Pengaruh Variasi Konsentrasi Surfaktan pada Ukuran Partikel dan Efisiensi Penjerapan Niosom yang Mengandung Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka (Artocarpus Heterophyllus)

(1)

PENGARUH VARIASI KONSENTRASI SURFAKTAN

PADA UKURAN PARTIKEL DAN EFISIENSI

PENJERAPAN NIOSOM YANG MENGANDUNG

EKSTRAK ETANOL 96% KULIT BATANG NANGKA

(Artocarpus heterophyllus

)

SKRIPSI

VERNANDA RIANTI PUTRI 1111102000015

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

APRIL 2015


(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PENGARUH VARIASI KONSENTRASI SURFAKTAN

PADA UKURAN PARTIKEL DAN EFISIENSI

PENJERAPAN NIOSOM YANG MENGANDUNG

EKSTRAK ETANOL 96% KULIT BATANG NANGKA

(Artocarpus heterophyllus

)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

VERNANDA RIANTI PUTRI 1111102000015

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

APRIL 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Nama : Vernanda Rianti Putri Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Pengaruh Variasi Konsentrasi Surfaktan pada Ukuran Partikel dan Efisiensi Penjerapan Niosom yang Mengandung Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka (Artocarpus Heterophyllus)

Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus) mengandung senyawa polifenol yang memiliki aktivitas dalam menghambat enzim tirosinase, sehingga dapat berperan sebagai agen depigmentasi kulit. Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka diformulasikan dalam bentuk niosom untuk meningkatkan kemampuan penetrasi senyawa polifenol melalui stratum korneum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi surfaktan yang digunakan dalam formula niosom terhadap ukuran partikel dan efisiensi penjerapan. Niosom dibuat dalam tiga formula menggunakan metode hidrasi lapis tipis. Formula niosom dibuat dengan rasio konsentrasi kolesterol:surfaktan pada F1, F2, dan F3 berturut-turut adalah 1:1; 1:2; dan 1:3, serta dilakukan karakterisasi niosom meliputi ukuran partikel dan persen efisiensi penjerapan. Dihasilkan ukuran partikel masing-masing formula niosom F1, F2, dan F3 berturut-turut yaitu 155,62 nm; 174,29 nm; dan 216,30 nm, sedangkan data efisiensi penjerapan masing-masing formula niosom F1, F2, dan F3 berturut-turut yaitu 55,63%; 66,46%; dan 68,17%. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan konsentrasi surfaktan yang digunakan dalam formula niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka dapat meningkatkan ukuran partikel dan efisiensi penjerapannya.

Kata kunci : Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka, Artocarpus heterophyllus, niosom, ukuran partikel, efisiensi penjerapan.


(7)

Name : Vernanda Rianti Putri Program Study : Pharmacy

Title : Effect of Surfactant Concentration to Particle Size and Entrapment Efficiency Niosome Containing Cortex 96% Ethanol Extract of Jackfruit (Artocarpus Heterophyllus)

Cortex 96% ethanol extract of jackfruit (Artocarpus heterophyllus) contains polyphenols compound that have activity in inhibiting the tyrosinase enzyme, so it can act as skin depigmentation agents. Cortex 96% ethanol extract of jackfruit has been formulated in niosome to increase the penetration of the polyphenols compound through the stratum corneum. The purpose of this study was to determine the effect of variation in surfactant concentration in niosome formula to the particle size and entrapment efficiency. Niosom made in three formulas using thin layer hydration method. Niosom was formulated with ratio concentration cholesterol:surfactant on F1, F2, and F3 respectively is 1:1; 1:2; and 1:3, and the characterization of niosome includes particle size and entrapment efficiency. The result is particle size of niosom formulas F1, F2, and F3 respectively are 155,62 nm, 174,29 nm, and 216, 30 nm, while the entrapment efficiency of niosom formulas F1, F2, and F3 respectively are 55,63%, 66,46%, and 68,17%. The conclusion of this study is increasing surfactant concentration in niosome containt 96% ethanol extract of jackfruit bark led to increase in particle size and entrapment efficiency.

Keywords: Cortex 96% ethanol extract of jackfruit, Artocarpus heterophyllus, niosomes, particle size, entrapment efficiency.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW semoga kita senantiasa mendapatkan syafaat dari beliau.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Variasi Konsentrasi Surfaktan pada Ukuran Partikel serta Efisiensi Penjerapan Niosom yang Mengandung Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka (Artocarpus Heterophyllus)” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari adanya beberapa pihak yang memberikan kontribusi kepada penulis dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :

1. Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm, Apt sebagai Pembimbing I dan Ibu Afriani Rahma, M. Farm, Apt sebagai Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya serta memberikan ilmu terbaik yang dimiliki sehingga menutupi banyak keterbatasan penulis.

2. Bapak Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si, Apt selaku Sekretaris Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Ibu dan Bapak Dosen beserta Staff Akademika Program Studi Farmasi


(9)

do’a dan nasihat tak terhingga yang tak akan pernah mampu penulis membalas semua itu.

7. Keluarga beserta saudara penulis, Abang Vernando Ricco Saputra, S.T, serta adik-adik Vinda Wulandari Putri dan Vilda Mutiara Putri yang selalu memberikan semangat dan dorongan untuk kesuksesan penulis.

8. Sahabat tersayang D8 (Puspita, Monic, Mufidah, Rifqi, Arsyad, Dhenny, dan Akas) yang selalu membantu dan memberikan semangat kepada penulis.

9. Kakak-kakak laboran (kak Eris, kak Tiwi, kak Lisna, kak Liken, dan mba Rani) yang telah membantu keseharian penulis selama penelitian di laboratorium.

10. Kakak-kakak penulis di Farmasi yang selalu ikhlas membantu dan memberikan bimbingan.

11. Herlina, teh Vina, Meri, Icho, Nuha, Achi, Rhesa dan teman-teman farmasi angkatan 2011 lainnya yang telah menjadi keluarga kedua penulis selama menjadi mahasiswa di program studi farmasi ini.

12. Teman-teman Ikatan Keluarga Mahasiswa Minang (IKMM) Ciputat, Andam, Ipit, Rahma, Isil, Aqma, Bintan, Yandi, Armi, Dini, yang selalu membantu dan memberikan semangat kepada penulis.

13. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian naskah skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan, kritik dan saran pembaca diharapkan penulis untuk memperbaiki kemampuan penulis.

Jakarta, April 2015


(10)

(11)

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORIGINALITAS... iii

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI ... iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4. Manfaat Penelitian... 3

1.5. Hipotesis Penelitian... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kulit... 5

2.1.1. Anatomi Kulit... 5

2.1.2. Fisiologi Kulit... 7

2.1.3. Absorpsi Perkutan ... 8

2.1.4. Mekanisme Pigmentasi Kulit ... 9

2.2. Tanaman yang Memiliki Aktivitas Inhibitor Tirosinase ... 11

2.3. Tanaman Nangka (Artocarpus heterophyllusLamk)... 14

2.3.1. Deskripsi Tanaman Nangka ... 14

2.3.2. Kandungan Kimia... 15

2.4. Analisis Kadar Total Senyawa Fenolat ... 16

2.5. Niosom ... 17

2.5.1. Klasifikasi Niosom ... 20

2.5.2. Metode Pembuatan Niosom ... 21

2.6. Komponen Pembentuk Niosom ... 23

2.6.1. Span 60... 23

2.6.2. Kolesterol ... 24

2.6.3. Metanol... 25

2.6.4. Kloroform... 25

2.6.5. Phosphate Buffer Saline(PBS) ... 25

2.7. Karakterisasi Niosom ... 25

2.7.1. Analisis Ukuran Partikel ... 25

2.7.2. Efisiensi Penjerapan ... 26


(12)

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 29

3.2. Alat ... 29

3.3. Bahan... 29

3.4. Prosedur kerja... 30

3.4.1. Karakterisasi Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka ... 30

3.4.2. Analisis Kadar Total Senyawa Fenolat Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka... 32

3.4.3. Preparasi Niosom Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka... 33

3.4.4. Karakterisasi Niosom ... 35

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakterisasi Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka... 37

4.2. Analisis Kadar Total Senyawa Fenolat Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka ... 39

4.3. Preparasi Niosom ... 42

4.4. Analisis Ukuran Partikel ... 45

4.5. Penentuan Persen Efisiensi Penjerapan... 47

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan... 51

5.2. Saran... 51

DAFTAR PUSTAKA... 52


(13)

Gambar 2.1. Struktur Kulit... 6

Gambar 2.2. Biosintesis Melanin ... 10

Gambar 2.3. Bagian BatangArtocarpus heterophyllusLamk ... 14

Gambar 2.4. Rumus Bangun Senyawa Aktif Kulit Batang Nangka ... 15

Gambar 2.5. Reaksi Folin Ciocalteu dengan Senyawa Fenol ... 16

Gambar 2.6. Struktur Niosom ... 19

Gambar 2.7. Struktur Molekul Span 60 ... 23

Gambar 2.8. Struktur Molekul Kolesterol ... 24

Gambar 4.1. Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam Aquadest ... 41

Gambar 4.2. Hasil Pembuatan Formula Niosom ... 43

Gambar 4.3. Diagram Perbandingan Ukuran Partikel F1, F2, dan F3 ... 45

Gambar 4.4. Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam PBS ... 47


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Tanaman yang Memiliki Aktivitas Inhibitor Tirosinase ... 11

Tabel 3.1. Formula Niosom... 34

Tabel 4.1. Hasil Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak ... 37

Tabel 4.2. Hasil Penapisan Fitokimia... 38

Tabel 4.3. Data Kadar Total Senyawa Fenolat... 41

Tabel 4.4. Data Ukuran Partikel ... 45


(15)

Lampiran 1. Skema Prosedur Penelitian ... 55

Lampiran 2. Hasil Determinasi Kulit Batang Nangka ... 56

Lampiran 3. Perhitungan Kadar Abu Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka... 57

Lampiran 4. Perhitungan Kadar Air Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka ... 58

Lampiran 5. Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam Aquadest ... 59

Lampiran 6. Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam Aquadest... 60

Lampiran 7. Perhitungan Kadar Total Senyawa Fenolat Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka ... 61

Lampiran 8. Grafik Distribusi Ukuran Partikel Niosom... 64

Lampiran 9. Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F1 ... 65

Lampiran 10. Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F2 ... 67

Lampiran 11. Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F3 ... 69

Lampiran 12. Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam PBS ... 71

Lampiran 13. Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam PBS... 72

Lampiran 14. Perhitungan Kadar Total Senyawa Fenolat yang Tidak Terjerap . 73 Lampiran 15. Perhitungan % Efisiensi Penjerapan... 75

Lampiran 16. Gambar Alat dan Bahan yang digunakan ... 76

Lampiran 17. Certificate of AnalysisAsam Galat ... 77

Lampiran 18. Certificate of AnalysisKolesterol...78

Lampiran 19. Certificate of AnalysisSpan 60 ... 79

Lampiran 20. Certificate of AnalysisFolin Ciocalteu... 80

Lampiran 21. Certificate of AnalysisTablet PBS ... 81

Lampiran 22. Certificate of AnalysisMetanol p.a...82


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus) memiliki aktivitas sebagai penghambat enzim tirosinase (Supriyanti, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ninin Kartika Juwita tahun 2011, ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus) merupakan inhibitor kompetitif dari tirosinase dengan nilai IC50sebesar 142,37 ppm. Senyawa bioaktif yang didapat dari ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus) berupa senyawa polifenol yang berperan sebagai agen depigmentasi kulit (Chang, 2009). Pemilihan bahan alami sebagai senyawa aktif pada penelitian ini adalah karena dari beberapa penelitian diketahui ekstrak tanaman mampu menghambat sintesis melanin tanpa bersifat sitotoksik terhadap sel melanosit (Zhu, W; Gao, J, 2008).

Mekanisme penghambatan sintesis melanin terjadi karena senyawa polifenol memiliki struktur yang mirip dengan L-DOPA sebagai substrat dan akan berkompetisi untuk berikatan dengan active site tirosinase. Enzim tirosinase berada pada lapisan basal epidermis, sehingga dibutuhkan suatu sistem penghantaran yang dapat meningkatkan penetrasi obat dan kosmetik, terutama bagi senyawa polar seperti polifenol (Sinico, C; Fadda, A. M., 2009). Hal ini dikarenakan kulit merupakan lapisan penghalang laju (rate limiting step) selama absorpsi obat perkutan. Beberapa keterbatasan telah dikaitkan dengan sediaan topikal, misalnya rendahnya penetrasi perkutan karena fungsi barrierdari stratum korneum, lapisan terluar dari kulit, (Rubio dkk., 2011).

Penelitian yang berkembang saat ini menawarkan beberapa sistem yang dapat menghantarkan obat melalui kulit (Higaki; Nakayama; Suyama, 2005). Penggunaan sistem pembawa (carrier) adalah salah satu strategi untuk meningkatkan penetrasi senyawa melalui stratum korneum. Teknologi carrier, juga disebut sebagai nanoteknologi jika vesikel atau partikel berukuran nano. Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan keuntungan dari niosom sebagai penghantaran berbagai obat dan kosmetik secara topikal (Schreier;


(17)

Bouwstra, 1994;. Korhonen, 2002;. Manosroi; Khanrin; Lohcharoenkal, 2009;. Handjani; Ribier; Rondot; Vanlerberghe, 1989).

Niosom merupakan sistem penghantaran obat yang dapat diaplikasikan secara topikal karena karakteristiknya yang dapat meningkatkan penetrasi obat, memberikan pola pelepasan obat yang berkelanjutan (sustained) dan kemampuan untuk membawa obat-obatan baik yang bersifat hidrofilik maupun lipofilik (Sathali; Rajalakshmi, 2010). Bentukan vesikel niosom merupakan struktur bilayer baik unilamelar maupun multilamelar yang stabil secara kimia dan tersusun dari surfaktan nonionik misalnya sorbitan ester (span) dan kolesterol yang berfungsi sebagai bahan penstabil (Kapoor, 2011). Niosom memiliki karakteristik yang lebih menguntungkan seperti stabilitas yang lebih tinggi, ukuran partikel yang lebih kecil, dan biaya lebih rendah dari pada vesikel lipid lain seperti liposom, transfersom dan etosom (Handjani, 1979;. Uchegbu; Vyas, 1998).

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi formulasi niosom adalah jumlah dan jenis surfaktan (Tangri; Khurana, 2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Randa, Adel, Shahira, dan Ahmed tahun 2014, formula niosom yang dipreparasi dengan metode hidrasi lapis tipis menggunakan perbedaan rasio konsentrasi kolesterol:surfaktan sebesar 1:2 dan 1:3 memiliki pengaruh terhadap ukuran partikel dan efisiensi penjerapannya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi surfaktan yang digunakan dalam formulasi niosom dapat meningkatkan ukuran partikel dan efisiensi penjerapannya.

Kemampuan surfaktan dalam membentuk vesikel tergantung pada nilai HLB. Surfaktan dengan nilai HLB antara 4 dan 8 sesuai untuk pembentukan vesikel (Mozafari, 2007). Span 60 merupakan surfaktan nonionik yang memiliki nilai HLB 4,7. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Latifah Rahman, Ismail, dan Wahyudin tahun 2011 menunjukkan bahwa penjerapan terbaik dari tiga jenis sorbitan yang digunakan (span 20, span 60, dan span 80) dalam pembuatan niosom diperlihatkan oleh span 60. Fase temperatur transisi (TC) dari surfaktan juga mempengaruhi efisiensi penjerapan, dimana span 60 memiliki nilai temperatur transisi (TC) yang lebih tinggi sehingga tingkat penjerapannya lebih


(18)

3

baik (Chandu, Arunachalam, Jeganath, Yamini, 2012). Oleh karena itu, pada penelitian ini dipilih surfaktan nonionik dari jenis sorbitan ester, yaitu sorbitan monostearat (span 60) dengan berbagai konsentrasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka akan dibuat formula niosom yang mengandung zat aktif ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus) dengan perbandingan variasi konsentrasi surfaktan span 60 dan dilihat pengaruhnya terhadap ukuran partikel dan efisiensi penjerapan.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah pengaruh variasi konsentrasi surfaktan dalam formulasi niosom ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus L.) terhadap ukuran partikel dan efisiensi penjerapan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi surfaktan dalam formulasi niosom ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus L.) terhadap ukuran partikel dan efisiensi penjerapan.

1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak pendidikan sebagai tambahan literatur yang digunakan oleh mahasiswa/i yang berkepentingan. 2. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak peneliti dan lainnya yang berminat di bidang penelitian yang sama sebagai dasar untuk melakukan penelitian lanjutan tentang niosom yang mengandung ekstrak kulit batang nangka yang dapat digunakan sebagai bahan aktif dalam sediaan kosmetik untuk mencegah hiperpigmentasi pada kulit.

3. Bagi Industri

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak industri untuk mengembangkan produk-produk obat dan kosmetik berbasis sistem penghantarannanolipid particles yang lebih berkualitas.


(19)

1.5 Hipotesis Penelitian

Peningkatan konsentrasi surfaktan dapat meningkatkan ukuran partikel dan efisiensi penjerapan niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus).


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit

2.1.1 Anatomi Kulit

Kulit merupakan selimut yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan dari luar. Fungsi perlindungan terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus, respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar. Luas permukaan kulit sekitar 2m2dengan berat 10 kg jika dengan lemak atau 4 kg jika tanpa lemak (Tranggono dan Latifah, 2007).

Kulit manusia terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutan. Lapisan epidermis dibentuk dari beberapa lapisan sel dengan ketebalan 0,1-1 mm dan berbeda-beda pada tiap bagian tubuh. Dari luar ke dalam lapisan epidermis terdiri dari lapisan tanduk (stratum corneum), lapisan jernih (stratum lucidum), lapisan berbutir-butir (stratum granulosum), lapisan malphigi (stratum spinosum), dan lapisan basal (stratum germinativum). Lapisan tanduk terdiri dari beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna dan sangat sedikit mengandung air. Lapisan jernih merupakan lapisan yang tipis, jernih, mengandung eleidin, dan lapisan ini terlihat jelas pada telapak tangan dan telapak kaki. Pada lapisan berbutir-butir tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar, dan berinti mengkerut. Lapisan malphigi memiliki sel yang berbentuk kubus dan seperti berduri. Intinya besar dan oval. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein. Sedangkan pada lapisan basal juga terdapat sel-sel melanosit yang tidak mengalami keratinisasi dan berfungsi membentuk pigmen melanin (Tranggono dan Latifah, 2007).


(21)

Pada lapisan kedua atau lapisan dermis memiliki ketebalan yang lebih daripada epidermis. Terbentuk oleh jaringan elastik dan fibrosa padat dengan elemen selular, kelenjar, dan rambut sebagai adneksa kulit. Lapisan ini terdiri atas pars papilaris, bagian yang menonjol ke dalam epidermis berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah, dan pars retikularis, bagian bawah dermis yang berhubungan dengan lapisan subkutan. Terdiri atas serabut penunjang kolagen, elasrin, dan retikulin (Wasitaatmadja, 1997). Lapisan subkutan merupakan lapisan paling dalam dari kulit. Merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak didalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutan (Wasitaatmadja, 1997).

[Sumber: Subowo, 1993]


(22)

7

2.1.2 Fisiologi Kulit

Faal kulit sangat kompleks dan berkaitan satu dengan lainnya di dalam tubuh manusia, dengan berbagai fungsi antara lain fungsi proteksi, fungsi absorpsi, fungsi ekskresi, fungsi sensori, fungsi pengaturan suhu tubuh, fungsi pembentukan pigmen, fungi keratinisasi, dan fungsi produksi vitamin D.

a. Fungsi Proteksi

Kulit melindungi bagian dalam tubuh manusia terhadap gangguan fisik maupun mekanik. Gangguan fisik misalnya tekanan, gesekan, tarikan, sedangkan gangguan kimiawi, seperti zat-zat kimia iritan (lisol, karbol, asam atau basa kuat lainnya). Gangguan fisik seperti panas atau dingin, gangguan sinar radiasi atau sinar ultraviolet, dan gangguan kuman, jamur, bakteri atau virus.

b. Fungsi Absorpsi

Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan maupun benda padat. Tetapi cairan yang mudah menguap lebih mungkin mudah diserap kulit, begitu pula zat yang larut dalam minyak. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban udara, metabolisme dan jenis pembawa zat yang menempel di kulit. Penyerapan dapat melalui celah antarsel, saluran kelenjar atau saluran keluar rambut.

c. Fungsi Ekskresi

Kelenjar-kelenjar pada kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau sisa metabolisme dalam tubuh misalnya NaCl, urea, asam urat, ammonia, dan sedikit lemak. Sebum yang diproduksi kelenjar palit kulit melindungi kulit dan menahan penguapan yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering.

d. Fungsi Pengindra (Sensori)

Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Badan Ruffini yang terletak di dermis, menerima rangsangan dingin dan rangsangan panas diperankan oleh badan Krause. Badan taktil Meissner yang terletak di papil dermis menerima rangsang rabaan, demikian pula badan Merkel-Renvier yang terletak di epidermis.

e. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (Termoregulasi)

Kulit melakukan peran ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan otot dinding pembuluh darah kulit. Pada suhu tubuh meningkat,


(23)

kelenjar kulit mengeluarkan banyak keringat ke permukaan kulit dan dengan penguapan keringat tersebut terbuang pula panas tubuh. Mekanisme termoregulasi ini diatur oleh sistem saraf simpatis yang mengeluarkan zat perantara asetilkolin. f. Fungsi Pembentukan Pigmen (Melanogenesis)

Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal epidermis. Sel ini berasal dari rigi saraf, jumlahnya 1:10 dari sel basal. Jumlah melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan warna kulit. Pajanan sinar matahari mempengaruhi produksi melanin. Bila pajanan bertambah produksi melanin akan meningkat.

g. Fungsi Keratinisasi

Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah bentuk lebih poligonal yaitu sel spinonum, terangkat ke atas menjadi lebih gepeng, dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas lebih gepeng, dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mengering menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk. Proses ini berlangsung terus-menerus dan berguna untuk fungsi rehabilitasi kulit agar dapat melaksanakan fungsinya secara baik.

h. Fungsi Produksi Vitamin D

Kulit juga dapat membuat vitamin D dari bahan baku 7-dihidroksikolesterol dengan bantuan sinar matahari. Namun produksi ini masih lebih rendah dari kebutuhan tubuh akan vitamin D dari luar makanan (Madison, 2003; Connor, 2003).

2.1.3 Absorpsi Perkutan

Absorpsi perkutan adalah masuknya obat atau zat aktif dari luar ke dalam jaringan kulit dengan melewati membran sebagai pembatas. Membran pembatas ini adalah stratum corneum yang bersifat tidak permeabel terutama terhadap zat larut air, dibandingkan terhadap zat yang larut lemak. Penetrasi melintasi stratum corneum dapat terjadi karena adanya proses difusi melalui dua mekanisme yaitu transepidermal dan transappendageal.

Mekanisme transepidermal merupakan penetrasi dengan cara difusi pasif. Difusi pasif melalui mekanisme ini dapat terjadi melalui dua jalur yaitu difusi


(24)

9

intraseluler yang melalui sel korneosit yang berisi keratin dan difusi interseluler yang melalui ruang antar sel stratum corneum. Transepidermal merupakan jalur utama pada absorpsi perkutan karena luas permukaan kulit 100-1000 kali lebih luas dari pada luas permukaan kelenjar dalam kulit. Absorpsi melalui rute transepidermal sangat ditentukan oleh keadaan stratum corneum yang berfungsi sebagai membran semipermeabel. Jumlah zat aktif yang terpenetrasi tergantung pada gradien konsentrasi dan koefisien partisi senyawa aktif dalam minyak dan air.

Mekanisme transappendageal adalah mekanisme penetrasi molekul zat aktif melalui pori-pori yang ada pada kelenjar keringat dan folikel rambut. Folikel rambut memiliki permeabilitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan stratum corneum sehingga absorpsi lebih cepat terjadi melewati pori folikel dari pada melewati stratum corneum. Mekanisme ini adalah mekanisme satu-satunya yang mungkin bagi senyawa-senyawa dengan molekul besar dengan kecepatan difusi rendah atau kelarutan yang buruk yang tidak dapat menembus stratum corneum(Troy, 2006).

2.1.4 Mekanisme Pigmentasi Kulit

Warna kulit normal ditentukan oleh jumlah dan sebaran melanin yang dihasilkan oleh melanosom pada melanosit, yang jumlahnya tertentu secara genetik. Warna kulit juga dipengaruhi oleh ketebalan kulit, vaskularisasi kulit, kemampuan refleksi permukaan kulit serta kemampuan absorbsi epidermis dan dermis, selain itu juga ada beberapa pigmen lain seperti karoten (oranye), oksihemoglobin (merah), hemoglobin (biru) dan melanin (coklat) yang mempengaruhi warna kulit (Tranggono & Latifah, 2007).

Paparan sinar UV pada kulit dapat memacu sekresi melanin akibat proliferasi melanosit yang meningkat. Sekresi melanin yang abnormal juga menimbulkan hiperpigmentasi dari kulit. Melanin merupakan pigmen yang dapat melindungi jaringan kulit dari penghamburan sinar UV. Melanin terbentuk melalui jalur yang disebut melanogenesis dimana enzim tirosinase berperan penting (Herrling, 2007). Tirosinase adalah enzim multicopper monooxygenase yang terdapat pada tanaman, jamur, serangga, dan mamalia termasuk manusia. Pada tanaman dan jamur, enzim ini dapat memberikan warna pada produk


(25)

pertanian. Pada mamalia termasuk manusia, enzim tirosinase berperan pada proses melanogenesis atau hiperpigmentasi (Chang, 2009).

Melanin terbentuk melalui rangkaian oksidasi dari asam amino tirosin dengan melibatkan enzim tirosinase. Tirosinase mengubah tirosin menjadi DOPA, kemudian menjadi dopakuinon. Dopakuinon diubah menjadi dopakrom melalui auto oksidasi sehingga menjadi dihidroksi indole (DHI) atau dihidroksi indole carboxy acid (DHICA) untuk membentuk eumelanin (pigmen berwarna coklat). Dengan adanya sistein atau glutation, dopakuinon diubah menjadi sisteinil dopa, reaksi ini membentuk feomelanin (pigmen berwarna kuning) (Chang, 2009). Banyaknya jumlah eumelanin dan feomelanin yang terbentuk dapat memberikan warna lain pada kulit sehingga kulit manusia tidak hanya berwarna hitam atau putih saja. Adapun biosintesis melanin dapat dilihat pada Gambar 2.2.

[Sumber: Donsing dan Viyoch, 2008]


(26)

11

2.2 Tanaman yang Memiliki Aktivitas Inhibitor Tirosinase

Beberapa senyawa bioaktif yang telah diketahui berperan sebagai inhibitor tirosinase dari bahan alam diantaranya: arbutin, ellagic acid, chloroforin, cojic acid, phytic acid, artokarpanon, oxyreveratrol, dan polifenol (Arung, 2006;. Supriyanti, 2009). Menurut Kim (2004) bahwa beberapa senyawa fenol dikenal berperan sebagai agen depigmentasi, karena struktur kimia senyawa fenol memiliki kemiripan dengan tirosin yang merupakan substrat dari reaksi tirosin-tirosinase. Adapun beberapa tanaman yang memiliki aktivitas inhibitor tirosinase dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1Tanaman yang Memiliki Aktivitas Inhibitor Tirosinase No. Nama Tanaman

/ Bagian yang digunakan

Nama Latin Kandungan Mekanisme Depigmentasi 1. Nangka / kulit

batang

Artocarpus heterophyllus Lam.

Polifenol Penghambatan sintesis melanin terjadi karena senyawa polifenol memiliki struktur yang mirip substrat (L-DOPA) dan akan berkompetisi untuk berikatan dengan active site tirosinase, dengan nilai IC50 sebesar 142,37 ppm.

2. Tebu Saccharum

officinarum L.

Asam glikolat

mengangkat sel-sel kulit mati pada permukaan kulit, manifestasi klinis asam glikolat sangat tergantung pada konsentrasi. Pada konsentrasi rendah, asam glikolat mampu melepaskan ikatan antar keratinosit sehingga deskuamasi keratinosit yang berpigmen menjadi lebih cepat, sedang dalam konsentrasi tinggi menyebabkan


(27)

efek epidermolisis sehingga deskuamasi keratinosit yang berpigmen menjadi lebih cepat, sedang dalam konsentrasi tinggi menyebabkan efek epidermolisis sehingga dapat digunakan dalam pengelupasan kimiawi guna menghilangkan lapisan epidermis sampai lapisan dermis bagian atas.

3. Akar manis (licorice)

Glycyrrhiza glabra

Glabiridin Menghambat proses melanogenesis

(pembentukan pigmen k.ulit) dan juga mencegah terjadinya proses inflamasi di kulit. Beberapa riset menunjukkan bahwa penggunaan glabiridin 0,5% secara topikal dapat menghambat sinar UV-B yang

dapat memicu

terbentuknya

pigmentasi dan kemerahan pada kulit 4. Paper mulberry

/ akar Broussonetia papyrifera Oksiresvera trol, antioksidan antosianin, asam galat, flavonoid dan tanin

menghambat aktivitas enzim tirosinase, membantu mengatur pembentukan melanin di kulit, dan membantu

mencerahkan kulit. Melindungi kulit dari efek radikal bebas. Komponen ini dapat membantu mencegah kerusakan sel kulit, membantu

memudarkan noda-noda hitam di wajah.


(28)

13

5. Teh hijau Theae

sinensis

Polifenol Menghambat

pelepasan melanosom dari melanosit ke keratinosit, dan mengurangi aktivitas tirosinase.

6. Jamur tiram Pleurotus ostreatus

Polifenol Menghambat sintesis melanin, menangkal radikal bebas dengan cara transfer elektron tunggal. Pada uji inhibitor tirosinase dilaporkan bahwa ekstrak metanol jamur tiram menunjukkan aktivitas

penghambatan

tirosinase lebih baik (11,36-59,56%) dibandingkan ekstrak aseton (11,37-52,05%) dan air hangat

(9,60-49,60%) pada

konsentrasi 0,125-1,0 mg/mL. Asam galat yang terkandung pada jamur tiram diduga sebagai inhibitor tirosinase yang efektif. 7. Nyirih / kulit

buah

Xylocarpus granatum

Fenolat total

Senyawa fenolik dengan gugus fungsi hidroksil (-OH) dan asam karboksilat (COOH) yang secara struktural memiliki kemiripan dengan substrat tirosinase yaitu tirosin atau L-DOPA. Senyawa tersebut memiliki satu atau lebih gugus fungsi asam yang mengindikasikan bahwa gugus fungsi tersebut memainkan peranan penting di dalam pengikatan sisi aktif enzim tirosinase.


(29)

2.3 Tanaman Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) 2.3.1 Deskripsi Tanaman Nangka

Nangka termasuk ke dalam suku Moraceae, nama ilmiahnya adalah Artocarpus heterophyllus. Dalam bahasa Inggris, nangka dikenal dengan nama jackfruit. Tanaman nangka dapat tumbuh di daerah beriklim subtropis. Tanaman nangka berukuran sedang, ketinggiannya berkisar 8 – 25 meter dengan diameter 30 – 80 cm. Seluruh bagian tumbuhan mengeluarkan getah putih pekat apabila dilukai yang dikenal sebagai lateks. Kulit batang nangka mengandung 3,3 % tanin (Elevitch & Manner, 2006). Klasifikasi tanaman nangka adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Magnoliopsida Ordo : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus

Spesies :Artocarpus heterophyllusLamk

[Sumber : Elevitch & Manner, 2006]


(30)

15

2.3.2 Kandungan Kimia

Batang nangka mengandung artokarpin, norartokarpin, kuwanon C, albanin A, kudraflavon B, kudraflavon C, artokarpesin, 6-prenilapigenin, brosimon I, dan 3-prenil luteolin, furanolflavon, artokarpfuranol, dihidromorin, steppogenin, norartokarpetin, artokarpanon, sikloartokarpin, sikloartokarpesin, artokarpetin, karpakromen, isoartokarpesin, dan sianomaklurin (Lim, 2012).

Tanaman nangka mengandung senyawa potensial dalam menghambat tirosinase, yaitu polifenol. Dari penelitian diketahui bahwa senyawa yang menjadi penghambat tirosinase adalah senyawa golongan flavonoid pada beberapa tanaman Artocarpus (Supriyanti, 1996). Flavonoid, salah satu dari polifenol, memiliki peran besar dalam aktivitas tirosinase karena mengandung gugus fenol dan cincin pyren. Struktur dari flavonoid secara prinsip sesuai sebagai substrat dan mampu berkompetisi sehingga dapat menjadi penghambat tirosinase.

Golongan flavonoid yang terdapat dalam kulit batang nangka yaitu artocarpetin (5,2′,4′-trihydroxy-7-methoxyflavone), norartocarpetin (5,7,2’,4’-tetrahydroxyflavone), dihydromorin (5,7,2′,4′-tetrahydroxyflavanol), dan streppogenin (5,7,2’,4’-tetrahydroxyflavanone) (Chang, 2009).

[Sumber : Chang, 2009]

Gambar 2.4Rumus Bangun Senyawa Aktif Kulit Batang Nangka

Ekstrak kulit batang nangka diekstraksi dengan metode maserasi untuk memperoleh senyawa flavonoid. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar (Ditjen POM, 2000). Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi adalah pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan


(31)

kerugiannya yakni cara pengerjaannya lama, membutuhkan pelarut yang banyak dan penyarian kurang sempurna. Dalam maserasi (untuk ekstrak cairan), serbuk halus atau kasar dari tumbuhan obat yang kontak dengan pelarut disimpan dalam wadah tertutup untuk periode tertentu dengan pengadukan yang sering, sampai zat tertentu dapat terlarut. Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa yang termolabil (Tiwari, 2011). Senyawa flavonoid umumnya diekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol (Harborne, 1987). Ekstrak etanol kulit batang nangka berwarna cokelat kehitaman dengan bau harum kulit batang nangka. Ekstrak kulit batang nangka bersifat asam lemah karena kandungan polifenol dan flavonoid. pH ekstrak kulit batang nangka yaitu 6,23.

2.4 Analisis Kadar Total Senyawa Fenolat

Kadar fenolat total ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus) pada penelitian ini diukur dengan menggunakan prinsip Folin Ciocalteau yang didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi. Metode Folin Ciocalteau digunakan dalam menetapkan kadar polifenol dalam ekstrak etanol 96% kulit batang nangka karena metode ini bersifat spesifik terhadap senyawa fenolik (Singleton dan Rossi, 1965). Pereaksi Folin Ciocalteu merupakan larutan kompleks ion polimerik yang dibentuk dari asam fosfomolibdat dan asam hetero polifosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air, natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium sulfat, dan bromin (Folin, dkk., 1944).

\

Gambar 2.5Reaksi Folin Ciocalteu dengan Senyawa Fenol Ion Fenolat

Senyawa Fenolat

+

Senyawa Fenol H3PO4(MoO3)13

++ +

Pereaksi Folin-Ciocalteu

H3(PMo13O40) + atau

H2(PMo13O40) Kompleks

molybdenum-blue Kuinon


(32)

17

Reagen Folin-Ciocalteau digunakan karena senyawa golongan fenol dapat bereaksi dengan Folin membentuk larutan berwarna yang dapat diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer. Prinsip pengukuran kandungan fenolat dengan reagen Folin Ciocalteau adalah terbentuknya senyawa kompleks berwarna biru yang dapat diukur pada panjang gelombang maksimum. Pereaksi ini mengoksidasi fenolat atau gugus hidroksi fenolik mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) yang terdapat dalam pereaksi Folin Ciocalteau menjadi suatu kompleks molibdenum tungsten. Senyawa fenolik bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteau hanya dalam suasana basa agar terjadi disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion fenolat. Untuk menciptakan kondisi basa digunakan Na2CO3 15%. Warna biru yang terbentuk akan semakin tua, setara dengan konsentrasi ion fenolat yang terbentuk; artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) menjadi kompleks molibdenum-tungsten sehingga warna biru yang dihasilkan semakin tua (Apsari dan Susanti, 2011).

Penentuan kadar fenolat total digunakan standar asam galat. Hal ini dikarenakan asam galat lebih stabil untuk membuat standar. Selain itu asam galat juga merupakan senyawa fenolat dan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat (Nurhayati, Kusoro Siadi dan Harjono, 2012). Asam galat merupakan turunan dari asam hidroksibenzoat yang tergolong asam fenol sederhana (Singleton dan Rossi, 1965). Asam galat merupakan senyawa polifenol yang terdapat di hampir semua tanaman, kandungan fenol asam organik ini bersifat murni dan stabil (Vermerris dan Nicholson, 2006).

2.5 Niosom

Niosom merupakan suatu vesikel surfaktan non-ionik yang memiliki struktur bilayer yang dibentuk melalui penyusunan monomer-monomer surfaktan yang terhidrasi. Bentuk vesikel niosom merupakan struktur bilayer multilamellar atau unilamellar yang tersusun dari surfaktan nonionik dan kolesterol yang berfungsi sebagai bahan penstabil (Kapoor, dkk., 2011).


(33)

Niosom merupakan analog liposom yang telah lebih dahulu dikenal sebagai suatu pembawa obat. Liposom merupakan partikel berbentuk vesikel yang dindingnya tersusun atas molekul lipid (konstituen utamanya adalah fosfolipid) lapis ganda yang membungkus kompartemen cairan didalamnya. Perbedaan antara keduanya adalah liposom tersusun oleh fosfolipid, sedangkan niosom dari surfaktan nonionik dan kolesterol (Blazek-Welsh, 2001). Penggunaan Surfaktan non-ionik memberikan beberapa keuntungan dibandingkan dengan liposom seperti, lebih stabil terhadap adanya reaksi oksidasi, harga yang lebih murah (Vyas; Khar, 2011).

Liposom menunjukkan beberapa kekurangan, di antaranya adalah instabilitas kimia dan mahalnya harga fosfolipid, sehingga timbul pemikiran untuk mencari alternatif dari liposom yang memiliki sifat-sifat yang serupa namun lebih murah dan stabil. Niosom dapat mengatasi masalah tersebut. Niosom lebih banyak diteliti karena kelebihannya dibandingkan dengan liposom, yaitu stabilitas kimia yang lebih tinggi, tidak membutuhkan kondisi khusus untuk preparasi dan penyimpanan, tidak memiliki masalah kemurnian dan biaya pembuatan yang lebih rendah (Tripathi, dkk., 2012).

Keuntungan dari penggunaan niosom dalam aplikasi kosmetik dan produk perawatan kulit adalah kemampuan untuk meningkatkan stabilitas obat yang terjerap, bioavailabilitas bahan yang sulit diserap dapat ditingkatkan, dan dapat meningkatkan penetrasi kulit (Patravale, 2009).

Sistem niosom merupakan salah satu sistem vesikel yang dapat digunakan untuk mengendalikan pelepasan obat guna mempertahankan konsentrasi pada tempat target dalam waktu yang lama (Bhaskaran, 2009). Niosom dapat mengalami biodegradasi dan tidak toksik sehingga merupakan pembawa yang baik untuk perantara pada target terapetik dan menurunkan toksisitas sistemik (Trotta, 2005).

Niosom terdiri dari dua komponen utama yang digunakan untuk preparasi niosom adalah kolesterol dan surfaktan nonionik. Kolesterol digunakan untuk memberikan kekakuan serta memberikan bentuk yang tepat, konformasi dalam preparasi niosom. Surfaktan memberikan peranan yang penting dalam pembuatan niosom. Beberapa surfaktan nonionik yang umumnya digunakan dalam preparasi


(34)

19

niosom adalah Span (span 60, 40, 20, 85, 80). Surfaktan nonionik memiliki bagian kepala yang bersifat hidrofilik dan bagian kepala yang bersifat hidrofobik (Chandu; Arunachalam; Jeganath; Yamini, 2012).

[Sumber: Chandu, 2012]

Gambar 2.6Struktur Niosom

Menurut Mujoriya, Dhamande, dan Bodla (2011) terdapat beberapa keuntungan niosom yang digunakan untuk menjerap obat, diantaranya :

a. Niosom dapat meningkatkan kepatuhan pasien dibandingkan dengan bentuk sediaan yang berminyak.

b. Niosom memiliki struktur dengan gugus hidrofilik, ampifilik, serta lipofilik sehingga dapat digunakan untuk menjerap zat aktif dengan berbagai kelarutan.

c. Karakteristik vesikel pada formulasi niosom variabel dan dapat terkontrol. Dapat dilakukan perubahan pada komposisi vesikel, ukuran, volume yang dijerap, muatan permukaan serta konsentrasi pada komposisi vesikel. d. Vesikel dapat berperan sebagai depot yang akan melepaskan obat secara

terkendali.

e. Niosom aktif secara osmotik dan stabil, serta dapat meningkatkan stabilitas zat yang terjerap.

f. Penanganan dan penyimpanan surfaktan tidak memerlukan persyaratan khusus.


(35)

g. Niosom dapat meningkatkan bioavaibilitas obat oral yag sulit diabsorpsi serta dapat meningkatkan penetrasi obat melalui kulit.

h. Niosom dapat dibuat untuk berbagai rute, seperti oral, parenteral dan topikal.

Menurut Chandu, dkk., tahun 2012 terdapat beberapa hal yang menjadi kekurangan niosom sebagai pembawa obat, diantaranya :

a. Ketidakstabilan fisik b. Agregasi

c. Fusi atau penggabungan

d. Kebocoran dari vesikel yang menyebabkan obat yang terjerap keluar e. Hidrolisis dari obat yang terenkapsulasi dapat menyebabakan

berkurangnya masa simpan.

2.5.1 Klasifikasi Niosom

Niosom dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, diantaranya: jumlah bilayernya, misalnya Multilamellar Vesicle (MLV) dan Small Unilamelllar Vesicle (SUV), ukuran, misalnyaLarge Unilamellar Vesicle(LUV) danSmall Unilamelllar Vesicle (SUV), dan metode pembuatan, misalnyaReverse Phase Evaporation (REV) dan dehydration–rehydration method (DRV) (Makeshwar, Wasankar, 2013). Beberapa jenis niosom di antaranya:

a. Multilamellar Vesicle(MLV)

MLV terdiri dari sejumlah lapisan, dengan ukuran diameter vesikel 0,5-10 µm. Vesikel multilamellar merupakan niosom yang paling sering digunakan, karena sederhana dalam pembuatan serta cukup stabil untuk penyimpanan dalam waktu yang lama. Vesikel ini cocok digunakan sebagai pembawa untuk obat yang bersifat lipofilik.

b. Large Unilamellar Vesicle(LUV)

LUV merupakan jenis niosom yang memiliki perbandingan kompartemen air/lipid yang tinggi, sehingga bahan yang terjerap akan lebih besar serta ekonomis.


(36)

21

c. Small Unilamellar Vesicle(SUV)

SUV merupakan jenis niosom yang sebagian besar dibuat dari vesikel multilamellar dengan menggunakan metode sonikasi.

2.5.2 Metode Pembuatan Niosom

Adapun beberapa metode pembuatan niosom adalah sebagai berikut: a. Teknik Penjerapan Pasif

Teknik ini merupakan teknik yang paling sering digunakan dalam pembuatan niosom di mana obat tergabung selama preparasi niosom yaitu selama pembentukan niosom (Udupa, 2004).

b. Hidrasi Lapis Tipis

Semua komponen pembentuk vesikel yaitu surfaktan, kolesterol dilarutkan dalam pelarut organik yang mudah menguap dalam labu alas bulat. Pelarut organik diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu kamar yang membentuk lapisan tipis dari komponen terlarut. Lapisan tipis yang terbentuk dihidrasi dengan fase air dengan agitasi lembut sehingga terbentuk niosom. Obat dapat ditambahkan ke dalam fase air jika bersifat hidrofilik dan dapat dilarutkan dalam pelarut organik dengan senyawa lain jika bersifat hidrofobik (Baillie, Coombs, Dolan, 1986,. Palozza, 2006).

c. Injeksi Eter

Surfaktan dan komponen lain dilarutkan dalam eter (dietil eter) dan kemudian secara perlahan-lahan diinjeksikan ke dalam larutan berair yang dipertahankan pada suhu 60°C melalui jarum. Penambahan tersebut akan menyebabkan penguapan eter dan pembentukan vesikel lapis tunggal. Metode ini memiliki kelebihan dalam mengontrol ukuran, yang dapat diperoleh dengan mengontrol ukuran jarum dan kondisi lainnya. Kelemahannya adalah kelarutan bahan dalam eter yang terbatas dan sulit dalam menghilangkan eter dari formulasi akhir (Yasin, 2012,. Guinedi, 2005).

d. Penguapan Fase Balik

Bahan dilarutkan dalam campuran pelarut organik yang mudah menguap (eter dan kloroform) dan obat dilarutkan dalam fase air. Emulsi air dalam minyak terbentuk dari dua fase dalam bath sonicator. Prinsip dasar meliputi penguapan pelarut organik untuk membentuk niosom. Emulsi ini dikeringkan dalam rotary


(37)

evaporator pada suhu 40°C untuk membentuk gel semi solid dari vesikel besar. Sejumlah kecil buffer ditambahkan dan semi solid yang terbentuk disonikasi pada suhu 4-5°C untuk membentuk vesikel kecil unilamelar (Guinedi, dkk., 2005). e. Ekstruksi Beberapa Membran

Prinsip dasar melibatkan ekstruksi yang memaksa bagian dari campuran, suspensi, atau emulsi dari komponen melalui membran polikarbonat berulang kali untuk memperoleh niosom dengan ukuran yang diinginkan. Fase organik dikeringkan dalam rotary evaporator dan dihidrasi dengan fase air, hasilnya diekstruksi melalui membran (Khandare, Madhavi, Tamhankar, 1994).

f. Mikrofluidisasi

Kedua fase saling berinteraksi pada kecepatan yang sangat tinggi dalam saluran mikro di dalam interaction chamber. Energi dan tumbukan kecepatan tinggi menyebabkan pembentukan niosom yang kecil dan seragam. Metode ini memiliki tingkat reprodusibilitas yang tinggi (Khandare, Madhavi, Tamhankar, 1994).

g. Sonikasi

Campuran larutan obat dalam buffer, surfaktan, dan kolesterol disonikasi dengan sonikator pemeriksaan titanium pada suhu 60°C selama 3 menit untuk menghasilkan niosom. Metode ini juga digunakan untuk memproduksi vesikel unilamelar kecil dari vesikel multilamelar besar yang dipreparasi dengan teknik lainnya (Yoshioka, Sternber, Moody, Florence, 1992).

h. Metode Gelembung

Metode pembuatan niosom ini dengan satu tahap tanpa menggunakan pelarut organik. Semua komponen didispersikan dalam buffer dan ditempatkan dalam labu alas bulat di atas penangas air dengan suhu yang dikontrol. Labu tersebut memiliki tiga leher yang dihubungkan pada refluks pendingin air, termometer, dan penyedia nitrogen. Dispersi dicampurkan dengan homogenizer selama 15 detik dan kemudian dibuat gelembung dengan nitrogen untuk membentuk niosom (Chauhan, Luorence, 1989).

i. Teknik Penjerapan Aktif

Meliputi pemuatan obat setelah pembentukan niosom. Niosom dipreparasi dan kemudian obat dimasukkan dengan mempertahankan gradien pH atau gradien


(38)

23

ion untuk menfasilitasi pengambilan obat ke dalam niosom. Cara ini dapat memberikan keuntungan penjerapan 100%, perbandingan obat lipid yang tinggi, menghindari kebocoran, biaya yang efektif, dan cocok untuk obat-obat yang labil (Udupa, 2004).

j. Gradien pH Transmembran

Fase organik dan komponen terlarut diuapkan untuk membentuk lapisan dan dihidrasi dengan asam sitrat, vesikel multilamelar dibentuk dengan pembekuan yang dicairkan 3 kali dan disonikasi. Kedalam suspensi niosom ditambahkan fase air dan obat, divorteks dan pH dinaikkan hingga 7,0 sampai 7,2 dengan 1M disodium fosfat. Campuran tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 60°C selama 10 menit untuk memasukkan obat ke dalam niosom (Biju, 2006).

2.6 Komponen Pembentuk Niosom 2.6.1 Span 60

Span 60 (sorbitan monostearat) merupakan surfaktan nonionik yang berbentuk padatan pada suhu ruang karena rantai hidrokarbon jenuhnya yang relatif panjang dan titik leburnya 54°C. Span 60 memiliki rumus molekul dan berat molekul masing-masing adalah C24H46O6 dan 431. Surfaktan nonionik tersebut memiliki nilai HLB (Hydrophilic-Lipophilic Balance) rendah yaitu 4,7. Span 60 praktis tidak larut dalam air, dapat bercampur dengan alkohol, larut dalam parafin cair, mudah larut dalam eter, tidak larut dalam aseton dan propilenglikol. Penyimpanan span 60 harus di dalam wadah tertutup rapat, di tempat yang kering dan sejuk (Rowe, Sheskey, Owen, 2009).

[Sumber: Rowe, 2009]


(39)

2.6.2 Kolesterol

Kolesterol memiliki warna putih atau kekuningan, berupa kristal, jarum, serbuk, atau granul. Pada paparan jangka panjang terhadap cahaya dan udara, kolesterol dapat berubah menjadi warna kuning atau kecoklatan. Kolesterol memiliki rumus empiris C27H46O dan berat molekul sebesar 386,67. Titik didih dan titik leleh dari kolesterol masing-masing adalah 360°C dan 147-150°C. Kolesterol larut dalam aseton, larut 1 dalam 4,5 bagian kloroform, larut dalam minyak nabati, dan praktis tidak larut dalam air. Kolesterol dapat mengalami pengendapan oleh digitonin dan penyimpanannya harus di dalam wadah yang tertutup rapat dan terlindung dari cahaya (Rowe, Sheskey, Owen, 2009).

Kolesterol merupakan steroid yang menyebabkan perubahan fluiditas dan permeabilitas dari bilayer niosom. Kolesterol merupakan metabolit steroid lilin yang dicampurkan dengan surfakta non-ionik untuk memberikan kekakuan dan keteraturan pada niosom. Kolesterol merupakan molekul ampifilik, dimana gugus OH nya akan mengarah pada fasa air, dan rantai alifatiknya akan mengarah pada rantai hidrokarbon dari surfaktan. Kekakuan yang terjadi pada niosom disebabkan karena adanya kerangka steroid yang kaku yang berinteraksi dengan molekul surfaktan sehingga membatasi pergerakan karbon dari rantai hidrokarbon surfaktan. Kolesterol juga dapat mencegah terjadinya kebocoran pada molekul surfaktan yang telah menjerap zat aktif (Sankhyan, Pawar, 2012).

[Sumber: Rowe, 2009]


(40)

25

2.6.3 Metanol

Metanol adalah bentuk paling sederhana dari alkohol yang biasa digunakan sebagai pelarut di industri dan sebagai bahan tambahan dari etanol dalam proses denaturasi sehingga etanol menjadi toksik. Rumus kimia dari Metanol adalah CH3OH dan dikenal dengan nama lain yaitu metil alkohol, metal hidrat, metil karbinol, wood alkohol atau spiritus. Pada keadaan atmosfer metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar dan beracun dengan bau yang khas (Martindale, 1996).

2.6.4 Kloroform

Kloroform juga dikenal sebagai triklorometana, metana triklorida, trikloroform, metil triklorida, dan formil triklorida. Kloroform memiliki rumus molekul dan massa molekul relatif masing-masing adalah CHCl3dan 119,4. Pada suhu ruang kloroform jernih, tidak berwarna, cairan mudah menguap dengan bau khas eterik (WHO, 2004). Kloroform sedikit larut dalam air, mudah larut dalam karbon disulfida, dan dapat bercampur dengan alkohol, eter, benzen, karbon tetraklorida, dan minyak yang mudah menguap (HSBD, 2009). Kloroform stabil di bawah suhu dan tekanan normal dalam wadah tertutup (Akron, 2009).

2.6.5 Phosphate Buffer Saline(PBS)

Phosphate buffer saline adalah larutan isotonis yang digunakan dalam penelitian biologis. Larutan ini mengandung natrium klorida, natrium fosfat, kalium klorida, dan kalium fosfat. PBS (phosphate buffer saline) banyak digunakan karena isotonis dengan cairan tubuh manusia dan tidak bersifat toksik (Medicagi AB, 2010). PBS memiliki pH yang berkisar 7,3 – 7,5 dan osmolaritasnya berkisar 280–315 Mosm/ kg (Maureen, 2002).

2.7 Karakterisasi Niosom 2.7.1 Analisis Ukuran Partikel

Analisis ukuran partikel niosom dilakukan dengan menggunakan alat Particle Size Analyzer. Metode yang digunakan dalam pengukuran partikel melibatkan suatu proses yang dikenal dengan Dynamic Light Scattering (DLS). Dynamic Light Scattering (juga dikenal dengan PCS-Photon Correlation Spectroscopy) mengukur gerak Brown dan menghubungkannya dengan ukuran


(41)

partikel. Proses tersebut dikakukan dengan cara menyinari partikel dengan laser dan menganalisis intensitas fluktuasi cahaya yang tersebar. Jika partikel kecil disinari oleh sumber cahaya seperti laser, partikel tersebut akan menyebar ke segala arah.

Partikel yang tersuspensi dalam cairan tidak pernah dalam keadaan diam. Partikel akan terus bergerak karena gerak Brown. Gerak Brown adalah gerakan partikel karena tumbukan acak dengan molekul cairan yang mengelilingi partikel. Sifat penting dari gerak Brown untuk DLS adalah bahwa partikel kecil bergerak lebih cepat dan partikel yang lebih besar bergerak lebih lambat. Suhu harus diketahui secara akurat karena diperlukan untuk mengetahui viskositasnya. Kestabilan suhu diperlukan jika arus konveksi dalam sampel akan menyebabkan pergerakan yang tidak acak yang akan merusak akurasi interpretasi ukuran. Suhu yang lebih tinggi akan menyebabkan gerak Brown semakin cepat. Kecepatan dari gerakBrowndidefinisikan sebagai koefisien difusi translasi (D).

Ukuran partikel yang diukur dengan instrumen Dynamic Light Scattering (DLS) adalah diameter partikel yang berdifusi pada kecepatan yang sama. Sistem tersebut menentukan ukuran dengan terlebih dahulu mengukur gerak Brown dari partikel-partikel dalam sampel menggunakan DLS dan kemudian menerjemahkan ukuran menggunakan teori-teori yang telah ditetapkan. Partikel-partikel dalam cairan bergerak secara acak dan kecepatan dari pergerakan tersebut digunakan untuk menentukan ukuran dari partikel (Malvern, 2012).

2.7.2 Efisiensi Penjerapan

Obat yang tidak terjerap dapat dihilangkan atau dipisahkan dengan berbagai teknik, di antaranya :

a. Dialisis

Dispersi cairan niosom didialisis dalam tabung dialisis dengan menggunakan buffer fosfat atau normal saline atau larutan glukosa.

b. Gel filtration

Obat yang tidak terjerap dihilangkan dari niosom menggunakan filtrasi gel melalui kolom sephadex-G-50 dan di elusi dengan buffer garam fosfat atau normal salin.


(42)

27

c. Sentrifugasi

Suspensi niosom disentrifugasi dan supernatannya dipisahkan. Pelet yang diperoleh dicuci kemudian disuspensikan kembali untuk mendapatkan niosom yang bebas dari obat yang tidak terjerap.

Efisiensi penjerapan vesikel ditentukan dengan memisahkan obat bebas dari vesikel perjerap obat dengan menggunakan teknik ultrasentifugasi. Suspensi niosom disentrifugasi selama 50 menit pada 50.000 rpm dan suhu 4°C dengan tujuan untuk memisahkan obat yang tidak terjerap. Jumlah obat bebas (FD) ditentukan pada supernatan. Supernatan hasil sentrifugasi ditetapkan kadarnya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Pham, Maalej, Charcosset, 2012).

Efisiensi penjerapan (%EE) dihitung dengan rumus :

%EE = - x 100% (2. 1)

Keterangan:

TD = total senyawa fenolat yang terdapat dalam formula

FD = jumlah senyawa fenolat yang terdeteksi pada supernatan (tidak terjerap).

2.8 Spektrofotometer UV–Vis

Spektrofotometer digunakan untuk mengukur serapan sinar ultraviolet dan sinar tampak oleh suatu materi dalam bentuk larutannya. Jumlah cahaya yang diserap oleh suatu zat dalam larutan berbanding lurus dengan konsentrasi zat dalam larutannya. Sinar tampak memiliki daerah panjang gelombang dari 400 nm hingga 750 nm. Sinar tampak tersusun dari beberapa warna, yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu. Umumnya senyawa yang dapat memberikan serapan ketika diukur dengan spektrofotometer adalah senyawa yang memiliki gugus kromofor. Kromofor adalah gugus fungsional yang mengabsorbsi radiasi ultraviolet dan tampak, jika mereka diikat oleh senyawa-senyawa bukan


(43)

pengabsorbsi (auksokrom). Auksokrom adalah gugus fungsional yang memiliki elektron bebas, seperti OH, -O, -NH3, dan–OCH3.

Lambert – Beer telah menurunkan secara empirik hubungan antara intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan tebalnya larutan dan hubungan antara intensitas sinar dengan konsentrasi zat.

Hukum Lambert–Beer :

A = log (Io/ It) =γ.b.c = a.b.c (2. 2)

Keterangan: A = serapan

Io = Intensitas sinar yang datang It = Intensitas sinar yang diteruskan γ= absorbtivitas molekuler (mol.cm. It-1) a = daya serap (g.cm. It-1)

b = tebal larutan / kuvet (cm) c = konsentrasi (g. It-1.mg.ml-1)

Hukum Lambert–Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan. Dalam hukum Lambert – Beer terdapat beberapa pembatasan yaitu sinar yang digunakan dianggap monokromatis, penyerapan terjadi dalam suatu volume ruang memiliki penampang luas yang sama, senyawa yang menyerap dalam larutan tidak tergantung terhadap yang lain dalam larutan tersebut, tidak terjadi peristiwa fluoresensi atau fosforisensi, dan indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan.

Dalam aplikasinya, terdapat beberapa persyaratan agar hukum Lambert-Beerdapat digunakan, yaitu:

a. Konsentrasi larutan yang diukur harus encer.

b. Zat pengabsorbsi (zat yang dianalisis) tidak boleh terdisosiasi, berasosiasi, atau bereaksi dengan pelarut menghasilkan produk lain.

c. Radiasi cahaya yang digunakan untuk pengukuran harus monokromatis (cahaya yang mempunyai satu macam panjang gelombang).

d. Kekeruhan larutan yang disebabkan oleh partikel-partikel koloid misalnya menyebabkan penyimpangan hukumLambert-Beer.


(44)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, dan Laboratorium Kimia Obat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Laboratorium Analisa Bahan Fakultas MIPA Jurusan Fisika Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan November 2014 sampai bulan Maret 2015.

3.2 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer UV-Vis (Hitachi, Jepang), vacuum rotary evaporator (Eyela N-1000, Jepang), ultrasentrifuge (Himac CP 100WX, Hitachi, Jepang), tube (Hitachi, Jepang), particle size analysis (Vasco, Perancis), vortex (VM-300, Taiwan), autoklaf digital (MC 30-L., Ltd, Jepang), mikropipet (Rainin, USA), timbangan analitik (KERN ACJ 220-4M, Balingen), pH meter (Horiba F-52, Jepang), glass beads, dan alat-alat gelas lain yang biasa digunakan.

3.3 Bahan

Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka yang diperoleh dengan metode maserasi (LIPI, Indonesia), span 60 (Croda, Singapura), kolesterol 95,9% (TCI, Jepang), kloroform p.a. (Merck, Jerman), metanol p.a. (Merck, Jerman), Na2CO3 p.a. (Sinopharm, China), Folin Ciocalteu (Merck, Jerman),Phosfate Buffer Saline pH 7,3 (Oxoid, Inggris), asam galat standar 98,5% (Sigma, USA), dan aquadest.


(45)

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Karakterisasi Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka

3.4.1.1 Uji Parameter Spesifik Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka a. Identitas

Pendeskripsian tata nama, yaitu nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, dan nama Indonesia tumbuhan (Depkes RI, 2000).

b. Organoleptik

Penetapan organoleptik yaitu dengan pengenalan secara fisik dengan menggunakan panca indera dalam mendiskripsikan bentuk, warna, bau (Depkes RI, 2000).

3.4.1.2 Uji Parameter Non Spesifik Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka

a. Kadar Abu

Sebanyak 1,1 gram ekstrak ditimbang seksama (W1) dimasukkan dalam krus yang sebelumnya telah dipijarkan dan ditimbang (W0). Setelah itu ekstrak dipijar dengan menggunakan tanur secara perlahan-lahan dengan suhu dinaikkan secara bertahap hingga 600±25°C hingga arang habis. Kemudian ditimbang hingga bobot tetap (W2).

% x 100% (3. 1)

Keterangan : W0 = bobot cawan kosong (gram) W1 = bobot ekstrak awal (gram)

W2 = bobot cawan + ekstrak setelah diabukan (gram) b. Kadar Air

Ekstrak ditimbang secara seksama sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105ºC selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol timbang dengan batang pengaduk. Kemudian dikeringkan dalam oven 105ºC selama 5 jam dan ditimbang. Pengeringan dilanjutkan kemudian ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25% (Depkes RI, 2000).


(46)

31

% x 100% (3. 2)

Keterangan : W0 = bobot ekstrak sebelum dikeringkan (gram)

W1 = bobot ekstrak setelah dikeringkan (gram)

3.4.1.3 Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka a. Alkaloid

Sebanyak 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga diperoleh residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCL 2N. Larutan yang didapat kemudian dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan dengan asam encer yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan pereaksi Dragendroff sebanyak 3 tetes dan tabung ketiga ditambahkan pereaksi Mayer sebanyak 3 tetes. Terbentuknya endapan jingga pada tabung kedua dan endapan kuning pada tabung ketiga menunjukkan adanya alkaloid (Farnsworth, 1966).

b. Flavonoid

Sejumlah ekstrak ditambahkan dengan 100 mL air panas, dididihkan selama 5 menit, kemudian disaring. Diambil filtratnya, pindahkan ke dalam tabung reaksi. Filtrat sebanyak 5 mL ditambahkan 0,05 g serbuk Mg dan 1 mL HCL pekat, dan amil alkohol, kemudian dikocok kuat-kuat. Terbentuknya warna merah, kuning, atau jingga menunjukkan sampel mengandung flavonoid (Harborne, 1987).

c. Saponin

Beberapa mL ekstrak ditambahkan dengan 10 mL air sambil dikocok selama 1 menit, lalu ditambahkan 2 tetes HCL 1 N. Bila busa yang terbentuk tetap stabil selama kurang lebih 7 menit, maka ekstrak positif mengandung saponin (Harborne, 1987).

d. Steroid

Sejumlah 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga diperoleh residu. Residu kemudian dilarutkan dalam kloroform dan disaring. Filtrat ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 2 tetes. Larutan dikocok perlahan dan


(47)

dibiarkan selama beberapa menit. Terbentuknya cincin coklat kemerahan menunjukkan bahwa ekstrak mengandung steroid (Harborne, 1987).

e. Tanin dan Polifenol

Sejumlah 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga diperoleh residu. Residu kemudian direaksikan dengan FeCl310%. Terbentuknya warna biru tua, biru kehitaman, atau hitam kehijauan menunjukkan adanya senyawa polifenol dan tanin ( Robinson, 1991., Jones and Kinghorn, 2006).

3.4.2 Analisis Kadar Total Senyawa Fenolat Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka

3.4.2.1 Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam Aquadest

Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 1000 ppm (mg/L) dapat dibuat dengan cara 10 mg asam galat standar dilarutkan dalam 1 mL metanol p.a, lalu ditambahkan aquadest di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas (Ratnayani, 2012).

3.4.2.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam Aquadest

Larutan standar asam galat 40 ppm dibuat dengan cara mengambil 0,2 mL larutan induk asam galat 1000 ppm, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL, dan ditambahkan aquadest sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL larutan standar 40 ppm dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL aquadest. Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Campuran larutan tersebut kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 400 sampai 800 nm. Hasil yang diperoleh dibuat dalam bentuk kurva, sebagai sumbu y adalah absorbansi dan panjang gelombang cahaya sebagai sumbu x. Dari kurva tersebut dapat ditentukan panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum (Alvian, Susanti, 2012,. Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.4.2.3 Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Aquadest

Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan 80 μ g/ml dibuat dengan cara mengambil masing-masing sebanyak 0,2 mL; 0,3 mL; 0,4 mL; 0,5 mL; 0,6 mL; 0,7 mL dan 0,8 mL larutan induk asam galat 1000


(48)

33

ppm, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, dan ditambahkan aquadest sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL dari masing-masing seri konsentrasi larutan tersebut dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL aquadest. Campuran larutan tersebut kemudian diinkubasi selama 2 jam. Semua larutan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 755 nm, kemudian dibuat kurva kalibrasi hubungan antara konsentrasi asam galat (μ g/ mL) dengan absorbansi (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.4.2.4 Penentuan Total Senyawa Fenolat dalam Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka

Sebanyak 10 mg ekstrak etanol 96% kulit batang nangka dilarutkan dalam 1 mL metanol p.a, lalu ditambahkan aquadest di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL larutan ekstrak yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin Ciocalteu dan 2 mL larutan natrium karbonat 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL aquadest. Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Campuran larutan tersebut diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 755 nm, kadar senyawa fenolat total dapat dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linear dari kurva kalibrasi (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.4.3 Preparasi Niosom Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka 3.4.3.1 Pembuatan Larutan PBS pH 7,3

Larutan fosfat buffer salin pH 7,3 dibuat dengan melarutkan 10 buah tablet phosphate buffered saline yang mengandung natrium klorida (8 g/L), kalium klorida (0,2 g/L), kalium dihidrogen fosfat (0,2 g/L) dan dinatrium hidrogen fosfat (1,15 g/L) dalam 1000 mL air bebas karbondioksida, kemudian diautoklaf pada suhu 115°C selama 10 menit menggunakan autoklaf digital (Oxoid, Inggris).


(49)

3.4.3.2 Formulasi Niosom

Niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka sebagai bahan aktif diformulasikan dengan menggunakan span 60 sebagai surfaktan nonionik, kolesterol sebagai bahan penstabil, dan PBS (phosphate buffered saline) pH 7,3 sebagai fase air. Adapun formula niosom dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1Formula Niosom

Bahan F1 F2 F3

Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka

100 mg 100 mg 100 mg

Kolesterol 200 mg 200 mg 200 mg

Span 60 200 mg 400 mg 600 mg

PBS pH 7,3 12,5 mL 12,5 mL 12,5 mL

3.4.3.3 Pembuatan Niosom dengan Metode Hidrasi Lapis Tipis

Niosom dibuat dengan menggunakan metode hidrasi lapis tipis. Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka, span 60, dan kolesterol (Tabel 3.1) dilarutkan dalam pelarut organik. Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka dilarutkan dalam metanol p.a, kolesterol dan span 60 dilarutkan dalam kloroform p.a. Pelarut kemudian diuapkan dengan vacuum rotary evaporator pada suhu 60°C dengan kecepatan 180 rpm hingga terbentuk lapisan tipis pada dinding labu, kemudian disimpan selama 1x24 jam untuk menghilangkan sisa pelarut dan membentuk lapisan yang compact. Lapisan film yang terbentuk dihidrasi dengan fase air PBS (Phosphate Buffer Saline) pH 7,3 dengan bantuan mekanik glass beadspada suhu 60°C dengan kecepatan 20 rpm untuk membentuk suspensi niosom (Ruckmani dan Sankar, 2010).


(50)

35

3.4.4 Karakterisasi Niosom 3.4.4.1 Analisis Ukuran Partikel

Suspensi niosom yang telah terbentuk dapat dianalisis ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel serta indeks polidispersitasnya oleh Dynamic Light Scattering (DLS) dengan menggunakan alat Particle Size Analyzer (PSA) (Dahiya, dkk., 2011). Suspensi niosom diteteskan pada tempat sampel alat PSA dan dilakukan measuring hingga didapatkan hasil ukuran partikel, distribusi ukuran partikel, dan indeks polidispersitas dari masing-masing formula niosom. 3.4.1.2 Penentuan Persen Efisiensi Penjerapan

Efisiensi penjerapan vesikel ditentukan dengan memisahkan obat bebas dari vesikel penjerap obat dengan menggunakan teknik ultrasentifugasi. Suspensi niosom disentrifugasi selama 50 menit pada 50.000 rpm dan suhu 4°C dengan tujuan untuk memisahkan obat yang tidak terjerap. Jumlah obat bebas (FD) ditentukan pada supernatan. Supernatan hasil sentrifugasi ditetapkan kadarnya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Pham, Maalej, Charcosset, 2012).

Efisiensi penjerapan (%EE) dihitung dengan rumus :

x 100% (3. 3)

Keterangan:

TD = total senyawa fenolat yang terdapat dalam formula FD = jumlah senyawa fenolat yang terdeteksi pada supernatan

a. Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam PBS (Phophate Buffer Saline)

Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 1000 ppm (mg/L) dapat dibuat dengan cara 10 mg asam galat standar dilarutkan dalam 1 mL metanol p.a, lalu ditambahkan PBS (phosphate buffer saline) di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas (Ratnayani, 2012).


(51)

b. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam PBS (Phophate Buffer Saline)

Larutan standar asam galat 40 ppm dibuat dengan cara mengambil 0,2 mL larutan induk asam galat 1000 ppm, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL, dan ditambahkan PBS (phosphate buffer saline) sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL larutan standar 40 ppm dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL PBS (phosphate buffer saline). Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Campuran larutan tersebut kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 400 sampai 800 nm. Hasil yang diperoleh dibuat dalam bentuk kurva, sebagai sumbu y adalah absorbansi dan panjang gelombang cahaya sebagai sumbu x. Dari kurva tersebut dapat ditentukan panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum (Alvian, Susanti, 2012,. Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

c. Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam PBS (Phophate Buffer Saline)

Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan 80 μ g/ml dibuat dengan cara mengambil masing-masing sebanyak 0,2 mL; 0,3 mL; 0,4 mL; 0,5 mL; 0,6 mL; 0,7 mL dan 0,8 mL larutan induk asam galat 1000 ppm, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, dan ditambahkan PBS (phosphate buffer saline) sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL dari masing-masing seri konsentrasi larutan tersebut dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL PBS (phosphate buffer saline). Larutan tersebut diinkubasi selama 2 jam. Semua larutan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 756 nm, kemudian dibuat kurva kalibrasi hubungan antara konsentrasi asam galat (μ g/ml) dengan absorbansi (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).


(1)

49

Penentuan persen efisiensi penjerapan niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka dihitung dengan membandingkan total senyawa fenolat yang terjerap dalam niosom dengan total senyawa fenolat yang terdapat dalam formula. Masing-masing formula niosom mengandung 100 mg ekstrak etanol 96% kulit batang nangka, sehingga total senyawa fenolat yang ditambahkan ke dalam masing-masing formula adalah 6,13% x 100 mg = 6,13 mg. Perhitungan persen efisiensi penjerapan masing-masing formula niosom dapat dilihat pada Lampiran 15.

Tabel 4.5Data Persen Efisiensi Penjerapan Formula Jumlah senyawa fenolat

yang terjerap (mg)

Persen efisiensi penjerapan

F1 3,41 55,63

F2 4,07 66,46

F3 4,18 68,17

Berdasarkan data persen efisiensi penjerapan (Tabel 4.5) formula niosom yang dipreparasi dengan metode hidrasi lapis tipis menggunakan perbedaan rasio konsentrasi kolesterol:surfaktan 1:1, 1:2, dan 1:3 memiliki efisiensi penjerapan berturut-turut sebesar 55,63%, 66,46%, dan 68,17%. Data tersebut menunjukkan bahwa dengan peningkatan konsentrasi surfaktan span 60 yang ditambahkan kedalam formula niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka akan meningkatkan persen efisiensi penjerapannya.

Hasil penentuan pengaruh variasi konsentrasi surfaktan terhadap persen efisiensi penjerapan dalam formula niosom yang diperoleh sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Randa, Adel, Shahira, dan Ahmed tahun 2014, peningkatan konsentrasi surfaktan yang digunakan dalam formulasi niosom dapat meningkatkan persen efisiensi penjerapan. Hal ini disebabkan karena dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan akan membuat membran niosom menjadi kurang permeabel yang selanjutnya dapat meningkatkan proses enkapsulasi.


(2)

Gambar 4.5Diagram Perbandingan % EP F1, F2, dan F3

Total senyawa fenolat yang ditambahkan ke dalam masing-masing formula niosom adalah 6,13 mg. Dari data persen efisiensi penjerapan yang telah diperoleh pada masing-masing formula dapat dihitung jumlah senyawa fenolat yang terjerap ke dalam vesikel niosom. F1 yang mengandung surfaktan span 60 dengan konsentrasi 200 mg mampu menjerap senyawa fenolat dari ekstrak etanol 96% yang ditambahkan sebesar 3,41 mg. F2 yang mengandung surfaktan span 60 dengan konsentrasi 400 mg mampu menjerap senyawa fenolat sebesar 4,07 mg. Sedangkan F3 yang mengandung surfaktan span 60 dengan konsentrasi 600 mg mampu menjerap senyawa fenolat sebesar 4,18 mg. Peningkatan jumlah senyawa fenolat yang terjerap antara F1 dan F2 yaitu sebesar 0,664 mg. Sedangkan peningkatan jumlah surfaktan span 60 pada F2 ke F3 menunjukkan jumlah penjerapan senyawa fenolat yang lebih kecil yaitu 0,105 mg. Hal ini menunjukkan bahwa dengan peningkatan konsentrasi surfaktan span 60 ke dalam formula dapat meningkatkan jumlah senyawa fenolat yang terjerap, namun setelah titik tertentu peningkatan konsentrasi surfaktan span 60 tidak mampu meningkatkan efisiensi penjerapan secara signifikan.

0 10 20 30 40 50 60 70 80

F1 F2 F3

%

E

P

Formula Niosom

F1 F2 F3


(3)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Peningkatan konsentrasi surfaktan dapat menyebabkan peningkatan ukuran partikel dan persen efisiensi penjerapan niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka, dengan hasil ukuran partikel F1, F2, dan F3 berturut-turut sebesar 155,62 nm, 174, 29 nm, dan 216, 30 nm, dan efisiensi penjerapan F1, F2, dan F3 berturut-turut sebesar 55,63%, 66, 46%, dan 68, 17%.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, untuk mendapatkan formula yang terbaik perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap uji penetrasi masing-masing formula niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka.


(4)

Alfian, Riza. Susanti, Hari. 2012. Determination Of Total Phenolic Content Of Methanolic Extracts Red Rosell (Hibiscus sabdariffa Linn) Calyxs In Variation Of Growing Area By Spectrophotometry. Yogyakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Ahmad Dahlan. 02 (1), 73-80.

Alves, Jonierison PONTIS., et al. 2014. “Food Science and Technology”. Color, Phenolic and Flavonoid Content, and Antioxidant Activity of Honey from Roraima. Brazil: Campinas., 34(1) : 69-73.ISSN 0101-2061.

Anam, Syariful., et al. 2013. Standarisasi Ekstrak Etil Asetat Kayu Sanrego (Lunasia amara Blanco). Palu: Program Studi Farmasi & Jurusan Biologi, Universitas Tadulako. ISSN: 2338-0950, Vol.2(3): 1-8.

Anonin, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Anwar, Effionora, Henry, dan Mahdi Jufri. 2004. Studi Kemampuan Niosom yang Menggunakan Maltodekstrin Pati Garut (Maranta Arundinaceae Linn.) Sebagai Pembawa Klorfeniramin Maleat. Depok: Departemen Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.Makara, Sains, Vol. 8, No.2. Chandu, V. Pola., et al . 2012. “International Journal Of Novel Trends In Pharmaceutical

Sciences”.Niosomes : A Novel Drug Delivery System. IJNTPS. 2, 25-31.

Chang, T.S. 2009. An Updated Review of Tyrosinase Inhibitors. Department of Biological Science and Technology. Taiwan: National University Tainan.

Dewi, I.D.A.D.Y. dkk. 2013. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol 95% Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.). Bali, Indonesia: Jurusan Farmasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

Handayani, Puput. 2011. Optimasi Komposisi Cetyl Alcohol Sebagai Emulsifying Agent dan Gliserin Sebagai Humectant dalam Krim Sunscreen Ekstrak Kental Apel Merah (Pyrus malus L.): Aplikasi Desain Faktorial. Yogyakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma.

Hanifah, Nisa Dian, 2013. Formulasi Krim Ekstrak Batang Nangka (Artocarpus Heterophyllus Lamk.). Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNISBA.

Harborne, J.B. (1987).Metode Fitokimia. Bandung: Penerbit ITB.

Hindritiani, Reti, Diah Dhianawaty, Muchtan Sujatno, Endang Sutedja, dan Setiawan. 2013. Penurunan Aktivitas Tirosinase dan Jumlah Melanin oleh Fraksi Etil Asetat Buah Malaka (Phyllantus emblica) pada Mouse Melanoma B16 Cell-Line. Bandung: Universitas Padjadjaran45 (2): 118-24.


(5)

53

Jufri, Mahdi, Effionora Anwar, Joshita Djajadisastra. 2004. Pembuatan Niosom Berbasis Maltodekstrin DE 5-10 dari Pati Singkong (Manihot Utilissima). Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. ISSN: 1693-9883, Vol. I, No. 1.

Juwita, Ninin Kartika, Joshita Djajadisastra, dan Azizahwati. 2011. Uji Penghambatan Tirosinase dan Stabilitas Fisik Sediaan Krim Pemutih yang Mengandung Ekstrak Kulit Batang Nangka (Artocarpus Heterophyllus). Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

Kusumaningati, Ratna W. 2009. Analisis Kandungan Fenol Total Jahe (Zingiber officinale Roscoe). Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Li, Danhui, Zimei Wu, Nataly Martini, dan Jingyuan Wen. 2012. Advanced Carrier Systems in Cosmetics and Cosmeceuticals. New Zealand: School of Pharmacy, Faculty of Medical and Health Sciences, The University Of Auckland.J. Cosmet. Sci., 62, 549–

563.

Lohani, Alka, Anurug Verma, Himanshi Joshi, Nity Yadav, dan Neha Karki. 2014. Nanotechnology-Based Cosmeceuticals. India: School of Pharmaceutical Sciences, IFTM University, Institute of Management and Technology, Dehradun, Uttarakhand, Institute of Biotechnology, patwadangar.ISRN Dermatology, Vol 2014.

Mahardika, Hastri. 2012.Uji Penghambatan Tirosinase Secara In Vitro Serta Stabilitas Fisik dan Stabilitas Kimia Sediaan Krim yang Mengandung Asam Azelat. Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

Makeshawar, Kshitij B, Wasankar, Suraj R. 2013. Niosome: A Novel Drug Delivery System. Asian Parmapres 3(1), 16-20.

Manosroi, Aranya. 2012. Anti-Aging Efficacy of Topical Formulations Containing Niosomes Entrapped with Rice Bran Bioactive Compounds. Natural Products Research and Development Center (NPRDC),.50(2): 208–224.

Nawawi, Riani Hapsari. 2012. Uji Aktivitas, Stabilitas Fisik dan Keamanan Sediaan Gel pencerah Kulit yang Mengandung Ekstrak Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus). Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Pando, D., G. Gutierrez, J. Coca, C. Pazos, 2013. Preparation and Characterization of

Niosomes Containing Resveratrol. Spain: Department of Chemical and Environmental Engineering, University of Oviedo.

Pham, Thi Thuy. 2012. “Colloids and Surfaces B: Biointerfaces”. Liposome and Niosome

Preparation Using A Membrane Contactor for Scale-Up. France. 94, 15 - 21.

Purwanti, Tutiek, Tristiana Erawati, Noorma Rosita, Abdulloh Suyuti, dan Uci Chilmi Nasrudah. 2013. Pelepasan dan Penetrasi Natrium Diklofenak Sistem Niosom Span 60 dalam Basis Gel HPMC 400. Surabaya: Departemen Farmasetika, Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga.


(6)

Sebagai Inhibitor Tirosinase. Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia.ISSN 2087-7412, Vol 1, No 1.

Rahimpour, Yahya, dan Hamed Hamishehkar. 2012.Recent Advances In Novel Drug Carrier System: Niosomes As Carrier In Dermal Drug Delivery. Iran: Tabriz University of Medical Sciences.

Rahman, Latifah, Isriany Ismail, Elly Wahyudin. 2011. Kapasitas Jerap Niosom Terhadap Ketoprofen dan Prediksi Penggunaan Transdermal. Makassar: Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, dan Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri, Alauddin. MFI, 22 (2), 85-91.

Rahmawati, Anita. 2009. Kandungan Fenol Total Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia). Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ratnayani, Ketut A.A.I.A. dkk. 2012. Jurnal Kimia. Kadar Total Senyawa Fenolat Pada Madu Randu dan Madu Kelengkeng Serta Uji Aktivitas Antiradikal Bebas Dengan Metode DPPH (Difenilpikril Hidrazil). Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Bukit, Jimbaran. 6(2) : 163-168.

Robinson, T. (1991). Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 152–196.

Ruckmani, Kandasamy & Sankar, Veintramuthu. 2010. Formulation and Optimization of Zidovudine Niosomes. American Association of Pharmaceutical Scientists. 03(03) : 1119-1127.

Sari, Zhuisa Martiara. 2012. Pembuatan dan Karakterisasi Fisikokimia Nanopartikel Emas (Nanogold)-Dendrimer Poliamidoamin (Pamam) Generasi 4. Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

Saini, Nitin, Pankaj Dang, Davinder Singh, 2014. Niosomes: A Novel Drug Delivery System. Department of Pharmaceutics, M.M. University, Mullana-Ambala. ISSN: 2321-7855.

Stojanovic, Zoran. Markovic, Smilja. 2010. “Technics New Material”. Determination of Particle Size Distributions by Laser Diffraction. Belgrade. 21, 11–20.

Tangri et al. 2011. Niosomes: Formulation and Evaluation. Uttarakhand: Faculty of Pharmacy-Mussoorie Diversion Road.

Zahra, Soraya. 2012. Optimalisasi Formula Sunscreen Cream Berbahan Aktif Nanopropolis

dengan Menggunakan Emollient Isopropyl Myristate dan Emulsifier Span 60. Depok:

FT UI.

Zaki, Randa M., Adel A. Ali, Shahira F. El Menshawe, Ahmed Abdel Bary. 2014. Formulation and In Vitro Evaluation of Diacerein Loaded Niosomes. Egypt: Faculty of Pharmacy, Beni Suef University, and Faculty of Pharmacy, Cairo University. Wathoni, Nasrul, Sriwidodo, dan Uray Camila Insani. 2013. Characterization and

Optimization of Natural Maltodextrin-based Niosomes. Bandung: Department of Pharmaceutics, Faculty of Pharmacy, Universitas Padjadjaran. ISSN 2231-3354.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Obat Kumur Yang Mengandung Ekstrak Kulit Daun Lidah Buaya 5% Terhadap Akumulasi Plak Mahasiswa Angkatan 2009 FKG USU

5 55 68

Pengaruh Variasi Konsentrasi Ekstrak Kulit Batang Nangka (Artocarpus heterophyllus L.) terhadap Karakteristik Niosom

8 62 113

Uji Aktivitas Antifungi Ekstrak etanol 96% Kulit Batang Kayu Jawa (Lannea coromandelica) Terhadap Aspergillus niger, Candida albicans, dan Trichophyton rubrum

2 38 78

SITOTOKSISITAS EKSTRAK METANOL DAUN SUKUN (Artocarpus altilis), NANGKA (Artocarpus heterophyllus) DAN KLUWIH (Artocarpus camansi) Sitotoksisitas Ekstrak Metanol Daun Sukun (Artocarpus Altilis), Nangka (Artocarpus Heterophyllus) Dan Kluwih (Artocarpus Cam

0 8 15

SITOTOKSISITAS EKSTRAK METANOL DAUN SUKUN (Artocarpus altilis), NANGKA (Artocarpus heterophyllus), DAN KLUWIH (Artocarpus camansi) Sitotoksisitas Ekstrak Metanol Daun Sukun (Artocarpus altilis), Nangka (Artocarpus heterophyllus), dan Kluwih (Artocarpus c

0 3 16

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN NANGKA (Artocarpus heterophyllus) TERHADAP PENURUNAN KADAR Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Nangka (Artocarpus Heterophyllus) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar Yang Diinduksi Aloksa.

0 3 12

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN NANGKA (Artocarpus heterophyllus) TERHADAP PENURUNAN KADAR Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Nangka (Artocarpus Heterophyllus) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar Yang Diinduksi Aloksa.

0 3 15

PENGARUH PERBEDAAN KONSENTRASI PARAFFIN SOLID DAN VASELIN ALBUM TERHADAP SIFAT FISIK SEDIAAN SALEP ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN NANGKA (Artocarpus heterophyllus).

0 0 15

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KULIT BATANG NANGKA (Artocarpus heterophyllus Lamk.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI CEREBRUM MENCIT YANG DIINFEKSI Toxoplasma gondii

0 0 77

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KULIT BATANG NANGKA (Artocarpus heterophyllus Lmk.) TERHADAP LAMA HIDUP MENCIT (Mus musculus) YANG DIINFEKSI Toxoplasma gondii

0 1 80