Pengaruh Variasi Konsentrasi Ekstrak Kulit Batang Nangka (Artocarpus heterophyllus L.) terhadap Karakteristik Niosom

(1)

PENGARUH VARIASI KONSENTRASI EKSTRAK

KULIT BATANG NANGKA (

Artocarpus heterophyllus

L

.

)

TERHADAP KARAKTERISTIK NIOSOM

SKRIPSI

PUSPITA NUR AFIFAH

1111102000122

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

APRIL 2015


(2)

PENGARUH VARIASI KONSENTRASI EKSTRAK

KULIT BATANG NANGKA (

Artocarpus heterophyllus

L

.

)

TERHADAP KARAKTERISTIK NIOSOM

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

PUSPITA NUR AFIFAH

1111102000122

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

APRIL 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Nama : Puspita Nur Afifah Program Studi : Farmasi

Judul : Pengaruh Variasi Konsentrasi Ekstrak Kulit Batang Nangka (Artocarpus heterophyllus L.) terhadap Karakteristik Niosom

Tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus L.) mengandung polifenol yang berpotensi sebagai agen depigmentasi melalui penghambatan tirosinase. Ekstrak kulit batang nangka dapat diformulasikan ke dalam bentuk niosom untuk meningkatkan kemampuan penetrasi senyawa polifenol melalui stratum korneum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi dari ekstrak kulit batang nangka terhadap karakteristik niosom. Niosom dibuat dengan menggunakan metode hidrasi lapis tipis dalam tiga formula yaitu F1, F2 dan F3 dengan memvariasikan konsentrasi ekstrak kulit batang nangka yaitu berturut-turut adalah 50 mg, 100 mg dan 150 mg. Niosom yang dihasilkan dikarakterisasi meliputi analisis ukuran partikel, analisis kadar polifenol yang terjerap serta persen efisiensi penjerapan. Dihasilkan ukuran partikel pada formula niosom F1, F2, dan F3 berturut-turut yaitu 207 nm; 168,8 nm dan 150,72 nm, dengan kadar polifenol yang terjerap sebesar 2,281 mg; 4,127 mg dan 4,608 mg serta efisiensi penjerapan sebesar 74,40%; 67,30% dan 50,10%. Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi dari ekstrak kulit batang nangka yang digunakan dalam formula niosom menghasilkan penurunan ukuran partikel, peningkatan kadar polifenol yang terjerap, namun terjadi penurunan efisiensi penjerapan.

Kata Kunci : Ekstrak kulit batang nangka, Artocarpus heterophyllus L., niosom, ukuran partikel, efisiensi penjerapan.


(7)

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Name : Puspita Nur Afifah Study Program : Pharmacy

Title : The Influence of Concentration Variations of Jackfruit Cortex Extract (Artocarpus heterophyllus L.) on Niosome Characteristics

Jackfruit cortex extract (Artocarpus heterophyllus L.) plant contain polyphenols which has potential as an agents of depigmentation through the inhibition of tyrosinase. Jackfruit cortex extract can be formulated into a niosome to enhance the penetration capability of polyphenol compounds through the stratum corneum. The aims of this study were to determine the influence of varying concentrations of the jackfruit cortex extract on niosome characteristics. Niosome were prepared by thin film hydration method in three formulas, F1, F2 and F3 with varying concentrations of jackfruit cortex extract were respectively 50 mg; 100 mg and 150 mg. Niosome were characterized for particle size, polyphenols level and entrapment efficiency. The particle size of resulting niosome for F1, F2 and F3 were respectively 207 nm; 168.8 nm and 150.72 nm, the polyphenols level were 2.281 mg; 4.127 mg; 4.608 mg and the entrapment efficiency 74.40%; 67.30% and 50.10%. This study shows that particle size and entrapment efficiency were decreased while the polyphenols level were increased by increasing the concentration of jackfruit cortex extract in the niosomal formulas.

Keywords : Jackfruit cortex extract, Artocarpus heterophyllus L., niosome, particle size, entrapment efficiency.


(8)

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi berjudul “Pengaruh Variasi Konsentrasi Ekstrak Kulit Batang Nangka (Artocarpus heterophyllus L.) terhadap Karakteristik Niosom” dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa penulis curahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW sebagai tauladan umat manusia, semoga kita dapat menjunjung nilai-nilai Islam yang beliau ajarkan dan semoga kita mendapat syafaat beliau.

Selama penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis telah memperoleh bantuan dari berbagai pihak yang senantiasa meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, petunjuk, saran serta dorongan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Selesainya penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, maka pada kesempatan ini perkenanlah penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus dan sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt Sebagai pembimbing I dan Ibu Afriani Rahma, M.Farm., Apt Sebagai pembimbing II yang dengan sabar memberikan bimbingan, ilmu, masukan, dukungan, dan semangat kepada penulis.

2. Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin selaku pemberi beasiswa, sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt selaku Sekretaris Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Khusen Basuki, A.Ma dan Ibunda Hj. Siti Fadhilah, A.Ma yang senantiasa memberikan kasih sayang, dukungan baik moril maupun materil, serta doa tanpa henti yang menyertai setiap langkah penulis. Terimakasih atas segala perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan, semoga Allah SWT membalasnya dengan surga.

7. Kakak-kakakku tercinta Muflikhul Hasan, S. Ag, Elis Ernawati, S. Pd, Rita Hikmawati, S. Pdi, Yuli Rahmawati, S. Pd yang dengan sangat ikhlas dan sabar mendengarkan segala keluh kesah penulis.

8. Keluarga besar tersayang, para keponakanku tercinta, Mia, Kia, Sarah, Nasywa, Bela, Rizki, Fahmi, Ari, Rainan, Lia, Daffa, yang sudah menjadi cambuk semangat bagi penulis untuk selalu berusaha memberikan yang terbaik.

9. Cakra Nugraha, S.T., atas semangat, motivasi dan kesabarannya mendengarkan segala keluh kesah penulis.

10. Sahabat-sahabat tersayang Umni, Nando, Cemon, dan teman D8 yang lain karena telah meyakinkan bahwa teman sejati itu ada dan menjadi teman-teman terbaik. Terimakasih karena selalu ada bagi penulis baik selama perkuliahan sampai dengan selesainya skripsi ini.

11. Teman-teman Ash-Shof angkatan 2011, Gina, Nayla, Donna, Umi, Adek Amay, Teh Vina, Herlina, Meri, yang telah senantiasa menjadi teman terbaik bagi penulis.

12. Laboran Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kak Tiwi, Mbak Rani, Kak Eris, Kak Lisna, Kak Liken, Kak Rahmadi yang membantu penulis mempersiapkan alat dan bahan selama penelitian.

13. Teman–teman Farmasi 2011 atas persaudaraan dan kebersamaan yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis baik selama pengerjaan skripsi ini maupun selama di bangku perkuliahan.

14. Semua pihak yang turut membantu dan mendoakan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.


(10)

x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sangat diharapkan. Dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil penelitiana ini bermanfaat bagi program studi farmasi serta kalangan akademis dan dunia ilmu pengetahuan. Amin Ya Robbal’alamin.

Jakarta, 28 April 2015


(11)

(12)

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

1.5. Hipotesis Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Kulit ... 4

2.1.1. Definisi Kulit ... 4

2.2. Epidermis ... 5

2.3. Dermis ... 5

2.4. Lemak Subkutan ... 5

2.5. Fisiologi Kulit ... 5

2.5.1. Proteksi ... 5

2.5.2. Termoregulasi ... 6

2.5.3. Persepsi Sensoris ... 6

2.5.4. Absorpsi ... 6

2.5.5. Fungsi Ekskresi ... 6

2.5.6. Fungsi Pembentuk Pigmen ... 6

2.5.7. Fungsi Keratinisasi ... 7

2.5.8. Fungsi Produksi Vitamin D ... 7

2.6. Jalur Absorpsi Perkutan ... 7

2.6.1. Absorpsi Transappendageal ... 9


(13)

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.7. Pigmentasi Kulit ... 10

2.8. Tanaman Artocarpus Sp Sebagai Inhibitor Tirosinase ... 12

2.8.1. Kandungan Kimia Eksrak Kulit Batang Nangka ... 13

2.8.2. Analisis Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 14

2.9. Liposom ... 14

2.10. Niosom ... 16

2.10.1.Struktur Niosom ... 18

2.10.2.Klasifikasi Niosom ... 19

2.10.3.Stabilitas Niosom ... 19

2.10.4.Metode Pembuatan Niosom ... 20

2.10.5.Komponen Pembentukan Niosom ... 22

2.11. Karakterisasi Niosom ... 26

2.11.1.Analisis Ukuran Partikel ... 26

2.11.2.Efisiensi Penjerapan Niosom ... 27

2.12. Spektrofotometer UV-Vis ... 28

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 30

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

3.2. Alat ... 30

3.3. Bahan ... 30

3.4. Prosedur Kerja ... 31

3.4.1. Uji Parameter Spesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka .... 31

3.4.1.1. Identitas ... 31

3.4.1.2. Organoleptik ... 31

3.4.2. Uji Parameter Non Spesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 31

3.4.2.1. Kadar Abu ... 31

3.4.2.2. Kadar Air ... 31

3.4.3. Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka .. 32

3.4.3.1. Alkaloid ... 32

3.4.3.2. Flavonoid ... 32

3.4.3.3. Saponin ... 32

3.4.3.4. Steroid ... 32

3.4.3.5. Tanin dan Polifenol ... 33

3.4.4. Analisis Kadar Total Senyawa Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 33

3.4.4.1. Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam Aquadest ... 33

3.4.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam Aquadest ... 33

3.4.4.3. Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Aquadest ... 33

3.4.4.4. Penentuan Total Senyawa Polifenol dalam Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 34

3.4.5. Preparasi Niosom Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 34

3.4.5.1. Pembuatan Larutan PBS pH 7,3 ±0,2 ... 34


(14)

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.4.5.3. Pembuatan Niosom dengan Metode Hidrasi

Lapis Tipis ... 35

3.4.6. Karakterisasi Niosom ... 35

3.4.6.1. Analisis Ukuran Partikel ... 35

3.4.6.2. Penentuan Kadar Polifenol yang Terjerap dan Efisiensi Penjerapan ... 36

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1. Uji Parameter Spesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 38

4.1.1. Identitas ... 38

4.1.2. Organoleptik ... 38

4.2. Uji Parameter Nonspesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 38

4.2.1. Kadar Abu ... 38

4.2.2. Kadar Air ... 39

4.3. Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 39

4.4. Analisis Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 41

4.4.1. Penentian Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam Aquadest ... 41

4.4.2. Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Aquadest 42

4.4.3. Penentuan Total Senyawa Polifenol dalam Esktrak Kulit Batang Nangka ... 43

4.5. Preparasi Niosom Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 44

4.6. Karakterisasi Niosom ... 47

4.6.1. Analisis Ukuran Partikel ... 48

4.6.2. Kadar Polifenol yang Terjerap dan Efisiensi Penjerapan Niosom ... 50

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1. Kesimpulan ... 55

5.2. Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56


(15)

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

1.5. Hipotesis Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Kulit ... 4

2.1.1. Definisi Kulit ... 4

2.2. Epidermis ... 5

2.3. Dermis ... 5

2.4. Lemak Subkutan ... 5

2.5. Fisiologi Kulit ... 5

2.5.1. Proteksi ... 5

2.5.2. Termoregulasi ... 6

2.5.3. Persepsi Sensoris ... 6

2.5.4. Absorpsi ... 6

2.5.5. Fungsi Ekskresi ... 6

2.5.6. Fungsi Pembentuk Pigmen ... 6

2.5.7. Fungsi Keratinisasi ... 7

2.5.8. Fungsi Produksi Vitamin D ... 7

2.6. Jalur Absorpsi Perkutan ... 7

2.6.1. Absorpsi Transappendageal ... 9


(16)

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.7. Pigmentasi Kulit ... 10

2.8. Tanaman Artocarpus Sp Sebagai Inhibitor Tirosinase ... 12

2.8.1. Kandungan Kimia Eksrak Kulit Batang Nangka ... 13

2.8.2. Analisis Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 14

2.9. Liposom ... 14

2.10. Niosom ... 16

2.10.1.Struktur Niosom ... 18

2.10.2.Klasifikasi Niosom ... 19

2.10.3.Stabilitas Niosom ... 19

2.10.4.Metode Pembuatan Niosom ... 20

2.10.5.Komponen Pembentukan Niosom ... 22

2.11. Karakterisasi Niosom ... 26

2.11.1.Analisis Ukuran Partikel ... 26

2.11.2.Efisiensi Penjerapan Niosom ... 27

2.12. Spektrofotometer UV-Vis ... 28

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 30

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

3.2. Alat ... 30

3.3. Bahan ... 30

3.4. Prosedur Kerja ... 31

3.4.1. Uji Parameter Spesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka .... 31

3.4.1.1. Identitas ... 31

3.4.1.2. Organoleptik ... 31

3.4.2. Uji Parameter Non Spesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 31

3.4.2.1. Kadar Abu ... 31

3.4.2.2. Kadar Air ... 31

3.4.3. Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka .. 32

3.4.3.1. Alkaloid ... 32

3.4.3.2. Flavonoid ... 32

3.4.3.3. Saponin ... 32

3.4.3.4. Steroid ... 32

3.4.3.5. Tanin dan Polifenol ... 33

3.4.4. Analisis Kadar Total Senyawa Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 33

3.4.4.1. Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam Aquadest ... 33

3.4.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam Aquadest ... 33

3.4.4.3. Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Aquadest ... 33

3.4.4.4. Penentuan Total Senyawa Polifenol dalam Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 34

3.4.5. Preparasi Niosom Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 34

3.4.5.1. Pembuatan Larutan PBS pH 7,3 ±0,2 ... 34


(17)

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.4.5.3. Pembuatan Niosom dengan Metode Hidrasi

Lapis Tipis ... 35

3.4.6. Karakterisasi Niosom ... 35

3.4.6.1. Analisis Ukuran Partikel ... 35

3.4.6.2. Penentuan Kadar Polifenol yang Terjerap dan Efisiensi Penjerapan ... 36

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1. Uji Parameter Spesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 38

4.1.1. Identitas ... 38

4.1.2. Organoleptik ... 38

4.2. Uji Parameter Nonspesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 38

4.2.1. Kadar Abu ... 38

4.2.2. Kadar Air ... 39

4.3. Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 39

4.4. Analisis Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 41

4.4.1. Penentian Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam Aquadest ... 41

4.4.2. Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Aquadest 42

4.4.3. Penentuan Total Senyawa Polifenol dalam Esktrak Kulit Batang Nangka ... 43

4.5. Preparasi Niosom Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 44

4.6. Karakterisasi Niosom ... 47

4.6.1. Analisis Ukuran Partikel ... 48

4.6.2. Kadar Polifenol yang Terjerap dan Efisiensi Penjerapan Niosom ... 50

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1. Kesimpulan ... 55

5.2. Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56


(18)

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hal

Gambar 2.1. Struktur Kulit ... 4

Gambar 2.2. Jalur Penetrasi Perkutan ... 8

Gambar 2.3. Jalur Penetrasi Perkutan ... 8

Gambar 2.4. Biosintesis Melanin ... 11

Gambar 2.5. Bagian Batang Artocarpus heterophyllus L ... 13

Gambar 2.6. Struktur Niosom ... 18

Gambar 2.7. Struktur Molekul Surfaktan ... 23

Gambar 2.8. Struktur Molekul Span 60 ... 24

Gambar 2.9. Struktur Molekul Kolesterol ... 25

Gambar 4.1. Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam Aquadest... 43

Gambar 4.2. Suspensi Niosom F1, F2 dan F3 ... 47

Gambar 4.3. Diagram Perbandingan Ukuran Partikel Niosom F1, F2 dan F3 ... 48

Gambar 4.4. Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam PBS ... 51

Gambar 4.5. Diagram Perbandingan Polifenol yang Terjerap dalam Niosom F1, F2 dan F3 ... 52

Gambar 4.6. Diagram Perbandingan Persen Efisiensi Penjerapan Niosom F1, F2 dan F3 ... 53


(19)

xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hal Tabel 2.1. Persen Inhibisi Ekstrak Kulit Batang Artocarpus Sp

terhadap Tirosinase ... 12

Tabel 3.1. Formula Niosom ... 35

Tabel 4.1. Hasil Uji Kadar Abu Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 39

Tabel 4.2. Hasil Uji Kadar Air Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 39

Tabel 4.3. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 40

Tabel 4.4. Data Kadar Total Senyawa Polifenol ... 44

Tabel 4.5. Data Analisis Ukuran Partikel ... 48

Tabel 4.6. Kadar Polifenol yang Terjerap serta Persen Efisiensi Penjerapan ... 52


(20)

xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hal

Lampiran 1. Skema Prosedur Penelitian ... 64

Lampiran 2. Hasil Determinasi Kulit Batang Nangka ... 65

Lampiran 3. Perhitungan Kadar Abu Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 66

Lampiran 4. Perhitungan Kadar Air Ekstrak Kulit Batang Nangka... 67

Lampiran 5. Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam Aquadest ... 68

Lampiran 6. Absorbansi Standar dan Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam Aquadest ... 69

Lampiran 7. Perhitungan Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang Nangka ... 70

Lampiran 8. Grafik Distribusi Ukuran Partikel Niosom ... 73

Lampiran 9. Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F1... 74

Lampiran 10. Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F2... 76

Lampiran 11. Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F3... 78

Lampiran 12. Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam PBS ... 79

Lampiran 13. Absorbansi Standar dan Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam PBS ... 80

Lampiran 14. Perhitungan Kadar Total Senyawa Polifenol Bebas ... 81

Lampiran 15. Perhitungan Kadar Polifenol yang Terjerap dan Persen Efisiensi Penjerapan ... 83

Lampiran 16. Gambar Alat dan Bahan yang Digunakan ... 84

Lampiran 17. Certificate of Analysis Asam Galat ... 85

Lampiran 18. Certificate of Analysis Kolesterol... 86

Lampiran 19. Certificate of Analysis Span 60 ... 87

Lampiran 20. Certificate of Analysis Folin Ciocalteu ... 88

Lampiran 21. Certificate of Analysis Tablet PBS ... 89

Lampiran 22. Certificate of Analysis Metanol Pro Analisa ... 90


(21)

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman Artocarpus heterophyllus L. diketahui berpotensi sebagai agen depigmentasi melalui penghambatan tirosinase. Tanaman Artocarpus

heterophyllus L. memiliki aktivitas sebagai penghambat tirosinase yang paling

besar dibandingkan dengan jenis tanaman Artocarpus lainnya terutama pada bagian kulit batangnya (Putri,Supriyanti, Zackiyah, 2009).

Senyawa bioaktif agen depigmentasi dari ekstrak kulit batang nangka adalah senyawa polifenol. Mekanisme penghambatan terjadi karena struktur polifenol pada ekstrak kulit batang nangka secara prinsip sesuai sebagai substrat (L-DOPA) dan mampu berkompetisi untuk berikatan dengan active site tirosinase

sehingga dapat menjadi penghambat tirosinase (Chang, 2009).

Potensi ekstrak kulit batang nangka sebagai agen depigmentasi dapat diformulasi menjadi sediaan kosmetik. Masalah yang sering dihadapi dalam sediaan kosmetik bahan alam adalah stabilitas serta kemampuannya untuk berpenetrasi ke dalam lapisan kulit. Kulit merupakan lapisan penghalang yang efektif dalam penetrasi obat. Lapisan kulit terluar, stratum korneum menjadi penghalang absorpsi obat perkutan terutama bagi senyawa polar seperti polifenol. Penggunaan sistem pembawa (carrier) yang berukuran nano merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan penetrasi senyawa melalui stratum korneum(Thassu, Pathak, Deleers, 2007).

Liposom merupakan suatu sistem pembawa berukuran nano yang dapat digunakan untuk meningkatkan penetrasi obat perkutan melalui stratum korneum (Verma, Blume, Fahr, 2003). Namun, pada perkembangannya liposom menunjukkan beberapa kekurangan, di antaranya adalah stabilitas kimia yang buruk dan mahalnya harga fosfolipid yang digunakan dalam formula liposom, sehingga dicari alternatif dari liposom yang memiliki sifat-sifat serupa namun dengan komposisi yang lebih murah dan lebih stabil. Niosom dapat digunakan sebagai alternatif pengganti liposom (Anwar, Henry, Jufri, 2004).


(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Niosom merupakan suatu vesikel surfaktan nonionik yang memiliki struktur bilayer yang dibentuk melalui penyusunan monomer-monomer surfaktan yang terhidrasi yang distabilkan dengan penambahan kolesterol. Niosom dapat membawa obat yang bersifat hidrofilik maupun lipofilik (Vyas dan Khar, 2011).

Formulasi niosom yang mengandung agen depigmentasi pada sediaan kosmetik dapat digunakan untuk meningkatkan stabilitas zat aktif yang terjerap dan dapat meningkatkan penetrasi zat aktif melalui kulit. Dimana, niosom dapat meningkatkan jumlah zat aktif yang terlokalisasi di kulit sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan (Buckton G, 1995; Shatallebi, Mostafavi, Moghaddas, 2010; Manosroi, 2011).

Salah satu parameter yang dapat mempengaruhi karakteristik niosom yang dihasilkan adalah konsentrasi zat aktif yang ditambahkan ke dalam formulanya (Anwar dan Jufri, 2004). Menurut Sharma, Chauchan dan Anilkumar (2009) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi zat aktif yang ditambahkan ke dalam formula niosom dapat menurunkan ukuran partikel niosom. Selain itu, peningkatan konsentrasi zat aktif dalam formula niosom dapat meningkatkan jumlah zat aktif yang terjerap, namun tidak terus-menerus. Ada titik dimana penambahan konsentrasi zat aktif tidak lagi memberikan pengaruh yang positif terhadap jumlah zat aktif yang terjerap. Hal ini dikarenakan niosom memiliki batas kemampuan dalam menjerap sejumlah zat aktif. Namun, peningkatan konsentrasi zat aktif yang ditambahkan ke dalam formula niosom dapat menurunkan efisiensi penjerapan. Hal ini disebabkan ketika zat aktif yang ditambahkan melebihi kapasitas jerap vesikel niosom, maka akan terjadi peningkatan jumlah zat aktif yang tidak terjerap, dan berdampak pada penurunan efisiensi penjerapan niosom (Tim, 2004; Hidayat, 2006; Dua, Anil, Rana, 2014).

Berdasarkan latar belakang di atas, akan dilakukan penelitian terkait pengaruh variasi konsentrasi ekstrak kulit batang nangka (Artocarpus

heterophyllus L.) pada formula niosom terhadap karakteristik niosom yang

dihasilkan, meliputi ukuran partikel, kadar senyawa polifenol yang terjerap serta efisiensi penjerapan.


(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi ekstrak kulit batang nangka

(Artocarpus heterophyllus L.) dalam formula niosom terhadap karakteristiknya

meliputi ukuran partikel, kadar senyawa polifenol yang terjerap serta efisiensi penjerapan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi ekstrak kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus L.) dalam formula niosom terhadap karakteristiknya meliputi ukuran partikel, kadar senyawa polifenol yang terjerap serta efisiensi penjerapan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak pendidikan sebagai tambahan literatur yang digunakan oleh mahasiswa/i yang berkepentingan. 2. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak peneliti dan lainnya yang berminat di bidang penelitian yang sama sebagai dasar untuk melakukan penelitian lanjutan tentang niosom yang mengandung ekstrak kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus L.) yang dapat digunakan sebagai bahan aktif dalam sediaan kosmetik untuk mencegah hiperpigmentasi pada kulit.

3. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh industri farmasi untuk memproduksi sediaan kosmetik dalam sistem penghantaran niosom yang mengandung ekstrak kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus L.).

1.5 Hipotesis Penelitian

Peningkatan konsentrasi ekstrak kulit batang nangka (Artocarpus

heterophyllus L.) dalam formula niosom dapat mempengaruhi karakteristiknya

meliputi ukuran partikel, kadar senyawa polifenol yang terjerap serta efisiensi penjerapan.


(24)

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit

2.1.1 Definisi Kulit

Kulit merupakan selimut yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan dari luar. Fungsi perlindungan terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus, respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar UV matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar. Luas permukaan kulit sekitar 2 m2 dengan berat 10 kg jika dengan lemak atau 4 kg jika tanpa lemak (Tranggono & Latifah, 2007). Adapun struktur kulit dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar.2.1. Struktur Kulit


(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2 Epidermis

Epidermis, bagian terluar kulit dibagi menjadi dua lapisan utama : lapisan sel-sel tidak berinti yang bertanduk (stratum korneum), dan lapisan dalam yaitu stratum malfigi. Stratum malfigi merupakan asal sel-sel permukaan bertanduk setelah mengalami proses diferensiasi. stratum malfigidibagi menjadi: (1) stratum granulosum, (2) lapisan sel basal (stratum germinativum) dan (3) stratum spinosum (Sylvia & Lorraine 2005).

2.3 Dermis

Dibawah epidermis terdapat dermis, suatu lapisan jaringan ikat yang mengandung banyak serat elastin (untuk peregangan) dan serat kolagen (untuk kekuatan), serta banyak pembuluh darah dan ujung syaraf khusus. Pembuluh darah dermis tidak saja memasok dermis dan epidermis tetapi juga berperan besar dalam mengatur suhu tubuh (Sherwood, 2007).

2.4 Lemak Subkutan

Dibawah dermis terdapat laipsan kulit ketiga yaitu lemak subkutan. Lapisan ini merupakan bantalan untuk kulit, isolasi untuk mempertahankan suhu tubuh dan tempat penyimpanan energi. Dari sudut kosmetik, lemak subkutan ini mempengaruhi daya tarik seksual kedua jenis kelamin (Sylvia & Lorraine 2005).

2.5 Fisiologi Kulit 2.5.1 Proteksi

Kulit melindungi bagian dalam tubuh manusia terhadap gangguan fisik maupun mekanik. Gangguan fisik dan mekanik ditanggulangi dengan adanya bantalan lemak subkutis, tebalnya lapisan kulit dan serabut penunjang yang berfungsi sebagai pelindung bagian luar tubuh. Gangguan sinar UV diatasi oleh sel melanin yang menyerap sebagian sinar tersebut. Gangguan kimia ditanggulangi dengan adanya lemak permukaan kulit yang berasal dari kelenjar palit kulit yang mempunyai pH 4,5-6,5 (Madison; Connor, 2003).


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.5.2 Termoregulasi

Kulit mengatur temperatur tubuh melalui mekanisme dilatasi dan konstriksi pembuluh kapiler dan melalui respirasi, yang keduanya dipengaruhi saraf otonom. Pada saat temperatur badan menurun terjadi vasokontriksi, sedangkan pada saat temperatur badan meningkat terjadi vasodilatasi untuk meningkatkan pembuangan panas (Tranggono, Latifah, 2007).

2.5.3 Persepsi Sensoris

Kulit bertanggung jawab sebagai indera terhadap rangsangan dari luar berupa tekanan, raba, suhu, dan nyeri melalui beberapa reseptor seperti benda

meissner, diskus merkell dan korpskulum ruffini dan benda krauss sebagai

reseptor suhu dan nervus end plate sebagai reseptor nyeri (Tranggono, Latifah, 2007).

2.5.4 Absorbsi

Beberapa bahan dapat diabsorbsi kulit masuk ke dalam tubuh melalui dua jalur yaitu melalui epidermis dan melalui kelenjar sebasea (Tranggono, Latifah, 2007). Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban udara, metabolisme dan jenis pembawa zat yang menempel di kulit. Penyerapan dapat melalui celah antarsel, saluran kelenjar atau saluran keluar rambut (Madison; Connor, 2003).

2.5.5 Fungsi Ekskresi

Kelenjar-kelenjar pada kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau sisa metabolisme dalam tubuh misalnya NaCl, urea, asam urat, ammonia, dan sedikit lemak. Sebum yang diproduksi kelenjar palit kulit melindungi kulit dan menahan penguapan yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering (Madison; Connor, 2003).

2.5.6 Fungsi Pembentukan Pigmen

Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal epidermis. Sel ini berasal dari rigi saraf, jumlahnya 1:10 dari sel basal. Jumlah melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan warna


(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kulit. Pajanan sinar matahari mempengaruhi produksi melanin. Bila pajanan bertambah produksi melanin akan meningkat (Madison; Connor, 2003).

2.5.7 Fungsi Keratinisasi

Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah bentuk lebih poligonal yaitu sel spinonum, terangkat ke atas menjadi lebih gepeng, dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas lebih gepeng, dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mengering menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk (Madison; Connor, 2003).

2.5.8 Fungsi Produksi Vitamin D

Kulit juga dapat membuat vitamin D dari bahan baku 7-dihidroksikolesterol dengan bantuan sinar matahari. Namun produksi ini masih lebih rendah dari kebutuhan tubuh akan vitamin D dari luar makanan (Madison; Connor, 2003).

2.6 Jalur Absorbsi Perkutan

Sediaan topikal dimaksudkan untuk penggunaannya melalui kulit dan menghendaki obat untuk berpenetrasi atau terlokalisasi melalui kulit. Penetrasi perkutan yaitu perjalanan melalui kulit meliputi disolusi obat dalam pembawanya, difusi obat terlarut (solute) dari pembawa ke permukaan kulit dan penetrasi obat melalui lapisan-lapisan kulit terutama stratum korneum. Tahapan paling lambat dalam proses absorbsi perkutan biasanya perjalanan melalui stratum korneum yang membatasi atau mengontrol permeasi. Molekul obat yang berkontak dengan permukaan kulit dapat berpenetrasi melalui beberapa rute, diantaranya transappendageal dan transepidermal. Adapun jalur penetrasi perkutan dapat dilihat pada Gambar 2.2 dan 2.3.


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.2. Jalur Penetrasi Perkutan (telah diolah kembali)

[Sumber : Maghraby, Barry, Williams, 2008]

Keterangan: 1. Melalui kelenjar keringat, 2. Melewati stratum korneum, 3. Melewati folikel rambut

Gambar 2.3. Jalur Penetrasi Perkutan


(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.6.1 Absorbsi Transappendageal

Jalur absorpsi transappendageal merupakan jalur masuknya obat melalui kelenjar keringat dan folikel rambut yang disebabkan karena adanya pori-pori diantaranya sehingga memungkinkan obat tersebut berpenetrasi. Jalur appendageal hanya mencakup 0,1% area untuk penyerapan pada kulit, sehingga jalur ini dianggap kurang potensial dibandingkan jalur transepidermal (Touitou & Barry, 2007).

2.6.2 Absorpsi Transepidermal

Jalur absorpsi transepidermal merupakan jalur masuknya obat melintasi epidermis. Epidermis merupakan permukaan lapisan yang lebih besar untuk absorpsi di mana epidermis memiliki luas permukaan 100-1000 kali lebih luas dibandingkan jalur transappendageal, sehingga jalur transepidermal merupakan jalur utama untuk absorpsi perkutan banyak senyawa (Lund, 1994).

Terdapat dua jalur untuk absorpsi obat secara transepidermal yaitu jalur interseluler dan jalur intraseluler. Jalur interseluler obat menembus lapisan kulit melalui ruang antar sel dari kulit, sehingga jalurnya menjadi berliku dan lebih panjang. Obat yang bersifat lipofilik akan lebih cenderung berpenetrasi melalui cara ini karena akan larut dalam lemak yang terdapat di antara filamen. Jalur intraseluler obat akan melewati kulit secara langsung melalui membran fosfolipid dan keratinosit yang merupakan kandungan utama stratum korneum. Obat yang bersifat hidrofilik lebih cenderung berpenetrasi melalui jalur ini karena obat hidrofilik akan membentuk ikatan hidrogen dengan bagian protein dalam lapisan filamen protein (Lund, 1994).

Penetrasi obat melalui jalur transepidermal lebih baik dari pada jalur transappendageal, karena luas permukaan pada jalur transappendageal lebih kecil. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan adalah sifat-sifat fisikokimia dari obat, sifat pembawa yang digunakan, dan kondisi fisiologi kulit. Dari sifat-sifat tersebut, dapat diuraikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi absorpsi perkutan, antara lain (Ansel, 1989) :

1. Konsentrasi obat umumnya merupakan faktor yang penting, jumlah obat diabsorpsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode waktu


(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

bertambah, sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam suatu pembawa.

2. Profil pelepasan obat dari pembawanya, tergantung dari afinitas obat terhadap pembawa, kelarutan obat dalam pembawa dan pH pembawa. 3. Komposisi sistem tempat pemberian obat, yang ditentukan dari

permeabilitas stratum korneum yang disebabkan hidratasi dan perubahan struktur lipid.

4. Pembawa yang dapat meningkatkan kelembapan kulit akan mendorong terjadi absorpsi obat melalui kulit.

5. Peningkatan suhu kulit dapat menyebabkan perubahan difusi yang disebabkan oleh peningkatan kelarutan obat.

6. Waktu kontak obat dengan kulit.

7. Bahan-bahn peningkat penetrasi (enhancer) yang dapat meningkatkan permeabilitas kulit dengan cara mengubah sifat fisikokimia stratum korneum sehingga mengurangi daya tahan difusi.

2.7 Pigmentasi Kulit

Warna kulit normal ditentukan oleh jumlah dan sebaran melanin yang dihasilkan oleh melanosom pada melanosit, yang secara genetik jumlahnya tertentu. Warna kulit juga dipengaruhi oleh ketebalan kulit, vaskularisasi kulit, kemampuan refleksi permukaan kulit serta kemampuan absorbsi epidermis dan dermis. Selain itu, juga ada beberapa pigmen lain seperti karoten (oranye), oksihemoglobin (merah), hemoglobin (biru) dan melanin (coklat) yang mempengaruhi warna kulit (Tranggono, Latifah, 2007).

Melanin merupakan pigmen yang dapat melindungi jaringan kulit dari penghamburan sinar UV. Melanin terbentuk melalui rangkaian oksidasi dari asam amino tirosin dengan melibatkan tirosinase. Tirosinase mengubah tirosin menjadi DOPA, kemudian menjadi dopakuinon. Dopakuinon diubah menjadi dopakrom melalui autooksidasi sehingga menjadi dihydroxy indole (DHI) atau dihydroxy

indole carboxy acid (DHICA) untuk membentuk eumelanin (pigmen berwarna

cokelat). Dengan adanya sistein atau glutation, dopakuinon diubah menjadi sistenil dopa, reaksi ini membentuk feomelanin (pigmen berwarna kuning).


(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Banyaknya jumlah eumelanin dan feomelanin yang terbentuk dapat memberikan warna lain pada kulit sehingga kulit manusia tidak hanya berwarna hitam atau putih saja (Chang, 2009). Adapun biosintesis melanin dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Biosintesis Melanin

[Sumber : Donsing dan Viyoch, 2008]

Tirosinase adalah enzim monooksigenase yang berperan sebagai katalisator pada reaksi hidroksilasi monofenol menjadi bentuk difenol (monofenolase) dan oksidasi difenol menjadi quinon (difenolase). Tirosinase memainkan peranan penting dalam pembentukan melanin selama proses melanogenesis karena tirosinase mampu menghidroksilasi L-tirosin (monofenol) menjadi L-DOPA (difenol) dan mengoksidasi L-DOPA menjadi dopakuinon (senyawa kuinon). Dopakuinon yang terbentuk akan bereaksi secara spontan membentuk dopakrom. Peranannya dalam proses melanogenesis terjadi karena tirosinase memiliki gugus tembaga (Cu) yang merupakan suatu active site yang dapat berikatan dengan substrat pada proses pembentukan melanin (Ramsden, Riley, 2010).


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.8 Tanaman Artocarpus Sp Sebagai Inhibitor Tirosinase

Indonesia memiliki banyak spesies tanaman Artocarpus Sp yang mengandung senyawa bioaktif yang dapat menginhibisi tirosinase, diantaranya adalah: A. communis, A. heterophyllus, dan A. altilis. Dari ketiga tanaman tersebut tanaman Artocarpus heterophyllus memiliki persen inhibisi paling besar dibandingkan dengan dua spesies tanaman Artocarpus yang lainnya (Putri, Supriyanti, Zackiyah, 2009). Adapun persen inhibisi ekstrak kulit batang

Artocarpus Sp terhadap tirosinase dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Persen Inhibisi Ekstrak Kulit Batang Artocarpus Sp

terhadap Tirosinase

Konsentrasi Sampel

(µg/mL) % Inhibisi dengan Penambahan Sampel

A. heterophyllus A. altilis A. communis

25 0,76 2,56 0

50 6,41 2,65 0,32

75 36,14 6,09 14,23

150 40,96 7,87 14,23

300 57,35 20,47 19,22

[Sumber: Putri, Supriyanti, Zackiyah, 2009]

Nangka merupakan buah dikotil dari pohon Artocarpus heterophyllus yang termasuk suku dari Moraceae. Pohon Artocarpus heterophyllus merupakan tanaman buah yang berupa pohon yang berasal dari india dan menyebar ke daerah tropis termasuk Indonesia. Tanaman nangka memiliki ukuran yang sedang, tingginya sekitar 8-25 meter dengan diameter pohon 30-80 cm. Batang pohon nangka tegak berkayu, bulat, kasar dan berwarna hijau kotor. Daun Artocarpus

heterophyllus tunggal berseling lonjong memiliki tulang daun yang menyirip,

daging daun tebal, tepi rata, ujung runcing panjang 5-15 cm, lebar 4-5 cm, tangkai panjang lebih kurang 2 cm dan berwarna hijau. Bunga nangka merupakan bunga majemuk yang berbentuk bulir, berada di ketiak daun dan berwarna kuning. Bunga jantan dan betinanya terpisah dengan tangkai yang memiliki cincin, bunga jantan yang ada di batang baru di antara daun atau di atas bunga betina. Buah berwarna kuning ketika masak, oval dan berbiji coklat muda (Prihatman, 2000; Elevitch & Manner, 2006). Adapun bagian batang Artocarpus heterophyllus L. dapat dilihat pada Gambar 2.5.


(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.5. Bagian Batang Artocarpus heterophyllus L.

[Sumber : Elevitch dan Manner, 2006]

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Bangsa : Urticales Suku : Moraceae Marga : Artocarpus

Jenis : Artocarpus heterophyllus L. (Elevitch & Manner, 2006)

2.8.1 Kandungan Kimia Ekstrak Kulit Batang Nangka

Tanaman Artocarpus Sp mengandung senyawa bioaktif yang dapat menginhibisi tirosinase, inhibisi terkuat didapat pada ekstrak kulit batang nangka

Artocarpus heterophyllus. Senyawa bioaktif yang secara potensial dapat

menghambat tirosinase adalah senyawa golongan polifenol (Putri, Supriyanti, Zackiyah; Chang, 2009). Polifenol mewakili berbagai kelompok senyawa yang mengandung gugus fenol dan tersebar secara luas di alam. Polifenol merupakan kelompok terbesar inhibitor tirosinase. Polifenol dapat dikenali sebagai substrat


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

oleh tirosinase, tergantung pada posisi subtituen yang bertindak sebagai inhibitor tirosinase (Chang, 2009).

2.8.2 Analisis Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang Nangka Kandungan total polifenol dari ekstrak kulit batang nangka ditetapkan secara spektrofotometri dengan pereaksi Folin-Ciocalteu. Pereaksi Folin-Ciocalteu merupakan larutan kompleks ion polimerik yang dibentuk dari asam fosfomolibdat dan asam heteropolifosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air, natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium sulfat, dan bromin (Folin, dkk., 1944).

Prinsip dari metode ini adalah terbentuknya senyawa kompleks berwarna biru yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang terb tentu. Pereaksi Folin-Ciocalteu mengoksidasi fenolat (garam alkali) atau gugus fenolik-hidroksi mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) yang terdapat dalam pereaksi Folin-Ciocalteu menjadi suatu kompleks molibdenum-tungsten. Senyawa polifenol bereaksi dengan reagen Folin-Ciocalteu hanya dalam suasana basa agar terjadi disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion fenolat. Oleh karena itu, untuk membuat suasana basa dilakukan penambahan natrium karbonat. Gugus hidroksil pada senyawa fenolik yang bereaksi dengan reagen Folin-Ciocalteu dapat diukur absorbansinya dengan spektrofotometer. Semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) menjadi kompleks

molibdenum-tungsten sehingga warna biru yang dihasilkan semakin pekat (Alfian,

Susanti, 2012).

2.9 Liposom

Liposom merupakan suatu vesikel berair yang dikelilingi oleh membran lipid lapis ganda unilamellar atau multilamellar, terbentuk secara spontan ketika fosfolipid dihidrasi dengan sejumlah air. Lapisan ganda terbentuk dari lipid seperti kolesterol dan lesitin. Lesitin memiliki bagian molekul hidrofilik dan hidrofobik yang memiliki kelarutan berbeda dan secara spontan membentuk lapisan tunggal atau ganda, yang kemudian membentuk vesikel tertutup dengan adanya larutan air (Lasic, Papahadjopoulos, 1998).


(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Berbagai lipid dan molekul ampifilik lain diperlukan sebagai bahan dasar pembentuk liposom untuk membentuk membran lapis ganda (bilayer) liposom. Molekul ampifilik yang banyak digunakan untuk membentuk liposom biasanya berasal dari golongan fosfolipid, sphingolipid, atau lipid golongan sterol seperti kolesterol. Fosfolipid sebagai bahan penyusun liposom diklasifikasikan menjadi empat kelompok berdasarkan asal perolehannya, diantaranya : fosfolipid alam, fosfolipid alam termodifikasi, fosfolipid semisintetik, dan fosfolipid sintetik. Harga dan stabilitas kimia yang buruk menjadi kelemahan fosfolipid yang digunakan dalam formulasi liposom (Barenholz dan Crommelin, 1994). Selain liposom, terdapat beberapa jenis vesikel lain yang dapat digunakan sebagai penghantar obat, diantaranya:

1. Niosom, merupakan sistem vesikel yang mirip dengan liposom. Niosom merupakan suatu pembawa dengan sistem bilayer yang dibentuk dari surfaktan nonionik sebagai pengganti fosfolipid yang distabilkan yang dengan penambahan kolesterol (Gaur, Mishra, Purohit, Dave, 2009) . 2. Transfersom, merupakan suatu vesikel fleksibel yang memiliki inti akuatik

yang dikelilingi oleh kelompok lipid bilayer. Transfersom terdiri dari fosfolipid sebagai bahan utama, surfaktan dengan konsentrasi 10-25% (seperti natrium kolat) dan 3-10% etanol (Gaur, Mishra, Purohit, Dave, 2009).

3. Etosom, adalah suatu vesikel pembawa yang tersusun atas fosfolipid dan memiliki kandungan alkohol (etanol dan isopropil alkohol) dengan konsentrasi yang cukup tinggi, serta air. Ukuran etosom bervariasi dari puluhan nanometer hingga ukuran mikron. Komposisi yang tepat mampu meningkatkan penetrasi zat aktif ke jaringan dan sirkulasi sistemik (Gaur, Mishra, Purohit, Dave, 2009).

4. Virosom, merupakan obat atau mekanisme pemberian vaksin yang terdiri dari vesikel fosfolipid bilayer unilamelar yang menggabungkan protein yang berasar dari virus sehingga memungkinkan virosom menyatu dengan sel target. Virosom terdiri dari bilayer fosfolipid yang mengandung protein permukaan virus yang menempel pada lapisan bilayer (Gaur, Mishra, Purohit, Dave, 2009).


(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Pharmacosome, merupakan dispersi koloidal obat yang terikat pada lipid

dan berbentuk ultrafine vesicular, misellar, atau agregat heksagonal bergantung dari struktur kimia kompleks obat-proteinnya (Bansal, Kashyap, Aggarwal, Harikumar, 2012).

2.10 Niosom

Niosom adalah suatu pembawa dengan dasar vesikel yang dibentuk dari surfaktan nonionik, yang dalam media larutan menghasilkan struktur bilayer

tertutup. Struktur ini membentuk sebuah vesikel dimana sebuah bagian hidrofobik dari molekul terlindung dari pelarut dan gugus kepala hidrofilik berkontak dengan pelarut (Uchegbu, Vyas, 1998).

Niosom merupakan suatu vesikel surfaktan nonionik yang memiliki struktur bilayer yang dibentuk melalui penyusunan monomer-monomer surfaktan yang terhidrasi. Bentuk vesikel niosom merupakan struktur bilayer multilamellar

atau unilamellar yang tersusun dari surfaktan nonionik dan kolesterol yang berfungsi sebagai bahan penstabil (Kapoor, Gahoi, Kumar 2011). Vesikel yang terbentuk pada niosom dipengaruhi oleh metode pembuatan yang digunakan. Secara umum terdapat dua jenis vesikel yang dihasilkan, yaitu vesikel unilamellar

dan multilamellar. Vesikel unilamellar adalah vesikel yang hanya terdiri dari satu

bilayer atau lapis ganda, sedangkan vesikel multilamellar terdiri dari beberapa

lapis ganda (Blazek, Rhodes, 2001).

Niosom dapat menjerap obat hidrofilik dan lipofilik dalam lapisan berair dan masing-masing membran vesikular. Bilayer dari Niosom memiliki dua permukaan yaitu permukaan dalam dan luar atau permukaan hidrofilik serta permukaan lipofilik. Oleh karena itu sejumlah besar obat-obatan dan bahan lainnya dapat dihantarkan ke jaringan target dengan menggunakan niosom (Sankhyan, Pawar, 2012).

Niosom memiliki dua komponen utama yaitu terdiri dari surfaktan nonionik dan kolesterol. Surfaktan memberikan peranan yang penting dalam pembuatan niosom. Beberapa surfaktan nonionik yang umumnya digunakan dalam preparasi niosom adalah: Spans (span 60, 40, 20, 85, 80), Tweens (twen 20, 40, 60, 80), Brijs (brij 30, 35, 52, 58, 72, 76). Surfaktan nonionik memiliki bagian


(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kepala yang bersifat hidrofilik dan bagian ekor yang bersifat hidrofobik. Kolesterol digunakan untuk memberikan kekakuan serta memberikan bentuk yang tepat, konformasi yang sesuai dalam preparasi niosom (Chandu, Arunachalam, Jeganath, Yamini, Tharangini, Chaitanya, 2012).

Penggunaan sistem vesikuler dalam kosmetik dan untuk tujuan terapetik memberikan beberapa keuntungan diantaranya (Van, Bouwstra, Rensen, Jeremiasse, Vringer, Junginger, 1996):

1. Suspensi niosom adalah pembawa dengan basis air sehingga lebih mudah diterima oleh pasien dibandingkan dengan bentuk sediaan dengan basis minyak.

2. Vesikel memungkinkan penyerapan berbagai jenis obat, yakni obat hidrofilik, lipofilik dan ampifilik.

3. Karakteristik formulasi vesikel dapat divariasikan dan dikontrol dengan mengubah komposisi pada vesikel, baik dari segi ukuran, lamelaritas, volume pelarut, muatan permukaan, serta konsentrasinya.

4. Sistem vesikel yang dihasilkan adalah mudah didegradasi secara biologik

(biodegradable) dan tidak berinteraksi dengan tubuh (biocompatible).

5. Vesikel dapat bertindak sebagai depot yang dapat melepaskan obat dengan sistem yang terkendali.

6. Vesikel dapat melindungi obat dari degradasi karena obat diformulasikan ke dalam suatu pembawa.

Menurut Sharma, Kumar, Mahadevan, (2012) Keuntungan menggunakan niosom dalam kosmetik dan perawatan kulit adalah kemampuan niosom dalam meningkatkan stabilitas zat aktif yang terjerap, dapat meningkatkan bioavibilitas zat yang sulit diserap, serta mampu meningkatkan penetrasi kulit. Jika dibandingkan dengan liposom, niosom memiliki beberapa kelebihan, diantaranya penggunaan surfaktan nonionik yang stabil terhadap adanya reaksi oksidasi, serta harga yang lebih murah dibandingkan dengan fosfolipid (Sankhyan, Pawar, 2012).


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Niosom memiliki beberapa hal yang menjadi kekurangan ketika digunakan sebagai pembawa obat, diantaranya (Chandu, Arunachalam, Jeganath, Yamini, Tharangini, Chaitanya, 2012) :

1. Ketidakstabilan fisik 2. Agregasi

3. Fusi atau penggabungan

4. Kebocoran vesikel yang terbentuk dan menyebabkan obat yang terjerap keluar

5. Hidrolisis dari obat yang terenkapsulasi dapat menyebabakan berkurangnya masa simpan.

2.10.1 Struktur Niosom

Secara struktur niosom mirip dengan liposom, karena keduanya terdiri dari

bilayer. Namun, bilayer yang terdapat pada niosom tersusun dari surfaktan

nonionik, bukan fosfolipid seperti yang terdapat pada liposom. Niosom dapat berupa unilamellar atau multilamellar tergantung dari metode yang digunakan dalam pembuatannya. Niosom merupakan bilayer yang tersusun dari surfaktan nonionik dengan ujung hidrofilik terdapat pada luar vesikel, sementara rantai hidrofobik saling berhadapan di dalam bilayer. Obat yang bersifat hidrofilik terdapat didalam vesikel sementara obat yang bersifat hidrofobik tertanam dalam lapisan ganda niosom (Makeshwar, Wasankar, 2013). Adapun struktur niosom dapat dilihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.6. Struktur Niosom


(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.10.2 Klasifikasi Niosom

Niosom dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, diantaranya : jumlah bilayernya (misal, Multilamellar Vesicle, Small Unilamellar Vesicle), ukuran (misal, Large Vesicle Unilamellar, Small Unilamellar Vesicle), dan metode pembuatan (Makeshwar, Wasankar, 2013). Beberapa jenis niosom diantaranya :

a. Multilamellar Vesicle (MLV)

Multilamellar vesicle terdiri dari sejumlah lapisan, dengan ukuran

diameter vesicle 0,5-10 µm. Vesikel multilamellar merupakan niosom yang paling sering digunakan, karena sederhana dalam pembuatan serta cukup stabil untuk penyimpanan dalam waktu yang lama. Vesikel ini cocok digunakan sebagai pembawa untuk obat yang bersifat lipofilik.

b. Large Vesicle Unilamellar (LUV)

Niosom jenis ini memiliki perbandingan kompartemen air atau lipid yang tinggi, sehingga bahan yang terjerap akan lebih besar serta ekonomis.

c. Small Unilamellar Vesicle (SUV)

Niosom jenis ini sebagian besar dibuat dari vesicle multilamellar dengan menggunakan metode sonikasi.

2.10.3 Stabilitas Niosom

Niosom memiliki beberapa faktor yang dapat mempengaruhi stabilitasnya, diantaranya adalah stabilitas fisik, stabilitas kimia, serta stabilitas dalam cairan biologi. Adapun keterangan mengenai faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas niosom adalah sebagai berikut (Mujoriya dan Bodla 2011):

a. Stabilitas Fisik

Stabilitas fisik niosom tergantung pada ukuran partikel yang dapat berubah karena pembentukan agregat dan penggabungan, terjadinya pemisahan dari komponen bilayer setelah penyimpanan, serta terjadinya kebocoran bahan enkapsulasi dari niosom.

b. Stabilitas Kimia

Stabilitas kimia niosom tergantung pada stabilitas komponen lipid dan komponen bilayernya yang dirancang untuk membawa zat aktif. Fosfolipid dapat mengalami degradasi berupa hidrolisis dan peroksidasi.


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Stabilitas Dalam Cairan Biologi

Niosom tidak mampu mempertahankan zat yang terjerap ketika diinkubasi dalam darah atau plasma. Ketidakstabilan niosom dalam plasma terjadi karena adanya transfer bilayer lipid dengan albumin dan protein dengan densitas yang tinggi. Garam empedu juga dapat mengganggu struktur membran bilayer dari niosom yang dapat menyebabkan kebocoran pada niosom.

2.10.4 Metode Pembuatan Niosom

Pembuatan niosom secara umum dibedakan menjadi delapan metode, diantaranya: teknik penjerapan pasif, hidrasi lapis tipis, injeksi eter, penguapan fase balik, ekstruksi beberapa membran, mikrofluidasi, sonikasi, metode gelembung, teknik penjerapan aktif, gradien pH transmembran.

a. Teknik Penjerapan Pasif

Teknik ini merupakan teknik yang paling sering digunakan dalam pembuatan niosom dimana obat tergabung selama pembentukan niosom (Sankhyan, Pawar, 2012).

b. Hidrasi Lapis Tipis

Semua komponen pembentuk vesikel yaitu surfaktan, kolesterol dilarutkan dalam pelarut organik yang mudah menguap dalam labu alas bulat. Pelarut organik diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu kamar yang membentuk film tipis dari komponen terlarut. Film tipis yang terbentuk dihidrasi dengan fase air dengan agitasi lembut sehingga terbentuk niosom (Sankhyan, Pawar, 2012).

c. Injeksi Eter

Surfaktan dan komponen lain dilarutkan dalam eter (dietil eter) dan kemudian secara perlahan-lahan diinjeksikan ke dalam fase cair pada suhu 600C menggunakan jarum. Penambahan tersebut akan menyebabkan penguapan eter dan pembentukan vesikel lapis tunggal. Metode ini memiliki kelebihan dalam mengontrol ukuran, yang dapat diperoleh dengan mengontrol ukuran jarum dan kondisi lainnya. Kelemahannya adalah kelarutan bahan dalam eter yang terbatas dan sulit dalam menghilangkan eter dari formulasi akhir (Sankhyan, Pawar, 2012).


(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

d. Penguapan Fase Balik

Bahan dilarutkan dalam campuran pelarut organik yang mudah menguap (eter dan kloroform) dan obat dilarutkan dalam fase air. Emulsi air dalam minyak terbentuk dari dua fase dalam bath sonicator. Prinsip dasar meliputi penguapan pelarut organik untuk membentuk niosom. Emulsi ini dikeringkan menggunakan

rotary evaporator pada suhu 400C untuk membentuk gel semi solid dari vesikel

besar. Sejumlah kecil buffer ditambahkan dan semi solid yang terbentuk disonikasi pada suhu 4-50C untuk membentuk vesikel kecil unilamellar

(Sankhyan, Pawar, 2012).

e. Ekstruksi Beberapa Membran

Prinsip dasar melibatkan ekstruksi yang memaksa bagian dari campuran, suspensi, atau emulsi dari komponen melalui membran polikarbonat berulang kali untuk memperoleh niosom dengan ukuran yang diinginkan. Fase organik dikeringkan dalam rotary evaporator dan dihidrasi dengan fase air, hasilnya diekstruksi melalui membran (Sankhyan, Pawar, 2012).

f. Mikrofluidisasi

Kedua fase saling berinteraksi pada kecepatan yang sangat tinggi dalam saluran mikro di dalam interaction chamber. Energi dan tumbukan kecepatan tinggi menyebabkan pembentukan niosom yang kecil dan seragam. Metode ini memiliki tingkat reprodusibilitas yang tinggi (Sankhyan, Pawar, 2012).

g. Sonikasi

Campuran larutan obat dalam buffer, surfaktan, dan kolesterol disonikasi dengan sonikator pemeriksaan titanium pada suhu 600C selama 3 menit untuk menghasilkan niosom. Metode ini juga digunakan untuk memproduksi vesikel

unilamellar kecil dari vesikel multilamellar besar yang dipreparasi dengan teknik

lainnya (Sankhyan, Pawar, 2012). h. Metode Gelembung

Metode pembuatan niosom ini dengan satu tahap tanpa menggunakan pelarut organik. Semua komponen didispersikan dalam buffer dan ditempatkan dalam labu alas bulat di atas penangas air dengan suhu yang dikontrol. Labu tersebut memiliki tiga leher yang dihubungkan pada refluks pendingin air, termometer, dan penyedia nitrogen. Dispersi dicampurkan dengan homogenizer


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

selama 15 detik dan kemudian dibuat gelembung dengan nitrogen untuk membentuk niosom (Sankhyan, Pawar, 2012).

i. Teknik Penjerapan Aktif

Meliputi penambahan obat setelah pembentukan niosom. Niosom dipreparasi dan kemudian obat dimasukkan dengan mempertahankan gradien pH atau gradien ion untuk memfasilitasi penjerapan obat ke dalam niosom. Cara ini dapat memberikan keuntungan penjerapan 100%, perbandingan obat-lipid yang tinggi, menghindari kebocoran, biaya yang efektif, dan cocok untuk obat-obat yang tidak stabil (Sankhyan, Pawar, 2012).

j. Gradien pH Transmembran

Fase organik dan komponen terlarut diuapkan untuk membentuk lapisan dan dihidrasi dengan asam sitrat, vesikel multilamellar dibentuk dengan pembekuan yang dicairkan 3 kali dan disonikasi. Ke dalam suspensi niosom ditambahkan fase air dan obat, divortex dan pH dinaikkan hingga 7,0-7,2 dengan 1M dinatrium fosfat. Campuran tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 600C selama 10 menit untuk memasukkan obat ke dalam niosom (Sankhyan, Pawar, 2012).

2.10.5 Komponen Pembentukan Niosom a. Surfaktan

Surfaktan berasal dari kata surface active agent (agen aktif permukaan). Surfaktan banyak digunakan karena kemampuannya dalam mempengaruhi sifat permukaan (surface) dan antar muka (interface). Surfaktan memiliki gugus hidrofobik dan hidrofilik. Bagian “kepala” mengacu pada pelarut hidrofilik, dan bagian “ekor” mengacu pada gugus hidrofobik (Perkins, 1998). Surfaktan dapat mengabsorpsi pada permukaan atau antar muka untuk mengurangi tegangan permukaan atau tegangan antar muka. Bagian hidrofobik terdiri dari rantai hidrokarbon sedangkan bagian hidrofilik dapat berupa ion, gugus polar atau gugus yang larut dalam air. Oleh karena itu surfaktan sering disebut ampifil yang berarti memiliki aktivifas tertentu baik terhadap pelarut polar maupun non polar. Ampifil secara dominan dapat berupa hidrofil, lipofil, atau berada di antara minyak-air (Bucton, 1995). Adapun struktur molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar 2.7.


(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.7. Struktur Molekul Surfaktan

[Sumber : Perkins, 1998]

Surfaktan dapat dikategorikan menjadi 4 jenis, yaitu: surfaktan anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik (Tang dan Suendo, 2011). Adapun keterangan masing-masing jenis niosom adalah sebagai berikut:

1. Surfaktan Anionik

Bagian hidrofilik molekul surfaktan bermuatan negatif. Contohnya adalah natrium alkil benzena sulfonat, natrium lauril sulfonat, natrium dodesil benzen sulfonat, natrium lauril eter sulfat, ammonium lauril sulfat, natrium metil kokoli sulfat, natrium lauril sarkosinat.

2. Surfaktan Kationik

Komponen aktif permukaan dalam surfaktan ini adalah kation. Bagian hidrofilik molekul surfaktan bermuatan positif (contohnya: garam amina rantai panjang, dan benzalkonium klorida).

3. Surfaktan Nonionik

Merupakan suatu surfaktan dengan bagian aktif permukaannya mengandung gugus nonion. Contohnya adalah Cetomagrol, Span, Tween, dan Brij.

4. Surfaktan Amfolitik (zwitterionik)

Surfaktan ini dapat bersifat baik anionik atau kationik, tergantung pada pH. Salah satu contohnya adalah N-dodesil-N,N-dimetil betain dan lesitin.

Surfaktan nonionik dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran kesetimbangan hidrofilik-lipofilik (HLB : Hidrophilic-Lipophilic Balance). Makin tinggi HLB suatu zat, maka zat tersebut semakin hidrofilik. Surfaktan yang mempunyai HLB rendah kurang dari 10 biasanya digunakan sebagai zat antibusa untuk menghilangkan busa, zat pengemulsi air dalam minyak dan sebagai zat


(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pembasah untuk menurunkan sudut kontak antar-permukaan dan cairan pembasah. Adapun struktur molekul span 60 dapat dilihat pada Gambar 2.8.

Span 60 atau sorbitan monostearat dapat berfungsi sebagai agen pengemulsi (emulgator), surfaktan nonionik lipofilik, agen pelarut, dan agen penghidrasi. Span 60 praktis tidak larut dalam air, dapat bercampur dengan alkohol, larut dalam parafin cair, mudah larut dalam eter, tidak larut dalam aseton dan propilenglikol. Nilai HLB (Hydrophilic-Lipophilic Balance) span 60 adalah 4,7 (Rowe, Sheskey, & Owen, 2006).

Gambar 2.8. Struktur Molekul Span 60

[Sumber : Rowe, Sheskey, & Owen, 2006]

b. Kolesterol

Kolesterol memiliki rumus empiris C27H46O dan berat molekul 386,67

serta titik lebur 147-150⁰C. Dalam kosmetik dan formulasi topikal kolesterol digunakan pada konsentrasi 0,3-5,0 % b/b sebagai zat pengemulsi. Kolesterol mampu menyerap air pada sediaan salep dan memiliki aktivitas sebagai emolien. Senyawa ini dapat berwarna putih atau kekuningan (samar), hampir tidak berbau, berbentuk mutiara, jarum, bubuk atau butiran. Pada paparan cahaya dan udara yang berkepanjangan kolesterol dapat berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Kolesterol larut dalam aseton, larut 1 : 4,5 dalam kloroform, larut dalam minyak nabati, dan praktis tidak larut dalam air. Senyawa ini stabil dan harus disimpan dalam wadah tertutup, terlindung dari cahaya (Rowe, Sheskey, & Owen, 2006). Adapun struktur molekul kolesterol dapat dilihat pada Gambar 2.9.


(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.9 . Struktur Molekul Kolesterol

[Sumber : Rowe, Sheskey, & Owen, 2006]

Kolesterol merupakan steroid yang menyebabkan perubahan fluiditas dan permeabilitas dari bilayer niosom. Kolesterol merupakan metabolit steroid lilin yang dicampurkan dengan surfaktan nonionik untuk memberikan kekakuan dan keteraturan pada niosom. Kolesterol merupakan molekul ampifilik, dimana gugus OH-nya akan mengarah pada fasa air, dan rantai alifatiknya akan mengarah pada rantai hidrokarbon dari surfaktan. Kekakuan yang terjadi pada niosom disebabkan karena adanya kerangka steroid yang kaku yang berinteraksi dengan molekul surfaktan sehingga membatasi pergerakan karbon dari rantai hidrokarbon surfaktan. Kolesterol juga dapat mencegah terjadinya kebocoran pada molekul surfaktan yang telah menjerap zat aktif (Sankhyan, Pawar, 2012).

c. Metanol

Metanol adalah bentuk paling sederhana dari alkohol yang biasa digunakan sebagai pelarut di industri dan sebagai bahan tambahan dari etanol dalam proses denaturasi sehingga etanol menjadi toksik. Rumus kimia dari metanol adalah CH3OH dan dikenal dengan nama lain yaitu metil alkohol, metal

hidrat, metil karbinol, wood alcohol atau spiritus. Pada keadaan atmosfer metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol) (Martindale, 1996).


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

d. Kloroform

Kloroform juga dikenal sebagai triklorometana, metana triklorida, trikloroform, metil triklorida, dan formil triklorida. Kloroform memiliki rumus molekul dan massa molekul relatif masing-masing adalah CHCl3 dan 119,4. Pada suhu ruang kloroform jernih, tidak berwarna, cairan mudah menguap dengan bau khas eterik (WHO, 2004). Kloroform sedikit larut dalam air, mudah larut dalam karbon disulfida, dan dapat bercampur dengan alkohol, eter, benzen, karbon tetraklorida, dan minyak yang mudah menguap (HSBD, 2009). Kloroform stabil di bawah suhu dan tekanan normal dalam wadah tertutup (Akron, 2009).

e. Phosphate Buffered Saline

Phosphate buffered saline adalah larutan isotonis yang digunakan dalam penelitian biologis. Larutan ini mengandung natrium klorida, natrium fosfat, kalium klorida, dan kalium fosfat. PBS banyak digunakan karena isotonis dengan cairan tubuh manusia dan tidak bersifat toksik (Medicagi AB, 2010). PBS memiliki pH yang berkisar 7,3-7,5 dan osmolaritasnya berkisar 280-315 Mosm/kg (Maureen, 2002).

2.11 Karakterisasi Niosom 2.11.1 Analisis Ukuran Partikel

Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel adalah karakteristik yang penting dalam niosom. Pelepasan obat dipengaruhi oleh ukuran partikel. Partikel yang berukuran kecil memiliki luas permukaan yang lebih besar, dimana akan mengakibatkan pelepasan zat aktif yang lebih cepat. Sementara itu partikel yang lebih besar memiliki inti yang lebih besar yang dapat mengurangi kecepatan obat untuk berdifusi keluar. Namun demikian partikel yang berukuran kecil memiliki resiko yang lebih besar untuk terjadinya agregasi selama penyimpanan (Jahanshashi dan Babaei, 2008).

Ukuran partikel dapat ditentukan dengan menggunakan photon correlation

spectroscopy (PCS) atau dapat juga digunakan dynamic light scattering (DLS).

Sampel yang dianalisa menggunakan PCS harus terdispersi di dalam medium cair. Dalam kondisi tertentu partikel akan bergerak konstan secara acak, sebagaimana yang ditunjukan oleh gerak Brown. Kemudian PCS akan mengukur kecepatan


(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

gerak partikel tersebut dengan melewatkan laser. PCS mengukur ukuran partikel rata-rata dan indeks polidispersitas. Dynamic light scattering (DLS) menerapkan konsep pengukuran di mana partikel kecil di dalam suspensi bergerak dalam pola acak. Partikel besar bergerak lebih lambat dari partikel yang berukuran lebih kecil (Jahanshashi dan Babaei, 2008).

2.11.2 Efisiensi Penjerapan Niosom

Obat yang tidak terjerap dapat dipisahkan dengan berbagai teknik, di antaranya :

a. Dialisis

Dispersi cairan niosom didialisis dalam tabung dialisis dengan menggunakan buffered phosphate atau normal saline atau larutan glukosa.

b. Gel filtration

Obat yang tidak terjerap dihilangkan dari niosom menggunakan filtrasi gel melalui kolom Sphadex-G-50 dan dielusi dengan buffer garam fosfat atau normal salin.

c. Sentrifugasi

Suspensi niosom disentrifugasi dan supernatannya dipisahkan. Pelet yang diperoleh dicuci kemudian disuspensikan kembali untuk mendapatkan niosom yang bebas dari obat yang tidak terjerap.

Efisiensi penjerapan obat dalam vesikel (EE%) diukur dengan memisahkan obat bebas dari vesikel penjerap menggunakan teknik ultrasentrifugasi. Sejumlah volume suspensi niosom disentrifugasi selama 50 menit pada 50.000 rpm dan suhu 4◦C (OptimaTM ultrasentrifus, Beckman Coulter, USA) untuk memisahkan obat bebas (obat yang tidak terjerap). Jumlah obat bebas (FD) disebut sebagai supernatan. Suspensi niosom digunakan untuk menilai total jumlah obat (TD). Supernatan hasil ultrasentrifugasi ditetapkan kadarnya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum (Pham, Maalej, Charcosset, Fessi, 2012).


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.12 Spektrofotometri UV-Vis

Senyawa yang dapat memberikan serapan ketika diukur dengan spektrofotometer adalah senyawa yang memiliki gugus kromofor. Kromofor adalah gugus fungsional yang mengabsorbsi radiasi ultraviolet dan tampak, jika mereka diikat oleh senyawa-senyawa bukan pengabsorbsi (auksokrom). Auksokrom adalah gugus fungsional yang memiliki elektron bebas, seperti OH, O, NH3, dan OCH3. Spektrofotometer UV-Vis dapat digunakan untuk informasi

kualitatif dan analisis kuantitatif. Dalam aspek kualitatif, data yang diperoleh dari spektroskopi UV dan Vis adalah panjang gelombang maksimum, intensitas absorbsi, efek pH, dan pelarut, semuanya dibandingkan dengan data yang telah dipublikasikan. Dari spektra yang diperoleh dapat dilihat, misalnya serapan berubah atau tidak karena perubahan pH. Dalam aspek kuantitatif, berkas radiasi yang dilewatkan pada larutan sampel dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi yang diserap oleh larutan sampel ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang datang dengan intensitas sinar yang diteruskan (Gandjar dan Rohman, 2007).

Hukum Lambert Beer :

A = log (I0/lt) = γ.b.c = a.b.c (2.1)

Dimana : A = serapan

Io = Intensitas sinar yang datang It = Intensitas sinar yang diteruskan γ = absorbtivitas molekuler (mol.cm.lt-1) a = daya serap (g.m.lt-1)

b = tebal larutan / kuvet (cm) c = konsentrasi (g.lt-1.mg.ml-1)

Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan. Komponen-komponen dalam spektrofotometer UV-Vis meliputi sumber-sumber sinar, monokromator, dan sistem optik. Sumber-sumber lampu, lampu deutrium digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang dari 190-350 nm, sedangkan lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan untuk daerah sinar tampak pada panjang gelombang 350-900 nm. Monokromator, digunakan


(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk mendispersikan sinar ke dalam komponen-komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya akan dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada larutan sampel sebagai scan. Optik-optik didisain untuk memecah sumber sinar sehingga sumber sinar melewati 2 kompartemen, sebagaimana yang digunakan dalam spektrofotometer berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko digunakan dalam satu kompartemen untuk mengoreksi pembacaan atau spektrum sampel. Umumnya yang paling sering digunakan sebagai blanko dalam spektrofotometri adalah semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi (Gandjar dan Rohman, 2007).


(50)

(51)

30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, dan Laboratorium Kimia Obat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Laboratorium Analisa Bahan Fakultas MIPA Jurusan Fisika Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan November 2014 sampai bulan Maret 2015.

3.2 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer UV-Vis (Hitachi, Jepang), vacuum rotary evaporator (Eyela N-1000, Jepang),

ultrasentrifuge (Himac CP 100WX, Hitachi, Jepang), tube (Hitachi, Jepang),

particle size analysis (Vasco, Perancis), vortex mixer (VM-300, Taiwan), autoklaf

digital (MC 30-L., Ltd, Jepang), mikropipet (Rainin, USA), timbangan analitik (KERN ACJ 220-4M, Balingen), pH meter (Horiba F-52, Jepang), glass beads, dan alat-alat gelas lain yang biasa digunakan.

3.3 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak kulit batang nangka (Artrocarpus heterophyllus L.) yang diperoleh dengan metode maserasi (Bogor, Indonesia), span 60 (Croda, Singapura), kolesterol (TCI, Jepang), kloroform pro analisa (Merck, Jerman), metanol pro analisa (Merck, Jerman), Na2CO3 pro analisa (Sinopharm, China), Folin-Ciocalteu (Merck, Jerman),

Phosfate Buffered Saline pH 7,3±0,2 (Oxoid, Inggris), asam galat standar (Sigma,


(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Uji Parameter Spesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka 3.4.1.1 Identitas

Pendeskripsian tata nama, yaitu nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan dan nama Indonesia tumbuhan (Depkes RI, 2000).

3.4.1.2 Organoleptik

Penetapan organoleptik yaitu pengenalan secara fisik dengan menggunakan panca indera dalam mendeskripsikan bentuk, warna, bau (Depkes RI, 2000).

3.4.2 Uji Parameter Nonspesifik Ekstrak Kulit Batang Nangka 3.4.2.1 Kadar Abu

Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang seksama (W1) dimasukkan dalam kurs yang sebelumnya telah dipijarkan dan ditimbang (W0). Setelah itu ekstrak dipijar dengan menggunakan tanur secara perlahan-lahan dengan suhu dinaikkan secara bertahap hingga 600±25°C sampai arang habis. Kemudian ditimbang hingga bobot tetap (W2) (Depkes RI, 2000).

% Kadar Abu Total = W 2−W 0

�1 x 100% (3. 1)

Keterangan : W0 = bobot cawan kosong (gram) W1 = bobot ekstrak awal (gram)

W2 = bobot cawan + ekstrak setelah pemanasan (gram)

3.4.2.2 Kadar Air

Ekstrak ditimbang secara seksama sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105ºC selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol timbang dengan batang pengaduk. Kemudian dikeringkan dalam oven 105ºC selama 5 jam dan ditimbang. Pengeringan dilanjutkan kemudian ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25% (Depkes RI, 2000).


(53)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

% Kadar Air = W 0−W 1

�0 x 100% (3. 2)

Keterangan : W0 = bobot ekstrak sebelum dikeringkan (gram) W1 = bobot ekstrak setelah dikeringkan (gram)

3.4.3 Uji Skrining Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Nangka 3.4.3.1 Alkaloid

Sebanyak 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga diperoleh residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCl 2N. Larutan yang didapat kemudian dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan dengan asam encer yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan pereaksi Dragendroff sebanyak 3 tetes dan tabung ketiga ditambahkan pereaksi Mayer sebanyak 3 tetes. Terbentuknya endapan jingga pada tabung kedua dan endapan kuning pada tabung ketiga menunjukkan adanya alkaloid (Farnsworth, 1966).

3.4.3.2 Flavonoid

Sejumlah ekstrak ditambahkan dengan 100 mL air panas, didihkan selama 5 menit, kemudian disaring, diambil filtratnya, dipindahkan ke dalam tabung reaksi. Filtrat sebanyak 5 mL ditambahkan 0,05 g serbuk Mg, 1 mL HCl pekat dan amil alkohol, kemudian dikocok kuat-kuat. Terbentuknya warna merah, kuning, atau jingga menunjukkan sampel mengandung flavonoid (Harborne, 1987).

3.4.3.3 Saponin

Beberapa mL ekstrak ditambahkan dengan 10 mL air sambil dikocok selama 1 menit, lalu ditambahkan 2 tetes HCl 1 N. Bila busa yang terbentuk tetap stabil selama kurang lebih 7 menit, maka ekstrak positif mengandung saponin (Harborne, 1987).

3.4.3.4 Steroid

Sejumlah 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga diperoleh residu. Residu kemudian dilarutkan dalam kloroform dan disaring. Filtrat ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 2 tetes. Larutan dikocok perlahan dan

dibiarkan selama beberapa menit. Terbentuknya cincin cokelat kemerahan menunjukkan bahwa ekstrak mengandung steroid (Harborne, 1987).


(54)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.3.5 Tanin dan Polifenol

Sejumlah 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga diperoleh residu. Residu kemudian direaksikan dengan FeCl3 10%. Terbentuknya

warna biru tua, biru kehitaman, atau hitam kehijauan menunjukkan adanya senyawa polifenol dan tanin (Robinson, 1991).

3.4.4 Analisis Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Kulit Batang Nangka 3.4.4.1 Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam Aquadest

Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 1000 ppm (µg/mL) dapat dibuat dengan cara 10 mg asam galat standar dilarutkan dalam 1 mL metanol pro analisa lalu ditambahkan aquadest di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas (Ratnayani, 2012).

3.4.4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam Aquadest

Larutan standar asam galat 40 ppm (µg/mL) dibuat dengan cara mengambil 0,2 mL larutan induk asam galat 1000 ppm (µg/mL), lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan aquadest sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL larutan standar 40 ppm dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3

15%, lalu ditambahkan 2,2 mL aquadest. Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Campuran larutan tersebut kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 400 sampai 800 nm. Hasil yang diperoleh dibuat dalam bentuk kurva, sebagai sumbu y adalah absorbansi dan panjang gelombang cahaya sebagai sumbu x. Dari kurva tersebut dapat ditentukan panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum (Alfian, Susanti, 2012; Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.4.4.3 Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Aquadest

Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan 80 ppm (µg/mL)dibuat dengan cara mengambil masing-masing sebanyak 0,2 mL; 0,3 mL; 0,4 mL; 0,5 mL; 0,6 mL; 0,7 mL dan 0,8 mL larutan induk asam galat 1000 ppm (µg/mL), lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, dan ditambahkan

aquadest sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL dari masing-masing seri


(55)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan

2,2 mL aquadest. Campuran larutan tersebut kemudian diinkubasi selama 2 jam. Semua larutan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 755 nm, kemudian dibuat kurva kalibrasi hubungan antara konsentrasi asam galat (μg/mL) dengan absorbansi (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.4.4.4 Penentuan Total Senyawa Polifenol dalam Ekstrak Kulit Batang Nangka

Sebanyak 10 mg ekstrak kulit batang nangka dilarutkan dalam 1 mL metanol pro analisa lalu ditambahkan aquadest di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL larutan ekstrak yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan natrium karbonat 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL aquadest. Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Campuran larutan tersebut diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 755 nm, kadar senyawa polifenol total dapat dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linear dari kurva kalibrasi. Kadar total polifenol ditetapkan sebagai ekivalen asam galat (GAE) (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.4.5 Preparasi Niosom Ekstrak Kulit Batang Nangka 3.4.5.1 Pembuatan Larutan PBS pH 7,3±0,2

Larutan phosphate buffered saline pH 7,3±0,2 dibuat dengan melarutkan 10 buah tablet phosphate buffered saline yang mengandung natrium klorida (8 g/L), kalium klorida (0,2 g/L), kalium hidrogen fosfat (0,2 g/L), kalium dihidrogen fosfat (0,2 g/L) dan dinatrium hidrogen fosfat (1,15 g/L) dalam 1000 mL air bebas karbondioksida, kemudian diautoklaf pada suhu 115°C selama 10 menit menggunakan autoklaf digital (Oxoid, Inggris).

3.4.5.2 Formulasi Niosom

Niosom yang mengandung ekstrak kulit batang nangka sebagai bahan aktif diformulasikan dengan menggunakan span 60 sebagai surfaktan nonionik, kolesterol sebagai bahan penstabil, dan PBS (phosphate buffered saline) pH 7,3±2 sebagai fase air. Adapun formula niosom yang digunakan terdapat pada Tabel 3.1.


(56)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 3.1 Formula Niosom

Bahan F1 F2 F3

Ekstrak kulit batang nangka

50 mg 100 mg 150 mg Kolesterol 200 mg 200 mg 200 mg

Span 60 400 mg 400 mg 400 mg

PBS pH 7,3 12,5 mL 12,5 mL 12,5 mL

3.4.5.3 Pembuatan Niosom dengan Metode Hidrasi Lapis Tipis

Niosom dibuat dengan menggunakan metode hidrasi lapis tipis. Ekstrak kulit batang nangka, span 60, dan kolesterol (Tabel 3.1) dilarutkan dalam pelarut organik. Ekstrak kulit batang nangka dilarutkan dalam 3 mL metanol, span 60 dilarutkan dalam 4,5 mL kloroform, dan kolesterol dilarutkan dalam 1,5 mL kloroform, dan kemudian dimasukkan ke dalam labu alas bulat. Pelarut kemudian diuapkan dengan vacuum rotary evaporator pada suhu 60°C dengan kecepatan 180 rpm hingga terbentuk lapisan tipis pada dinding labu, kemudian disimpan selama 1x24 jam untuk menghilangkan sisa pelarut dan membentuk lapisan yang

compact. Lapisan film yang terbentuk dihidrasi dengan fase air PBS (Phosphate

Buffered Saline) pH 7,3±2 dengan bantuan mekanik glass beads pada suhu 60°C

dengan kecepatan 20 rpm untuk membentuk suspensi niosom (Ruckmani, Sankar, 2010).

3.4.6 Karakterisasi Niosom 3.4.6.1 Analisis Ukuran Partikel

Suspensi niosom yang telah terbentuk dapat dianalisis ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel serta indeks polidispersitasnya oleh Dynamic Light

Scattering (DLS) dengan menggunakan alat Particle Size Analyzer (PSA)

(Bayindir, Yuksel, 2009). Suspensi niosom yang telah dihasilkan dari ketiga formula, diteteskan pada wadah sampel alat Particle Size Analyzer (PSA) dilakukan measuring sampai didapatkan hasil ukuran partikel, distribusi ukuran partikel dan indeks polidispersitas.


(1)

(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 20.

Certificate of Analysis Folin Ciocalteu


(3)

(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 22.

Certificate of Analysis Metanol Pro Analisa


(5)

(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 23.

Certificate of Analysis Na

2

CO

3


Dokumen yang terkait

Variasi Ketebalan Papan dan Waktu Pengeringan dengan Gelombang Mikro terhadap Kualitas Kayu Nangka (Artocarpus heterophyllus L)

3 69 64

Pengaruh Variasi Konsentrasi Surfaktan pada Ukuran Partikel dan Efisiensi Penjerapan Niosom yang Mengandung Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka (Artocarpus Heterophyllus)

11 34 69

SITOTOKSISITAS EKSTRAK METANOL DAUN SUKUN (Artocarpus altilis), NANGKA (Artocarpus heterophyllus) DAN Sitotoksisitas Ekstrak Metanol Daun Sukun (Artocarpus Altilis), Nangka (Artocarpus Heterophyllus) Dan Kluwih (Artocarpus Camansi) Terhadap Sel Kanker Pa

0 3 13

SITOTOKSISITAS EKSTRAK METANOL DAUN SUKUN (Artocarpus altilis), NANGKA (Artocarpus heterophyllus) DAN KLUWIH (Artocarpus camansi) Sitotoksisitas Ekstrak Metanol Daun Sukun (Artocarpus Altilis), Nangka (Artocarpus Heterophyllus) Dan Kluwih (Artocarpus Cam

0 8 15

SITOTOKSISITAS EKSTRAK METANOL DAUN SUKUN (Artocarpus altilis), NANGKA (Artocarpus heterophyllus), DAN KLUWIH (Artocarpus camansi) Sitotoksisitas Ekstrak Metanol Daun Sukun (Artocarpus altilis), Nangka (Artocarpus heterophyllus), dan Kluwih (Artocarpus c

0 3 16

SITOTOKSISITAS EKSTRAK METANOL DAUN SUKUN (Artocarpus altilis), NANGKA (Artocarpus heterophyllus), DAN Sitotoksisitas Ekstrak Metanol Daun Sukun (Artocarpus altilis), Nangka (Artocarpus heterophyllus), dan Kluwih (Artocarpus camansi) Terhadap Sel Kanker

0 3 14

Variasi Ketebalan Papan dan Waktu Pengeringan dengan Gelombang Mikro terhadap Kualitas Kayu Nangka (Artocarpus heterophyllus L)

0 1 10

Variasi Ketebalan Papan dan Waktu Pengeringan dengan Gelombang Mikro terhadap Kualitas Kayu Nangka (Artocarpus heterophyllus L)

0 0 12

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KULIT BATANG NANGKA (Artocarpus heterophyllus Lamk.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI CEREBRUM MENCIT YANG DIINFEKSI Toxoplasma gondii

0 0 77

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KULIT BATANG NANGKA (Artocarpus heterophyllus Lmk.) TERHADAP LAMA HIDUP MENCIT (Mus musculus) YANG DIINFEKSI Toxoplasma gondii

0 1 80