Etika Bisnis Islam Etika bisnis Islam dalam persaingan usaha pada Pt. asuransi Syariah Mubarakah

peserta. Sehingga, antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko yang muncul. Konsep ini juga terujuk pada adanya dana tabarru’, yaitu manifestasi dari sebuah konsep asuransi syari’ah itu sendiri yang bisa diartikan dengan sebuah makna dana kemanusiaan atau ‘derma’ yang harus dikeluarkan oleh setiap peserta dengan secara sistematis dari setiap uang premi yang dibayarkan oleh peserta, kemudian dialokasikan untuk dana tersebut dengan ketentuan perusahaan. 6. Dewan Pengawas Syari’ah DPS Keberadaan Dewan Pengawas Syari’ah DPS dalam perusahaan asuransi syari’ah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi agar senantiasa sejalan dengan syari’at Islam yang di jelaskan sebelumnya oleh para ahli asuransi syari’ah. 38 Karena itulah Dewan Pengawas Syari’ah itu sendiri ada, dan kedudukannya sebagai salah satu institusi dalam skala nasional, dapat dijadikan sebagai Garda terdepan, dan dapat dijadikan payung bagi semua pihak dalam misi yang agung ini. Dengan demikian, pembenahan, yang perlu tenaga dan energi yang baru agar lebih kuat dan lincah. Juga agar lebih taktis dan lebih strategis dalam menghadapi permasalahan yang setiap saat siap menghadang.

B. Etika Bisnis Islam

Dalam sisi kehidupan Nabi Muhammad SAW. Yang kurang mendapat sorotan adalah karirnya sebagai pedagang dan pengusaha. Dalam literatur dan kisah di sekitar masa mudanya, prinsip Nabi banyak dilukiskan sebagai Al-Amiiin, Al-Siddiiq, 39 dan pernah mengikuti pamannya berdagang ke Syam dan Syiria. Lebih dari dua puluh tahun lamanya Muhammad SAW. Berkiprah di bidang wirausaha, sehingga beliau dikenal di Yaman, Syria, Busrah, Iraq, Yordania, uraian mendalam tentang pengalaman dan keterampilan berdagangnya kurang memperoleh pengamatan. Dalam kinerjanya Rasulullah SAW, selalu menganjurkan untuk mengedepankan sifat STAF Siddiiq, Tabliigh, Amanaah, Fatoonah, agar terbiasa melakukan kegiatan ekonomi yang telah dikonsepkan oleh Islam dan juga terhindar dari unsur-unsur yang dapat merugikan semua pihak. Dengan melakukan kegiatan perekonomian yang berbasiskan wahyu dan sunnah Rasul akan membantu pembentukan system aplikasi manual dari mekanisme ekonomi syari’ah. 40 Nabi Muhammad Saw. Telah meletakkan dasar-dasar moral, manajemen, dan etos dalam bekerja yang mendahului zamannya. Dasar-dasar etika dan manajemen bisnis tersebut, telah mendapat legitimasi keagamaan setelah beliau diangkat menjadi Nabi. Prinsip-prinsip etika binis yang diwariskan semakin mendapat pebenaran akademis di penghujung abad ke-20 atau abad ke-21. prinsip bisnis modern, seperti tujuan pelanggan, pelayanan yang unggul, kompetensi, efesiensi, transparansi, persaingan yang sehat dan kompetitif, semuanya telah menjadi gambaran pribadi, dan etika bisnis Muhammad SAW, ketika beliau masih muda. 41 39 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, dalam Akhmad Mujahidin, ekonomi Islam Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2007, h. 13. 40 Faisal Badroen,h. 68 41 Prof. Ali Yafie dkk, Fiqih Perdagangan Bebas, Jakarta, Mizan, 2003, cet ke-4, h 68 Dalam reputasinya Nabi Muhammad SAW, di dunia bisnis diinformasikan antara lain oleh Muhaddits, Abdul Razzaq. Ketika mencapai usia dewasa beliau memilih menjadi wirausaha. Pada saat belum memiliki modal, beliau menjadi manajer perdagangan para investor sahibul mal berdasarkan bagi hasil. Seorang investor besar Makkah Khadijah, mengangkatnya sebagai manajer ke pusat perdagangan Habshah di Yaman. Kepiawaiannya sebagai wirausaha telah mendatangkan keuntungan dan tidak satu pun jenis bisnis yang beliau tangani mendapat kerugian. Beliau juga empat kali memimpin ekspedisi perdagangan untuk Khadijah ke Syiria, Jaorash, dan Bahrain di sebelah Timur semenanjung Arab. Mungkin kita bisa jadikan sebuah konsep yang lebih konkrit dan lebih eksplisit untuk mendapatkan sebuah arti dari definifi etika tersebut, dengan itu dalam bukunya Drs. Faisal Badrun, MBA menyatakan bahwa ketetapan ‘boleh’ dan ‘tidak’ dalam kehidupan manusia telah dikenal sejak manusia pertama, Adam dan Hawa diciptakan. 42 Seperti dikisahkan dalam kitab suci Al-Qur’an, kedua sejoli ini diperkenankan oleh Allah SWT memakan apa saja yang mereka inginkan di surga, namun jangan sekali-kali mendekati sebuah pohon yang apabila dilakukan mereka akan tergolong orang-orang yang zalim al-Baqarah, 2:35:                    ةﺮﻘﺒﻟا ٣٥ : ٢ 35. dan Kami berfirman: Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu 42 Faisal Badroen, h. 1-4 sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini 43 , yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim. Prinsip ‘boleh’ dan ‘tidak’ tersebut berlanjut dan dilanjutkan oleh para nabi- nabi yang diutus oleh Allah kemudian termasuk Nabi Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW. Mereka diutus untuk merealisir ketentuan Sang Pencipta dalam seperangkat regulasi agar dapat mengarahkan manusia hidup bahagia di dunia. Tata nilai itu diletakkan sebagai regulator kehidupan guna mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh tingkah laku manusia yang cenderung egoistis dan liar. Tata nilai itulah yang disebut dengan etika. Seruan untuk menerapkan nilai-nilai etika, sebagaimana diungkapkan di atas, terjadi di setiap sudut kehidupan duniawi dan pada setiap zaman. Karena kalau tidak niscaya tidak ada kaidah yang dapat menjadi tolok ukur nilai kebajikan dan kejahatan, kebenaran dan kebathilan, kesempurnaan dan kekurangan, dan lain sebagainya disebabkan Allah SWT menciptakan sesuatu dengan saling berpasangan. Islam sebagai agama dengan sistem komprehensif juga mengatur aspek-aspek di atas dengan berbasis moralitas. Islam mengkombinasikan nilai-nilai spiritual dan material dalam kesatuan yang seimbang dengan tujuan menjadikan manusia hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Tetapi persolaan kemudian bahwa konsep materialistis yang berkembang di alam modern sekarang ini telah mengubah manusia pada kondisi di mana nilai-nilai spiritual tersingkirkan. Hal ini terjadi terutama di 43 Pohon yang dilarang Allah bagi Adam AS untuk mendekatinya tidak dapat dipastikan, sebab Al-Qur’an dan Hadits tidak menerangkannya. Ada yang menambahkan pohon Khuldi sebagaimana tersebut dalam surat Thaha ayat 120, tapi itu adalah nama yang diberikan setan. QS. Al-Baqarah: 35 kalangan kaum pebisnis yang pada gilirannya berimbas negarif terhadap lapisan lain. Artinya, paradigma yang terbangun di masyarakat bahwa harta, jabatan, dan kekuasaan menjadi tolok ukur ‘baik’ dan ‘tidak’-nya seseorang. 44 Jika hal demikian tumbuh dan berkembang ia dapat bereaksi negatif terhadap nilai-nilai yang selama ini eksis, dan semua orang akan berpacu meraih keuntungan material sebanyak mungkin walau on the expenses of others. Realitas terkikisnya nilai-nilai luhur dan berkembangnya keinginan untuk dinilai ‘baik’ secara sosial dapat memupuk jiwa korup dan permisif terhadap ketidak profesionalan kerja baik di birokrasi, eksekutif karyawan, atau buruh. Meritokrasi bukan sebagai ukuran dalam profesionalisme, namun materi sebagai barometernya. Di sinilah Etika Bisnis Islam EBI menjadi relevan untuk ditumbuhkembangkan sebagai sebuah alternatif solusi keluar dari kungkungan budaya korup dan improfesionalisme tersebut. Bukan saja karena faktor studi di dunia Barat yang membuktikan terpromosikannya sebuah perusahaan dan naiknya rating dengan kode etik kerja, namun itu bagian dari manifestasi dan profesionalitas yang menjadi keniscayaan ber-Islamnya seorang muslim dan realisasi adagium yang mengatakan: “a good business is a good ethic”. Jauh sudah dalam memaknai konsep etika bisnis Islam sekarang harus mengetahui bagaimana definisi tentang etika tersebut, jika menelusuri asal usal etika tak lepas dari kata ethos dalam bahasa Yunani yang berarti kebiasaan custom atau karakter character. Dalam kata lain seperti “the this tinguishing character, 44 Ibid, h. 3-4 sentiment, moral nature, or guiding beliefs of person, group, or institusion” karakter istimewa, sentimen, tabiat moral, atau keyakinan yang membimbing seseorang, kelompok atau institusi. Sementara ethics yang menjadi padanan dari etika, secara etimologis berarti the discipline dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation a set of moral principles or values’, is theory or sistem of moral values. Definisi lain tentang etika mengatakan sebagai philosophical inquiry into the nature and grounds of morality’. Dalam makna yang lebih tegas, yaitu kutipan dalam buku Kuliah Etika mendefinisikan etika secara minologis sebagai berikut:’the systematic study of the nature of value concepts, good, bad, ought, right, wrong, etc. and of the general principle which justify us in applying them to anything; also called moral philosophy. Ini artinya, bahwa etika merupakan studi sistematis tentang tabiat konsep nilai, baik, buruk, harus, benar, salah, dan lain sebagainya dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan kita untuk mengaplikasikannya atas apa saja. Di sini etika dapat dimaknai sebagai dasar moralitas seseorang dan di saat bersamaan juga sebagai filusufnya dalam berperilaku. Secara terminilogis arti kata etika sangat dekat pengertiannya dengan istilah Al-Qur’an al-khuluq. Untuk mendeskripsikan konsep kebijakan, Al-Qur’an menggunakan sejumlah terminologi sebagai berikut, khair, bir, qist, ‘adl, haqq, ma’ruf, dan taqwa. Semua uraian yang tertulis ada persinggungan makna antara etika, moral, dan norma yang terkadang digunakan secara tumpang-tindih. Untuk itu perlu ada pendefinisian moral dan norma sehingga jelas perbedaan antara ketiga hal tersebut. Dalam skema dijelaskan: Bahwa moralitas merupakan sebutan umum bagi keputusan moral, standar moral, dan aturan-aturan berperilaku yang berangkat dari nilai-nilai etika. Hal itu tidak saja dalam format keputusan, standar, dan aturan-aturan aktual yang ada dalam masyarakat, tetapi juga meliputi keputusan-keputusan ideal yang dibenarkan dengan alasan yang rasional. Jadi dalam dasar falsafah etika dalam Islam bahwa etika itu bersama dengan agama berkaitan erat dengan manusia, tentang upaya pengaturan kehidupan dan perilakunya. Islam meletakkan “Teks Suci” sebagai dasar kebenaran, sedangkan fisafat Barat meletakkan “Akal” sebagai dasar. Eternal Law dalam Islam: Allah SWT mewajibkan manusia untuk mempelajarimembaca wahyu-Nya, ayat-ayat atau juga Qowliyah-Nya al-Qur’an dan ciptaan-Nya atau juga Qowniyah-Nya alam semesta. Keduanya harus dilakukan dengan seimbang, Islam mewajibkan manusia aktif dalam kegiatan duniawi muamalah sebagai proses Tazkiyah growth and purification.

C. Persaingan Usaha