan terhadap pengawetan dari masing-masing spesies (Hunt dan Garrat, 1986).

Umumnya dapat dikatakan bahwa kayu gubal dapat diimpregnasi jauh lebih mudah dari pada kayu teras. Kelebihan kayu gubal dibanding sengan kayu teras paling tidak sebagian, disebabkan karena perubahan anatomi, fisika atau kimia yang terjadi ketika kayu gubal berubah menjadi kayu teras. Perubahan ini disertai oleh matinya sel-sel hidup dari kayu gubal dan akumulasi yang berangsur-angsur dari resin, getah, tanin dan lain-lain yang memberikan warna tertentu dalam kayu teras dari banyak spesies dan jika beracun zat-zat ini menaikkan keawetan alaminya (Hunt dan Garrat, 1986).

Bahan Pengawet Kayu

Bahan pengawet kayu adalah suatu senyawa (bahan) kimia, baik berupa bahan tunggal maupun campuran dua atau lebih bahan, yang dapat menyebabkan kayu yang digunakan secara benar akan mempunyai ketahanan terhadap serangan cendawan, serangga dan perusak-perusak kayu lainnya (Suranto, 2002). Setiap bahan pengawet mengandung racun yang berguna untuk meracuni organisme perusak kayu. Daya racun dari setiap bahan pengawet sangat mempengaruhi hasil pengawetan.

Suranto (2002), menyatakan bahwa kemanjuran (efektivitas) bahan pengawet bergantung pada toksisitas terhadap organisme perusak kayu atau organisme yang berlindung di dalam kayu. Semakin tinggi kemampuan meracuni organisme perusak kayu, semakin manjur dan semakin efektif pula bahan pengawet itu digunakan untuk mengawetkan kayu.


(21)

Menurut Duljapar (1996), syarat bahan pengawet yang baik diantaranya: 1. Memiliki daya penetrasi yang cukup tinggi

2. Memiliki daya racun ampuh 3. Bersifat permanen

4. Aman dipakai

5. Tidak bersifat korosif terhadap logam 6. Bersih dalam pemakaian

7. Tidak mengurangi sifat baik kayu 8. Tidak mudah terbakar

9. Mudah diperoleh dengan harga murah

Nicholas (1988) mengemukakan secara umum bahan pengawet diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang sifat, kandungan bahan aktif dan harga yang beredar di pasaran sangat beragam yaitu:

1. Bahan pengawet berupa minyak

2. Bahan pengawet yang larut dalam minyak 3. Bahan pengawet larut air.

Bahan Pengawet Asam Borat

Asam borat dan boraks dapat digunakan secara terpisah maupun bersama-sama (dicampur) untuk mengawetkan kayu agar terhindar dari cendawan dan serangga perusak kayu. Harganya relatif murah sehingga mempunyai daya tarik yang tinggi sebagai bahan pengawet kayu. Meskipun demikian, bahan pengawet asam borat ini mudah mengalami pelunturan. Oleh karena itu, bahan pengawet ini hanya dianjurkan untuk digunakan dalam pengawetan kayu untuk konstruksi


(22)

rumah (misal rangka atap) dan tidak dianjurkan untuk kayu yang dalam penggunaannya berhubungan dengan tanah atau kondisi lembab (misalnya pagar). Sifat yang alkalis membuat boraks dan asam borat sangat korotif terhadap paku atau besi lain yang bersinggungan dengannya. Sebagai bahan pengawet, asam borat digunakan dalam konsentrasi 6%-10% (Suranto,2002).

Menurut Duljapar (1996), bahan pengawet larut air mempunyai kelebihan antara lain:

1. Harganya murah 2. Mudah diperoleh 3. Tidak berbau

4. Tidak berwarna (bersih dalam pemakaian) 5. Tidak mudah terbakar

Menurut Hunt dan Garrat (1986), bahan pengawet larut air ini juga mengandung kelemahan sebagai berikut:

1. Kayu yang diawetkan akan memuai ukuran dimensi pajang, lebar dan tebalnya.

2. Air sebagai bahan pelarut akan membasahi kayu sehingga untuk penggunaan tertentu kayu harus dikeringkan lagi, sementara itu proses pengeringan ini akan menyusutkan kembali ukuran kayu.

3. Bahan pengawet ini tidak memberi perlindungan kayu terhadap pelapukan dan keausan mekanis.

4. Bahan pengawet ini lebih mudah luntur, terurai dan semakin lama akan berkurang kadarnya pada kayu yang diawetkan apabila kayu ini digunakan dalam kondisi yang berhubungan dengan air atau tanah basah.


(23)

Metode Pengawetan Kayu (Perendaman)

Pengawetan dengan metode perendaman dilakukan dengan merendam kayu di dalam bahan pengawet larut air pada suhu kamar. Pemanasan bahan pengawet sedikit di atas suhu kamar akan membuat proses pengawetan lebih efektif. Apabila cara ini diterapkan pada kayu kering, baik air maupun bahan pengawetnya akan masuk ke dalam kayu. Tetapi dengan kayu-kayu segar hanya sedikit air yang masuk, dan sebagian besar absorbsinya berlangsung dengan difusi garam dari larutan pengawet ke dalam air yang sudah ada di dalam kayu. Penetrasi pada kayu kering lebih baik daripada kayu segar, apalagi bila setelah diangkat dari rendaman kayu itu disusun rapat. Selama kayu itu masih basah, bahan pengawet akan tersebar secara difusi untuk menjangkau setiap bagian kayu, walaupun kayu telah diangkat dari rendaman. Meskipun demikian penetrasi bahan pengawet ini hanya berkisar 3-6 mm (Suranto, 2002).

Absorbsi bahan pengawet ke dalam kayu paling intensif terjadi sejak hari pertama dengan hari ketiga terhitung sejak awal perendaman. Tetapi akan terus berlangsung terus dengan lebih lambat selama waktu yang tak tertentu. Oleh karena itu makin lama bahan pengawet dapat tetap dalam kayu makin baik pengawetan yang diperoleh. Apabila perendaman ini berlangsung cukup lama, absorbsi dan peresapannya akan sama, atau bahkan melebihi yang diperoleh pada proses bertekanan. Tetapi ini memerlukan perendaman bulanan, atau bahkan dalam tahunan (Hunt dan Garrat, 1986).

Di dalam bak pengawet, kayu tidak boleh terapung, tetapi harus tenggelam, bahan kayu gergajian harus disusun secara baik dan jarak antar (tumpukan) kayu yang berdampingan harus cukup lebar. Susunan demikian


(24)

dimaksudkan untuk memberi jalan bagi udara yang keluar dari dalam kayu (Suranto, 2002).

Keberhasilan Pengawetan Kayu

Meskipun keefektifan dan ekonomisnya suatu pengawetan akhirnya ditentukan oleh umur pakai kayu yang bersangkutan, kriteria yang langsung dari cukupnya suatu perlakuan adalah jumlah bahan pengawet yang diabsorbsi dalam kayu dan dalamnya penetrasi (Nicholas, 1988). Semakin banyak bahan pengawet yang diabsorbsi dan semakin dalam penetrasi bahan pengawet maka semakin tinggi pula derajat pengawetan kayu yang juga ikut menentukan keberhasilan pengawetan. Suranto (2002) mengemukakan derajat pengawetan kayu diukur dengan tiga macam tolak ukur yaitu penetrasi, absorbsi dan retensi bahan pengawet.

Retensi

Menurut Suranto (2002), retensi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya (beratnya) zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan. Semakin banyak jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap (terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu. Dengan demikian, retensi bahan pengawet dinyatakan dalam satuan gram/cm3atau kg/m3.

Sebagai catatan, kayu perlu diawetkan dengan retensi yang berbeda-beda, bergantung pada kondisi pemanfaatan kayu yang telah diawetkan. Bila kayu itu akan digunakan di dalam ruangan (interior), retensinya dapat kurang dari 8 kg/m3.


(25)

bila kayu itu akan digunakan di luar ruangan (eksterior) dan tidak bersentuhan dengan tanah, retensi bahan pengawet minimal 8 kg/m3. Namun bila kayu digunakan dalam kondisi bersentuhan dengan tanah maka perlu diawetkan dengan retensi 12 kg/m3. Kayu yang digunakan dalam lingkungan yang basah dan lembab, pengawetannya perlu dilakukan dengan retensi 16 kg/m3 (Suranto, 2002).

Retensi berbeda dengan absorbsi, pada retensi yang diperhatikan adalah jumlah zat pengawet murni yang tertinggal di dalam kayu, sedang pada absorbsi yang diperhatikan adalah cairan pengawet kayu yang berada di dalam kayu. Cairan pengawet ini merupakan campuran antara bahan pengawet dan pelarut bahan pengawet (Suranto,2002).

Dengan demikian, perhitungan retensi dapat dilakukan dengan melanjutkan perhitungan yang dilakukan dalam menghitung absorbsi. Setelah ditemukan volume cairan yang terabsorbsi ke dalam kayu, maka volume tersebut dikalikan dengan konsentrasi bahan pengawet murni. Hasilnya merupakan jumlah bahan pengawet murni yang ada di dalam kayu (Suranto, 2002).

Penetrasi

Penetrasi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan kedalaman bahan pengawet masuk ke dalam kayu. Semakin dalam suatu bahan pengawet dapat memasuki kayu, penetrasi pengawetannya dikatakan semakin dalam. Sebaliknya semakin dangkal bahan pengawet memasuki bagian dalam kayu, penetrasi bahan pengawet ini juga dikatakan semakin dangkal. Apabila penetrasi ini sangat dalam, derajat pengawetan kayu dikatakan sebagai sangat tinggi (Suranto, 2002).


(26)

Menurut Duljapar (1996), tingkat penetrasi bahan pengawet ke dalam kayu di kategorikan atas lima kelas sebagai berikut:

1. Penetrasi total (kelas A)

Pada penetrasi ini, bahan pengawet dapat memasuki seluruh sel-sel kayu secara semprna. Penetrasi ini memang sulit dicapai.

2. Penetrasi mendekati sempurna (kelas B)

Bahan pengawet dalam penetrasi ini dapat menembus kedalaman 30 mm pada permukaan kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 100 mm pada bagian ujung-ujungnya.

3. Penetrasi dalam (kelas C)

Bahan pengawet dapat terpenetrasi sampai kedalaman 10 mm pada bagian tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 50 mm pada bagian ujung-ujungnya.

4. Penetrasi sedang (kelas D)

Pada penetrasi sedang, sekurang-kurangnya mencapai kedalaman 1mm pada bagian kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 10 mm pada bagian ujung-ujung kayu.

5. Penetrasi permukaan

Sekurang-kurangnya bahan pengawet dapat menembus kedalaman 0,5 mm pada bagian kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 2 mm pada bagian ujung-ujungnya.


(27)

Rayap Sebagai Organisme Perusak Kayu

Rayap merupakan serangga sosial yang termasuk ke dalam ordo Isoptera dan terutama terdapat di daerah-daerah tropika. Di Indonesia rayap tegolong kedalam kelompok serangga perusak kayu utama. Kerusakan akibat serangan rayap tidak kecil. Binatang kecil yang tergolong kedalam binatang sosial ini, mampu menghancurkan bangunan yang berukuran besar dan dan menyebabkan kerugian yang besar pula (Tambunan dan Nandika, 1989).

Rayap adalah penghuni utama dari daerah-daerah berhutan, yang memperoleh sebagian besar dari makanannya darimpohon-pohon yang tumbang dan cabang-cabang, serta dari tunggak dan akar-akar yang mati. Tetapi dengan perkembangan penduduk dan penebangan daerah-daerah berkayu untuk pemukiman dan tujuan-tujuan penelitian, rayap ini banyak tertarik pada bangunan-bangunan dan barang-barang yang terbuat dari kayu. Karena kayu dan tanaman mengandung selulosa yang tinggi, kedua bahan tersebut selalu menjadi mangsa rayap yang utama (Tambunan dan Nandika, 1989).

Dalam siklus hidupnya, rayap mengalami metamorfosis bertahap atau gradual (hemimetabola), dari telur kemudian nimfa sampai menjadi dewasa. Setelah menetas dari telur, nimfa akan menjadi dewasa melalui beberapa instar (bentuk diantara dua tahap perubahan). Perubahan yang gradual ini berakibat terhadap kesamaan bentuk badan secara umum, cara hidup dan jenis makanan antara nimfa dan dewasa. Namun, nimfa yang memiliki tunas, sayapnya akan tumbuh sempurna pada instar terakhir ketika rayap telah mencapai tingkat dewasa (Prasetiyo dan yusuf, 2005).


(28)

Tambunan dan Nandika (1989), menjelaskan dalam setiap koloni terdapat tiga kasta yang menurut fungsinya masing-masing diberi nama kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif (reprodukif primer dan reproduktif suplementer). Dalam penggolongan ini, bentuk (morfologi) dari setiap kasta sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagai berikut :

Kasta pekerja

Kasta pekerja mempunyai anggota yang terbesar dalam koloni, berbentuk seperti nimfa dan berwarna pucat dengan kepala hypognat tanpa mata facet. Mandibelnya relatif kecil bila dibandingkan dengan kasta prajurit, sedangkan fungsinya adalah sebagai pencari makanan, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang.

Kasta prajurit

Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepalanya yang besar dan dengan sklerotisasi yang nyata. Anggota-anggota dari pada kasta ini mempunyai mandible atau restrum yang besar dan kuat. Berdasarkan pada bentuk kasta prajuritnya, rayap dibedakan atas dua kelompok yaitu tipe mandibulate dan tipe nasuti. Pada tipe mandibulate prajurit-prajuritnya mempunyai mandibel yang kuat dan besar tanpa rostrum, sedangkan tipe nasuti prajurit-prajuritnya mempunyai rostrum yang panjang tapi mandibelnya kecil. Fungsi kasta prajurit adalah melindungi koloni terhadap gangguan dari luar.

Kasta reproduktif

Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang bersayap dan menjadi pendiri koloni (raja dan ratu).bila masa perkawinan telah tiba, imago-imago ini terbang keluar dari sarang dalam jumlah yang besar. Saat seperti ini


(29)

merupakan masa perkawinan dimana sepasang imago (jantan dan betina) bertemu dan segera meninggalkan sayapnya serta mencari tempat yang sesuai di dalam tanah atau kayu. Semasa hidupnya kasta reproduktif (ratu) bertugas menghasilkan telur,sedangkan makanannya dilayani oleh para pekerja. Borror et al (1996) menambahkan apabila terjadi bahwa raja dan ratu mati atau bagian dari koloni dipisahkan dari koloni induk, kasta reproduktif tambahan terbentuk di dalam sarang dan mengambil alih fungsi raja dan ratu.

Menurut Tambunan dan Nandika (1989),berdasarkan habitatnya, rayap dibagi ke dalam beberapa golongan diantaranya:

Rayap kayu basah (dampwood termite) adalah golongan rayap yang biasa menyerang kayu-kayu busuk atau pohon yang akan mati. Sarangnya terletak di dalam kayu tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Contoh dari golongan ini adalah Glyprotermes spp. (famili Kalotermitidae)

Rayap kayu kering (drywood termite) adalah golongan rayap yang biasa menyerang kayu-kayu kering, misalnya pada kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan, perlengkapan rumah tangga dan lain-lain. Sarangnya terletak di dalam kayu dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Rayap kayu kering dapat bekerja dalam kayu yang mempunyai kadar air 10-12 % atau lebih rendah. Contoh dari golongan ini misalnya Cryptotermes spp. (famili Kalotermitidae).

Rayap pohon (tree termite) adalah golongan rayap yang menyerang pohon-pohon hidup. Mereka bersarang di dalam pohon dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Contoh dari golongan ini misalnya Neotermes spp. (famili Kalotermtidae).


(30)

Rayap subteran (subteranean termite) adalah golongan rayap yang bersarang di dalam tanah tetapi dapat juga menyerang bahan-bahan di atas tanah karena selalu mempunyai terowongan pipih terbuat dari tanah yang menghubungkan sarang dengan benda yang diserangnya. Untuk hidupnya mereka selalu membutuhkan kelembaban yang tinggi, serta bersifat Cryptobiotic (menjauhi sinar). Yang termasuk ke dalam rayap subteran adalah anggota-anggota dari famili Rhinotermitidae serta dari sebagian dari famili Termitidae (Hunt and Garrat, 1967 dalam Tambunan dan Nandika,1989).

Dalam hidupnya rayap mempunyai beberapa sifat yang penting untuk diperhatikan yaitu:

1. Sifat Trophalaxis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta mengadakan perukaran bahan makanan.

2. Sifat Cryptobiotic, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) dimana mereka selama periode yang pendek di dalam hidupnya memerlukan cahaya (terang).

3. Sifat Kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah dan sakit. Sifat ini lebih menonjol bila rayap berada dalam keadaan kekurangan makanan.

4. Sifat Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya. Menurut Haris (1971) (dalam Nandika, 1989), ordo Isoptera dibagi atas enam famili yaitu famili Mastotermitidae, Hodotermitidae, Kalotermitidae, Termophsidae, Rhinotermitidae, dan Termitidae. Dan diantara enam famili yang


(31)

banyak menimbulkan kerusakan adalah famili Rhinotermitidae, Kalotermitidae, dan Termitidae.

Dalam melakukan perusakan pada kayu, Nicholas (1987) menjelaskan bahwa rayap merobek-robek partikel kayu kecil dengan mandibula-mandibulanya, dan potongan-potongan kecil ini kemudian dimakan dan digerus menjadi partikel yang lebih halus di dalam badan rayap. Partikel itu kemudian menuju ke usus belakang dimana enzim-enzim selulolitik protozoa, bakteri dan sebagainya, mengurangi bagian selulosa partikel itu menjadi nutrient. Bahan yang dikeluarkan mempunyai kandungan lignin tinggi.

Rayap Tanah

Famili Termtidae yang memiliki beberapa jenis rayap yang sering merusak bangunan, diantaranya Microtermes spp., Macrotermes spp. dan Odontotermes spp. ketiga jenis rayap perusak tersebut merupakan jenis rayap tanah. Tingkat serangan rayap ini tidak seganas serangan rayap kayu basah atau subteran (Coptotermes curvignatus). Rayap dari famili Termitidae biasanya bersarang di dalam tanah, terutama yang dekat dengan bahan yang banyak mengandung selulosa seperti kayu, timbunan sampah organic, humus atau serasah (Prasetiyo dan Yusuf, 2005).

Serangga-serangga yang termasuk dalam kelompok rayap bawah tanah pada dasarnya adalah penghuni tanah, masuk dalam kayu hanya dari tanah dan untuk hidupnya dibutuhkan persediaan lembab secara tetap. Rayap ini mudah menyerang kayu sehat dan kayu busuk yang ada di dalam atau di atas tanah lembab, dan juga dapat membentuk saluran-saluran yang terlindung pada


(32)

fondasi-fondasi atau penghalang-penghalang lain yang tidak dapat ditembus dan juga dapat mendirikan menara tegak langsung dari tanah, dan dengan demikian mencapai kayu yang tidak bersentuhan dengan tanah. Saluran-saluran dan menara-menara yang terbuat dari remukan tanah yang halus dan kayu dicerna sebahagian, yang direkat bersama ekskresi serangga, memungkinkan rayap tersebut menciptakan kondisi kelembaban dalam kayu yang cocok; jika tidak, kayu akan demikian kering sehingga kebal dengan serangan rayap ini. Jika rayap ini bekerja dalam suatu bangunan yang jauh hubungannya dengan tanah atau sumber-sumber kelembaban lainnya, serangga ini juga dapat membentuk tabung-tabung yang menggantung pada kayu itu, nampaknya untuk mencari hubungan yang lebih kuat dengan tanah. Sekali rayap itu dapat mencapai suatu bangunan, ia akan memperluas kerjanya sampai cukup tingggi, dan sering mencapai tingkat kedua atau ketiga dari bangunan-bangunan bertingkat (Tambunan dan Nandika, 1989).

Pada koloni-koloni rayap bawah tanah, rayap pekerja merupakan individu yang jumlahnya jauh lebih banyak. Seperti serdadunya, rayap pekerja ini mandul, tanpa sayap, buta dengan tubuh berwarna lebih muda dan sedikit lebih pendek dari ¼ inci. Meskipun dengan ciri-ciri rahang yang kurang nampak, tetapi rahang bawah rayap pekerja ini telah disesuaikan secara khusus untuk menggigit putus potongan-potongan kayu, dan kasta inilah yang menimbulkan segala macam kerusakan yang disebabkan oleh rayap bawah tanah (Tambunan dan Nandika, 1989).


(33)

Kayu Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk)

Rukmana (1997) mengemukakan di Indonesia berabad-abad yang lampau masyarakat sudah mengenal dan menanam tanaman nangka. Nama tanaman nangka di berbagai daerah amat beragam, antara lain panah (Aceh), pinasa, sibodak, nangka atau naka (Batak), baduh atau enaduh (Dayak), lamara atau malasa (Lampung), naa (Nias), kuloh (Timor), dan nangka (Sunda dan Madura).

Nangka adalah tanaman buah tahunan berasal dari famili Moraceae (suku beringin-inginan). Suku Moraceae yang tergolong marga Artocarpus dari seri Cauliflora mempunyai dua jenis (spesies), yaitu Artocarpus integer (cempedak) dan Artocarpus heterophylla (nangka) (Rukmana, 1997).

Menurut Rukmana (1997), kedudukan tanaman ini diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivide : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Morales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus

Spesies : Artocarpus heterophyllus Lamk

Bentuk dan susunan tubuh luar (morfologi) tanaman nangka mempunyai ciri-ciri struktur perakaran tunggang, berbentuk bulat panjang dan menembus tanah cukup dalam. Batang tanaman nangka berbentuk bulat panjang, berkayu keras dan tumbuhnya lurus dengan diameter antara 30-100 cm, tergantung pada


(34)

umur tanaman. Kulit batang umumnya agak tebal dan berwarna keabu-abuan. Cabang berbentuk bulat panjang, tumbuh mendatar atau tegak, tetapi bentuk tajuk tanaman tidak teratur. Daun berbentuk bulat telur dan panjang, tepinya rata, tumbuh secara berselang seling dan bertangkai pendek. Permukaan atas daun berwarna hijau meda (Rukmana, 1997).

Tanaman nangka tumbuh dan berproduksi dengan baik di daerah yang beriklim panas (tropik). Tanaman nangka di Thailand umumnya dibudidayakan di daerah yang berketinggian 0-1.000 m di atas permukaan laut (mdpl). Faktor iklim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi nangka adalah temperatur, curah hujan dan kelembaban udara. Tanaman nangka membutuhkan temperatur minimum antara 160-210C dan maksimum 310-320C, curah hujan 1.500-2.400 mm/tahun dan kelembaban udara 50-80% (Rukmana, 1997).

a. Nangka buah besar; tinggi mencapai 20-30 m; diameter batang mencapai 80 cm dan umur mulai berbuah sekitar 5-10 tahun.

b. Nangka buah kecil; tinggi mencapai 6-9 m, diameter batang mencapai15-25 cm dan umur mulai berbuah 18-24 bulan.

Tanaman nangka tumbuh dan berproduksi dengan baik di daerah yang beriklim panas (tropik).Tanaman nangka di Thailand umumnya dibudidayakan di daerah yang berketinggian antara 0-1.000 m di atas permukaan laut (mdpl). Faktor iklim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi nangka membutuhkan temperature minimum antara 160-210 dan maksimum 310-320C, curah hujan 1.500-2.400 mm/tahun dan kelembaban udara 50-80% (Rukmana, 1997).


(35)

Rukmana (1997), menyatakan bahwa kayu nangka merupakan produk sampingan dari tanaman nangka, yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat gitar, perkakas rumah tangga, bahan bangunan dan kayu bakar. Sedangkan getahnya dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional, untuk mengobati sakit bisul. Saptono (1999) menambahkan kayu nangka lebih unggul dari kayu jati dalam pembuatan meubel, konstruksi bangunan pembubutan, tiang kapal, untuk tiang kuda, kandang sapi dan dayung.


(36)

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan dan hutan Tridarma Universitas Sumatera Utara. Waktu pelaksanaan dimulai pada bulan Februari sampai dengan Juni 2007.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : kayu nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk), bahan pengawet asam borat (H3BO3), cat untuk

melabur kedua ujung contoh uji, air sebagai bahan pelarut, bahan pereaksi yaitu: 1. Pereaksi I : 2 gr ekstrak kurkuma dalam 100 ml alkohol.

2. Pereaksi II : 20 ml HCl dilarutkan dalam 80 ml alkohol dan dijenuhkan dengan asam salisilat.

Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: meteran, gergaji tangan, kipas angin (fan), timbangan listrik, kuas, caliper, bak rendaman, oven, pipet tetes, pengaduk, kertas milimeter, sarung tangan, masker dan alat semprot.


(37)

Metode Penelitian 1. Persiapan Contoh Uji

Contoh uji kayu nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) dibuat dengan ukuran 2,5 cmx 5 cm x 25 cm sebanyak 39 contoh uji yang terdiri dari 27 contoh uji untuk perlakuan, 3 contoh uji untuk kontrol (tanpa perlakuan), dan 9 contoh uji untuk uji penetrasi. Kemudian contoh uji dikeringkan dengan kipas angin sampai kadar air kering udara. Setiap contoh uji dicat ujungnya kemudian diukur dimensinya dan ditimbang berat awalnya dan diukur volumenya.

2. Pengawetan Contoh uji

Bahan pengawet yang digunakan adalah asam borat (H3BO3) dengan

konsentrasi :

• 2 % dengan melarutkan 90 gr asam borat dalam 4410 gr air • 4 % dengan melarutkan 180 gr asam borat dalam 4320 gr air • 6 % dengan melarutkan 270 gr asam borat dalam 4230 gr air

Metode pengawetan yang dilakukan adalah metode perendaman, yaitu contoh uji direndam dalam bahan pengawet selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam masing-masing 3 contoh uji untuk setiap perlakuan. Agar contoh uji terendam dan tidak terapung, maka contoh uji tersebut diberi pemberat. Selanjutnya kayu yang telah direndam diangin-anginkan hingga mencapai kadar air kering udara.

3. Pengukuran Retensi

• Setelah diawetkan, setiap contoh uji ditimbang kembali


(38)

R =

V Bo Ba

x K

Keterangan :

Ba = berat sesudah diawetkan (kg) Bo = berat sebelum diawetkan (kg) R = retensi bahan pengawet (kg/m3) K = konsentrasi larutan (%w/w) V = volume kayu yang diawetkan (m3)

4. Pengukuran Penetrasi

Pengukuran penetrasi dilakukan setelah contoh uji diangin-anginkan hingga mencapai kadar air kering udara. Contoh uji dipotong-potong masing-masing 5 cm pada bagian ujung dan pangkal.

Pengukuran penetrasi bahan pengawet dengan melihat penetrasi boron. Caranya adalah dengan menyemprotkan pereaksi I (2 gr ekstrak kurkuma dalam 100 ml alkohol). Selanjutnya disemprotkan pereaksi II (20 ml HCl dilarutkan dalam 80 ml alkohol dan dijenuhkan dengan asam salisilat). Setelah kering akan timbul warna merah jambu yang menandakan adanya unsur boron, kemudian ditandai batas luarnya dengan spidol. Pengukuran setiap penampang dilakukan 16 tempat sehingga di setiap contoh uji terdapat 32 tempat pengukuran dengan menggunakan kertas milimeter.


(39)

Besarnya penetrasi adalah rata-rata dari hasil pengukuran tersebut seperti terlihat pada gambar.

1 2 3 4

16 5 15 6

14 7 13 8

12 11 10 9

Gambar 1. Pengukuran Penetrasi Keterangan : 1,2,3….,16 = tempat pengukuran penetrasi

= bagian yang tidak terawetkan = bagian yang terawetkan

5. Uji Kubur

• Semua contoh uji dikubur atau ditanam secara acak dengan jarak tanam 0.5 m antar contoh uji dengan membiarkan minimal 10 cm dari bagian ujung kayu terlihat di atas permukaan tanah.

• Setelah 100 hari contoh uji kayu diambil kembali dan diamati kerusakannya dan organisme yang menyerang (organisme yang tertinggal dalam kayu). • Contoh uji kemudian dikeringkan dengan kipas sampai kadar air kering

udara.

• Selanjutnya dilakukan penimbangan (didapat berat akhir), dan diukur kembali volumenya

• Pengamatan secara visual terhadap kerusakan yang terjadi. • Identifikasi organisme yang menyerang kayu


(40)

• Perhitungan % kehilangan berat contoh uji dengan rumus:

Kehilangan berat = x100%

awal berat

akhir berat awal

berat

• Penentuan kelas ketahanan contoh uji berdasarkan klasifikasi ketahanan papan terhadap serangan rayap yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Ketahanan Papan Terhadap Serangan Rayap Kehilangan Berat (%) Kelas Ketahanan

0 Sangat Tahan

1 – 3 Tahan

4 – 8 Cukup rentan

9 – 15 Rentan

> 15 Sangat rentan

Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk menghitung retensi dengan menggunakan statistik Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial, dengan menggunakan 2 faktor yaitu : konsentrasi bahan pengawet (2%, 4%, 6%) dan lama perendaman (24 jam, 48 jam dan 72 jam). Dengan ulangan sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh 27 satuan percobaan. Kombinasi perlakuan yang dibuat adalah sebagai berikut :

A1B1 A1B2 A1B3

A2B1 A2B2 A2B3

A3B1 A3B2 A3B3

Model analisis yang digunakan dalam percobaan ini adalah:

Yijk = µ+ αi+ ßj+( αß)ij+∑ijk

Yijk = nilai pengamatan pada konsentrasi bahan pengawet ke-i, perendaman ke-j dan pada ulangan ke-k


(41)

αi = pengaruh akibat konsentrasi ke-i

ßj = pengaruh akibat lama perendaman ke-j

(αß)ij = pengaruh interaksi antara konsentrasi ke-i dengan perendaman pe

ke-j

∑ijk = pengaruh acak (galad) percobaan konsentrasi bahan pengawet ke-i dan lama perendaman ke-j serta pada ulangan ke-k

Selanjutnya dilakukan analisis data dengan uji F. Hipotesis yang digunakan adalah:

Ho : perlakuan tidak bepengaruh nyata pada retensi dan penetrasi asam borat H1 : perlakuan berpengaruh nyata pada retensi dan penetrasi asam borat

Sedangkan kriteria pengambilan keputusan dari hipotesis yang di uji adalah:

F hitung < F tabel, maka Ho diterima F hitung > F tabel, maka H1 diterima

Setelah itu, jika uji F nyata dan untuk mengetahui kombinasi perlakuan maka dilakukan pengujian dengan melakukan Uji Beda Duncan.


(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kayu nangka yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar air rata-rata 12,91% (lampiran 1). Nilai kadar air akan berpengaruh terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet asam borat. Menurut Nicholas (1988), kadar air kayu mempengaruhi keterawetannya. Kenaikan kadar air menurunkan porositas atau volume rongga kayu dan pada kadar air di atas titik jenuh serat tidak memungkinkan untuk memperoleh retensi yang diinginkan. Adanya sejumlah air bebas dalam rongga-rongga sel (lumen) dapat menghambat/bahkan mencegah peresapan cairan pengawet kedalam kayu.

Retensi

Retensi rata –rata yang diperoleh dari bahan pengawet asam borat terhadap kayu nangka berkisar antara 0,57 kg/m3 sampai dengan 3,73 kg/m3. Nilai tertinggi diperoleh dengan perlakuan perendaman selama 72 jam dengan konsentrasi 6%, sedangkan nilai yang terendah diperoleh pada perendaman 24 jam dengan konsentrasi 2%. Nilai retensi rata-rata asam borat dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Retensi Rata-Rata Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Nangka

(kg/m3)

Konsentrasi Lama Perendaman

Asam Borat 24 jam 48 jam 72 jam

2% 0,57 0,76 1,47

4% 1,14 2,25 2,84

6% 0,98 1,67 3,73

Berdasarkan Tabel 4. terlihat bahwa semakin lama perendaman dapat meningkatakan nilai retensi asam borat. Begitu juga pada konsentrasi asam borat,


(43)

semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet yang digunakan, maka semakin tinggi pula retensi yang diperoleh, kecuali pada konsentrasi asam borat 6% dengan lama perendaman 24 jam dan 48 jam. Hasil retensi dengan konsentrasi asam borat 4% ternyata jauh lebih tinggi di banding dengan konsentrasi asam borat 6%, namun dengan catatan terjadi hanya pada lama perendaman yang sama yaitu 24 jam dan 48 jam dan tidak berlaku pada lama perendaman 72 jam dengan kata lain hal ini menunjukkan semakin lama perendaman dan semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet dapat meningkatkan nilai retensi bahan pengawet asam borat terhadap kayu nangka. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 Retensi (kg/m3)

24 jam 48 jam 72 jam Lama Perendaman

Konsentrasi 2% Konsentrasi 4% Konsentrasi 6%

Gambar 2. Grafik Retensi Bahan Pengawet Asam Borat

Tabel 5.Persyaratan Retensi Bahan Pengawet untuk Kayu Perumahan dan Gedung No

Jenis bahan

pengawet Retensi (kg/m3)

(Larut Air)

Di bawah

atap Di luar

1 TanalithCT 106 4,6 6,6

2 Celcure A(P) 5,6 8,0

3 Osmose K33 3,4 4,8

4 Kemira K33 4,4 6,3


(44)

Hasil pengujian nilai retensi yang diperoleh dapat dikatakan memenuhi standar. Sesuai dengan pendapat Martawijaya dan Abdurrohim (1984), besarnya retensi bahan pengawet yang larut dalam air untuk pemakaian dibawah atap berkisar antara 3,4 – 5,6 kg/m3 seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5 di atas.

Hasil analisis keragaman pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa konsentrasi asam borat dan lama perendaman berpangaruh sangat nyata terhadap nilai retensi asam borat. Sedangkan perlakuan interaksi antara konsentrasi dan lama perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap nilai retensi asam borat.

Hasil uji Duncan pada Tabel 6 menunjukkan pada perlakuan konsentrasi asam borat 2% berbeda nyata dengan konsentrasi asam borat 4% dan konsentrasi asam borat 6%. Dengan kata lain konsentrasi asam borat 2% berbeda nyata dengan semua konsentrasi asam borat. Sedangkan konsentrasi asam borat 4% tidak berbeda nyata dengan konsentrasi asam borat 6%.

Tabel 6. Hasil Uji Duncan Retensi Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95%

Konsentrasi Nilai Rataan Nilai

2% 0,93 C

4% 2,08 AB

6% 2,13 A

Keterangan : Setiap nilai yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dan setiap nilai yang tidak sama berarti berbeda nyata.

Jika dilihat uji Duncan untuk perlakuan lama perendaman menunjukkan bahwa lama perendaman 24 jam berbeda nyata dengan lama perendaman 72 jam. Sedangkan lama perendaman 48 jam tidak berbeda nyata dengan lama perendaman 24 jam dan 72 jam. Tabel 7 juga menunjukkan nilai rataan retensi meningkat sejalan dengan pertambahan lama perendaman. Hal ini berarti bahwa perbedaan lama perendaman berpengaruh terhadap nilai retensi asam borat pada


(45)

Tabel 7. Hasil Uji Jarak Duncan Retensi Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95%

Lama Perendaman Nilai Rataan Nilai

24 jam 0,89 B

48 jam 1,56 AB

72 jam 2,68 A

Keterangan : Setiap nilai yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dan setiap nilai yang tidak sama berarti berbeda nyata.

Semakin tinggi konsentrasi asam borat yang digunakan semakin besar nilai rentensi bahan pengawet yang didapat. Sesuai dengan Abdurrohim dan Martawijaya (1984), yang menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi larutan senyawa asam borat dari 5%-10% dapat menaikkan retensi dan penembusan boron pada tiga jenis kayu percobaan yaitu : sengon, karet dan agathis.

Menurut Abdurrohim dan Djarwanto (2000), retensi bergantung kepada jumlah larutan yang diabsorbsi dan konsentrasi larutan. Sampai konsenstrasi tertentu larutan yang diabsorbsi pada contoh uji yang seragam dianggap sama sehingga retensi yang dicapai merupakan kelipatan peningkatan konsentrasi larutan. Selain itu , larutan yang lebih pekat, kekentalannya juga pekat sehingga larutan sukar masuk kedalam kayu. Akibatnya peningkatan kepekatan larutan tidak selalu meningkatkan retensi secara nyata. Penjelasan ini terjadi pada hasil penelitian dimana pada setiap konsentrasi asam borat 6% selalu lebih rendah dari konsentrasi 4% pada perendaman 24 jam dan 48 jam. Namun tidak terjadi pada lama perendaman 72 jam.

Penetrasi

Hasil pengukuran penetrasi rata-rata berkisar dari 3,03 mm sampai dengan 8,75 mm. Nilai tertinggi dicapai pada perendaman 72 jam dengan konsentrasi


(46)

dengan konsentrasi asam borat 2%. Penetrasi rata-rata asam borat dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Penetrasi Rata-Rata Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Nangka (mm)

Konsentrasi Lama Perendaman

Asam Borat 24 jam 48 jam 72 jam

2% 3,03 5,69 6,03

4% 4,78 7,78 7,81

6% 4,75 7,66 8,75

Berdasarkan Tabel 8. terlihat bahwa penambahan konsentrasi larutan asam borat 2% menjadi 4% dapat meningkatkan nilai penetrasi pada perendaman selama 24 jam dan 48 jam. Sedangkan pada lama perendaman 72 jam nilai penetrasi terus meningkat sejalan dengan penambahan konsentrasi. Namun, jika dilihat dari lama perendaman ternyata tabel di atas menunjukkan nilai penetrasi dapat terus meningkat dengan bertambah lamanya perendaman.

Standar (Anonim, 1994) menyatakan penetrasi paling dangkal adalah 5 mm. Berdasarkan persyaratan penetrasi tersebut pada penelitian ini standar tersebut dapat dicapai pada konsentrasi asam borat 4% dan 6% dengan lama perendaman 48 jam dan 72 jam. Sedangkan pada konsentrasi 2% lama perendaman 24 jam hasil penetrasi belum memenuhi standar, namun dapat juga dilihat bahwa nilai yang ditunjukkan sudah hampir mendekati standar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar3.


(47)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Penetrasi (mm)

24 jam 48 jam 72 jam

Lama Perendaman

Konsentrasi 2% Konsentrasi 4% Konsentrasi 6%

Gambar 3. Grafik Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat

Hasil analisis keragaman pada lampiran 7 menunjukkan bahwa konsentrasi asam borat dan lama perendaman berpengaruh sangat nyata, ini menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi atau penambahan lama perendaman juga dapat meningkatkan nilai penetrasi. Namun, pada perlakuan interaksi antara konsentrasi dan lama perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap nilai penetrasi asam borat.

Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi asam borat 2%, 4% dan 6% tidak berbeda nyata satu sama lain. Sedangkan uji duncan untuk perlakuan lama perendaman menunjukkan lama perendaman 24 jam berbeda

nyata dengan lama perendaman 48 jam dan lama perendaman 72 jam. Sedangkan lama perendaman 48 jam tidak berbeda nyata terhadap lama


(48)

Tabel 9. Hasil Uji Jarak Duncan Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95%

Konsentrasi Nilai rataan Nilai

2% 4,92 A

4% 6,79 A

6% 7,05 A

Keterangan : Setiap nilai yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dan setiap nilai yang tidak sama berarti berbeda nyata.

Tabel 10. Hasil Uji Jarak Duncan Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95%

Lama Perendaman Nilai rataan Nilai

24 jam 4,19 C

48 jam 7,04 AB

72 jam 7,53 A

Keterangan : Setiap nilai yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dan setiap nilai yang tidak sama berarti berbeda nyata.

Hasil penetrasi yang paling tinggi dapat dilihat pada lama perendaman 72 jam konsentrasi 6% dengan penetrasi sebesar 8,75 mm dan hasil ini sudah memenuhi standar untuk penggunaan di bawah atap. Nilai penetrasi lain yang memenuhi standar terdapat di seluruh perlakuan dengan lama perendaman 48 jam dan 72 jam.

Gambar 4. Penandaan Bagian Kayu yang Ditembus Bahan Pengawet

Terjadinya penurunan nilai penetrasi dari perlakuan konsentrasi asam borat 4% lama perendaman 24 jam dan 48 jam menjadi konsentrasi 6% lama perendaman yang sama sekitar 0,03 mm sampai 0,12 mm dapat disebabkan karena


(49)

pertambahan konsentrasi bahan pengawet yang mengakibatkan kekentalan terhadap larutan pengawet sehingga larutan sukar masuk ke dalam kayu. Selain itu kayu nangka memiliki warna kuning yang cerah. Warna merupakan bagian dari zat ekstraktif. Zat ekstraktif tidak merupakan bagian struktur dinding sel, tetapi terdapat dalam rongga sel. Oleh karena itu adanya zat ekstraktif dapat mengurangi penetrasi kedalam kayu. Sesuai dengan pendapat Nicholas (1988), adanya ekstraktif akan mengurangi besarnya pori dalam torus selain itu kemungkinan ekstraktif bertindak sebagai perekat untuk memperbaiki ikatan antar torus dan batas yang melingkunginya.

Menurut Nicholas (1988), kadar air juga mempengaruhi retensi dan penetrasi asam borat. Adanya sejumlah air bebas di dalam rongga sel dapat menghambat bahkan mencegah peresapan cairan pengawet kedalam kayu. Contoh uji yang digunakan dalam proses pengawetan ini sudah dalam keadaan kadar air kering udara sehingga memudahkan cairan pengawet masuk kedalam kayu dan mendapatkan nilai penetrasi yang cukup bagus.

Berdasarkan nilai retensi dan penetrasi pada kayu nangka, maka dapat dikatakan bahwa sifat keterawetan kayu nangka dengan bahan pengawet asam borat cukup bagus dengan kata lain mudah untuk diawetkan.

Uji Ketahanan

Berdasarkan uji kubur (grave yard) selama 100 hari yang dilakukan terhadap contoh uji kayu nangka yang telah diawetkan dengan asam borat dan yang tidak diawetkan diperoleh persen kehilangan berat rata-rata sebesar 0,02% hingga 0,54%. Dari hasil kehilangan berat ini dapat ditentukan kelas ketahanan


(50)

kayu nangka pada masing masing contoh uji. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 11. berikut ini.

Tabel 11. Hasil Ketahanan Kayu Nangka Terhadap Serangan Rayap Tanah Konsentrasi Lama Perendaman Kehilangan Berat (%) Kelas Ketahanan

0% (kontrol) 0,54 Sangat tahan

2% 0,33 Sangat tahan

4% 24 jam 0,30 Sangat tahan

6% 0 Sangat tahan

2% 0,02 Sangat tahan

4% 48 jam 0 Sangat tahan

6% 0 Sangat tahan

2% 0 Sangat tahan

4% 72 jam 0 Sangat tahan

6% 0 Sangat tahan

Contoh uji yang tidak diberi perlakuan pengawetan (kontrol) mendapatkan serangan rayap tanah yang paling tinggi, dapat dilihat dari persentase kehilangan berat yang dialami yaitu sebesar 0,54%. Contoh uji berikutnya yang mengalami persentase kehilangan berat adalah contoh uji yang diberi perlakuan pengawetan dengan konsentrasi 2% dengan lama perendaman 24 jam, disusul dengan contoh uji dengan konsentrasi 4% lama perendaman 24 jam dan yang mengalami persentase kehilangan berat paling kecil adalah contoh uji dengan perlakuan pengawetan konsentrasi 2% dengan lama perendaman 48 jam.

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet dan lama perendaman, maka semakin tahan kayu terhadap serangan rayap tanah. Hal ini terlihat pada beberapa contoh uji lainnya yang tidak terserang rayap sehingga tidak mengalami kehilangan berat. Contoh uji tersebut diberi perlakuan pengawetan dengan konsentrasi bahan pengawet dan lama perendaman yang lebih tinggi. Namun demikian, contoh uji merupakan kayu yang tahan terhadap serangan rayap meskipun tidak diberi


(51)

perlakuan pengawetan. Hal ini terbukti dari hasil persentase kehilangan berat yang menunjukkan kelas ketahanan yang tinggi (sangat tahan) setelah diuji selama 100 hari dengan persentase kehilangan berat sebesar 0,54%.

Gambar 5. Contoh Uji yang Diserang Rayap Tanah

Berdasarkan hasil identifikasi jenis rayap dengan menggunakan kunci pengenalan genus dan spesies, yang menyerang contoh uji adalah rayap Macrotermes gilvus Hagen termasuk dalam famili Termitidae sub famili Macrotermitinae. Pusat sarang rayap jenis ini berada dalam tanah, membuat bangunan-banguna liat dalam tanah dan kadang-kadang menyebabkan terbentuknya gundukan tanah.


(52)

Gambar 7. Rayap Macrotermes gilvus Hagen Kasta Pekerja

Gambar 8. Penanaman Contoh Uji di Sekitar Sarang Rayap Tanah

Pada kondisi di alam, rayap mempunyai banyak pilihan makanan. Dalam keadaan demikian rayap akan memilih makanan yang paling sesuai, bukan saja tipe makanan yang cukup mengandung selulosa, tetapi juga makanan yang mudah untuk digigit dan dikunyah (Krishna dan Weesner, 1969 dalam Rajani, 2002 (dikutip dari Simanjuntak, 2006). Begitu juga dengan kondisi tempat pengujian dilakukan yaitu di hutan Tridharma USU yang merupakan hutan mini yang didominasi oleh pohon mahoni. Tempat pengujian ini banyak terdapat rayap tanah, hal ini dapat dilihat dari ditemukannya beberapa timbunan tanah yang dipastikan merupakan sarang rayap tanah tipe sarang bukit. Dalam pengujian,


(53)

kayu yang digunakan adalah kayu yang telah diawetkan sehingga kayu tersebut mengandung racun bagi serangga selain itu ternyata kayu nangka juga mamiliki ketahanan terhadap serangan rayap dan jamur sesuai dengan hasil pengujian yang telah dilakukan, sehingga kayu nangka sebagai salah satu kayu buah-buahan dapat digunakan sebagai alternatif pemanfaatan kayu untuk konstruksi dan lainnya.


(54)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Persentase kehilangan berat setelah dilakukan uji ketahanan selama 100 hari berkisar antara 0,02% sampai dengan 0,54%, maka kayu nangka dapat diklasifikasikan kedalam kayu yang sangat tahan terhadap serangan rayap tanah atau awet secara alami, dan dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet asam borat dan semakin lama perendaman kayu nangka, maka semakin tahan pula terhadap serangan rayap tanah.

2. Besarnya retensi bahan pengawet asam borat (H3BO3) pada kayu nangka

berkisar antara 0,57 kg/m3 sampai dengan 3,73 kg/m3, sedangkan penetrasinya berkisar antara 3,03 mm sampai dengan 8,75 mm. Dari hasil retensi dan penetrasi ini, maka kayu nangka termasuk kayu yang sedang untuk diawetkan. 3. Konsentrasi dan lama perendaman berpengaruh sangat nyata terhadap retensi

dan penetrasi. Semakin tinggi konsentrasi asam borat maka nilai retensi dan penetrasi semakin tinggi, begitu juga dengan lama perendaman, semakin lama waktu perendaman maka semakin tinggi nilai retensi dan penetrasi.

Saran

Umur dari suatu jenis kayu mungkin saja dapat mempengaruhi retensi dan penetrasi, untuk itu perlu dilakukan penelitian dengan menambahkan faktor umur pada contoh uji sehingga dapat dibandingkan keawetan dan keterawetan suatu jenis kayu sesuai dengan umur yang digunakan dan hasil yang diperoleh menjadi lebih jelas.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohim, S. dan Djarwanto. 2000. Pengawetan Kayu Mangium secara Rendaman Dingin dengan Senyawa Boron. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Vol. 18 No 1

Anonim. 1994. Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung. SNI. 03-3528-94. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Borror, D.J., C.A. Triplehorn, dan N.F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Buku Panduan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan Dan Perkebunan Republik Indonesia. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Dan Perkebunan. Jakarta.

Duljapar, K. 1996. Pengawetan Kayu. Penebar Swadaya. Jakarta.

Dumanaw, J. F.1993. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisius. Anggota IKAPI. Yogyakarta.

Haygreen, J.G. dan Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Suatu Pengantar Terjemahan Hadikusumo, S. A dan Prawirohatmodjo, S. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hunt, G.M, dan Garrat. 1986. Pengawetan Kayu. Terjemahan Jusuf, M. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Akademika Pressindo.

Martawijaya, A. 1994. Keawetan Kayu. Alih Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Pengujian Kayu Lapis Dan Kayu Olahan. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hasil Hutan Dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Departeman Kehutanan. Bogor. Martawijaya, A. dan S. Abdurrohim. 1984. Spesifikasi Pengawetan Kayu untuk Perumahan. Edisi ketiga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Nicholas, D.D. 1987. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu Dan Pencegahannya Dengan Perlakuan-Perlakuan Pengawetan. Jilid I. Universitas Airlangga. Surabaya.

Nicholas, D.D. 1988. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu Dan Pencegahannya Dengan Perlakuan-Perlakuan Pengawetan. Jilid II. Universitas Airlangga. Surabaya.


(56)

Prasetiyo, K. W. S. Hut dan Dr. S. Yusuf..2005. Mencegah Dan Membasmi Rayap Secara Ramah Lingkungan dan Kimiawi. PT. AgroMedia Pustaka. Depok. Jakarta.

Simanjuntak, R. 2006. Deskripsi Ketahanan Papan Partikel (Particle Board) Terhadap Kerusakan Akibat Serangan Rayap Tanah. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Ruhendi, S. 1986. Diktat Penggergajian. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor

Rukmana, R. 1997. Budidaya Nangka. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Saptono, H. 1999. Nangka. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suranto, S. 2002. Pengawetan Kayu Bahan Dan Metode. Kanisius. Yogyakarta. Tambunan, B. dan D. Nandika. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Instititut Pertanian Bogor. Bogor.

Tim Elsppat. 1997. Pengawetan Kayu Dan Bambu. Puspa Swara, Anggota IKAPI. Jakarta.


(57)

Lampiran 1. Kadar Air Kayu Sebelum Proses Pengawetan

Kayu

Berat Awal

(gram) BKT (gram) Kadar Air (%)

1 151,9 134,4 13,02

2 154,3 136,6 12,95

3 143,1 126,9 12,76

Kadar Air rata-rata 12,91

Lampiran 2. Hasil Perhitungan Retensi (kg/m3) Bahan Pengawet Asam Borat (H3BO3) pada Kayu Nangka

Konsentrasi Ulangan Lama Perendaman

24 jam 48 jam 72 jam

2% 1 0,68 0,68 1,68

2 0,49 0,91 1,5

3 0,54 0,7 1,23

Rata-rata 0,57 0,76 1,47

4% 1 1,53 1,96 2,94

2 0,6 1,3 2,49

3 1,3 3,49 3,1

Rata-rata 1,14 2,25 2,84

6% 1 0,93 1,98 2,54

2 1,27 1,51 4,7

3 0,75 1,53 3,96

Rata-rata 0,98 1,67 3,73

Lampiran 3. Analisis Keragaman Retensi Bahan Pengawet Asam Borat

SK DB JK KT F-Hit F-Tabel

0.95 0.99

Konsentrasi 2 8.225 4.113 11.327** 3.55 6.01 Lama Perendaman 2 14.624 7.312 20.139** 3.55 6.01 Interaksi 4 3.472 0.868 2.390 2.93 4.58

Galat 18 5.809 0.363 Total 26 32.359

Keterangan: ** = Sangat Nyata

Lampiran 4. Hasil Uji Jarak Duncan Retensi Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95%

Konsentrasi Nilai Rataan Nilai

2% 0,93 C

4% 2,08 AB


(58)

Keterangan: Setiap nilai yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dan setiap nilai yang tidak sama berarti berbeda nyata.

Lampiran 5. Hasil Uji Jarak Duncan Retensi Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95%

Lama Perendaman Nilai Rataan Nilai

24 jam 0,89 B

48 jam 1,56 AB

72 jam 2,68 A

Keterangan: Setiap nilai yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dan setiap nilai yang tidak sama berarti berbeda nyata.

Lampiran 6. Hasil Perhitungan Penetrasi (mm) Bahan Pengawet Asam Borat (H3BO3) pada Kayu Nangka

Konsentrasi Ulangan Lama Perendaman

24 jam 48 jam 72 jam

2% 1 3.38 6.38 6.44

2 2.69 5 5.63

Rata-rata 3.03 5.69 6.03

4% 1 5.57 6.94 7.06

2 4.06 8.62 8.56

Rata-rata 4.78 7.78 7.81

6% 1 4.56 8.75 9.56

2 4.94 6.56 7.94

Rata-rata 4.75 7.66 8.75

Lampiran 7. Analisis Keragaman Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat

SK DB JK KT F-Hit F-Tabel

0.95 0.99

Konsentrasi 2 16.294 8.147 8.377** 4.26 8.02 Lama Perendaman 2 38.830 19.415 19.962** 4.26 8.02 Interaksi 4 0.882 0.220 0.220 3.63 6.42

Galat 9 7.781 0.973 Total 17 64.984

Keterangan: ** = Sangat Nyata

Lampiran 8. Hasil Uji Jarak Duncan Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95%

Lama Perendaman Nilai rataan Nilai

24 jam 4,19 C

48 jam 7,04 AB


(59)

Keterangan: Setiap nilai yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dan setiap nilai yang tidak sama berarti berbeda nyata.

Lampiran 9. Data Hasil Ketahanan Kayu Nangka Terhadap Serangan Rayap Tanah selama 100 Hari

Konsentrasi

Lama

Perendaman Ulangan

Berat Akhir (gr) Kehilangan Berat(gr) Kehilangan Berat (%) Kelas Ketahanan 1 166.5 0.4 0.24

Sangat Tahan

2% 24 jam 2 159.1 0 0

Sangat Tahan 3 174.2 1.3 0.74

Sangat Tahan Rata-rata 0.33

1 145.5 0 0

Sangat Tahan

4% 24 jam 2 138.4 0 0

Sangat Tahan 3 130.7 1.2 0.9

Sangat Tahan Rata-rata 0.30

1 211.4 0 0

Sangat Tahan

6% 24 jam 2 166,9 0 0

Sangat Tahan

3 160,6 0 0

Sangat Tahan Rata-rata

1 149.3 0.1 0.07

Sangat Tahan

2% 48 jam 2 167,1 0 0

Sangat Tahan

3 181,8 0 0

Sangat Tahan Rata-rata 0.02

1 137,9 0 0

Sangat Tahan

4% 48 jam 2 175,2 0 0

Sangat Tahan

3 146,4 0 0

Sangat Tahan Rata-rata

1 169 0 0

Sangat Tahan

6% 48 jam 2 140,4 0 0

Sangat Tahan

3 148,3 0 0

Sangat Tahan Rata-rata

1 164 0 0

Sangat Tahan 153,7


(60)

Tahan

3 167,9 0 0

Sangat Tahan Rata-rata

1 192,4 0 0

Sangat Tahan

4% 72 jam 2 193,7 0 0

Sangat Tahan

3 182,2 0 0

Sangat Tahan Rata-rata

1 178,9 0 0

Sangat Tahan

6% 72 jam 2 162,8 0 0

Sangat Tahan

3 188,6 0 0

Sangat Tahan Rata-rata

1 151.6 1.3 0.85

Sangat Tahan

Kontrol 2 147.2 0 0

Sangat Tahan

3 156.8 1.2 0.76

Sangat Tahan Rata-rata 0.54


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohim, S. dan Djarwanto. 2000. Pengawetan Kayu Mangium secara Rendaman Dingin dengan Senyawa Boron. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Vol. 18 No 1

Anonim. 1994. Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung. SNI. 03-3528-94. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Borror, D.J., C.A. Triplehorn, dan N.F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Buku Panduan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan Dan Perkebunan Republik Indonesia. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Dan Perkebunan. Jakarta.

Duljapar, K. 1996. Pengawetan Kayu. Penebar Swadaya. Jakarta.

Dumanaw, J. F.1993. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisius. Anggota IKAPI. Yogyakarta.

Haygreen, J.G. dan Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Suatu Pengantar Terjemahan Hadikusumo, S. A dan Prawirohatmodjo, S. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hunt, G.M, dan Garrat. 1986. Pengawetan Kayu. Terjemahan Jusuf, M. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Akademika Pressindo.

Martawijaya, A. 1994. Keawetan Kayu. Alih Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Pengujian Kayu Lapis Dan Kayu Olahan. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hasil Hutan Dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Departeman Kehutanan. Bogor. Martawijaya, A. dan S. Abdurrohim. 1984. Spesifikasi Pengawetan Kayu untuk Perumahan. Edisi ketiga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Nicholas, D.D. 1987. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu Dan Pencegahannya Dengan Perlakuan-Perlakuan Pengawetan. Jilid I. Universitas Airlangga. Surabaya.

Nicholas, D.D. 1988. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu Dan Pencegahannya Dengan Perlakuan-Perlakuan Pengawetan. Jilid II. Universitas Airlangga. Surabaya.


(2)

Prasetiyo, K. W. S. Hut dan Dr. S. Yusuf..2005. Mencegah Dan Membasmi Rayap Secara Ramah Lingkungan dan Kimiawi. PT. AgroMedia Pustaka. Depok. Jakarta.

Simanjuntak, R. 2006. Deskripsi Ketahanan Papan Partikel (Particle Board) Terhadap Kerusakan Akibat Serangan Rayap Tanah. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Ruhendi, S. 1986. Diktat Penggergajian. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor

Rukmana, R. 1997. Budidaya Nangka. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Saptono, H. 1999. Nangka. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suranto, S. 2002. Pengawetan Kayu Bahan Dan Metode. Kanisius. Yogyakarta. Tambunan, B. dan D. Nandika. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Instititut Pertanian Bogor. Bogor.

Tim Elsppat. 1997. Pengawetan Kayu Dan Bambu. Puspa Swara, Anggota IKAPI. Jakarta.


(3)

Lampiran 1. Kadar Air Kayu Sebelum Proses Pengawetan

Kayu

Berat Awal

(gram) BKT (gram) Kadar Air (%)

1 151,9 134,4 13,02

2 154,3 136,6 12,95

3 143,1 126,9 12,76

Kadar Air rata-rata 12,91

Lampiran 2. Hasil Perhitungan Retensi (kg/m3) Bahan Pengawet Asam Borat (H3BO3) pada Kayu Nangka

Konsentrasi Ulangan Lama Perendaman

24 jam 48 jam 72 jam

2% 1 0,68 0,68 1,68

2 0,49 0,91 1,5

3 0,54 0,7 1,23

Rata-rata 0,57 0,76 1,47

4% 1 1,53 1,96 2,94

2 0,6 1,3 2,49

3 1,3 3,49 3,1

Rata-rata 1,14 2,25 2,84

6% 1 0,93 1,98 2,54

2 1,27 1,51 4,7

3 0,75 1,53 3,96

Rata-rata 0,98 1,67 3,73

Lampiran 3. Analisis Keragaman Retensi Bahan Pengawet Asam Borat

SK DB JK KT F-Hit F-Tabel

0.95 0.99

Konsentrasi 2 8.225 4.113 11.327** 3.55 6.01 Lama Perendaman 2 14.624 7.312 20.139** 3.55 6.01

Interaksi 4 3.472 0.868 2.390 2.93 4.58

Galat 18 5.809 0.363

Total 26 32.359

Keterangan: ** = Sangat Nyata

Lampiran 4. Hasil Uji Jarak Duncan Retensi Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95%

Konsentrasi Nilai Rataan Nilai

2% 0,93 C

4% 2,08 AB


(4)

Keterangan: Setiap nilai yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dan setiap nilai yang tidak sama berarti berbeda nyata.

Lampiran 5. Hasil Uji Jarak Duncan Retensi Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95%

Lama Perendaman Nilai Rataan Nilai

24 jam 0,89 B

48 jam 1,56 AB

72 jam 2,68 A

Keterangan: Setiap nilai yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dan setiap nilai yang tidak sama berarti berbeda nyata.

Lampiran 6. Hasil Perhitungan Penetrasi (mm) Bahan Pengawet Asam Borat (H3BO3) pada Kayu Nangka

Konsentrasi Ulangan Lama Perendaman

24 jam 48 jam 72 jam

2% 1 3.38 6.38 6.44

2 2.69 5 5.63

Rata-rata 3.03 5.69 6.03

4% 1 5.57 6.94 7.06

2 4.06 8.62 8.56

Rata-rata 4.78 7.78 7.81

6% 1 4.56 8.75 9.56

2 4.94 6.56 7.94

Rata-rata 4.75 7.66 8.75

Lampiran 7. Analisis Keragaman Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat

SK DB JK KT F-Hit F-Tabel

0.95 0.99

Konsentrasi 2 16.294 8.147 8.377** 4.26 8.02 Lama Perendaman 2 38.830 19.415 19.962** 4.26 8.02

Interaksi 4 0.882 0.220 0.220 3.63 6.42

Galat 9 7.781 0.973 Total 17 64.984

Keterangan: ** = Sangat Nyata

Lampiran 8. Hasil Uji Jarak Duncan Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Nangka pada Selang Kepercayaan 95%

Lama Perendaman Nilai rataan Nilai

24 jam 4,19 C


(5)

Keterangan: Setiap nilai yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dan setiap nilai yang tidak sama berarti berbeda nyata.

Lampiran 9. Data Hasil Ketahanan Kayu Nangka Terhadap Serangan Rayap Tanah selama 100 Hari

Konsentrasi

Lama

Perendaman Ulangan

Berat Akhir (gr) Kehilangan Berat(gr) Kehilangan Berat (%) Kelas Ketahanan

1 166.5 0.4 0.24

Sangat Tahan

2% 24 jam 2 159.1 0 0

Sangat Tahan

3 174.2 1.3 0.74

Sangat Tahan

Rata-rata 0.33

1 145.5 0 0

Sangat Tahan

4% 24 jam 2 138.4 0 0

Sangat Tahan

3 130.7 1.2 0.9

Sangat Tahan

Rata-rata 0.30

1 211.4 0 0

Sangat Tahan

6% 24 jam 2 166,9 0 0

Sangat Tahan

3 160,6 0 0

Sangat Tahan Rata-rata

1 149.3 0.1 0.07

Sangat Tahan

2% 48 jam 2 167,1 0 0

Sangat Tahan

3 181,8 0 0

Sangat Tahan

Rata-rata 0.02

1 137,9 0 0

Sangat Tahan

4% 48 jam 2 175,2 0 0

Sangat Tahan

3 146,4 0 0

Sangat Tahan Rata-rata

1 169 0 0

Sangat Tahan

6% 48 jam 2 140,4 0 0

Sangat Tahan

3 148,3 0 0

Sangat Tahan Rata-rata

1 164 0 0

Sangat Tahan


(6)

Tahan

3 167,9 0 0

Sangat Tahan Rata-rata

1 192,4 0 0

Sangat Tahan

4% 72 jam 2 193,7 0 0

Sangat Tahan

3 182,2 0 0

Sangat Tahan Rata-rata

1 178,9 0 0

Sangat Tahan

6% 72 jam 2 162,8 0 0

Sangat Tahan

3 188,6 0 0

Sangat Tahan Rata-rata

1 151.6 1.3 0.85

Sangat Tahan

Kontrol 2 147.2 0 0

Sangat Tahan

3 156.8 1.2 0.76

Sangat Tahan